Ejaan merupakan hal penting dalam pemakaian bahasa, terutama dalam ragam bahasa tulis.
Penulisan huruf, penulisan kata, sinonim, akronim, angka, dan lambang bilangan serta
penggunaan tanda baca termasuk ke dalam ejaan. Seiring berjalannya waktu, Indonesia memiliki
beberapa perubahan ejaan dari waktu ke waktu.
Ejaan Van Ophuijsen, Ejaan Suwandi, Ejaan Pembaruan, Ejaan Melindo, Ejaan LBK, dan Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan merupakan akhir dari sejarah ejaan bahasa indonesia
yang berisi kaidah aturan ejaan yang dipakai pada saat ini.
Fungsi ejaan yang utama adalah sebagai penyaring masuknya unsur-unsur bahasa asing ke dalam
bahasa Indonesia. Sebagai masyarakat Indonesia, terutama sebagai pelajar, mempelajari dan
mengaplikasikan ejaan yang benar adalah sebuah kewajiban agar tidak terjadi hilangnya makna
yang ingin disampaikan kepada pembaca.
1. Ejaan Van Ophuijsen
Ejaan Van Ophuijsen ini dirancang oleh Van Ophuijsen dengan bantuan dari Engku Nawawi
Gelar Soetan Ma’moer serta Moehammad Thaib Soetan Ibrahim pada tahun 1901.
Ch. A. Van Ophuijsen adalah seorang inspektur pendidikan (dasar) bagi penduduk pribumi
Sumatera dan daerah sekitarnya di tahun 1890-an.
Awal dari lahirnya ejaan ini adalah pemerintah yang menugaskan Van Ophuijsen untuk
merancang sistem ejaan dasar yang mantap dan ilmiah untuk digunakan dalam pengajaran.
Tugas itu ia terima pada tahun 1896 dan selesai pada tahun 1901.
Ejaan van ophuijsen terlahir dalam bentuk sebuah daftar kata yang diawali dengan uraian singkat
tentang aturan-aturan ejaan, Kitab Logat Melajoe. Aturan-aturan tersebut, di antaranya adalah
sebagai berikut.
1) Kata koe (akoe), kau, se, ke, dan di ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya.
Contoh: koelihat, kaudengar, seorang, keroemah, dibawa.
3. Ejaan Pembaruan
Konsep Ejaan Pembaruan dikenal dengan ejaan Prijono-Katoppo, yaitu sebuah nama yang
diambil dari dua nama tokoh yang pernah mengetuai panitia ejaan itu. Prof. Prijono merupakan
Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan. Keberlanjutan tugas Prof. Prijono dilakukan
oleh E. Katoppo.
Prof M. Yamin memprakarsai kongres bahasa yang memutuskan agar ejaan Soewandi
disempurnakan. Kongres tersebut diselenggarakan di Medan pada tahun 1954. Pada waktu itu
disarankan agar dapat diusahakan tiga hal sebagai berikut.
4. Ejaan Melindo
Tindak lanjut perjanjian persahabatan antara Republik Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu
pada tahun 1959, antara lain usaha mempersamakan ejaan bahasa kedua negara ini.
Pada akhir tahun 1959 sidang perutusan Indonesia Melayu (Slamet Mulyana-Syed Nasir bin
Ismail sebagai ketua) menghasilkan konsep ejaan bersama yang kemudian dikenal dengan ejaan
Melindo (Melayu Indonesia).
Perkembangan politik selama tahun-tahun berikutnya mengurungkan peresmiannya. Ejaan
melindo mengatur beberapa hal, di antaranya adalah sebagai berikut.
Hal yang berbeda ialah dalam ejaan Melindo, gabungan konsonan tj, seperti pada kata tjinta
diganti dengan c menjadi cinta. Hal yang sama terjadi pada konsonan nj, seperti pada kata njonja
diganti dengan huruf nc yang sama sekali masih baru.
5. Ejaan LBK
Ejaan Baru merupakan lanjutan dari rintisan panitia ejaan Melindo. Ejaan ini dikeluarkan pada
tahun 1966 sebelum dikeluarkannya Ejaan Yang Disempurnakan.
Pelaksananya terdiri dari panitia Ejaan LBK (Lembaga Bahasa dan Kesusaatraan yang sekarang
bernama Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa) juga terdiri dari panitia Ejaan Melayu
yang berhasil merumuskan ejaan tersebut.
Panitia tersebut bekerja atas dasar Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No.
062/67 pada tahun 1967.
Konsep Ejaan ini disusun berdasarkan beberapa pertimbangan, antara lain.
a. Pertimbangan Teknis, yaitu pertimbangan yang menghendaki agar setiap fonem
dilambangkan degan satu huruf.
b. Pertimbangan praktis, yaitu pertimbangan yang menghendaki agar perlambangan secara
teknis disesuaikan dengan keperluan praktis seperti keadaan percetakan dan mesin tulis.
c. Pertimbangan Ilmiah, yaitu pertimbangan yang menghendaki agar perlambangan itu
mencerminkan studi yang mendalam mengenai kenyataan bahasa dan masyarakat
pemakainya.
d. Pertimbangan konotatif, bunyi menunjukkan perbedaan makna.
e. Pertimbangan politis, adanya keterlibatan pemerintah yang menghendaki menertibkan
tata istilah yang ada.
Ejaan LBK muncul karena ketidaksetujuan akan konsep Melindo. Beberapa hal yang dibahas
dalam seminar sastra 1968 yang membentuk konsep Ejaan LBK ini adalah antara lain.
a. Ada enam vokal (i, u, e, Ə, o, a).
b. Diftong tetap.
c. Di dan ke dibedakan antara preposisi dan imbuhan. Contoh: surat itu ditulisnya di rumah.
d. Kata ulang ditulis secara lengkap dengan menggunakan tanda hubung.
e. Mengenai istilah asing, misal guerilla (Spanyol), frasa coup de’etat (Prancis), dan extra
(Inggris) diubah menjadi gerilya, kudeta, dan ekstra.
f. Ejaan ini juga membahas mengenai qalb (hati) dan bahasa Arab juga mengenal kata kalb
(anjing), namun diputuskan tetap menggunakan kata kalbu untuk bahasa Indonesia.
a) Menuliskan judul buku, nama majalah, atau nama surat kabar yang dikutip dalam tulisan,
termasuk dalam daftar pustaka. Contoh: Majalah Poedjangga Baroe menggelorakan
semangat kebangsaan.
b) Menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau kelompok kata dalam
kalimat. Contoh: Buatlah kalimat dengan menggunakan ungkapan lepas tangan.
c) Menuliskan kata atau ungkapan dalam bahasa daerah atau bahasa asing. Contoh: Upacara
peusijuek (tepung tawar) menarik perhatian wisatawan asing yang berkunjung ke Aceh.
Kaidah penulisan lainnya seperti pemakaian kata, pemakaian unsur serapan, pemakaian tanda
baca dapat dilihat dalam buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI). Buku tersebut
mengandung penjelasan yang mudah dipahami dengan dilengkapi contoh kalimat atau kata pada
setiap bagian.
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI) telah diterbitkan hingga edisi keempat yang
terbit pada tahun 2016.
Memperlajari cara penulisan kaidah yang benar sesuai aturan yang ditetapkan merupakan hal
penting yang harus dimiliki oleh setiap orang.
Ejaan berfungsi untuk membantu pemahaman pembaca di dalam mencerna informasi yang
disampaikan secara tertulis.
Penggunaan ejaan yang salah dapat menyebabkan terjadi bias makna yang ditangkap oleh
pembaca.
PERBEDAAN EYD DAN EBI
Bahasa Indonesia terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Salah satu
perkembangannya adalah diberlakukannya Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI)
menggantikan EYD (Ejaan Yang Disempurnakan). Ejaan Bahasa Indonesia ini berlaku sejak
tahun 2015 berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Nomor 50 Tahun 2015.
Perubahan sistem ejaan bahasa Indonesia sudah terjadi beberapa kali. Pada 1947, bahasa
Indonesia menggunakan sistem Ejaan Soewandi, kemudian sistem Ejaan Melindo pada 1959,
dan EYD (Ejaan yang Disempurnakan) pada 1972 hingga EBI (Ejaan Bahasa Indonesia) tahun
2015. Perkembangan ini adalah bentuk perhatian pemerintah terhadap bahasa Negara agar
bahasa Indonesia dapat mengikuti kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Selain itu,
pemerintah menginginkan bahasa Indonesia dapat digunakan di berbagai ranah secara lisan
maupun tulisan secara lebih luas.
Penambahan Huruf Vokal Diftong
Huruf diftong ditemukan hanya tiga yaitu ai,
au, oi. Penambahan diftong ei.
Contohnya:
Contohnya:
1. kata geiser
1. huruf diftong ai ditemukan pada kata pandai
2. kata survei
2. huruf oi pada kata amboi
3. huruf au pada kata harimau
Penggunaan Bilangan
Bilangan yang digunakan sebagai unsur
nama geografi ditulis dengan huruf,
misalnya:
Tidak diatur a. Rajaampat
b. Kelapadua
c. Simpanglima