Anda di halaman 1dari 3

POSKOLONIALISME SASTRA

Teori poskolonialisme merupakan teori yang digunakan untuk menganalisis


berbagai gejala kultural, seperti sejarah, politik, ekonomi, sastra, dan lain sebagainya
yang terjadi di negara-negara bekas koloni Eropa. Teori ini memaparkan tentang
hegemoni, subaltern, mimikri, hibriditas, marginalitas, dan alienasi.

Teori postkolonial ditandai dengan terbitnya buku Edward W. Said pada


1978, Orientalism. Tesis utama buku karya Said menggunakan pendekatan hubungan
antara kekuasaan dan pengetahuan. Sebagaimana diantarkan oleh Michael Foucault
dalam bukunya, The Archeology of Knowledge (1972) dan Discipline and Punish: The
Birth of the Prison (1977). Tokoh poskolonialisme lain adalah Frantz Fanon dalam
bukunya yang berjudul Black Skin, White Masks and the Wretched of the Earth
(1967). Fanon adalah seorang psikiater yang mengembangkan analisis mengenai
dampak psikologis dan sosiologis yang ditimbulkan oleh kolonisasi. Fanon
menyimpulkan bahwa melalui dikotomi kolonial, penjajah-terjajah, wacana
orientalisme telah menimbulkan alienasi dan marginalisasi psikologis yang sangat
hebat. Tokoh-tokoh teori poskolonialisme, yaitu Gayatri Chakravorty Spivak, dan
Homi K. Bhabha.

Konsep teori poskolonialisme, yang pertama adalah hegemoni. Dasar-dasar


konsep hegemoni diletakkan oleh Lenin dengan menyempurnakan upaya yang telah
dikerjakan para pendiri gerakan buruh Rusia. Gramsci menambahkan bahwa
hegemoni merupakan hubungan antara kelas dengan kekuatan sosial lain. (Simon
2004: 20-22).

Konsep kedua adalah subaltern. Menurut Spivak dalam Scattered Speculations on


the Subaltern and the Popular, subalternitas merupakan posisi tanpa identitas (2005:
476). Sejarawan Kajian Subaltern pada intinya peduli pada riset tentang
praktik-praktik sosial dan politik kelompok-kelompok yang tidak mampu
mempresentasikan diri mereka sendiri sebagai kelas atau kelompok sosial dalam
historiografi elit.
Ketiga, mimikri dicetuskan oleh Bhabha (Foulcher, 2006: 121-122) adalah
ciri-ciri peniruan, kamuflase mengenai sikap, perilaku, dan pikiran pribumi terhadap
penjajah. Ambivalensi psikologis merupakan gejala umum di negara-negara terjajah.
Ciri terpenting dalam kaitannya dengan analisis poskolonialisme adalah ambivalensi
psikologis tokoh-tokoh dalam karya sastra poskolonialisme.

Keempat, hibridasi menurut Bhabha dalam poskolonialisme bukan sekedar


menciptakan budaya. Tetapi sekaligus menciptakan bentuk-bentuk resistensi dan
negoisasi baru untuk sekelompok orang dalam hubungan sosial dan politik mereka.
Hibriditas juga memungkinkan adanya pengenalan bentuk-bentuk produksi identitas
baru dan bentuk-bentuk budaya. Jadi hibriditas dapat diterima sebagai suatu alat untuk
memahami perubahan budaya lewat pemutusan strategi atau stabilitasi temporer
kategori budaya (Barker, 2005: 210).

Kelima, marginalitas yakni atau biasa disebut sebagai orang-orang yang


terpinggirkan (orang yang miskin). Namun, terpinggirkan dan miskin tidaklah sama.
Orang miskin biasanya masuk ke dalam kelompok terpinggirkan, tetapi orang yang
terpinggirkan tidak selalu bisa disebut miskin. Kelompok terpinggirkan atau marginal
mencakup orang-orang yang mengalami satu atau lebih dimensi penyingkiran,
diskriminasi, atau eksploitasi di dalam kehidupan sosial, ekonomi, dan politik kota.

Terakhir, alienasi atau keterasingan lahir berdasarkan pemikiran Karl Marx. Teori
alienasi Marx didasarkan pada pengamatannya bahwa di dalam kapitalisme, para
buruh tak terhindarkan kehilangan kontrol atas hidup mereka, karena tidak lagi
memiliki kontrol atas pekerjaan mereka. Para pekerja ini tidak pernah menjadi
otonom. Secara sistematis pragmatis Marx menggambarkan bahwa sistem dan hukum
sosial bukanlah perwujudan akal manusia secara murni, melainkan merupakan
manifestasi kepentingan kelas dominan dalam periode-periode bersejarah tertentu.

Teori poskolonialisme lahir setelah negara-negara yang terjajah merdeka. Teori


poskolonialisme terdapat di dalam karya sastra nasional pada negara-negara yang
pernah mengalami kekuasaan imperial, seperti di negara Afrika, India, Malta,
Selandia Baru, Pakistan, Singapura, Malaysia, Indonesia dan sebagainya. Oleh karena
itu, poskolonialisme sangat relevan untuk menyebutkan kritik lintas budaya sekaligus
wacana yang ditimbulkannya (Ratna 2008: 207).

Pada konteks ini, sebagaimana dikatakan oleh Edward Said, relasi antara
orang-orang Timur (the orient) –pribumi Indonesia– dengan orangorang Barat (the
occident), Belanda adalah hubungan kekuasaan, dominasi, dan kompleksitas
hegemoni (2001:5). Oleh karena itu, bagi Said, citra orang-orang Timur yang dianggit
oleh Barat (penjajah) bukanlah citra sebenarnya, namun lebih pada pencitraan penuh
distorsi dengan tujuan menguasai

Kaitannya dengan poskolonialisme Belanda di Indonesia, yakni munculnya


dualisme dalam sistem politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan. Di satu pihak,
masyarakat pribumi hidup dengan sistem politik, ekonomi, sosial, dan kebudayaan
tradisional, tetapi di lain pihak mereka juga harus hidup dengan sistem tatanan
kolonial. Dalam dualisme ini, sistem yang satu tidak terpisah dari yang lainnya,
melainkan cenderung saling melintasi dan tumpang tindih (Faruk, 2007:9).

REFERENSI
Adzhani,An Shadani. 2014. Konstruksi Ruang Kota Poskolonial dan Respons Spasial
dalam Novel The Kite Runner Karya Khaled Hosseini. POETIKA: Vol 2, No 1
Fajar, Yusri. 2011. Negosiasi Identitas Pribumi dan Belanda dalam Sastra
Poskolonial Indonesia Kontemporer. LITERASI: Vol 1, No 2
Rahmawati, Indah. 2014. Realitas Poskolonialisme dalam Romanl’Homme Rompu
Karya Tahar Ben Jelloun. DIGILIB UNNES: Under Gradhuated Thesis
Rakhman, Arif Kurniar. 2014. Ambivalensi Nasionalisme Dalam Cerpen “Clara
Atawa Wanita yang Diperkosa” Karya Seno Gumira Ajidarma: Kajian
Poskolonial. POETIKA: Vol 2, No 2
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/content/kritik-postkolonial-jaringan
-sastra-atas-rekam-jejak-kolonialisme

Anda mungkin juga menyukai