2. Adelia V (2016230055) 3. Ghina Ilma Pradistia (2016230033) 4. Muhammad Faizal M. (2016230057) 5. Rafid Maulana (2016230037) 6. Regy Eginawati (2016230032) 7. Taufiqurachman Putra S. (2016230051) Pendahuluan Poskolonialisme secara umum dikenal sebagai paham yang muncul setelah zaman kolonial. Sebagaimana istilah-istilah akademis lainnya yang kerap menggunakan istilah post seperti post-modernisme, post-strukturalisme, maka post-kolonialisme juga berarti “setelah” kolonialisme. Post- colonial hendak menunjukkan kepada Barat (sebagai penjajah) perlawanan negara non-Barat sebagai bekas koloni. Asal-Usul Post-kolonialisme diinspirasi oleh post-strukturalisme. Post-kolonialisme hadir pada tahun 1961 setelah perang dunia ke II berakhir. Melalui tulisan Orientalism karya Edward Said dan The Wretched of The Earth karya Frantz Fanon, pemikiran postkolonialime mulai dikenal. postkolonialisme lahir sebagai wujud kekecewaan terhadap teori mainstream yang hanya memfokuskan pada aspek power, politik dan negara. Asumsi-Asumsi 1. Penggunaan power yang merupakan kunci dari teori poskolonialisme. 2. Pengaruh identitas. Identitas yang digunakan merujuk pada bagaimana penjajah mengimplementasikan sistem kolonialisasi pada negara-negara jajahannya. 3. Poskonialisme melihat posisi perjuangan sebagai upaya negara jajahan dalam melawan penjajahnya. Negara dan Kekuasaan Poskolonial ingin menggugat praktek-praktek kolonialisme yang telah melahirkan kehidupan yang penuh dengan rasisme, hubungan kekuasaan yang tidak seimbang, budaya subaltern, hibriditas dan kreofisasi bukan dengan propaganda peperangan dan kekerasan fisik, tetapi didialektikakan melalui kesadaran atau gagasan. Untuk itu kajian poskolonial “cenderung” menggunakan argumentasi yang bersifat terposisikan pada dua kutub atau posisi biner tersebut. Hubungan antara penjajah-terjajah yang bersifat hegemonik, kemudian muncullah apa yang disebut dominasi dan subordinasi. Dari pola hubungan seperti ini kemudian muncullah gambaran-gambaran yang tidak menyenangkan mengenai pihak terjajah sebagai kelompok masyarakat barbar, tidak beradab, bodoh, aneh, mistis dan tidak rasional. Edward Said menggunakan pemikiran Foucault dan Teori Kritis sebagai dasar untuk teori poskolonialnya. Edward Said menggunakan pemikiran tokoh tersebut untuk membongkar narsisme dan kekerasan epistemologi Barat terhadap Timurdengan menunjukkan bias, kepentingan, kuasa yang terkandung dalam berbagai teori yang dikemukakan kaum kolonialis dan orientalis. Negara dan Kekuasaan Permasalahan kolonial dikemukakan sebagai proses “pembentukan sebuah komunitas” di daerah jajahan. Peristiwa kolonialisme ini diabadikan oleh berbagai tulisan, catatan pribadi, dokumen perdagangan, arsip pemerintah masa lalu, sastra dan tulisan ilmiah. Praktik kolonial yang terdapat pada berbagai dokumen itu, kemudian menjadi sumber bagi para ilmuwan yang berminat pada studi kolonial dan poskolonial. Wacana poskolonial pertama kali diperkenalkan di dunia sastra oleh Bill Ashcroft menunjukkan bahwa sastra dan teori poskolonial memiliki dua kunci utama, yaitu dominasi-subordinasi dan hibriditas-kreolisasi . Isu-isu ini muncul pada awalnya ke permukaan berhubungan dengan control militer dan keterbelakangan ekonomi. Dominasi dan subordinasi adalah sebuah hubungan yang tidak hanya terjadi antarnegara atau antaretnis, tetapi juga dalam sebuah negara atau dalam suatu etnis tertentu, bahkan pada relasi kekuasaan gender. Institusi dan Tatanan Dunia Dalam studi poskolonialisme terdapat prinsip the other (yang lain) dimana setiap Aktor selalu melihat sesuatu kedalam dua oposisi biner, dalam maka dapat dikatakan Bahwa dua oposisi ini yaitu negara maju (the have) dan negara berkembang (the have not). Negara- negara Barat memaksakan sistem ini karena mereka sadar mereka akan lebih mampu bersaing dengan negara negara berkembang dalam berbagai lini perekonomian, yang mereka tidak punya hanyalah keunggulan tenaga kerja murah dan Sumber daya, dengan adanya hal ini maka mereka akan memaksa negara-negara berkembang untuk membuka negara mereka dalam hal investasi, tak lain hanya untuk mengejar tenaga kerja murah yang dapat ditemui di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Identitas dan Komunitas Identitas dalam pendekatan poskolonialisme berpusat pada kategorisasi yang bersifat paradoks, seperti Barat dan Timur, Utara dan Selatan, hitam dan putih, serta penjajah (colonizer) dan terjajah (colonized). Sehingga interpretasi yang muncul adalah Bangsa Timur dan daerah Selatan, serta orang berkulit hitam memang secara harfiah akan terjajah oleh orang-orang dengan identitas sebaliknya. Para penulis poskolonialisme juga memusatkan pembahasannya kepada identitas dan kultur, dengan ras dan gender, serta melanjutkan terus pentingnya hubungan para kolonial untuk memahami kedua belah pihak taitu (ex)koloni dan (de)koloni. Kesenjangan dan Keadilan Teori pos-kolonialisme, dapat kita lihat bahwa kesenjangan dan ketidakadilan yang dialami oleh masyarakat dikarenakan Masih terjadinya pembedaan antara yang hitam dan putih, penjajah dan yang diajajah, laki-laki dan perempuan, serta antara pribumi dan liyan (the others). Konflik dan Kekerasan Dalam post-kolonialisme dikenal mengenai konsep “Perang Asimetris” yang dikemukakan oleh Yves Winter (2011) untuk mencirikan konflik yang terjadi antara aktor negara dengan aktor non-negara. Asimetris membawa implikasi normatif karena negara yang kuat digambarkan sebagai korban ‘peperangan tidak beradab’ yang rapuh. Dengan cara itu, gagasan asimetri memungkinkan negara untuk melakukan tindakan luar biasa melawan orang sipil. Kritik poskolonialisme dianggap kurang jelas dalam menginterpretasikan keterkaitannya dengan studi Hubungan Internasional. Meskipun poskolonialisme memiliki sedikit keterkaitan dengan marxisme dan feminisme namun hubungan tersebut tidak dapat ditunjukkan dengan jelas sehingga memunculkan adanya ambiguitas. Selain itu, poskolonialisme merupakan produk barat yang anti barat. Sehingga adanya kemungkinan bersinggungan dengan budya barat. Kesimpulan Teori postkolonial termasuk salah satu teori-teori baru dalam kajian ilmu komunikasi. Teori ini berada pada tataran atau tingkat teratas dari konteks/lingkup komunikasi, yaitu komunikasi sosial budaya. Tingkatan konteks komunikasi diurutkan sebagai berikut: 1) pelaku komunikasi (komunikator dan komunikan); 2) pesan; 3) percakapan; 4) hubungan; 5)kelompok; 6) organisasi; 7) media; 8) budaya dan masyarakat. Studi poskolonial termasuk relatif baru. postkolonialisme dirintis oleh Edward Said. Pertama kali dikemukakan melalui bukunya yang berjudul Orientalism. Kesimpulan Pandangan kritis postkolonial berfokus pada dominasi, ideologi, dan kekuasaan. Pandangan kritis postkolonial ini lahir dari aliran tradisi kritis. Tradisi ini bersifat melawan, tradisi ini sadar dan bangga akan nilai-nilainya, dan tradisi ini memiliki tujuan yang jelas untuk meningkatkan kesadaran. Tradisi ini juga mencakup asumsi-asumsi dan wawasan dari tradisi-tradisi lain dalam dunia komunikasi, kecuali tradisi sosiopsikologis.