NIM : B0217032
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Postmodern merupakan salah satu isu yang tidak pernah padam dalam
dunia filsafat. Saat ini pun banyak yang memperdebatkan tentang pengertian
maupun batas dari zaman postmodern itu sendiri. Istilah ‘Postmodernisme’
muncul dibidang seni sejak tahun 1950-an kemudian menjadi istilah yang cukup
popular di dunia sastra-budaya. Perkembanan selanjutnya di bidang filsafat dan
ilmu-ilmu sosial baru terlihat pada tahun 1970-an.
Jean Francois Lyotard memandang bahwa modern adalah proyek
intelektual dalam sejarah dan kebudayaan Barat yang mencari kesatuan dibawah
bimbingan ide pokok yang terarah pada kemajuan. secara keseluruhan dapat
disimpulakan bahwa salah satu ciri paling khas dari zaman modern adalah adanya
ide-ide besar yang biasa disebut dengan grand narratives yang benar-benar
menjadi ide pemersatu banyak golongan demi mendapatkan sebuah tujuan
bersama.
Lyotard memandang bahwa postmodern tidak menunjukkan pada suatu
keadaan saja, melainkan juga pada suatu tugas apa yang harus dikerjakan
sekarang oleh manusia. Namun, masyarakat postmodern tidak dapat diharapkan
akan menyusun kisah lebih besar lagi daripada sebelumnya. Pandangan Lyotard
tersebut berarti bahwa dalam sebuah masyarakat postmodern tidak akan muncul
lagi sebuah ide tunggal yang menjadi pemersatu semua ide dan menjadi tolak
ukur dari kebenaran. Masyarakat postmodern akan muncul dengan ide-ide yang
beragam.
Dalam cerpen karya Sitor Situmorang yang berjudul Pangeran dalam
buku kumpulan cerpen dengan judul Ibu Pergi ke Surga, bercerita tentang
seorang yang dipanggil ‘pangeran’ yang hidup dalam kemewahan. Kejadian
dalam cerpen Pangeran ini akan kita analisis sebagai pembaca melalui aspek-
aspek postmodernisme dan ciri-ciri postmodernisme yang terdapat dalam cerpen
menurut Jean Francois Lyotard.
Rumusan Masalah
Tujuan
PEMBAHASAN
1. Cerpen Pangeran
Menjelang pukul 6 sore, ketika senja, waktu yang baik untuk bertamu di
rumah itu. Sebuah rumah dengan pekarangan luas yang letaknya tinggi dari jalan
besar, jalan paling luas yang mengitari Kota Yogya menghadap ke timur. Di
seberang jalan terbentang sawah menghijau dan samar ke tepi langit. Dapat
diduga puncak gunung berapi dalam keluasan .
Pangeran, tuan rumah, telah menanti di pekarangan bersama istrinya
duduk di atas kursi rotan. Ia kusebut Pangeran atas kehendak sendiri.
Pangeran berdiri dan menjemput saya dengan tangan diulurkan. Setentang
gerbang semak berbunga, istrinya menyongsong pula.
Suasana senja memperkuat kekhususan kesan yang kuperoleh dari
keseluruhannya. Cara orang menyambut saya, bentuk rumah dan pekarangan.
Pekarangan dengan rumput yang terpelihara ditumbuhi tanam-tanaman yang
biasa, seakan-akan tidak sengaja: pohon kelapa, jeruk, manga berantara jarak
yang membiarkan kelapangan seperti dalam kebun bunga, tapi tanpa bunga-
bunga.
“Kami ada kebun sayur di sana,” kata Pangeran, ”dikerjakan oleh orang
numpang.”
Rumah serta pekarangannya yang luas adalah warisan.
Di sudut dekat gerbang pekarangan ada menara sembahyang, tempat
bersamadi, yang menghadap ke barat laut. Mungkin arah Mekkah, mungkin arah
kea rah puncak Gunung Merapi.
Tadinya tak terpikir bahwa Pangeran pakai kain, segala sesuatunya sudah
berpadanan.
Kami berbicara tentang kebangsawanan.
“Hanya dapat dikenang sekilas,” kataku, ”lebih dari sekilas, mengganggu.
Zaman ini zaman lain.”
Pangeran mempertahankan diri terhadap keduanya. Terhadap
kebangsawanannya dan terhadap zaman sekarang melalui titik sempit dari
kesadaran akan kenisbian.
“Saya mengerti tarikan mistik. Saya hanya suka mistikus yang juga
manusia berbuat,” kataku.
Saya bersandar kepada suasana dan seperti raja istirahat mempermainkan
keinginan hati.
Pangeran tersenyum.
Kataku, “Kalau bukan manusia berbuat, ia bukan mistikus.”
Kami makan berdua. Dilayani oleh anaknya yang laki-laki dan satu-
satunya.
Pengeran di antara pangeran, kata sahibulhikayat dan waktu malam
meningkat ada yang pukul gender di pendopo.
Kamar kami duduk dan makan berisi perabot dan barang-barang tembikar
Tiongkok yang indah. Warna terutama hitam, emas dan merang. Semua terisi
sedang perabot jarang, lanjutan dari kelapangan alam di luar.
Istrinya entah kemana.
Tinggal lelaki antara lelaki.
2. Aspek-aspek Postmodernisasi
Beberapa aspek sentral yang diasosiasikan dengan postmodernisme dalam
seni (Jean Francois Lyotard dalam Sarup, 2007: 226) antara lain:
a) Ekletisisme
Ekletisisme dapat diketahui dari kebiasaan memadukan kebudayaan asing ke
dalam kebudayaan sendiri. Aktivitas tersebut dapat terjadi dimana saja.
Pengadopsian perilaku atau penggunaan benda dari negara lain menjadi ciri
utama dari ekletisisme. Hal tersebut terlihat dalam kutipan berikut:
“Kamar kami duduk dan makan berisi perabot dan barang-barang
tembikar Tiongkok yang indah. Warna terutama hitam, emas dan merah. Semua
terisi sedang perabot jarang, lanjutan dari kelapangan alam di luar.” (hal 136)
Pada kutipan di atas menyatakan adanya paduan kebudayaan asing yaitu
Tiongkok pada ruangan yang digunakan oleh tokoh berisi perabot dan barang-
barang tembikar Tiongkok dengan warna hitam, emas, dan merah. Namun,
tempat atau rumah tokoh dalam cerita terdapat di Kota Yogya. Dapat disimulkan
bahwa perilaku tokoh menggunakan benda dari negara lain.
b) Parodi
Parodi dapat diketahui melalui satu bentuk dialog, cerita atau verbal yang
mengekspresikan perasaan puas, tidak senang, tidak nyaman seperti sindiran atua
humor yang dibangun berdasarkan perasaan. Parodi juga dibentuk sari sifat
mendramatisasi peristiwa yang dibangun dari perasaan manusia, sindiran-sindiran
dalam parody digunakan orang untuk menjelaskan suatu hal yang tidak
dihiraukan oleh orang kebanyakan. Hal itu terlihat dalam kutipan berikut:
“Hanya dapat dikenang sekilas,” kataku, ”lebih dari sekilas, mengganggu.
Zaman ini zaman lain.” (hal 136)
Pada kutipan di atas terlihat tokoh ‘aku’ mengatakan kalimat yang memiliki
makna sindiran terhadap seseorang yang dipanggilnya ‘pangeran’ yang berusaha
mempertahankan kebangswanannya dan zaman sekarang.
c) Pastiche
Mimpi atau angan-angan , imitasi murni tanpa pretensi apa-apa. Teks pastiche
mengimitasi teks-teks masa lalu untuk mengangkat dan mengapresiasikannya.
Hal tersebut terdapat dalam kutipan berikut:
“Kalau bukan manusia berbuat, ia bukan mistikus.” (hal 136)
Pada kutipan di atas terdapat adanya imitasi murni yaitu tokoh aku mengatakan
jika bukan manusia yang melakukan, maka dia bukan mistikus. Mistikus dari kata
mistik yaitu hal-hal yang tidak terjangkau oleh akal sehat manusia biasa. Dalam
hal ini seperti hal-hal gaib di hampir semua agama dan sistem religi untuk
memnuhi hasrat manusia mengalami dan merasakan emosi bersatu dengan Tuhan.
d) Ironi
Ironi adalah kejadian atau situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan atau
yang seharusnya terjadi, tetapi sudah menjadi suratan takdir. Hal tersebut terdapat
dalam kutipan cerpen berikut ini:
“Tadinya tak terpikir bahwa Pangeran pakai kain, segala sesuatunya sudah
berpadanan.” (hal 135)
Pada kutipam di atas menyebutkan tokoh ‘aku’ beranggapan bahwa Pangeran
tidak menggunakan kain, tetapi pada kenyataanya tokoh yang disebut ‘pangeran’
itu mengenakan kain sehingga tokoh ‘aku’ memahami bahwa segala sesuatu telah
berimbang.
e) Camp
Camp adalah pengelabuhan identitas dan penopengan. Satu model estetisme,
yaitu satu cara melihat dunia sebagai satu fenomena estetik. Camp menjadi
bagian dari tradisi yang menyebutkan sesuatu yang pernah muncul dan muncul
kembali. Camp dalam arsitektur kontemporer yang mengakulturasikan unsur
lama dengan yang baru, teknologi visualisasi atau pencitraan. Camp hanya
dipakai untuk menampilkan suasana sebagai pembentuk kesan saja yang dapat
dilihat pada gaya arsitektur yairu penggunaan elemen-elemen dekoratif yang
indah. Hal itu dibuktikan dalam kutipan berikut:
“Sebuah rumah dengan pekarangan luas yang letaknya tinggi dari jalan
besar, jalan paling luas yang mengitari Kota Yogya menghadap ke timur. Di
seberang jalan terbentang sawah menghijau dan samar ke tepi langit. Dapat
diduga puncak gunung berapi dalam keluasan.” (hal 135)
“Di sudut dekat gerbang pekarangan ada menara sembahyang, tempat
bersamadi, yang menghadap ke barat laut. Mungkin arah Mekkah, mungkin arah
kea rah puncak Gunung Merapi.” (hal 135)
“Kamar kami duduk dan makan berisi perabot dan barang-barang
tembikar Tiongkok yang indah. Warna terutama hitam, emas dan merang. Semua
terisi sedang perabot jarang, lanjutan dari kelapangan alam di luar.” (hal 136)
Pada beberapa kutipan di atas esensi camp tampak pada arsitektur dalam.
Bangunan Kota Yogya secara normatif berfungsi sebagai hunian, keagamaan,
usaha, soaial dan budaya, serta fungsi khusus. Dari sisi fungsi aspek penting yang
perlu diterjemahkan lebih lanjut untuk mendukung pelestarian budaya
Yogyakarta sebagai daerah istimewa yaitu, adanya integrasi antara fungsi
bangunan dan fungsi budaya yang menyatu dalam seni arsitektur bangunan
gedung. Dalam kutipan telah disebutkan bahwa terdapat menara untuk
sembahyang, tempat bersamadi. Namun, bagian dalam bangunan terdapat perabot
dan barang-barang tembikar Tiongkok yang bukan merupakan ciri dari arsitektur
Kota Yogya. Hal ini merupakan pengadopsian gaya arsitektur tanpa mengubah
desain. Tradisi peniruan dalam arsitektur dipandang menyelamatkan esensi dan
makna desain menjasi berjiwa eksklusif. Arsitektur tersebut menggambarkan
kemiripan atau penopengan dalam bentuk bangunan yang mengadopsi gaya
arsitektur bangunan lain.
PENUTUP
Kesimpulan
Bedasarkan hasil analisis data di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1) Aspek-aspek postmodernisme yang terdapat dalam cerpen Pangeran karya Sitor
Situmorang, yaitu:
a) Ekletisisme yaitu dapat diketahui dari kebiasaan memadukan kebudayaan asing
ke dalam kebudayaan sendiri. Dalam cerpen terdapat pada bagian perabot dan
barang-barang Tiongkok dalam ruangan.
b) Parodi yaitu dapat diketahui melalui satu bentuk dialog, cerita atau verbal yang
mengekspresikan perasaan puas, tidak senang, tidak nyaman seperti sindiran atua
humor yang dibangun berdasarkan perasaan. Bagian dalam cerpen terdapat saat
tokoh ‘aku’ dan ‘pangerang’ berbincang tentang kebangsawanan.
c) Pastiche yaitu mimpi atau angan-angan , imitasi murni tanpa pretensi apa-apa.
Dalam cerpen terpadat pada bagian saat tokoh ‘aku’ berkata pada ‘pangeran’
bahwa kalau bukan manusia berbuat, ia bukan mistikus.
d) Ironi yaitu kejadian atau situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan atau
yang seharusnya terjadi, tetapi sudah menjadi suratan takdir. Kejadian yang
terdapat dalam cerpen saat tokoh ‘aku’ menyadari bahwa tokoh yang disebutnya
‘pangeran’ mengenakan kain yang tak pernah ia duga.
e) Camp yaitu pengelabuhan identitas dan penopengan. Satu model estetisme, yaitu
satu cara melihat dunia sebagai satu fenomena estetik. Dalam cerpen pada bagian
bangunan rumah tokoh ‘pangeran’ yang memiliki ciri bangunan Kota Yogya
namun di dalam ruangan memiliki arsitektur Tiongkok seperti perabot dan
barang-barang tembikar yang menunjukan perpaduan arsitektur bangunan.
DAFTAR PUSTAKA
LAMAN ALAMAT
Faisal, Radfan. 2008. “Kajian Postmodernisme pada Novel “Maryamah Karpov”
Karya Andrea Hirata”. Jurnal Artikulasi, Vol. 7 No. 1 Februari. Diambil
dari: http://ejournal.umm.ac.id (diakses pada tanggal 26 Juni 2018)
Setiawan, Johan. 2018. “Pemikiran Postmodernisme dan Pandangannya terhadap
Ilmu Pengetahuan”. Jurnal Filsafat, Vol. 28. No. 1, Hal 25-46, 2018,
ISSN: 0853-1870 (diakses pada tanggal 26 Juni 2018)