Anda di halaman 1dari 21

REALISME MAGIS DALAM NOVEL SEPERTI DENDAM, RINDU

HARUS DIBAYAR TUNTAS KARYA EKA KURNIAWAN:


PERSPEKTIF WENDY B. FARIS

PROPOSAL

Disusun oleh
Dawud Nuhandika Rahmat
NIM 140110201048

JURUSAN SASTRA INDONESIA


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS JEMBER
2020BAB I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ilmu pengetahuan dari waktu ke waktu terus mengalami perkembangan.
Perkembangan tersebut tak lepas dari keinginan manusia, sebagai individu
maupun kelompok, yang mendambakan suatu yang lebih baik untuk mengatasi
masalah-masalah dan juga untuk memenuhi kebutuhan hidup yang kian
bertambah serta terus berkembang seiring berjalannya waktu. Abad XVII adalah
awal munculnya era modernitas lalu mencapai puncaknya pada abad XVIII yang
biasa disebut era pencerahan (aufklarung). Salah satu sosok pemikir yang muncul
pada masa itu adalah Descartes dengan semboyannya ‘Aku berpikir, maka aku
ada’. Semboyan tersebut kemudian menjadi pelecut bagi pemikir-pemikir lain
untuk mengembangkan dan melakukan uji ulang terhadap hasil penemuan yang
telah lalu. Hingga kemudian modernitas menemui evolusinya, yaitu postmodern.
Bambang Sugiharto[CITATION Sug96 \p 24 \n \t \l 1057 ] menyebutkan bahwa
istilah “Postmodern” untuk pertama kalinya muncul di wilayah seni oleh Federico
de Onis pada tahun 1930 dalam karyanya, Antologia de la Poesia Espanola a
Hispanoamericana, untuk menunjukkan rekasi atas modernisme. Kemudian
banyak seniman, penulis, dan kritikus menggunakan istilah ini untuk
menunjukkan sebuah gerakan kritik terhadap modernisme. Istilah postmodern
kemudian menjadi lebih populer dan mencuat manakala digunakan oleh seorang
filsuf, Francois Lyotard dalam bukunya yang berjudul The Postmodern
Condition: A Report on Knowledge pada tahun 1979. Salah satu ciri paling
mendasar dari postmodernisme adalah keraguan atau ketidakpercayaannya
terhadap totalisasi yang di dalam ilmu pengetahuan menyatakan diri dalam bentuk
grand narrative[CITATION Far17 \p 234 \l 1057 ]. Baginya, Grand narrative
tersebut dijadikan kerangka penelitian ilmiah sekaligus dijadikan kriteria
kebenaran dan objektivitas ilmu pengetahuan, dan bahkan menjadi tolak ukur
untuk menjelaskan berbagai permasalahan dalam skala mikro kecil sekalipun.
2

Menurut Pauline Rosenau mengatakan bahwa, postmodernisme


mengganggap moderenisme telah gagal dalam mencapai cita-cita yang selama ini
didamba-dambakan oleh pendukung fanatiknya (www.academia.edu/5578215/).
Amin Abdullah[CITATION Abd95 \n \t \l 1057 ] menggugat teori-teori hasil
produk modernisme yang cara kerjanya kaku dan skematis dianggap kurang
mampu membantu memahami realitas masyarakat dan sekaligus pemecahan
masalahnya. Konsekuensi-konsekuensi negatif yang ditimbulkan oleh arus
modern perlu ditelaah ulang dan dikritisi agar manusia kedepannya mampu
menyesuaikan kehidupannya pada masa yang akan datang.
Postmodern diklaim menjadi salah satu formula yang dianggap mampu
membasuh luka-luka yang telah ditimbulkan oleh wacana modern. Dalam dunia
kesusastraan, kehadiran postmodern terkesan menjadi lawan tandingan yang
selangkah lebih maju dibandingkan kajian sastra modern. Penganut kajian sastra
modern masih terpaku pada kajian struktural karya sastra yang tertata rapi dan
memiliki aturan-aturan tertentu. Sedangkan postmodern, dengan konsep
keterbukaannya terhadap berbagai hal, telah melampaui pola-pola pengkajian
sastra modern sehingga karya sastra dapat dipahami dan dikaji sebebas mungkin.
Endraswara[CITATION Suw13 \p 169 \n \t \l 1057 ] menekankan bahwa
pada perkembangan mutakhir juga banyak karya-karya sastra yang sering “lari”
dari struktur. Tak sedikit pula tipografi-tipografi karya sastra yang sulit
dimengerti, apalagi sering muncul puisi gelap, puisi eksperimen, puisi mini kata,
dan sebagainya. Keadaan inilah yang memaksa para peneliti sastra melakuakan
terobosan. Begitu pula dengan sering hadirnya karya-karya surrealisme, jika
hanya dipahami menurut struktur atau cara modern, kemungkinan besar akan
gagal.
Jadi sebuah karya sastra tidak dapat dipisahkan dengan berbagai realita
yang ada dan juga sekaligus harus memperhatikan wacana-wacana yang muncul,
walaupun kecil dan non-literer, pada masa-masa tertentu. Hal demikian membuat
karya sastra bisa dibaca dan dipahami secara paradoksal. Paradoksal di sini
maksudnya adalah pembaca diberi ruang untuk menciptakan ulang dunia yang
diciptakan oleh pengarang karya sastra lalu mengolahnya menjadi lebih familiar
3

dengan kehidupan pembaca. Dengan demikian hal yang mulanya dianggap aneh
dan susah dicerna pikiran dapat dinaturalisasikan dan dikembalikan ke dalam
versi yang mudah dipahami.
Menurut Endraswara[CITATION Suw13 \p 168 \n \t \l 1057 ]
postmodern juga hadir untuk melengkapi hal ikhwal penelitian sastra dari sisi
modern yang sering mengesampingkan hal-hal kecil. Jika aliran modern kerap
menganggap bahwa karya baik adalah karya yang besar, karya yang lahir dari
pusat, hal demikian berbanding terbalik dengan postmodernisme. Keterpakuan
strukturalisme yang selalu berorientasi pada struktur dan tanda sebagai referensi
pemaknaan, sehingga rentan terhadap melepasnya berbagai unsur dari luar sebuah
karya sastra yang turut membentuk sebuah narasi teks tersebut.
Atas dasar di atas maka pada abad ke-20 di negara-negara Amerika Latin
muncul karya-karya fiksi dengan aliran yang selama ini termarginalkan karena
dominasi modern. Karya sastra tersebut mencoba menggabungakan realitas
keseharian masyarakat dengan hal-hal magis kepercayaan masyarakat setempat.
Belakangan aliran jenis ini disebut ‘Realisme Magis’. Seperti yang dituliskan oleh
Faris[CITATION Far04 \p 2 \n \t \l 1057 ] Magical realism is also related to
postmodernism by presenting indeterminacy, which is one of the features of
postmodernism. The indeterminacy emerges because in magical realism the
“narrative is told from realistic and magical perspective”. Realiseme magis juga
terkait denga postmodern dengan menghadirkan ketidak pastian, yang merupakan
salah satu ciri dari postmodernisme. Ketidakpastian muncul karena dalam
realisme magis “narasi diceritakan dari perspektif realitas dan magis”.
Salah satu penulis yang mempopulerkan fiksi realisme magis asal
Amerika Latin adalah Gabriel Garcia Marquez. Salah satu karyanya yang paling
terkenal adalah Cien Anos de Soledad yang terbit pertama kali pada tahun 1967.
Novel tersebut telah diterjemahkan keberbagai bahasa, salah satunya bahasa
Indonesia menjadi Seratus Tahun Kesunyian. Mencuatnya karya-karya fiksi
realisme magis pada era itu menjadi awal simbol perlawanan dominasi sastra
modern. Hal-hal yang selama ini dekesampingkan, dalam hal ini wacana magis,
mulai mendapat perhatian kembali.
4

Mengutip dari Husaen (2018:3) istilah realisme magis pertama kali


muncul pada tahun 1925 dalam esai yang ditulis Franz Roh, seorang kritikus lukis
asal Jerman. Realisme magis digunakan oleh Franz Roh untuk menyebut lukisan-
lukisan Eropa yang membawa kambali realisme setelah ekspresionisme dan
bahkan memasukkan aliran realisme ke dalam aliran ekspresionisme. Lukisan-
lukisan yang dimaksud Franz Roh realisme magis adalah lukisan-lukisan yang
memiliki gaya tidak proporsional atau menyimpang dari suatu objek yang nyata.
Menurut Franz Roh, lukisan dengan gaya aliran realisme magis menggambarkan
sesuatu yang benar-benar pernah terjadi atau pernah ada dalam realistas
kehidupan manusia namun tidak sesuai dengan yang ada atau tidak sesuai dengan
nalar manusia. Melalui esainya tadi, Franz Roh mempopulerkan istilah realisme
magis yang kemudian-hari menjadi berkembang pesat dan mempengaruhi para
penulis karya sastra seperti Gabriel Garcia Marquez, Jorge Luis Borges, Alejo
Carpentier dan beberapa penulis lainnya untuk menulis karya sastra dengan
karakter realisme magis.
Pengaruh Franz Roh dengan realisme magisnya juga tak luput menyasar
kesusastraan di Indonesia. Karakter realisme magis yang mencoba menghadirkan
kembali segala citra yang berkonotatif magis, mistis, dan irasional yang
bersumber dari karya-karya mitologis, dongeng, dan legenda yang hidup secara
tradisional yang kadang sudah terlupakan (www.janushead.org/5-2/), yang juga
kerap muncul pada karya-karya kesusastraan Indonesia. Karakter realisme magis
dalam kesusastraan Indonesia dapat kita temui salah satunya pada karya-karya
milik Seno Gumira Ajidarma. Melalui karyanya Seno mampu menggunakan
logika dongeng untuk menyatakan berbagai permasalahan di Indonesia pada masa
ini. Selain Seno Gumira Ajidarma, peneliti juga menemukan karakter realisme
magis dalam novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibalas Tuntas karya Eka
Kurniawan.
Eka Kurniawan adalah seorang sastrawan yang lahir di Tasikmalaya,
Jawa Barat, pada tanggal 28 November 1975. Ia menyelesaikan studi dari Fakultas
Filsafat pada tahun 1999 di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Beberapa karya
yang telah diterbitkan antara lain karya non-fiksinya Pramoedya Ananta Toer dan
5

Sastra Realisme Sosialis (1999), Kumpulan cerpen Corat-Coret Di Toilet (2000),


Gelak Sedih (2005), Cinta Tak ada Mati (2005), dan Perempuan Patah Hati Yang
Kembali Menemukan Cinta Melalui Mimpi (2015). Sedangkan novel-novel karya
Eka Kurniwan yang telah dipublikasikan adalah Cantik Itu Luka (2002), Lelaki
Harimau (2004), Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014), dan O
(2016).
Dari sekian banyak karya sastra yang dikarang oleh Eka Kurniawan,
Novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas adalah karya yang sangat
fenomenal dan meraih kesuksesan hingga diterjemahkan dalam berbagai bahasa
serta diterbitkan di sembilan negara. Novel Seperti Dendam, Rindu Harus
Dibayar Tuntas, yang selanjutnya akan disingkat menjadi SDRHDT, mengisahkan
hidup seorang lelaki bernama Ajo Kawir yang mengalami impotensi sejak remaja.
Awal mula kejadiannya ketika Ajo Kawir dan sahabat karibnya, Si Tokek, sedang
mingintip dua oknum polisi yang sedang memerkosa seorang perempuan gila di
dalam rumah. Namun sialnya Ajo Kawir kepergok oleh salah seorang oknum
polisi tersebut lalu diseret masuk kedalam rumah. Di dalam rumah, Ajo Kawir
dipaksa menonton adegan pemerkosaan yang dilakukan kedua oknum polisi
tersebut dari dekat, bahkan juga dipaksa untuk melakakukan aksi bejat seperti
yang dilakukan oleh kedua oknum polisi dengan disertai todongan moncong pistol
di kepala Ajo Kawir. Dalam situasi demikian, Ajo Kawir menjadi ciut dan pucat
pasi. Saking ketakutannya, kemaluan Ajo Kawir mendadak ‘stroke’, tak
terangsang terhadap apa yang ada di hadapannya saat itu. Kedua oknum polisi
yang menyadari akan hal itu langsung melontarkan kata ejekan bahwa ia lelaki
payah dan tidak berguna.
Betapa peristiwa pemerkosaan perempuan gila itu menjadi petaka bagi
kehidupan Ajo Kawir dan membekas di benak kepalnya. Ajo Kawir menjadi lelaki
yang tumbuh dengan trauma. Sebagai lelaki dengan kemaluan yang tak bisa
berdiri, ia berpikir bahwa kekerasan adu fisik merupakan jalan satu-satunya untuk
mengalihkan traumatiknya. Hingga suatu adegan perkelahian yang berujung
pembunuhan mengantarkan Ajo Kawir pada jeruji penjara.
6

Selepas keluar dari penjara Ajo Kawir memutuskan untuk hidup damai
dengan mencari ketenangan batin. Ia mencoba mencari hikmah atas petaka
kemaluannya yang tidak bisa berdiri. Proses perjalanan spiritualisme yang
dilakaukan Ajo Kawir sangat unik. Ia kerap berdialog dengan kemaluannya
sendiri dalam setiap penentuan keputusan dalam hidupnya. Dialog-dialog
sederhana dengan kemaluan menjadi ruang perenungan yang acak kali
memunculkan keyakinan yang tidak biasa.
Atas dasar paparan tersebut, novel SDRHDT dirasa perlu untuk diungkap
kadar realisme magisnya. Peneliti memilih judul “Realisme Magis dalam Novel
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas Karya Eka Kurniawan: Perspektif
Wendy B. Faris”, karena kehadiran unsur-unsur yang nyata dan unsur yang magis
diteliti menggunakan lima karakteristik realisme magis yang dirumuskan oleh
Wendy B. Faris. Lima karakteristik tersebut berguna sebagai usaha memahami
peristiwa-peristiwa magis yang tidak bisa dijelaskan dengan ilmu pengetahuan
emperisme barat sekaligus akan mempermudah pembaca dalam melihat
bagaimana cara pengarang memperlihatkan realisme magis yang ternarasikan
dalam teks yang dibuatnya.. Peneliti-peneliti lain kerap menggunakan konsep lima
karakteritik realisme magis tersebut sebagai ‘pisau bedah’ dalam penelitiananya,
hasil penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya menjadi referensi bagi penulis
dalam memahami lebih dalam mengenai konsep karakteristik realisme magis
sekaligus pengaplikasiannya dalam objek penelitian. Dengan demikian hasil
penelitian akan lebih tepat dalam menentukan karakteristik dalam novel SDRHDT
sebagai novel dengan aliran realisme magis.

1.2 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dipaparkan di atas, maka
berikut pokok permasalahan yang ditekankan pada penelitian ini.
1. Bagaimana keterkaitan antarunsur struktural dalam novel SDRHDT
karya Eka Kurniawan?
7

2. Bagaimana karakteristik realisme magis yang dinarasikan dalam


novel SDRHDT karya Eka Kurniawan berdasarkan perspektif
Wendy B. Faris?
3. Bagaimana kadar realisme magis dalam novel SDRHDT karya Eka
Kurniawan?

1.3 Tujuan dan Manfaat


1.3.1 Tujuan
1. Mendeskripsikan keterkaitan antarunsur struktural dalam novel
SDRHDT karya Eka Kurniawan.
2. Mendeskripsikan karakteristik realisme magis yang dimunculkan
dalam novel SDRHDT karya Eka Kurniawan berdasarkan perspektif
Wendy B. Faris yang meliputi The irreducible elements (elemen
yang tidak dapat direduksi), Unsettling doubts (keraguan yang
meresahkan), The phenomenal (dunia yang fenomenal), Merging
realms (alam yang bercampur), The disruption of time, space and
identity. (gangguan pada waktu, tempat, dan identitas).
3. Mendeskripsikan kadar realisme magis dalam novel SDRHDT karya
Eka Kurniawan.
4. Manfaat
1. Dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam dunia kesusastraan
Indonesia terkait dengan wacana postmodern, khususnya sub
realisme magis.
2. Menjadi bahan referensi analisis dengan perspektif sejenis.
3. Memberikan pengalaman baru bagi penikmat sastra dalam
mengapresiasi novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
karya Eka Kurniawan

1.4 Tinjauan Pustaka


Novel SDRHDT dibahas oleh Akhlis Fajar mahasiswa program studi
Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga Surabaya, dalam
8

skripsi yang berjudul “Memori sebagai Pembentuk Karakteristik Tokoh dalam


Novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas Karya Eka Kurniawan”
(2015). Teori yang digunakan dalam penelitian tersebut adalah teori psikologi
Behaviour Skinner yang didalamnya membahas tentang respon dan stimulus.
Menurut Akhlis Fajar memori merupakan tahapan stimulus yang di dalamnya
terdapat sensasi dan persepsi dalam penentuan memori. Respon terdiri dari proses
berpikir yang menghasilkan sikap. Hasil dari penelitian yang dilakukan oleh
Akhlis Fajar menunjukkan bahwa adanya keterkaitan antara memori masa lalu
dengan pembentukan karakter tokoh dalam novel SDRHDT.
Muh. Iqbal dalam artikelnya yang berjudul “Unsur Aporia dalam Novel
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas Karya Eka Kurniawan (Suatu
Tinjauan Dekontruksi Jacques Derrida)” (2019) mendeskripsikan unsur aporia
dengan menggunakan teori dekontruksi Jacques Derrida yakni berupa makna-
makna paradoks yang terkandung dalam novel SDRHDT. Hasil dari penelitiann
tersebut menemukan adanya kebenaran absolut dan penangguhan kebenaran
absolut yang menimbulkan unsur aporia.dalam novel SDRHDT.
Sebuah jurnal oleh Prasetyo dengan judul “Seksualitas dalam Novel
Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas Karya Eka Kurniawan” (2017)
membahas perilaku seksual pada para tokoh yang terdapat dalam novel tersebut
menggunakan pendekatan psikologi sastra. Teori yang digunakan oleh penulis
dalam penelitian tersebut adalah teori Psikoanalisis Sigmund Freud. Jurnal
tersebut dapat diketahui terdapat sikap pengalihan akan hasrat seksual. Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Gregorius terdapat setidaknya ada tiga bentuk
pengalihan, yakni: sublimasi, mimpi, dan fantasme yang dapat ditemukan pada
tokoh Ajo Kiwir, Si Iteung, dan Mono Ompong. Ketiga bentuk pengalihan akan
hasrat seksual diatas menjelaskan bahwa hasrat seksual dapat mempengaruhi
perilaku sosial sesorang yang dalam hal ini mengacu pada para tokoh yang
terdapat dalam novel SDRHDT.
Ambarwati, mahasiswa universitas Gajah Mada jurusan Sastra Indonesia,
dalam skripsinya yang berjudul “Novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibalas
Tuntas Karya Eka Kurniawan: Analisis Alur” (2018) membahas novel tersebut
9

dengan memfokuskan pembahasan pada alur dengan teori struktural model Robert
Stanton. Dari penelitian tersebut menghasilkan tiga pembahasan, yakni; episode-
episode yang tidak berurutan, tahapan alur, suspense, dan surprise ending. Novel
ini memiliki alur utama dan alur bawahan. Suspense dalam novel ini disebabkan
episode-epidose disusun tidak runtut sehingga menimbulkan ketegangan dan
ketidakdugaan alur. Episode-episode yang tidak berurutan menyebabkan
penundaan alur dengan ending yang mengejutkan.
Selanjutnya, kajian terhadap novel yang sama ditulis dalam bentuk
artikel dengan judul “Kritik Sastra: Dominasi Maskulin dalam Novel Seperti
Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas” oleh Pangaribuan (2017). Pembahasan
dalam artikel tersebut memfokuskan analisis pada dominasi maskulinitas yang
terdapat pada tokoh Iteung. Hasil dari pembahassan tersebut Rinto melihat Eka
Kurniawan seperti sedang membalik konsep maskulinitas. Tokoh Iteung seolah
merepresentasikan bahwa bukan hanya laki-laki saja yang bisa kuat, tetapi
perempuan juga. Mahluk yang dianggap lemah ini pun bisa berkelahi, bahkan dia
pun bisa membunuh.
Dari tinjauan pustaka yang telah dipaparkan di atas dapat diketahui
bahwa novel SDRHDT belum dikaji pada aspek realisme magis. Dengan demikian
penelitian ini merupakan penelitian baru dan tidak mengulang penelitian yang
sudah ada sebelumnya.

1.5 Landasan Teori


Landsan teori adalah landasan dasar berisi seperangkat definisi atau
konsep yang telah disusun sistematis tentang variabel-variabel dalam sebuah
penelitian yang menjadi acuan peneliti dalam melakukan kajian agar penelitian
tersebut terarah dan sesuai dengan tujuan penelitian. Teori utama yang digunakan
dalam skripsi ini adalah konsep karakterisik realisme magis Wendy B. Faris dan
pendekatan struktural untuk mengklasifikasikan unsur-unsur instrinsik dalam
novel. Masing-masing akan dijelaskan dalam sub bab berikut.
10

1.5.1 Teori Struktural


Menurut Endraswara[CITATION Suw13 \p 49 \n \t \l 1057 ] strukturalis
pada dasarnya merupakan cara berpikir tentang dunia yang terutama berhubungan
dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Dalam pandangan ini karya
sastra diasumsikan sebagai fenomena yang memiliki struktur yang saling terkait
satu sama lain. Struktur tersebut memiliki bagian yang komplek, sehingga
pemaknaan harus diarahkan ke dalam hubungan antar unsur secara keseluruhan.
Keseluruhan akan lebih berarti dibanding bagian atau fragmen stuktur. Endaswara
juga menulis bahwa strukturalis adalah memandang karya sastra sebagai teks
mandiri. Penelitian dilakukan secara objektif yaitu menenkankan unsur instrinsik
karya sastra. Kepaduan antar unsur instrinsik inilah yang membuat karya sastra
berwujud. Unsur-unsur instrinsik dalam karya sastra novel antara lain sebagai
berikut;
a) Tema
Menurut Stanton dan Kenny [CITATION Bur05 \p 25 \l 1057 ]
tema adalah makna yang dikandung oleh sebuah cerita. Namun, ada
banyak makna yang dikandung dan ditawarkan oleh cerita itu, maka
makna khusus yang mana yang dapat dinyatakan sebagai tema. Tema
disaring dari motif-motif yang terdapat dalam karya yang bersangkutan
yang menentukan hadirnya peristiwa-peristiwa, konflik, dan situasi
tertentu.
b) Penokohan dan Perwatakan
Menurut Nurgiyantoro[CITATION Bur05 \p 176 \n \t \l 1057 ]
tokoh dapat digolongkan berdasarkan masing-masing peranannya. Dilihat
dari segi keterlibatannya dalam keseluruhan cerita, tokoh dapat
dibedakan menjadi dua, yakni tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh
utama adalah tokoh yang mendominasi atau paling diutamakan
penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Oleh karena hal tersebut,
tokoh utama dapat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan.
Sedangkan tokoh tambahan adalah tokoh yang membantu tokoh utama
dalam penceritaan.
11

Menurut Nurgiyantoro[CITATION Bur05 \p 181 \n \t \l 1057 ]


berdasarkan perwatakannya, tokoh cerita dapat dibedakan ke dalam
tokoh sederhana dan tokoh bulat. Tokoh sederhana adalah tokoh yang
hanya memiliki satu sifat watak tertentu. Sifat dan tingkah laku seorang
tokoh sederhana bersifat datar, monoton, hanya mencerminkan satu
watak tertentu. Tokoh bulat adalah tokoh yang diungkap dalam berbagai
kemungkinan sisi kehidupan, kepribadian, dan jati diri. Tokoh bulat
bersifat dinamis dan tidak monoton.
c) Latar/setting
Latar dapat dibedakan ke dalam tiga bagian, yaitu latar tempat,
latar waktu, dan latar sosial.
1) Latar tempat adalah hal yang berkaitan dengan masalah geografis atau
menyangkut deskripsi tempat suatu peristiwa terjadi[CITATION
Bur05 \p 229 \t \l 1057 ]
2) Latar waktu adalah hubungan dengan maslah “kapan” terjadinya
peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam sebuah karya sastra. Latar
waktu harus dikaitkan dengan latar tempat dan juga latar sosial karena
pada kenyataannya sangat berkaitan.[CITATION Bur05 \p 230 \t \l
1057 ]
3) Latar sosial adalah hal yang berhubungan dengan perilaku kehidupan
sosial masyarakat disuatu tempat yang diceritakan dalam karya sastra.
Tata cara kehidupan sosial masyarakat berupa kebiasaan hidup, adat
istiadat, tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berfikir dan
bersikap. Disamping itu, latar sosial juga berhubungan dengan status
sosial tokoh yang bersangkutan, misalnya rendah, menengah, atas.
[CITATION Bur05 \p 233 \l 1057 ]
d) Plot (alur)
Menurut Stanton[CITATION Afe04 \l 1057 ] mengemukakan
bahwa plot adalah cerita yang berisi urutan kejadian, namun kejadian itu
hanya dihubungkan dengan sebab-akibat, peristiwa yang satu disebabkan
atau menyebabkan terjadinya peristiwa yang lain sehingga menjadi
12

kesatuan cerita yang utuh. Menurut Tasrif (dalam Lubis, 1981) plot
dibagi menjadi lima tahap bagian, yakni; tahap situation, tahap
generating circumstances, tahap rising action, tahap climax, tahap
denouement.
1) Tahap situation adalah tahap penyituasian. Tahap ini berisi pengenalan
situasi latar dan tokoh cerita. Tahap ini merupakan tahap pembukaan
cerita, pemberian informasi awal, dan lain-lainnya yang berfungsi
untuk melandastumpui cerita yang akan dikisahkan pada tahap
berikutnya.
2) Tahap generating circumstances adalah tahap pemunculan konflik.
Tahap ini merupakan awal mula masalah-masalah dan peristiwa-
peristiwa yang menyulut terjadinya konflik mulai dimunculkan.
3) Tahap rising action adalah tahap peningkatan konflik. Konflik yang
telah dimunculkan pada tahap sebelumnya semakin berkembang dan
dikembangkan kadar intensitasnya. Peristiwa-peristiwa dramatik yang
menjadi inti cerita semakin mencekam dan menegangkan.
4) Tahap climax adalah tahap dimana konflik yang terjadi, yang
menimpa pada para tokoh mencapai titik intensitas puncak.
5) Tahap denouement merupakan tahap penyelesaian. Konflik yang telah
mencapai klimaks diberi penyelesaian dan ketegangan mulai
mengendor. Tahap ini biasanya terdapat pada akhir cerita.
6) Konsep Realisme Magis
Istilah realisme magis pertama kali muncul pada tahun 1925 sebagai
suatu istilah kritik pada bidang seni oleh Franz Roh, kritikus seni asal Jerman. Ia
menggunakan istilah realisme magis untuk melakukan karakteristik hasil karya
sebuah kelompok seni lukis dengan aliran’postekspreesionis’, aliran yang
menggabungkan hal-hal biasa dengan yang fantastik. Istilah realisme magis pun
makin berkembang dan merambah dalam dunia kesusastraan. Tidak berbeda jauh
dengan istilah realisme magis dalam bidang kritik seni, dalam kesusastraan
realisme magis juga dianggap mencoba memadukan sesuatu yang real (nyata)
dengan suatu hal yang magic (magis).
13

Franz Roh (dalam Faris, 2004:15) menegaskan “with the word


‘magical’, as opossed to 'mystical'. I wish to indicate thet the mystery does not
descend to the represented world, but rather hides annd palpitates behind it”.
bahwasannya “dengan kata ‘magis’, sebagai lawan dari kata ‘mistik’, Franz Roh
berharap dapat menunjukkan bahwa misteri tidak lepas dari dunia yang
diwakilinya, tetapi lebih pada bersembunyi dan berdenyut dibelakang dunia itu.
Dengan kata lain dua elemen tersebut, yang nyata dan yang magis selalu hidup
berdampingan secara natural.
Angel Flores berpendapat bahwa realisme magis melibatkan peleburan
hal-hal riil dengan hal-hal fantastik, atau dalam kata-katanya,”suatu
penggabungan atau peleburan dari realisme dan fantasi” (www.indra-
tjahjadi.blogspot.com/2011/08/). Narasi-narasi yang bersifat magis, ataupun yang
irrasional yang berasal dari mitologi, dongeng, ataupun legenda yang hidup secara
tradisional, kerap memiliki sumbangsih dalam membangun teks karya sastra
realisme magis. Narasi-narasi magis dan irrasional tersebut menjadi sebuah hal
yang fenomenal dan coba ditampilkan secara detail sehingga menarik minat.
Bentuk realisme magis dalam dunia kesusastraan semakin populer
manakala Gabriel Garcia Marquez mendapatkan penghargaan nobel lewat
novelnya yang berjudul One Hundred Years of Solitude (1967). Novel tersebut
sukses membuat para pembacanya sangat terkejut dengan peristiwa-peristiwa
magis yang ditampilkan di dalam cerita. Novel tersebut juga menjadi inspirasi
bagi pengarang-pengarang di tanah pascakolonial mengingat mentalitas magis
yang dimiliki oleh masyarakat bekas jajahan yang tidak benar-benar hilang oleh
ilmu pengetahuan empiris barat yang dibawa oleh bangsa Eropa.
Faris[CITATION Far04 \p 14 \n \t \l 1057 ] memakai istilah Roland
Barthes tentang detail-detail magis untuk mewakili sebuah keberangkatan yang
jelas dari realisme, detail tersebut mempertanyakan tentang proses mimesis
spesifik lokasi dari realisme yang tidak sekedar memberi informasi tertentu,
namun juga ide bahwa cerita tersebut adalah nyata. Faris mengemukakan bahwa
peristiwa-peristiwa magis tidak akan ditemukan penjelasannya secara rasional.
Peristiwa magis tersebut akan terus berjalan sebagaimana mestinya meski tidak
14

akan pernah dijelaskan dengan akal logika yang diformulasikan oleh ilmu
pengetahuan emperisme barat. Realisme magis merupakan bentuk peleburan dua
perspektif yang bertentangan. Di satu sisi berbasis pada cara pandang rasional, di
sisi lain menerima akan hal-hal yang bersifat irasional sebagai sebuah realitas
yang prosaik.
Atas dasar itu terdapat lima ciri karakteristik yang diformulasikan oleh
Wendy B. Faris untuk membatasi realisme magis dalam sebuah teks, yaitu:
1) The irreducible elements (elemen yang tidak dapat direduksi);
2) The phenomenal world (dunia yang fenomenal);
3) Unsettling doubts (keraguan yang meresahkan);
4) Merging realms (alam yang bercampur);
5) The disruption of time, space and identity. (retakan pada waktu,
tempat, dan identitas).
The Irreducible Elements adalah elemen yang tidak dapat direduksi,
khususnya dalam teks objek kajian realisme magis. Narasi teks yang
mengandung irreducible elementsdalam sebuah karya sastra tidak dapat dijelaskan
dengan hukum-hukum semesta yang sudah diformulasikan oleh para pemikir
empiris barat, seperti logika, pengetahuan umum atau keyakinan yang dianut
(Husaen, 2018:20). Realisme magis memerluas realitas fiksi untuk memasukkan
berbagai peristiwa yang biasa disebut sebagai yang magis dalam kenyataan. Akan
tetapi hal tersebut bukan sesuatu yang sepele karena terdapat banyak variasi
kenyataan yang muncul. Sesutu yang tidak dapat dijelaskan tersebut disampaikan
dengan cara yang biasa sehingga terasa menjadi sesuatu yang seperti nyata. Di sisi
lain, yang magis tetap terlihat walaupun digiring melalui narasi sebagai sesuatu
yang seolah-olah biasa saja dengan penggambaran yang detail dan konkret. Faris
menegaskan bahwa elemen-elemen magis yang digunakan dalam fiksi realisme
magis biasanya menyoroti isu sentral dalam teks yang dapat dilihat dalam
konteks-konteks fenomena yang terjadi di luar teks karya sastra itu sendiri. Dalam
menyoroti isu sentral, sering kali menyebabkan gangguan logika sebab-akibat.
Untuk mengacaukan logika sebab-akibat tersebut, maka unsur-unsur magis yang
terkait tampak diabaikan sehingga hubungan sebab-akibat tersebut pun seolah-
15

olah memiliki derajat yang sama dengan fenomena yang magis. Bahkan
sebaliknya, fenomena nyata justru tampak menjadi sesuatu yang unik dan terkesan
konyol karena ketakjuban narator maupun tokoh-tokohnya atasa fenomena
tersebut.
Unsettling Doubt adalah kecemasan yang mengkhawatirkan. Pembaca
mungkin akan merasa cemas karena muncul kekhawatiran dalam sebuah usaha
untuk mempertemukan dua narasi kejadian yang bertentangan dalam karya sastra
realisme magis. Dalam narasi teks realisme magis, mungkin suatu hal terlihat
seperti mimpi tetapi hal tersebut dapat disebut bukan sebuah mimpi (Husaen
2018:20). Narasi realisme magis hampir seperti memunculkan kemungkinan
untuk menginterpretasikan apa yang mereka ceritakan sebagai sebuah mimpi,
sekaligus untuk mencegah interpretasi tersebut, setelah sebelumnya
menggambarkan sebagai sebuah kemungkinan. Dengan kata lain unsetling doubt
menyebabkan pembaca menjadi cemas dan ragu-ragu. Ada tiga variasi keraguan
berdasarkan paparan Faris (2004:17), yakni keraguan yang dipicu oleh teks,
karaguan yang dipicu oleh properti objek, dan keraguan yang dipicu oleh latar
budaya pembaca itu sendiri. Perbedaan latar belakang budaya menyebabkan
perbedaan pemahaman antara pembaca satu dengan pembaca yang lainnya. Akibat
adanya keragu-raguan yang meresahkan juga dapat mengaburkan the irreducible
element yang konsekuensinya tidak selalu mudah dilihat sebagaimana demikian.
Unsettling doubt merupakan strategi pengarang untuk mengatasi keraguan yang
dialami pembaca karena perbedaan latar belakang ilmu pengetahuan dan latar
belakang budaya terkait dengan hadirnya elemen-elemen yang tak tereduksi pada
narasi teks. Strategi yang dilakukan pengarang untuk membuat peristiwa-
peristiwa magis di dalam cerita tersebut melebur dengan adegan-adegan sehari-
hari. Strategi tersebut semacam stimulus bagi pembaca untuk menjadikan
peristiwa-peristiwa magis dapat diterima dan dipahami oleh pembaca.
The Phenomenal World adalah dunia yang fenomenal. Mengutip dari
Husaen (2018:21) narasi realisme magis secara detail menjelaskan sebuah
kehadiran kuat dunia yang fenomenal, dalam hal ini dunia yang fenomenal adalah
paparan kenyataan dalam teks realisme magis. The phenomena world muncul dari
16

fakta bahwa realisme magis mencakup dua macam peristiwa, yakni peristiwa
magis dan peristiwa yang nyata. Peristiwa magis adalah narasi yang tidak
biasanya digambarkan kepada pembaca fiksi realis karena peristiwa terebut tidak
dapat diverifikasi, sedangkan wilayah riil (nyata) adalah peristiwa yang dapat
diverifikasi. Jadi untuk menghindari teks menjadi sebuah karya fantasi yang
meninggalkan alarm riil secara utuh, realisme magis mengadopsi dunia nyata
demi menjaga ke-realisa-an dari suatu karya. Dunia nyata dideskripsikan secara
rinci dan panjang lebar dengan maksud meyakinkan atas sebuah dunia yang
fenomenal. Deskripsi realistik menciptakan sebuah dunia fiksi yang menyerupai
seperti dunia yang kita tempati. Detail-detail yang dimunculkan tidak sekedar
bertujuan untuk menyampaikan informasi tertentu, namun juga bertujuan untuk
membuktikan bahwa cerita tersebut memiliki keterkaitan hubungan dengan
kenyaaan yang ada pada dunia nyata. Selain melalui penggambarannya dalam
teks, dunia yang fenomenal dapat ditemukan melalui identifikasi tempat, benda,
tokoh, dan peristiwa yang dapat dilacak melalui referensinya dalam sejarah.
Merging Realms adalah alam yang bercampur, sebuah narasi yang
menimbulkan perbedaan kenyataan. Merging realms condong kepada penulis
yang memunculkan dunia yang hampir mirip dengan dunia saat ini, bukan
‘fantasi’ dunia tetapi lebih pada ‘dunia yang difantasikan’ atau ‘dunia nyata secara
magis (Husaen, 2018:21). Dalam proses pencampuran atau pemindahan antar
dunia, realisme magis memburamkan batas antara yang riil dan yang fiksi dengan
cara tanpa mediasi antara kenyataan yang berbeda, hal ini berarti bahwa realisme
magis juga mengaburkan batas antara fakta dan fiksi. Wendy B. Faris menyatakan
bahwa melalui narasi yang membaurkan dua sisi, realisme magis membuka ruang
antara (a space of uncertainty) dan ruang ketidakpastian (a space of uncertainty),
yaitu ruang-ruang yang mendekatkan atau mempertemukan alam yang berbeda.
Dalam proses peleburan ke dua dunia yang kontradiktif tersebut maka visi
realisme magis terlihat berada pada ruang antara dua dunia yang diperluas dan
bukan lagi merupakan masalah mana yang real maupun imajiner namun lebih
pada sisi lain dari realitas yang tampak.
17

The Disruption of Time, Space and identity adalah gangguan terhadap


waktu, tempat dan identitas. Mengutip dari Husaen (2018:21) The Disruption of
Time, Space and identity sebagai kelanjutan dari penggabungan dua dunia yang
terpisah, narasi realisme magis mengganggu ide yang diakui atau dispekati oleh
masyarakat tentang waktu, ruang, dan identitas. Pada bagian ini, Faris membuka
argumennya dengan mengutip Jameson yang mengatakan bahwa bentuk-bentuk
spasial dan temporal tradisional tersisihkan oleh homogenitas yang dibawa oleh
realisme. Apabila hitungan-hitungan temporal modern menjadi sasaran bagi visi
realisme magis untuk menghadirkan kembali bentuk-bentuk hitungan temporal
yang magis yang tersisihkan oleh paham modern diatas, maka bnetuk-bentuk
spasial yang juga diasingkan oleh konsep tata ruang modern juga kembali
dihadirkan oleh konsep realisme magis. Dalam realisme magis batas-batas spasial
magis yang semestinya terpisah dari spasial real, mengalami kebocoran ke seluruh
bagian teks dan sebaliknya.
Dari pemaparan tentang elemen-elemen realisme magis menurut Wendy
B. Faris tersebut, peneliti dapat mengetahui batasan-batasan realisme magis dalam
teks yang akan dianalisis.

1.6 Metode Penelitian


Dalam skripsi berjudul “Realisme Magis dalam Novel Seperti Dendam,
Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan: Perspektif Wendy B. Faris”
ini peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif, peneliti
menggunakan novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka
Kurniawan sebagai objek penelitian sekaligus sebagai sumber data. Selain itu juga
menggunakan buku-buku dan sumber lainnya sebagai acuan yang relevan dengan
metodologi dan teori untuk menganalisis data mengenai masalah-masalah
realsime magis dalam novel tersebut. Lalu peneliti memberikan deskripsi atas
fakta-fakta yang terungkap. Dengan demikian penelitian akan menjadi fokus dan
terarah.
18

1.6.1 Pengumpulan Data


Langkah konkret pertama yang akan dilakukan dalam penelitian ini
adalah mengumpulkan data-data tekstual, yakni data-data berupa satuan-satuan
tekstual yang ada di dalam novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas
karya Eka Kurniawan sebagai data primer. Dan data sekunder berupa data-data
tekstual yang bersumber dari berbagai tulisan atau wacana yang mendukung dan
relevan dengan data primer.
Data primer dianalisis secara objektif dengan menggunkan teori
struktural guna mencari keterkaitan antarunsurnya yang perlu ditekankan adalah
semua penafsiran unsur-unsur harus dihubungkan dengan unsur yang lain
sehingga mewujudkan kepaduan makna struktur. Kemudian data primer
diidentifikasi teks dalam novel yang menggambarkan atau yang berhubungan
dengan kelima karakteristik realisme magis Wendy B. Faris mengenai, yakni; the
irreducible elemen yang tidak dapat direduksi), unsettling doubts (keraguan yang
meresahkan), the phenomenal world (dunia yang fenomenal), merging realms
(alam yang bercampur), the distruption of time, space and identity (gangguan pada
waktu, tempat, dan identitas).
1.6.2 Analisis Data
Pertama-tama peneliti membaca dengan cermat dan berulang-ulang novel
yang menjadi objek penelitian. Kemudian melakukan identifikasi, mengkaji, dan
mendeskripsikan unsur-unsur instrinsik dalam novel Seperti Dendam, Rindu
Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan dengan pendekatan struktural guna
memudahkan analisis pada tahap selanjutnya.
Selanjutnya peneliti melakukan identifikasi novel Seperti Dendam,
Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan untuk mencari dan
mengumpulkan bahan yang mendukung objek analisis. Kemudian mendata teks
dari novel Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan
yang berkaitan dengan kelima karakteristik realisme magis yang disusun oleh
Wendy B. Faris.
19

1.7 Sistematika Penulisan


Sistematika pembahasan dalam penelitian ini dilakakukan dengan
menggunakan pendekatan struktural dan pendekatan pragmatik yang nantinya
akan fokus pada kajian postmodern dan realisme magis. Sistematika pembahasan
dalam penelitian ini adalah bab 1 berisi pendahuluan yang menjelaskan adanya
latar belakang masalah sehingga peneliti mengambil novel Seperti Dendam,
Rindu Harus Dibayar Tuntas karya Eka Kurniawan sebagai objek penelitian dan
bab 2 berisi tentang pembahasan gambaran umum novel yang akan dikaji dan
kepengarangan Eka Kurniaawan. Selanjutnya pada bab 3 berisi analisis unsur
struktural yang terdiri atas tema, penokohan dan perwatakan, latar, konflik, dan
alur. Bab 4 membahas dan membedah serta memaparkan isi novel SDRHDT
dengan konsep realisme magis perspektif Wendy B. Faris. Bab 5 berisi tentang inti
pembahasan yang telah dikaji. Dibagian akhir yaitu lampiran yang berisi sinopsis
novel SDRHDT.
20

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, A. 1995. Falsafah Kalam di Era Postmodernisme . Yogyakarta: Pustaka


Pelajar.

Endraswara, S. 2013. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: CAPS (Center


for Academic Publishing Service).

Faris, W. B. 2004. Ordinary Enchantments: Magical Realism and the


Remystification of Narrative. Vanderbilt: Vanderbilt University Press.

Faruk. 2017. Pengantar Sosiologi sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Husaen, M. S. 2018. "Realisme Magis dalam Novel Lelaki Harimau Karya Eka
Kurniawan : Kajian Postmodern". Jember: Sastra Indonesia Fak. Ilmu
Budaya UNEJ.

Kurniawan, E. 2014. Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka Utama.

Lubis, M. 1981. Teknik Mengarang. Jakarta: Kurnia Esa.

Nurgiyantoro, B. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada


University Press.

Sugiharto, I. B. 1996. Postmodernisme: tantangan bagi filsafat. Yogyakarta:


Kanisius.

Widayat, A. 2004. Pengantar Pengkajian Sastra. Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai