Anda di halaman 1dari 42

MEMUPUK KARAKTER ANAK MELALUI

PEMBELAJARAN APRESIASI SASTRA LISAN (-ANAK)

Setya Yuwana Sudikan


ILMU SASTRA LISAN
 folklor,
 tradisi lisan, dan
 sastra lisan.
Folklor
 sebagian kebudayaan suatu kolektif yang
tersebar dan diwariskan turun-menurun di
antara kolektif macam apa saja, secara
tradisional dalam versi yang berbeda, baik
dalam bentuk lisan maupun contoh yang
disertai dengan gerak isyarat atau alat
pembantu pengingat (mnemonic device).
Jan Harold Brunvand
(1) verbal folklore (folklor lisan),
(2) partly verbal folklore (folklor setengah
lisan),
(3) non-verbal folklore (folklor bukan lisan).
Folklor lisan, mencakup:
1) ungkapan tradisional (peribahasa, pepatah,
wasita adi);
2) nyanyian rakyat,
3) bahasa rakyat (dialek, julukan, sindiran,
titel-titel, wadanan, bahasa rahasia, dan
lain-lain);
4) teka-teki; dan
5) cerita rakyat (dongeng, dongeng suci atau
mite, legenda, sage, cerita jenaka, cerita
cabul, dan lain-lain).
Folklor setengah lisan berupa:
1) drama rakyat (kethoprak, ludruk, lenong, wayang orang,
wayang kulit, topeng, langendriyan, dan lain-lain);
2) tari (srimpi, kuda lumping, kupu-kupu, serampang dua
belas, dan lain-lain);
3) kepercayaan dan takhayul (gugon tuhon);
4) upacara-upacara (ulang tahun, kematian, perkawinan,
khitanan, pertunangan, dan lain-lain);
5) permainan rakyat dan huburan rakyat (macanan, gobak
sodor, sundamanda, dan lain-lain);
6) adat kebiasaan (gotong royong, batas umur
pengkhitanan anak, dan lain-lain);
7) pesta-pesta rakyat (wetonan, sekaten, dan lain-lain).
Folklor bukan lisan dibagi menjadi 2:
1) berupa material, yakni: mainan (boneka),
makanan dan minuman, peralatan dan senjata,
alat-alat musik, pakaian dan perhiasan, obat-
obatan, seni kerajinan tangan, dan arsitektur
rakyat (misalnya: bentuk rumah).
2) berupa bukan material, yaitu: bahan-bahan
folklor yang berupa: musik (gamelan (Sunda,
Bali, Jawa), dan bahasa isyarat (mengangguk
tanda setuju, menggelengkan kepala berarti
tidak setuju, dan lain-lain)
Tradisi lisan (oral tradition):
Berbagai pengetahuan dan adat kebiasaan
yang secara turun-menurun disampaikan
secara lisan dan mencakup hal-hal tidak
hanya berisi cerita rakyat, mite, dan legenda
(….) tetapi menyimpan sistem kognasi
(kekerabatan) asli yang lengkap, sebagai
contoh sejarah, praktik hukum, hukum adat,
pengobatan
Sastra lisan:
* sastra yang disampaikan dari mulut ke
telinga, ke mulut, ke telinga, dan
seterusnya.
Ciri-ciri pengenal sastra lisan:

(a) penyebarannya melalui mulut,


maksudnya ekspresi budaya yang disebarkan,
baik dari segi waktu maupun ruang melalui
mulut;
(b) lahir di dalam masyarakat yang masih
bercorak desa masyarakat di luar kota, atau
masyarakat yang belum mengenal huruf;
(c) menggambarkan ciri-ciri budaya
sesuatu masyarakat;
(d) tidak diketahui siapa pengarangnya dan
Lanjutan
(e) bercorak puitis, teratur, dan berulang-
ulang;
(f) tidak mementingkan fakta dan kebenaran,
lebih menekankan pada aspek khayalan/
fantasi yang tidak diterima oleh masyarakat
modern, tetapi sastra lisan memiliki fungsi
penting di dalam masyarakat;
(g) terdiri atas berbagai versi, dan
(h) menggunakan gaya bahasa lisan (sehari-
hari) mengandung dialek, kadang-kadang
diucapkan tidak lengkap
Tidak semua sastra lisan merupakan
sastra lisan (-anak)
 kita berhadapan dengan karya sastra dan dengan
demikian menggunakan elemen sastra yang
lazim seperti sudut pandang, latar, watak, alur
dan konflik, tema, gaya, dan nada.
 kita mendapat kesan mendalam dan serta merta
yang kita temukan dalam (bahkan) pada
pembacaan pertama adalah adanya kejujuran,
penulisan yang sangat bersifat langsung, serta
informasi yang memperluas wawasan.
 karya sastra khas (dunia) anak, dibaca anak, serta
– pada dasarnya dibimbing orang dewasa.
Nilai Sastra Lisan (-Anak)

 kesenangan dan pemahaman.


 Sastra hadir kepada pembaca (baca: pendengar,
penulis) pertama-tama memberikan hiburan, hiburan
yang menyenangkan. Sastra menampilkan cerita yang
menarik, mengajak pembaca (baca: pendengar,
penulis) untuk memanjakan fantasi, membawa
pembaca ke suatu alur kehidupan yang penuh daya
suspense, daya yang menarik hati pembaca untuk
ingin tahu dan merasa terikat karenanya,
“mempermainkan” emosi pembaca sehingga ikut larut
ke dalam arus cerita, dan kesenangannya dikemas
dalam bahasa yang juga tidak kalah menarik.
Lanjutan
 Sastra juga memberikan pemahaman yang lebih
baik tentang kehidupan. Pemahaman itu datang dari
eksplorasi terhadap berbagai bentuk kehidupan,
rahasia kehidupan, penemuan dan pengungkapan
berbagai macam karakter manusia, dan lain-lain
informasi yang memperkaya pengetahuan dan
pemahaman pembaca.
 Sastra mengandung eksplorasi mengenai kebenaran
kemanusiaan.
 Sastra juga menawarkan berbagai bentuk motivasi
manusia untuk berbuat sesuatu yang dapat
mengundang pembaca (baca: pendengar, penulis)
untuk mengidentifikasikannya. Apalagi jika pembaca
itu adalah anak-anak yang fantasinya baru
berkembang dan dapat menerima segala macam
cerita terlepas dari cerita itu masuk akal atau tidak.
Lanjutan
 Masih banyak lagi bermacam kandungan
yang ditawarkan dan dapat diperoleh lewan
bacaan sastra karena sastra bukan tulisan
(cerita, penulis) yang biasa. Isi kandungan
yang memberikan pemahaman tentang
kehidupan secara lebih baik itu diungkap
dalam bahasa yang menarik.
Pendidikan Karakter:
 suatu payung istilah yang menjelaskan berbagai aspek
pengajaran dan pembelajaran bagi perkembangan
personal.
 Beberapa area di bawah payung ini meliputi:
1) penalaran moral/pengembangan kognitif;
2) pembelajaran sosial dan emosional,
3) pendidikan kebajikan moral;
4) pendidikan keterampilan hidup,
5) pendidikan kesehatan;
6) pencegahan kekerasan,
7) resolusi konflik, dan
8) filsafat etik/moral
Lanjutan
 Pendidikan karakter adalah sebuah usaha
untuk mendidik anak-anak agar dapat
mengambil keputusan dengan bijak dan
mempraktikkannya dalam kehidupan sehari-
hari, sehingga mereka dapat memberikan
kontribusi yang positif kepada
lingkungannya.
 Pendidikan karakter bersifat luas dalam
cakupan dan sulit untuk didefinisikan secara
tepat.
Nilai-nilai Karakter yang Perlu Ditanamkan kepada Anak

 Karakter terdiri atas 3 bagian:


1) pengetahuan tentang moral (moral
knowing),
2) perasaan (moral feeling), dan
3) perilaku bermoral (moral behavior).
• Karakter yang baik terdiri atas:
1) mengetahui kebaikan (knowing the good),
2) mencintai/menginginkan kebaikan (loving
or desiring the good), dan
3) melakukan kebaikan (acting the good).
Moral Knowing terdiri atas 6 aspek:
1) kesadaran moral (moral awareness),
2) mengetahui nilai-nilai moral (knowing
moral values),
3) cara pandang (perspective taking),
4) pemikiran moral (moral reasoning,
5) pengambilan keputusan ( decision
making),
6) pemamahan diri (self-knowledge).
Moral Feeling merupakan sumber energi dari
diri manusia untuk bertindak sesuai dengan
prinsip-prinsip moral.

 Terdapat 6 hal yang merupakan aspek emosi


yang harus mampu dirasakan oleh seseorang
untuk menjadi manusia berkarakter, yakni:
1) nurani (conscience),
2) percaya diri (self-esteem),
3) merasakan penderitaan orang lain (empathy),
4) mencintai kebenaran (loving the good),
5) mampu mengontrol diri (self-control), dan
6) kerendahatian (humility).
Moral action membuat pengetahuan
moral dapat diwujudkan menjadi
tindakan nyata
 Tindakan moral ini merupakan hasil
(outcome) dari dua komponen karakter
lainnya. Untuk memahami apa yang
mendorong seseorang dalam perbuatan yang
baik (act morally) maka harus dilihat tiga
aspek lain, yaitu:
1) kompetensi (competence),
2) keinginan (will), dan
3) kebiasaan (habit)
Nilai-nilai karakter yang perlu
ditanamkan kepada anak-anak:
 nilai-nilai universal yang seluruh agama,
tradisi, dan budaya pasti menjunjung tinggi
nilai-nilai tersebut.
 Nilai-nilai universal ini harus dapat menjadi

perekat bagi seluruh anggota masyarakat


walaupun berbeda latar belakang budaya,
suku, dan agama.
9 pilar karakter IHF, yaitu:
1) cinta Tuhan dan segenap ciptaan-Nya
(love Allah, trust, reverence, loyalty);
2) kemandirian dan tanggung jawab
(responsibility, excellence, self reliance,
discipline, orderliness);
3) kejujuran/amanah, bijaksana
(trustworthiness, reliability, honesty);
4) hormat dan santun (respect, courtesy,
obedience);
5) dermawan, suka menolong, dan gotong
royong (love, compassion, caring,
empathy, generousity, moderation,
cooperation);
Lanjutan
6) percaya diri, kreatif, dan pekerja keras
(confidence, assertiveness, creativity,
resourcefulness, courage, determination,
and enthusiasm);
7) kepemimpinan dan keadilan (justice,
fainess, mercy, leadhership);
8) baik dan rendah hati (kindness,
friendliness, humility, modesty);
9) toleransi, kedamaian, dan kesatuan
(tolerance, flexibility, peacefulness, unity)
Doni Koesoema K. nilai-nilai dalam
pendidikan karakter, antara lain:
 nilai keutamaan,
 nilai keindahan,
 nilai kerja,
 nilai cinta tanah air,
 nilai demokrasi,
 nilai kesatuan,
 menghidupi nilai moral,
 nilai-nilai kemanusiaan.

Nilai-nilai tersebut merupakan bagian integral yang


bisa dikembangkan dalam pembuatan proyek
pendidikan karakter di sekolah.
Lickona memformulasikan
perkembangan moral anak dalam 6
fase:
a) Fase Bayi: Membangun Fondasi Moral
b) Fase 1: Berpikir Egosentris (Self-oriented
Morality)
c) Fase 2: Patuh tanpa syarat (authority-oriented
morality)
d) Fase 3: Memenuhi Harapan Lingkungan (Peer-
oriented Morality)
e) Fase 4: Ingin Menjaga Kelompok (Collective-
Oriented Morality)
f) Fase 5: Moralitas Tidak Berpihak (Objectively
Oriented Morality)
Fase Bayi: Membangun Fondasi Moral
 Kohlberg, menyatakan bahwa bayi belum mengerti
tentang moral (amoral), sehingga belum mengerti
baik dan buruk. Peran orang tua dalam fase ini
begitu besar, karena fondasi moral dibentuk dalam
fase ini. Pada awal-awal kehidupan bayi, kelekatan
ibu dan anak sangat diperlukan,
 Eric Neuman menyatakan harus ada total bonding
antara ibu dan anak, tidak ada keterpisahan antara
ibu dan anak (penyatuan total). Penyatuan sempurna
(uroboric state) hanya dirasakan oleh manusia
selama 9 bulan, ketika dalam kandungan.
 Kekurangan masa penyatuan sempurna harus
dipenuhi setelah bayi dilahirkan, yaitu sekitar 12
sampai 24 bulan, dengan kelekatannya dengan
ibunya. Itulah sebabnya manusia ketika dilahirkan
dalam keadaan tidak berdaya sama sekali, sehingga
Lanjutan
 Menurut Neuman, kekurangan cinta masa ini, akan
berakibat negative pada perkembangan psikologi anak.
 Erikson, menyatakan bahwa usia bayi adalah masa
pembentukan trust versus mistrust (percaya lawan tidak
percaya). Apabila kualitas pengasuhan baik (diberikan
kasih sayang, perhatian, dan stimulasi yang bagus),
maka rasa percaya anak dengan orang selain dirinya
akan terbentuk, sehingga dalam perkembangan
selanjutnya, ia akan percaya kepada orang lain. Rasa
percaya diri penting dalam hubungan inter-personal di
masyarakat, dan menimbulkan perasaan pada anak
bahwa dunia ini adalah tempat yang aman dan
menyenangkan.
Fase 1: Berpikir Egosentris (Self-oriented Morality)

 Bronfenbrener menyatakan fase ini anak berpikir sangat


egois (self-oriented morality).
 Lickona menyatakan fase ini berkisar pada usia 4 tahun.

Sedangkan Kohlberg bisa bermula pada usia 1 sampai 5


tahun, yang disebut masa pre-conventional morality, yaitu
tahapan “reward and punishment” (hadiah dan hukuman).
 Menurut tahapan Erikson anak pada usia 1 sampai 3 tahun,

adalah masa pembentukan autonomy versus shome and


doubt (kemandirian lawan malu dan keraguan). Pada masa
ini anak mau berbuat baik kalau ada insentif (hadian dan
pujian), dan takut mendapatkan hukuman kalau bersalah.
 Anak usia ini egois sehingga sulit untuk berbagai mainan

dengan kawan-kawannya.
Lanjutan
 Sekolah yang baik harus menyiapkan lebih dari satu
mainan yang jenisnya sama, agar tidak ada konflik antar
kawannya di sekolah.
 Pada usia 2-3 tahun seorang anak yang cenderung
egois, maka ada kecenderungan orang tua atau guru
sering melarang dan membentak anak.
 Menurut Erikson, anak yang terlalu banyak dilarang dan
dimarahi tidak akan terbentuk rasa kemandiriannya,
sehinga anak menjadi pemalu dan tidak percaya diri.
Menghadapi anak ini adalah dengan member arahan
yang lembut tetapi tegas, dan memberikan alasan yang
jelas mengapa sebuah perbuatan dilarang dilakukan.
Fase 2: Patuh tanpa syarat (authority-oriented morality)

 Ciri khas perkembangan moral anak-anak fase ini:


a) dapat menerima pandangan orang lain, namun
pandangan yang dianggap benar adalah orang
dewasa;
b) bisa menghormati otoritas orang tua (guru);
c) menganggap bahwa orang dewasa maha tahu dan
mudah untuk melihat kawannya yang nakal atau
melanggar aturan;
d) senang mengadukan kawan-kawannya yang nakal
karena menganggap orang dewasa adalah satu-
satunya panutan moral. Mereka menganggap
bahwa yang melanggar peraturan harus dihukum,
dan yang baik harus diberi hadiah;
e) mereka berpikir harus mematuhi aturan, apabila
Lanjutan
 Ciri khas perkembangan moral anak-anak pada fase usia 6½ –
8 tahun menurut Lickona, yaitu:
a) mereka merasa bahwa anak-anak juga mempunyai hak seperti
orang dewasa, dan mempunyai keinginan untuk mandiri;
b) tidak lagi berpikir bahwa orang dewasa bisa memerintah
anak-anak;
c) mempunyai konsep keadilan yang kaku, yaitu balas-
membalas. Hanya berbuat baik kepada orang yang berbuat
baik padanya, begitu pula dalam membalas kejahatan;
d) mengerti perlunya berperilaku baik, agar disenangi oleh orang
lain; e) sering membanding-bandingkan dan meminta
perlakuan adil (“Dia mendapatkan kue yang lebih besar!”);
e) cenderung melanggar perintah kalau ia tidak dapat
bernegosiasi terhadap apa yang ia pikir adil;
Lanjutan
f) mempunyai potensi untuk bertindak kasar yang
bermuara pada semakin turunnya otoritas orang
dewasa di mata mereka, dan bisa bersikap tidak
sensitive terhadap perasaan orang lain. Hal ini terjadi
karena pda tahap ini mereka belum bisa melihat dari
sisi orang lain atau masih egosentris;
g) kurang bisa melihat suatu tindakan yang salah kecuali
kalau melihat hasilnya yang membahayakan, dan sering
beranggapan bahwa berbohong atau curang adalah
tidak apa-apa; i) lebih banyak terlibat perkelahian dan
saling meledek antar kawannya karena mereka
beranggapan bahwa segala sesuatu harus dibalas.
Fase 3: Memenuhi Harapan Lingkungan (Peer-oriented Morality)

 Thomas Lickona mengatakan masa ini bisa berlangsung pada usia


8½ sampai 14 tahun. Ciri khas perkembangan moral pada tahap
ini:
a) ingin mendapatkan penghargaan sosial dari orang lain sehngga
mau berbuat sesuatu agar orang lain berpikir bahwa “saya adalah
orang baik”;
b) sudah dapat mengerti konsep “golden rules”; “harus
memperlakukan orang lain seperti kamu mengharapkan orang
lain memperlakukan”;
c) dapat mengerti apa yang dibutuhkan orang lain, tidak semata-
mata berpikir “apa yang dapat saya peroleh”. Apabila mereka bisa
menempatkan dirinya pada orang lain, mereka bisa melakukan
kebaikan; d) bisa menerima otoritas orang tua dan berpikir
“orang tua adalah bijak dan perlu mengikuti nasihatnya”;
Lanjutan
e) bisa menerima tanggung jawab dan melakukannya untuk
kepentingan keluarganya, karena mereka sudah
mempunyai perspektif sebagai anggota sebuah kelompok;
f) karena orientasinya untuk mendapatkan penerimaan dari
kawannya, mereka cenderung merasa kurang percaya diri
atau rasa tidak aman (terutama pada masa-masa awal
pubertas). Maka, pada masa ini mereka dapat terjerumus
kepada hal-hal yang negatif untuk mendapatkan social
approval (penerimaan) dari peer group-nya;
g) sudah mulai mempunyai nurani (rasa bersalah dan malu),
namun belum mantap, karena masih mudah terpengaruh
oleh lingkungan luarnya terutama yang menyangkut
konsep diri yang ingin diterima oleh lingkungannya.
Lickona
memberikan tips kepada orang tua atau pendidik untuk dapat
membantu anak-anak pada tahap ini agar dapat meningkatkan
perkembangan moral ke tahap selanjutnya dengan:
a) memelihara hubungan yang baik dengan mereka dengan
menjalin komunikasi, turut serta dalam memecahkan
masalahnya, dan membantu mereka untuk menemukan identitas
dirinya;
b) membantu membangun konsep diri yang positif: - dengan tidak
membanding-badingkan dengan kawannya, - berikan
penghargaan pada perilaku positif yang mereka lakukan, -
dorong mereka untuk mencari kawan-kawan yang baik, - bantu
mereka mengembangkan hobbi dan kemampuannya, - bantu
mereka menghilangkan kebiasaan mengecilkan orang lain;
c) mendiskusikan permasalah moral;
Lanjutan
d) menyeimbangkan antara memberi kebebasan
terhadap mereka dan mengontrol tindakan
mereka: - gunakan otoritas Anda berdasarkan
cinta kasih, - katakan “ya” atau “tidak” kalau
memang diperlukan, namun berikan mereka juga
peluang untuk memilih, - berikan kesempatan
mereka untuk menolak dengan cara yang baik, -
jangan berlebihan dalam menimbulkan rasa
bersalah mereka ketika mereka berbuat salah. Hal
itu dapat menimbulkan citra diri yang negatif, -
gunakan kontrol secara tidak langsung.
Fase 4: Ingin Menjaga Kelompok
(Collective-Oriented Morality)
 Menurut Lickona, tingkatan moral yang dapat dicapai pada remaja usia ini: a)
percaya bahwa manusia yang baik adalah yang bertanggung jawab terhadap
peran dalam sistem sosial di mana ia berada; b) lebih mandiri sehingga
pengaruh peer pressure akan menurun, karena cenderung lebih memikirkan
bagaimana memenuhi perannya sebagai anggota sebuah sistem sosial,
ketimbang menuruti apa keinginan kawan-kawannya; c) dapat melihat
dampak yang lebih besar dari sebuah tindakan negatif. Misalnya tentang
kebiasaan mencuri di took (“mengutil”), kalau pada tahap sebelumnya (tahap
3), seorang anak akan berkata “semua kawan saya melakukannya, jadi saya
tidak mau dituding “sok alim”. Sedangkan pada tahap 4 sudah mengerti
bahwa kalau setiap orang melakukannya , maka akan jelek bagi seluruh
masyarakat; d) peduli kepada sesama anggota sistem sosial (keluarga,
masyarakat, agama) walaupun kepada orang yang tidak dikenalnya; e) sudah
mengerti bahwa dirinya harus melakukan peran untuk keutuhan sistem
sosialnya, dan sudah mengerti bagaimana pentingnya menjadi warganegara
yang baik. Sudah tertarik pada permasalahan politik.
Lanjutan
 Para orang tua dan pendidik dapat membantu mereka agara dapat
mencapai tahapan moral tertinggi, yaitu yang berpegang teguh pada
prinsip-prinsip moral yang menjunjung tinggi hak asasi manusia,
walaupun harus bertentangan dengan sistem sosialnya, misalnya: a)
mengajak mereka diskusi yang dapat mencerahkan hati nuraninya yang
berdasarkan prinsip menghormati orang lain dan menjalankan
kewajibannya sebagai anggota sebuah sistem sosial; b) mengajak
berdiskusi tentang permasalahan moral yang dihadapi oleh masyarakat,
dan dorong mereka untuk berpikir bagaimana memberikan kontribusi
positif terhadap sistem sosialnya; c) berikan mereka pengalaman nyata
dalam partisipasinya di lingkungan komunitasnya (kerja sosial, mencari
uang sendiri, membantu orang-orang yang kesulitan, belajar hidup
mandiri di luar rumah; pramuka, camping, dst); d) mendorong mereka
untuk memikirkan masa depannya, apa yang harus dipersiapkan dari
sekarang agar dapat memberikan kontribusi positif bagi orang lain.
Tanamkan bahwa masa depan yang cerah hanya dapat dicapai dengan
pendidikan, kedisplinan, dan kerja keras.
Lanjutan
Fase 5: Moralitas Tidak Berpihak (Objectively Oriented Morality)

 Ciri-ciri manusia yang sudah mencapai tahapan


moral 5 menurut Lickona , yaitu:
a) percaya bahwa setiap hak asasi manusia harus
dihormati, dan akan mendukung setiap sistem
sosial yang menghargai hak asasi manusia;
b) dapat bersikap obyektif untuk menilai kebenaran
walaupun harus berada di luar ideologi sistem
sosialnya dari mana ia berasal;
c) tidak memaksakan pendapatnya kepada orang lain,
dan hanya berpegang teguh pada prinsip “setiap
manusia bertanggung jawab untuk menghormati
hak-hak orang lain;
Lanjutan
d) merasa berkewajiban membantu siapa saja,
walaupun harus membantu orang lain yang berasal
dari musuh sistem sosialnya (good Samaritan);
e) percaya bahwa tujuan tidak membenarkan cara
(walaupun tujuan bagus, tidak boleh dilakukan
denngan cara yang buruk);
f) mempunyai komitmen terhadap tanggung
jawabnya;
g) percaya bahwa semua manusia (walaupun berbeda
status, agama, kelompok, suku) harus
diperlakukan sama secara moral.

Anda mungkin juga menyukai