Anda di halaman 1dari 10

1.

Ejaan van Ophuysen (1901-1947)


Charles Adrian van Ophuijsen (Ch. A. van Ophuysen) merupakan tokoh penting dalam
tonggak bahasa Indonesia. Seperti yang udah gue sebutkan sebelumnya di atas, ejaan
Ophuijsen lahir dari niat pemerintah kolonial Belanda untuk menengahi keberagaman
variasi bahasa Melayu yang ada di Nusantara saat itu, sekaligus memudahkan Belanda
menyebarkan kekuasaan di daerah kolonisasinya.

Faktor Pemicu Hadirnya Ejaan van Ophuysen


Dulu, bahasa Melayu yang menjadi cikal bakal BI ditulis menggunakan huruf Jawi (Arab
Melayu atau Arab gundul). Meskipun bahasa ini tetap hidup di masyarakat, para
sarjana Belanda menilai bahasa Melayu tidak cocok menggunakan huruf Arab karena
penulisan huruf vokal seperti e, i, o ditulis sama saja saat ingin menuliskan kata yang
memiliki vocal a dan u. Bagi yang tinggal di daerah Riau dan pernah mendapatkan
pelajaran Arab Melayu dari sekolahnya, mungkin ngerti nih dengan apa yang gue
maksud. Sebagai ilustrasi, coba lihat deh contoh tulisan Arab Melayu (arab gundul) di
bawah ini.

Sebenarnya sih bukan itu saja, salah satunya karena ancaman militansi umat Islam bagi
kolonial Belanda membuat Belanda merasa perlu mengurangi pengaruh Islam-arab di
Nusantara.
Faktor lain penetapan ejaan baku ini diresmikan Belanda karena pada saat
itu pemerintah kolonial sedang menjalankan politik etisnya di Nusantara, yaitu sebuah
kebijakan untuk membuka peluang pendidikan bagi kaum ningrat
Nusantara. Masalahnya, jika bahasa Melayu tidak distandarkan, proses pendidikan ini
akan terhambat. Coba bayangkan kalau tidak ada standar bahasa, pasti
susah kan melakukan proses belajar-mengajar?
Dalam karirnya sebagai inspektur pendidikan ulayat (kaum bumiputera, saat itu), van
Ophuijsen telah membuat Kitab Logat Melayu: Woordenlijst voor de spelling der Malaisch taal
met Latijnch karakter (Perbendaharaan Kosakata: daftar kata untuk ejaan bahasa Melayu
dalam huruf Latin) yang diterbitkan di Batavia 1901 dan berisi 10.130 kata-kata Melayu
dalam ejaan baru, dengan prinsip ejaan bahasa Belanda. Kitab ini merupakan upaya
Belanda dalam membuat standar bahasa saat mereka bercokol di Nusantara. Yah,
namanya berbasis alasan kolonial, tentu ini dibuat agar bisa meluaskan kekuasaan
mereka sekaligus dapat menyatukan Nusantara di bawah kendalinya. Belanda
menerapkan bahasa ini mulai dari sekolah-sekolah bumiputera. Oleh karena itu,
bahasa Melayu Ophuijsen ini sering disebut “bahasa Melayu sekolahan”. Tidak berhenti
di situ, sejak penerbit Balai Poestaka (sekarang: Balai Pustaka) didirikan Belanda,
bahasa ini semakin menancap di kaum terdidik Nusantara. Ya, artinya Belanda melalui
pemerintah kolonialnya berhasil melakukan politik bahasa dengan menjadikan bahasa
(Melayu) Indonesia sebagai standar bahasa kita, yang bahkan masih berlaku hingga
saat ini.
Pernah terpikir enggak sih, bagaimana bisa seorang Belanda totok macam van
Ophuijsen bisa menulis kitab bahasa Melayu yang demikian kompleks? Ternyata eyang
buyut Ophuijsenini lahir di Solok, Sumatera Barat, tempat digunakannya bahasa
Melayu dengan masif. Selain memang suka mempelajari bahasa-bahasa di Nusantara,
kehidupan masa kecil van Ophuijsen yang lahir di tanah Minangkabau ini
memudahkannya membuat standar yang menjadi cikal-bakal Bahasa Indonesia yang
kita pakai hingga saat ini. Enggak heran juga, akhirnya dia diangkat menjadi profesor
bahasa Melayu di Universitas Leiden, Belanda.
Ciri-Ciri Ejaan van Ophuysen
Dalam merumuskan buku tersebut (1896), van Ophuijsen dibantu oleh Nawawi Soetan
Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Pedoman tata bahasa ini selanjutnya
dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen dan diakui pemerintah kolonial tahun 1901.
Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:
1. Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus disuarakan
tersendiri dengan diftong seperti mulaï dengan ramai. Juga digunakan untuk menulis
huruf y seperti dalam Soerabaïa.
2. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, saja, wajang, dsb.
3. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata doeloe, akoe, Soekarni, repoeblik (perhatikan gambar
prangko di atas), dsb.
4. Tandadiakritis, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-
kata ma’moer, jum’at, ta’(dieja tak), pa’, (dieja pak), dsb.
5. Huruf tj yang dieja c saat ejaan ini dihapuskan, seperti Tjikini, tjara, pertjaya, dsb.
6. Huruh ch yang dieja kh, seperti chusus, achir, machloe’, dsb.
Ternyata, jauh sebelum menerbitkan Kitab Logat Bahasa Melayu, lelaki yang lahir tahun
1856 dan meninggal tahun 1917 ini sudah membuat dua buku bahasa lain: Kijkjes in
Het Huiselijk Leven Volkdicht (Pengamatan Selintas Kehidupan Kekeluargaan Suku Batak)
tahun 1879 dan Maleische Spraakkunst (Tata Bahasa Melayu) tahun 1910. Buku Tata
Bahasa Melayu inilah yang akhirnya menjadi pedoman dalam berbahasa Melayu di
Indonesia setelah diterjemahkan oleh T.W. Kamil dan diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Kecakapannya di bidang bahasa membuat pemerintah kolonial menugaskannya untuk
merumuskan tata bahasa Melayu baku. Maka mulailah Ophuysen berjalan menyusuri
Sumatera hingga Semenanjung Malaya untuk meneliti bentuk murni dari bahasa
melayu hingga terpilihlah bahasa melayu Riau sebagai patokan standardisasi.
Pro-Kontra Ejaan van Ophuysen
Layaknya pro dan kontra, ada yang sepakat dan menolak, hal itu terjadi pada karya
Ophuijsen ini. Meskipun jasa Opuijsen ini begitu besar, ada juga yang menudingnya
sebagai arsitek yang telah menggusur varian bahasa Melayu lain. Joss Wibisono,
sejarawan, menyalahkan Ophuijsen sebagai pihak yang menjadikan derajat bahasa
Melayu Riau (Riouw Maleisch) lebih tinggi daripada Melayu pasar (laag Maleis) yang
memang digunakan secara meluas oleh khalayak di Nusantara dulu. Bagi Joss, Melayu
Riau itu mitos, dan hanya ditemui di karya sastra (yang nanti setelah dibakukan oleh
Belanda kemudian disebarluaskan melalui novel-novel terbitan Balai Pustaka).
Meski ejaan Ophuysen sudah dihilangkan oleh pemerintah dulu, tetapi ejaan ini
nyatanya tidak benar-benar hilang. Tengok saja merek dagang: Bakoel Koffie
(http://www.bakoelkoffie.com/) yang ingin memunculkan kembali suasana tempo doeloe.
Selain itu, Eka Kurniawan, seorang sastrawan muda, pernah menelurkan kompilasi
cerpen berjudul Cinta Tak Ada Mati (2005), dengan memakai ejaan Ophuysen di salah
satu cerpennya: Pengakoean Seorang Pemadat Indis. Eka beralasan ingin tampil orisinal
dengan ejaan ini dan berniat menggugah generasi muda pada ejaan lama agar tidak
enggan membaca tulisan-tulisan jadul.

2. Ejaan Republik (Ejaan Soewandi) – 1947-1972


Raden Soewandi
Ejaan ini disebut sebagai Ejaan Soewandi karena diresmikan tanggal 17 Maret 1947
oleh Menteri, Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan saat itu, yaitu Raden
Soeawandi, menggantikan ejaan Ophuijsen. Sebenarnya nama resminya adalah ejaan
Republik, namun lebih dikenal dengan ejaan Soewandi.

Faktor Pemicu Hadirnya Ejaan Soewandi


Menteri yang sebenarnya ahli hukum dan merupakan notaris pertama bumiputera ini
punya alasan mencanangkan ejaan ini. Faktor kebangsaan Indonesia yang sudah
merdeka dan ingin mengikis citra Belanda yang diwakili oleh ejaan Ophuijsen membuat
pentingnya adanya perubahan ejaan di bahasa kita. Apalagi, saat itu Londo sedang sirik-
siriknya melihat pencapaian kemerdekaan mantan negara jajahannya ini hingga datang
lagi ke Indonesia dengan memboncengi sekutu (tahun 1947). Semakin jelek deh impresi
Belanda yang terwakilkan dalam ejaan Ophuijsen.
Ciri-ciri Ejaan Soewandi
1. Huruf oe diganti dengan u pada kata-kata dulu, aku, Sukarni, republik (perhatikan
gambar prangko di atas), dsb.
Ternyata yah, perubahan ejaan ini mendapat pertentangan dari orang-orang yang
namanya menggunakan ejaan oe. Sebagian tetap mempertahankan menggunakan
ejaan Ophuijsen untuk nama mereka meskipun ejaan Republik sudah diberlakukan.

Mungkin salah satu orangnya adalah Mr. Soewandi sendiri Belakangan, varian
penulisan nama dua mantan presiden kita, Soeharto (Suharto) dan Soekarno (Sukarno),
membuat salah satu komponen ejaan Ophuijsen dimaklumkan untuk dimunculkan
kembali (lihat dua gambar di bawah).
Duo contoh di atas membuktikan bahwa nama orang yang mestinya tetap (enggak
berubah), ternyata bisa juga berubah disesuaikan dengan ejaan yang sudah lazim.
2. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k, pada kata-kata makmur, tak, pak, atau
hamzahnya dihilangkan menjadi kira-kira, apa elo masih menulis jum’at alih-alih jumat?
3. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada mobil2, ber-jalan2, ke-barat2-an. Jadi
terjawab deh kenapa sampai saat ini kita masih sering menuliskan angka 2 sebagai perwakilan
kata ulang. Tapi sayang, kalau konteks bahasa baku, hal ini sudah kedaluarsa.
4. Awalan di- dan kata depan di keduanya ditulis serangkai dengan kata yang menyertainya.
Alhasil, penulisan disekolah atau dijalan disamakan dengan dijual atau diminum. Nah,
penulisan di- sebagai awalan dan kata depan selalu menjadi momok dalam tutur lisan maupun
tulisan. Saat mestinya digabung, dijalankan menjadi di jalankan. Sebaliknya, di
mana menjadi dimana.
5. Penghapusan tanda diakritis atau pembeda antara huruf vokal tengah / yang disebut schwa oleh
para linguis atau e ‘pepet’ disamakan dengan e ‘taling’. Gue pribadi agak keberatan dengan
penghapusan ini. Akibatnya, karena dialek bahasa Indonesia kita sangat beragam dan
dipengaruhi bahasa daerah masing-masing, jadi mestinya kita bisa maklum jika ada orang
Ambon/Papua yang kesulitan mengeja Tebet (konsensusnya Tbt) tetapi malah
dieja Tebet (seperti mengeja bebek). Atau misalnya, komputer yang bagi orang Batak dieja
sebagai komputer (seperti mengeja e pada kemah) alih-alih komputer (seperti
mengeja e pada terbang). Namun begitu, ada juga pendapat bahwa hal ini baik karena
menuliskan tanda diakritis tidaklah praktis.

3. Ejaan Pembaharuan (1957)


Faktor Pemicu Hadirnya Ejaan Pembaharuan
Ejaan ini bermula dari polemik yang terjadi pada Kongres Bahasa Indonesia ke-2 di
Medan tahun 1954. Kongres kedua ini akhirnya diadakan setelah pertama kali
diadakan di Solo tahun 1938. Yamin selaku Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan
Kebudayaan dan pemrakarsa Kongres Bahasa Indonesia ke-2 mengatakan bahwa
kongres ini merupakan bentuk rasa prihatinnya akan kondisi bahasa Indonesia saat itu
yang masih belum mapan. Medan pun dipilih karena di kota itulah bahasa Indonesia
dipakai dan terpelihara, baik dalam rumah tangga ataupun dalam masyarakat,
setidaknya itu alasan Yamin. Di kongres ini, memang diusulkan banyak hal dan salah
satunya adalah perubahan ejaan. Usulan ini ditindaklanjuti oleh pemerintah waktu itu
dengan membentuk panitia pembaharuan Ejaan Bahasa Indonesia.

Ciri-ciri Ejaan Pembaharuan


Panitia ini diharapkan bisa membuat standar satu fonem dengan satu huruf
(misalnya menyanyi: menjanji menjadi meñañi; atau mengalah: mengalah menjadi meɳalah).
Penyederhanaan ini sesuai dengan iktikad agar dibuat ejaan yang praktis saat dipakai
dalam keseharian. Selain itu, isu tanda diakritis diputuskan agar kembali digunakan.
Walhasil, k-e-ndaraan dengan é (seperti elo mengeja k-e-lainan) yang tadinya ditulis sama
dengan k-e-mah, akhirnya ditulis berbeda. Untuk kata sjarat (syarat) dibedakan
menjadi śarat.
Kalau enggak hati-hati, bisa saja nyaru antara sarat (penuh/termuat) dengan syarat.
Sedangkan huruf j yang digunakan pada kata jang (yang) malah sudah disepakai ditulis
menjadi yang (seperti kita pakai sekarang). Kata mengapa pun akan dieja
menjadi meɳapa. Untuk kata-kata berdiftong ai, au, dan oi seperti sungai, kerbau,
dan koboiakan dieja dengan sungay, kerbaw, dan koboy.

Prof. Priyono
Ejaan Pembaharuan ini dibuat dengan maksud menyempurnakan Ejaan Soewandi dan
juga disebut dengan Ejaan Prijono-Katoppo. Meskipun salah satu putusan kongres
menyatakan supaya ejaan itu ditetapkan undang-undang, ejaan ini urung diresmikan.
Meskipun demikian, ejaan ini disinyalir menjadi pemantik awal diberlakukannya EyD
tahun 1972.

4. Ejaan Melindo (Melayu Indonesia)


Sejak Kongres bahasa tahun 1954 di Medan dan dihadiri oleh delegasi Malaysia, maka
mulailah ada keinginan di antara dua penutur Bahasa Melayu ini untuk menyatukan
ejaan. Keinginan ini semakin kuat sejak Malaysia merdeka tahun 1957 dan kita pun
menandatangani kesepakatan untuk membicarakan ejaan bersama tahun 1959-nya.
Sayangnya, karena situasi politik kita yang sedang memanas (Indonesia sedang
condong ke poros Moskow-Peking-Pyongyang, sedangkan Malaysia yang Inggris banget),
akhirnya ditangguhkan dulu pembahasannya. Hal lain yang membuat ejaan ini kurang
seksi adalah perubahan huruf-huruf yang dianggap aneh. Misalnya, kata "menyapu"
akan ditulis "meɳapu"; "syair" ditulis "Ŝyair"; "ngopi" menjadi " ɳopi"; atau "koboi" ditulis
"koboy". Mungkin aneh karena belum biasa dan harus menyesuaikan diri lagi. Tapi,
akhirnya, usulan yang mustahil dilaksanakan ini dengan cepat ditinggalkan.
5. Ejaan Baru atau Ejaan LBK
Sebelum adanya EYD, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, (sekarang bernama Pusat
Bahasa), pada tahun 1967 mengeluarkan Ejaan Baru (Ejaan LBK). Ejaan ini, sebenarnya
estafet dari ikhtiar yang sudah dirintis oleh panitia Ejaan Melindo. Anggota
pelaksananya pun terdiri dari panitia ejaan dari Malaysia. Pada intinya, hampir tidak
ada perbedaan berarti di antara ejaan LBK dengan EYD, kecuali pada rincian kaidah-
kaidah saja.

6. Ejaan Bahasa Indonesia Yang Disempurnakan (EYD)

Nah, sekarang, kita bahas ejaan yang paling populer se-Indonesia: EyD! Anak sekolahan
mana yang enggak kenal “makhluk” ini? Mahasiswa mana yang belum pernah ditegur
oleh dosennya karena makalahnya tidak sesuai EyD? Kapan sih ejaan yang selalu jadi
acuan para guru bahasa Indonesia elo ini muncul? Ejaan ini diresmikan sejak 16
Agustus 1972 oleh Presiden Soeharto. Sejak itulah, muncul perubahan signifikan pada
ejaan kita hingga saat ini. Bayangkan, semua kop surat+amplop, kartu nama, papan
jalan, papan nama kantor dan toko, mulai dari Sabang sampai Merauke diganti dan
menyesuaikan diri.
Lalu kenapa sih ejaan kita berganti lagi? Kenapa enggak pake ejaan sebelumnya saja.
Kan bisa menghemat, tak perlu gonta-ganti. Sebenarnya perjalanan menuju EyD ini
relatif panjang. Dimulai dari era Soekarno masih presiden (1954), lalu sempat sudah
ada perubahan melalui Ejaan Pembaharuan (1957), dilanjutkan dengan Ejaan Melindo
(1959) yang akhirnya batal lagi karena Soekarno menyerukan Ganyang Malaysia!. Kondisi
terkatung-katung itu lagi-lagi mandek karena peristiwa kudeta 30 September 1965.
Kondisi ekonomi kita parah, politik dan keamanan yang buruk. Tentu maklum kalau
urusan bahasa menjadi ditangguhkan dulu. Mulai Mei 1966, urusan ejaan dibuka
kembali dan kepanitiaan diketuai oleh pendekar bahasa Indonesia, Anton Moeliono.
Meskipun ejaan ini rampung setahun sesudahnya, dan telah dirundingkan dengan
Malaysia (karena sejak 1959 memang kita sudah bersepakat buat menyamakan ejaan),
tapi lagi-lagi ejaan ini urung diluncurkan. Ejaan ini mendapatkan kritik karena isu
politis, alih-alih linguistis. Namun, setelah Mendikbud kala itu mengeluarkan SK tahun
1972 barulah ejaan ini dapat melenggangkan diri ke permukaan. Di negeri jiran sendiri,
namanya bukan EYD tapi ERB (Ejaan Rumi Baru Bahasa Malaysia/ New Roman Spelling of
Malaysian).
Ciri-ciri EYD
Jadi, apa saja perubahan sejak EYD? Versi lengkap elo bisa unduh dari sini:

http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/sites/default/files/pedoman_umum-
ejaan_yang_disempurnakan.pdf
Kalau ada waktu untuk baca, lebih bagus dibaca. Hitung-hitung nyicil sebelum menjadi
mahasiswa nanti (kalau mahasiswa, semoga enggak terbentur dengan persoalan EYD
dengan sang dosen tercinta).
Jadi, kalau biasanya Djajalah Indonesia!, maka sesuai EYD diubah menjadi Jayalah
Indonesia!. Perubahan ejaan dj menjadi j pun tak terhindarkan. Kalau dalam teks
proklamasi 1945 dulu masih tertulis “Djakarta, hari 17……”, maka diubah menjadi
“Jakarta, hari 17…..”. Untuk sebagian orang tetap mengeja namanya jika mengandung
ejaan dj. Misalnya, Djojobojo alih-alih Joyoboyo; Selain itu, ejaan nj juga diubah
menjadi ny, sehingga penulisan njonja menjadi nyonya; Hal ini juga berlaku untuk ejaan
kata ch dan menyesuaikan diri menjadi kh. Kalau dulu achirnya, sekarang
menjadi akhirnya.
Pro-Kontra EYD
Pemberlakuan EyD bukan tanpa kritik, lho. Bagi pengritik zaman Orba, EyD dianggap
sebagai produk Soeharto yang “sukses” mengatur cara pikir masyarakatnya. Kok bisa?
Jadi, ketika aturan berbahasa sudah seragam dan terstandar, pemerintah akan mudah
mengatur masyarakatnya. Itulah yang menyebabkan indonesianis, Bennedict
Anderson, yang sangat anti-Soeharto menjadi oposisi EYD.
Salah satu bentuk perlawanannya, ia tuangkan melalui tulisan bergaya ejaan Suwandi.
Menurutnya, pemberlakuan EYD adalah bentuk ketakutan Soeharto terhadap
pengaruh Soekarno kala itu. Memang, sejak Soeharto berkuasa, ada kecenderungan
segala bentuk ke-Soekarno-an dihilangkan. Ada juga sebagian pengamat sejarah politik
yang menduga, bahwa dengan membiasakan masyarakat Indonesia baca-tulis dengan
ejaan yang baru tanpa dj, tj, cha atau nj akan membuat masyarakat malas membaca
tulisan-tulisan era sebelum Orde Baru.
Rangkuman Sejarah Perubahan Ejaan Bahasa
Indonesia
Di bawah ini, rangkuman bagaimana sejarah ejaan di Indonesia mulai dari edjaan tempo
doeloe hingga EYD yang tidak asing di kuping kita:

Van Soewandi Pembarua Melindo Ejaan Ejaan yang


Ophuysen (1947) n (1957) (1959) Baru Disempurnakan
(1901) (1966) (1972)

j J y y y y

dj dj j j j j

nj nj ñ ɳ ny ny

sj - ś Ŝ sy sy

tj tj - c c c

ch - - - kh kh

ng ng ɳ ɳ ng ng

z - z z z z

F - F F F f

- - V V V v

é e é é e e

e e e e e e

oe u u u u u

ai ai ay ay ai ai

au au aw aw au au

oi oi oy oy oi oi

Anda mungkin juga menyukai