Sebenarnya sih bukan itu saja, salah satunya karena ancaman militansi umat Islam bagi
kolonial Belanda membuat Belanda merasa perlu mengurangi pengaruh Islam-arab di
Nusantara.
Faktor lain penetapan ejaan baku ini diresmikan Belanda karena pada saat
itu pemerintah kolonial sedang menjalankan politik etisnya di Nusantara, yaitu sebuah
kebijakan untuk membuka peluang pendidikan bagi kaum ningrat
Nusantara. Masalahnya, jika bahasa Melayu tidak distandarkan, proses pendidikan ini
akan terhambat. Coba bayangkan kalau tidak ada standar bahasa, pasti
susah kan melakukan proses belajar-mengajar?
Dalam karirnya sebagai inspektur pendidikan ulayat (kaum bumiputera, saat itu), van
Ophuijsen telah membuat Kitab Logat Melayu: Woordenlijst voor de spelling der Malaisch taal
met Latijnch karakter (Perbendaharaan Kosakata: daftar kata untuk ejaan bahasa Melayu
dalam huruf Latin) yang diterbitkan di Batavia 1901 dan berisi 10.130 kata-kata Melayu
dalam ejaan baru, dengan prinsip ejaan bahasa Belanda. Kitab ini merupakan upaya
Belanda dalam membuat standar bahasa saat mereka bercokol di Nusantara. Yah,
namanya berbasis alasan kolonial, tentu ini dibuat agar bisa meluaskan kekuasaan
mereka sekaligus dapat menyatukan Nusantara di bawah kendalinya. Belanda
menerapkan bahasa ini mulai dari sekolah-sekolah bumiputera. Oleh karena itu,
bahasa Melayu Ophuijsen ini sering disebut “bahasa Melayu sekolahan”. Tidak berhenti
di situ, sejak penerbit Balai Poestaka (sekarang: Balai Pustaka) didirikan Belanda,
bahasa ini semakin menancap di kaum terdidik Nusantara. Ya, artinya Belanda melalui
pemerintah kolonialnya berhasil melakukan politik bahasa dengan menjadikan bahasa
(Melayu) Indonesia sebagai standar bahasa kita, yang bahkan masih berlaku hingga
saat ini.
Pernah terpikir enggak sih, bagaimana bisa seorang Belanda totok macam van
Ophuijsen bisa menulis kitab bahasa Melayu yang demikian kompleks? Ternyata eyang
buyut Ophuijsenini lahir di Solok, Sumatera Barat, tempat digunakannya bahasa
Melayu dengan masif. Selain memang suka mempelajari bahasa-bahasa di Nusantara,
kehidupan masa kecil van Ophuijsen yang lahir di tanah Minangkabau ini
memudahkannya membuat standar yang menjadi cikal-bakal Bahasa Indonesia yang
kita pakai hingga saat ini. Enggak heran juga, akhirnya dia diangkat menjadi profesor
bahasa Melayu di Universitas Leiden, Belanda.
Ciri-Ciri Ejaan van Ophuysen
Dalam merumuskan buku tersebut (1896), van Ophuijsen dibantu oleh Nawawi Soetan
Ma’moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Pedoman tata bahasa ini selanjutnya
dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen dan diakui pemerintah kolonial tahun 1901.
Ciri-ciri dari ejaan ini yaitu:
1. Huruf ï untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran dan karenanya harus disuarakan
tersendiri dengan diftong seperti mulaï dengan ramai. Juga digunakan untuk menulis
huruf y seperti dalam Soerabaïa.
2. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, saja, wajang, dsb.
3. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata doeloe, akoe, Soekarni, repoeblik (perhatikan gambar
prangko di atas), dsb.
4. Tandadiakritis, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-
kata ma’moer, jum’at, ta’(dieja tak), pa’, (dieja pak), dsb.
5. Huruf tj yang dieja c saat ejaan ini dihapuskan, seperti Tjikini, tjara, pertjaya, dsb.
6. Huruh ch yang dieja kh, seperti chusus, achir, machloe’, dsb.
Ternyata, jauh sebelum menerbitkan Kitab Logat Bahasa Melayu, lelaki yang lahir tahun
1856 dan meninggal tahun 1917 ini sudah membuat dua buku bahasa lain: Kijkjes in
Het Huiselijk Leven Volkdicht (Pengamatan Selintas Kehidupan Kekeluargaan Suku Batak)
tahun 1879 dan Maleische Spraakkunst (Tata Bahasa Melayu) tahun 1910. Buku Tata
Bahasa Melayu inilah yang akhirnya menjadi pedoman dalam berbahasa Melayu di
Indonesia setelah diterjemahkan oleh T.W. Kamil dan diterbitkan oleh Balai Pustaka.
Kecakapannya di bidang bahasa membuat pemerintah kolonial menugaskannya untuk
merumuskan tata bahasa Melayu baku. Maka mulailah Ophuysen berjalan menyusuri
Sumatera hingga Semenanjung Malaya untuk meneliti bentuk murni dari bahasa
melayu hingga terpilihlah bahasa melayu Riau sebagai patokan standardisasi.
Pro-Kontra Ejaan van Ophuysen
Layaknya pro dan kontra, ada yang sepakat dan menolak, hal itu terjadi pada karya
Ophuijsen ini. Meskipun jasa Opuijsen ini begitu besar, ada juga yang menudingnya
sebagai arsitek yang telah menggusur varian bahasa Melayu lain. Joss Wibisono,
sejarawan, menyalahkan Ophuijsen sebagai pihak yang menjadikan derajat bahasa
Melayu Riau (Riouw Maleisch) lebih tinggi daripada Melayu pasar (laag Maleis) yang
memang digunakan secara meluas oleh khalayak di Nusantara dulu. Bagi Joss, Melayu
Riau itu mitos, dan hanya ditemui di karya sastra (yang nanti setelah dibakukan oleh
Belanda kemudian disebarluaskan melalui novel-novel terbitan Balai Pustaka).
Meski ejaan Ophuysen sudah dihilangkan oleh pemerintah dulu, tetapi ejaan ini
nyatanya tidak benar-benar hilang. Tengok saja merek dagang: Bakoel Koffie
(http://www.bakoelkoffie.com/) yang ingin memunculkan kembali suasana tempo doeloe.
Selain itu, Eka Kurniawan, seorang sastrawan muda, pernah menelurkan kompilasi
cerpen berjudul Cinta Tak Ada Mati (2005), dengan memakai ejaan Ophuysen di salah
satu cerpennya: Pengakoean Seorang Pemadat Indis. Eka beralasan ingin tampil orisinal
dengan ejaan ini dan berniat menggugah generasi muda pada ejaan lama agar tidak
enggan membaca tulisan-tulisan jadul.
Mungkin salah satu orangnya adalah Mr. Soewandi sendiri Belakangan, varian
penulisan nama dua mantan presiden kita, Soeharto (Suharto) dan Soekarno (Sukarno),
membuat salah satu komponen ejaan Ophuijsen dimaklumkan untuk dimunculkan
kembali (lihat dua gambar di bawah).
Duo contoh di atas membuktikan bahwa nama orang yang mestinya tetap (enggak
berubah), ternyata bisa juga berubah disesuaikan dengan ejaan yang sudah lazim.
2. Bunyi hamzah dan bunyi sentak ditulis dengan k, pada kata-kata makmur, tak, pak, atau
hamzahnya dihilangkan menjadi kira-kira, apa elo masih menulis jum’at alih-alih jumat?
3. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti pada mobil2, ber-jalan2, ke-barat2-an. Jadi
terjawab deh kenapa sampai saat ini kita masih sering menuliskan angka 2 sebagai perwakilan
kata ulang. Tapi sayang, kalau konteks bahasa baku, hal ini sudah kedaluarsa.
4. Awalan di- dan kata depan di keduanya ditulis serangkai dengan kata yang menyertainya.
Alhasil, penulisan disekolah atau dijalan disamakan dengan dijual atau diminum. Nah,
penulisan di- sebagai awalan dan kata depan selalu menjadi momok dalam tutur lisan maupun
tulisan. Saat mestinya digabung, dijalankan menjadi di jalankan. Sebaliknya, di
mana menjadi dimana.
5. Penghapusan tanda diakritis atau pembeda antara huruf vokal tengah / yang disebut schwa oleh
para linguis atau e ‘pepet’ disamakan dengan e ‘taling’. Gue pribadi agak keberatan dengan
penghapusan ini. Akibatnya, karena dialek bahasa Indonesia kita sangat beragam dan
dipengaruhi bahasa daerah masing-masing, jadi mestinya kita bisa maklum jika ada orang
Ambon/Papua yang kesulitan mengeja Tebet (konsensusnya Tbt) tetapi malah
dieja Tebet (seperti mengeja bebek). Atau misalnya, komputer yang bagi orang Batak dieja
sebagai komputer (seperti mengeja e pada kemah) alih-alih komputer (seperti
mengeja e pada terbang). Namun begitu, ada juga pendapat bahwa hal ini baik karena
menuliskan tanda diakritis tidaklah praktis.
Prof. Priyono
Ejaan Pembaharuan ini dibuat dengan maksud menyempurnakan Ejaan Soewandi dan
juga disebut dengan Ejaan Prijono-Katoppo. Meskipun salah satu putusan kongres
menyatakan supaya ejaan itu ditetapkan undang-undang, ejaan ini urung diresmikan.
Meskipun demikian, ejaan ini disinyalir menjadi pemantik awal diberlakukannya EyD
tahun 1972.
Nah, sekarang, kita bahas ejaan yang paling populer se-Indonesia: EyD! Anak sekolahan
mana yang enggak kenal “makhluk” ini? Mahasiswa mana yang belum pernah ditegur
oleh dosennya karena makalahnya tidak sesuai EyD? Kapan sih ejaan yang selalu jadi
acuan para guru bahasa Indonesia elo ini muncul? Ejaan ini diresmikan sejak 16
Agustus 1972 oleh Presiden Soeharto. Sejak itulah, muncul perubahan signifikan pada
ejaan kita hingga saat ini. Bayangkan, semua kop surat+amplop, kartu nama, papan
jalan, papan nama kantor dan toko, mulai dari Sabang sampai Merauke diganti dan
menyesuaikan diri.
Lalu kenapa sih ejaan kita berganti lagi? Kenapa enggak pake ejaan sebelumnya saja.
Kan bisa menghemat, tak perlu gonta-ganti. Sebenarnya perjalanan menuju EyD ini
relatif panjang. Dimulai dari era Soekarno masih presiden (1954), lalu sempat sudah
ada perubahan melalui Ejaan Pembaharuan (1957), dilanjutkan dengan Ejaan Melindo
(1959) yang akhirnya batal lagi karena Soekarno menyerukan Ganyang Malaysia!. Kondisi
terkatung-katung itu lagi-lagi mandek karena peristiwa kudeta 30 September 1965.
Kondisi ekonomi kita parah, politik dan keamanan yang buruk. Tentu maklum kalau
urusan bahasa menjadi ditangguhkan dulu. Mulai Mei 1966, urusan ejaan dibuka
kembali dan kepanitiaan diketuai oleh pendekar bahasa Indonesia, Anton Moeliono.
Meskipun ejaan ini rampung setahun sesudahnya, dan telah dirundingkan dengan
Malaysia (karena sejak 1959 memang kita sudah bersepakat buat menyamakan ejaan),
tapi lagi-lagi ejaan ini urung diluncurkan. Ejaan ini mendapatkan kritik karena isu
politis, alih-alih linguistis. Namun, setelah Mendikbud kala itu mengeluarkan SK tahun
1972 barulah ejaan ini dapat melenggangkan diri ke permukaan. Di negeri jiran sendiri,
namanya bukan EYD tapi ERB (Ejaan Rumi Baru Bahasa Malaysia/ New Roman Spelling of
Malaysian).
Ciri-ciri EYD
Jadi, apa saja perubahan sejak EYD? Versi lengkap elo bisa unduh dari sini:
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/sites/default/files/pedoman_umum-
ejaan_yang_disempurnakan.pdf
Kalau ada waktu untuk baca, lebih bagus dibaca. Hitung-hitung nyicil sebelum menjadi
mahasiswa nanti (kalau mahasiswa, semoga enggak terbentur dengan persoalan EYD
dengan sang dosen tercinta).
Jadi, kalau biasanya Djajalah Indonesia!, maka sesuai EYD diubah menjadi Jayalah
Indonesia!. Perubahan ejaan dj menjadi j pun tak terhindarkan. Kalau dalam teks
proklamasi 1945 dulu masih tertulis “Djakarta, hari 17……”, maka diubah menjadi
“Jakarta, hari 17…..”. Untuk sebagian orang tetap mengeja namanya jika mengandung
ejaan dj. Misalnya, Djojobojo alih-alih Joyoboyo; Selain itu, ejaan nj juga diubah
menjadi ny, sehingga penulisan njonja menjadi nyonya; Hal ini juga berlaku untuk ejaan
kata ch dan menyesuaikan diri menjadi kh. Kalau dulu achirnya, sekarang
menjadi akhirnya.
Pro-Kontra EYD
Pemberlakuan EyD bukan tanpa kritik, lho. Bagi pengritik zaman Orba, EyD dianggap
sebagai produk Soeharto yang “sukses” mengatur cara pikir masyarakatnya. Kok bisa?
Jadi, ketika aturan berbahasa sudah seragam dan terstandar, pemerintah akan mudah
mengatur masyarakatnya. Itulah yang menyebabkan indonesianis, Bennedict
Anderson, yang sangat anti-Soeharto menjadi oposisi EYD.
Salah satu bentuk perlawanannya, ia tuangkan melalui tulisan bergaya ejaan Suwandi.
Menurutnya, pemberlakuan EYD adalah bentuk ketakutan Soeharto terhadap
pengaruh Soekarno kala itu. Memang, sejak Soeharto berkuasa, ada kecenderungan
segala bentuk ke-Soekarno-an dihilangkan. Ada juga sebagian pengamat sejarah politik
yang menduga, bahwa dengan membiasakan masyarakat Indonesia baca-tulis dengan
ejaan yang baru tanpa dj, tj, cha atau nj akan membuat masyarakat malas membaca
tulisan-tulisan era sebelum Orde Baru.
Rangkuman Sejarah Perubahan Ejaan Bahasa
Indonesia
Di bawah ini, rangkuman bagaimana sejarah ejaan di Indonesia mulai dari edjaan tempo
doeloe hingga EYD yang tidak asing di kuping kita:
j J y y y y
dj dj j j j j
nj nj ñ ɳ ny ny
sj - ś Ŝ sy sy
tj tj - c c c
ch - - - kh kh
ng ng ɳ ɳ ng ng
z - z z z z
F - F F F f
- - V V V v
é e é é e e
e e e e e e
oe u u u u u
ai ai ay ay ai ai
au au aw aw au au
oi oi oy oy oi oi