Anda di halaman 1dari 22

EJAAN

• Ejaan : adalah kaidah-kaidah cara menggambarkan


bunyi-bunyi (kata, kalimat, dll) dalam bentuk tulisan
(huruf-huruf) serta penggunaan tanda baca.

• Ejaan bukan hanya mengatur cara menulis huruf,


tetapi juga cara menulis kata dan cara
mempergunakan tanda baca. Ejaan Yang
Disempurnakan mengatur hal itu semua. Inilah
kelebihan EYD dibandingkan dengan sistem ejaan
yang lain.
• Dalam aksara alfabetis diusahakan agar setiap grafem atau huruf
menggambarkan satu fonem. Akan tetapi dalam kenyataannya
usaha ini tidak selamanya berhasil karena sifat bahasa yang
berbeda-beda. Dalam bahasa Indonesia usaha demikian ini tidak
mengalami kesulitan tetapi untuk bahasa Thai atau bahasa Cina
yang memiliki nada, upaya ini tidak terlalu mudah.

Misalnya:
• Dalam bahasa Thai berikut, kata-kata yang berbeda maknanya
dinyatakan dengan bentuk segmental yang sama /mu/, tetapi
dengan nada yang berbeda-beda, netral, naik-turun, dan naik.
muŋ ’memberi atap; mengerumuni’
mûŋ ’mengarah kepada’
mύŋ ’kelambu’
Catatan:
• graf : adalah satuan terkecil dalam aksara yang belum
ditentukan statusnya
• grafem :adalah satuan terkecil dalam aksara yang
menggambarkan fonem, suku kata atau morfem –
tergantung dari sistem yang bersangkutan.
Di samping itu bahasa selalu berubah sepanjang
masa, dan supaya tulisan dapat melayani
pemakainya seharusnya tulisan juga berubah agar
sesuai dengan perubahan bahasa. Dalam
kenyataannya tidaklah demikian. Seperti bahasa
Inggris yang sekarang masih didasarkan pada lafal
bahasa Inggris Tengahan dan lafal bahasa Inggris
Modern Awal (spt yang digunakan Shakespeare).
Ejaan Latin yang dipakai untuk bahasa Melayu/bahasa
Indonesia sejak abad ke-16 juga mengalami perubahan
berkali-kali. Mula-mula setiap penulis buku mempunyai
aturan masing-masing untuk menuliskan vokal,
konsonan, kata, kalimat, jeda, dan sebagainya. Dengan
demikian dapat dibayangkan bagaimana sulitnya
mengajarkan bahasa Melayu dengan sistem ejaan yang
berbeda-beda seperti itu. Hal ini menjadi lebih sulit lagi
karena bahasa Melayu dipergunakan di Indonesia yang
dijajah Belanda, dan Tanah Semenanjung yang dijajah
oleh Inggris. Dengan demikian cara mengeja bahasa
Melayu pun dipengaruhi oleh bahasa penjajah masing-
masing, yakni bahasa Belanda dan bahasa Inggris.
Bahasa Indonesia dan bahasa Malaysia berasal dari bahasa
Melayu. Perjanjian London (London Tractatc) tahun 1824
membagi Asia Tenggara menjadi dua bagian, Kepulauan
Nusantara menjadi daerah jajahan Belanda dan Semenanjung
Malaysia menjadi daerah kekuasaan Inggris. Sejak itu, bahasa
Melayu terbagi pula menjadi dua varian, yaitu varian bahasa
Melayu Riau dan varian bahasa Melayu Johor. Perkembangan
kedua varian bahasa itu dipengaruhi oleh bahasa Belanda di
Indonesia dan bahasa Inggris di Malaysia. Ini terlihat dengan
jelas pada kosakata kedua varian bahasa itu. Demikian pula
halnya dengan sistem ejaannya.
Sistem ejaan ini pertama-tama dirancang oleh para
inspektur sekolah masing-masing. Ch. A. van Ophuijsen untuk
Hindia Belanda, dan R.J. Wilkinson untuk Malaya Inggris.
Oleh sebab itu maka pada tahun 1897, A.A.
Fokker, Sr. mengusulkan supaya ejaan Melayu
dengan huruf Latin di kedua daerah tersebut
diseragamkan.
Pada tahun 1901 Ch. A. Van Ophuysen dengan
dibantu oleh Engku Nawawi Gelar Soetan Ma’mur
dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim menyusun
suatu sistem ejaan yang mengakhiri kekacauan
sistem ejaan (waktu itu) di Hindia Belanda
(Indonesia). Ejaan itu dimuat dalam buku Kitab Logat
Melajoe, dan ejaannya dikenal dengan ejaan van
Ophuysen.
Ch. A. Van Ophuijsen adalah inspektur pendidikan (dasar)
bagi penduduk pribumi di Sumatra dan daerah sekitarnya pada
tahun 1890-an. Pada tahun 1896 ia ditugaskan oleh pemerintah
untuk merancang suatu sistem ejaan dasar yang mantap dan
ilmiah untuk digunakan dalam pengajaran. Data
dikumpulkannya selama perjalanan di seluruh daerah
berbahasa Melayu yang terpenting (daerah koloni di Selat
Malaka, Riau, pantai timur Sumatra, dan Pntianak).
Van Ophuijsen cenderung menggunakan tradisi ejaan Jawi
menurut standar Riau, juga konvensi-konvensi ejaan bahasa
Melayu dengan huruf Latin, khususnya yang digunakan oleh
H.C. Klinkert.
• Untuk menyusun ejaan suatu bahasa ada 4 prinsip
yang harus diperhatikan:
 
• Prinsip Kecermatan
• Prinsip Kehematan
• Prinsip Keluwesan
• Prinsip Kepraktisan
 
1. Prinsip Kecermatan
Sistem ejaan adalah suatu sistem yang tidak boleh
mengandung kontradiksi, jadi misalnya satu tanda sudah
dipergunakan untuk melambangkan satu fonem, maka
seterusnya tanda itu dipakai untuk fonem tersebut.
2. Prinsip
Kehematan
Penggunaan satu huruf untuk satu fonem
tidak dapat dipakai menjadi pegangan; yang
dituju dalam pembaharuan ejaan lebih ke
arah pada adanya standar yang mantap;
dengan adanya satu standar itu maka orang
dapat menghemat tenaga dan pikirannya
dalam berkomunikasi.
3. Prinsip Keluwesan
Suatu sistem ejaan tidak boleh menutup
kemungkinan bagi perkembangan bahasa pada hari
kemudian, sehingga dalam EYD diresmikan
penggunaan f misalnya untuk aktif, sifat, fakultas,
dan sebagainya. Dalam ejaan Soewandi tidak ada
ketetapan tentang huruf-huruf f,v,z,sj (EYD: sy), ch
(EYD: kh), padahal para pemakai bahasa sudah lazim
memakai : sifat, valuta, zeni, sjarat (EYD: syarat),
chusus (EYD: khusus).
4. Prinsip Kepraktisan
Dalam EYD diusahakan supaya tidak dipergunakan
huruf-huruf baru yang tidak lazim. Oleh sebab itu
dalam EYD tidak ada huruf-huruf baru dan karenanya
kita tidak perlu mengganti mesin ketik dan sebagainya.
Salah satu fakta yang dapat dicatat adalah bahwa
penggunaan tanda-tanda diakritis lebih kurang praktis
dibandingkan dengan penggunaan huruf ganda. Oleh
sebab itu huruf-huruf ganda ng, ny, sy, kh, yang
masing-masing menggambarkan fonem tunggal masih
dipertahankan dan tidak diganti dengan huruf-huruf
baru atau huruf-huruf yang memakai tanda diakritis.
Sebelum tahun 1901, bahasa Melayu
umumnya ditulis dalam bahasa Arab
(huruf Jawi). Di beberapa tempat,
terutama di kota-kota besar berhubung
karena adanya pengaruh bahasa Belanda,
Sistem bahasa Melayu ditulisdengan alfabet
Romawi. Akan tetapi tidak ada
keseragaman di dalam pemakaian alfabet
Ejaan van itu untuk bahasa Melayu. Oleh sebab itu,
pada tahun 1896, pemerintah Kolonial
Ophuijsen Belanda menugaskan Charles Adrian van
Ophuijsen, seorang ahli bahasa dan
Pendidikan terkemuka, untuk
mengadakan penelitian tentang masalah
pemakaian huruf Latin untuk bahasa
Melayu.
Pada tahun 1901, akhirnya van Ophuijsen
menerbitkan bukunya yang berjudul Kitab Logat
Melajoe: woordenlijst voor de spelling der
Maleische taal (Buku tatabahasa Melayu :
daftar kata untuk ejaan Bahasa Melayu).Buku
ini memuat tata bahasa dan sistem penulisan
bahasa itu dengan huruf Latin. Sistem penulisan
ini terkenal dengan nama Sistem Ejaan van
Ophuijsen.
a /a/ koeda, bantoe, majat,
ai /ai/ pakai, pakaian
au /aw/ poelau, saudagar
b /b/ baroe, sebab, lembah
ch /x/ chabar, sjech, tachta
Sistem d
dj
/d/ dari, maksoed, da’if
/ǰ/ djari, djoeadah

Ejaan van e
f
/Ə/ emas, beri
/f/ fasal, ma’af, mafhoem

Ophuijsen r
s
/r/ ramai, bersih, atoeran
/s/ soerat, poetoes
sj /ʃ/ sjarat, masjhoer
t /t/ tali, angkat
tj /č/ tjari, tjatjing
w /w/ wali, sawah
z /z/ zaman, izi, zikir
Sistem ejaan van Ophuijsen untuk bahasa Melayu berlaku
cukup lama, yakni dari 1901 sampai dengan tahun 1947,
sedangkan Sistem Ejaan R. Soewandi berlaku hanya 24
tahun, yaitu mulai tahun 1947 sampai dengan 1972, sebelum
digantikan oleh Sistem Ejaan Bahasa Indonesia Yang
Disempurnakan.

Antara sistem Ejaan R. Soewandi dan sistem Ejaan Yang


Disempurnakan terdapat tiga konsep sistem ejaan yang tidak
sempat diberlakukan. Ketiga konsep tersebut adalah Sistem
Ejaan Reformasi tahun 1957, Sistem Ejaan Melindo tahun
1959, dan Sistem Ejaan Baru (LBK) tahun 1966.
Ejaan van Ophuijsen yang mengundang kritik ialah tentang
penggunaan digraf <oe> untuk fonem /u/, menurut konvensi
ejaan Belanda.

Sebelumnya baik <oe> maupun <u> digunakan, walaupun


<oe> memang merupakan ejaan yang sudah lazim digunakan
(di Malaya Inggris, <u> sudah berlaku secara umum).

Pada masa pendudukan Jepang sebenarnya telah


dipersiapkan adanya transisi dari <oe> menjadi <u>, akan
tetapi belum terlaksana.
Pada masa Pemerintah Republik , yakni pada masa Sutan
Sjahrirlah, pembaharuan ejaan memperoleh titik terang,
yakni revisi ejaan yang diresmikan pada tanggal 19 Maret
1947. Ejaan ini diumumkan oleh Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan, Soewandi, sehingga ejaan ini dikenal dengan
“Edjaan Soewandi” atau “Edjaan Republik”. Ejaan ini resmi
diberlakukan hingga 1 Januari 1973.
Perubahan-perubahan pokok yang dilakukan oleh
pembaharuan Soewandi adalah:
1) Perubahan dari <oe> menjadi <u>;
2) Perbedaan antara fonem /ǝ/ (yang dahulu ditulis dengan
<e>) dan /e/ (yang dahulu ditulis dengan <é> dihapus:
keduanya ditulis dengan<e>;
3) Perbedaan antara diftong <ai> dan <au> pada satu pihak
dan rangkaian vokal <āī> dan <aoe> pada pihak lain
dihapus; juga rangkaian vokal harus dituliskan <ai> dan <au>;
4) Tanda <‘> untuk hamzah dan <‘> untuk aksara Arab ‫ع‬
dihapuskan bila pada posisi suku kata awal, dan
digantikan dengan <k> bila pada posisi suku kata akhir.
Kekurangan-kekurangan ejaan Soewandi:
1) Sistem ejaan Soewandi tidak membedakan antara e-taling
(accent aigu) dan e-pepet (accent grave) sehingga
munculkesimpangsiuran di dalam pengucapan kata-kata
seperti seri [sǝri] , [seri]; peta seharusnya dibaca /pǝta/, petak
seharusnya dibaca sebagai [petak], dll.
2) Sistem ejaan ini memperlakukan k-velar dan laryngeal velar
sama dan melambangkan keduanya dengan satu simbol, yaitu
k. Bunyi laryngeal velar seharusnya dilambangkan dengan
simbol q. Misalnya: katak seharusnya seharusnya ditulis
kataq; sepak seharusnya ditulis sepaq, dll.
(1) Jika dibandingkan dengan sistem ejaan
van Ophuijsen, Ejaan Yang Disempurnakan
Beberapa lebih maju secara linguistik. Pada sistem
ejaan yang disempurnakan ini hanya
aspek terdapat dua simbol, f dan v, yang
melambangkan fonem yang sama (/f/);
yang baik fonem, /s, ñ, x/ yang dilambangkan
dengan kombinasi dua simbol, yaitu
dari EYD masing-masing (sy, ny, ng, kh/;dan satu
symbol, yaitu e yang mewakili dua fonem
(/e/ dan /é/).

Anda mungkin juga menyukai