Ejaan ini digunakan untuk menuliskan kata-kata Melayu menurut model yang dimengerti oleh orang Belanda, yaitu menggunakan huruf
Latin dan bunyi yang mirip dengan tuturan Belanda, antara lain:
huruf 'j' untuk menuliskan bunyi 'y', seperti pada kata jang, pajah, sajang.
huruf 'oe' untuk menuliskan bunyi 'u', seperti pada kata-kata goeroe, itoe, oemoer (kecuali diftong 'au' tetap ditulis 'au').
tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan bunyi hamzah, seperti pada kata-kata ma'moer, ‘akal, ta’, pa’,
dinamaï.
Huruf hidup yang diberi titik dua diatasnya seperti ä, ë, ï dan ö, menandai bahwa huruf tersebut dibaca sebagai satu suku kata, bukan
diftong, sama seperti ejaan Bahasa Belanda sampai saat ini.
Kebanyakan catatan tertulis bahasa Melayu pada masa itu menggunakan huruf Arab yang dikenal sebagai tulisan Jawi.
ciri-ciri khusus diantaranya:
1) Masih menggunakan huruf/ j/ untuk bunyi huruf /y/ seperti contoh yang atau Sayang ditulis dengan jang, sajang.
2) Masih menggunakan huruf /oe/ untuk untuk bunyi huruf /u/ seperti kata itu dan guru ditulis dengan itoe dan guroe.
3) Masih Menggunakan Tanda diakritik, seperti koma ain /’/ seperti contoh ma’moer, ‘akal, dan huruf /k/ ditulis dengan tanda /’/ pada
akhir kata misalnya bapa’,ta’
4) Jika pada suatu kata berakhir dengan huruf /a/ mendapat akhiran /i/, maka di atas akhiran itu diberi tanda trema /’/ ta’, pa’, dinamai’
5) Huruf /c/ yang pelafalannya keras diberi tanda /’/ diatasnya.
6) Kata ulang diberi angka 2, misalnya: jalan2 (jalan-jalan)
7) Kata majemuk dirangkai ditulis dengan 3 cara :
a. Dirangkai menjadi satu, misalnya /hoeloebalang, apabila/, dsb.
b. Dengan menggunakan tanda penghubung misalnya /rumah-sakit/,dsb.
c. Dipisahkan, misalnya /anak-negeri/,dsb.
Sejarah singkat
Pada tahun 1901 diadakan pembakuan ejaan bahasa Indonesia yang pertama kali oleh Prof. Charles van Ophuijsen dibantu oleh Engku
Nawawi gelar Sutan Makmur dan Moh. Taib Sultan Ibrahim. Hasil pembakuan mereka yang dikenal dengan Ejaan Van Ophuijsen ditulis
dalam sebuah buku. Dalam kitab itu dimuat sistem ejaan Latin untuk bahasa Melayu di Indonesia.Van Ophuijsen adalah seorang ahli
bahasa berkebangsaan Belanda. Ia pernah jadi inspektur sekolah di maktab perguruan Bukittinggi, Sumatera Barat, kemudian menjadi
profesor bahasa Melayu di Universitas Leiden, Belanda. Setelah menerbitkan Kitab Logat Melajoe, van Ophuijsen kemudian menerbitkan
Maleische Spraakkunst (1910). Buku ini kemudian diterjemahkan oleh T.W. Kamil dengan judul Tata Bahasa Melayu dan menjadi panduan
bagi pemakai bahasa Melayu di Indonesia.
Ejaan ini akhirnya digantikan oleh Ejaan Republik pada 17 Maret 1947.
Ejaan Soewandi
Edjaan Soewandi atau ejaan republik adalah ketentuan ejaan dalam bahasa Indonesia yang berlaku sejak 17 Maret 1947. Ejaan ini
disebut juga dengan edjaan Soewandi, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan kala itu.
Ejaan ini mengganti ejaan sebelumnya, yaitu Ejaan Van Ophuijsen yang mulai berlaku sejak tahun 1901.
Perbedaan antara ejaan ini dengan ejaan Van Ophuijsen:
Huruf 'oe' menjadi 'u', seperti pada goeroe → guru.
Bunyi hamzah dan bunyi sentak yang sebelumnya dinyatakan dengan (') ditulis dengan 'k', seperti pada kata-kata tak, pak, maklum,
rakjat.
Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2, seperti ubur2, ber-main2, ke-barat2-an.
Awalan 'di-' dan kata depan 'di' kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya. Kata depan 'di' pada contoh dirumah,
disawah, tidak dibedakan dengan imbuhan 'di-' pada dibeli, dimakan.
Ejaan Suwandi mempunyai ciri-ciri khusus diantaranya:
1) Penggunaan huruf /oe/ dalam ejaan Van Ophuijsen berubah menjadi /u/ seperti pada contoh guru, itu, umur.
2) Masih menggunakan huruf /dj/ djalan untuk kata jalan, /j/ pajung untuk kata payung, /nj/ bunji untuk kata bunyi, /tj/ tjukup untuk kata
cukup, /ch/ tarich untuk kata tarikh.
3) Tanda Koma ain dan koma hamzah untuk bunyi sentak dihilangkan ditulis dengan k, seperti pada kata-kata tak, pak, makmur,
rakyat.
4) Kata ulang masih seperti ejaan Van Ophuijsen ditulis dengan angka 2, seperti anak2, jalan2, ke-barat2-an. Awalan di- dan kata
depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya, seperti kata depan di pada dirumah, dikebun, disamakan
dengan imbuhan di- pada ditulis, dikarang.
5) Huruf /e/ keras dan /e/ lemah ditulis tidak menggunakan tanda, misalnya ejaan, seekor, dsb.
6) Tanda trema pada huruf /a/ dan /i/ dihilangkan.dinamai’ menjadi dinamai
7) Penulisan kata ulang dapat dilakukan dengan dua cara
Contohnya:
a. Berlari-larian
b. Berlari2-an
8) Penulisan kata majemuk dapat dilakukan dengan tiga cara
Contohnya :
a. Tata laksana
b. Tata-laksana
c. Tatalaksana
9) Kata yang berasal dari bahasa asing yang tidak menggunakan /e/ lemah (pepet) dalam bahasa Indonesia ditulis tidak menggunakan /e/
lemah, misalnya : /putra/ bukan /putera/, /praktek/ bukan /peraktek/, dsb.
Ejaan ini berlaku sampai tahun 1972 lalu digantikan oleh Ejaan Yang Disempurnakan pada masa menteri Mashuri Saleh. Pada masa
jabatannya sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, pada 23 Mei 1972 Mashuri mengesahkan penggunaan Ejaan Yang
Disempurnakan dalam bahasa Indonesia yang menggantikan Ejaan Soewandi. Sebagai menteri, Mashuri menandai pergantian ejaan itu
dengan mencopot nama jalan yang melintas di depan kantor departemennya saat itu, dari Djl. Tjilatjap menjadi Jl. Cilacap.
C. Ejaan Melindo
Ejaan Melindo adalah sistem ejaan Latin yang termuat dalam Pengumuman Bersama Edjaan Bahasa Melaju-Indonesia (Melindo) (1959)
sebagai hasil usaha penyatuan sistem ejaan dengan huruf Latin di Indonesia dan Persekutuan Tanah Melayu. Keputusan ini dilakukan
dalam Perjanjian Persahabatan Indonesia dan Malaysia pada tahun 1959. Sistem ini tidak pernah sampai diterapkan. Hal yang berbeda
ialah bahwa di dalam Ejaan Melindo gabungan konsonan tj, seperti pada kata tjinta, diganti dengan c menjadi cinta, juga gabungan
konsonan nj seperti njonja, diganti dengan huruf nc, yang sama sekali masih baru. (Dalam Ejaan Pembaharuan kedua gabungan konsonan
itu diganti dengan ts dan ń.)
D. Ejaan Bahasa Indonesia Yang di Sempurnakan
Sebelum EYD, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan, (sekarang Pusat Bahasa), pada tahun 1967 mengeluarkan Ejaan Baru (Ejaan LBK). Ejaan
Baru pada dasarnya merupakan lanjutan dari usaha yang telah dirintis oleh panitia Ejaan Malindo. Para pelaksananya pun di samping
terdiri dari panitia Ejaan LBK, juga dari panitia ejaan dari Malaysia. Panitia itu berhasil merumuskan suatu konsep ejaan yang kemudian
diberi nama Ejaan Baru.
pada tanggal 12 Oktober 1972, Panitia Pengembangan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menerbitkan buku
"Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan" dengan penjelasan kaidah penggunaan yang lebih luas. Setelah itu,
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 27 Agustus 1975 Nomor
0196/U/1975 memberlakukan "Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan" dan "Pedoman Umum Pembentukan
Istilah"