Anda di halaman 1dari 44

PEDOMAN UMUM EJAAN BAHASA INDONESIA (PUEBI)

A. Pengantar
Pada bahasan ini, mahasiswa akan mempelajari konsep Ejaan Bahasa Indonesia, sejarah
dan perkembangan EBI, penulisan huruf dan kata, serta penulisan unsur serapan dan tanda baca.
B. Materi Pembelajaran
1. Konsep Ejaan
Ejaan adalah keseluruhan peraturan bagaimana melambangkan bunyi ujaran dan
bagaimana antarhubungan antara lambang-lambang itu (pemisahan dan penggambungannya
dalam suatu bahasa). Secara teknis, yang dimaksud dengan ejaan ialah penulisan huruf,
penulisan kata, dan pemakaian tanda baca (Arifin, 2008: 164). Ejaan adalah sebuah ilmu yang
mempelajari bagaimana ucapan atau apa yang dilisankan oleh seseorang ditulis dengan perantara
lambang-lambang atau gambar-gambar bunyi.
Menurut Suyanto (2011:90) ejaan adalah sebuah ilmu yang mempelajari bagaimana
ucapan atau apa yang di-lisankan oleh seseorang ditulis dengan perantara lambanglambang atau
gambar-gambar bunyi. Ejaan adalah keseluruhan peraturan dalam melambangkan bunyi-bunyi
ujaran, menempatkan tanda-tanda baca, memotong suku kata, dan menghubungkan kata-kata
(Suryaman dalam Rahayu, 1997:15).
Ejaan tidak menyangkut pelafalan kata saja tetapi juga menyangkut cara penulisan. Ejaan
merupakan cara menuliskan kata atau kalimat dengan memeperhatikan penggunaan tanda baca
dan huruf (Yulianto dalam Kustomo, 2015:59). Sedangkan menurut Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa (2016), ―ejaan adalah kaidah cara menggambarkan bunyi-bunyi (kata,
kalimat, dan sebagainya) dalam bentuk tulisan (huruf-huruf) serta penggunaan tanda baca‖.
Berdasarkan kedua pendapat di atas, ejaan adalah cara pelafalan dan cara penulisan tanda baca,
kata, dan kalimat dalam bentuk tulis.
2. Sejarah dan Perkembangan Ejaan Bahasa Indonesia
Ejaan merupakan seperangkat aturan yang dibuat untuk dipedomani dalam memindahkan
bahasa lisan suatu masyarakat menjadi bahasa tulis. Dengan demikian, jika ejaan tersebut belum
mapan dan masih memiliki kekurangan-kekurangan dan keterbatan-keterbatasan, ejaan yang
sudah ada itu akan mengalami perubahan sesuai dengan tuntutan zaman masyarakatnya.
Penataan ejaan suatu bahasa amat pelu berorientasi pada keperluan penggandaan melalui
peralatan atau mesin-mesin tulis percetakan. Hal ini berarti bahwa keberadaan grafem-grafem
atau huruf-huruf dan penanda-penanda yang terdapat dalam mesin tulis perlu memperhitngkan
kemudahan dan ketepatan dalam penulisan, jadi, kesederhanaan ejaan sangat penting menjadi
orientasi utama dalam penataannya.
Ejaan bahasa Indonesia perlu dibakukan untuk meningkatkan ekstensi ragam bahasa
Indonesia baku. Pembakuan ejaan merupakan salah satu aspek yang harus dibakukan selain
pembakuan tata istilah, pembakuan tata bahasa, dan pembakuan ujaran atau ucapan bahasa
Indonesia.
Untuk aspek yang terakhir, Halim (1979:27) menyatakan bahwa pembakuan bahasa
Indonesia sebagai bahasa ujar non-teknis agaknya mendapat prioritas terakhir bukan karena tidak
penting, tetapi karena kenyataan bahwa bahasa Indonesia merupakan bahasa kedua bagi
kebanyakan orang Indonesia dan bukan sebagai bahasa Ibu. Oleh karena itu, pembakuan ujaran
lisan bahasa Indonesia masih sulit untuk dilakukan. Penutur bahasa Indonesia yang beragam
bahasa pertamanya (bahasa ibunya) akan berpengaruh negatif dalam penerapan bahasa baku
lisan bahasa Indonesia yang akan dirancang. Namun, sebagai pedoman yang agak jelas untuk
bahasa lisan bahasa Indonesia sudah ada, yakni tuturan bahasa Indonesia yang sudah tidak jelas
lagi asal etnis atau daerah penuturnya.
Ejaan dalam bahasa Indonesia diubah, dikembangkan, dan disempurnakan oleh Badan
Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Usaha
tersebut menghasilkan Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun
2015 tentang PUEBI.
Pengubahan, pengembangan, dan penyempurnaan ejaan dalam bahasa Indonesia
dilakukan selama 114 tahun, dimulai dari 1901 sampai dengan 2015. Selama itu, berbagai nama
disematkan pada ejaan bahasa kita. Untuk memberikan gambaran perkembangan ejaan di
Indonesia berdasarkan tahun penetapannya, tabel 1 dapat dicermati. Tabel berikut merupakan
intisari dari pengantar yang terdapat pada Buku Pedoman Umum Ejaaan Bahasa Indonesia (Tim
Pengembang Pedoman Bahasa Indonesia, 2016).
Berikut akan disajikan dalam tabel 1 yang menunjukkan tahun-tahun penting perjalanan
ejaan bahasa Indonesia. Penjelasan detil tentang tahun-tahun tersebut dan peristiwa yang terjadi
hingga ciri-ciri setiap ejaan akan dibahas pada bagian berikut ini.
No. Tahun Bentuk Pengesahan

1. 1901 Ejaan bahasa Melayu dengan huruf latin sesuai rancangan Ch. A.
van Ophuijsen

2. 1938 Ejaan Indonesia lebih diinternasionalkan sesuai keputusan dalam


Konggres Bahasa Indonesia pertama

3. 1947 Ejaan Republik sesuai SK Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan


Kebudayaan pada 19 Maret nomor 264/Bhg.A

4. 1956 Rumusan patokan baru peraturan ejaan praktis sesuai SK


Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan pada 19 Juli
1956 nomor 4487/S

5. 1966 Konsep Ejaan Yang Disempurnakan sesuai SK Menteri


Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan pada 19 September
1967 nomor 062/1967

6. 1972 Ejaan Yang Disempurnakan (EYD) disahkan dengan SK


Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada 20 Mei 1972 nomor
03/A.I/72 dan didukung dengan Keputusan Presiden Nomor 57
tahun 1972. Dilanjutkan dengan pengesahan Pedoman umum
Ejaan Yang Disempurnakan dengan SK Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan pada 12 Oktober 1972 nomor 156/P/1972

7. 1988 Pedoman Umum EYD edisi kedua sesuai Keputusan Menteri


Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia nomor
0543a/U/1987 tanggal 9 September 1987

8. 2009 Pedoman Umum EYD edisi ketiga sesuai Peraturan Menteri


Pendidikan Nasional nomor 46 tahun 2009

9. 2015 Pedoman Umum EYD diganti dengan nama PUEBI sesuai


dengan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan nomor
50 tahun 2015

a. Ejaan van Ophuijsen


Ejaan ini adalah ejaan bahasa Melayu dengan huruf latin yang ditetapkan pada tahun
1901 berdasarkan rancangan Ch. A. van Ophuijsen dengan bantuan Engku Nawawi gelar Soetan
Ma‘moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim.
Bahasa Melayu ditulis menggunakan aksara Jawi atau Arab Gundul. Aksara tersebut
tidak lagi digunakan pada bahasa Melayu. Kondisi tersebut terjadi akibat pengaruh budaya Eropa
yang datang di Nusantara. Pengaruh tersebut membuat Bahasa Melayu menggunakan aksara
latin. Perkembangan aksara dari aksara Jawi menjadi aksara latin terjadi karena usaha gigih
Belanda.
Menurut Erikha (2015) terdapat empat alasan mengapa terjadi perubahan aksara tersebut,
yaitu (1) penyederhanaan huruf vokal e, i, o menjadi vokal a dan u, (2) kekhawatiran Belanda
terhadap ancaman kekuatan Islam, (3) politik etis, dan (4) politik bahasa. Alasan pertama, para
ahli bahasa Belanda menganggap ketidsaksesuaian pengunaan vokal. Vokal e, i, o ditulis sama
dengan vokal a dan u. Alasan kedua, Belanda merasa perlu mengurangi pengaruh Islam (budaya
Arab) di Nusantara dengan cara mengganti cara penulisan bahasa Melayu karena mereka merasa
takut dengan militansi umat Islam. Alasan ketiga, pemerintah kolonial memiliki program politik
etis di Nusantara. Program tersebut berisi kebijakan untuk membuka peluang pendidikan bagi
kaum ningrat Nusantara. Pertimbangannya, bahasa Melayu harus distandarkan agar proses
pendidikan berjalan tertib dan lancar. Alasan keempat, Belanda membuat standar bahasa dengan
menggunakan bahasa Melayu pada sekolah milik pribumi agar bisa meluaskan kekuasaan
mereka dan menyatukan Nusantara. Dengan demikian, Belanda telah melakukan politik bahasa,
yaitu membuat standar untuk bahasa Melayu. Bahasa Melayu diharapkan menjadi bahasa resmi
yang digunakan di seluruh kegiatan kehidupan di Nusantara.
Berdasarkan alasan-alasan tersebut, maka Belanda menunjuk seorang ahli bahasa untuk
menyusun tata bahasa baku bahasa Melayu. Linguis tersebut lahir di Batavia bernama A.A.
Fokker. Ia mengusulkan agar ada penyeragaman ejaan bahasa Melayu. Berdasarkan usulan
tersebut, Belanda memilih Charles Adrian van Ophuijsen atau dikenal dengan nama Ch. A. van
Ophuijsen untuk menyusun tata bahasa baku bahasa Melayu.
Ch. A. van Ophuijsen adalah seorang lelaki yang memiliki kecakapan bahasa yang
ditugasi oleh Belanda untuk menyusun tata bahasa baku bahasa Melayu. Ia telah meluncurkan
tiga buku yang salah satunya menjadi acuan dalam berbahasa Melayu (Erikha, 2015). Ch. A. van
Ophuijsen lahir di Solok Sumatera Barat tahun 1856. Eyang buyutnya juga lahir di Solok
sehingga ia sangat mengenal bahasa Melayu. Ia juga memiliki minat mempelajari bahasa-bahasa
di Nusantara. Hal ini tampak dari kesediaannya saat ditugasi pemerintah kolonial menyusun tata
bahasa baku bahasa Melayu.Iameneliti bentuk-bentuk bahasa Melayu. Kemudian, ia menemukan
bahwa bahasa Melayu Riau memiliki kekhasan dibanding bahasa Melayu di daerah lain. Ia lalu
menggunakan bahasa melayu Riau sebagai acuan baku.
Kecakapan berbahasa Ch. A. van Ophuijsen juga ditampakkan pada buku karyanya yang
berjudul Kijkjes in Het Huiselijk Leven Volkdicht ‗Pengamatan sekilas Kehidupan Kekeluargaan
Suku Batak. Buku tersebut diterbitkan tahun 1879. Pada tahun 1896 ia bersama Engku Nawawi
gelar Soetan Ma‘moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim merancang ejaan bahasa melayu
yang ditulis menggunakan huruf latin. Pedoman tersebut berhasil diterbitkan saat ia berkarir
sebagai inspektur pendidikan ulayat. Pedoman tersebut berjudul Kitab Logat Melayu:
Woordenlijst Voor de Spelling der Malaisch taal met Latijnch Karakter ‗Perbendaharaan
Kosakata: Daftar Kata untuk Ejaan Bahasa Melayu dalam Huruf Latin‘. Pedoman tersebut
diterbitkan tahun 1901 di Batavia. Buku tersebut berisi 10.130 katakata Melayu yang ditulis
menggunakan ejaan baru, yaitu ejaan yang dipengaruhi oleh bahasa Belanda.
Pada tahun yang sama, tahun 1901, ia menerbitkan buku berjudul Maleische Spraakkunst
‗Tata Bahasa Melayu‘. Buku ini dimanfaatkan sebagai acuan penggunaan tata bahasa baku
bahasa Melayu. Buku tersebut diterjemahkan oleh T.W. Kamil dan diterbitkan oleh Balai
Pustaka. Atas prestasi tersebut, Ch. A. van Ophuijsen diangkat menjadi profesor di Universitas
Leiden Belanda sebagai ahli di bidang bahasa Melayu. Buku berjudul Maleische Spraakkunst
‗Tata Bahasa Melayu‘ karya Ch. A. van Ophuijsen menjadi acuan ejaan pertama yang ada di
Nusantara. Oleh karena itu, acuan ejaan tersebut dikenal dengan nama ejaan van Ophuijsen.
Ejaan ini diakui sebaga acuan baku ejaan bahasa melayu di Nusantara. Pemerintah kolonial
belanda meresmikan ejaan tersebut pada tahun 1901. Ejaan ini menjadi panduan bagi pemakai
bahasa Melayu di Indonesia.
b. Ejaan Republik
Ejaan ini disusun dengan maksud untuk membuat ejaan yang berlaku menjadi lebih
sederhana pada masa Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan, yaitu Soewandi. Ejaan
yang disusun pada 1947 ini mendapat tanggapan baik oleh masyarakat.
Setelah mengalami perkembangan, kedudukan Ejaan van Ophuijsen digantikan oleh
Ejaan Soewandi atau Ejaan Republik. Sebenarnya nama resminya adalah ejaan Republik, tetapi
lebih dikenal dengan ejaan Soewandi. Ejaan Republik diresmikan sebagai acuan ejaan baku
bahasa Melayu untuk mengurangi pengaruh dominasi Belanda yang diwakili dalam ejaan van
Ophuijsen. Ejaan Republik lebih dikenal dengan nama Ejaan Soewandi karena menteri yang
mengesahkan ejaan Republik bernama Mr. Soewandi.
Mr. Soewandi adalah ahli hukum dan notaris pertama bumiputera yang menjabat dalam
Kabinet Sjahrir I, Kabinet Sjahrir II, dan Kabinet Sjahrir III (Opie, 2015). Soewandi memperoleh
gelar sarjana hukum dan ijazah notaris dari sekolah pangreh praja. Soewandi kemudian
dicalonkan menjadi Menteri Kehakiman dalam Kabinet Sjahrir. Pada Kabinet Sjahrir I (14
November 1945 - 12 Maret 1946) dan Kabinet Sjahrir II (12 Maret 1946 - 22 Juni 1946)
Soewandi menjabat sebagai Menteri Kehakiman. Pada Kabinet Sjahrir III (2 Oktober 1946 - 27
Juni 1947) ia menjabat sebagai Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan. Saat itulah ia
menyusun ejaan yang lebih sederhana agar mudah digunakan oleh penutur bahasa Melayu. Ejaan
Soewandi akhirnya digunakan untuk menggantikan Ejaan van Ophuijsen. Ejaan Republik
disahkan dengan Surat Keputusan Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan tanggal 19
Maret 1947 nomor 264/Bhg.A.
c. Ejaan Pembaharuan
Ejaan pembaharuan berdasarkan dari gagasan perbaikan ejaan pasa masa Kongres Bahasa
Indonesia II di Medan 1956 disusun Ejaan Pembaharuan. Ejaan ini belum ditetapkan.
Ejaan ini urung diresmikan. Namun, ejaan ini diduga menjadi pemantik awal
diberlakukannya EYD tahun 1972 (Erikha, 2015). Ejaan Pembaharuan direncanakan untuk
memperbarui Ejaan Republik. Pembaruan ejaan ini dilandasi oleh rasa prihatin Menteri
Moehammad Yamin akan kondisi bahasa Indonesia yang belum memiliki kejatian. Maka
diadakanlah Konggres Bahasa Indonesia Kedua di Medan. Medan dipilih karena di kota itulah
bahasa Indonesia digunakan dengan baik oleh masyarakat. Pada konggres tersebut diusulkan
perubahan ejaan dan perlu adanya badan yang menyusun peraturan ejaan yang praktis bagi
bahasa Indonesia.
Selanjutnya, dibentuk panitia oleh Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan.
Keberadaan panitia tersebut diperkuat dengan surat keputusan tanggal 19 Juli 1956, nomor
44876/S (Tim Pengembang Pedoman Bahasa Indonesia, 2016). Panitia tersebut beranggotakan
Profesor Prijono dan E. Katoppo (Admin Padamu, 2016). Panitia tersebut berhasil merumuskan
aturan baru pada tahun 1957. Aturan baru tersebut tidak diumumkan, tetapi menjadi bahan
penyempurnaan pada EYD yang diresmikan pada tahun 1972. Panitia tersebut membuat aturan
tentang satu fonem diwakili dengan satu huruf. Penyederhanaan ini sesuai dengan itikad agar
dibuat ejaan yang praktis saat dipakai dalam keseharian (Erikha, 2016). Selain aturan satu fonem
satu huruf, terdapat pula aturan bahwa gabungan huruf ditulis menjadi satu huruf.
d. Ejaan Melindo
Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia) dimulai pada 1959. Oleh karena perkembangan potik
yang cukup lama, berakibat tidak dapat diresmikan.
Ejaan Melindo merupakan bentuk penggabungan aturan penggunaan huruf Latin di
Indonesia dan aturan penggunaan huruf latin oleh Persekutuan Tanah Melayu pada tahun 1959.
Hal ini bermula dari peristiwa Kongres Bahasa Indonesia Kedua yang dilaksanakan tahun 1954
di Medan. Malaysia sebagai salah satu delegasi yang hadir memilikikeinginan untuk menyatukan
ejaan. Keinginan ini semakin kuat sejak Malaysia merdeka tahun 1957. Kedua pemerintah
(Indonesia dan Malaysia) menandatangani kesepakatan untuk merumuskan aturan ejaan yang
dapat dipakai bersama. Kesepakatan itu terjadi pada tahun 1959. Akan tetapi, karena terjadi
masalah politik antara Indonesia dan Malaysia pemikiran merumuskan ejaan bersama tidak dapat
dilaksanakan. Situasi politik antara Indonesia dan Malaysia sedang memanas. Indonesia sedang
terpengaruh Moskow-Peking-Pyongyang. Sedangkan, Malaysia sedang condong kepada Inggris.
Akhirnya pembahasan Ejaan Melindo tidak dilanjutkan.
e. Ejaan Baru
Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK) menyusun program pembakuan bahasa
Indonesia secara menyeluruh (Tim Pengembang Pedoman Bahasa Indonesia, 2016). Program
tersebut dijalankan oleh Panitia Ejaan Bahasa Indonesia Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan. Program tersebut berisi konsep ejaan yang menjadi awal lahirnyaEYD. Konsep
tersebut dikenal dengan nama Ejaan Baru atau Ejaan LBK. Konsep ejaan ini disahkan oleh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, SarinoMangunpranoto, pada tahun 1966 dalam surat
keputusannya pada 19 September 1967, No. 062/1967. Konsep Ejaan Baru terus ditanggapi dan
dikaji oleh kalangan luas di seluruh tanah air selama beberapa tahun.Menurut Erikha (2015)
―pada intinya, hampir tidak ada perbedaan berarti di antara ejaan LBK dengan EYD, kecuali
pada rincian kaidahkaidah saja.‖
f. Ejaan Yang Disempurnakan (EYD)
Ejaan Yang Disempurnakan atau dikenal dengan EYD mengalami beberapa perubahan
dari masa ke masa, yaitu tahun 1972, tahun 1988, dan tahun 2009 (Tim Pengembang Pedoman
Bahasa Indonesia, 2016). Masing-masing masa memiliki ciri khusus. Perkembangan EYD pada
ketiga kurun waktu tersebut akan dijelaskan pada bagian berikut. Berawal dari Ejaan Baru atau
Ejaan LBK sebagai cikal bakal konsep EYD yang konsepnya diperkenalkan oleh Lembaga
Bahasa dan Kesastraan, konsep EYD terus ditanggapi dan dibahas kalangan luas diseluruh tanah
air selama beberapa tahun.
Konsep EYD akhirnya dilengkapi pada pelaksnaan Seminar Bahasa Indonesia di Puncak
pada tahun 1972. EYD merupakan hasil kinerja panitia yang diatur dalam surat keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tanggal 20 Mei 1972, No. 03/A.I/72. Bertepatan dengan
hari Proklamasi Kemerdekaan tahun itu juga, diresmikanlah aturan ejaan yang baru berdasarkan
keputusan Presiden, No. 57, tahun 1972, dengan nama EYD. Agar EYD dapat dimanfaatkan
dengan baik oleh masyarakat, maka Departemen Pendidikan dan Kebudayaan mengeluarkan
Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (PUEYD). Pedoman tersebut
dipaparkan lebih rinci dalam Pedoman Umum. Pedoman umum disusun oleh Panitia
Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yang dibentuk oleh
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat keputusanNomor 156/P/1972 tanggal 12
Oktober 1972.
Untuk memenuhi kebutuhan penutur yang selalu berkembang sesuai dengan zamannya,
maka dibutuhkan perbaikan dari EYD. Pada tahun 1988 lahirlah Pedoamn Umum Ejaan Yang
Disempurnakan (PUEYD) edisi kedua. Pedoman hasil revisi PUEYD pertama ini diterbitkan atas
dasar Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 0543a/U/1987
pada tanggal 9 September 1987.
PUEYD edisi ketiga diterbitkan pada tahun 2009 berdasarkan Peraturan Menteri
Pendidikan Nasional Nomor 46. Peraturan Menteri ini berlaku sejak 31 Juli 2009 dan
menggantikan peraturan yang lama yakni Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 0543a/U/1987 tentang Penyempurnaan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan (Woenarso, 2013). PUEYD edisi ketiga ini diharapkan dapat meningkatkan
kemampuan masyarakat berbahasa Indonesia yang baik dan benar.
Ada banyak hal yang diatur dalam lampiran Peraturan Menteri tersebut. Secara umum,
ada empat hal utama yang dijabarkan dalam Peraturan Menteri tersebut: pemakaian huruf,
penulisan kata, pemakaian tanda baca, dan penulisan unsur serapan. Dari empat hal tersebut yang
menjadi ciri khusus PUEYD edisi tahun 2009 ada empat. Berikut keempat ciri khusus dari
PUEYD tahun 2009 yang penulis temukan pada Pustaka Timur (2011: 4-80). Pertama, huruf
diftong oi ditemukan pada posisi tengah dan posisi akhir dalam sebuah kata, misalnya boikot dan
amboi. Kedua, bentuk kh, ng, ny, dan sy dikelompokkan menjadi gabungan huruf konsonan.
Ketiga, penulisan huruf masih tetap mengatur dua macam huruf, yaitu huruf besar atau huruf
kapital dan huruf miring. Keempat, tanda garis miring terdapat penggunan tambahan, yaitu tanda
garis miring ganda untuk membatasi penggalan-penggalan dalam kalimat untuk memudahkan
pembacaan naskah.
g. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (PUEBI)
Penyempurnaan terhadap ejaan bahasa Indonesia dilakukan oleh lembaga resmi milik
pemerintah yaitu Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Usaha tersebut menghasilkan Peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Nomor 50 Tahun 2015 tentang Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia.Pada tahun 2016
berdasarkan Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Anis Baswedan, aturan ejaan
yang bernama PUEYD diganti dengan nama Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia (Tim
Pengembang Pedoman Bahasa Indonesia, 2016). Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
selanjutnya dikenal dengan singkatan PUEBI. Terdapat banyak perubahan dari PUEYD ke
PUEBI. Penulis memfokuskan pada penggunaan huruf.
Perbedaan lebih rinci antara PUEYD dengan PUEBI telah diteliti oleh Mahmudah.
Menurut Mahmudah (2016: 145-147) terdapat tujuh perbedaan secara substantif, yaitu: (a)
pemakian huruf, (b) kata depan, (c) partikel, (d) singkatan dan akronim, (e) angka dan bilangan,
(f) kata ganti ku-, kau-, ku, -mu, dan –nya; (g) kata si dan sang.
3. Penulisan Huruf dan Kata
a. Ejaan van Ophuijsen
Ejaan van Ophuijsen memiliki enam ciri khusus, yaitu penggunaan huruf ї, huruf j,
penggunanan oe, tanda diakritis, huruf tj, dan huruf ch (Erikha, 2015).
1) Huruf ї untuk membedakan antara huruf i sebagai akhiran yang disuarakan tersendiri
seperti diftong, misal mulaї dan ramaї, dan untuk menulis huruf y, misal Soerabaїa.
2) Huruf j untuk menuliskan kata-kata, misalnya jang, saja, wajang.
3) Huruf oe untuk menuliskan katakata, misalnya doeloe, akoe, repoeblik.
4) Tanda diakritis, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata ma‘moer,
jum‘at, ta‘, dan pa‘.
5) Huruf tj dieja menjadic seperti Tjikini, tcara, pertjaya. f) Huruf ch yang dieja kh seperti
achir, chusus, machloe.‘

b. Ejaan Republik
Ciri khusus Ejaan Republikmeliputi penggunaan huruf oe, bunyi hamzah, kata ulang
dengan angka 2, awalan di- dan kata depan di, dan penghilangan tanda diakritis (Erikha, 2015).
Berikut kelima ciri khusus tersebut.
1) Huruf oe disederhanakan menjadi u misalnyadulu, aku, republik.
2) Bunyi hamzah (‗) ditulis dengan k sehingga tidak ada lagi kata ra‘yat dan ta‘ tetapi
menjadi rakyat dan tak.
3) Kata ulang ditulis dengan angka 2 seperti pada anak2, ber-dua2-an, ke-laki2-an.
4) Awalan di- dan kata depan di keduanya ditulis serangkai dengan kata yang menyertainya,
misaldijalan, diluar, dijual, diminum.
5) Penghapusan tanda diakritis schwa atau e‗pepet‘ (ẻ) menjadi e sehingga tidak ada lagi
ada tulisankẻnari dan kẻluarga, tetapi keluarga dan kehadiran.
c. Ejaan Pembaharuan
Menurut Padamu (2016) ciri khas Ejaan Pembaharuan ada empat, yaitu perubahan
gabungan konsonan dan gabungan vokal. Berikut keempat ciri khas tersebut.
1) Gabungan konsonan ng diubah menjadi ŋ Perubahan penulisan gabungan huruf konsonan
dari gabungan konsonan ng menjadi satu huruf ŋ. Misalnya, mengalah menjadi meŋalah.
2) Gabungan konsonan nj diubah menjadi ń Perubahan penulisan gabungan huruf konsonan
dari gabungan konsonan njmenjadi satu hurufń. Misalnya, menjanjimenjadimeńańi.
3) Gabungan konsonan sj menjadi š Perubahan penulisan gabungan huruf konsonan dari
gabungan konsonan sjmenjadi satu hurufš. Misalnya, sjarat menjadišarat.
4) Gabungan vokal ai, au, dan oi, menjadi ay, aw, dan oy Perubahan penulisan gabungan
huruf vokal (diftong) dari gabungan vokal ai, au, danoimenjadiay, aw, dan oy. Misalnya,
balai, engkau, dan amboi menjadi balay, engkaw, dan amboy.
d. Ejaan Melindo
Ejaan Melindo dapat dikenali dari enam ciri berikut (Padamu, 2016 dan Erikha, 2015).
1) Gabungan konsonan tj pada kata tjara, diganti dengan csehingga ditulis cara.
2) Gabungan konsonan njpada kata njanji, ditulis dengan huruf nc, sehingga menjadi huruf
yang baru.
3) Kata menyapu akan ditulis meɳapu.
4) Gabungan sypada kata syair ditulis menjadi Ŝyair.
5) Gabungan ng pada kata ngopi ditulis menjadi ɳopi
6) Diftong oi seperti pada kata koboi ditulis menjadi koboy.
e. PUEYD
PUEYD tahun 1972 memiliki tujuh ciri khas yang disarikan dari Pamungkas (tanpa
tahun). Berikut ketujuh ciri khusus EYD tahun 1972.
1) Huruf diftong oi hanya ditemukan di belakang kata, misalnya oi pada kata amboi.
2) Bentuk gabungan konsonan kh, ng, ny, dan sy termasuk kelompok huruf konsonan.
3) Masih menggunakan dua istilah yaitu huruf besar dan huruf kapital.
4) Penulisan huruf hanya mengatur dua macam huruf yaitu huruf besar atau huruf kapital
dan huruf miring.
5) Penulisan angka untuk menyatakan nilai uang menggunakan spasi antara lambang dengan
angka, misalnya Rp 500,00.
6) Tanda petik dibedakan istilah dan penggunaannya menjadi dua, yaitu tanda petik ganda
dan tanda petik tunggal.
7) Terdapat tanda ulang berupa angka 2 biasa (bukan kecil di kanan atas [2] atau juga bukan
di kanan bawah [2]) yang dapat dipakai dalam tulisan cepat dan notula untuk menyatakan
pengulangan kata dasar, misalnya dua2, mata2, dan hati2.
Terdapat lima ciri khusus dalam PUEYD tahun 1988. Berikut kelima ciri tersebut.
1) Penggunana huruf kapital dalam ungkapan yang berhubungan dengan nama Tuhan
terdapat catatan tambahan, yaitu (1) bila terdiri dari kata dasar maka tulisan disambung,
misalnya Tuhan Yang Mahakuasa, (2) bila terdiri dari kata berimbuhan maka penulisan
dipisah, misalnya Tuhan Yang Maha Pengasih.
2) Huruf kapital sebagai huruf pertama nama orang diberi keterangan tambahan, yaitu jika
nama jenis atau satuan ukuran ditulis dengan huruf kecil, misalnya mesin diesel, 10 volt,
dan 5 ampere.
3) Huruf kapital yang digunakan sebagai nama khas geografi diberi catatan tambahan, yaitu
(1) istilah geografi bukan nama diri ditulis dengan huruf kecil, misalnya berlayar ke
teluk, (2) nama geografi sebagai nama jenis ditulis dengan huruf kecil, misalnya, gula
jawa.
4) Huruf kapital yang digunakan sebagai nama resmi badan dan dokumen resmi terdapat
catatan tambahan, yaitu jika tidak diikuti nama maka ditulis dengan huruf kecil, misalnya
sebuah republik dan menurut undang-undang yang berbeda dengan Republik Indonesia
dan Undang-Undang Dasar 1945.
5) Penulisan angka untuk menyatakan nilai uang menggunakan spasi antara lambang dengan
angka terdapat catatan tambahan, yaitu (1) untuk desimal pada nilai mata uang dolar
dinyatakan dengan titik, misalnya $3.50, (2) angka yang menyatakan jumlah ribuan
dibubuhkan tanda titik, misalnya Buku ini berusia 1.999 tahun.
f. PUEBI
Ciri khusus PUEBI pada Permendikbud Nomor 50 tahun 2015, yaitu pada huruf vokal,
untuk pengucapan (pelafalan) kata yang benar digunakan diakritik yang lebih rinci, yaitu sebagai
berikut.
1) Diakritik (é) dilafalkan [e], misalnya Anak-anak bermain di teras (téras); diakritik (è)
dilafalkan [Ɛ], misalnya Kami menonton film seri (sèri); diakritik (ê) dilafalkan [Ə],
misalnya Pertandingan itu berakhir seri (sêri).
2) Pada huruf konsonan terdapat catatan penggunaan huruf q dan x yang lebih rinci, yaitu:
(a) huruf q dan x khusus digunakan untuk nama diri dan keprluan ilmu; (b) huruf x pada
posisi awal kata diucapkan [s].
3) Pada huruf diftong terdapat tambahan, yaitu diftong ei misalnya pada kata eigendom,
geiser, dan survei.
4) Pada huruf kapital aturan penggunaan lebih diringkas (pada PUEYD terdapat 16 aturan,
sedangkan pada PUEBI terdapat 13 aturan) dengan disertai catatan.
5) Pada huruf tebal terdapat pengurangan aturan sehingga hanya ada dua aturan, yaitu
menegaskan bagian tulisan yang sudah ditulis miring dan menegaskan bagian karangan
seperti judul buku, bab, atau subbab.
Penulisan huruf juga dijelaskan berikut ini.
a. Huruf Kapital
1) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama awal kalimat.
Misalnya:
Apa maksudnya?
Dia membaca buku.
Kita harus bekerja keras.
Pekerjaan itu akan selesai dalam satu jam.
2) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama orang, termasuk julukan.
Misalnya:
Amir Hamzah
Dewi Sartika
Halim Perdanakusumah
Wage Rudolf Supratman
Jenderal Kancil
Dewa Pedang
Alessandro Volta
André-Marie Ampère
Mujair
Rudolf Diesel
Catatan:
(1) Huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama orang yang merupakan nama
jenis atau satuan ukuran. Misalnya: ikan mujair, mesin diesel, 5 ampere, dan 10 volt.
(2) Huruf kapital tidak dipakai untuk menuliskan huruf pertama kata yang bermakna
‗anak dari‗, seperti bin, binti, boru, dan van, atau huruf pertama kata tugas.
Misalnya:
Abdul Rahman bin Zaini
Siti Fatimah binti Salim
Indani boru Sitanggang
Charles Adriaan van Ophuijsen
Ayam Jantan dari Timur
Mutiara dari Selatan
3) Huruf kapital dipakai pada awal kalimat dalam petikan langsung.
Misalnya:
Adik bertanya, "Kapan kita pulang?"
Orang itu menasihati anaknya, "Berhati-hatilah, Nak!"
"Mereka berhasil meraih medali emas," katanya.
"Besok pagi," kata dia, "mereka akan berangkat."
4) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama setiap kata nama agama, kitab suci, dan
Tuhan, termasuk sebutan dan kata ganti untuk Tuhan.
Misalnya:
Islam Alquran
Kristen Alkitab
Hindu Weda
Allah
Tuhan
Allah akan menunjukkan jalan kepada hamba-Nya.
Ya, Tuhan, bimbinglah hamba-Mu ke jalan yang Engkau beri rahmat.
5) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama gelar kehormatan,
keturunan, keagamaan, atau akademik yang diikuti nama orang, termasuk gelar
akademik yang mengikuti nama orang.
Misalnya:
Sultan Hasanuddin
Mahaputra Yamin
Haji Agus Salim
Imam Hambali
Nabi Ibrahim
Raden Ajeng Kartini
Doktor Mohammad Hatta
Agung Permana, Sarjana Hukum
Irwansyah, Magister Humaniora
6) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama gelar kehormatan,
keturunan, keagamaan, profesi, serta nama jabatan dan kepangkatan yang dipakai
sebagai sapaan.
Misalnya:
Selamat datang, Yang Mulia.
Semoga berbahagia, Sultan.
Terima kasih, Kiai.
Selamat pagi, Dokter.
Silakan duduk, Prof.
Mohon izin, Jenderal.
7) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama jabatan dan pangkat yang
diikuti nama orang atau yang dipakai sebagai pengganti nama orang tertentu, nama
instansi, atau nama tempat.
Misalnya:
Wakil Presiden Adam Malik
Perdana Menteri Nehru
Profesor Supomo
Laksamana Muda Udara Husein Sastranegara
Proklamator Republik Indonesia (Soekarno-Hatta)
Sekretaris Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Gubernur Papua Barat
8) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa.
Misalnya:
bangsa Indonesia
suku Dani
bahasa Bali
Catatan:
Nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa yang dipakai sebagai bentuk dasar kata
turunan tidak ditulis dengan huruf awal kapital.
Misalnya:
pengindonesiaan kata asing
keinggris-inggrisan
kejawa-jawaan
9) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama tahun, bulan, hari, dan hari besar
atau hari raya.
Misalnya:
tahun Hijriah tarikh Masehi
bulan Agustus bulan Maulid
hari Jumat hari Galungan
hari Lebaran hari Natal
10) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur nama peristiwa sejarah.
Misalnya:
Konferensi Asia Afrika
Perang Dunia II
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Catatan:
Huruf pertama peristiwa sejarah yang tidak dipakai sebagai nama tidak ditulis
dengan huruf kapital.
Misalnya:
Soekarno dan Hatta memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia.
Perlombaan senjata membawa risiko pecahnya perang dunia.
11) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama geografi.
Misalnya:
Jakarta Asia Tenggara
Pulau Miangas Amerika Serikat
Bukit Barisan Jawa Barat
Dataran Tinggi Dieng Danau Toba
Jalan Sulawesi Gunung Semeru
Ngarai Sianok Jazirah Arab
Selat Lombok Lembah Baliem
Sungai Musi Pegunungan Himalaya
Teluk Benggala Tanjung Harapan
Terusan Suez Kecamatan Cicadas
Gang Kelinci Kelurahan Rawamangun
Catatan:
(1) Huruf pertama nama geografi yang bukan nama diri tidak ditulis dengan huruf
kapital.
Misalnya:
berlayar ke teluk mandi di sungai
menyeberangi selat berenang di danau
(2) Huruf pertama nama diri geografi yang dipakai sebagai nama jenis tidak ditulis
dengan huruf kapital.
Misalnya:
jeruk bali (Citrus maxima)
kacang bogor (Voandzeia subterranea)
nangka belanda (Anona muricata)
petai cina (Leucaena glauca)
(3) Nama yang disertai nama geografi dan merupakan nama jenis dapat dikontraskan
atau disejajarkan dengan nama jenis lain dalam kelompoknya.
Misalnya:
Kita mengenal berbagai macam gula, seperti gula jawa, gula pasir, gula tebu, gula
aren, dan gula anggur.
Kunci inggris, kunci tolak, dan kunci ring mempunyai fungsi yang berbeda.

Contoh berikut bukan nama jenis:


a. Dia mengoleksi batik Cirebon, batik Pekalongan, batik Solo, batik Yogyakarta, dan
batik Madura.
b. Selain film Hongkong, juga akan diputar film India, film Korea, dan film Jepang.
c. Murid-murid sekolah dasar itu menampilkan tarian Sumatra Selatan, tarian
Kalimantan Timur, dan tarian Sulawesi Selatan.
12) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua kata (termasuk semua unsur
bentuk ulang sempurna) dalam nama negara, lembaga, badan, organisasi, atau do-
kumen, kecuali kata tugas, seperti di, ke, dari, dan, yang, dan untuk.
Misalnya:
Republik Indonesia
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia
Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2010 tentang Penggunaan
Bahasa Indonesia dalam Pidato Presiden dan/atau Wakil Presiden serta Pejabat
Lainnya
Perserikatan Bangsa-Bangsa
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
13) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama setiap kata (termasuk unsur kata ulang
sempurna) di dalam judul buku, karangan, artikel, dan makalah serta nama majalah
dan surat kabar, kecuali kata tugas, seperti di, ke, dari, dan, yang, dan untuk, yang
tidak terletak pada posisi awal.
Misalnya:
Saya telah membaca buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma.
Tulisan itu dimuat dalam majalah Bahasa dan Sastra.
Dia agen surat kabar Sinar Pembangunan.
Ia menyajikan makalah "Penerapan Asas-Asas Hukum Perdata."
14) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama unsur singkatan nama gelar, pangkat,
atau sapaan.
Misalnya:
S.H. sarjana hukum
S.K.M. sarjana kesehatan masyarakat
S.S. sarjana sastra
M.A. master of arts
M.Hum. magister humaniora
M.Si. magister sains
K.H. kiai haji
Hj. hajah
Mgr. monseigneur
Pdt. pendeta
Dg. daeng
Dt. datuk
R.A. raden ayu
St. sutan
Tb. tubagus
Dr. doktor
Prof. profesor
Tn. tuan
Ny. nyonya
Sdr. saudara
15) Huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk hubungan kekerabatan,
seperti bapak, ibu, kakak, adik, dan paman, serta kata atau ungkapan lain yang
dipakai dalam penyapaan atau pengacuan.
Misalnya:
"Kapan Bapak berangkat?" tanya Hasan.
Dendi bertanya, "Itu apa, Bu?"
"Silakan duduk, Dik!" kata orang itu.
Surat Saudara telah kami terima dengan baik.
―Hai, Kutu Buku, sedang membaca apa?
―Bu, saya sudah melaporkan hal ini kepada Bapak.
Catatan:
(1) Istilah kekerabatan berikut bukan merupakan penyapaan atau pengacuan.
Misalnya:
Kita harus menghormati bapak dan ibu kita.
Semua kakak dan adik saya sudah berkeluarga.
(2) Kata ganti Anda ditulis dengan huruf awal kapital.
Misalnya:
Sudahkah Anda tahu?
Siapa nama Anda?

b. Huruf Miring
1) Huruf miring dipakai untuk menuliskan judul buku, nama majalah, atau nama surat kabar
yang dikutip dalam tulisan, termasuk dalam daftar pustaka.
Misalnya:
Saya sudah membaca buku Salah Asuhan karangan Abdoel Moeis.
Majalah Poedjangga Baroe menggelorakan semangat kebangsaan.
Berita itu muncul dalam surat kabar Cakrawala.
Pusat Bahasa. 2011. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa. Edisi Keempat (Cetakan
Kedua). Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
2) Huruf miring dipakai untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, kata, atau
kelompok kata dalam kalimat.
Misalnya:
Huruf terakhir kata abad adalah d.
Dia tidak diantar, tetapi mengantar.
Dalam bab ini tidak dibahas pemakaian tanda baca.
Buatlah kalimat dengan menggunakan ungkapan lepas tangan.
3) Huruf miring dipakai untuk menuliskan kata atau ungkapan dalam bahasa daerah atau
bahasa asing.
Misalnya:
Upacara peusijuek (tepung tawar) menarik perhatian wisatawan asing yang berkunjung ke
Aceh.
Nama ilmiah buah manggis ialah Garcinia mangostana.
Weltanschauung bermakna 'pandangan dunia'.
Ungkapan bhinneka tunggal ika dijadikan semboyan negara Indonesia.
Catatan:
(1) Nama diri, seperti nama orang, lembaga, atau organisasi, dalam bahasa asing atau bahasa
daerah tidak ditulis dengan huruf miring.
(2) Dalam naskah tulisan tangan atau mesin tik (bukan komputer), bagian yang akan dicetak
miring ditandai dengan garis bawah.
(3) Kalimat atau teks berbahasa asing atau berbahasa daerah yang dikutip secara langsung
dalam teks berbahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring.

c. Huruf Tebal
1) Huruf tebal dipakai untuk menegaskan bagian tulisan yang sudah ditulis miring.
Misalnya:
Huruf dh, seperti pada kata Ramadhan, tidak terdapat dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan.
Kata et dalam ungkapan ora et labora berarti ‗dan‗.
2) Huruf tebal dapat dipakai untuk menegaskan bagian- bagian karangan, seperti judul buku,
bab, atau subbab.
Misalnya:
1.1 Latar Belakang dan Masalah
Kondisi kebahasaan di Indonesia yang diwarnai oleh satu bahasa standar dan ratusan
bahasa daerah—ditambah beberapa bahasa asing, terutama bahasa Inggris—membutuhkan
penanganan yang tepat dalam perencanaan bahasa. Agar lebih jelas, latar belakang dan
masalah akan diuraikan secara terpisah seperti tampak pada paparan berikut.

1.1.1 Latar Belakang


Masyarakat Indonesia yang heterogen menyebabkan munculnya sikap yang beragam
terhadap penggunaan bahasa yang ada di Indonesia, yaitu (1) sangat bangga terhadap bahasa
asing, (2) sangat bangga terhadap bahasa daerah, dan (3) sangat bangga terhadap bahasa
Indonesia.
1.1.2 Masalah
Penelitian ini hanya membatasi masalah pada sikap bahasa masyarakat Kalimantan
terhadap ketiga bahasa yang ada di Indonesia. Sikap masyarakat tersebut akan digunakan
sebagai formulasi kebijakan perencanaan bahasa yang diambil.
1.2 Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan mengukur sikap bahasa masyarakat
Kalimantan, khususnya yang tinggal di kota besar terhadap bahasa Indonesia, bahasa daerah,
dan bahasa asing.
Penulisan kata juga dijelaskan berikut ini.
a. Kata Dasar
Kata yang berupa kata dasar ditulis sebagai satu kesatuan.
Misalnya: Ibu percaya bahwa engkau tahu.
Kantor pajak penuh sesak.
b. Kata Turunan
1) Imbuhan (awalan, sisipan, akhiran) ditulis serangkai dengan kata dasarnya.
Misalnya: bergetar
Dikelola
2) Jika bentuk dasar berupa gabungan kata, awalan atau akhiran ditulis serangkai dengan
kata yang langsung mengikuti atau mendahuluinya.
Misalnya: bertepuk tangan
garis bawahi
3) Jika bentuk dasar yang berupa gabungan kata mendapat awalan dan akhiran sekaligus,
unsur gabungan kata itu ditulis serangkai.
Misalnya: menggarisbawahi
menyebarluaskan
4) Jika salah satu unsur gabungan kata tidak dapat berdiri sendiri sebagai satu kata yang
mengandung arti penuh, dan hanya dipakai dalam kombinasi, gabungan kata itu ditulis
serangkai.
Misalnya: adipati aerodinamika antarkota
anumerta audiogram awahama
amoral caturwarga tunawisma
purnawirawan nonmigas subbagian
swadaya ultramodern perilaku
pascasarjana monoteisme poligami
semifinal superordinat mahasiswa
kontrarevolusi ekstrakurikuler pancawarna
Catatan:
(1) Apabila bentuk tersebut diikuti oleh kata yang huruf awalnya huruf besar, di antara
kedua unsur itu dituliskan tanda hubung (-)
Misalnya: non-Indonesia pan-Islamisme non-RRC
(2) Unsur maha dan peri dalam gabungan kata ditulis serangkai dengn unsur
berikutnya, yang berupa kata dasar. Akan tetapi, jika diikuti kata
berimbuhan, kata maha dan peri itu ditulis terpisah.
Ada ketentuan khusus, yaitu kata maha yang diikuti kata esa ditulis
terpisah walaupun diikuti kata dasar.
Misalnya: Semoga Yang Mahakuasa merahmati kita semua.
Marilah kita berdoa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Bersyukurlah kepada Tuhan Yang Maha Penyayang!
Tindakan kita harus berdasarkan peri kemanusiaan dan
peri keadilan.
c. Bentuk Ulang
Bentuk ulang ditulis secara lengkap dengan menggunakan tanda hubung.
Misalnya: anak-anak, buku-buku
kuda-kuda, mata-mata
d. Gabungan Kata
1) Gabungan kata yang lazim disebut kata majemuk, termasuk istilah khusus, unsur-
unsurnya ditulis terpisah.
Misalnya: duta besar daya serap tata bahasa
kambing hitam kerja sama meja tulis
orang tua simpang empat serah terima
kereta api cepat temu wicara juru tulis
simpang empat sepak bola rumah sakit
2) Gabungan kata, termasuk istilah khusus, yang mungkin menimbulkan kesalahan
pengertian dapat ditulis dengan tanda hubung untuk menegaskan pertalian unsur yang
bersangkutan.
Misalnya: alat pandang-dengar
anak-istri saya
3) Gabungan kata yang sudah dianggap satu kata dituliskan serangkai.
Misalnya: adakalanya akhirulkalam alhamdulillah
astaghfirullah bagaimana barangkali,
bilamana bismillah beasiswa
sekaligus daripada apabila
segitiga padahal halalbihalal
dukacita sukacita lokakarya
olahraga bumiputra saputangan
hulubalang matahari sukarela
e. Kata Ganti -ku-, kau-, -mu, dan –nya
Kata ganti ku dan kau ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya; -ku-, -mu, dan –
nya ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya.
Misalnya: Apa yang kumiliki boleh kauambil.
Bukuku, bukumu, dan bukunya tersimpan di perpustakaan.
f. Kata Depan di, ke, dan dari
Kata depan di, ke, dan dari ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya, kecuali di dalam
gabungan kata yang sudah lazim dianggap sebagai satu kata seperti kepada dan daripada.
Misalnya: Kain itu terletak di dalam lemari.
Bermalam sajalah di sini.
Catatan: kata-kata yang dicetak miring di bawah ini ditulis serangkai.
Si Amin lebih tua daripada si Ahmad.
Kesampingkan saja persoalan yang tidak penting itu.
Ia masuk, lalu keluar lagi.
g. Kata Si dan Sang
Kata si dan sang ditulis terpisah dari kata yang mengikutinya.
Misalnya: Harimau itu marah sekali kepada sang Kancil.
Surat itu dikirimkan kembali kepada si pengirim.

h. Partikel
Partikel -lah, -kah, dan -tah ditulis serangkai dengan kata yang mendahuluinya.
Misalnya: Bacalah buku itu baik-baik.
Apakah yang tersirat dalam surat itu?
i. Partikel pun ditulis terpisah dari kata yang mendahuluinya karena pun sudah hampir
seperti kata lepas.
Misalnya: Apa pun yang dimakannya, ia tetap kurus.
Hendak pulang pun sudah tak ada kendaraan.
Akan tetapi, kelompok kata berikut, yang sudah dianggap padu benar, ditulis serangkai.
Jumlah kata seperti itu terbatas, hanya ada dua belas kata, yaitu walaupun, meskipun,
andaipun, biarpun, adapun, ataupun, bagaimanapun, kendatipun, kalaupun, maupun,
sungguhpun dan sekalipun (yang berarti walaupun atau meskipun).
Misalnya: Walaupun miskin, ia tetap bahagia.
Sekalipun sering sakit, satu kali pun ia belum pernah
meminum obat.
j. Partikel per yang berarti ‗mulai‘, ‗demi‘, dan ‗tiap‘ ditulis terpisah dari bagian kalimat
yang mendahului atau mengikutinya.
Misalnya: Pegawai negeri mendapat kenaikan gaji per 1 April.
Mereka masuk ke dalam ruangan satu per satu.
Harga apel itu Rp2.000,00 per buah.
k. Singkatan dan Akronim
Singkatan ialah bentuk yang dipendekkan yang terdiri atas satu huruf atau lebih.
1) Singkatan nama orang, nama gelar, sapaan, jabatan atau pangkat diikuti oleh tanda titik.
Misalnya: A.S. Kramawijaya
Suman Hs.
M.B.A. master of business administration
M.Sc. master of science
2) Singkatan nama resmi lembaga pemerintah dan ketatanegaraan, badan atau organisasi,
serta nama dokumentasi resmi yang terdiri atas huruf awal kata ditulis dengan huruf
kapital dan tidak diikuti dengan tanda titik.
Misalnya: DPR dewan perwakilan rakyat
GBHN garis-garis besar haluan negara
3) Singkatan umum yang ditulis dengan huruf kecil dan terdiri atas tiga huruf atau lebih
diikuti oleh satu tanda titik, sedangkan singkatan yang terdiri atas dua huruf diberi dua
buah tanda titik.
Misalnya: dll. dan lain-lain s.d. sampai dengan
dsb. dan sebagainya a.n. atas nama
dkk. dan kawan-kawan u.p. untuk perhatian
4) Lambang kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang tidak
diikuti oleh tanda titik.
Misalnya: Cu cuprum
TNT trinitrotulen
Ibu membeli 50 kg beras.
Harga kain itu Rp30,000,00 per meter.
5) Akronim kimia, singkatan satuan ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang tidak
diikuti oleh tanda titik.
a) Akronim nama diri yang berupa gabungan huruf awal dari deret kata ditulis seluruhnya
dengan huruf kapital.
Misalnya: ABRI Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
LAN Lembaga Administrasi Negara
b) Akronim nama diri yang berupa gabungan suku kata atau gabungan huruf dan suku
kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal huruf kaptal.
Misalnya: Akabri Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
Bappenas Badan Perencanaan Pembangunan Nasional
c) Akronim yang bukan nama diri yang berupa gabungan huruf, suku kata, ataupun
gabungan huruf dan kata dari deret kata seluruhnya ditulis dengan huruf kecil.
Misalnya: pemilu pemilihan umum
radar radio detecting and ranging
l. Angka dan Lambang
1) Angka
a) Angka dipakai untuk menyatakan lambang bilangan atau nomor. Di dalam tulisan
lazim digunakan angka Arab atau angka Romawi.
Angka Arab : 0, 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9
Angka Romawi : I, II, III, IV, V, VI, VII, VIII, IX, X, L (50), C (100), D (500), M
(1000)

b) Angka digunakan untuk menyatakan:


1) ukuran panjang, berat, luas, dan isi,
2) satuan waktu,
3) nilai uang, dan
4) kuantitas.
c) Angka lazim dipakai untuk melambangkan nomor jalan, rumah, apartemen, atau
kamar pada alamat.
Misalnya: Jalan Tanah Abang I No. 15
Hotel Indonesia, Kamar 169
d) Angka digunakan juga untuk menomori bagian karangan dan ayat kitab suci.
Misalnya: Bab X, Pasal 5, halaman 252
Surah Yasin: 9
2) Lambang
Penulisan lambang bilangan dengan huruf dilakukan sebagai berikut.
a) Bilangan utuh
Misalnya : Dua belas 12
Dua ratus dua puluh dua 222
b) Bilangan pecahan
Misalnya : Setengah ½
Tiga perempat ¾
c) Penulisan lambang bilangan tingkat dapat dilakukan dengan cara berikut.
Misalnya: Paku Buwono X;
pada awal abad ke-21;
abad kedua puluh
d) Penulisan lambang bilangan yang mendapat akhiran -an mengikuti cara yang berikut.
Misalnya: tahun ‘50-an atau tahun lima puluhan
uang 5000-an atau uang lima ribuan
e) Lambang bilangan yang dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata ditulis dengan
huruf, kecuali jika beberapa lambang bilangan dipakai secara berurutan, seperti dalam
perincian dan pemaparan.
Misalnya: Amir menonton drama itu sampai tiga kali.
Ayah memesan tiga ratus ekor ayam.
f) Lambang bilangan pada awal kalimat ditulis dengan huruf. Jika perlu, susunan kalimat
diubah sehingga bilangan yang tidak dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata tidak
terdapat pada awal kalimat.
Misalnya: Lima belas orang tewas dalam kecelakaan itu.
Pak Darmo mengundang 250 orang tamu.
g) Angka yang menunjukkan bilangan utuh secara besar dapat dieja.
Misalnya: Perusahaan itu mendapat pinjaman 250 juta rupiah.
Penduduk Indonesia berjumlah lebih dari 200 juta orang.
h) Bilangan tidak perlu ditulis dengan angka dan huruf sekaligus dalam teks, kecuali di
dalam dokumen resmi seperti akta dan kuitansi.
Misalnya: Kantor kami mempunyai dua puluh orang pegawai.
Di lemari itu tersimpan 805 buku dan majalah.
Misalnya: Saya lampirkan tanda terima uang sebesar Rp999,75 (Sembilan ratus
sembilan puluh sembilan dan tujuh puluh lima perseratus rupiah)
4. Penulisan Unsur Serapan dan Tanda Baca
a. Penulisan Unsur Serapan
Dalam perkembangannya, bahasa Indonesia menyerap unsur dari berbagai bahasa, baik
dari bahasa daerah, seperti bahasa Jawa, Sunda, dan Bali, maupun dari bahasa asing, seperti
bahasa Sanskerta, Arab, Portugis, Belanda, dan Inggris. Berdasarkan taraf integrasinya, unsur
serapan dalam bahasa Indonesia dapat dibagi menjadi dua kelompok besar. Pertama, unsur asing
yang belum sepenuhnya terserap ke dalam bahasa Indonesia, seperti force majeur, de facto, dan
de jure. Unsur-unsur itu dipakai dalam konteks bahasa Indonesia, tetapi cara pengucapan dan
penulisannya masih mengikuti cara asing. Kedua, unsur asing yang penulisan dan
pengucapannya disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia. Dalam hal ini, penyerapan
diusahakan agar ejaannya diubah seperlunya, sehingga bentuk Indonesianya masih dapat
dibandingkan dengan asalnya. Kaidah ejaan yang berlaku bagi unsur serapan itu adalah sebagai
berikut.
aa (Belanda) menjadi a
paal pal
baal bal
ae tetap ae jika tidak bervariasi dengan e
aerob aerob
aerodimanics aerodonamika
ae, jika bervariasi dengan e, menjadi e
haemoglobin hemoglobin
haematite hematit
ai tetap ai
trailer trailer
caisson kaison
au tetap au
audiogram audiogram
autrotoph autrotof
c di muka a, u, o dan konsonan mejadi k
calomel kalomel
construction konstruksi
c di muka e, i, oe, dan y menjadi s
central sentral
cent sen
cc di muka o, u dan konsonan menjadi k
accommodation akomodasi
acculturation akulturasi
cc di muka e dan i menjadi ks
accent aksen
accessory aksesori
cch dan ch di muka a, o dan konsonan menjadi k
saccharin sakarin
charisma karisma
ch yang lafalnya s atau sy menjadi s
echelon eselon
machine mesin
ch yang lafalnya c menjadi c
check cek
china Cina
ç (Sanskerta) menjadi s
çabda sabda
çastra sastra

e tetap e
effect efek
description deskripsi
ea tetap ea
idealist idealis
habeas baheas
ee (Belanda) menjadi e
stratosfeer stratosfer
systeem sistem
ei tetap ei
eicosane eikosan
eidetic eidetik
eo tetap eo
stereo stereo
geometry geometri
eu tetap eu
neutron neutron
eugenol eugenol
f tetap f
fanatic fanatik
factor factor
gh menjadi g
sorghum sorgum
gue menjadi ge
igue ige
gigue gige
i pada awal suku kata di muka vokal tetap i
iambus iambus
ion ion
ie (Belanda) menjadi i jika lafalnya i
politiek politik
riem rim

ie tetap ie jika lafalnya bukan i


variety varietas
patient pasien
kh (Arab) tetap kh
khusus khusus
akhir akhir
ng tetap ng
contingent kontingen
congres kongres
oe (oi Yunani) menjadi e
oestrogen estrogen
oenology enology
oo (Belanda) menjadi o
komfoor kompor
provoost provos
oo (Inggris) menjadi u
cartoon kartun
proof pruf
oo (vokal ganda) tetap oo
zoology zoology
coordination koordinasi
ou menjadi u jika lafalnya u
gouverneur gubernur
coupon kupon
ph menjadi f
phase fase
physiology fisiologi
ps tetap ps
pseudo pseudo
psychiatry psikiatri
pt tetap pt
pterosaur pterosaur
pteridology pteridologi

q menjadi k
aquarium akuarium
frequency frekuensi
rh menjadi r
rhapsody rapsodi
rhombus rombus
sc di muka a, o, u, dan konsonan menjadi sk
scandium skandium
scoptopia skoptopia
sc di muka e, i, dan y menjadi s
scenography senografi
scintillation sintilasi
sch di muka vokal menjadi sk
schema skema
schizophrenia skizofrenia
t di muka i menjadi s jika lafalnya s
ratio rasio
actie aksi
th menjadi t
theocracy teokrasi
orthography ortografi
u tetap u
unit unit
nucleolus nucleolus
ua tetap ua
dualism dualism
aquarium akuarium
ue tetap ue
suede sued
duet duet
ui tetap ui
equinox ekuinoks
conduite konduite

uo tetap uo
fluorescein fluoresein
quorum kuorum
quota kuota
uu menjadi u
prematuur prematur
vacuum vakum
v tetap v
vitamin vitamin
television televise
x pada awal kata tetap x
xanthate xantat
xenon xenon
xc di muka e dan i menjadi ks
exception eksepsi
excess ekses
xc di muka a, o, u, dan konsonan menjadi ksk
excavation ekskavasi
excommunication ekskomunikasi
y tetap y jika lafalnya y
yakitori yakitori
yangonin yangonin
y menjadi y jika lafalnya i
yttrium itrium
dynamo dinamo
z tetap z
zenith zenith
zirconium zirkonium
konsonan ganda menjadi tunggal, kecuali kalau dapat membingungkan.
Misalnya:
gabbro gabro
commission komisi

tetapi:
mass massa
b. Penulisan Tanda Baca
1) Tanda Titik (.)
a) Tanda titik dipakai pada akhir kalimat yang bukan pertanyaan atau seruan. Misalnya:
Ayahku tinggal di Solo.
Biarlah mereka duduk di sana.
b) Tanda titik dipakai di belakang angka atau huruf dalam suatu bagan, ikhtisar, atau
daftar. Misalnya:
(1) III. Departemen Dalam Negeri
A. Direktorat Jenderal Pembangunan Masyarakat Desa
B. Direktorat Jenderal Agraria
1.…
(2) 1. Patokan Umum
1.1 Isi Karangan
1.2 Ilustrasi
1.2.1 Gambar Tangan
1.2.2 Tabel
1.2.3 Grafik
c) Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik yang menunjukkan
waktu. Misalnya: Pukul 1.35.20 (pukul 1 lewat 35 menit 20 detik)
d) Tanda titik dipakai untuk memisahkan angka jam, menit, dan detik yang
menunjukkan jangka waktu.
Misalnya: 1.35.20 jam (1 jam, 35 menit, 20 detik)
0.20.30 jam (20 menit, 30 detik)
0.0.30 am (30 detik)
e) Tanda titik dipakai dalam daftar pustaka di antara nama penulis, judul tulisan yang
tidak berakhir dengan tanda tanya atau tanda seru, dan tempat terbit. Misalnya:
Siregar, Merari. 1920. Azab dan Sengsara. Weltevreden: Balai Poestaka.
f) Tanda titik dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya. Misalnya:
Desa itu berpenduduk 24.200 orang.
g) Tanda titik tidak dipakai untuk memisahkan bilangan ribuan atau kelipatannya yang
tidak menunjukkan jumlah. Misalnya: Ia lahir pada tahun 1956 di Bandung. Lihat
halaman 2345 seterusnya.
h) Tanda titik tidak dipakai pada akhir judul yang merupakan kepala karangan atau
kepala ilustrasi, tabel, dan sebagainya.
Misalnya: Acara kunjungan Adam Malik
Bentuk dan Kedaulatan (Bab 1 UUD ‘45)
Salah Asuhan
i) Tanda titik tidak dipakai di belakang (1) alamat pengirim dan tanggal surat atau (2)
nama dan alamat surat.
Misalnya: Jalan Diponegoro 82 (tanpa titik)
Jakarta (tanpa titik)1 April 1985 (tanpa titik)
Atau: Kantor Penempatan Tenaga (tanpa titik)
Jalan Cikini 71 (tanpa titik) Jakarta (tanpa titik)
2) Tanda Koma (,)
a) Tanda koma dipakai di antara unsur-unsur dalam suatu perincian atau pembilangan.
Misalnya: Saya membeli kertas, pena, dan tinta.
Satu, dua, … tiga!
b) Tanda koma dipakai untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari kalimat setara
berikutnya yang didahului oleh kata seperti tetapi, sedangkan atau melainkan.
Misalnya: Saya ingin datang, tetapi hari hujan.
Didi bukan anak saya, melainkan anak Pak Kasim.
c) Tanda koma dipakai memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika anak kalimat
mendahului induk kalimat.
Misalnya: Kalau hari hujan, saya tidak datang.
Karena sibuk, ia lupa akan janjinya.
d) Tanda koma tidak dipakai untuk memisahkan anak kalimat dari induk kalimat jika
anak kalimat itu mengiringi induk kalimatnya.
Misalnya: Saya tidak akan datang kalau hari hujan.
Dia lupa akan janjinya karena sibuk.
e) Tanda koma dipakai di belakang kata atau ungkapan penghubung antarkalimat yang
terdapat pada awal kalimat. Termasuk di dalamnya oleh karena itu, jadi, lagi
pula,meskipun begitu, akan tetapi, namun, meskipun demikian, dalam hubungan
itu, sementara itu, selanjutnya, pertama, kedua, padahal, kemudian, kalau begitu,
misalnya, selain itu, dan sebagainya.
Misalnya: ….Oleh karena itu, kita harus berhati-hati.
…. Jadi, soalnya tidak semudah itu.
f) Tanda koma dipakai memisahkan kata seperti o, ya, wah, aduh, kasihan dari kata
lain yang terdapat di dalam kalimat.
Misalnya: O, begitu?
Wah, bukan main!
g) Tanda koma dipakai memisahkan petikan langsung dari bagian lain dalam kalimat.
Misalnya: Kata ibu ―Saya gembira sekali.‖
―Saya gembira sekali,‖ kata ibu, ―karena kamu lulus.‖
h) Tanda koma dipakai di antara (i) nama dan alamat, (ii) bagian-bagian alamat, (iii)
tempat dan tanggal, dan (iv) nama tempat dan wilayah atau negeri yang ditulis
berurutan.
Misalnya: Surat itu dialamatkan kepada Dekan Fakultas Ekonomi, Universitas
Islam ―45‖, Jalan Cut Meutia 83, Bekasia.
i) Tanda koma dipakai untuk memisahkan bagian nama yang dibalik susunannya
dalam daftar pustaka. Misalnya:
Alisjahbana, Sutan Takdir. 1949. Tatabahasa Baru Bahasa Indonesia. Jilid 1 dan 2.
Djakarta: Pustaka Rakjat.
j) Tanda koma dipakai di antara bagian-bagian dalam catatan kaki. Misalnya: W.J.S.
Poerwadarminta, Bahasa Indonesia untuk Karang-mengarang (Jogjakarta: UP
Indonesia, 1967), hlm. 4.
k) Tanda koma dipakai di antara nama orang dan gelar akademik yang mengikutinya
untuk membedakannya dari singkatan nama diri, keluarga, atau marga.
Misalnya: B. Ratulangi, S.E.
Ny. Khadijah, M.A.
l) Tanda koma dipakai di muka angka persepuluh atau di antara rupiah dan sen yang
dinyatakan dengan angka.
Misalnya: 12,5 m
Rp12,50
m) Tanda koma dipakai mengapit keterangan tambahan yang sifatnya
tidak membatasi.
Misalnya: Guru saya, Pak Ahmad, pandai sekali.
Di daerah kami, misalnya, masih banyak laki-laki memakan sirih.
n) Tanda koma dapat dipakai untuk menghindari salah baca di belakang keterangan
yang terdapat pada awal kalimat.
Misalnya: Dalam upaya pembinaan bahasa, kita memerlukan sikap
yang sungguh-sungguh.
Atas bantuan Agus, Karyadi mengucapkan terima kasih.
o) Tanda koma tidak dipakai memisahkan petikan langsung dari bagian lain yang
mengiringinya dalam kalimat jika petikan langung itu berakhir dengan tanda tanya
atau seru.
Misalnya: ―Di mana Saudara tinggal?‖ Tanya Karim.
―Berdiri lurus-lurus!‖ Perintahnya.
3) Tanda Titik Koma (;)
a) Tanda titik koma dapat dipakai memisahkan bagian-bagian kalimat yang sejenis
dan setara. Misalnya: Malam akan larut; pekerjaan belum selesai juga.
b) Tanda titik koma dapat dipakai sebagai pengganti kata penghubung untuk
memisahkan kalimat yang setara dalam kalimat majemuk. Misalnya: Ayah
mengurus tanamannya di kebun itu; ibu sibuk bekerja di dapur; Adik menghafal
nama-nama pahlawan nasional; saya sendiri asyik mendengarkan siaran ―Pilihan
Pendengar.‖
4) Tanda Titik Dua (:)
a) Tanda titik dua dapat dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap jika diikuti
rangkaian atau pemerian. Misalnya:
Kita sekarang memerlukan perabot rumah tangga: kursi, meja, dan lemari.
Hanya ada dua pilihan bagi para pejuang kemerdekaan itu: hidup atau mati.
b) Tanda titik dua tidak dipakai jika rangkaian itu merupakan pelengkap yang
mengakhiri pernyataan.
Misalnya: Kita memerlukan kursi, meja, dan lemari.
Fakultas itu mempunyai Jurusan Ekonomi Umum dan
Ekonomi Perusahaan.
c) Tanda titik dua dipakai sesudah kata atau ungkapan yang memerlukan pemerian.
Misalnya: a. Ketua : Ahmad Wijaya
Sekretaris : S. Handayani
Bendahara : B. Hartawan
b. Tempat Sidang : Ruang 104
Hari : Senin
Waktu : 09.30
d) Tanda titik dua dapat dipakai dalam teks drama sesudah kata yang menunjukkan
pelaku dalam percakapan.
Misalnya:
Ibu : (meletakkan beberapa kopor) ―Bawa kopor ini, Mir!‖
Amir : ―Baik, Bu.‖ (mengangkat kopor dan masuk)
Ibu : ―Jangan lupa. Letakkan baik-baik!‖ (duduk di kursi besar)
e) Tanda titik dua dipakai, yaitu (1) di antara jilid atau nomor dan halaman, (2) di
antara bab dan ayat dalam kitab suci, (3) di antara judul dan anak judul suatu
karangan, dan (4) di antara nama kota dan penerbit buku acuan dalam karangan.
Misalnya: Tempo, I (34), 1971: 7
Surah Yasin: 9
5) Tanda Hubung (-)
a) Tanda hubung menyambung suku-suku kata dasar yang terpisah oleh pergantian
baris. Misalnya: Di samping cara-cara lama itu juga cara yang baru.
b) Suku kata yang berupa satu vokal tidak ditempatkan pada ujung baris atau pangkal
baris.
Misalnya: Beberapa pendapat mengenai masalah i-
tu telah disampaikan ….
Walaupun sakit, mereka tetap tidak ma-
u beranjak
penulisan yang benar:
Beberapa pendapat mengenai masalah itu telah disampaikan ….
Walaupun sakit, mereka tetap tidak mau beranjak ….
c) Tanda hubung menyambung awalan dengan bagian kata di belakangnya atau
akhiran dengan bagian kata di depannya pada pergantian baris. Misalnya: Kini ada
cara baru mengukur panas. Akhiran i tidak dipenggal supaya jangan terdapat satu
huruf saja pada pangkal baris.
d) Tanda hubung menyambung unsur-unsur kata ulang. Misalnya: Anak-anak,
berulang-ulang, kemerah-merahan.
e) Tanda hubung menyambung huruf kata yang dieja satu-satu dan bagian-bagian
tanggal. Misalnya: p-a-n-i-t-i-a, 8-4-1973.
f) Tanda hubung boleh dipakai memperjelas (1) hubungan bagian-bagian kata atau
ungkapan, dan (2) penghilangan bagian kelompok kata. Misalnya: ber-evolusi,
dua puluh lima-ribuan (20 x 5.000), tanggung jawab-dan kesetiakawanan-sosial
g) Tanda hubung dipakai untuk merangkai (1) se- dengan kata berikutnya yang
dimulai dengan huruf kapital, (2) ke- dengan angka, (3) angka dengan -an, (4)
singkatan berhuruf kapital dengan imbuhan atau kata, dan (5) nama jabatan
rangkap. Misalnya: se Indonesia, se-Jawa Barat, hadiah ke-2, dan tahun 50-an.
h) Tanda hubung dipakai untuk merangkaikan unsur bahasa Indonesia dengan unsur
bahasa asing. Misalnya: di-smash, pen-tackle-an.
6) Tanda Pisah (―)
a) Tanda pisah dapat dipakai untuk membatasi penyisipan kata atau kalimat yang
memberi penjelasan di luar bangun kalimat. Misalnya: Kemerdekaan bangsa
itu―saya yakin akan tercapai―diperjuangkan oleh bangsa itu sendiri.
b) Tanda pisah dapat dipakai juga untuk menegaskan adanya keterangan aposisi atau
keterangan yang lain, sehingga kalimat menjadi lebih jelas. Misalnya: Rangkaian
temuan ini―evolusi, teori kenisbian, dan pembelahan atom―telah mengubah
konsepsi kita tentang alam semesta.
c) Tanda pisah dipakai di antara dua dilangan, tanggal, atau tempat yang berarti
‗sampai dengan‘ atau ‗sampai ke‘.
Misalnya: 1910―1945
Tanggal 5―10 April 1970
Jakarta―Bandung

7) Tanda Elipsis (…)


a) Tanda elipsis dipakai untuk menunjukkan bahwa dalam suatu kalimat atau kutipan
ada bagian yang dihilangkan.
Misalnya:
Penyebab kemerosotan … akan diteliti lebih lanjut.
…, lain lubuk lain ikannya.
Catatan:
(1) Tanda elipsis itu didahului dan diikuti dengan spasi.
(2) Tanda elipsis pada akhir kalimat diikuti oleh tanda titik (jumlah titik empat
buah)
b) Tanda elipsis dipakai untuk menulis ujaran yang tidak selesai dalam dialog.
Misalnya:
―Menurut saya … seperti … bagaimana, Bu?‖
―Jadi, simpulannya … oh, sudah saatnya istirahat.‖
Catatan:
8) Tanda Tanya (?)
a) Tanda tanya dipakai pada akhir kalimat tanya.
Misalnya: Kapan ia berangkat?
Saudara tahu, bukan?
b) Tanda taya dipakai di dalam tanda kurung untuk menyatakan bagian kalimat yang
disangsikan atau yang kurang dapat membuktikan kebenarannya.
Misalnya: Ia dilahirkan pada tahun 1983 (?).
Uangnya sebanyak 10 juta rupiah (?) hilang.
9) Tanda Seru (!)
Tanda seru dipakai untuk mengakhiri ungkapan atau pernyataan yang berupa seruan
atau perintah yang menggambarkan kesungguhan, ketidakpercayaan, atau emosi yang
kuat.
Misalnya:
Alangkah indahnya taman laut di Bunaken!
Masa! Dia bersikap seperti itu?
Bayarlah pajak tepat pada waktunya!

10) Tanda Kurung ((…))


a) Tanda kurung dipakai untuk mengapit tambahan keterangan atau penjelasan.
Misalnya: Bagian Perencanaan sudah selesai menyusun DIK (Daftar Isian
Kegiatan) kantor itu.
b) Tanda kurung dipakai untuk mengapit keterangan atau penjelasan yang bukan
bagian utama pokok kalimat. Misalnya: Sajak Tranggono yang berjudul
―Ubud‖ (nama yang terkenal di Bali) ditulis pada tahun 1962. Keterangan itu
(lihat Tabel 10) menunjukkan arus perkembangan baru dalam pasaran dalam
negeri.
c) Tanda kurung dipakai untuk mengapit huruf atau kata yang kehadirannya di dalam
teks dapat dihilangkan. Misalnya: Kata cocaine diserap ke dalam bahasa
Indonesia menjadi kokain (a). Pejalan kaki itu berasal dari (kota) Surabaya.
d) Tanda kurung mengapit angka atau huruf yang memerinci satu urutan keterangan.
Misalnya: Faktor produksi menyangkut (a) bahan baku, (b) biaya produksi,
dan (c) tenaga kerja.
11) Tanda Kurung Siku ([…])
a) Tanda kurung siku mengapit huruf, kata, atau kelompok kata sebagai koreksi atau
tambahan pada kalimat atau bagian kalimat yang ditulis orang lain. Tanda itu
menyatakan bahwa kesalahan atau kekurangan terdapat dalam naskah asli.
Misalnya: Sang Sapurba men[d]engar bunyi gemerisik.
b) Tanda kurung siku mengapit keterangan dalam kalimat penjelas yang sudah
bertanda kurung. Misalnya: Persamaan kedua proses ini (perbedaannya
dibicarakan di dalam Bab II [lihat halaman 35-38] perlu dibentangkan.
12) Tanda Petik Dua (―…‖)
a) Tanda petik mengapit petikan langsung yang berasal dari pembicaraan dan naskah
atau bahan tertulis lain. Misalnya: ―Saya belum siap,‖ kata Mira, ―tunggu
sebentar!‖ Pasal 36 UUD 1945 berbunyi, ―Bahasa negara ialah bahasa Indonesia.‖
b) Tanda petik mengapit judul syair, karangan, atau bab buku yang dipakai dalam
kalimat. Misalnya: Bacalah ―Bola Lampu‖ dalam buku Dari Suatu Masa dari
Suatu Tempat. Sajak ―Berdiri Aku‖ terdapat pada halaman 5 buku itu.
c) Tanda petik mengapit istilah ilmiah yang kurang dikenal atau kata yang
mempunyai arti khusus. Misalnya: Pekerjaan itu dilaksanakan dengan cara ―coba
dan ralat.‖ Ia bercelana panjang yang di kalangan remaja dikenal dengan nama
―cutbrai.‖
d) Tanda petik penutup mengikuti tanda baca yang mengahkiri petikan langsung.
Misalnya: Kata Tono, ―Saya minta satu.‖
13) Tanda Petik Tunggal (‗…‘)
a) Tanda petik tunggal dipakai untuk mengapit petikan yang terdapat dalam petikan
lain. Misalnya: Tanya Basri, ―Kau dengar bunyi ‗kring-kring‘ tadi?‖ ―Waktu
kubuka pintu depan, kudengar teriak anakku, ‗Ibu, Bapak pulang,‘ dan rasa
letihku lenyap seketika,‖ ujar Pak Hamdan.
b) Tanda petik tunggal dipakai untuk mengapit makna, terjemahan, atau penjelasan
kata atau ungkapan asing. Misalnya: feed-back ‗balikan.‘ Tergugat ‗yang digugat.‘
14) Tanda Garis Miring (/)
a) Tanda garis miring dipakai dalam nomor surat, nomor pada alamat, dan
penandaan masa satu tahun yang terbagi dalam dua tahun takwim.
Misalnya: No. 7/PK/1973
Jalan Kramat III/10
tahun anggaran 1985/1986
b) Tanda garis miring dipakai sebagai pengganti kata atau, tiap. Misalnya: harganya
Rp25,00/lembar ‗harganya Rp25,00 tiap lembar.‘ Mahasiswa/mahasiswi
‗mahasiswa dan mahasiswi.‘
c) Tanda garis miring dipakai untuk mengapit huruf, kata, atau kelompok kata
sebagai koreksi atau pengurangan atas kesalahan atau kelebihan di dalam naskah
asli yang ditulis orang lain.
Misalnya: Buku pengantar Ling / g / uistik karya Verhaar dicetak beberapa kali.
Dia sedang menyelesaikan / h / utangnya di bank.
15) Tanda Penyingkat atau Apostrof (‗)
Tanda penyingkat dipakai untuk menunjukkan penghilangan bagian
kata atau bagian angka tahun dalam konteks tertentu.
Misalnya: Ali ‗kan kusurati. (‗kan = akan)
Malam ‗lah tiba. (‗lah = telah)
1 Januari ‘88. (‘88 = 1988)

Anda mungkin juga menyukai