1 Pengertian Ejaan
Ejaan merupakan aspek penting di dalam berbahasa. Ejaan merupakan kaidah.
Sebagai kaidah, ejaan harus harus dipatuhi oleh pengguna bahasa. Hal tersebut harus
dipatuhi demi keteraturan dan keseragam bentuk terutama dalam bahasa tulis. Menurut
KBBI V versi luring bahwa ejaan adalah kaidah cara menggambarkan bunyi (kata,
kalimat, dsb.) dalam bentuk tulisan (huruf-huruf) serta penggunaan tanda baca. Artinya
bahwa kaidah ejaan bertujuan untuk mengatur penggunaan huruf, kata, kalimat, tanda
baca, dan sebagainya yang digunakan dalam bahasa tulis.
Arifin dan Tasai (2015:164) menjelaskan bahwa “Ejaan adalah aturan dalam
melambangkan bunyi ujaran lambang-lambang bahasa. Hal ini menunjukkan bahwa ejaan
merupakan aturan tentang tata cara dalam menuliskan lambang-lambang bahasa tulis
yang berkaitan dengan tata tulis huruf, kata, tanda baca sebagai sarananya”. Menurut
Kosasih (2017:172), “Ejaan adalah keseluruhan peraturan tentang pelambangan bunyi
ujaran dan hubungan antara lambang-lambang itu”. Sedangkan menurut Alek dan
Achmad (2018:259), “Ejaan adalah keseluruhan peraturan melambangkan bunyi ujaran,
pemisahan dan penggabungan kata, penulisan kata, huruf dan tanda baca. Lain halnya
menurut Finoza (2009:19), “Ejaan adalah seperangkat aturan tentang cara menuliskan
bahasa dengan menggunakan huruf, kata, dan tanda baca sebagai sarananya”.
Berdasarkan pengertian di atas pengertian ejaan adalah sebuah ilmu yang mempelajari
tentang aturan dalam penulisan suatu ujaran atau apapun yang perlu ditulis dengan
memeperhatikan penggunakan huruf, penggunaan kata, serta tanda baca sebagai tolak
ukurnya.
2.3 Penggunaan EYD yang Benar pada Penulisan Huruf dan Kata
1. Penggunaan Huruf Kapital
a. Jabatan tidak diikuti nama orang
Dalam butir 5 Pedoman EYD dinyatakan, huruf kapital dipakai sebagai huruf
pertama unsure nama jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang tertentu, nama
instansi, atau nama tempat. Contoh, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
Gubernur Jawa Barat, Profesor Jalaluddin Rakhmat, Sekretaris Jendral,
Departemen Pendidikan Nasional. Jabatan tidak diikuti nama orang tidak
memakai huruf kapital. Contoh, Menurut bupati, anggaran untuk pendidikan naik
25 % dari tahun sebelumnya.
b. Huruf pertama nama bangsa
Dalam butir 7 dinyatakan, huruf kapital digunakan sebagai huruf pertama
nama bangsa, suku bangsa, dan bahasa. Contoh, bangsa Indonesia, bahasa
Inggris. Ditegaskan, huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama nama
bangsa, suku bangsa, dan bahasa yang dipakai bentuk dasar kata turun. Contoh :
ke-Sunda-Sundaan, ke-Inggris-Inggrisan, ke-Batak-Batakan, meng-Indonesiakan.
Seharusnya : kesunda-sundaan, keinggris-inggrisan, kebatak-batakan,
mengindonesiakan.
c. Nama geografi sebagai nama jenis
Dalam butir 9 ditegaskan, huruf kapital tidak dipakai sebagai huruf pertama
istilah geografi yang tidak menjadi unsur nama diri. Contoh, berlayar ke teluk,
mandi di kali, menyebrangi selat, pergi ke arah tenggara, kacang bogor, salak
bali, pisang ambon, pepaya bangkok, nanas subang, tahu sumedang, peuyeum
bandung dan telur brebes.
d. Setiap unsur bentuk ulang sempurna
Dalam butir 11 dinyatakan, huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama setiap
unsur bentuk ulang sempurna yang terdapat pada nama badan lembaga
pemerintah dan ketatanegaraan, serta dokumen resmi. Contoh, Perserikatan
Bangsa-Bangsa, Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Yayasan Ahli-Ahli Bedah Plastik
Jawa Barat, Undang-Undang Dasar Republik Indonesia, Garis-Garis Besar
Haluan Negara.
e. Penulisan kata depan dan kata sambung
Dalam butir 12 dinyatakan, huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua
kata di dalam nama buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan kecuali kata
seperti di, ke, dari, dan, yang, dan untuk yang tidak terletak pada posisi awal.
Biasanya dipakai pada penulisan judul cerpen, novel. Contoh, Harimau Tua dan
Ayam Centil, Hari-Hari Penantian dalam Gua Neraka, Kado untuk Setan, Taksi
yang Menghilang.
2. Penulisan Huruf Miring
a. Penulisan nama buku
Pada butir 1 pedoman penulisan huruf miring ditegaskan, huruf miring dalam
cetakan dipakai untuk menuliskan nama buku, majalah, dan surat kabar yang
dikutip dalam tulisan. Contoh, Buku Jurnalistik Indonesia, Majalah Sunda
Mangle, Surat Kabar Bandung Pos.
b. Penulisan penegasan kata dan penulisan bahasa asing
Butir 2 pedoman penulisan huruf miring menyatakan, huruf miring dalam
cetakan dipakai untuk menegaskan atau mengkhususkan huruf, bagian kata, kata,
atau kelompok kata. Contoh, boat modeling, aeromodeling, motorsport.
c. Penulisan kata ilmiah
Butir 3 pedoman penulisan huruf miring menegaskan, huruf miring dan
cetakan dipakai untuk menuliskan kata nama ilmiah dan ungkapan asing kecuali
yang telah disesuaikan ejaannya. Contoh, royal-purple amethyst, crysacola,
turqoisa, rhizopoda, lactobacillus, dsb.
3. Penulisan Kata Turunan
a. Gabungan kata dapat awalan akhiran
Butir 3 pedoman kata turunan menegaskan, jika bentuk dasar yang berupa
gabungan kata mendapat awalan dan akhiran sekaligus, unsur gabungan kata itu
ditulis serangkai. Contoh, bertepuk tangan, garis bawahi, dilipatgandakan, sebar
luaskan.
b. Gabungan kata dalam kombinasi
Butir 4 pedoman penulisan kata turunan menyatakan, jika salah satu unsur
gabungan kata hanya dipakai dalam kombinasi, gabungan kata itu ditulis
serangkai. Contoh, antarkota, antarsiswa, antipornografi, antikekerasan, anti-
Amerika, audiovisual, demoralisasi, dwiwarna, dwibahasa, ekasila,
ekstrakulikuler, interkoneksi, intrakampus, multifungsi, pramuwisma, tunakarya,
tunarungu, prasejarah, pascapanen, tridaya, rekondisi
4. Penulisan Kata Gabungan
a. Penulisan gabungan kata istilah khusus
Butir 2 pedoman penulisan gabungan kata mengingatkan, gabungan kata,
termasuk istilah khusus, yang mungkin menimbulkan kesalahan pengertian dapat
ditulis dengan tanda hubung untuk menegaskan pertalian di antara unsur yang
bersangkutan. Contoh; alat pandang- dengar, anak-istri saya, buku sejarah-baru,
mesin-hitung tangan, ibu-bapak kami.
b. Penulisan gabungan kata serangkai
Butir 3 pedoman penulisan gabungan kata menegaskan, gabungan kata berikut
harus ditulis serangkai. Contoh, acapkali, adakalanya, akhirulkalam, daripada,
darmawisata, belasungkawa, dukacita, kacamata, kasatmata, manakala,
manasuka, matahari, olahraga, padahal, peribahasa, radioaktif, saptamarga,
saripati, sediakala, segitiga, sekalipun, sukacita, sukarela, sukaria, titimangsa.
2.5 Penggunaan EYD yang benar pada pada singkatan dan akronim
1. Penulisan Singkatan
Pedoman EYD menegaskan, singkatan ialah bentuk yang dipendekkan yang terdiri
atas satu huruf atau lebih. Singkatan nama resmi lembaga pemerintah dan
ketatanegaraan, badan atau organisasi, serta nama dokumen resmi yang terdiri atas
huruf awal kata ditulis dengan huruf kapital dan tidak diikuti dengan tanda titik.
a. Penulisan singkatan umum tiga huruf
Pedoman EYD mengingatkan, singkatan umum yang terdiri atas tiga huruf atau
lebih diikuti satu tanda titik. Kaidah bahasa jurnalistik dengan tegas melarang
pemakaian singkatan umum seperti ini dalam setiap karya jurnalistik seperti tajuk
renacana, pojok, artikel, kolom, surat pembaca, berita, teks foto, feature. Bahasa
jurnalistik juga dengan tegas melarang penggunaan singkatan jenis ini dalam judul
tajuk, artikel, surat pembaca, atau judul-judul berita.
b. Penulisan singkatan mata uang
Pedoman EYD menegaskan, lambang kimia, singkatan satuan ukuran , takaran,
timbangan, dan mata uang tidak diikuti tanda titik.
2. Penulisan Akronim
Menurut Pedoman EYD, akronim ialah singkatan yang berupa gabungan huruf
awal, gabungan suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata yang
diperlakukan sebagai kata. Pertama, akronim nama diri berupa gabunga suku kata.
Kedua, akronim yang bukan nama diri berupa gabungan huruf.
a. Akronim nama diri
Pedoman EYD menyatakan, akronim nama diri yag berupa gabungan suku kata
atau gabungan huruf dan suku kata dari deret kata ditulis dengan huruf awal huruf
kapital.
b. Akronim bukan nama diri
Menurut Pedoman EYD, akronim yang bukan nama diri yang berupa gabungan
huruf, suku kata, ataupun gabungan huruf dan suku kata dari deret kata seluruhnya
ditulis dengan huruf kecil.
Sebagai catatan, Pedoman EYD mengingatkan, jika dianggap perlu membentuk
akronim, maka harus diperhatikan dua syarat
1) Jumlah suku akronim jangan melebihi jumlah suku kata yang lazim pada kata
Indonesia.
2) Akronim dibentuk yang sesuai dengan mengindahkan keserasian kombinasi vokal
dan konsonan yang sesuai dengan pola kata Indonesia yang lazim.
Link refrensi
http://fennyapriliyanti.blogspot.com/2017/06/makalah-ejaan-yang-disempurnakan-eyd.html?m=1
https://repository.uhn.ac.id/bitstream/handle/123456789/4027/Desy%20Agustina%20Silalahi.pdf?
sequence=1&isAllowed=y