Anda di halaman 1dari 14

K K KAT MAKALAH FILSAFAT ISLAM

“PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU SINA”

KATA PENGANTAR

Dosen Pengampu :
Bpk. Asep Nuhdi, M. pd

 Disusun oleh :
-Kiki Wahyudi (22862081130)
- Sadidatun sholihah (22862081153)
- Siti Maryam (22862081005)
- Izaazun Nadwah (22862321010)
- Nur Hanifah (22862081064

FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NASIONAL LAA ROIBA

Jl. Raya Pemda No. 41, Sukahati, Kec. Cibinong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat

Telp : 021-8757150
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Seraya mengucapkan Alhamdulillah, segala puji serta syukur kami
sampaikan keharibaan Illahi Rabbi, karena atas segala kenikmatan dan kekuatan-
Nya kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul: PEMIKIRAN
FILSAFAT IBNU SINA. Sholawat serta salam kami sampaikan kepada baginda
Rasulullah Muhammad SAW. yang telah memberikan warna Ilahiah dalam hidup
dan kehidupan manusia di dunia.
Pada penyusunan makalah ini kami mengucapkan terima kasih kepada
Bapak Asep Nuhdi M. pd. selaku dosen mata kuliah Filsafat Islam
yang telah memberikan bimbingan. Kami menyadari bahwa makalah
ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari bentuk punyusunan maupun
materinya. Kritik yang bersifat membangun dari pembaca sangat kami harapkan
demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi kami
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Cibinong, 9 Mei 2023

Kelompok 7
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .................................................................................... i
DAFTAR ISI ................................................................................................. ii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................................... 2
B. Rumusan Masalah .................................................................................. 4
C. Tujuan Masalah ...................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN .............................................................................. 6
A. Biografi Ibnu Sina....................................................................................... 7
B. Pemikiran Filsafat Ibnu Sina......................................................................... 8
C. Karya-karya Ibnu Sina.................................................................................... 9
BAB III PENUTUP .................................................................................... 10
A. Kesimpulan ………................................................................................. 11
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 12
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.
Dinasti Abbasiyah merupakan kerajaan yang besar dan terorganisir dengan baik. Sama dengan dinasti
lainnya dalam sejarah Islam, mencapai masa kejayaan politik dan intelektual mereka segera setelah
didirikan. Namun dalam hal yang mendasar terdapat perbedaan antara Dinasti Umayyah dengan
Abbasiyah. Dinasti Umayyah terdiri atas orang Arab, sementara Dinasti Abbasiyah lebih bersifat
International. Dinasti Abbasiyah merupakan kerajaan orang Islam baru, tempat orang Arab hanya
menjadi salah satu unsur dari berbagai bangsa yang membentuk kerajaan itu. Disamping itu juga
terdapat pernedaan lainnya. Untuk pertama kali dalam sejarah, kekhalifahan, tidak dikaitkan dengan
Islam. Spanyol dan Afrika Utara, Oman, Sind, dan bahkan Khurasan tidak sepenuhnya mengakui
khalifah baru itu.[1]
Pada masa inilah puncak kejayaan Islam atau Masa Keemasan Islam. Pada masa ini juga terlahir
banyak tokoh-tokoh besar seperti : Al-Farabi (Seorang Filosof), Al-Kindi (Sorang Filosof), Ar-Razi
(Fiqih dan Filosof), Al-Khawarijmi (Aljabar), Jabir bin Hayan (Kimia), Ibn Haisyam (Alat Optik), Ibn
Sina (Kedokteran), Imam Hanafi (Bidang Fiqih), Imam Maliki (Bidang Fiqih), Imam Syafi’I (Bidang
Fiqih), Imam Hambali (Bidang Fiqih), yang lebih dikenal dengan Imam 4 Mazhab yang dipakai di
seluruh dunia, Ibn Jarir At-Thobari (Bidang Tafsir), Ibn Katsir (Bidang Tafsir) dan masih banyak lagi.
Dalam abad pertengahan sejarah pemikiran filsafat Islam sosok Ibnu Sina dalam banyak hal unik,
sedang diantara para filosof muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang
semakin tinggi hingga masa modern. Ia adalah satu - satunya filosof besar Islam yang telah berhasil
membangun sistem filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi
filsafat muslim beberapa abad. Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi
karena sistem yang ia miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius
dalam menemukan. Metode-metode dan alasan-alasannya yang diperlukan untuk merumuskan
kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi
dalam sistem keagamaan Islam.[2]

B. Rumusan Masalah.
1. Siapakah Ibnu Sina?
2. Bagaimana pemikirannya tentang wujud, Tuhan, akal, jiwa dan tubuh?
3. Bagaimana pengetahuanya tentang pengetahuan Tuhan dan teori emanasi?
4. Bagaimana kontribusi ilmiah dalam ilmu pengetahuan?
C. Tujuan masalah
1. Mengetahui biografi Ibnu Sina
2. Mengetahui pemikiran Ibnu Sina tentang wujud, Tuhan, akal, Jiwa dan tubuh
3. Mengetahui pengetahuan Ibnu Sina tentang Pengetahuan Tuhan dan Teori emnasi
4. Mengetahui Karya-karya Ibnu Sina

BAB II
PEMBAHASAN

A. Biografi Ibnu Sina.


Ibnu Sina lahir pada tahun 370 (H) / 980 (M) di rumah ibunya Afshana, sebuah kota kecil
sekarang wilayah Uzbekistan (bagian dari Persia). Ayahnya, seorang sarjana terhormat Isma’ili,
berasal dari Balkh Khorasan, dan pada saat kelahiran putranya dia adalah Gubernur suatu daerah di
salah satu pemukiman Nuh Ibn Mansur, sekarang wilayah Afganistan (dan juga Persia). Dia
menginginkan putranya dididik dengan baik di Bukhara. Meskipun secara tradisional dipengaruhi
oleh cabang Islam Ismalili, pemikiran Ibnu Sina independen dengan memiliki kepintaran dan ingatan
luar biasa, yang mengizinkannya menyusul para gurunya pada usia 14 tahun. Dia menampilkan suatu
pengecualian sikap intelektual dan seorang anak yang luar biasa kepandaianya / Child prodigy yang
telah menghafal Al-Qur’an pada usia 5 tahun dan juga seorang ahli puisi Persia. Dari seorang
pedagang dia belajar aritmatika, dan dia memulai untuk belajar yang lain dari seorang sarjana yang
memperoeh suatu mata pencaharian dari merawat orang sakit dan mengajar anak muda.
Nama lengkapnya Abu Ali al-husein ibn Abdullah ibn al-Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia dilahirkan di desa
Afsyanah, dekat Bukhara, Transoxiana (persia utara) pada 370 H (±980M). Ayahnya berasal dari kota
balakh kemudian pindah ke bukharah pada masa raja Nuh ibn manshur dan diangkat oleh raja sebagi
penguasa di kharmaitsan, satu wilayah di kota bukharah.
Menurut sejarah hidup yang disusun oleh Ibnu Sina, bernama Jurjani, dari sejak kecil Ibnu
Sina telah banyak mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan yang ada di zamannya. Ilmu-ilmu itu adalah
Ilmu fisika, matematika, kedokteran, hukum dan lain-lain. Sewaktu Ibnu Sina masih berusia 17
tahun, ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati Pangeran Nuh Ibnu
Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Setelah orang tua Ibnu Sina meninggal saat ia brusia 22
tahun, ia pindah ke Jurjan, suatu kota di dekat Laut Kaspia, dan di sanalah ia mulai menulis
ensiklopedinya tentang ilmu kedokteran yang kemudian terkenal dengan nama al-Qanun fi al-Tibb
(The Qanun). Kemudian ia pindah ke Ray, suatu kota di sebelah Teheran, dan bekerja untuk Ratu
Sayyedah dan anknya Majd al-Dawlah. Kemudian Sultan Syams al-Dawlah yang berkuasa di Hamdan
(di bahagian Barat dari Iran) mengangkat Ibnu Sina menjadi Menterinya. Kemudian ia pindah ke
Isfahan dan meninggal di tahun 1037 M, pada usia 58.
.Di Bukharaia dibesarkan serta belajar falsafah kedokteran dan ilmu - ilmu agama Islam.
Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari ilmu agama Islam dan menghafal Al-Qur’an
seluruhnya. Dari mutafalsir Abu Abdellah Natili, Ibnu Sina mendapat bimbingan mengenai ilmu
logika yang elementer untuk mempelajari buku Isagogedan Porphyry, Eucliddan Al-MagestPtolemus.
Dan sesudah gurunya pindah ia mendalami ilmu agama dan metafisika, terutama dari ajaran Plato dan
Arsitoteles yang murni dengan bantuan komentator -komentator dari pengarang yang otoriter dari
Yunani yang sudah diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Dengan ketajaman otaknya ia banyak
mempelajari filsafat dan cabang - cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini
menunjukkan bahwa ketinggian otodidaknya, namun di suatu kali dia harus terpaku menunggu saat ia
menyelami ilmu metafisika-nya Arisstoteles, kendati sudah 40 an kali membacanya. Baru setelah ia
membaca Agradhu kitab ma waraet thabie’ah li li Aristho-nya Al-Farabi (870 - 950 M), semua
persoalan mendapat jawaban dan penjelasan yang terang benderang, bagaikan dia mendapat kunci
bagi segala simpanan ilmu metafisika. Maka dengan tulus ikhlas dia mengakui bahwa dia menjadi
murid yang setia dari Al-Farabi. Sirajuddin Zar menambahkan, anekdot ini juga dapat diartikan
bahwa Ibnu Sina adalah seorang pewaris Filsafat Neoplatonisme Islam yang dikembangkan al-Farabi.
Dengan istilah lain, Ibnu Sina adalah pelanjut dan pengembang filsafat Yunani yang sebelumnya telah
dirintis al-Farabi dan dibukakan pintunya oleh al-Kindi.
Sesudah itu ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Belum lagi usianya
melebihi enam belas tahun, kemahirannya dalam ilmu kedokteran sudah dikenal orang, bahkan
banyak orang yang berdatangan untuk berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori - teori
kedokteran, tetapi juga melakukan praktek dan mengobati orang - orang sakit. Ia tidak pernah bosan
atau gelisah dalam membaca buku - buku filsafat dan setiap kali menghadapi kesulitan, maka ia
memohon kepada Tuhan untuk diberinya petunjuk, dan ternyata permohonannya itu tidak pernah
dikecewakan. Sering - sering ia tertidur karena kepayahan membaca, maka didalam tidurnya itu
dilihatnya pemecahan terhadap kesulitan - kesulitan yang dihadapinya. Sewaktu berumur 17 tahun ia
telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur
sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan dapat
pula mengunjungi perpustakaan yang penuh dengan buku - buku yang sukar didapat, kemudian
dibacanya dengan segala keasyikan. Karena sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka
tuduhan orang ditimpakan kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi
mengambil manfaat dari perpustakaan itu .Kemampuan Ibnu Sina dalam bidang filsafat dan
kedokteran, kedua duanya sama beratnya. Dalam bidang kedokteran dia mempersembahkan Al-
Qanun fit-Thibb-nya, dimana ilmu kedokteran modern mendapat pelajaran, sebab kitab ini selain
lengkap, disusunnya secara sistematis.
B. Pemikiran Filsafat Ibnu Sina.
1. Filsafat Wujud.
Mengenai Wujud Tuhan, Ibnu Sina memiliki pendapat yang berbeda dari Ibnu Farabi. Ibnu
Sina bahwa Akal Pertama mempunyai dua sifat; sifat wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah,
dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya (wajibul Wujudul Lighairi dan
Mumkinul Wujudul Lidzatihi) dalam bahasa Inggris (Necessary by virtue of the Necessary Being dan
Possible in essence). Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai
wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari pemikiran tentang Tuhan, timbul akal-
akal, dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya timbul jiwa-jiwa dan dari pemikiran
tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul langit-langit. Walaupun Ibnu Sina memiliki
pandangan yang berbeda dari akal, namun ada pendapat Ibnu Sina yang sama dengan al-Farabi,
tentang wujud Tuhan bersifat emanasionistis. Perkataannya dari Tuhannlah Kemaujudan Yang Mesti
mengalir Inteligensi pertama, sendirian karena hanya dari yang tunggal, yang mutlak, sesuatu dapat
mewujud. Akan tetapi, sifat inteligensi pertama itu tidak selamanya mutlak satu, karena ia bukan ada
dengan sendirinya, ia hanya mungkin, dan kemungkinannya itu diwujudkan oleh Tuhan. Berkat kedua
sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi seluruh ciptaan di dunia, inteligensi pertama memunculkan
dua kemaujudan, yaitu: pertama, Inteligensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya
aktualitas. Kedua, lingkup pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah dari adanya kemungkinan
alamiahnya. Dua proses pemancaran ini berjalan terus menerus sampai kita mencapai inteligensi
kesepuluh yang mengatur dunia ini, oleh sebab demikian banyak para filsafat Muslim yang disebut
”Malaikat Jibril”. Nama ini diberikan karena ia memberikan bentuk atau ”memberitahukan” materi
dunia ini, yaitu materi fisik dan akal manusia. Oleh karena itu, ia juga disebut ”pemberi bentuk”.
Bagi Ibnu Sina sifat wujudlah yang terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala
sifat lain, walaupun essensi sendiri. Essensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang
wujud terdapat di luar akal. Wujudlah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai
kenyataan diluar akal. Tanpa wujud, essensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting
dari essensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih dahulu
menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisasi dari filosof - filosof lain.
Kalau dikombinasikan, essensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :
1. Essensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu
Sina mumtani’yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (impossible being).
2. Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang serupa ini
disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud.
Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur
menjadi tidak ada.
3. Essensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Disini essensi tidak bisa dipisahkan dari
wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan
kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi mesti
dan wajib mempunyai wujud selama - lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud yaitu Tuhan.
Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud.
Dalam pembagian wujud kepada wajib dan mumkin, tampaknya Ibnu Sina terpengaruh oleh
pembagian wujud para mutakallimun kepada : baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim). Karena dalil
mereka tentang wujud Allah didasarkan pada pembedaan - pembedaan “baharu” dan “qadim”
sehingga mengharuskan orang berkata, setiap orang yang ada selain Allah adalah baharu, yakni
didahului oleh zaman dimana Allah tidak berbuat apa - apa. Pendirian ini mengakibatkan lumpuhnya
kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk ini, sehingga Allah tidak pemurah pada
satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain. Dengan kata lain perbuatan-Nya tidak Qadim dan
tidak mesti wajib [38]. Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian itu, Ibnu Sina menyatakan
sejak mula “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan) adalah mungkin, bukan baharu”.
Pernyataan ini akan membawa kepada aktifnya iradah Allah sejak Qadim, sebelum Zaman.
Dari pendapat tersebut terdapat perbedaan antara pemikiran para mutakallimin dengan pemikiran Ibnu
Sina. Dimana para mutakallimin anatar qadim dan baharu lebih sesuai dengan ajaran agama tentang
Tuhan yang menjadikan alam menurut kehendak-Nya, sedangkan dalil Ibnu Sina dalam dirinya
terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk dibawah “kemestian”, sehingga perbuatan-
Nya telah ada sekaligus sejak qadim.
“Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut :
Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah selesai sebelum
zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Dalam kitab An-Najah (hal. 372) Ibnu Sina berkata : “yang
wajib wujud (Tuhan) itu adalah wajib (mesti) dari segala segi, sehingga tidak terlambat wujud lain
(wujud muntazhar) - dari wuwud-Nya, malah semua yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak
ada bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak ada
suatu sifat dzat-Nya yang baru”. Demikianlah perbuatan Allah telah selesai dan sempurna sejak
qadim, tidak ada sesuatu yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah - olah alam ini tidak perlu lagi
kepada Allah sesudah diciptakan.
Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak ada tujuan apapun. Seakan - akan telah hilang dari perbuatan sifat
akal yang dipandang oleh Ibnu Sina sebagai hakekat Tuhan, dan hanya sebagai perbuatan mekanis
karena tidak ada tujuan sama sekali.
Ketiga, manakala perbuatan Allah telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud, keluar dari-
Nya berdasarkan “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan
kehendak bebas.
Yang dimaksudkan dalam catatan ketiga ini yaitu Ibnu Sina menisbatkan sifat yang paling rendah
kepada Allah karena sejak semula ia menggambarkan “kemestian” pada Allah dari segala sudut.
Akibatnya upaya menetapkan iradah Allah sesudah itu menjadi sia - sia, akrena iradah itu tidak lagi
bebas sedikitpun dan perbuatan yang keluar dari kehendak itu adalah kemestian dalam arti yang
sebenarnya. Jadi tidak ada kebebasan dan kehendak selagi kemestian telah melilit Tuhan sampai pada
perbuatan-Nya, lebih - lebih lagi pada dzat-Nya.
Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk memberi wujud ini
Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti : shudur (keluar), faidh (melimpah), luzum
(mesti), wujub anhu (wajib darinya). Nama - nama ini dipakai oleh Ibnu Sina untuk membebaskan diri
dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di persimpangan jalan anatara mempergunakan
konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran agama dengan konsep Tuhan
sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai pemberi kepada materi sehingga
bergerak ke arahnya secara gradual untuk memperoleh kesempurnaan.
Dalam empat catatan tersebut para penulis sejarah dan pengkritik Ibnu Sina selalu memahami bahwa
Ibnu Sina menggunakan konsep pertama yaitu konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat”. Tidak terpikir
oleh mereka kemunginan Ibnu Sina menggunakan konsep kedua, yang menyatakan bahwa Tuhan
tidak mencipta, tapi hanya sebagai “tujuan” semata. Semua mahluk merindui Tuhan dan bergerak ke
arahNya seperti yang terdapat dalam konsepsi Aristoteles tentang keindahan seni dalan hubungan
alam dengan Tuhan.
2. Filsafat Tuhan.
Menurut Ibnu Sina, bahwa Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud Tunggal secara mutlak.
Sedangkan segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua. Karena ketunggalannya, apakah
Tuhan itu, dan kenyataan bahwa ia ada, bukanlah dua unsur dalam satu wujud, tetapi satu unsur
anatomik dalam wujud yang Tunggal. Tentang apakah Tuhan itu dann hakikat Tuhan adalah identik
dengan eksistensi-Nya. Hal ini bukan merupakan kejadian bagi wujud lainnya, karena tidak ada
kejadian lain yang eksistensinya identik dengan esensinya. Dengan kata lain, seorang suku Eskimo
yang tidak pernah melihat gajah, maka ia tergolong salah seorang yang berdasarkan kenyataan itu
sendiri mengetahui bahwa gajah itu ada. Demikian halnya, adanya Tuhan adalah satu keniscayaan,
sedangkan adanya sesuatu yang lain hanya mungkin dan diturunkan dari adanya Tuhan, dan dugaan
bahwa Tuhan itu tidak ada mengandung kontradiksi, karena dengan demikian yang lain pun juga tidak
akan ada. Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Tuhan Yang Maha Esa, Dialah Allah, maka ia tidak
perlu mencari dalil dengan salah satu makhluknya, tetapi cukup dalil adanya Wujud Pertama, yakni ;
Wajibul Wujud. Sedangkan jagad raya ini, yakni mumkinul wujud memerlukan sesuatu sebab (’illat)
yang mengeluarkannya menjadi wujud karena wujudnya tidak dari zatnya sendiri. Dengan demikian,
dalam menetapkan Yang Pertama (Allah, kita tidak memerlukan perenungan selain terhadap wujud itu
sendiri, tanpa memerlukan pembuktian wujud-Nya dengan salah satu makhluk-Nya. Sebagai
pembuktian dari wacana di atas, al-Qur’an menggambarkannya dalam Surat Fushshilat ayat 53 yang
berbunyi:

‫َس ُنِريِهْم آَياِتَنا ِفي اآلَفاِق َوِفي َأْنُفِس ِهْم َح َّتى َيَتَبَّيَن َلُهْم َأَّنُه اْلَح ُّق َأَو َلْم َيْك ِف ِبَرِّبَك َأَّنُه َع َلى ُك ِّل َش ْي ٍء َش ِهيٌد‬

Artinya : ”Kami akan memperlihatkan kepada mereka tanda-tanda (kekuasaan) kami di segala
wilayah bumi dan pada diri mereka sendiri, hingga jelas bagi mereka bahwa Al Quran itu adalah
benar. Tiadakah cukup bahwa Sesungguhnya Tuhanmu menjadi saksi atas segala sesuatu?”.
Filsafat emanasi ini bukan hasil dari renungan Ibn Sina tetapi berasal dari “ramuan Plotinus” yang
menyatakan bahwa alam ini terjadi karena pancaran dari Yang Esa. Kemudian filsafat Plotinus yang
berprinsip bahwa “dari yang satu hanya satu yang melimpah”. Ini diislamkan oleh Ibn Sina bahwa
Allah menciptakan alam secara emanasi. Hal ini memungkinkan karena dalam al-Qur’an tidak
ditemukan informasi yang rinci tentang penciptaan alam dari materi yang sudah ada atau dari
tiadanya. Dengan demikian, walaupun prinsip Ibn Sina dan Plotinus sama, namun hasil dan tujuan
berbeda. Oleh karena itu dapat dikatakan yang Esa menurut Plotinus sebagai penyebab yang pasif
bergeser menjadi Allah pencipta yang aktif. Ia menciptakan alam dari materi yang sudah ada secara
pancaran. Adapun proses terjadinya pancaran itu tersebut adalah ketika Allah Wujud (bukan dari
tiada) sebagai akal (‘aql) langsung memikirkan (ber-ta’aqqul) terhadap zat-Nya yang menjadi
pemikirannya, maka memancarlah akal pertama. Dari akal pertama ini memancarlah akal kedua, jiwa
pertama dan langit pertama. Demikianlah seterusnya sampai akal kesepuluh yang sudah lemah
dayanya dan tidak dapat menghasilkan akal sejenisnya dan hanya menghasilkan jiwa kesepuluh,
bumi, roh, materi pertama, yang menjadi dasar bagi keempat unsur pokok : air, udara, api, dan tanah.
Bagi Ibn Sina, akal pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah
dan sifat mungkin wujudnya jika di tinjau dari hakikat darinya. Dengan demikian, Ibn Sina membagi
objek-objek pemikiran akal-akal menjadi tiga: Allah (wajib al-wujud li dzatihi), dirinya akal-akal
(wajib al-wujud li ghairihi), sebagai pancaran dari Allah dan dirinya akal-akal (mumkin al-wujud).
Akal-akal dan planet-planet dalam emanai dipancarkan (diciptakan) Allah secara hirarki keadaan ini
bisa terjadi karena ta’aqqul Allah tentang zatnya sebagai sumber energi yang maha dahsyat. Ta’aqqul
Allah tentang zatnya adalah ilmu tentang dirinya dan ilmu adalah daya (al-qudrat) yang menciptakan
segalanya. Agar sesuatu itu diciptakan, cukup sesuatu itu diketahui oleh Allah. Dari hasil ta’aqul Allah
terhadap zatnya (energi) itulah diantaranya menjadi akal-akal, jiwa-jiwa, dan lainnya memadat
menjadi planet-planet. Emanasi Ibn Sina juga menghasilkan sepuluh akal dan sembilan planet dan
akal kesepuluh mengurusi bumi. Bagi Ibn Sina masing-masing jiwa berfungsi sebagai penggerak satu
planet, karena akal (immateri) tidak bisa langsung menggerakkan planet yang bersifat materi. Akal-
akal adalah malaikat. Akal pertama adalah malaikat dan akal kesepuluh adalah malaikat Jibril yang
bertugas mengatur bumi dan segala isinya.Sejalan dengan filsafat emanasi, alam ini qadim karena
diciptakan oleh Allah sejak qidam dan azali. Akan tetapi, tentu saja Ibn Sina membedakan antara
qadimnya Allah dan alam. Perbedaan yang mendasar terletak pada sebab membuat alam terwujud.
Keberadaan alam tidak didahului oleh zaman, maka alam qadim dari zaman Adapun dari segi esensi
sebagai hasil ciptaan Allah secara pancaran alam ini baru (huduus zaaty). Sementara Allah adalah
taqaddum zaaty. Ia sebab semua yang ada, Ia pencipta alam.
3. Filsafat Akal.
Menurut Ibnu Sina akal merupakan suatu kekuatan yang terdapat dalam jiwa. Ada dua macam
akal yaitu : akal manusia dan akal aktif. Semua pemikiran yang muncul dari manusia sendiri untuk
mencari kebenaran disebut akal manusia. Sedangkan akal aktif adalah semua pemikiran manusia yang
mendatang kedalam akal manusia dari limpahan ilham ke-Tuhanan. Ibnu Sina juga terkenal dengan
rumusannya yaitu : akal (pemikiran) membawa alam semesta ini kedalam bentuk-bentuk. Rumusan
Ibnu Sina diambil alih oleh seorang pendeta Domician Albertus Magnus (1206-1280) yang
dikemukakan di dunia barat.
Dari Tuhan memancar akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama,
demikian seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar
segala apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaekat tertinggi
dan akal kesepuluh adalah Jibril.
Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya sebagai
pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari hakekat dirinya atau necessary by
virtual of the necessary being and possible in essence . Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek
pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya. Dari
pemkiran tentang Tuhan timbul akal - akal dari pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujudnya
timbul jiwa - jiwa dari pemikiran tentang dirinya sebagai mungkin wujudnya timbul di langit. Jiwa
manusia sebagaimana jiwa - jiwa lain dan segala apa
yang terdapat di bawah Bulan, memancar dari akal ke sepuluh. Segi - segi kejiwaan pada Ibnu Sina
pada garis besarnya dapat dibagi menjadi dua segi yaitu :
a. Akal materiil yang semata - mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih walaupun
sedikitpun.
b. Intelectual in habits, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal – hal abstrak.
c. Akal actuil, yang telah dapat berfikir tentang hal - hal abstrak.
d. Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal - hal abstrak dengan tak perlu
pada daya upaya.

4. Filsafat Jiwa.
Menurut pendapat Ibnu Sina, jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan
mempunyai wujud terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan yang
sesuai dan dapat menerima jiwa lahir di dunia ini. Sungguhpun jiwa manusia tidak mempunyai
fungsi-fungsi fisik, dengan demikian tidak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai
daya yang berpikir, yakni jiwa yang masih berhajat pada badan. Pendapatnya juga searah dengan
Aristoteles, Ibnu Sina menekankan eratnya hubungan antara jiwa dan raga, tetapi semua
kecenderungan pemikiran Aristoteles menolak suatu pandangan dua subtansi, dua subtansi ini di
yakininya sebagai bentuk dari dualisme radikal. Sejauhmana dua aspek doktrinnya itu bersesuaian
merupakan suatu pertanyaan yang berbeda, tentunya Ibnu Sina tidak menggunakan dualismenya
untuk mengembangkan suatu tinjauan yang sejajar dan kebetulan tentang hubungan jiwa raga.
Menurut Ibnu Sina, hal ini adalah cara pembuktian yang lebih langsung tentang subtansialitas
nonbadan, jiwa, yang berlaku bukan sebagai argumen, tetapi sebagai pembuka mata.[13] Jiwa
manusia , sebagai jiwa-jiwa lain segala apa yang terdapat di bawah bulan, memancar dari Akal
kesepuluh.[14] Kemudian Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bahagian :
a. Jiwa tumbuh-tumbuhan (an-Nafsul Nabatiyah), yakni meliputi beberapa daya :
1) Makan (nutrition)
2) Tumbuh (Growth)
3) Berkembang biak (reproduction)
b. Jiwa binatang (an-Nafsul Hayawaniah), yakni meliputi bebrapa daya;
1) Gerak (locomotion),
2) Menangkap (perception).
Dua daya ini dibagi lagi menjadi dua bahagian :
1) Menangkap dari luar (al-Mudrikah minal kharij) dengan pancaindera.
2) Menangkap dari dalam (al-Mudrikah minad dakhil) dengan indera-indera yang meliputi :
a) Indera bersama yang menerima segala apa yang dirangkap oleh pancaindera
b) Representasi yang menyimpan segala apa yang diterima oleh indera bersama
c) Imaginasi yang menyusun apa yang disimpan dalam representasi,
d) Estimasi yang dapat manangkap hal-hal abstrak yang terlepas dari materinya, umpama keharusan
lari bagi kambing dari anjing srigala
e) Rekoleksi yang menyimpan hal-hal abstrak yang diterima oleh estimasi.
c. Jiwa manusia (an-Nafsul Natiqah) meliputi dua daya ;
1) Praktis (practical) yang hubungannya adalah dengan badan
2) Teoritis (theoritical) yang hubungannya adalah dengan hal-hal abstrak.

Dengan demikian, sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiea tumbuh-
tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuh-tumbuhan dan
binatang yang berkuasa pada dirinya, maka orang itu dapat menyerupai binatang. Tetapi jika jiwa
manusia (an-Nafsul Natiqah) yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat
menyerupai Malaikat dan dekat pada kesempurnaan. Ibnu Sina, meski ia seorang dokter, namun ia
sadar bahwa penjelasan mengenai jiwa bukan tugas seorang dokter dan tidak masuk dalam disiplin
ilmu tersebut. Oleh karenanya dalam al-qur’an di jelaskan beberapa pertanyaan yang berkaitan
dengan jiwa beserta berbagai potensinnya, yang mana para dokter dan filosof berbeda pendapat dalam
hal ini. Oleh sebab itu, Ibnu Sina mengatakan bahwa maalah jiwa adalah urusan filosof. Pengaruh
Ibnu Sina dalam soal kejiwaan ini tidak dapat diremehkan, baik pada dunia pikir Arab sejak abad 10
M. Sampai akhir abad 19 M, maupun pada filsafat scholastik Yahudi dan Masehi terutama tokoh-
tokohnya, seperti: Gundisalus, Guillaume, Albert Yong Agung, St. Thomas Aquinas, Roger Bacon,
dan Duns Scotf, serta berhubungan dengan pemikiran Descartes tentang hakikat dan adanya jiwa.
C. Karya-Karya Ibnu Sina
1. Qanun fi Thib (Canon of Medicine) (Terjemahan bebas : Aturan Pengobatan)
2. Asy Syifa (terdiri dari 18 jilid berisi tentang berbagai macam ilmu pengetahuan)
3. An Nayyat (Book of Deliverence) buku tentang kebahagiaan jiwa.
4. Al-Majmu : berbagai ilmu pengetahuan yang lengkap, di tulis saat berusia 21 tahun di Kawarazm
5. Isaguji (The Isagoge) ilmu logika Isagoge : Bidang logika
6. Fi Aqsam al-Ulum al-Aqliyah (On the Divisions of the Rational Sciences) tentang pembahagian
ilmu-ilmu rasional.
7. Ilahiyyat (Ilmu ketuhanan) : Bidang metafizika
8. Fiad-Din yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin menjadi "Liber de Mineralibus" yakni
tentang pemilikan (mimeral).
9. Risalah fi Asab Huduts al-Huruf : risalah tentang sebab-sebab terjadinya huruf – Bidang sastera
arab
10. Al-Qasidah al- Aniyyah : syair-syair tentang jiwa manusia - Bidang syair dan prosa
11. Risalah ath-Thayr : cerita seekor burung. - Cerita-cerita roman fiktif
12. Risalah as-Siyasah : (Book on Politics) – Buku tentang politik - Bidang politik
13. Al Mantiq, tentang logika. Buku ini dipersembahkan untuk Abu Hasan Sahil.
14. Uyun Al Hikmah (10 jilid) tentang filsafat. Ensiklopedi Britanica menyebutkan bahwa
kemungkinan besar buku ini telah hilang.
15. Al Hikmah El Masyriqiyyin, tentang filsafat timur.
16. Al Insyaf tentang keadilan sejati.
17. Al Isyarat Wat Tanbihat, tentang prinsip ketuhanan dan kegamaan.
18. Sadidiya, tentang kedokteran.
19. Danesh Nameh, tentang filsafat.
20. Mujir. Kabir Wa Saghir, tentang dasar-dasar ilmu logika secara lengkap.
21. Salama wa Absal, Hayy ibn Yaqzan, al-Ghurfatul Gharabiyyah (Pengasingan di Barat).
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan :

Dari uraian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa Ibnu Sina sependapat dengan al-Farabi mengenai
filsafat jiwanya. Ibnu Sina dapat berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat, yaitu: Sifat
wajib wujudnya, sebagai pancaran dari Allah dan Sifat mungkin wujudnya, jika ditinjau dari hakikat
dirinya.

Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa yaitu tumbuh-tumbuhan, binatang
dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuhan atau hewan mempengaruhi
seseorang maka orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa yang mempunyai
pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaekat dan dekat dengan kesempurnaan.

Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari Tuhan). Tuhan
adalah wujud pertama yang immateri dan proses emanasi tersebut memancar segala yang ada.

Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan mumkinul wujud
(jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil).
DAFTAR PUSTAKA

Hitti, Philip K. History of Arabs, PT Serambi Ilmu Semesta, Jakarta, 2014

http://ansarbinbarani.blogspot.co.id/2015/05/pemikiran-filsafat-ibnu-sina.html

http://nurulwatoni.tripod.com/FILSAFAT_IBNU_SINA.htm

http://syafieh.blogspot.co.id/2013/04/filsafat-islam-ibnu-sina-dan-pemikiran.html

http://www.tongkronganislami.net/2015/09/makalah-mengenal-biografi-ibnu-sina-dan-
pemikiranya.html

Anda mungkin juga menyukai