Anda di halaman 1dari 50

a.

Pendahuluan

Ibnu sina
Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ibnu sina memiliki sistem, tetapi karena sistem ibnu
sina/ miliki itu menampakkan keasliannya dan menunjukkan jenis jiwa jenius dalam menemukan
metode - metode lalu alasan-alasan diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional
murni serta tradisi intelektual Hellenisme kemudian diwarisi ibnu sina/avecinna dan lebih jauh
lagi dalam sistem keagamaan Islam.

Ide ide cemerlang gagasan ibnu sina memberikan kontribusi cukup baik bagi semua kalangan
ilmuan, baik dari ilmuan Muslim maupun non Muslim. Kepopuleran ibnu sina sudah tidak
diragukan lagi, terkhusus dari penemuan ibnu sina di bidang kedokteran, hal tersebut dapat
dilihat dari karyanya yang sangat popular yaitu Kitab Qanun fi al-Thib serta banyak memberikan
konstribusi dalam bidang ilmu kedokteran.

B. Biografi intelektual Ibnu Sina

Biografi Ibnu Sina


Nama lengkap ibnu sina adalah Abu `Ali al-Husain ibnu `Abdillah ibn Hasan ibnu `Ali Sina.[1]
Di Eropa (dunia Barat) ibnu sina lebih dikenal dengan sebutan akibat terjadinya metamorphose
Yahudi- Spanyol-Latin. Dari bahasa Spanyol kata Ibnu untuk ibnu sina diucapkan Aben atau
Even. Terjadinya perubahan ini berawal dari usaha penerjemahan naskah-naskah Arab ke dalam
bahasa Latin pada pertengahan abad kedua belas di Spanyol.[2] ibnu sina dilahirkan pada tahun
370 H / 980 M di Afshana, sebuah kota kecil dekat Bukhara, sekarang wilayah Uzbekistan
(bagian dari Persia),[3] dan wafat pada jum`at pertama Ramadhan tahun 428 H/1037 M dalam
usia 57 tahun, jasad ibnu sina dikebumikan di Hamadzan (Tehran).[4]
Ayah ibnu sina bernama Abdullah dari Balkh merupakan seorang sarjana terhormat Ismaili,
berasal dari Balkh Khurasan, pada saat kelahiran putranya yaitu ibnu sina, ayah ibnu sina
menjabat sebagai gubernur suatu daerah di salah satu pemukiman Nuh Ibnu Mansur, sekarang
wilayah Afghanistan (Persia). Ibu ibnu sina/ bernama Satarah berasal dari daerah Afshana.[5]

Nama ibnu sina semakin terkenal ketika ibnu sina mampu menyembuhkan penyakit Raja
Bukhara bernama Nuh ibn Manshur, saat itu umur ibnu sina baru 17 tahun. Sebagai
penghargaan, raja meminta ibnu sina menetap di Istana selama sang raja dalam proses
penyembuhan. Namun ibnu sina menolaknya dengan halus, sebagai imbalannya beliau (ibnu
sina) hanya meminta izin untuk menggunakan perpustakaan kerajaan terdapat didalamnya buku-
buku, buku tersebut sulit didapatkan.

Hal itu dimanfaatkan ibnu sina untuk membaca, mencari berbagai referensi dasar untuk
menambah ilmunya agar lebih luas berkembang.[6] Kemampuan ibnu sina dengan cepat
menyerap berbagai cabang ilmu pengetahuan membuatnya menguasai berbagai materi
intelektual dari perpustakaan kerajaan. Karena kejeniusannya itu, ibnu sina mendapatkan gelar
ilmiah, diantaranya Syaikh Ra`is serta Galenos Arab. Gelar tersebut diraih oleh ibnu sina ketika
umurnya masih remaja.[7]

Setelah ayah ibnu sina meninggal saat beliau/ibnu sina berusia 22 tahun, beliau (ibnu sina) hijrah
ke Jurjan, suatu kota di dekat laut kaspia, di sanalah ia (ibnu sina) mulai menulis ensiklopedianya
tentang ilmu kedokteran kemudian terkenal dengan nama al-Qanun fi al-tibb (the Qanun).
Kemudian ibnu sina pindah ke Ray, kota di sebelah Taheran, selanjutnya /ibnu sina bekerja
kepada Ratu Sayyedah dan anaknya Majd al-Dawlah. Kemudian Sultan Syams al-Dawlah
penguasa di Hamdan (di bahagian Barat dari Iran) mengangkat ibnu sina menjadi Menterinya.
Kemudian ibnu sina Hijrah ke Isfahan, ibnu sina meninggal dunia sebab sakit yang diderita ibnu
sina yaitu penyakit disentri pada pada tahun 428 Hijrah bersamaan dengan tahun 103 Masehi di
Hamazan ( sekarang wilayah Iran).[8]

Pendidikan Ibnu Sina


Ibnu Sina memulai pendidikannya pada usia lima tahun di kota kelahirannya, Bukhara.
Pengetahuan yang pertama kali yang dia pelajari adalah membaca al-Qur’an, setelah itu ia
melanjutkan dengan mempelajari ilmu-ilmu agama Islam seperti Tafsir, Fiqih, Ushuluddin
dan lain sebagainya, berkat ketekunan dan kecerdasannya, beliau berhasil menghapal al-
Quran dan menguasai berbagai cabang ilmu-ilmu agama tersebut pada usia yang belum genap
sepuluh tahun. Dalam bidang Pendidikan lain, beliau juga mempelajari beberapa disiplin ilmu
diantaranya Matematika, logika, fisika, kedokteran, Astronomi, Hukum, dan sebagainya.

Dengan kecerdasan yang beliau miliki, beliau banyak mempelajari filsafat dan cabang -
cabangnya, kesungguhan yang cukup mengagumkan ini menunjukkan bahwa ketinggian
otodidaknya, namun pada saat ia menyelami ilmu metafisika nya Arisstoteles, beliau
mengalami kesulitan kendati sudah berulang-ulang membacanya bahkan beliau
menghafalnya, tetap saja beliau belum dapat memahami isinya. setelah ia membaca karya Al-
Farabi dalam buku risalahnya, barulah Ibnu Sina dapat memahami ilmu metafisika dengan
baik. Secara tidak langsung Ibnu Sina telah berguru kepada al-Farabi, bahkan dalam
otobiografinya disebutkan mengenai utang budinya kepada Al-Farabi.

Pada usia 16 tahun beliau mulai dikenal sebagai ahli pengobatan, dan sudah benar-benar
dikenal pada saat beliau berumur 17 tahun dengan pembuktian bahwa beliau telah berhasil
menyembuhkan penyakit yang diderita sultan Samani Nuh Ibn Mansur. Untuk menambah
ilmunya, beliau juga banyak menghabiskan sebahagian waktunya dengan membaca serta
membahas buku-buku yang beliau anggap penting di perpustakaan kerajaan Nuh ibnu
Manshur yang bernama kutub Khana, di sinilah beliau melepaskan dahaga belajarnya siang
malam sehingga semua ilmu pengetahuan dapat dikuasainya dengan baik.

D. Guru-Guru Ibnu Sina

Di samping belajar secara otodidak, Ibnu Sina juga menyerap berbagai ilmu dari beberapa orang
Guru, antara lain Abu Bakar Ahmad bin Muhammad al-Barqi al-Khawarizmi untuk ilmu bahasa,
Ismail al-Zahid untuk ilmu fiqih, Abu Sahl al-Masihi serta Abu Manshur al-Hasan bin Nuh untuk
ilmu kedokteran. Beliau/ibnu sina juga belajar Aritmatika dari `Ali Natili seorang sufi ismaili
berkebangsaaan India.

E. Metode Ilmiah Ibnu Sina

Ibnu Sina merupakan Filosof besar Islam yang berhasil membangun system filsafat lengkap dan
terperinci, suatu system telah mendominasi tradisi filsafat Muslim beberapa abad. Pengaruh ini
terwujud bukan hanya karena ibnu sina memiliki system, tetapi karena system yang dimilikinya
menampakan keaslian juga menunjukkan jiwa yang jenius dalam menentukan metode–metode
serta diperlukan untuk merumuskan kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual
ibnu sina atau untuk mewarisi dan dalam system keagamaan Islam.[13] Diantara metode –
metode dari pemikiran ibnu sina paling populer adalah:

Bidang kedokteran yaitu Penyakit T.B.C juga Chronis


Mengenai penyakit-penyakit berbahaya sangat mengganggu manusia zaman modern ini, sudah
ditemukan dan sudah dicarikan pengobatannya oleh Ibnu sina pada seribu tahun lalu. Desmond
Stewart menyebutkan penemuan-penemuan baru Ibnu Sina tentang menularnya penyakit T.B.C
dan bisa membahayakan kesehatan manusia saat ini, begitu juga dengan penyakit Chrionis.

Di dalam bukunya “ Early Islam”, Stewart menerangkan : “ Ibnu Sina is Now credited with such
personal contributions as recognizing the contagious nature of tuberculosis and describing
certain skin diseases and psychological disorders. Among the latter was love sickness, the effects
of which were described as loss of weight and strength, fever and various chronic ailments. The
cure was quite simple, once the diagnosis was made to have the sufferer united with the one he
or she was pining for. Ibnu Sina also observed that certain diseases can be spread by water and
soil, and advanced view for his time. Outside the realm of pure medicine, he invented a saclike
precision device that helped to improve the accuracy of instruments used for measuring angles
and short lengths. He also made many investigations in the realm of physics, helping to lay the
foundations of experimental science that was to develop in the 16 th and 17 th centuries”.[14]

Makna: “ sekarang Ibnu Sina meninggalkan saham-saham pribadi mengenai pengakuan sifat
menular dari penyakit T.B.C, selain itu ibnu sina menulis tentang cara mengobati penyakit-
penyakit kulit dan penyakit gangguan jiwa. Diantara penyakit terakhir ini, ibnu sina telah
menemukan sakit cinta (love sicknes), akibat hilangnya keseimbangan serta penjagaan diri,
begitu juga dengan sakit demam panas juga penyakit-penyakit chronis. Pengobatannya sangat
sederhana, yaitu setelah dilakukan pemeriksaan, maka si penderita dapat dipertemukan dengan
orang yang dirinduinya, dari pria juga wanita

G. Pengaruh Ibnu Sina

Pengaruh pemikiran filsafat Ibnu Sina seperti karya pemikiran dan telaahnya di bidang
kedokteran tidak hanya tertuju pada dunia Islam tetapi juga merambah ke Eropa. Kontribusi ibnu
sina terhadap pemikiran dan ilmu pengetahuan amatlah besar, diakui berpengaruh signifikan
kepada para ilmuwan, pemikir dan filusuf generasi-generasi sesudahnya. Berkat prestasinya
dalam ilmu medis, ibnu sina memperoleh julukan “Father of DDi dalam bukunya octors” (Bapak
Para Dokter). Natsir Arsyad[17] menyebutkan bahwa dokter kawakan ibnu sina pernah dijuluki
sebagai Medicorum Principal atau “Raja Diraja Dokter”, oleh kaum Latin Skolastik. Julukan lain
pernah diberikan kepada ibnu sina, misalnya, adalah “Raja Obat”. Dalam dunia Islam sendiri,
ia/ibnu sina dianggap sebagai zenith, puncak tertinggi dalam ilmu kedokteran.

George Sarton, menyatakan bahwa prestasi medis Ibnu Sina sedemikian lengkap sehingga
mengecilkan sumbangan lainnya dari seluruh dunia, seolah-olah mereka hanya membuat
penemuan lebih kecil, dan sementara itu penyelidikan orisinal menyusut beberapa abad setelah
masa ibnu sina. Sarton juga menguraikan pengaruh Ibnu Sina sangat besar terhadap ruang
lingkup juga perkembangan ilmu kedokteran Barat. Karya ilmiah (textbook) ibnu sina
merupakan referensi dasar utama ilmu medis di Eropa dalam periode waktu lebih panjang dari
buku-buku lainnya .[18]

Sepertinya kontribusi terpenting dari ibnu sina dan diwariskan ibnu sina kepada dunia
kedokteran adalah dalam ilmu medisnya, yaitu Qanun fi al-Thibb (Canon of Medicine,
Konstitusi Ilmu Kedokteran). Seyyed Hossein Nasr[19] menyebutkan bahwa karya besar Qanun
itu adalah karya pa ling banyak dibaca juga besar pengaruhnya pada ilmu medis Islam dan
Eropa. Karya besar ini merupakan satu dari buku yang paling sering dicetak di Eropa pada masa
Renaisans dalam terjemahan Latinnya oleh Gerard dari Cremona. Buku teks standar ini terdiri
dari lima bagian pokok: prinsip-prinsip umum, obat-obatan, penyakit organ-organ tertentu,
penyakit lokal bertendensi menjalar ke seluruh tubuh, seumpama demam, dan obat-obatan
majemuk. Arsyad juga menyebutkan bahwa buku Qanun ibnu sina sejak zaman dinasti Han di
Cina telah menjadi buku standar karya-karya medis Cina. Pada Abad Pertengahan, sejumlah
besar karya ibnu sina telah diterjemahkan dalam bahasa Latin dan Hebrew, karya ibnu sina
dalam bidang bahasa tersebut merupakan bahasa-bahasa pengantar ilmu pengetahuan masa
itu.[20]

Di bidang filsafat, a. Pendahuluan/spanibnu sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya,
bahkan sebelum dan sesudahnya. ibnu sina otodidak, genius orisinil bukan hanya dunia Islam
menyanjungnya, ia/ibnu sina memang merupakan satu bintang gemerlapan memancarkan cahaya
sendiri, bukan pinjaman sehingga Roger Bacon, filosof kenamaan dari Eropa Barat pada Abad
Pertengahan menyatakan dalam Regacy of Islam -nya Alfred Gullaume; “Sebagian besar filsafat
Aristoteles sedikitpun tak dapat memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya tersembunyi entah
dimana,kendatipun ada, sangat sukar sekali didapatnya dan sangat susah dipahami dan digemari
orang karena peperangan-peperangan yang meraja lela di sebelah Timur, sampai saatnya ibnu
sina dan Ibnu Rusyd dan juga pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles
disertai dengan penerangan dan keterangan yang luas.[21]

Selain kepandaiannya sebagai flosof dan dokter, ibnu sina pun penyair. Ilmu-ilmu pengetahuan
seperti ilmu jiwa, kedokteran dan kimia ada ditulisnya dalam bentuk syair, dapat ditemukan
melalui buku-buku dikarangnya untuk ilmu logika dengan syair. Kebanyakan buku-bukunya
telah disalin kedalam bahasa Latin. Ketika orang-orang Eropa diabad tengah, mulai
mempergunakan buku-buku itu sebagai textbook, di berbagai universitas. Oleh karena itu nama
ibnu sina dalam abad pertengahan di Eropa sangat berpengaruh.[22] Dalam dunia Islam kitab-
kitab Ibnu Sina terkenal, bukan saja karena kepadatan ilmunya, akan tetapi karena bahasanya
baik diiringi caranya menulis sangat terang. Selain menulis dalam bahasa Arab, Ibnu Sina juga
menulis dalam bahasa Persia. Buku -bukunya dalam bahasa Persia, telah diterbitkan di Teheran
dalam tahun 1954.

Dapat disimpulkan bahwa begitu besarnya pengaruh dari Ibnu Sina mengenai pemikiran yang
beliau/ibnu sina tuangkan kepada kita. Ide-ide cemerlang dari ibnu sina memberikan dampak
signifikan dalam ilmu pengetahuan, untuk itulah mari kita memperbanyak syukur karena kita
dapat mengetahui ilmu-ilmu dari Ibnu Sina melalui karya-karyanya.

H. Pelajaran dari karakter personal Ibnu Sina

Pelajaran penting bisa diambil dari kisah ibnu sina diatas dari mulai masa kecil, masa remaja
hingga masa tuanya adalah bahwa hidup ini memang penuh perjuangan serta kerja keras dalam
hal menuntut ilmu agar ilmu itu bisa berguna untuk diri sendiri dan orang lain. Keseimbangan
iman juga takwa ibnu sina, dibuktikan dengan belajar alquran dari kecil membuktikan bahwa
jiwanya dari kecil sudah diisi dengan ruh yang suci sehingga dalam perjalanan hidupnya selalu
mengharap ridho dan tawakkal kepada Allah untuk mencapai cita-cita, disamping berusaha
dengan mempelajari ilmu dengan gurunya dan belajar secara otodidak.

Dengan membaca Al-Qur’an sedari dini manusia bisa menggali ilmu pengetahuan didalamnya,
karena sesungguhnya Alquran adalah ilmunya dan kehidupan di alam ini adalah prakteknya.
Ibnu Sina dengan seksama menggabungkan itu semua yaitu antara Alquran dan praktek di alam
raya ini, sehingga muncullah ide-ide atau pemikiran belum ada di Barat pada saat itu. Dengan
hasil karya pada waktu itu bisa mengubah dunia dalam bidang kedokteran sangat mengagumkan
juga luar biasa, pantaslah ibnu sina menjadi inspirasi banyak orang, baik muslim maupun non
muslim kemudian ingin belajar tentang ilmu pengetahuan khususnya kedokteran, filsafat dan
ilmu alam.
A. Pendahuluan
Ibnu Sina nama lengkapnya adalah Abu Ali Husein Ibn Abdillah Ibn
Sina, atau disebut juga dengan nama Syaikh al-Rais Abu ‘Ali al-Husein bin
Abdullah Ibnu Sina, dan Negara-negara barat namanya lebih dikenal dengan
sebutan Avicena. Ia dilahirkan di Persia pada bulan Syafar 370 H/980 M.
Namun orang Turki, Persia dan Arab mengklaim Ibnu Sina sebagai
bangsanya. Hal ini dikarenakan ibunya berkebangsaan Turki, sedangkan
ayahnya peranakan Arab.
Tentang keahlian Ibnu Sina ada pendapat yang mengatakan sejak
kecil ia telah banyak mempelajari ilmu pengetahuan yang ada dizamannya
seperti fisika, matematika, kedokteran dan hukum. Sewaktu berusia 17
tahun, ia sudah dikenal sebagai dokter, dan atas panggilan istana ia pernah
mengobati pangeran Nuh Ibn Mansyur sehingga pangeran tersebut pulih
kembali kesehatannya. Setelah orang tuanya meninggal, ia pindah ke
Jurjani, suatu kota didekat laut Kaspia, dan disanalah ia mulai menulis
ensiklopedinya tentang ilmu kedokteran yang kemudian dikenal dengan
nama al-Qanun fi-al-Thib. Selanjutnya ia pindah ke Ray, suatu kota
disebelah Teheran dan bekerja untuk Ratu Sayyadah dan anaknya, Maj al-
Daulah. Kemudian Sultan Syam al-Daulah yang berkuasa atas Hamdan
(bagian barat Iran) mengangkat Ibn Sina menjadi menterinya.

Diantara Filosof Islam, Ibnu Sinalah yang paling banyak menulis buku
ilmiah, mulai dari soal yang pokok sampai kepada soal-soal yang bersifat
cabang. Diantara bukunya yang terkenal ialah al-Syifa yang berisi filsafat
dan terdiri atas empat bagian yaitu; logika, fisika, matematika dan
metafisika. Kitab ini terdiri dari delapan belas jilid tebal. Selanjutnya ia
menulis kitab al-Qanun fi al-Thib. Buku ini sangat tebal dan terdiri dari lima
bagian yang terdiri dari ilmu kedokteran, cara-cara pengobatan yang
dilakukan para dokter dahulu hingga zamannya, mengenai ilmu astronomi,
jenis-jenis penyakit, cara menjaga kesehatan, penyakit menular yang terjadi
lewat air dan debu, penyakit lever, jantung, saraf dan serangan jantung.
Karya beliau berikutnya adalah al-Najah yang berisi ringkasan kitab al-Syifa,
dan kemudian kitab al-Isyarat wa al-Tanbihat, suatu kitab ilmu hikmah yang
mengandung kata-kata mutiara dari berbagai ahli fakir yang ditulis dalam
bahasa yang padat dan indah.
Ibnu sina adalah filosof muslim yang telah membangun system
filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu system yang telah mendominasi
tradisi filsafat muslim selama beberapa abad, meskipun ada serangan-
serangan dari al-Ghazali. Pengaruh ini terwujud, bukan hanya karena ia
memiliki system, tetapi karena system yang ia miliki itu menampakkan
keasliannya, yang menunjukan jenis jiwa yang jenius dalam menemukan
metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan
kembali pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual hellenisme yang ia
warisi dan lebih jauh lagi dalam system keagamaan Islam. Keaslian yang
membuat dirinya unik tidak saja terjadi dalam Islam, tetapi juga terjadi di
Abad Pertengahan, karena disana terjadi pula perumusan kembali teologi
Katolik Roma yang dilakukan oleh Albert Yang Agung, dan terutama oleh
Thomas Aquinas yang secara mendasar terpengaruh oleh Ibnu Sina.
Karakteristik paling dasar dari pemikiran Ibnu Sina adalah pencapaian
defenisi dengan metode pemisahan dan pembedaan konsep-konsep secara
tegas dan keras. Hal ini memberikan kehalusan yang luar biasa terhadap
pemikiran-pemikirannya.Tatanan itu sering memberikan kompleksitas
skolastik yang kuat dan susunan yang sulit dalam penalaran filsafatnya,
sehingga mengusik temperamen modern, tetapi dapat dipastikan, bahwa
tatacara ini jugalah yang diperoleh dalam hampir seluruh doktrin asli para
filosof kita. Tata cara ini memungkinkannya untuk merumuskan kembali
prinsif-prinsifnya yang sangat umum dan mendasar bahwa pada setiap
konsep yang jelas dan berbeda, harus terdapat distinction in re,
yaitu suatu prinsif yang pada akhirnya Descartes juga menggunakannya
sebagai dasar bagi tesisnya tentang dualisme akal tubuh. Keberhasilan dan
pentingnya prinsif analisis ini didalam system Ibnu Sina, sangat menarik
perhatian, ia mengemukakan secara berulang ulang pada setiap
kesempatan, dalam pembuktian-pembuktiannya tentang dualisme tubuh dan
akal.
B. Ahli Filsafat
Popularitasnya tentang falsafah melampuai batas-batas tanah airnya
dan dunia Islam seluruhnya, dan menjangkau jauh kepada beberapa abad
sesuadah meninggalnya. Baik di timur maupun di barat namanya tetap
menjadi buah b ibir bermilliun manusia, terutama daikalangan para sarjana
dan terpelajar. Buku-buku karangannya diterjemahkan didalam berbagai
bahasa di dunia, dan dipelajari di Universitas-Universitas sebagai mata
pelajaran pokok.
Dari semua filosof-filosof Islam yang terkenal di dunia barat dalam
zaman pertengahan yang paling menonjol ketinggian inteleknya ada dua,
yaitu Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd. Dari buah karangan Ibnu Sina itu, orang
barat mengenal Aristoteles. Demikian pula dari karangan Ibnu Rusyd yang
telah menterjemahkan fikiran Aristoteles. Seluruh ensiklopedi dari
Aristoteles telah diterjemahkan dari bahasa Arab dengan komentar-
komentar filosof Islam seperti Ibnu Sina, Ibnu rusyd, Al-Gazali dan lain-lain.
Dengan mengemukakan betapa besar pengaruh falsafah Ibnu Sina,
baik di Timur maupun di Barat, baik di kalangan Islam maupun di kalangan
Kristen (terutama Khatolik), dan kemudian berbagai pendapat tentang corak
khusus bagi falsafahnya yaitu “Avicinnisme”. Ibnu Sina mengajarkan
tentang Tuhan, adalah absolut, Zat yang awal, Maha Sempurna Ilmu
(Intelligence), yang telah menjadikan intelligence yang kedua ( yaitu yang
pertama dari tingkat yang kedua), dan dari sini terjadinya intelligen-
intelligen yang lain, dari timbulnya active intellect yanga ada pada dunia
manusia tingkat terakhir. Dari tiap bahagiannya secara bergiliran berjalan
jiwa dan badan dari seseorang dalam alam falak, yang semenjak demikian
menjalankan geraknya.
Didalam alam di bawah bulan, berkembanglah dengan “active
intellect” segala tumbuh-tumbuhan, hewan dan jiwa rasional manusia, dan
dari yang terakhir ini bisa munculnya intellect dan immoral. Dari segala
keterangan diatas, ternyata bahwa Ibnu Sina bukanlah hanya mentaati
pendapat Aristoteles saja, tetapi pula dia mengambil pendapat dari Neo
Platonist yang berasal dari Plotinus.
Michael Mamura dalam Encyclopedia of Philosophy mengemukakan
tentang falsafah Yunani yang diambil Ibnu sina. “Ibnu Sina telah menempa
suatu sistem falsafah yang lengkap, yang didalam bahagian besar dia
berhutang kepada Aristoteles. Tetapi sistemnya itu tidak bisa secara tepat
dianamakan aliran Aristotle. Baik dalam epistemologi (asas pengetahuan)
ataupun dalam metafisika, dia menerima diktrin Neo Platonic, yang
dirumuskannya menurut caranya sendiri. Pengaruh-pengaruh Yunani
anatara lain : Plato dalam falsafah politik, Galen dalam psikologi, Stoics
dalam ilmu logika. Tapi yang paling dekat lagi adalah pengaruh teologi dan
falsafah Islam. Betapa besarnya pengaruh agama Islam terhadap aliran
yang didirikannya. Tentang hal inilah dunia kristen merasa curiga terhadap
Ibnu Sina karena ia selalu mengakhiri tiap-tiap tafsirnya dengan
pendapatnya sendiri.

C. Doktrin Tentang
Wujud
Doktrin Ibnu Sina tentang Wujud, sebagaimana filosof Muslim
terdahulu, misalnya al-Farabi, bersifast emanasionistis. Dari Tuhanlah,
Kemaujudan Yang Mesti, mengalir intelegensia pertama, karena hanya dari
yang tunggal, yang mutlak sesuatu dapat mewujud. Tetapi sifat intelegensi
pertama itu tidak selamanya mutlak satu, karena ia bukan ada dengan
sendirinya, ia hanya mungkin, dan kemungkinannya itu diwujudkan oleh
Tuhan. Berkat kedua sifat itu, yang sejak saat itu melingkupi seluruh ciptaan
di dunia, intelegensia pertama memunculkan dua kemaujudan yaitu : (1)
intelegensi kedua melalui kebaikan ego tertinggi dari adanya aktualitas, dan
(2) lingkungan pertama dan tertinggi berdasarkan segi terendah dari
adanya, kemungkinan alamiahnya.
Perarakan intelegensi immaterial dari Wujud Tertinggi dengan cara
pemancaran dimaksudkan untuk menambah sesuai dengan pendapat yang
diilhami oleh Teori Pemancaran Neo-Platonik pendapat yang lemah dan tak
dapat dipertahankan tentang Tuhan dari Aristoteles yang mengatakan
bahwa tidak ada terusan dari Tuhan Yang Esa, kepada dunia, yang banyak.
Menurut filosofi Muslim, meskipun Tuhan tinggal di dalam diri-Nya sendiri
dan jauh tinggi diatas dunia yang diciptakan, tetapi terdapat hubungan
perantara antara kekekalan dan keniscayaan yang mutlak dari Tuhan.
Tuhan, dan hanya Tuhan saja yang memiliki wujud tunggal, secara
mutlak; sedang segala sesuatu yang lain memiliki kodrat yang mendua.
Karena ketunggalannya, maka apakah Tuhan itu ? dan kenyataan ia ada,
bukanlah dua unsur dalam satu wujud tetapi satu unsur atomic dalam wujud
yang tunggal. Tentang apakah Tuhan itu, hakikat Dia, adalah identik dengan
eksistensi-Nya. Hal ini bukan merupakan kejadian bagi wujud lainnya,
karena tidak ada kejadian lain yang eksistensinya identik dengan esensinya,
dengan kata lain, misalnya seorang Eskimo yang tidak pernah melihat
gajah, ia tergolong salah seorang yang berdasarkan kenyataan itu sendiri
mengetahui bahwa gajah itu ada. Demikian halnya adanya Tuhan adalah
suatu keniscayaan, sedang adanya sesuatu yang lain hanya mungkin dan
diturunkan dari adanya Tuhan, dan dugaan bahwa Tuhan itu tidak ada
mengnadung kontradiksi, karena dengan demikian yang lain pun juga tidak
akan ada. Argumentasi kosmologis yang didasarkan pada doktrin Aristoteles
tentang sebab pertama, akan sia-sia dalam membuktikan adanya Tuhan.
Meskipun demikian Ibn Sina tidak memilih untuk membangun argumen
ontologis. Sesungguhnya menurut Ibnu Sina, Tuhan menciptakan sesuatu
karena adanya keperluan yang rasional. Dunia secara keseluruhan, ada
bukan karena kebetulan, tetapi diberikan oleh Tuhan, ia diperlukan, dan
keperluan ini diturunkan dari Tuhan. Inilah prinsif Ibnu Sina tentang
eksistensi secara singkat.
Dari sudut pandang metafisik, teori itu berupaya melengkapi analisis
Aristoteles tentang suatu maujud menjadi dua elemen yang diperlukan,
yaitu bentuk dan materi. Menurut Aristoteles bentuk sesuatu adalah jumlah
total dasar dan kualitas-kualitas yang dapat diuniversalkan yang membentuk
defenisinya; materi setiap sesuatu memiliki kemampuan untuk menerima
kualitas-kualitas tersebut dan dengan bentuk itu maka terjadilah eksistensi
individu. Tetapi terdapat dua kesulitan besar dalam konsep ini dari sudut
pandang eksistensi sesuatu yang sebenarnya. Pertama, bentuk adalah
universal, karena itu, tidak ada. Demikian pula materi, sebagai wujud
potensialitas murni, menjadi tidak ada, karena hal itu mewujud hanya
melalui bentuk. Kemudian, bagaimana sesuatu itu menjadi ada dengan tidak
adanya bentuk dan materi?. Kesulitan kedua timbul dari kenyataan bahwa,
meskipun Aristoteles secara umum berpendapat bahwa defenisi atau esensi
dari sesuatu adalah bentuknya, tetapi ia pada bagian penting lainnya, bahwa
materi juga termasuk dalam esensi sesuatu tersebut, dengan demikian,
maka dapat dikatakan bahwa kita hanya memiliki defenisi sebagian dari
padanya. Kemudian bila kita menganggap bentuk dan materi sebagai
penyusun defenisi, maka kita tidak akan mencapai eksistensi sesuatu secara
nyata. Ini adalah batu ujian yang dihadapi oleh seluruh kerangka Aristoteles
yang membahas tentang wujud yang terancam oleh kehancuran.
Ibnu Sina berkeyakinan bahwa hanya dari bentuk dan materi saja
anda tidak akan pernah mendapatkan eksistensi yang nyata, tetapi hanya
kualitas-kualitas esensial kebetulan. Ia telah menganalisis dalam
kesempatan yang panjang, hubungan antara bentuk dan materi dalam as-
Syifa, dimana ia menyimpulkan bahwa bentuk dan materi itu bergantung
kepada Tuhan, dan lebih jauh lagi eksistensi yang tersusun juga tidak bias
hanya disebabkan oleh bentuk dan materi saja, tetapi harus terdapat
sesuatu yang lain. Akhirnya ia menjelaskan kepada kita bahwa ‘ segala
sesuatu kecuali Yang Esa, yang esensi-Nya Tunggal dan maujud
memperoleh eksistensinya dari sesuatu yang lain didalam dirinya sendiri, ia
layak untuk mendapatkan ketidakadaan yang mutlak. Oleh karena itu
dapatlah dibayangkan bahwa eksistensi sesungguhnya bukanlah bentuk
benda, tetapi ia lebih merupakan hubungan dengan Tuhan. Bila anda
memandang benda dalam kaitannya dengan adanya perantara Tuhan yang
mengadakan, maka benda itu ada, dan benda itu ada karena keniscayaan.
Tapi bila keluar dari hubungannya dengan Tuhan, maka adanya sesuatu itu
hilanglah pengertian dan maknanya. Inilah aspek hubungan yang ditunjukan
oleh Ibnu Sina dengan istilah ‘kejadian’ dan mengatakan bahwa eksistensi
itu adalah suatu kejadian.
Istlah ‘kejadian’ menurut Ibnu Sina memiliki pengertian filosofis lain
yang tidak ortodok. Ia menyangkut hubungan suatu kemaujudan nyata
dengan esensi atau bentuik tertentunya, yang juga Ibnu Sina menyebutnya
kejadian. Penggunanaan istilah ‘kejadian’ adalah sangat menyeluruh dalam
filsafat Ibnu Sina, karena itu tanpa mengetahui artinya secara benar, orang
akan salah tafsir terhadap doktrin-doktrin dasarnya. Sekarang, bila dua
konsep dapat dibedakan secara jelas, maka keduanya itu harus
menunjukkan dua ontologis yang berbeda. Bila kedua konsep semacam itu
bersama-sama mewujud dalam sesuatu, Ibn Sina menggambarkan
hubungan timbale balik keduanya itu sebagai kejadian, yaitu mereka
menjadi bersama, meskipun masing-masing mewujud secara terpisah,
sebagai contoh, antara esensi dan kemaujudan, antara universalitas dan
esensi.
Menurut Ibnu Sina, esensi maujud dalam pikiran Tuhan (dan dalam
pikiran-pikiran intelegensi-intelegensi aktif) sebelum hal-hal yang ada itu
maujud didalam dunia lahiriah, dan mereka juga ada dalam pikiran kita
setelah mereka itu maujud. Tetapi dua tingkat keberadaan esensi ini sangat
berbeda. Dan dalam perbedaan itu tidak hanya karena adanya pengertian
bahwa yang satu bersifat kreatif, sedang lainnya bersifat imitative. Tetapi
sesungguhnya, esensi itu tidak universal dan tidak pula khas, tetapi
hanyalah esensi. Kemudian ia menyatakan kekhasan dan universalitas
adalah “kejadian” yang terjadi pada esensi. Universalitas terdapat padanya
hanya didalam pikiran-pikiran kita, dan Ibnu Sina mengambil pandangan
fungsional secara keras tentang yang universal ; pikiran kita mengabstraksi
yang universal dan konsep-konsep yang umum, dimana hal itu dapat
merangkum keragaman yang tak terbatas dari dunia ini secara ilmiah, yaitu
dengan menghubungkan bangunan mental yang identik dengan sejumlah
obyek. Didunia lahiriah, esensi tidak maujud, kecuali dalam pengertian
metephorik, artinya dalam pengertian bahwa obyek-obyek itu membiarkan
dirinya untuk dianggap identik.

D. Hubungan Jiwa-Raga
Ibnu Sina menekankan eratnya hubungan antara jiwa dan raga
sehingga dapat mempengaruhi akal. Sudah barang tentu semua perbuatan-
perbuatan dan keadaan-keadaan psikofisik lainnya memiliki kedua aspek
tersebut, yaitu mental dan fisik. Filsafat Ibn Sina di ilhami oleh pemikiran
neo-Platonis dan dipengaruhi oleh kegemaran spritual metafisiknya sendiri,
dimensi baru ini tidak lagi semata-mata sebuah dimensi. Segi materi dari
alam terliputi oleh segi mental dan spritualnya, walau sebagai seorang
medis, ia gemar mempertahankan pentingnya keadaan fisik, terutama yang
berkenan dengan karakter emosi dan kata hati. Sungguh seperti yang kita
lihat, seni medisnya membantu dirinya untuk menjajaki sejauh mana
pengaruh mental atas keadaan-keadaan tubuh.
Pada taraf yang paling lazim pengaruh fikiran atas tubuh tampak tak
dipaksakan:kapanpun pikiran ingin menggerakkan tubuh, maka tubuh akan
menaatinya. Misalnya pengaruh emosi dan kemauan. Ibnu Sina
mengatakan, berdasarkan pengalaman medisnya, bahwa sebenarnya secara
fisik orang-orang yang sakit, hanya dengan kekuatan kemauannyalah, dapat
menjadi sembuh, dan begitu pula orang-orang yang sehat dapat menjadi
benar-benar sakit bila terpengaruh oleh pikirannya bahwa ia sakit. Demikian
pula jika sepotong kayu diletakkan melintang diatas jalan setapak, orang
dapat berjalan diatasnya dengan baik, tetapi jika kayu tersebut diletakan
sebagai jembatan dan dibawahnya terdapat jurang yang dalam, orang
hampir tak dapat melintas diatasnya tanpa benar-benar jatuh. Ini karena ia
menggambarkan benar-benar kepada dirinya tentang kemungkinan jatuh
sedemikian rupa sehingga kekuatan alamiah tubuhnya seperti yang
digambarkannya itu.
Sebenarnya kalau jiwa cukup kuat, jiwa dapat menyembuhkan badan
tanpa sarana apapun. Dan disini Ibnu Sina menunjukkan bukti dari
fenomena hipnosis dan sugesti. Ia mempergunakan pertimbangan-
pertimbangan ini untuk menunjukkan kemungkinan keajaiban-keajaiban
yang merupakan masalah kenabian. Ibnu Sina menjelaskan gejala-gejala
seperti sihir, sugesti dan hipnosis adalah bentuk pengaruh pikiran terhadap
tubuh yang dianggap gaib. Sifat-sifat gaib dinisbahkan kepada obyek-obyek
seperti hewan, logam dan sebagainya, yang dengan melalui ahli sihir atau
ahli hipnotis dapat mempengaruhi secara gaib. Namun satu-satunya prinsif
yang dikemukan Ibnu Sina adalah merujukkan kemanjuran kepada keadaan
khusus dari pikiran itu sendiri. Ini berlandaskan kepada anggapan dasar
bahwa memang sudah kodratya pikiran mempengaruhi materi dan materi
menaati pikiran. Ini dikarenakan jiwa berasal dari prinsif-prinsif tertentu
yang lebih tinggi yang membungkus materi dengan yang terkadung
didalamnya, sehingga bentuk-bentuk ini benar-benar merupakan materi.
Jika prinsif-prinsif ini dapat memberi kualitas-kualitas, tanpa perlu ada
kontak fisik, tindakan atau pengaruh. Bentuk yang ada pada jiwa adalah
sebab dari apa yang terjadi pada materi.

E. Teori Pengetahuan
Sesuai dengan tradisi Yunani yang universal, Ibnu Sina memberikan
seluruh pengetahuan sebagai sejenis abstraksi untuk memahami bentuk
sesuatu yang diketahui. Penekanan utamanya yang sangat mungkin
diuraikan olehnya sendiri, adalah pada tingkat-tingkat daya abstraksi ini
dalam pemahaman yang berbeda-beda. Dengan demikian persepsi Indrawi
memerlukan sekali kehadiran materi untuk bisa memahami; imajinasi
adalah bebas dari kehadiran materi yang nyata, tetapi tak dapat memahami
tanpa pelekatan-pelekatan dan kejadian-kejadian materi yang memberikan
ke khususannya kepada imajinasi, sedangkan dalam akal sendiri bentuk
murni dimengerti secara univesal.
Kunci utama doktrin Ibnu Sina tentang persepsi ialah pembedanya
antara persepsi internal dan eksternal. Persepsi internal adalah kerja panca
indra ekternal. Ibnu Sina membagi persepsi internal secara formal menjadi
lima unsur, kendatipun ia menunjukkan keraguan yang amat sangat
terhadap obyek ini. Unsur pertama adalah sensus communis yang
merupakan tempat semua indra. Unsur kedua adalah indra imajinatif yang
merupkan indra yang melestarikan imaji-imaji perseptual. Unsur ketiga
adalah indra nalar yang merupakan tempat akal praktis. Unsur keempat
adalah wahm merupakan penyerap gerakgerik non bendawi seperi kegunaan
dan ketidakgunaan, cinta dan benci kepada obyek-obyek materi. Unsur
kelima adalah niat yang merupakan penyimpan ingatan dalam gagasan.
Doktrin wahm merupakan unsur yang paling asli dalam ajaran
psikologi Ibn Sina dan sangat dekat dengan apa yang oleh para psikolog
modrn digambarkan sebagai “Respon Saraf” subyek terhadap respon
tertentu. Imajinasi dan persepsi hanya menyatakan kepada kita tentang
kualitas-kualitas perseptual dari sesuatu, ukurannya, warnannya, bentuknya
dan sebagainya. Respon saraf ini bekerja pada taraf yang berbeda-beda.
Pada taraf pertama, respon ini bersifat instingtif murni seperti seorang ibu
yang secara naluriah merasa cinta dan sayang kepada bayinya. Hal ini
terjadi tanpa pengalaman sebelumnya dan menjadi semacam ilham alamiah
mendarah daging dalam jasad organismenya. Respon kedua bekerja pada
taraf empiris semu seperti seseorang yang secara irasional mengasosiasikan
warna kuning madu dengan warna dan rasa pahit empedu, tidak mau
minum madu, hal ini menunjukkan gejala-gejala rasa seperti empedu. Jadi
penilaian perseptualnya terkadang bisa keliru.
Doktrin tentang akal, Ibnu Sina membedakan antara akal potensial
didalam diri manusia dan akal aktif diluar diri manusia. Karena pengaruh
serta petunjuknya akal potensial berkembang dan menjadi matang. Pada
dasarnya yang menjadi masalah adalah asal kesadaran manusia dan hal ini
dijelaskan berdasarkan anggapan tentang akal transenden supra manusiawi
yang bila akal manusia siap menerimanya maka akan
dianugerahkan pengetahuan kepada akal manusia. Menurut Ibnu Sina
bahwa akal potensial pada manusia adalah unsur yang tak dapat dibagi-
bagi, tidak bersifat materi, dan tak dapat dirusak, sekalipun akal ini
dibangkitkan pada waktu tertentu dan sebagai sesuatu yang bersifat pribadi
bagi setiap individu. Hal ini mengandung konsekwensi keagamaan, karena
menurut al-Farabi hanya orang-orang yang berakal majulah yang dapat
bertahan hidup sedangkan yang lainnya sirna dalam kematian untuk
selama-lamanya, sedangkan menurut Ibnu Sina malah mempertahankan
kekekalan jiwa manusia.
Asal muasal pengetahuan itu bersifast misterius dan melibatkan intuisi
pada tiap tahapannya, tidaklah sedemikian benar untuk mengatakan “saya
mengetahuinya” sebagai pengakuan. Segala penguasaan atas pengetahuan
menurut Ibnu Sina memiliki kualitas menyerupai do’a. Diperlukan upaya dari
manusianya, responnya merupakan tindakan Tuhan atau akal aktif.
Sesungguhnya kita sering tak sadar akan apa yang ingin kita ketahui,
apalagi “mengetahuinya”. Sebuah teori pengetahuan yang tak dapat
memperhatikan kebenaran yang mendasar ini, bukan saja salah melainkan
juga menghina Tuhan. Pengetahuan yang diperoleh manusia adalah sedikit
demi sedikit dan sambung-menyambung, tidak sekali gus seluruhnya.
Pengetahuan pada umunya siap menerima. Memang benar ada orang yang
siap menerima dalam arti biasa, yaitu dalam arti bahwa mereka tidak
menemukan sesuatu apapun, terlebih sesuatu yang baru dan asli, mereka
hanya mempelajari garis-garis besarnya, sedangkan yang lain ada
menemukan hal-hal yang baru. Hal ini karena dikalangan pemikir pada
umumnya gagasan-gagasan datang dan pergi secara bergantian, dan oleh
karenanya penguasaan mereka tentang realitas tidaklah menyeluruh. Itulah
sebabnya Ibnu Sina menolak doktrin umum Yunani dan terutama yang baru
tentang identitas mutlak dari subyek dan obyek dalam kerja akal, karena
menurut pendapatnya, dalam hal kesadaran yang normal, yang didalamnya
terdapat kesilihbergantian gagasan, jika pikiran identik dengan sebuah
obyek lainnya. Pikiran manusia yang berfikir secara aktif kata Ibnu Sina,
ibarat sebuah cermin yang kepadanya ada serangkaian gagasan yang
direfleksikan dari akal aktif. Ini tidak berarti bahwa kenaran yang pernah
dicapai, karena sudah keluar pikiran “harus dipelajari kembali secara
keseluruhannya apabila hal itu diingat. Dengan pencapaian kata terdahulu
kita dapat menghubungkan akal aktif dan untuk mengingat, kita hanya
tinggal menggunakan keahlian atau kemampuan itu. Dengan mengambil
analog cermin tersebut Ibnu Sina mengatakan bahwa sebelum menguasai
pengetahauan cermin tersebut berkata; apabila kita berfikir kembali, cermin
itu akan menjadi mengkilat, dan senantiasa mengahadap ke arah mata hari
yaitu akal sehingga senantiasa merefleksikan cahaya.

F. Tuhan dan Dunia


Teori Ibn Sina tentang Tuhan menyebutkan bahwa Tuhan itu unik
dalam arti bahwa Dia adalah Kemaujudan yang Mesti. Segala sesuatu selain
Dia bergantung kepada diri-Nya. Kemaujudan yang mesti itu jumlahnya
harus satu. Nyatanya walaupun didalam Kemaujudan ini tak boleh terdapat
kelipatan sifat-sifat-Nya, tetapi Tuhan memiliki esensi lain, tak ada atribut-
atribut lain kecuali bahwa Dia itu ada, dan mesti ada. Disebutkan oleh Ibnu
Sina bahwa esensi Tuhan itu identik dengan keberadaannya yang mesti itu.
Karena Tuhan tidak beresensi, maka dia mutlak sederhana dan tak dapat
didefenisikan. Jika Dia tak beresensi dan tak beratribut, bagaimana caranya
agar Dia dapat dikaitkan dengan dunia?. Ibnu Sina mencoba menjawab
bahwa semua atribut itu tidak relasional jadi identik dengan adanya Tuhan.
Oleh karena itu Tuhan mutlak sederhana. Tuhan itu Maha Mengetahui
dibuktikan dengan kenyataan bahwa Dia murni dari materi dan akal yang
murni, Dia adlah akal murni dimana subyek dan obyeknya identik.
Dunia ini ada secara abadi bersama Tuhan, karena meteri maupun
bentuk mengalir abadi dari Dia. Tetapi walaupun konsep ini menjijikan bagi
Islam ortodoks, tujuan Ibnu Sina memperkenalkannya adalah dalam rangka
berupaya untuk berlaku adil baik terhadap tuntutan-tuntutan agama
maupun terhadap penalaran dan untuk menghindari materialisme ateistis.
Menurut kaum materialis, dunia ini telah ada dan abadi tanpa
Tuhan. Menurut Ibn Sina pun abadi adanya, tetapi karena dunia ini tak
berdiri sendiri maka secara keseluruhan membutuhkan Tuhan dan
bergantung kepadaNya secara abadi. Disini kita melihat adanya
tujuan ganda dari ajaran esensi dan keberadaan ini. Tidak seperti halnya
ateisme, ajaran ini menghendaki Tuhan agar berada diatas segala maujud;
dalam rangka menghindari panteisme, selanjutnya ajaran ini menghendaki
agar adanya Tuhan itu dibedakan secara mendasar dari adanya dunia.
Pokok permasalahan utama dari keabadian dunia, yang telah
ditekankan oleh kaum penentang ajaran tersebut sepanjang sejarah
pemikiran, adalah bahwa ajaran ini melibatkan serangkaian masa lalu yang
benar-benar tak pasti. Sebagai jawabannya, dikatakan sejak zaman Kant
bahwa sama sekali tidaklah mustahil membayangkan masa lalu yang tak
pasti, sama tidak mustahilnya dengan membayangkan masa yang akan
datang, yaitu tak ada kemustahilan didalam memulai darisuatu masa
tertentu dan melintasi masa lalu kemudian pada suatu titik yang tak pasti
kembali keawal masa lalu lagi. Kekeliruan berfikir pada jawaban in I adalah
dalam mengasimilasikan masa lalu dengan masa yang akan datang, karena
masa lalu adalah sesuatu yang pasti, dalam arti bahwa itu telah terjadi dan
oleh karenanya sudah dapat dipastikan. Tetapi kekeliruan yang sama,
tersirat didalam tujuannya itu sendiri, dan tampaknya penerapan istilah “tak
tentu” ini kurng pada tempatnya digunakan untuk masa yang silam. Istilah
‘tak tentu’ ini digunakan untuk suatu rangkaian tanpa akhir atau tanpa awal
dan sekaligus tanpa akhir. Menurut proposisi tersebut rangkaian ini tak
berawal pada masa lalu, dan tak berakhir pada masa yang kan datang,
sedangkan tujuannya adalah berupaya menempatkan suatu akhir pada
rangkaian itu pada suatu tempat tertentu dan kemudian mempertahankan
pendapat ketaktentuan pada masa lalu. Juga, apabila awl merupakan suatu
konsep temporal, ketanpaakhiran adalah penyangkalan dan tak memerlukan
konsep temporal, tetapi tujuannya jelas menyiratkan ‘ketaktentuan masa
lalu’ sebagai konsep temporal.

G. Pengaruhnya di Timur dan Barat


Sesunggunya filsafat Ibnu Sina telah mendominasi tradisi filsafat
Muslim sampai zaman modern ketika ia disejajarkan dengan beberapa orang
pemikir barat oleh mereka yang terdidik di universitas-universitas modern.
Di madrasah-madrasah yang dikelola secara tradisional, Ibn Sina dipelajari
sebagai filosof Islam terbesar. Ini karena tidak ada filosof penggantinya
yang orisinalitas serta ketajaman yang setara dengannya yang
menghasilkan sistem yang mengikuti jejaknya. Ibn Rusyd misalnya tidak
merumuskan pemikirannya secara sistematis, ia memilih untuk menulis
ulasan-ulasan tentang karya-karya Aristoteles. Karena ulasan-ulasannya
yang ilmiah dan ketajamannya yang begitu hebat, sehingga berpengaruh
luar biasa terhadap barat pada abad pertengahan. Berbeda dengan Ibnu
Sina yang telah berfilsafat dengan fikirannya secara sistematis dan banyak
diterima oleh segenap ahli pikir pada masa itu.
Karya-karya Ibnu sina diterjemahkan kedalam bahasa Latin di Spanyol
pada abad ke 6 H/12 M. Pengaruh pemikirannya di Barat telah mendalam
dan terbentang luas. Pengaruh Ibn Sina di Barat mulai merembes secara
nyata sejak pemerintahan Albert Yang agung, Santo dan guru termashur St.
Thomas Aquinas. Metafisika dan teologi Aquinas sendiri tak dapat dimengerti
tanpa pemahaman dari teori Ibnu Sina. Namun pengaruh Ibnu Sina tidak
terbatas pada Aquinas saja tetapi juga pada masa Dominikan atau bahkan
pada para teolog Barat resmi. Penerjemah karya De Anima, Gundisalvus
sebagian besar merupakan pengambilan doktrin-doktrin Ibnu Sina. Demikian
juga dengan para filosof dan ilmuwan abad pertengahn memberikan
kesaksian tentang pengaruh Ibnu Sina yang abadi itu.
Betapa besarnya pengaruh Falsafah Ibnu Sina, baik di Timur maupun
di Barat, baik di kalangan Islam maupun di kalangan Kristen (terutama
Kristen Katolik), dan kemudian berbagai pendapat tentang “corak khusus”
bagi falsafahnya itu, apakah falsafah Islam ataukah falsafah Timur.
Namun yang sangat umum disebut dengan “Avicinnsm” yaitu aliran Ibnu
Sina. Namun tidak ada salahnya memakai Falsafah Timur akan tetapi sangat
luas pengertiannya meliputi falsafah India, Cina dan sebagainya yang sangat
berjauhan dan tidak ada hubungan sama sekali dengan Ibnu Sina.

H. Ilmu Kedokteran
Pada usia 16 tahun, mulailah ia mengelana ke dunia ilmu
pengetahuan, yang pertama kali ia dalami adalah ilmu kedokteran. Hampir
semua buku-buku kedokteran yang ada pada waktu itu ia baca tanpa
mengalami kesulitan berarti dalam mencernanya. Kemudian bidang
metafisika ia perdalam juga sehingga ia ahli dalam ilmu fisika.Tentang
ketekunanan belajarnya yang luar biasa dapat diketahui dari
kisahnya ketikla belajar metafisika. Buku “Metaphysics of Aristotle”
dibacanya berulang-ulang hingga 40 kali, karena sulitnya mengerti dari isi
buku tersebut.
Buku kedoteran karangan Ibnu Sina merupakan buku standar yang
dipakai pada zaman Dinasti Han di Cina. Teori anatomi dan fisiologi yang
terkandung didalamnya telah mendasari sebagian besar analogi manusia
terhadap negara, dan mikrokosmos (dunia kecil) terhadap alam semesta
sebagai makrokosmos (dunia besar). Misalnya digambarkan bahwa surga
kahyangan adalah bulat bundar dan bumi adalah persegi. Terdapat empat
musim dan 12 bulan dalam setahun, dengan begitu manusia mempunyai 4
tungkai dan lengan (anggota badan) mempunyai 12 tulang sendi. Hati adlah
pangerannya tubuh manusia, sementara paru-parunya adalah menterinya.
Lever merupakan jenderalnya sang badan, sedangkan kandung empedu
sebagai markas pusatnya, limpa dan perut sebagai lumbung, sedangkan
usus sebagai sistem komunikasi dan pembuangan.
Canon of Medicine memuat pernyataan yang tegas bahwa “darah
mengalir secara terus menerus dalam suatu lingkaran dan tak pernah
berhenti”. Ini dianggap belum dapat sebgai suatu penemuan tentang
sirkulasi darah, karena bangsa Cina tidak membedakan antara urat-urat
darah halus (veins) dengan pembuluh nadi (arteries). Analogi tersebut
diatas hanyalah sebuah analogi yang digambarkan antara gerakan-gerakan
tubuh tampa peragaan secara empirik pada keadaan yang sebenarnya.
Sejumlah besar karangan Ibnu Sina juga telah diterjemahkan dalam
bahasa Latin dan Hebrew pada abad pertengahan, yang merupakan bahasa-
bahasa pengantar ilmu pengetahuan dimasa itu. “Qanun fi ath-Thibb”
misalnya yang telah dianggap sebagai ‘buku suci’nya ilmu kedokteran telah
diterjemahkan kedalam berbagai macam bahasa dan telah menjadi buku
yang menguasai dunia pengobatan Eropa selama kurang lebih 500 tahun.
Berarti jauh lebih lama dan lebih penting jika dibandingkan dengan buku-
buku Galen, seorang ahli kedokteran Yunani yang sudah terkenal lebih
dahulu. Buku tersebut juga digunakan sebagai buku teks kedokteran di
berbagai universitas di Perancis.
Pengobatan penyakit syaraf (neurasthenia) dimana Ibnu Sina
merupakan perintisnya. Buku tersebut juga mengajarkan metode-metode
pembedahan, yang didalamnya ia menandaskan perlunya sterilisasi dengan
jalan pembersihan luka (disinfection). Didalamnya diperjelas dengan
gambar-gambar dan sketsa-sketsa yang sekali gus menunjukkan
pengetahuan anatomi Ibnu Sina yang luas. Buku lain yang membuat
namanya melejit adalah “Asy-Syifa” yang terdiri dari 18 jilid. Naskah aslinya
masih tersimpan di Oxford University, London. Buku tersebut ditulisnya
dalam jangka puluhan tahun yang berisi tentang : logika, fisika,
matematika, metafisika, psikologi, pertanian, kehewanan, kedokteran,
retorika dan syair.
Sebagai seorang dokter kawakan, ia pernah dijuluki sebagai
Medicorum Principal atau Raja Diraja Dokter. Julukan lain yang pernah
diberikan padanya adalah Raja Obat. Dalam dunia Islam ia dikenal dengan
sebutan Zenith, yaitu pusat tertinggi dalam ilmu kedokteran. Ia mulai terjun
ke lapangan sebagai dokter praktek ketika baru menginjak usia remaja, 18
tahun. Kendatipun masih muda, namun saat itu ia berhasil mengobati
penyakit yang diderita oleh Sultan Nuh II bin Mansyur di Bakhara pada
tahun 387 H/997 M. Padahal penyakit Sultan pada waktu itu tergolong
parah dan dokter-dokter lain bahkan hampir putus asa. Tapi berkat
pertolongan Ibnu Sina, Sultan menjadi sehat kembali. Kemudian Ibnu Sina
diangkat menjadi dokter pribadi Sultan. Pembesar-pembesar negara yang
pernah mengundangnya untuk memberi pengobatan adalah ; Ratu Sayyidah
dan Sultan Majdud di Rayy, Amir Syamsul Ma’ali dri Thabaristan, Sultan
Syamsul Daula dari Hamadhan, serta Sultan ‘Alaud Daula dari Isfahan.
Ibnu Sina dianggap sebagai dokter yang serba ahli dalam segala
macama pengobatan, baik dengan memakai secara barat sekarang (sebagai
dokter) ataupun secara timur dahulu (sebagai tabib), baik dengan
pengobatan lahir (pakai resep) maupun dengan pengobatan batin (dengan
mantera-mantera). Sebab itu dia diagungkan disegala penjuru dunia oleh
segala golongan, di Eropa diakui sebagai dokter yang pintar dan di timur
diakui sebagai tabib yang mahir. Rangkap dua pengobatan yang dilakukan
Ibnu Sina yaitu cara dokter dan cara tabib mengingatkan kita dengan cara
pengobatan Cina saat ini, semua rumah sakit mempunyai dua juru obat
dengan memakai cara masing-masing yaitu dokter dengan resepnya dan
sinsei dengan cara tusuk jarumnya. Dunia mengenal akan pengobatan ala
Cina yang bernama “Acupunctur” yaitu penusukan jarum pada pembuluh-
pembuluh darah, yang berjumlah 360 buah diseluruh badan manusia.

I. Buku Karangan Ibnu Sina


Walaupun Ibnu Sina terkenal orang yang sangat sibuk dengan tugas
pekerjaannya sehari-hari, yang hampir memborong seluruh waktunya,
perlawatan yang sering dilakukannya, belum lagi peperangan yang sering
terjadi, tetapi dia terkenal seorang yang sangat produktif. Buku-buku
karangannya melipiti hampir seluruh cabang ilmu pengetahuan, dengan
memakai bahasa yang mudah dimengerti oleh segenap lapisan masyarakat
pembaca. Ibnu Sina adalah seorang pujangga dan pengarang yang paling
mengagumkan. Setiap waktu yang terluang, senantiasa digunakannya untuk
membaca dan mengarang. Kalau tidak ada waktu yang senggang pada siang
hari , maka seluruh malam dipergunakannya untuk mengarang sehingga dia
tak sempat tidur. Siang hari ia pergunakan untuk menjalankan tugas
pemerintahan, malam hari digunakannya untuk mengajar dan mengarang.
Sebagai seorang Negarawan, Dokter, Guru Besar selalu ia sediakan
waktu untuk membaca dan mengarang. Jika ia berada dalam perjalanan,
maka segala kertas dan buku dibawanya, dan kalau berhenti disuatu
tempat maka dia mulai berfikir dan terus mengarang. Digambarkan oleh
muridnya Jaujani, sewaktu Ibnu Sina menulis buku “As-Syifa”, setiap hari
Ibnu Sina menulis dengan tangannya sendiri tidak kurang dari 50 halaman
kertas.
Jumlah karangan Ibnu Sina yang telah mulai mengarang buku
ketika berusia 21 tahun sampai dengan akhir hayatnya berjumlah 276
buah. Ini adalah laporan Fater dari Dominican di Cairo yang telah
menyelidiki sedalam-dalamnya dan menghimpun hasil penyelidikannya itu
kedalam sebuah buku yang diberi judul “Essai de Bibliographie Avicenna”
yang memuat nama-nama dari segala buku dan risalah yang pernah
dikarang oleh Ibnu Sina.
Buku-buku karangan Ibnu Sina itu antara lain :
1. Al-Majmu’
Buku tersebut memuat himpunan berbagai ilmu pengetahuan umum, mulai
dari ilmu falsafah sampai kepada ilmu psikology dan metafisika.
2. Al-Birru Wal Istmu
Memuat tentang ilmu ethika (akhlak untuk mengetahui perbuatan-
perbuatan kebajikan dan perbuatan dosa). Buku tersebut terdiri dari 2 jilid.
3. Al-Hashil Wal Mashul
Memuat ilmu-ilmu Islam, seperti Ilmu Hukum Fiqh, Ilmu Tafsir Al-qur’an
dan Ilmu Tasauf. Buku ini terdiri dari 20 jilid.
4. Al-Qanun Fit Thib
Buku ini lebih dikenal dengan nama “Canon” terdiri dari 5 jilid, memuat
sebanyak 1 juta perkataan. Buku ini dianggap sebagai kitab sucinya ilmu
Kedokteran, menguasai dunia pengobatan Eropa selama 5 abad.
5. Al-Urjuzah Fit Thib
Buku ini memuat syair-syair tentang kedokteran. Pertama kali disebarkan
menurut teks aslinya berbahasa Arab dengan terjemahannya dalam bahasa
Latin dan kemudian diterjemahkan kedalam bahasa Perancis.
6. Al-Adwiyah al Qalbiyah
Buku ini memuat petunjuk pengobatan penyakit jantung.
7. Al-Qaulandj
Buku ini memuat tentang penyakit dalam pada bahagian perut. Penyakit ini
pernah diobatinya dengan berhasil baik terhadap seorang pembesar Islam,
akan tetapi penyakit ini pulalah yang menyerangnya hingga ia meninggal
dunia.
8. Majmu’ah Ibnu Sina
Buku ini berisi berbagai cara pengobatan secara tabib, nujum, pekasih,
pembungkem mulut para hakim, dan sebagainya. Naskah buku ini sekarang
tersimpan di perpustakaan Alamiyah di Cairo dekat Universitas al Azhar.
9. As-Syifa’
Buku ini berisi tentang penemuan dan penyembuhan. Terdiri dari 18 jilid.
Naskah aslinya tersimpan di Oxford University London. Memuat logika,
fisika, matematika, kedokteran yang berhubungan dengan penemuan teori
dan penyembuhan penyakit.
10. Hikmah al Masyriqiyyin
Buku ini adalah buku filsafat yang menggambarkan filsafat timur yang
berbeda dengan filsafat barat. Menurut Ibnu Sina Falsafah barat sangat
mengandalkan Rasionalistic sedangkan Falsafah Timur mengandalkan selain
ratio juga suara wahyu dari Tuhan.
11. Dansh Namihi ‘Alaii
Artinya adalah Buku falsafah untuk Allah. Buku tersebut ditulisnya untuk
Amir ‘Alauddin dari Isfahan, yang ditulis Ibnu Sina dalam bahasa Persi yang
Indah.
12. Kitabul Inshaf
Buku tentang keinsafan.
13. Kitabul Hudud
Buku tentang kesimpulan-kesimpulan. Dengan buku ini Ibnu Sina
menegaskan istilah-istilah dan pengertian-pengertian yang dipakainya di
dalam ilmu falsafah.
14. Al-Isyaratu Wattambihaat
Buku tentang dalil-dalil dan peringatan-peringatan. Sesuai namanya buku
ini banyak berbicara masalah-masalah dalil-dalil dan peringatan-peringatan
mengenai prinsif Ketuhanan dan Keagamaan.
15. Kitabun Najaah
Buku tentang kebahagiaan jiwa.
16. Al-Isaghuji
Ilmu Logika Isagoji.
17. Fi-Aqsamil ‘Ulumil ‘Aqliyyah
Tentang pembagian segala ilmu akal.
18. Lisanul ‘Arabi
Bahasa Arab.
19. Macharijul Huruf
Cara-cara mengucapkan kata-kata.
20. Arrisalatu fi Assababi Hudusil Huruf
Risalah tentang terjadinya huruf.
21. Al-qasidatul ‘Ainiyyah
Qasidah/syair tentang jiwa.
22. Ar-Risalatut Thairi
Cerita seekor burung
23. Qishatu Salaman wa Absal
Cerita raja Salaman dan saudaranya Absal
24. Ar-Rishalatu Hayyibin Yaqzhan
Cerita si hidup anak si bangun. Buku ini menceritakan seorang pengenbara
yang sudah tua umurnya tetapi tetap kuat dan gagah, mempunyai tenaga
besar dan tahan terhadap hujan dan panas, tidak terganggu oleh pergantian
musim.
25. Risalatus Siyyasati
Buku tentang ilmu politik.
26. Fi Isybatin Nubuwwat
Tentang menetapkan adanya kenabian
27. Ar Razaq
Tentang Pembagian Rizki
28. Tadbirul Junudi Walmamaliki
Buku Soal Pertahanan dan Angkatan Bersenjata
29. Tadbirul Manazilu
Buku penyusunan kekeluargaan dalam politik Ketuhanan
30. Jami’ul Bada’
Tafsir Al-Qur”an

J. Kesimpulan
Ibnu Sina adalah seorang ahli multi kompleks di dalam berbagai
Ilmu Pengetahuan. Karena serba lengkap keahliannya itu, orang
menamakannya “ensiklopedi hidup” yang melengkapi segala ilmu. Sebut
saja keahliannya; sebagai dokter, negarawan, filosof, pengarang, politikus,
dan banyak lagi yang lain.
Keahliannya dalam ilmu kedokteran dikagumi di seluruh dunia, baik
mengenai prakteknya apalagi dilapangan teori yang tetap hidup berabad-
abad lamanya. Dia diakui sebagai dokter kaliber Internasional, yang
ajarannya dianut lebih dari 5 abad lamanya oleh ahli kedoteran barat
khususnya, melebihi lamanya dari para Dokter kaliber Internasional yang
mendahuluinya, seperti Galenius dan Hipocrates dari Yunani.
Pantas kita tauladani meskipun Ibnu Sina orang yang sangat sibuk
dengan pekerjaannya sehari-hari baik sebagai dokter, Guru Besar, politikus,
negarawan, ia selalau menyediakan waktu untuk membaca dan mengarang.
Jika ia berada dalam perjalanan, maka segala kertas dan buku dibawanya,
dan kalau berhenti disuatu tempat maka dia mulai berfikir dan terus
mengarang. Digambarkan oleh muridnya Jaujani, sewaktu Ibnu Sina menulis
buku “As-Syifa”, setiap hari Ibnu Sina menulis dengan tangannya sendiri
tidak kurang dari 50 halaman kertas.
Ibnu Sina adalah orang yang paling produktif dalam mengarang buku.
Ia telah mulai mengarang buku ketika berusia 21 tahun sampai dengan
akhir hayatnya. Jumlah karangannya para ahli berbeda pendapat, namun
yang paling dipercaya berjumlah 276 buah. Ini adalah laporan Fater dari
Dominican di Cairo yang telah menyelidiki sedalam-dalamnya dan
menghimpun hasil penyelidikannya itu kedalam sebuah buku yang diberi
judul “Essai de Bibliographie Avicenna” yang memuat nama-nama dari
segala buku dan risalah yang pernah dikarang oleh Ibnu Sina.
Semoga dengan pemaparan kehidupan Ibnu Sina akan menggugah
hati kita akan berliannya seorang pilosof Islam yang telah menggetarkan
dunia. Semoga akan lahir pula Ibnu Sina-Ibnu Sina muda di negera Republik
Indonesia yang kita cintai ini. Insya Allah.

DAFTAR PUSTAKA

hmad, Z. (1974). Ibnu Siena (Avicenna) Sarjana dan Filosoof Besar Dunia. Jakarta.
Bulan Bintang.
Ibrahim. (1993). Filsafat Islam : Metode dan Penerapan. Jakarta : PT. Raja Grafindo
Persada.

yad, M. (1990). Ilmuwan Muslim Sepanjang Sejarah. Bandung : Penerbit Mizan.

buddin. (1993). Ilmu Kalam, Filsafat dan Tasauf. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

M.M. (Eds). (1996). Para Filosof Muslim. Bandung : Penerbit Mizan.

A. Biografi Ibnu Sina

Nama lengkapnya Abu Ali al-husein ibn Abdullah ibn al-Hasan ibn Ali ibn Sina. Ia
dilahirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara, Transoxiana (persia utara) pada 370 H
(±980M). Ayahnya berasal dari kota balakh kemudian pindah ke bukharah pada masa
raja Nuh ibn manshur dan diangkat oleh raja sebagi penguasa di kharmaitsan, satu
wilayah di kota bukharah.
Ia mempunyai ingatan dan kecerdasan yang luar biasa sehingga di usia 10 tahun telah
mampu menghafal Al-Qur’an, sebagian besar sastra arab, dan ia juga hafal kitab
metafisika karangan aristoteles setelah di bacanya empat puluh kali, kendatipun ia baru
memahaminya setelah membaca ulasan Al-Farabi[1].
Ibnu Sina mempelajari beberapa bidang ilmu pengetahuan, antara lain[2]:
1) Ilmu ilmu agama
Ads by AdPxl

Dimulainya belajar Qur’an pada tahun 375 H, sewaktu umur baru 5 tahun. Kemudian
terus mempelajari ilmu-ilmu islam yamg lainnya seperti tafsir, fikih, ushuluddin, tasawuf
dan lainnya.
2) Ilmu-ilmu filsafat
Setelah umurnya mencapai 10 tahun dia sudah menguasai ilmu-ilmu agama, ayahnya
mulai menyuruhnya belajar ilmu falsafah dengan segala cabangnya. Dia di suruh
belajar kepada saudagar rempah-rempah untuk mempelajari ilmu hitung india.
3) Ilmu politik
Tidak kurang pentingnya untuk diketahui, bahwa ilmu politik sudah diperkenalkan
kepada ibnu sina pada umur mudanya. Ayahnya adalah tokoh terkemuka dari aliran
“isma’iliyah” dari partai syi’ah. Pada waktu itu pemimpin propogandis aliran tersebut
yang berpusat di mesir di bawah pimpinan Fathimiyah, sering kali berkunjung dan
berunding dengan ayahnya, untuk meluaska sayap partai itu ke daerah bukhara. Ibnu
sina selalu disuruh duduk mendengarkan segala uraian politik mereka. Saudaranaya
Abdul harist mengikuti aliran ayahnya, menjadi pengikut yang setia dari partai
isma’iliyah, tetapi ibnu sina tidak pernah tertarik dengan aliran itu.
4) Ilmu kedokteran
Di dalam tingkat terakhir, Ibnu Sina tertarik kepada ilmu kedokteran. Dia mempelajari
ilmu itu sewaktu umurnya 16 tahun, dan dalam waktu 18 bulan (1½ tahun) selesailah
ilmu itu ia kuasainya.
Sewaktu berumur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana
pernah mengobati pangeran Nuh Ibn Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya.
Sejak itu, Ibnu Sina mendapat sambutan baik sekali, dan dapat pula mengunjungi
perpustakaan yang penuh dengan
buku

-buku yang sukar didapat, kemudian dibacanya dengan segala keasyikan. Karena
sesuatu hal, perpustakaan tersebut terbakar, maka tuduhan orang ditimpakan
kepadanya, bahwa ia sengaja membakarnya, agar orang lain tidak bisa lagi mengambil
manfaat dari perpustakaan itu[3].

B. Karya-Karya Ibnu Sina

Pada usia 20 tahun ia telah menghasilkan karya-karya cemerlang, dan tidak heran
kalau ia menghasilkan 267 karangan di antara karangan nya yang terpenting adalah[4]:
1) Al – syifa’ latinnya sanatio (penyembuhan), ensiklopedi yang ter diri dari 18 jilid
mengenai fisika, metafisika dan matematika. Kitab ini di tulis ketika menjadi mentri di
Syams al-Daulah dan selesai masa ala’u al-Daulah di isfahan.
2) Al- Najah, latinnya salus (penyelamat), keringkasan dari as-Syifa’.
3) Al-Isyaroh wa al-tanbihah (isyarat dan peringatan), mengenai logika dan hikmah.
4) Al-Qonun fi al-tibb, ensiklopedi medis dan setelah diterjemahkan dalam bahasa
Latin menjadi buku pedoman pada Universitas-Universitas di Eropa sampai abad XVII
5) Al-Hikmah al-‘Arudhiyyah
6) Hidayah al-Rais li al- Amir
7) Risalah fi al-Kalam ala al-Nafs al-Nathiyah
8) Al-mantiq al-Masyriqiyyin (Logika timur)
C. Pemikiran Filsafat Ibnu Sina
1) Metafisika[5]
Berkaitan dengan metafisika, Ibnu Sina juga membicarakan sifat wujudiyah yang
terpenting dan yang mempunyai kedudukan diatas segala sifat lain, walaupun esensi
sendiri. Esensi, dalam faham Ibnu Sina terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di
luar akal. Wujudlah yang membuat tiap esensi yang dalam akal mempunyai kenyataan
diluar akal. Tanpa wujud, esensi tidak besar artinya. Oleh sebab itu wujud lebih penting
dari esensi. Tidak mengherankan kalau dikatakan bahwa Ibnu Sina telah terlebih
dahulu menimbulkan falsafat wujudiah atau existentialisasi dari filosof - filosof lain.
Kalau dikombinasikan, esensi dan wujud dapat mempunyai kombinasi berikut :
a) Esensi yang tak dapat mempunyai wujud, dan hal yang serupa ini disebut oleh Ibnu
Sina yaitu sesuatu yang mustahil berwujud (mamnu’ul wujud/impossible being).
Contohnya, adanya sekarang ini juga kosmos lain di samping kosmos yang ada.
b) Esensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud. Yang
serupa ini disebut mumkin yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula
tidak berwujud (mumkinul wujud/ contingent being). Contohnya adalah alam ini yang
pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada.
c) Esensi yang tak boleh tidak mesti mempunyai wujud. Disini esensi tidak bisa
dipisahkan dari wujud. Esensi dan wujud adalah sama dan satu. Di sini esensi tidak
dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan
esensi dalam kategori kedua, tetapi esensi mesti dan wajib mempunyai wujud selama -
lamanya. Yang serupa ini disebut mesti berwujud (waibul wujud/ necessary being) yaitu
Tuhan. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud.
Dengan demikian, tuhan adalah unik dalam arti Dia adalah Kemaujudan yang Mesti,
segala sesuatu selain Dia bergantung kepada diri dan keberadaan tuhan. Kemaujudan
yang mesti itu harus satu. Nyatanya, walaupun di dalam kemaujudan ini tak boleh
terdapat kelipata sifat-sifat Nya. Tetapi tuhan mempunyai esensi lain, tak ada antribut
antribut lain kecuali bahwa Dia itu ada, dan mesti ada. Ini dinyataka Ibn Sina dengan
mengatakan bahwa esensi tuhan identik dengan keberadaan Nya yang mesti itu.
Karena tuhan tidak berensensi maka Dia mutlak sederhana dan tak dapat di
definisikan.
Ibn Sina adalah penganut faham emanasi Ia berpendapat bahwa dari tuhan memancar
akal pertama. Sekalipun tuhan terdahlu dari segi zat, namun tuhan dan akal pertama
adalah sama-sama azali. Selajutnya ibn Sina berpendapat, berbeda dengan al farabi,
bahwa akal pertama mempunyai dua sifat: sifat wjib wujudnya sebagai pancaran dari
Allah

dan sifat mungkin wujudnya jika di tinjau dari hakikat dirinya. Dengan demikian Ia
mempunyai tiga objek pemikiran:
a) Tuhan, Dari pemikiran tentang tuhan timbul akal-akal
b) Dirinya sebagai wajib wujudnya, Dari pemikiran ini timbul jiwa-jiwa
c) Dirinya sebagai mungkin wujudnya, Dari pemikiran ini timbul langit-langit
2) Filsafat Jiwa[6]
Untukmembuktikan adanya jiwa Ibn Sina mengajukan beberapa Argumen yakni:
a) Argumen Psikofisik
Untuk pembuktian ini Ibn sina mengatakan bahwa gerak dapat di bedakan kepada
gerak terpaksa, yakni gerak yang didorong unsur luar. Dan gerak tidak terpaksa . gerak
yang tidak terpaksa ada kalanya terjadi karena hukum alam, seperti jatuhnya batu dari
atas kebawah, ada juga yang menentang hukum alam, seperti manusia
berjalan
di kulit bumi ini. Menurut hukumm alam manusia harus diam di tempat karena
mempunayi berat badan sama dengan benda padat. Gerak di luar hukum alam
ini tentu terdapat unsur tertentu diluar tubuh itu sendiri.
b) Argumen “Aku” dan kesatuan fenomena psikologis.
Untuk membuktikan argumen ini, Ibn Sina membedakan aku sebagai jiwa, dan badan
sebagai alat. Ketika seseorang mengatakan aku akan tidur, maksudnya bukan ia akan
pergi ke tempat tidur atau memejamkan mata dan tidak menggerakkan badan, tetapi
adalah seluruh pribadi yang merupakan aku. Aku menurut pandangan Ibn Sina adalah
bukanlah fenomena fisik, tetapi adalah jiwa dan kekuatannya.
c) Argumen kelangsungan (kontinuitas).
Menurut Ibn Sina hidup rohaniah kita hari ini berkaitan dengan hidup kita yang kemarin
tanpa ada tidur atau kekosongan. Jadi hidup adalah berubah dalam satu untaian yang
tidak putus-putus.
d) Argumen manusia terbang di udara
Dalil ini adalah yang terindah dari Ibnu Sina dan yang paling jelas menunjukkan daya
kreasinya. Meskipun dalil tersebut didasarkan atas perkiraan dan khayalan, namun
tidak mengurangi kemampuannya untuk memberikan keyakinan. Dalil tersebut
mengatakan sebagai berikut : “Andaikan ada seseorang yang mempunyai kekuatan
yang penuh, baik akal maupun jasmani, kemudian ia menutup matanya sehingga tak
dapat melihat sama sekali apa yang ada di sekelilingnya kemudian ia diletakkan di
udara atau dalam kekosongan, sehingga ia tidak merasakan sesuatu persentuhan atau
bentrokan atau perlawanan, dan anggota – anggota badannya diatur sedemikian rupa
sehingga tidak sampai saling bersentuhan atau bertemu. Meskipun ini semua terjadi
namun orang tersebut tidak akan ragu – ragu bahwa dirinya itu ada, meskipun ia sukar
dapat menetapkan wujud salah satu bagian badannya. Bahkan ia boleh jadi tidak
mempunyai pikiran sama sekali tentang badan, sedang wujud yang digambarkannya
adalah wujud yang tidak mempunyai tempat, atau panjang, lebar dan dalam (tiga
dimensi). Kalau pada saat tersebut ia mengkhayalkan (memperkirakan) ada tangan
dan kakinya. Dengan demikian maka penetapan tentang wujud dirinya, tidak timbul dari
indera atau melalui badan seluruhnya, melainkan dari sumber lain yang berbeda sama
sekali dengan badan yaitu jiwa.
3) Falsafat Wahyu dan Nabi[7]
Akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil, akal intelektual, akal aktuil, dan
akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang terendah adalah akal
materiil. Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang
besar lagi kuat, yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada
akal materiil semua ini begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah
dapat berhubungan dengan akal aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau
wahyu dari Tuhan. Akal serupa ini mempunyai daya suci. Inilah bentuk akal tertinggi
yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi – nabi.
Jadi wahyu dalam pengertian teknis inilah yang mendorong manusia untuk beramal dan
menjadi orang baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka.
Maka tak ada agama yang hanya berdasarkan akal murni. Namun demikian, wahyu
teknis ini, dalam rangka mencapai kualitas potensi yang diperlukan, juga tak pelak lagi
menderita karena dalam kenyataannya wahyu tersebut tidak memberikan kebenaran
yang sebenarnya, tetapi kebenaran dalam selubung simbol – simbol. Namun sejauh
mana wahyu itu mendorong ?. Kecuali kalau nabi dapat menyatakan wawasan
moralnya ke dalam tujuan – tujuan dan prinsip – prinsip moral yang memadai, dan
sebenarnya ke dalam suatu struktur sosial politik, baik wawasan maupun kekuatan
wahyu imajinatifnya tak akan banyak berfaedah. Maka dari itu, nabi perlu menjadi
seorang pembuat hukum dan seorang negarawan tertinggi – memang hanya nabilah
pembuat hukum dan negarawan yang sebenarnya.
4) Tasawuf[8]
Mengenai tasawuf, menurut ibnu sina tidak dimulai dengan zuhud, beribah dan
meninggalkan keduniaan sebagaimana yang dilakukan oleh orang-orang sufi
sebelumnya. Ia memulai tasawufnya dengan akal yang dibantu oleh hati. Dengan
kebersihan hati dan pancaran akal, lalu akal akan menerima ma’rifah dari akal fa’al.
Dalam pemahaman ibnu sina bahwa jiwa-jiwa manusia tidak berbeda lapangan
ma’rifahnya dan ukuran yang dicapai mengenai ma’rifah, tetapi perbedaannya terletak
kepada ukuran persiapannya untuk berhubungan dengan akal fa’al.
Mengenai bersatunya tuhan dengan manusia atau bertempatnya tuhan di hati manusia
tidak diterima oleh ibnu sina, karena manusia tidak bisa langsung kepada tuhannya,
tetapi melalui perantara untuk menjaga kesucian tuhan. Ia berpendapat bahwa puncak
kebahagiaan itu tidak tercapai, kecuali perhubungan antara manusia dengan tuhan
saja. Karena manusia mendapat sebagian pancaran dari perhubungan tersebut.
Pancaran dan sinar ini tidak langsung keluar dari allah, tetapi melalui akal fa’al.
Berkaitan dengan anggapan bahwa ittihad dapat membawa bersatunya makhluk
dengan penciptanya tidak dapat diterima akal sehat, karena hal ini mengharuskan
sesuatau menjadi satu dan banyak pada waktu yang sama.
5) Hukum Sebab Musabab[9]
Ibn Sina menggambarkan sebab atau wakil di mulai dengan sebab ini. mutakallimun
berpendapat bahwa pencipta alam adalah sebagai akibat dari atau hasil dari tuhan
yang bertindak sebagai pencipta. Pendapat ini digunakan berbagai istilah dalam bahasa
arab yang artinya sama dengan penciptaan, penghasilan, pembuatan, pekerjaan,
pembawaankepada wujud dan lain – lain. Seperti arsitek, sebelum arsitek membuat
rumah, rumah itu tidak ada, kalau rumah itu sudah ada berarti rumah itu sudah tidak
membutuhkan lagi wakil atau sebab untuk ada. Penciptaan alam oleh tuhan berbeda
dengan pembuatan sebuah rumah oleh arsitek :
a. Rumah kalau sudah dibangun ia tidak perlu lagi wakil, sedangkan alam selamanya
perlu wakil. Sesudah dia diciptakan, ia butuh terus kepada tuhan.
b. Wakil adalah dalam waktunya mendahului dari rumah itu. Dengan
perkataan lain, sebab mendahului perbuatan dalam segala perbuatan yang terjadi
dalam alamTuhan adalah sebab yang efisien dari alam, tidak perlu didahului oleh
waktu. Dengan kata lain ibnu sina memandang antara sebab dan akibat, walaupun
bagaimana sebab itu, datang juga dari sebab.
Ibnu sina mengarang sebuah karangan tentang Al-Isyk (Kehendak). Dia berkata :
“kehendak adalah unsur murni dari wujud. Kemudian wujud makhluk dijelmakan oleh
kehendak dan bersatu dengan dirinya sendiri atau wujud dan kehendaknya adalah
sama”. Dalam bagian ini ibnu sina berkata : “teranglah, bahwa dalam setiap makhluk
terdapat suatu kehendak batin. Kehendak batin ini dengan kebutuhannya menjadi
sebab dari penciptanya. Setiap unsure ditemani kehendak batin yang senantiasa
kelihatan padanya, yang menyebabkan wujudnya”. Pengertian ini menjadi bentuk
filsafat cahaya akal dari ibnu sina. Pendiriannya yang menolak gambaran tuhan sebagai
wakil sebab, memungkinkan orang tuk mempelajari pendiriannya tentang Tuhan Maha
Mengatur.
6) Tuhan Maha mengatur dan Maha Tahu[10]
Diterangkan dalam kitab Al-Isyarat :”Maha tahu adalah perwakilan dalam undang alam
semesta, dalam pengetahuan abadi, dalam suatu waktu tertentu”. Undang pelimpahan
tuhan dalam bentuk hirarki dan kekhususan adalah dengan pelimpahan rasionil.
Keterangan tersebut menyebabkan orang dapat melihat bagaimana ibnu sina
menguraikan tentang sifat Maha Tuhan dan mengenai baik dan buruk. Orang akan
merasa pesimis dan memberikan uraiannya bahwa antara baik dan buruk, baiklah yang
akan menang. Tuhan menghendaki baik oleh karena itu ia menyempurnakan wujud-
Nya. Makhluk adalah baik dan kesempurnaan makhluk itu adalah terdapat dalam
segala makhluk. Karena segala kebaikan dan kesempurnaan datang dari tuhan. Sebab
tuhan itu mempunyai sifat Rahman dan Rahim, ia akan menjelma dalam setiap yang
dikuasaiNya.
Ibnu Sina menggambarkan tentang pengertian benda itu sebagai seorang perempuan
yang tidak cantik yang memakai topeng sehingga dia tampak cantik sekedar untuk
menutupi ketidakcantikannya. Oleh karena itu, perempuan tidak dapat terpisah dari
topeng tersebut, topeng tersebut memberi kecantikan padanya. Tuhan sebagai puncak
makhluk, maka tuhan pula merupakan puncak rupa depan yang memberi nikmat. Kita
harus mengenal tuhan sebagai wakil sebab. Nafsu adalah sebab akhir dari makhluk
yang mencoba memperoleh kesempurnaan dan kebaikan.
Undang alam semesta adalah sebaik – baik undang makhluk, dan dunia kita adalah
sebaik – baik alam yang dapat difahamkan oleh otak manusia. Selama dunia ini
tersusun dari kebutuhan dan kemungkinan, dunia ini terjadi dari benda bentuk, potensi
dan hakikat, kejahatan selamanya aka nada, kejahatan lebih sedikit daripada kebaikan
dan kejahatan itu bersifat negative dan kebaikan itu bersifat positif. Kejahatan timbul
dari makhluk sendiri.
Pengetahuan manusia terbatas, dia tidak dapat mengerti hikmah yang berada dalam
kejahatan tuhan tidak melihat kepada sesuatu pendirian kita yang terbatas, akan tetapi
tuhan memandang secara keseluruhannya terletak dalam aturan hirarki yang turun dari
tuhan. Untuk membuktikan bahwa tuhan maha mengetahui, ibnu sina pernah
menghadapi tiga buah pernyataan yang berlawanan, yaitu :
a. Tentang pendirian filsafat aristoteles yang mengatakan bahwa tuhan berada
diluar
alam.
b. Tesis Alqur’an yang mengatakan : “tuhan adalah maha tahu akan segala yang
tidak terlihat. Tidak ada sebutir atom atau lebih kecil dari itu atau lebih besar di langit
dan di bumi yang tersembunyi kepada-Nya, itulah seterang – terangnya bukti” (Surat
34/4)
c. Tentang pendapat Plato dan Neoplatenis, yang mengatakan bahwa tuhan adalah
prinsip pertama, Yang Esa dan Dia jauh dari apa yang dapat disifatkan oleh
pengetahuan , sebab dengan meletakkan kepada Tuhan pengetahuan. Dia mempunyai
sifat yang rangkap yaitu tahu dan pengetahuan.
Dalam An-Najat ibnu sina berkata : “Kebenaran pertama, jika ia tahu dirinya sendiri, dia
tahu bahwa Dia adalah dasar pertama dari makhluk dan segala sesuatu yang keluar
daripada-Nya”. Putusan paham ibnu sina diberikannya, bahwa ilmu Tuhan tentang
kekhususan adalah didasarkan pada pokok pelajaran sebab musabab. Segala sesuatu
berkehendak kepada hubungan sebab dan akibat.
7) Pandangan Tentang Akal[11]
Menurut ibnu sina akal merupakan suatu kekuatan yang terdapat dalam jiwa. Ada dua
macam akal yaitu : akal manusia dan akal aktif. Semua pemikiran yang muncul dari
manusia sendiri untuk mencari kebenaran disebut akal manusia. Sedangkan akal aktif
adalah semua pemikiran manusia yang mendatang kedalam akal manusia dari
limpahan ilham ke-Tuhanan. Ibnu sina juga terkenal dengan rumusannya yaitu : akal
(pemikiran) membawa alam semesta ini kedalam bentuk – bentuk. Rumusan ibnu sina
diambil alih oleh seorang pendeta Dominican Albertus Magnus (1206 - 1280) yang
dikemukakan di dunia barat.

DAFTAR PUSTAKA
Hasyimsyah Nasution, filsafat islam,1999,jakarta timur :Gaya media pratama
Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam,1992,Jakarta : Bulan Bintang
Sudarsono, filsafat islam,2004,jakarta : PT Rineka cipta

[1]Hasyimsyah Nasution, filsafat islam,(jakarta timur :Gaya media pratama, 1999), Hlm.
67
[2]Sudarsono, filsafat islam, (jakarta : PT Rineka cipta, 2004), hlm. 42
[3]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang), 1992,
hal. 34
[4]Hasyimsyah Nasution op, cit,Hlm. 68
[5]Ibid. Hlm. 69
[6]Hasyimsyah Nasution op, cit,Hlm. 71
[7]Ibid, hlm. 75
[8]Ibid, hlm. 77
[9]Sudarsono, op. Cit, hlm. 47
[10]Ibid, hlm. 49
[11]Ibid, hlm. 52

PENDAHULUAN

Dalam sejarah pemikiran filsafat abad pertengahan,


sosok Ibnu Sina dalam banyak hal dibicarakan oleh banyak orang, sedang diantara para filosof
muslim ia tidak hanya unik, tapi juga memperoleh penghargaan yang semakin tinggi hingga
masa modern. Ia adalah satu-satunya filosof besar Islam yang telah berhasil membangun sistem
filsafat yang lengkap dan terperinci, suatu sistem yang telah mendominasi tradisi filsafat muslim
beberapa abad.

Pengaruh ini terwujud bukan hanya karena ia memiliki sistem, tetapi karena sistem yang ia
miliki itu menampakkan keasliannya yang menunjukkan jenis jiwa yang jenius dalam
menemukan metode-metode dan alasan-alasan yang diperlukan untuk merumuskan kembali
pemikiran rasional murni dan tradisi intelektual Hellenisme yang ia warisi dan lebih jauh lagi
dalam sistem keagamaan Islam.[1]

BIOGRAFI

Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali Husain Ibnu Abdillah Ibn Sina. Dalam dunia Barat
beliau dikenal dengan nama Avvicenna.[2] Ia lahir pada Shafar 370 H/Agustus 980 M di Ifsyina
(negeri kecil dekat Charmitan)[3], suatu tempat dekatBukhara.[4] Orang tuanya adalah pegawai
tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman.[5]Beliau dibesarkan diBukharaia serta belajar falsafah
kedokteran dan ilmu-ilmu agama Islam. Ketika usia sepuluh tahun ia telah banyak mempelajari
ilmu agama Islam dan berhasil menghafal Al-Qur’an.[6] Dari Abu Abdellah Natili, Ibnu Sina
mendapat bimbingan mengenai ilmu logika untuk mempelajari buku Isagoge dan Porphyry,
Eucliddan Al-MagestPtolemus. Setelah itu ia mendalami ilmu agama dan metafisika Plato dan
Arsitoteles.Dengan kekuatan kecerdasannya ia banyak mempelajari filsafat dan cabang-
cabangnya, ia berhasil memahami metafisika-nya Arisstoteles, ketika ia membaca Agradhu kitab
ma waraet thabie’ah li Aristho -nya Al-Farabi.[7]

Ia mempelajari ilmu kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. Meskipun secara teori
ia belum matang, tetapi ia banyak melakukan keberhasilan dalam mengobati orang-orang
sakit.[8]Ia tidak pernah bosan atau gelisah dalam membaca buku-buku filsafat dan setiap kali
menghadapi kesulitan, maka ia memohon kepada Tuhan agar diberikan petunjuk, maka didalam
tidurnya itu Tuhan memberikan pemecahan terhadap kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.[9]

Umur 17 tahun ia telah dikenal sebagai dokter dan atas panggilan Istana pernah mengobati
pangeran Nuh Ibnu Mansur sehingga pulih kembali kesehatannya. Sejak itu, Ibnu Sina mendapat
akses untuk mengunjungi perpustakaan istanayang terlengkap yaitu Kutub Khana.[10]
Perpustakaan tersebut terbakar dan orang-orang menuduh Ibn Sina sengaja membakarnya, agar
orang lain tidak bisa lagi mengambil manfaat dari perpustakaan itu.[11]

Ibnu Sina pula sebagai orang pertama yang menemukan peredaran darah manusia, dimana
enam ratus tahun kemudian disempurnakan oleh William Harvey. Dia juga orang yang pertama
kali mengatakan bahwa bayi selama masih dalam kandungan mengambil makanannya lewat tali
pusarnya. Dia juga yang mula-mula mempraktekkan pembedahan penyakit-penyakit bengkak
yang ganas, dan menjahitnya. Dan dia juga terkenal sebagai dokter ahli jiwa yang kini disebut
psikoterapi .

Dibidang filsafat, Ibnu Sina dianggap sebagai imam para filosof di masanya, bahkan sebelum
dan sesudahnya. Ibnu Sina otodidak dan genius orisinil yang bukan hanya dunia Islam
menyanjungnya ia memang merupakan satu bintang gemerlapan memancarkan cahaya sendiri,
yang bukan pinjaman sehingga Roger Bacon, filosof dari Eropa Barat pada Abad Pertengahan
menyatakan dalam Regacy of Islam-nya Alfred Gullaume; “Sebagian besar filsafat Aristoteles
sedikitpun tak dapat memberi pengaruh di Barat, karena kitabnya tersembunyi entah dimana, dan
sekiranya ada, sangat sukar sekali didapatnya dan sangat susah dipahami dan digemari orang
karena peperangan-peperangan yang merajalela di sebeleah Timur, sampai saatnya Ibnu Sina dan
Ibnu Rusyd dan juga pujangga Timur lain membuktikan kembali falsafah Aristoteles disertai
dengan penerangan dan keterangan yang luas.”[12]
Selain sebagai filosof dan dokter, iajugadi kenal sebagai penyair. Ilmu-ilmu pengetahuan
seperti ilmu jiwa, logika, kedokteran dan kimia, ia tulis dalam bentuk syair. Kebanyakan buku-
bukunya telah disalin kedalam bahasa Latin. Orang-orang Eropa mulai mempergunakan buku-
buku itu sebagai referensi dipelbagai universitas.Oleh karena itu nama Ibnu Sina pada abad
pertengahan sangat berpengaruh di Eropa.[13] Ia meninggal pada tahun 428 H (1037 M) di
Hamdzan.[14]

KARYA – KARYA

Karya-karya Ibnu Sina yang termasyhur dalam Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat dan Al-
Isyarat. An-Najat adalah ringkasan dari kitab As-Shifa. Al-Isyarat, berisikan tentang logika dan
hikmah. Selain dari pada itu, ia banyak menulis karangan- karangan pendek yang dinamakan
Maqallah. Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika ia memperoleh inspirasi dalam sesuatu bentuk
baru dan segera dikarangnya.[15]

Walaupun ia sibuk dengan soal negara, tetapi ia berhasil menulis sekitar dua ratus lima puluh
karya. Diantaranya karya yang paling masyhur dalam bidang kedokteran adalah “Al-
Qanun” yang berisikan pengobatan Islam dan diajarkan hingga kini di Timur. Buku ini
dterjemahkan ke bahasa Latin dan diajarkan berabad lamanya di Universitas Barat. Karya
keduanya adalah ensiklopedinya yang monumental “As-Syifa”. Karya ini merupakan titik puncak
filsafat paripatetik dalam Islam.[16]

Diantara karangan – karangan Ibnu Sina adalah :

1. Buku mengenai politik seperti: Risalah As-Siyasah, Fi Isbati an-Nubuwah, Al-Arzaq,


2. Buku mengenai Tafsir seperti: Surah al-Ikhlas, Surah al-Falaq, Surah an-Nas, Surah al-
Mu’awizataini, Surah al-A’la.
3. Buku Psikologi seperti: An-Najat.
4. Buku ilmu kedokteran seperti: Al-Qanun fi al-Thibb[17], al-Urjuzah fi At-Tibi, al-
Adwiyah al-Qolbiyah, Kitabuhu al-Qoulani, Majmu’ah Ibn Sina al-Kubra, Sadidiyya.
5. 5. Buku tentang Logika seperti: Al-Isyarat wat Tanbihat, al-Isyaquji, Mujiz, Kabir wa
Shaghir[18].
6. Buku tentang musik seperti: Al-Musiqa.
7. Al-Mantiq, diuntukkan buat Abul Hasan Sahli.
8. 8. Buku Fisika seperti: fi Aqsami al-Ulumi al-Aqliyah
9. Qamus el Arabi, terdiri atas lima jilid.
10. Buku filsafat seperti As-Syifa’, Hikmah al-Masyiriqiyyin[19], Kitabu al-
Insyaf[20],Danesh Nameh, Kitabu al-Hudud[21], Uyun-ul Hikmah[22].
11. dan sebagainya.[23]

Meskipun ia di akui sebagai seorang tokoh dalam keimanan, ibadah dan keilmuan, tetapi
baginya minum-minuman keras itu boleh, selama tidak untuk memuaskan hawa nafsu. Minum-
minuman keras dilarang karena bisa menimbulkan permusuhan dan pertikaian, sedangkan
apabila ia minum tidak demikian malah menajamkan pikiran.Didalam al-Muniqdz min al-Dhalal,
al-Ghazali bahwa Ibnu Sina pernah berjanji kepada Allah dalam salah satu wasiatnya, antara lain
bahwa ia akan menghormati syari’at tidak melalaikan ibadah ruhani maupun jasmani dan tidak
akan minum-minuman keras untuk memuaskan nafsu, melainkan demi kesehatan.

PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU SINA

1. Filsafat Wujud Ketuhanan.

Dalam paham Ibnu Sina,essensi terdapat dalam akal, sedang wujud terdapat di luar akal. Wujud-
lah yang membuat tiap essensi yang dalam akal mempunyai kenyataan diluar akal. Kombinasi
essensi dan wujud dapat dibagi :

1) Essensi yang tak dapat mempunyai wujud (mumtani’al-wujud) yaitu sesuatu yang mustahil
berwujud (impossible being). Contohnya rasa sakit.

2) Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak mempunyai wujud (mumkin al-
wujud) yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula tidak berwujud. Contohnya
adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian ada dan akhirnya akan hancur menjadi
tidak ada.

3) Essensi yang tak boleh dan tidak mesti mempunyai wujud (wijib al-wujud). Disini essensi
tidak bisa dipisahkan dari wujud. Essensi dan wujud adalah sama dan satu kesatuan. Di sini
essensi tidak dimulai oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, sebagaimana halnya dengan
essensi dalam kategori kedua, tetapi essensi ini mesti dan wajib mempunyai wujud selama
lamanya. Wajib al wujud inilah yang mewujudkan mumkin al wujud.[24]

Dalam pembagian wujud wajib dan mumkin, Ibnu Sina terpengaruh oleh pembagian wujud
para mutakallimun antara lain: baharu (al-hadits) dan Qadim (al-Qadim).[25] Karena dalil
mereka tentang wujud Allah didasarkan pada “hadits” dan “qadim” sehingga, setiap orang yang
ada selain Allah adalah baharu, yakni didahului oleh zaman. Pendirian ini mengakibatkan
lumpuhnya kemurahan Allah pada zaman yang mendahului alam mahluk ini, sehingga Allah
tidak pemurah pada satu waktu dan Maha Pemurah pada waktu lain.Dengan kata lain perbuatan-
Nya tidak Qadim dan tidak mesti wajib.[26] Untuk menghindari keadaan Tuhan yang demikian
itu, Ibnu Sina telah menyatakan sejak awal “bahwa sebab kebutuhan kepada al-wajib (Tuhan)
adalah mungkin, bukan baharu”. Pernyataan ini akan membawa kepada iradah Allah sejak
Qadim, sebelum Zaman.[27]

Dari pendapat tersebut terdapat perbedaan antara pemikiran para mutakallimin dengan
pemikiran Ibnu Sina. Dimana para mutakallimin antara qadim dan baharu lebih sesuai dengan
ajaran agama tentang Tuhan yang menjadikan alam menurut kehendak-Nya, sedangkan dalil
Ibnu Sina dalam dirinya terkandung pemikiran Yunani bahwa Tuhan yang tunduk dibawah
“kemestian”, sehingga perbuatan-Nya telah ada sekaligus sejak qadim.

“Perbuatan Ilahi” dalam pemikiran Ibnu Sina dapat disimpulkan dalam 4 catatan sebagai berikut
:
Pertama, perbuatan yang tidak kontinu (ghairi mutajaddid) yaitu perbuatan yang telah
selesai sebelum zaman dan tidak ada lagi yang baharu. Dalam kitab An-Najat (hal. 372)
dijelaskan bahwaadanyawajib wujud (Tuhan) itu adalah keseharusan dari segala segi, sehingga
tidak terlambat wujud lain, dan semua yang mungkin menjadi wajib dengan-Nya. Tidak ada
bagi-Nya kehendak yang baru, tidak ada tabi’at yang baru, tidak ada ilmu yang baru dan tidak
ada suatu sifat dzat-Nya yang baru.Perbuatan Allah telah selesai sejak qadim, tidak ada sesuatu
yang baru dalam pemikiran Ibnu Sina, seolah-olah alam ini tidak perlu lagi kepada Allah sesudah
diciptakan.

Kedua, perbuatan Ilahi itu tidak mempunyai tujuan apapun. Sehingga adanya alam
merupakan perbuatan mekanis belaka atas adanya wajib al-wujud.

Ketiga, jika perbuatan Ilahi telah selesai dan tidak mengandung sesuatu maksud, maka akan
terbentuk “hukum kemestian”, seperti pekerjaan mekanis, bukan dari sesuatu pilihan dan
kehendak bebas.

Keempat, perbuatan itu hanyalah “memberi wujud” dalam bentuk tertentu. Untuk memberi
wujud ini Ibnu Sina menyebutnya dengan beberapa nama, seperti: shudur (keluar), faidh
(melimpah), luzum (mesti), wujub ‘anhu (wajib darinya). Hal ini digunakan oleh Ibnu Sina untuk
membebaskan diri dari pikiran “Penciptaan Agamawi”, karena ia berada di persimpangan jalan
anatara mempergunakan konsep Tuhan sebagai “sebab pembuat” (Illah fa’ilah) seperti ajaran
agama dengan konsep Tuhan sebagai sebab tujuan (Illah ghaiyyah) yang berperan sebagai
pemberi kepada materi sehingga bergerak ke arahnya secara gradual untuk memperoleh
kesempurnaan.[28]

1. Filsafat Jiwa

Ibnu Sina memberikan perhatian yang khusus terhadap pembahasan tentang jiwa, Memang
tidak sukar untuk mencari unsur-unsur pikiran yang membentuk teorinya tentang kejiwaan,
seperti pikiran-pikiran Aristoteles, Galius atau Plotinus, terutama pikiran-pikiran Aristoteles
yang banyak dijadikan sumber pikiran-pikirannya. Namun hal ini tidak berarti bahwa Ibnu Sina
tidak mempunyai konsep sendiri dalam segi pembahasan fisika maupun segi pembahasan
metafisika.

Dalam segi fisika, ia banyak memakai metode eksperimen dan banyak terpengaruh oleh
pembahasan lapangan kedokteran. Dalam segi metafisika dia lebih mendekati pendapat-pendapat
filosof modern.[29]Pemikiran terpenting yang dihasilkan Ibnu Sina ialah filsafatnya tentang
jiwa.Sebagaimana Al-Farabi,iajuga menganut faham emanasi (pancaran). Dari Tuhan memancar
akal pertama, dan dari akal pertama memancar akal kedua dan langit pertama, demikian
seterusnya sehingga tercapai akal ke sepuluh dan bumi. Dari akal ke sepuluh memancar segala
apa yang terdapat di bumi yang berada dibawah bulan. Akal pertama adalah malaikat tertinggi
dan akal kesepuluh adalah Jibril.

Ibnu Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat: sifat wajib wujud-nya
sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujud-nya jika ditinjau dari hakekat dirinya.
Dengan demikian ia mempunyai tiga obyek pemikiran: Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya
dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.[30]Dari pemkiran tentang Tuhan timbul akal-akal dari
pemikiran tentang dirinya sebagai wajib wujud-nya timbul jiwa-jiwa dari pemikiran tentang
dirinya sebagai mungkin wujud-nya timbul di langit.

Secara garis besar Jiwa dapat dibagi menjadi dua segi yaitu:

1) Segi fisika yang membicarakan tentang macam-macamnya jiwa (jiwa tumbuhan, jiwa
hewan dan jiwa manusia).[31]

Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian :

a) Jiwa tumbuh-tumbuhan mempunyai daya:Makan (nutrition), Tumbuh (growth),


Berkembang biak (reproduction)

b) Jiwa binatangmempunyai daya:Gerak (locomotion), Menangkap (perception) dengan dua


bagian :

1. Menagkap dari luar dengan panca indera. Terdiri dari lima unsur; sentuh, perasa,
pencium, penglihatan, pendengaran.[32]
2. Menangkap dari dalam dengan indera-indera dalam. Terdiri dari lima indera; indra al-hiss
al-musytarakberfungsi menerima segala yang ditangkap oleh indera luar, indra al-
khayyalberfungsi menyimpan apa yang ditangkap indera bersama, indera al-
mutakhayyilatberfungsi menyusun apa yang disimpan oleh khayyal, indera estimasi
berfungsi menangkap hal-hal yang abstrak. Seperti menghindari sesuatu yang dibenci
oleh hewan tersebut, dan indera rekoleksi berfungsi menyimpan hal-hal abstrak yang
diterima dari estimasi.[33]

c) Jiwa manusia mempunyai daya :

Daya Praktis berhubungan dengan badan dan daya Teoritis berhubungan dengan hal-hal
abstrak.Daya teoritis mempunyai tingkatan:

1. Akal materiil yang semata-mata mempunyai potensi untuk berfikir dan belum dilatih
walaupun sedikitpun.
2. Akal al-malakat, yang telah mulai dilatih untuk berfikir tentang hal-hal abstrak.
3. Akal aktual, yang telah dapat berfikir tentang hal-hal abstrak.
4. Akal mustafad yaitu akal yang telah sanggup berfikir tentang hal-hal abstrak dengan tak
perlu pada daya upaya.[34]

2) Segi metafisika, yang membicarakan tentang wujud jiwa dan hakikat jiwa, pertalian jiwa
dengan badan dan keabadian jiwa.[35]

Ada empat dalil yang dikemukakan oleh Ibnu Sina untuk membuktikan adanya jiwa yaitu

a) Dalil Alam Kejiwaan


Pada diri kita ada peristiwa yang tidak mungkin di tafsirkan kecuali sesudah mengakui adanya
jiwa. Peristiwa- peristiwa tersebut adalah gerak dan pengenalan.

Gerak ada dua macam yaitu :

1. Gerak paksaan (harakah qahriah) yang timbul sebagai akibat dorongan dari luar dan
yang menimpa sesuatu benda kemudian menggerakkannya.
2. Gerak bukan paksaan, dan gerak ini terbagi menjadi dua yaitu :

a) Gerak sesuai dengan ketentuan hukum alam, seperti jatuhnya sesuatu dari atas ke bawah.

b) Gerak diam benda yang terjadi dengan melawan hukum alam, seperti manusia yang
berjalan di bumi, sedang berat badan seharusnya menyebabkan ia diam, atau seperti burung yang
terbang di udara, seharusnya jatuh atau tetap di sarangnya di atas bumi. Gerak yang berlawanan
dengan ketentuan alam tersebut menghendaki adanya penggerak khusus yang melebihi unsur-
unsur benda yang bergerak. Penggerak tersebut adalah jiwa.

Pengenalan tidak dimiliki oleh semua mahluk, tetapi hanya di miliki oleh sebagiannya. Yang
memiliki pengenalan ini menunjukkan adanya kekuatan-kekuatan lain yang tidak terdapat pada
lainnya. Begitulah isi dalil natural-psikologi dari Ibnu Sina yang didasarkan atas buku De Anima
(Jiwa) dan Physics, kedua-duanya dari Aristoteles.Namun dalil Ibnu Sina tersebut banyak berisi
kelemahan-kelemahan antara lain bahwa natural (physic) pada dalil tersebut dihalalkan. Dalil
tersebut baru mempunyai nilai kalau sekurangnya benda-benda tersebut hanya terdiri dari unsur-
unsur yang satu macam, sedang benda-benda tersebut sebenarnya berbeda susunannya (unsur-
unsurnya).

Oleh karena itu maka tidak ada keberatannya untuk mengatakan bahwa benda-benda yang
bergerakmelawan ketentuan alam berjalan sesuai dengan tabiatnya yang khas dan berisi unsur-
unsur yang memungkinkan ia bergerak. Sekarang ini banyak alat-alat (mesin ) yang bergerak
dengan gerak yyang berlawanan dengan hukum alam, namun seorang pun tidak mengira bahwa
alat-alat (mesin-mesin) tersebut berisi jiwa atau kekuatan lain yang tidak terlihat dan yang
menggerakkannya. Ibnu Sina sendiri menyadari kelemahan dalil tersebut. Oleh karena itu dalam
kitab-kitab yang dikarang, seperti al-syifa dan al-Isyarat, dalil tersebut disebutkan sambil lalu
saja, dan ia lebih mengutamakan dalil-dalil yang didasarkan atas segi-segi pikiran dan jiwa.[36]

b) Dalil Aku dan Kesatuan Gejala Kejiwaan.

Menurut Ibnu Sina apabila seorang sedang membicarakan tentang dirinya atau mengajak
bicara kepada orang lain, maka yang dimaksudkan ialah jiwanya, bukan badannya. Jadi ketika
kita mengatakan saya keluar atau saya tidur , maka bukan gerak kaki, atau pemejaman mata
yang dimaksudkan, tetapi hakikat kita dan seluruh pribadi kita.[37]

c) Dalil Kelangsungan (kontinuitas).

Dalil ini mengatakan bahwa masa sekarang mempunyai hubungan dengan masa lampau dan
masa depan. Kehidupan ruh pada pagi ini ada hubungannya dengan kehidupan ruh yang kemarin,
bahkan kehidupan yang terjadi sekarang ada hubungannya dengan kehidupan yang terjadi
beberapa tahun yang telah lewat. Perubahan tersebut saling berhubungan karena adanya
jiwa.Ibnu Sina dengan dalil kelangsungan tersebut telah membuka ciri kehidupan pikiran yang
paling khas dan mencerminkan penyelidikan dan pembahasannya yang mendalam.[38]

d) Hukum Orang Terbang atau Tergantung di Udara.

Dalil ini adalahn yang paling jelas menunjukkan intelektualitas Ibnu Sina. Meskipun dalil
tersebut didasarkan atas perkiraan dan khayalan. Dalil tersebut sebagai berikut: jika ada
seseorang yang bisa menggantungkan dirinya di udara dan tidak merasakan sesuatu persentuhan
atau bentrokan atau perlawanan.Kemudian ia menutup matanya dan tidak melihat sama sekali
apa yang ada di sekelilingnya. Maka orang tersebut akan menyadari bahwa dirinya itu ada.Jika ia
memikirkan tentang wujud adanya tangan dan kakinya, berarti wujud penggambaran dirinya
membuktikan bahwa eksistensi jiwa dalam organ itu ada.[39]

Menurut Ibnu Sina jiwa manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud
terlepas dari badan. Jiwa manusia timbul dan tercipta tiap kali ada badan, yang sesuai dan dapat
menerima jiwa, lahir didunia ini. Sungguh pun jiwa manusia tidak mempunyai fungsi – fungsi
fisik, dan dengan demikian tak berhajat pada badan untuk menjalankan tugasnya sebagai daya
yang berfikir, jiwa masih berhajat pada badan karena pada permulaan wujudnya badanlah yang
menolong jiwa manusia untuk dapat berfikir.[40]

C. Falsafat Wahyu dan Nabi

Gejala kenabian dan wahyu ilahi merupakan sesuatu yang dibangun dalam empat tingkatan:
intelektual, “imajinatif”, keajaiban, dan sosio-politis. Totalitas keempat tingkatan ini memberi
kita petunjuk yang jelas tentang motivasi, watak dan arah pemikiran keagamaan. Perbedaan
antara nabi dan filosof yang telah dijelaskan oleh Sirajuddin[41]bahwa seorang nabi adalah
manusia pertama, manusia pilihan Tuhan dan tidak peluang bagi filosof untuk menjadi nabi.
Sedangkan filosof adalah menusia kedua, manusia yang mempunyai intelektual yang tinggi dan
tidak bisa menjadi nabi.

Dari yang telah dijelaskan sebelumnya, akal manusia terdiri empat macam yaitu akal materil,
akal intelektual, akal aktuil, dan akal mustafad. Dari keempat akal tersebut tingkatan akal yang
terendah adalah akal materiil dan tingkatan akal yang terberat adalah akal mustafad. Kebenaran
filosof didapat melalui akal mustafad karena perolehan ilham yang merupakan sebuah
perjuangan dan latihan yang keras. Sedangkan kebenaran nabi didapat dari malaikat Jibril yang
berhubungan dengan nabi melalui akal materiil yang disebut hads (kekuatan suci). Kebenaran
nabi itulah yang dinamakan wahyu.[42]

Ada kalanya Tuhan menganugerahkan kepada manusia akal materiil yang besar lagi kuat,
yang Ibnu Sina diberi nama al hads yaitu intuisi. Daya yang ada pada akal materiil semua ini
begitu besarnya, sehingga tanpa melalui latihan dengan mudah dapat berhubungan dengan akal
aktif dan dengan mudah dapat menerima cahaya atau wahyu dari Tuhan. Inilah bentuk akal
tertinggi yang dapat diperoleh manusia dan terdapat hanya pada nabi-nabi.[43]
PENUTUP

– Sifat seseorang bergantung pada jiwa mana dari ketiga macam jiwa yaitu tumbuh-
tumbuhan, binatang dan manusia yang berpengaruh pada dirinya. Jika jiwa tumbuhan atau hewan
mempengaruhi seseorang maka orang itu dapat menyerupai binatang, tetapi jika jiwa manuisa
yang mempunyai pengaruh atas dirinya, maka orang itu dekat menyerupai malaekat dan dekat
dengan kesempurnaan.

– Menurut Ibnu Sina bahwa alam ini diciptakan dengan jalan emanasi (memancar dari
Tuhan). Tuhan adalah wujud pertama yang immateri dan proses emanasi tersebut memancar
segala yang ada.

– Tuhan adalah wajibul wujud (jika tidak ada menimbulkan mustahil), beda dengan
mumkinul wujud (jika tidak ada atau ada menimbulkan tidak mujstahil).

– Pemikiran tentang kenabian menjelaskan bahwa nabi merupakan manusia yang paling
unggul dari filosof karena nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan, sedangkan
filosof mendapatkannya dengan usaha yang keras.

DAFTA PUSTAKA

Azwar. 2007. Pemikiran Ibnu Sina Tentang Jiwa. Skripsi Jurusan Aqidah dan Filsafat, Fakultas
Ushuluddin, Studi Agama dan Pemikiran Islam, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Al-Ahwan, Ahmad Fuad. 1984. Filsafat Islam. Jakarta: Pustaka Firdaus.

Daudy, Ahmad. 1986. Kuliah Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang

Daudy, Ahmad.1984. Segi – Segi Falsafi dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Hanafi, Ahmad. 1986. Pengantar Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Nasution, Harun.1996. Islam ditinjau dari berbagai Aspeknya. Jakarta:Penerbit Universitas


Indonesia.

Nasution, Harun.1992. Falsafat dan Msitisme dalam Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Husein, Oemar Amin.1975. Filsafat Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

Syarif, MM. 1994.Para Filosof Muslim. Bandung: Mizan.

Dasoeki,Thawil Akhyar.1993.Sebuah Kompilasi Filsafat Islam. Semarang: Dina Utama


Semarang.

Abidin, AhmadZaenal.1949. Ibnu Sina (Avecenna) sarjana dan Filosof Dunia. Jakarta: Bulan
Bintang.
Munawir, Imam. 1985. Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari masa ke
masa.Surabaya: PT. Bina Ilmu.

Corbin,Henry. Tanpa tahun. History of Islamic Philosophy. London and New York in
association with islamic publications for the institute of ismaili studies London.

Zar,Sirajuddin. 2009.Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya. Jakarta: PT RajaGrafindo persada.

[1]M.M. Syarif, Para Filosof Muslim , (Bandung, Mizan, 1994), hlm. 101. Lihat juga Ahmad
Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, (Pustaka Firdaus, 1984), hlm. 63.

[2]Azwar, Pemikiran Ibnu Sina Tentang Jiwa. Skripsi Jurusan Aqidah Filsafat, Fakultas
Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2007, hlm 13-14.

[3]Ibid, hlm 13.

[4]Henry Corbin, History of Islamic Philosophy. London and New York in association with
islamic publications for the institute of ismaili studies London, hlm. 167.

[5]Harun Nasution, Islam Ditinjau Dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: Penerbit


UniversitasIndonesia, 1996), hlm. 50

[6]Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1986), hlm. 60.

[7]H. Zaenal Abidin Ahmad, Ibnu Siena (Avecenna) Sarjana dan Filosuf Dunia, (Bulan Bintang,
1949), hlm. 49

[8]Ahmad Hanafi, MA, Pengantar Filsafat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1996), hlm. 115.
Lihat juga Ahmad Fuad Al-Ahwani, Filsafat Islam, Pustaka Firdaus, hlm. 65.

[9]Ibid

[10]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, hlm. 93.

[11]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1992), hlm.
34.

[12]Imam Munawir, Mengenal Pribadi 30 Pendekar dan Pemikir Islam dari masa ke masa,
(Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1985), hlm. 332 – 333.

[13]Oemar Amin Hoesin, Filsafat Islam , (Jakarta : Bulan Bintang, 1975), hlm. 112 -113.

[14]Azwar, Pemikiran Ibnu Sina Tentang Jiwa, hlm 15.


[15]Ibid

[16]Nasir Masruwah, taufik Falsafah Al-Islamiyah, hlm. 119.

[17]Buku ini dijadikan buku pokok pada Universitas Montpellier (Perancis) dan Universitas
Lourain (Belgia).

[18]Menerangkan tentang dasar-dasar ilmu logika secara lengkap.

[19]Dalam Britanica Encyclopedia vol II, hal. 915 menyebutkan kemungkinan besar buku ini
telah hilang.

[20]Buku tentang Keadilan Sejati.

[21]Berisikan istilah – istilah dan pengertian – pengertian yang dipakai didalam ilmu filsafat

[22]Terdiri atas 10 jilid.

[23]Thawil akhyar Dasoeki, Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Semarang : Dina Utama
Semarang, 1993), hlm. 37-39. Lihat juga Azwar, Pemikiran Ibnu Sina Tentang Jiwa, hlm 21.

[24]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, hlm. 39-40

[25]SirajuddinZar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, (Jakarta: PT RajaGrafindo persada,


2009), hlm. 98-99.

[26]Ahmad Daudy, Segi – Segi Pemikiran Falsafi dalam Islam , (Jakarta : Bula Bintang, 1984),
hlm. 42

[27]Ibid.

[28]Ibid, hlm. 44 – 46.

[29]Ahmad Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 125 – 126.

[30]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, hlm. 34-35.

[31]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, hlm 104.

[32]Azwar, Pemikiran Ibnu Sina Tentang Jiwa, hlm. 38-39.

[33]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, hlm 105.

[34]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya,hlm. 105-106.

[35]Ibid.
[36]Ibid., hlm. 126 – 127.

[37]Ibid., hlm 127.

[38]Ibid.,hlm. 128 – 129.

[39]Ibid, hlm. 108

[40]Harun Nasution, Falsafat dan Mistisme dalam Islam, hlm. 37 – 38.

[41]Sirajuddin Zar, Filsafat Islam; Filosof dan Filsafatnya, hlm. 95.

[42]Ibid

[43]Harun Nasution, Falsafat dan Msitisme dalam Islam,hlm. 115.

Anda mungkin juga menyukai