Anda di halaman 1dari 11

Friday, June 3, 2011

SAINS TAUHIDULLAH

RANGKUMAN
Abstrak dan Pendahuluan
RODA BERPUTAR DUNIA BERGULIR
Kognisi Baru Tentang Timbul Tenggelamnya Sivilisasi
Herman Soewardi
(Edisi 2004)

ABSTRAK : 
Intinya : Penyambungan antara Islam dan Barat dan menempatkan Islam sebagai fokus
perjalanan sejarah dunia (sebagai respons atas ilham dari Q. 96 : 1 – 5) Sivilisasi tertinggi
manusia : Industrialisasi (ada peran Islam)
Sejarah dunia : “barat sentris”, peran dunia Islam “terpinggirkan”
Eksplanasi :  Sumbu bathin “Judeo-Christian”, dan
Sumbu lahir “Greco-Roman”

Islam merupakan Titik Defleksi dari statis ke dinamis


Makkah : Trading Centre; Iqra (telaah, study)

7 Abad Benar (Islamisasi)  dan 7 Abad Salah (Westernisasi)    (Kurun waktu era dinamik : 14
Abad (Abad 7 – 20 M)

“Islamisasi” beralih menjadi “Westernisasi” ?


Proses internal dalam Islam dan Barat :
Abad 9 : Islam kehilangan “Human Motivation”
Abad 16 : Barat memperoleh lecutan “Human Motivation”

Implikasi telaahan HS : Sejak abad 21, setelah kaum muslim selesai belajar dan sadar, kini siap
sbg Khalifatullah Fil Ardie, kaum muslim perlu menegakan KARSA, Garis Susu, Sistem
Ekonomi Kemerataan, Sains dipandu Illahi atau Sains Tauhidullah, kognisi baru tentang Islam,
pandangan yang “melawan arus”

PENDAHULUAN

Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan


Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah
Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah
Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam
Dia mengajarkan kepada manusia yang tidak diketahuinya
(QS. Al-‘Alaq : 1 – 5)
Sejarah :  Titik dimulainya fase dinamik peradaban manusia, Namus Besar (Undang-undang),
menuju Kehidupan Modern, bulan Ramadhan tahun 610 M, di Makkah (Gua Hira), sebagai
trading centre, dan Isi (IQRA= study)

Modernisasi :  Islamisasi ( Abad 7 – 14)- Greco-Roman


Westernisasi (Abad 14 – 21)

Ismail Faruqi : Al-Tawhid :   Its Implications For Thought and Life.

Implikasi Tauhid pada Life : Q.96 : 5 dan Thought : Q. 96 : 4

Sains Tauhidullah
Herman Soewardi
(2005)

PENDAHULUAN

Saya melihat, berbeda dengan pakar-pakar lain, bahwa signifikansi Islami Sains adalah dari
sudut kegagalan SBS (Sains Barat Sekuler) yang tampak pada penghujung abad 20, karena
segala postulatnya dinyatakan tak benar terutama oleh Richard Tarnas.  Empat  postulat dasarnya
salah :

(1) bukan "space", tapi "space-time"


(2) "matter" ternyata tidak solid, tapi bolong
(3) kausalitas tidak simplisistik
(4) tidak deterministik, tapi probabilistik

SBS tidak "value free", tapi "value laden". Dalam hal ini adalah premis-premisnya.  Persepsi
manusia yang cacat,  karena di depan mata ada "lensa" yang mengaburkan/membiaskan
pandangan.

Karena ini semua, SBS kini menuju ke kerusakan global, menimbulkan  3-R  (Resah,  Rengut,
Rusak).  Kerusakan itu makin lama makin menggawat, seperti ditunjukkan oleh Kurva Adam,
yang sangat bersifat eksponensial.  Maka saya menyusun makalah ini, suatu alternatif terhadap
SBS yang kini mendunia, sebagaimana yang telah saya cetuskan dalam buku saya "Roda
Berputar Dunia Bergulir", tahun 1999 (halaman : 344).

II. Upaya Islamisasi Sains yang sudah

1.  Faruqi
Yang dilakukan Faruqi adalah membuat textbook yang Islami, bukan sainsnya itu sendiri.
2. Louay Safi  
Yang dilakukan oleh Louay Safi adalah integrasi metodologi SBS dan Sains Islami tradisional.
Keduanya memiliki kekurangan, dan dengan integrasi ini keduanya saling menutupi.

III.  Islamisasi Sains versi Herman Soewardi

3.1. Dasar-dasar Islamisasi Sains

SBS kini telah kandas, dan sangat membahayakan dunia bila dilanjutkan terus.  Karena itu
mutlak perlu untuk meninggalkannya, dan kita perlu masuk ke Islam. Herman Soewardi
melandaskan diri pada Faruqi's "Al-Tawhid: Its Implications for Life and Thought".  Maka sains
harus dipandu oleh Tuhan sendiri.  Dan kegagalan SBS itu tak lain karena tak ada panduan dari
Tuhan yang menciptakan sains itu. Maka disusunlah Islamisasi Sains versi Herman Soewardi
dengan dasar-dasar :

NaqIiah memandu AqIiah. Dengan wujud konkrit berupa alih premis, dari premis empirikal
(value Barat yang salah), ke premis transcendental (value Tuhan yang benar), di segala bidang
ilmu (Psikologi, Sosial, Ekonomi, Sains Empirikal Kealaman, dan Sains Formal). Ini disebut
pula secara Bayani, atau Tekstual.

Naqliah memandu Indrawi. Dengan wujud konkrit berupa penyempurnaan proses pengindraan,
menjadi intuitif/irfani, karena disinilah letaknya bimbingan Tuhan.   Maka ini disebut secara
Irfani atau llhami.

3.2. Elaborasi

A. NAQLIAH memandu AQLIAH


        (1)    NAQLI adalah standar kebenaran. Naqli adalah firman Allah, Sang Pencipta yang
menciptakan seluruh jagat raya (makrokosmos), beserta isinya (termasuk manusia atau
mikrokosmos). Dialah yang mengetahui tentang ini semua. Kita, manusia, tidak mengetahui
apapun, dan kita hanya mengetahui bila kita diberitahu oleh-Nya. Q. 96 : 5 : Yang mengajarkan
kepada manusia tentang segala yang tidak diketahuinya. Tak ada orang yang bisa mengetahui,
kecuali bila diberitahu oleh-Nya.   Maka, firman-firman Allah adalah standar kebenaran, dan di
luar itu, tak ada yang benar.

Bila seorang manusia mengatakan "aku tahu", tapi yang bukan berasal daripadaNya, maka yang
diketahuinya itu bukan yang benar, dan pasti akan membawa kecelakaan bila yang tidak benar
itu dijadikan pegangan dalam upaya-upaya untuk merubah jagat raya.  Kita menyadari hal ini,
antara lain setelah Richard Tarnas membuka masalah ini dalam bukunya yang terbit pada tahun
1993.

Maka, setelah kita menyadarinya, bahwa bila yang tidak benar itu (ialah premis-premis
empirikal), dijadikan sebagai patokan akan bermuara pada kehancuran, sudahlah kini merupakan
keharusan bahwa kita harus "pindah alur", dari premis-premis empirikal, ke premis-premis yang
menjamin kebenaran, ialah premis-premis transendental yang tak lain adalah firman-firman
Allah atau Naqli tersebut.  Artinya kita pindah dari postulat Euclidean ke postulat non-Euclidean.
Mengapa ?

Karena kini temyata bahwa sains itu tidak value-free, akan tetapi sebaliknya, ialah value-laden.
Premis-premis empirikal itulah yang merupakan values orang-orang Barat,  yang hampir
seluruhnya bertentangan dengan values Al-Qur'an.  Maka dari itu, implikasi-implikasi atau
deduksi dari values Barat inilah yang bermuara pada kehancuran.

Kini kita bertanya, bagaimana kita sampai pada premis-premis transendental ? Disinilah kita
merealisasikan fungsi-fungsi Al-Qur'an sebagai "Hudan" (petunjuk), dan "Nur Mubin" (cahaya
pembimbing).  Dengan demikian kita menggunakan Al-Qur'an sebagai BAYANI, atau Tekstual,
dengan cara yang disebut DEDUKTIF (menelusuri implikasi-implikasi dari premis-premis
transendental itu), sampai kepada pengetahuan yang kita perlukan. Karena itu pokok
persoalannya adalah mengetahui meaning  dari ayat-ayat al-Qur'an itu.

Adapun premis-premis transendental itu terdiri dari beberapa ayat, dengan mana kita membuat
konstrak yang bersifat kausal, sehingga premis-premis transendental itu, secara bersama
merupakan tafsir Konstraktual. Kita membuat tafsir-tafsir Konstraktual untuk setiap disiplin
ilmu, baik ilmu alam maupun ilmu sosial.

(6) Beberapa contoh dapat dikemukakan disini :

ILMU PSIKOLOGI : ("Diri")

Di bawah tempaan Ibadah Mahdah (sebagai prerequisite), kita berupaya membentuk suatu
personality yang bersifat Akhlaqul Karimah, yang terdiri dari komponen-komponen :

Lurus : amar ma'ruf nahi munkar

Kuat: Q. 55: 33 dan Q. 18: 29

Tinggi : Hadits Nabi : Bila suatu pekerjaan diserahkan kepada bukan ahlinya tunggu saja
kehancurannya. Hadits ini menunjukkan bahwa setiap Muslim harus memiliki keprofesionalan
yang tinggi.

Dengan personality yang Karimah itu, kita memasuki Ibadah Ghairu Mahdah (sebagai
pelaksana) dalam bidang Mua'malah (system Kehidupan), dan melakukan IKHTIAR, sebagai
pelaksanaan perintah Allah kepada Khalifatullah fil ardi untuk mengembangkan dunia :

Q. Hud : 61,  memakmurkan dunia

Q. An-Nahl  dan  Q. 2 : 276 :  distribusi yang merata, atau membangun sistem kehidupan yang
merata (G.R. 0,1- 0,3)
Q. Al-Qoshos: 77 dan Q.Ar-Rum : 41, atau menjaga kelestarian alam

Q. Al-Mulk : 15,  atau menjaga agar dunia tetap terkontrol.

Inilah yang kita sebut Kemajuan, atau PROGRESS.

Bila kedua ilmu itu kita gambarkan, maka akan terdapatlah gambar sebagai berikut :
 
Selanjutnya, tentang ilmu-ilmu sosial ini dapat kita susun "The Grand Theory of the Islamic
Social Sciences", ialah teori Kognisi-Karsa-Nalar, untuk memberikan eksplanasi tidak atau
dijalankannya IKHTIAR oleh kaum Muslim. Kognisi adalah Pandangan Hidup, yang bisa
bersifat Askese dunia ini atau Askese dunia lain. Yang disebut pertama bertalian dengan Karsa
Kuat, dan yang disebut kedua bertalian dengan Karsa Lemah. Bila Karsa Kuat telah terjelmakan,
maka Nalar pun, dengan menggunakan Logika, bisa menghasilkan banyak hal untuk
mengembangkan dunia (sebagai tugas Khalifatullah fil ardi).

ILMU EKONOMI : atau sistem Kehidupan, ialah Mua'malah yang mana yang ditunjukkan oleh
Tuhan untuk diwujudkan, yang tak lain adalah sistem Kehidupan yang hanif, yang sangat
bertolak belakang dengan sistem Kapitalisme yang "rakus", yang merenggut dunia berkembang.

Kita membuat  tafsir  Konstraktual dari dua ayat, ialah Q. An Nahl: 71 dan Q. 2: 276.

Q. An-Nahl : 71 : dan Allah melebihkan kamu dari sebahagian yang lain dalam hal rezeki ...
agar mereka sama merasakan rezeki itu. Maka mengapa mereka mengingkari ni'mat Allah?

Q. 2 : 276 : Allah memusnahkan riba dan menyuburkan sedekah.

Ayat yang pertama dapat kita tafsirkan bahwa rezeki orang itu tak sama. Jadi bukan sama rata
sama rasa seperti komunis, namun tentunya tak banyak bedanya. Ini adalah ekonomi kemerataan,
yang disebut "ketimpangan ringan", dengan G.R. : 0,1- 0,3. Selanjutnya ayat yang kedua adalah
mekanisme yang harus ditempuh agar G.R. 0,1- 0,3 itu bisa dicapai, ialah dengan menghapuskan
riba (interest  on capital) dan menyuburkan sedekah.  Sedekah adalah transfer of income and
wealth dari the haves kepada the-have-nots, namun bila riba atau interest on capital tidak
dilarang, maka akan terjadi penyedotan kembali dari the have-nots kepada the haves, sehingga
ekonomi kemerataan atau G.R. 0,1- 0,3 itu tak akan tercapai. Dengan demikian larangan riba
ditetapkan oleh Tuhan sehubungan dengan perintah untuk mewujudkan ekonomi kemerataan,
G.R. 0,1-0,3.
ILMU KEALAMAN

Disini saya ingin memberikan sebuah contoh tentang bagaimana saya sampai pada adanya energi
di alam raya, yang terdapat di antara bumi dan langit.

(a)    Bucaille mengemukakan Q. Thaahaa : 6 :  Kepunyaan-Nya lah semua yang ada di langit,
semua yang ada di bumi, semua yang diantara keduanya dan semua yang ada di bawah tanah.

(b) Q.AI-Fushilat (41) : 11. .. Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap ...

(c) Q. AI-Anbiya: 30 ... langit dan bumi itu keduanya dahulu adalah suatu yang padu, kemudian
kami pisahkan antara keduanya ...
= the big bang theory =  the Expanding universe (A. Baikuni).

Ketiga ayat di atas dapat kita jadikan sebuah konstrak, dengan jalinan hubungan yang dapat kita
susun sebagai berikut :

Langit dan bumi dahulu kala merupakan asap, yang kemudian mengkristal. Kristal itu adalah
bumi (materi) dan sisanya yang tak mengkristal, tetap merupakan asap (energi). Waktu
kejadiannya materi-materi itu merupakan suatu hal yang padu.  Namun tentu saja setiap gumpal
materi itu diselubungi asap sisa itu, yang serupa energi. Inilah yang memberikan kekenyalan, dan
inilah yang memberikan tenaga letup ("big bang") sehingga materi-materi itu bercerai-berai  ke
segala  jurusan.  Inilah "the expanding universe", gumpalan-gumpalan materi (= benda-benda
langit, antara lain bumi atau planit), yang saling menjauh terus. Terdapatlah gambaran sebagai
berikut :

Maka kita memperoleh energi, di antara langit (vakum) dan bumi (materi).

Ini adalah petunjuk (Hudan) dari Tuhan yang Maha Mengetahui, bahwa di antara langit dan
bumi ada energi, yang sangat kita perlukan untuk pengembangan dunia lebih lanjut, setelah
BBM (dan tenaga nuklir) habis. Kini tinggal kita mendeteksinya, menyadapnya, dan
menggunakannya.

Adapun tafsir-tafsir konstraktual yang lainnya, kita bisa konstruksikan dalam bidang-bidang ilmu
kealaman yang lain, baik segi epistemologinya maupun segi aksiologinya.
 (1)   SBS didirikan di atas landasan yang disebut Empirisisme, ialah suatu pandangan bahwa
orang hanya bisa mengetahui melalui pengalaman.  Dalam hal ini SBS melupakan (atau tidak
menganggap penting) satu hal fundamental bahwa pengalaman itu, masuknya ke benak (yang
bersifat FORM yang simbolik), melalui  pengindraan. Dunia luar (yang berupa CONTENT)
masuk ke benak, melalui alat-alat indra. Di satu sisi, dunia luar itu dipersepsi (bersifat pasif), lalu
dialirkan ke dalam benak, dan di dalam benak persepsi yang pasif itu dikonstruksikan kembali
(secara aktif), maka timbullah Konsepsi, dalam hal ini adalah Konsepsi tentang dunia luar itu.
Dengan proses ini orang menjadi tahu tentang dunia luar.

(2)    Dulu-dulu hal ini tak pernah dipersoalkan, karena SBS menganut paham Aristoteles, yang
disebut Eidos, ialah bahwa yang tampak kepada kita itu benar (alat-alat indra kita berfungsi
baik). Namun akhir-akhir ini ternyata, paham Aristoteles yang "tegar" itu mulai diragukan
kebenarannya, dan para pakar kembali mempertanyakan : apakah yang tampak kepada kita itu
benar ? Ada pun yang berpandangan bahwa yang tampak kepada kita itu tak benar adalah
serentetan pakar-pakar sejak Plato (gurunya Aristoteles), ke Al-Ghazali, ke Kant, dan di jaman
modern ini ketidak benaran itu merupakan kajian utama, ialah mula-mula oleh Kuhn, dan
terakhir oleh Tarnas. Maka terbukalah "kedok" SBS, bahwa SBS itu ternyata bertengger di atas
suatu pandangan yang keliru, yang akhirnya membawa SBS ke 3-R (resah, renggut, rusak), yang
kian lama kian menggawat. Maka dunia kita terancam kepunahan.

(3)    Ternyata alat-alat  indra kita, dengan mana kita mempersepsi dunia luar yang berupa
CONTENT atau kenyataan itu, adalah lemah sekali, atau dirundung banyak cacat. Cacat
penglihatan ini antara lain ditunjukkan oleh Kohler, dengan masalah "duck-rabbit"nya.  Kepada
orang-orang ditunjukkan sebuah gambar, yang atasnya menyerupai "duck", tapi bawahnya
menyerupai "rabbit". Temyata ada orang-orang yang melihatnya sebagai "duck", dan ada pula
yang melihatnya sebagai "rabbit". Maka pandangan orang sangat dipengaruhi oleh keadaan juga,
yang menurut Tarnas belakangan InI, keadaan itu adalah tata nilai, pengalaman, trauma, dan
harapan-harapan.   Karena itu Tarnas mengatakan bahwa di depan mata kita ada sebuah "lensa"
yang mengaburkan dan menyesatkan pandangan. Maka demikian pula SBS, semua persepsinya
tentang dunia luar adalah kabur dan sesat, disebut Phenomena.
Marilah kita ilustrasikan tentang cacat pandang ini beserta segala konsekuensinya :

Kant : ia mengajukan dua konsep, ialah Phenomena dan Noumena.  Phenomena adalah benda-
benda atau hal-hal yang dipersepsi oleh alat indra kita, yang tak benar atau menipu. Sedangkan
Noumena adalah benda-benda atau hal-hal itu yang sebenamya (the thing in itself). Kemampuan
manusia hanyalah sampai Phenomena, karena itu sains yang sejauh ini dikembangkan
berdasarkan pada Phenomena (yang menipu) itu. Karena itu yang ada di dalam benak manusia
adalah "jagat raya yang bukan sebenarnya".

Kuhn :  para pakar menyusun teorinya berdasarkan pada paradigma, dimana paradigma ini
merupakan pijakan pakar itu yang disusun berdasarkan penglihatan. Penglihatan itu berbeda dari
satu ke lain pakar (seperti antara Priestly dan Lavoisir) karena itu menghasilkan teori yang
berbeda (bahkan bertentangan) pula. Karena kemajuan SBS itu tidak kumulatif, akan tetapl
revolusioner. Menurut Kuhn kemajuan dalam SBS yang revolusioner itu :
Paradigma~ anomali~ krisis~ paradigma baru.

Tarnas:  akhimya, pijakan/pandangan yang salah itu, sehubungan dengan banyak antitetikal, dari
krisis (Kuhn) menjadi "krisis global", sebagai benih-benih kehancuran planet kita.
       
(5)    Maka empat postulat dasar SBS, karena cacat pengindraan ini, dinyatakan salah:

"Space" harus diganti dengan "Space-Time"


"Matter" ternyata tidak solid, tetapi bolong
Kausalitas disangka terlalu simplisistik, dan
Dunia kita ini berdiri di atas prinsip "uncertainty" (Heisenberg)
       
(6)    Yang paling mengejutkan, seperti dikemukakan oleh Tarnas, adalah bahwa cacat
pengindraan ini membawa pula hal-hal ikutan yang bersifat antitetikal, ialah tidak seperti
diharapkan bahkan bertentangan dengan harapan. Inilah benih-benih kerusakan global, yang
makin lama makin menggawat, yang berupa kerusakan fisik (ekologi) maupun kerusakan
masyarakat. Kerusakan fisik seperti bolong-bolongnya lapisan ozon yang meningkatkan
kepanasan bumi, sedangkan kerusakan masyarakat yang kini bermuara pada hilangnya "order"
(Huntington, 1996). Kerusakan-kerusakan itu ditunjukkan oleh kurva Adam, yang makin lama
makin menggawat. Maka tentang pengindraan ini dapat kita simpulkan, kesimpulan yang tak
bisa dibantah, ialah dalam keadaan FORM dan CONTENT yang tidak identik, akan terjadi hal-
hal yang bersifat antitetikal, terutama sebagai akibat-akibat sequential, sebagai benih-benih
kerusakan di planet kita ini, yang makin lama menjadi semakin menggawat.

(7) Jelas bahwa SBS kini hampir karam, dan tampaknya pakar-pakar Barat belum menemukan
cara untuk memecahkan masalah-masalah 3-R itu:
Kerusakan ekologi yang mendunia; Pemanasan bumi yang tak henti-hentinya beserta dampak--
dampak yang ditimbulkannya; Kerusakan masyarakat sampai hilangnya "order"; Eksplosi
penduduk yang lebih cepat dari teknologi pangan untuk menghidupinya;  Hilangnya kreatifitas
anak -anak sehubungan dengan gencarnya tayangan TV;  Lebih memuncaknya kecelakaan lalu-
lintas, baik di darat, laut, maupun udara; dan sebagainya.

(8)    Karena itu, solusi yang hanya bisa ditempuh, menurut hemat saya, adalah upaya untuk
menyempurnakan proses pengindraan, untuk membetulkan persepsi manusia terhadap semua
benda-benda di jagat raya ini, yang bertebaran di sekeliling manusia. Selanjutnya, bagaimana
caranya ? Saya melihat bahwa penyempurnaan proses pengindraan itu hanya bila kita kembali
kepada bimbinganNya. Ini adalah mutlak perlu untuk ditempuh.
Baiklah hal ini kita perinci :
(9)    Setelah diperoleh kenyataan-kenyataan yang tak dapat dibantah, bahwa SBS, yang salah
pada postulat dasarnya dan cacat pula persepsinya tentang dunia luar, maka wujudkanlah
keniscayaan bahwa kita, dalam upaya mengembangkan sains, harus kembali kepada
bimbinganNya, sehingga dengan demikian akan terwujudlah suatu sains dengan bimbingan
Tuhan sendiri, yang dapat dinamakan Sains Tauhidullah, sebagai implikasi tauhid kita
kepadaNya di bidang Nalar atau "Thought". Maka upaya kita tak lain adalah :

Postulat-postulat dasar harus bersifat Transendental, dengan landasan utama IMAN dan
TAQWA kepadaNya. Dengan demikian, Dialah pemegang Kebenaran (sebagaimana
diwahyukan kepada Nabi Besar Muhammad s.a.w.), dan di luar itu tak ada kebenaran. Inilah
STANDAR KEBENARAN, yang bersifat  langgeng  dan  kekal, yang berlaku di semua "Space
and Time". Tuhan adalah AI-Alim AI-Hakim.

Kita mengetahui dunia luar melalui pengindraan, yang dasarnya  adalah Q.3: 190, 191, dimana:

Ayat 190 : merupakan perintah Tuhan kepada Manusia untuk melakukan observasi terhadap
jagat raya (dunia luar)

Ayat 191 : perintah ini harus dilakukan dengan senantiasa mengingat Tuhan, sambil berdiri,
berbaring atau duduk.

Maka inilah cara induktif, yaitu mengumpulkan kenyataan-kenyataan dan merangkumnya


sehingga menjadikan premis-premis darimana kita mulai berpikir.

Premis-premis itu sudah pasti benarnya, karena dengan bimbinganNya kita, dari Phenomena
akan menembus ke Noumena, atau "the thing in itself'. Periksalah Gambar 3 di sebelah,
bandingan antara Phenomena (SBS) dan Noumena (S.T.).  Inilah inti Islamisasi Sains versi
Herman Soewardi.

Dengan demikian yang akan kita peroleh adalah jagat raya yang sebenarnya, sehingga implikasi-
implikasi daripadanya akan menghasilkan Koridor yang baik, yang menjadikan kita bisa
mencapai Hasanah di dunia maupun di Akherat.

(10) Dengan langkah-Iangkah ini kita akan "Pindah Alur" dari SBS yang bermuara pada 3- R ke
S. T. yang bermuara pada Hasanah di dunia maupun di Akherat.  Ada pun cara Pindah Alur itu
adalah mengobservasi secara Irfani atau Intuitif, dengan menggunakan cara-cara sufistik.
4.1. Bila kita komparasikan ketiga cara Islamisasi Sains itu, maka terdapatlah gambaran sebagai
berikut :

(1). Islamisasi Sains cara Faruqi: berupaya menyusun textbook di bidang Sains yang Islami,
dengan tanpa menyinggung masalah-masalah yang bersifat epistemologis.

(2)    Islamisasi Sains cara Louay Safi : menggabungkan (integrasi) cara Islam tradisional dan
cara Barat modern, sehingga kini kekurangan-kekurangan yang terdapat pada keduanya menjadi
saling menutupi. Adapun dasar epistemologi Sainsnya   dikupas dan sangat mendalam.

(3)    Islamisasi Sains versi Herman Soewardi : dengan dasar "AITawhid: Its Implications for
Life and Thought" (Faruqi), ia berangkat dari kenyataan bahwa SBS, yang salah pada postulat-
postulatnya itu, yang menjurus ke 3-R yang semakin lama menjadi semakin gawat, dirasakan
sebagai mutlak perlu untuk dibangun sains alternatifnya, ialah Sains Tauhidullah yang Islami,
dengan cara-cara membentuk tafsir Konstraktual (BAYANI) dan observasi yang dipandu oleh
Tuhan sendiri (IRFANI).

4.2. Selanjutnya, dapatkah      Islamisasi Sains versi Herman Soewardi ini ditempuh ? Tentu yang
diajukan ini baru secara global, maka perlu dikaji dan disempurnakan dalam serentetan seminar-
seminar, untuk mana program seminar ini perlu disusun.

4.3. Terakhir, cara Islami Sains manapun yang akan ditempuh, tentunya dalam waktu yang
panjang baru akan memberikan hasil. Sementara hasil itu belum dicapai, harus bagaimanakah
sikap terhadap SBS ? Dalam hal ini perlu disusun suatu kebijaksanaan, untuk mengintegrasikan
Sains Barat Sekuler (Ulumuddunia) dengan sains keagamaan (Ulumuddin), sebagai "pegangan
sementara". Kita ingat kepada peribahasa Sunda: Moro julang ngaleupaskeun peusing. Lamun
julangna can katewak, peusing ulah waka dileupaskeun ".

Semoga Tuhan memberkati kita semua Wabillahi Taufiq wal Hidayah, Wassalamu 'alaikum
Wr.Wb

Bandung, 5 Nopember 2005

H.S.
Daftar Pustaka

Baiquni, Achmad, 1994, "AI-Qur'an, Ilmu Pengetahuan, dan Teknologi ", Dana Bhakti Wakaf,
Yogyakarta.
Bucaille, Maurice, 1979, "Bibel, Qur'an, dan Sains Modern", Bulan-Bintang, Jakarta.
Faruqi, Ismail Razi, 1995, "AI-Tawhid : Its Implications for Thought and Life". International
Islamic Publishing House, Herndon, Virginia, USA.
Kant, Immanuel, dalam Don Martindale, 1960, "The Nature and Types of Sociological Theory ",
Houston Mifflin Company, Boston, USA.
Kuhn, Thomas S., 1970 "The Structure of Scientific Revolution ", University of Chicago Press,
Chicago, USA.
Safi, Louay, 1996 "The Foundation of Knowledge ", International Islamic University, Malaysia.
Soewardi, Herman, 1999, "Roda Berputar, Dunia Bergulir", Bakti Mandiri, Bandung.
Soewardi, Herman, 2000, "Mempersiapkan Kelahiran Sains Tauhidullah ", Bakti Mandiri,
Bandung.
Soewardi, Herman, 2001, "Kognisi - Karsa Nalar. Dasar-dasar untuk Kebangkitan Islam dalam
Milenium 3 ", Bakti Mandiri, Bandung.
Tarnas, Richard, 1993, "The Passion of the Western Mind", Ballantine Books, New York, USA.
Diposkan oleh Cecep Nahrowi di 7:58 PM
Email ThisBlogThis!Share to TwitterShare to Facebook
Label: Artikel B Indonesia
Reaksi: 

Anda mungkin juga menyukai