Amirudin1
Abstrak
Perdebatan tentang hakekat kejadian manusia, telah melahirkan dua
pandangan besar, yakni pandangan dari ilmu pengetahuan dan menurut Al-
quran. Pandangan ilmu pengetahuan diwakili Robert Charles Darwin,
melalui teori evolusinya. Teori evolusi menyatakan bahwa makhluk hidup
termasuk rnanusia, muncul melalui proses seleksi alam (natural selection}
yang gradual^ sehingga bagi sementara pihak, peran Tuhan sebagai
pencipta akan terusik. Pernyataan teori evolusi tersebut tentang keberadaan
makhluk hidup secara kebetulan (by chance) dan tidak memiliki tujuan (non
purposive} membuat signifikansi Tuhan bagi kehidupan meluntur. Makhluk
hidup tidak akan lagi butuh penyelamatan dari Tuhan karena itu agama
tidak lagi dibutuhkan. Menurut Al-quran, generasi manusia yang ada
sekarang ini berasal dari satu sosok bernama Adam. Penciptaan Adam
sendiri merupakan sebuah pengecualian, dia berasal dari tanah. Hal
dijelaskan pada QS. 7: 189, 6: 98, QS. 30: 6 dan QS. 41: 7-8. Informasi
yang terkandung beberapa ayat Al-quran menegaskan bahwa manusia awal
yang diciptakan berasal dari tanah, sementara generasi manusia selanjutnya
diciptakan dari saripati air yang hina (air mani). Komposisi penciptaan
manusia ini juga dibekali dengan peniupan ruh Allah SWT, yang menjadi
titik perbedaan dibandingkan dengan makhluk-makhluk ciptaan Allah SWT
lainnya. Kesempurnaan dan keunggulan manusia inilah yang akhirnya ia
dingkat khalifah untuk memakmurkan bumi dan seluruh isinya.
A. Pendahuluan
Secara esensial perbedaan antara Barat dan Islam menimbulkan perbedaan-
perbedaan yang sangat signifikan, baik dari segi peradaban maupun pemikiran. Tak
dapat dipungkiri, bahwa Barat sebagai pusat peradaban dan pemikiran dianggap
lebih unggul. Jika dilihat dari segi rasionalitas, Barat dikenal sebagai bangsa yang
memberikan porsi rasion lebih besar dibandingkan religiusitasnya, sedangkan Islam
lebih berorientasi kepada religiusitasnya. Pada spektrum inilah perkembangan
peradaban Barat dianggap lebih maju jika dibandingkan dengan peradaban Islam.
Salah satu penyebab kemunduran peradaban Islam dengan peradaban Barat
adalah pengaruh faham fatalisme. Faham fatalisme adalah kepasrahan yang secara
total kepada segala ketentuan dan takdir Tuhan yang dianggapnya telah berlaku pasti
dan tidak ada kecenderungan untuk melakukan perubahan dalam meningkatkan
kualitas kehidupan manusia. Dengan demikian, faham fatalisme merupakan
1
Dr. Amirudin, MM, adalah Dosen IAI Bunga Bangsa Cirebon dan aktif diberbagai
kajian ilmiyah keislaman dan filsafat serta aktif sebagai peneliti dan penulis.
persoalan serius yang banyak mendapat perhatian baik dari kalangan pemikir,
ilmuwan maupun tokoh-tokoh agama.2
Kondisi sosial umat Islam di atas juga pernah melanda dalam pranata
kehidupan masyarakat Barat, di mana religiusitas memegang peranan yang sangat
penting dalam perkembangan pemikiran. Kondisi ini berlangsung sampai abad
pertengahan. Namun seiring perjalanan waktu peradaban Barat mengalami loncatan
kemajuan yang begitu dahsyat dengan melepaskan ketergantungan kepada institusi
agama.
Puncak dari kemajuan peradaban Barat, di mana mereka memasuki satu era
yang disebut dengan era renaisans. Renaisans adalah sebuah masa yang ditandai
semakin majunya peradaban umat manusia. Indikasi semakin majunya peradaban
umat manusia dengan munculnya gerakan reformasi yang begitu sistematis pada
aspek struktural dan kultural. Era ini mencapai kejayaannya sekitar abad 14 hingga
16 M.3 Pada masa ini masyarakat menemukan momen untuk melepaskan diri dari
hegemoni gereja yang dianggap mematikan kreativitas nalar manusia. Perubahan ini
menciptakan atmosfer baru yang menempatkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai
landasan dalam setiap hal. Era renaisans ditandai dengan bangkitnya gerakan
humanisme4 dalam studi literatur dan kesusastraan di Italia yang mencoba
2Uraian tentang konsep fatalisme dalam Islam dapat dibaca secara lengkap dalam Rubina
Munir “Fate and Fatalism in Islam: A Philosopichal Appraisal”, Disertasi (Peshawar: Department of
Philosophy University of Peshawar, tp.th)., 140. Lihat juga Hamzah Harun Al-Rasyid, “Konsep al-
Kasb Al-Asy’ariyyah dan Peranannya Terhadap Peningkatan Produktivitas Kerja” Jurnal Al-Fikr
Volume 14 No. 2 Tahun 2010, 172. Bandingkan juga dengan Seyyed Hossein Nasr dan William C.
Chittick, Islam Intelektual: Teologi, Filsafat & Ma’rifat, (Cet. III; Jakarta: Perenial Press, 2001)., 21-
24. Lihat, juga H. L. Beck dan N. J. G. Kaptein, Pandangan Barat Terhadap Literatur, Hukum,
Filosofi, Teologi dan Mistik Tradisi Islam, Jilid I (Jakarta: INIS, 1988)., 54-57. Lihat juga Ali Musthafa
al-Gurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah, (Kairo: Mathba’ah Muhammad Saleh wa Auladihi, t. t.)., 29.
Bandingkan juga Abdul Karim Ustman, Nazariyyatu al-Taklif: Ara’ahu al-Qadhi Abdul Jabbar al-
Kalamiah, (Beirut: Muassasatu al-Risalah, 1971), 25.
3Lihat, Donald M. Borcehert, ed. Encyclopedia in Philosophy, Vol 4, Second Edition
(Farmington Hills: Thomas Gale, 2006)., 477. Lihat juga Masduki, Humanisme Spiritual: Paradigma
Pengembangan Masyarakat Islam dalam Filsafat Sosial Hossein Nasr, (Cet. I; Jakarta: Referensi,
2014)., 27. Lihat juga Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, (Cet. I;
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000)., 26. Lihat juga Alexander Key “The Applicability of the Term
"Humanism" to Abū Ḥayyān al-Tawḥīdī” Jurnal Studia Islamica,No. 100/101, Tahun 2005, 72.
4Kata ‘humanisme’ memiliki arti ganda. Pada satu sisi, ia berarti gerakan untuk
menghidupkan ilmu-ilmu kemanusiaan atau biasa disebut ‘humaniora.’Pada sisi lain, ia berarti sebuah
gerakan filsafat untuk menekankan sentralitas manusia. Dalam pengertian pertama, humanisme adalah
sebuah upaya untuk menghidupkan kembali karya-karya klasik, khususnya karya-karyaYunani.
Humanisme berusaha melampaui semangat abad pertengahan yang lebih banyak berfokus pada teologi
dan metafisika. Dalam pengertiannya yang kedua, humanisme adalah sebuah bentuk protes terhadap
elitisme filsafat yang hanya peduli pada tema-tema abstrak yang tak punya dampak langsung kepada
masyarakat. Kaum humanis mengkritik para filosof yang cenderung abai terhadap persoalan-persoalan
nyata yang dihadapi manusia. Bagi mereka, tugas ilmuwan bukan hanya duduk manis di menara
gading, tapi juga harus memiliki semangat aktivisme. Intelektual sejati adalah orang yang bisa
menggabungkan antara kontemplasi dan aksi. Lihat, Lutfhi Syaukani, “Membaca Kembali Humanisme
Islam, Kuliah Umum di Komunitas Salihara, Sabtu 27 Juni 2009., h.2-3. Sementara itu Joel L.
Karemer, humanisme adalah sebuah konsepsi tentang relasi manusia yang berkembang pada era klasik
dalam konteks pendidikan dan ide kultural yang berpusat pada kekuatan akal, karakter, nilai-nilai
kemanusian dan kasih sayang. Lihat, Joel L. Kraemer, “Humanism in the Renaissance of Islam: A
Preliminary Study, Journal of the American Oriental Society,Vol. 104, No. 1, Tahun, 1984., 136-137.
5Karya-karya sastra yang tak mendapatkan perhatian selama ‘abad kegelapan’ itu dihidupkan
dan digeluti dengan penuh gelora. Surat-surat Cicero dan naskah-naskah pidato yang tak pernah
digubris para filosof Kristen sebelumnya diterbitkan kembali dan dipelajari secara serius. Gerakan
humanisme ini mengalami puncak ekspresinya pada pertangahan abad ke-15, ketika sekolah-sekolah
dan perguruan tinggi di Eropa mewajibkan mata kuliah studia humanitatis yang terdiri dari tatabahasa,
retorika, puisi, sejarah, dan filsafat moral. Lihat, Paul F. Grendler. “Humanism: Ancient Learning,
Criticism, Schools and Universities,” dalam Angelo Mazzocco, Interpretations of Renaissance
Humanism. (Leiden; Boston: Brill, 2006)., 79.
6Lihat, Jurate Morkuniene, Sosial Philosophy: Paradigm of Contemporary Thingking:
(Washington D. C.: The Council for Research in Values and Philosophy, 2004)., 5. Lihat juga Jurgen
Habermas, The Religion, (San Fransisico: Ignatius Press, 2006)., 19-32. Lihat juga Pippa Norris dan
Ronald Inglehart, Sacred and Secular: Religion and Politics Worldwide, (New York: Cambridge
University Press, 2004)., 3-5.
7Sekularisme adalah sebuah pandangan dunia tertutup yang baru berfungsi sangat mirip dengan
agama. Dengan demikian sekularisme dapat dikatakan setiap bentuk “perkembangan yang
membebaskan”. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya
sendiri tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islamis itu, mana yang transenden
dan mana yang temporal. Lihat, M. Dawam Rahardjo, “Islam dan Modernisasi: Catatan Atas Faham
sekularisasi Nurcholish Madjid, kata Pengantar dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan
Keindonesian, (Cet. XI; Bandung: Mizan, 1998)., 19. Sementara Niyazi Berkas, mengatakan
sekularisme mengajarkan bahwa yang ada hanyalah dunia dan tidak sesuatupun di luar dunia. Tidak
ada yang sacral karena segala dapat dieksploirasi oleh rasio sehingga segala persoalan manusia tidak
ada yang tidak dapat diselesaikan. Lihat juga Masduki, Humanisme Spiritual: Paradigma
Pengembangan Masyarakat Islam dalam Filsafat Sosial Hossein Nasr, (Cet. I; Jakarta: Referensi,
2014)., h. 22. Lihat juga Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah tentang Keimanan,
Kemanusian dan Kemoderenan (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1992), ci. Lihat juga Bambang
Sugiharto, Humanisme dan Humaniora; Relevansinya Bagi Pendidikan, (Cet. I; Yogyakarta: Jalasutra,
2008), 85.
8Uraian lebih lengkap tentang teosentrisme dan antroposentrisme dapat dibaca pada karya,
Masduki, Humanisme Spiritual: Paradigma Pengembangan Masyarakat Islam dalam Filsafat Sosial
Hossein Nasr, (Cet. I; Jakarta: Referensi, 2014), 11-12.
9Metafisika adalah disiplin filsafat yang mempelajari realitas sesunggguhnya di balik
penampakan fisik. Metafisika adalah mengakaji “yang ada menjadi ada” (being qua being) dan yang
ada di balik penampakan seperti Tuhan (teologi), diri (psikologi), dan alam semesta (kosmologi). Lihat,
Donny Grahal Adian, Muhammad Iqbal, (Cet. I; Bandung: Teraju, 2003), 12. Uraian lebih lengkap
dapat dilihat pada karya Sachiko Murata, The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationship in
Islamic Thought, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti dan M. S. Nasrullah dengan judul Kitab Rujukan
Tentang Relasi Gender dalam Kosomologi dan Teologi Islam, (Cet. I; Bandung: Mizan, 1996), 65.
Lihat juga Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, (Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers,
1988), 65.
10Eksistensialisme “memproklamasikan gerakannya” (core) langsung pada kaitan mengenai
humanisme, sebagaimana yang dikatakan Sartre salah seorang tokoh Eksistensialis pada tahun 1945
bahwa “Eksistensialisme adalah suatu humanisme itu” Hal ini berarti aras kerja eksistensialisme
memang terutama pada pemuliaan nilai kemanusiaan, eksistensialisme mencoba melakukan “oposisi
intelegensia” terhadap dekadensi nilai-nilai kemanusiaan yang terjadi di Eropa saat itu karena
kungkungan gereja pada saat itu.
11Muqowim dan Syarif Hidayat,“ Harun Yahya: Kreasionisme Islam untuk Meruntuhkan Teori
percabangan karena mutasi yang sukses menjadi bentuk tingkat rendah, yang
kemudian menjadi tingkat tinggi. Kemudian muncul binatang-binatang tingkat
tinggi dan berukuran lebih besar. Dengan tidak sengaja, dari salah satu binatang,
muncullah manusia. Hal ini dibuktikan dengan adanya sederet bukti berupa
tengkorak hewan yang secara runtut mengarah ke tengkorak manusia.
Perdebatan antara kreasionisme dengan teori evolusi telah berlangsung sejak
berabad-abad yang lalu dan masih berlangsung sampai sekarang. Kritik kreasionis
atas teori evolusi muncul kembali pada awal abad ke-21. Salah satu kreasionis
tersebut adalah Harun Yahya. Harun Yahya adalah penulis yang menentang teori
evolusi. Pandangannya tentang kreasionisme dan sanggahannya atas teori evolusi,
dianggap beberapa pihak mewakili pandangan umat Islam. Harun Yahya menyerang
secara frontal teori evolusi Darwin dan menganggap bahwa teori tersebut
sepenuhnya bertentangan dengan pandangan agama tentang penciptaan alam dan
asal-usul kehidupan.12
Menurutnya teori evolusi telah runtuh karena telah banyak fakta yang
nenggugurkan teori evolusi dan mendukunp fakta penciptaan. Harun Yahya
menganggap bahwa teori evolusi merupakan sebuah gagasan kuno, yang
menjelaskan tentang kehidupan sebagai hasil peristiwa tak disengaja dan tanpa
tujuan hanyalah sebuah mitos abad ke-19 (masa Darwin). Pada masa itu tingkat
pemahaman ilrnu pengetahuan tentang alam dan kehidupannya masih terbelakang
sehingga para evolusionis beranggapan bahwa kehidupan sangatlah sederhana.13
Dalam perspektif inilah menjadi urgent perdebatan tentang manusia ini akan
dapat menemukann jawaban yang komprehenship, maka domain kajian agama
menjadi sebuah keniscayaan yang tidapat dinafikan lagi untuk menguraikan benang
kusut yang telah berlangsung sekian lamanya, malahan tidak aka nada modus
vivendinya sampai dunia kiamat.
Berdasarkan uraian konseptual di atas, maka permasalahan utama dalam
makalah “Bagaimana eksistensi manusia menurut Al-quran dan ilmu pengetahuan”.
B. Pembahasan
1. Hakekat Manusia dan Misterinya
Pada abad XIX dunia ilmu pengetahuan dan institusi gereja dikejutkan
dengan sebuah penelitian dan penemuan yang dilakukan oleh Robert Charles
Darwin (1809-1882) yang dikenal dengan teori evolusi. Dalam karyanya yang
monumental “On the Origin Species”yang diterbitkan di Inggris pada tahun 1859
telah meraih sukses besar dan menyita perhatian hampir masyarakat ilmuwan dan
agamawan pada waktu itu. Robert Charles Darwin, berusaha mengetengahkan teori
12Muqowim dan Syarif Hidayat, “Harun Yahya: Kreasionisme Islam untuk Meruntuhkan Teori
mengenai asal-usul spesies melalui sarana seleksi alam atau bertahannya ras-ras
yang beruntung dalam memperjuangkan dan mempertahankan kehidupannya.14
Lebih lanjut dikatakan bahwa manusia muncul dari proses kesempurnaan
yang terus bersinambung pada hewan-hewan yang lebih rendah darinya. Berbagai
spesies dari jenis tumbuh-tumbuhan dan binatang bermunculan diakibatkan adanya
proses evolusi yang terjadi secara alamiah karena faktor-faktor alam. Dan proses ini
banyak terjadi pada sebagian besar individu suatu spesies. Perubahan yang terjadi
pada individu-individu dari satu spesies itu diwarisi dari satu generasi ke generasi
lain. Dalam kondisi yang mengharuskan penyesuaian diri dengan lingkungan dalam
konteks perjuangan untuk mempertahankan hidup, kecenderungan alamiah dan
menciptakan kelanggengan yang lebih baik, mendorong terciptanya kondisi yang
kondusif bagi munculnya spesies baru.15
Berdasarkan teori ini, dia berkeyakinan bahwa manusia sebagaimana seluruh
spesies hewan, juga berasal dari spesies-spesies terendah. Dalam kenyataannya
dewasa ini, manusia adalah spesies hewan yang terbaik ketimbang spesies-spesies
sebelumnya. Menurut Maurice Bucaille teori Darwin memuat dua aspek. Aspek
pertama bersifat ilmiah, meskipun data yang ditelaah Darwin kuantitasnya sangat
mengesankan, namun ketika segalanya diungkapkan dan dilaksanakan, ternyata
aspek ilmiahnya sangat rapuh. Sedangkan aspek kedua, yang bersifat filosofis,
diberikan tekanan sangat kuat oleh Darwin dan diungkapkan secara sangat jelas. 16
Secara filosofis, Darwin menyatakan sebagai berikut:
“Tapi aku mempercayai seleksi alam, bukan karena aku dapat membuktikan,
dalam setiap kasus, bahwa seleksi alam telah mengubah satu spesies menjadi
spesies lainnya, tetapi seleksi alam mengelompokkan dan menjelaskan dengan
baik (menurut pendapatku) banyak fakta mengenai klasifikasi, embriologi,
morfologi, organ-organ elementer, penggantian dan distribusi geologis.
Teori evolusi Robert Charles Darwin, mendapat sanggahan keras dari P. P.
Grase, seorang mantan ketua Masyarakat Studi-Studi Evolusioner di Sarbonne,
Perancis. Ungkapannya sebagaimana dikutip Maurice Bucaille:
Meskipun akan adanya evolusi bisa dipastikan benar, tapi terdapat kesenjangan
yang amat lebar dalam pengetahuan kita tentang cara-cara bekerjanya, dan tak
ada penjelasan yang sahih tentang faktor-faktor yang menentukannnya. Mutasi
acak yang terjadi di dalam gen-gen yang mengendalikan sifat-sifat turunan tidak
cukup untuk memainkan peran yang menentukan dalam evolusi itu sendiri.
Dalam hal manusia, suatu kenyataan bahwa perkembangan otak sejak
Australopithecus, sepanjang satu periode yang meliputi hampir delapan puluh
ribu generasi, tak terbayangkan di dalam peristilahan-peristilahan noe-
Darwinisme. Salah satu misteri besar evolusi manusia adalah hilangnya hampir
14Badan Litbang dan Diklat, Penciptaan Manusia: Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains,
(Cet, I; Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
RI, 2010), 8-9.
15Mahmoud Rajabi, Insan Syenasi, diterjemahkan oleh Yusuf Anas dengan judul “Horizon
Scripturer, diterjemahkan Rahmani Astuti dengan judul “Asal-Usul Manusia Menurut Bibel, Al-Quran
dan Sains”. (Cet. I; Bandung: Mizan, 1990), 46.
seluruh perilaku bawaan manusia yang masih tampak terdapat dan aktif di dalam
kera. Evolusi manusia tak dapat dibandingkan sama sekali dengan anggota-
anggota dunia hewan selebihnya.17
Sebagian ilmuwan lain, seperti Alfred Russel Wallace, menilai pendapat
Charles Darwin ini menyesatkan dan keliru, khususnya bila dikaitkan dengan
penciptaan manusia.18 Teori ini, sekalipun telah menjalani proses evolusi dalam
penerapannya serta ditelaah dari sudut pandang arkeologi dan genetika, mustahil
berubah menjadi teori yang absolut dan permanen. Beberapa ilmuwan juga telah
menjelaskan bahwa secara arkeologis, pencarian asal-usul keturunan manusia sama
sekali tidak jelas. Dalam hal ini terjadi perbedaan pandangan yang perdebatan yang
cukup menarik, khususnya yang berkenaan dengan contoh-contoh fosil yang
menyerupai sosok manusia dan hubungan satu sama lainnya yang dijadikan
sandaran para pendukung evolusi (Darwinisme).
Menurut keterangan Ian Barbour, mereka berpendapat bahwa satu generasi
sebelumnya seperti sebuah garis linear yang menghubungkan keturunan manusia
yang ada sekarang ini dengan monyet-monyet di zaman purbakala. Tetapi, hari ini
diketahui bahwa kemungkinan besar keserupaan manusia dengan monyet tidak
menunjukkan bahwa yang pertama berasal dari yang kedua. Dengan demikian,
berapa banyak komunitas manusia yang merupakan gambaran suatu generasi yang
terus menerus berada dalam kondisi primitif dan tidak berlanjut atau mengalami
perubahan.
Sementara itu secara genetik pun terjadi perbedaan pendapat dalam hal
pentingnya perubahan relatif dan peran yang mungkin dimilikinya. Sebagian
ilmuwan berkeyakinan bahwa meskipun mutasi-mutasi kecil sering terjadi, namun
mutasi-mutasi besar yang penting dalam pembuktian teori evolusi, sangat jarang
sekali dan tak diprediksikan sekalipun menggunakan teknik-teknik statistik. Lebih-
lebih, pelbagai penelitian dalam laboratorium mampu memastikan adanya
perubahan-perubahan dalam diri suatu spesies, namun tidak sanggup membuktikan
pembentukan spesies-spesies baru tersebut dikarenakan adanya perubahan-
perubahan secara bertahap, khususnya dalam kelompok yang besar. Pergantian dari
suatu entitas yang termutasikan menjadi sekelompok besar, tak akan luput dari
pertanyaan-pertanyaan dan kritikan-kritikan, dan sama sekali tidak ada bukti-bukti,
17Maurice Bucaille, What is The Origin of Man?: The Answer of Science and The Holy
Scripturer, diterjemahkan Rahmani Astuti dengan judul “Asal-Usul Manusia Menurut Bibel, Al-Quran
dan Sains”. (Cet. I; Bandung: Mizan, 1990),13
18Meskipun jawaban terhadap sejumlah kritik yang dialamatkan pada teori Darwin datang dari
para pembelanya, akan tetapi jawaba atas kritik tersebut belum memuaskan. Sebagai contoh, sebut saja
Voltair Valas yang berbeda dari Darwin. Dia yang merumuskan sistematika tema-tema “seleksi alam”
berkeyakinan bahwa jarak antara otak manusia dengan monyet melebihi apa yang dikatakan Darwin
dan komunitas orang-orang pedalaman tidak dapat menghilangkan jarak tersebut. Karena kekuatan otak
mereka berbanding dengan kemajuan otak individu manusia modern. Maka seleksi alam tidak akan
dapat mengalahkan otak manusia yang paling tinggi. Dia berkeyakinan bahwa kemampuan intelektuak
kaum pedalaman melebihi gaya hidup mereka yang sederhana. Dan pemenuhan segenap kebutuhan
sederhana itu, cukup dengan otak yang lebih kecil. Seleksi alam hendaknya mengakui sedikit melebihi
otak monyet. Sementara otak manusia seperti itu sedikit lebih kecil dari kaum filosof. Lihat, Mahmoud
Rajabi, Insan Syenasi, diterjemahkan oleh Yusuf Anas dengan judul “Horizon Manusia”, (Cet. I;
Jakarta: Al-Huda, 2006),94.
19Mahmoud Rajabi, Insan Syenasi, diterjemahkan oleh Yusuf Anas dengan judul “Horizon
dengan Logika dan Ilmu Pengetahuan (Cet. I; Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2010), 39.
(Cet, I; Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
RI, 2010), 20.
23Lihat, Lalu Ibrahim M. Thayyib, Keajaiban Sains Islam: Mengungkap Kebenaran Islam Al-
Qur’an dengan Logika dan Ilmu Pengetahuan, (Cet. I; Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2010), 39-
40.
ke-19 (masa Darwin). Pada masa itu tingkat pemahaman ilmu pengetahuan tentang
alam dan kehidupannya masih terbelakang sehingga para evolusionis beranggapan
bahwa kehidupan sangatlah sederhana.24
Harun Yahya mengungkapkan bahwa teori evolusi merupakan sumber atau
landasan segala tindakan yang berhuburtgan dengan rasisme, materialisme,
komunistne, imperialisme dan sebagainya. Segala tindakan tersebut menurutnya
tidak lain adalah sebagai implikasi dari legalisasi teori evolusi (Darwinisme).25 Buku
Darwin yang berjudul The Origin of Spesies menurut Harun Yahya telah menjadi
pembenaran ilmiah bagi penindasan terhadap ras-ras tertentu. Istilah yang banyak
dijadikan acuan oleh Harun Yahya, antara lain istilah survival of the fittest, struggle
(seleksi alam).
Dalam The Origin of Species, Darwin tidak menggunakan istilah natural
selection dan struggle for existence dalam konteks filsafat maupun sebagai landasan
bagi kejahatan manusia. Kedua istilah tersebut digunakan Darwin untuk
menjelaskan mekanisme reproduksi, pola penyebaran makhluk hidup, adanya
persaingan yang universal, adanya faktor barrier dalam lingkungannya,
kompleksitas hubungan antar makhluk hidup serta perjuangan yang keras dan upaya
untuk mempertahankan keberadaan masing-masing individu dan varietas yang sama
maupun genus yang sama. Pertumbuhan makhluk hidup yang semakin bertambah
akan berakibat pada kecenderungan struggle for existence yang tak terhindarkan.
Adanya jumlah individu yang melebihi daya dukung lingkungan akan memacu
upaya struggle for existence dan perjuangan melawan kondisi kondisi fisik
kehidupan.26
Merujuk pada uraian di atas telah membuktikan bahwa teori evolusi memiliki
implikasi luas di luar kajian biologi evolusi. Filsafat materialism adalah teori evolusi
telah dipandang sebagai filsafat yang menyesatkan sebagian besar umat manusia.
Filsafat materialisme dari teori evolusi merupakan wujud pengingkaran atas
eksistensi Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Setelah mengkaji tentang konsep
asal-usul makhluk hidup menurut teori evolusi, Harun Yahya berupaya
meyakinkann kalangan ilmuwan maupun agamawan untuk lebih yakin pada konsep
penciptaan terpisah atau kreasionisme dengan menyatakan bahwa seluruh kehidupan
telah diciptakan oleh Allah dalam bentuknya masing-masing.
Perdebatan apakah manusia berasal dari spesies kera pada akhirnya tidak
terbukti kebenarannya. Akhirnya Al-quranlah yang mampu memberikan jawaban
atas pertanyaan dari mana manusia itu berasal? Dan bagaimana manusia diciptakan?
Telaah atas ayat-ayat Al-quran yang membicarakan tentang penciptaan
manusia, menyuguhkan kesimpulan bahwa generasi manusia yang ada sekarang ini
berasal dari satu sosok bernama Adam. Penciptaan Adam sendiri merupakan sebuah
pengecualian, dia berasal dari tanah. Di antara ayat-ayat Al-quran yang
mengemukakan persoalan penciptaan manusia di muka bumi , yang secara jelas
24Harun Yahya, Menyibak Tabir Evolusi, terj: Efendi dkk, (Cet. I; Jakarta, Global Cipta
menunjukkan bahwa generasi sekarang ini berujung pangkal pada Adam dan istrinya
Hawa. Hal ini terdapat dalam QS. 4: 1:
”Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan
kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, dan dari
keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”
Hal ini juga dijelaskan pada QS. 7: 189, 6: 98, QS. 30: 6 dan QS. 41: 7-8.
Pada ayat-ayat ini pun dijelaskan bahwa manusia awal yang diciptakan berasal dari
tanah, sementara generasi manusia selanjutnya diciptakan dari saripati air yang hina
(air mani).
Al-quran telah menegaskan dengan memberi jawaban bahwa manusia bukan
keturunan kera melainkan keturunan manusia pertama (Adam) yang diciptakan oleh
Allah dari tanah. Menurut penelitian Dr. Nasaruddin Umar, ternyata Al-quran
menggunakan 12 term yang menjelaskan substansi kejadian manusia, yaitu: al-mau
(air/water), al-ardh (tanah, bumi/earth), at-turab (tanah gemuk/sol), at-thin (tanah
lempung/clay), thiin laazib (tanah lempung yang pekat/sticky clay), shalsaal kal
fakhkhar (tanah lempung seperti tembikar/ sounding clay like unto pottery), shalsaal
min hamaain masnuun (tanah lempung dari lumpur yang dicetak/sounding clay from
mud moulded into shape), nafsi waahidah (diri yang satu/single person), sulaalatin
min thiin (saripati lempung/quintessence of clay), maniyyin yumna (mani yang
ditumpahkan/sperm emitted), nuthfatin amsyaaj (cairan mani yang bercampur/ a
drop of mingled sperm), dan maain mahiin (cairan yang hina/despised fluid).27
Untuk mengkaji konsep Islam tentang manusia, adalah menarik sekali
melakukan kajian semantik filologis terhadap terminologi yang digunakan Al-quran.
Dalam Al-quran, ada tida istilah kunci (key terms) yakni bashar, insan dan al-nas
yang mengacu pada makna pokok (basic meaning) dan makna nasabi (relational
meaning).
Istilah al-basyar yang disebut sebanyak, 35 kali yang tersebar dalam 26 surah.
Secara etimologi kata al-basyar berarti kulit kepala, awajah atau tubuh yang menjadi
tempat tumbuhnya rambut. Penamaaan ini menunjukkan makna bahwa secara
biologis yang mendominasi manusia adalah pada kulitnya, dibandingkan dengan
rambut atau bulunya.28Pada aspek ini terlihat perbedaan umum biologis manusia
dengan hewan yang lebih didominasi oleh bulu atau rambut.Kata al-basyar juga
dapat diartikan mulamasah yaitu persentuhan kulit antara laki-laki dengan
perempuan.
Berdasarkan makna etimologis dapat dipahami bahwa manusia al-basyar
merupakan makhluk yang memiliki sifat-sifat kemanusian dan keterbatasan, seperti
makan, minum, seks, keamanan, kebahagian dan lain sebagainya. Penggunaan kata
al-basyar ditujukan Allah SWT kepada seluruh manusia tanpa pengeculian.
Demikian pula halnya dengan para rasul-rasul-Nya. Hanya saja kepada mereka
diberikan wahyu, sedangkan kepada manusia umumnya, tidak diberikan wahyu (QS.
18: 110 dan QS. 3: 47). Menurut Aisyah Abdurrahman (Bintusy Syathi’)
adakalanya ayat-ayat yang kemanusian para rasul tidak dinyatakan secara jelas
27Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran, (Cet. I; Jakarta:
dengan teks yang menyatakan kesamaan sisi manusiawi para rasul itu dengan
seluruh manusia. Namun konteksnyalah yang menunjukkan kesamaan
kemanusiawian tersebut.29
Dengan pemaknaan konsep al-basyar yang diperkuat kedua ayat di atas,
dapatlah dipahami bahwa seluruh manusia akan mengalami reproduksi seksual dan
senantiasa berupaya untuk memenuhi semua kebutuhan biologisnya, memerlukan
ruang dan waktu, serta tunduk terhadap hukum alamiahnya, baik yang berupa
sunnatullah (sosial kemasyarakatan), maupun takdir Allah SWT (hukum alam).
Kesemuanya merupakan konsekwensi logis dari proses pemenuhan kebutuhan
tersebut. Untuk itu Allah SWT memberikan kebebasan dan kekuatan kepada
manusia dengan batas kebebasan dan potensi yang dimilikinya untuk mengeloladan
memanfaatkan alam semesta, sebagai salah tugas kekhalifahan di atas bumi.
Sedangkan kata insan disebut sebanyak 73 kali dalam Al-quran dan tersebar
dalam 43 surah. Secara etimologis, kata al-insan dapat diartikan harmonis, lemah
lembut, tampak atau pelupa.30Kata al-insan digunakan dalam Al-quran untuk
menunjukkan totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Harmonisasi
kedua aspek tersebut, dengan berbagai potensi yang dimilikinya, mengantarkan
manusia sebagai makhluk Allah SWT yang unik dan istimewa, sempurna dan
memiliki diferensiasi individual antara satu sama lain, dan sebagai makhluk
dinamis, sehingga mampu menyandang khalifah di atas bumi.
Simultan dengan pernyataan di atas, kata al-insan dalam Al-quran sangat
retorik dan pesona sehingga Aisyah Abdurrahman mengatakan al-insan mempunya
nilai kemanusian, yang tidak hanya terbatas pada kenyataan spesifiknya untuk
menjadi manusia. Tetapi lebih dari itu, ia akan sampai pada tingkat yang
membuatnya pantas menjadi khalifah di bumi, menerima beban taklif dan amanat
kemanusian. Karena hanya dialah dibekali dengan ilmu, al-bayan, al-aql dan al-
tamyiz. Sekaligus dengan konsekwensi harus berhadapan dengan ujian kebaikan dan
kejahatan. Juga optimisme untuk mencapai tingkat perkembangan yang paling tinggi
di antara spesies-spesies lainnya di alam semesta.31
Ali Shariati menjelaskan hakekat manusia sebagai al-insan sebagai tipe yang
memiliki karakteristik khusus yang berlainan antara satu dengan orang lainnya
sesuai dengan tingkatan realitas atau esensinya. Jadi, bila kita menyebut insan kita
tidak memaksudkannya sebagai penduduk dunia pada umumnya yakni tiga milyar
makhluk berkaki dua yang sekarang hidup di muka bumi. Jadi tidak semua makhluk
adalah insan, namun mereka mempunyai potensialitas untuk mencapai tingkatan
yang lebih tinggi dari kemanusian ini. Walaupun demikian setiap manusia dalam
kehidupannya dalam batas-batas tertentu. Individu-individu tertentu dapat bergerak
ke arah taraf-taraf yang lebih tinggi dalam proses menjadi insan. Bagaimanapun,
Arif dengan judul “Manusia: Sensitivitas Hermeneutika Al-Qur’an”, (Cet. I; Yogyakarta: LKPSM,
1997), 14
30Lihar, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis
Adib al Arif dengan judul “Manusia: Sensitivitas Hermeneutika Al-Qur’an”, (Cet. I; Yogyakarta:
LKPSM, 1997), 14-15.
32Ali Shariatu, Man and Islam, diterjemahkan oleh M. Amien Rais, dengan judul “Tugas
Cendikiawan Muslim”, Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 51
33Manusia yang telah mencapai tingkat kesadaran yang tertinggi menurut Murtadha Muthahari
adalah “Perfect Man” atau manusia sempurna. Manusia sempurna bermakna manusia teladan, unggul
dan luhur. Manusia sempurna adalah terintegrasinya kemampuan spiritual dan intelektualnya dalam
sebuah konsep yang utuh. Lihat, Murtadha Muthahhari, Perfect Man, diterjemahkan oleh M. Hashem
dengan judul “Manusia Sempurna: Pandangan Islam Tentang Hakikat Manusia, (Cet. II; Jakarta:
Lentera, 1994)., h. 1. Simultan dengan ini Mulla Sadra, mengatakan manusia sempurna adalah yang
adalah manusia yang memiliki tujuh karakteristik, 1) memiliki kekuasaan untuk menghasilkan sesuatu
di dunia eksternal, 2) memiliki aspek batin dan jiwa yang merupakan manifestasi keberadaan Tuhan
dalam dirinya, 3) adalah mereka yang telah mengenal Hakikat dalam sejumlah manefestasi-Nya yang
mereka sembah dan karena mengikuti pertimbangan dari manifestasi tersebut dan tidak adanya
manifestasi lain, ia menolak adanya kesempurnaan lain dari Hakikat Kebenaran, 4) seorang sufi yang
telah mencapai Hakikat dan fana pada-Nya, sementara ia mendapatkan hidup dari-Nya dan ia bukan
lagi obyek yang dapat berubah dan berganti-ganti, 5) pada akhir perjalanan pertama, manusia
sempurna tidak akan terhalang oleh rintangan apapun, bahkan oleh entitasnya sendiri, yang ada
mengantarai dirinya dan Hakikat Kebenaran, karena begitu ia menginginkan dan mencintai-Nya, 6)
manusia sejak awal geraknya menuju Hakikat sampai ia mencapai stasiun Manusia Sempurna, ia telah
Ciri manusia yang kedua adalah ia bebas untuk memilih. Ia adalah satu-
satunya makhluk di dalam alam yang dapat memilih dirinya sendiri dan apa yang ia
pilih dapat bertentangan dengan instinknya, dengan alam, masyarakat atau juga
bertentangan dengan dorongan-dorongan fisiologis dan psikologisnya. Kebebasan
memilih atau kemampuan iradahnya itulah yang dapat menolong manusia dalam
mencapai taraf tertinggi dari proses menjadi manusia, realitas kemanusiannya.
Kemampuan untuk memilih yang berlawanan sesungguhnya menjadi milik
Penciptanya, tetapi manusia dikarunia dengan hak istimewa yang unik ini. Ia dapat
juga melawan dorongan instinknya, betapa pun kuatnya dorongan tersebut.34
Di sisi yang lain manusia dapat melawan kecenderungan alamiahnya. Ia dapat
mengabaikan kebutuhan-kebutuhan dan kemauan fisiknya. Ia dapat membunuh
dirinya, mengorbankan hidupnya demi satu tujuan, dengan menggunakan
kemampuan iradahnya untuk menaklukan mekanisme biologisnya yang bersifat
defensif. Dengan tidak memilih kehidupan yang damai, kesenangan, kemakmuran
dan kemudahan, sebagai konsekwensinya manusia justru memilih kehidupan yang
penuh bahaya, atau kehidupan yang membangkang dan memberontak, atau
kehidupan disiplin baja dan menekan keinginan-keinginan tubuhnya. Ia bisa
menentang keharusan-keharusan alamiahnya dan masyarakatnya dan memilih
sesuatu yang tidak ditolerir oleh masyarakatnya.
Sedangkan ciri yang ketiga adalah daya ciptanya. Ia dapat menciptakan
barang-barang dalam berbagai bentuk dan ukuran yang berbeda. Kearitifitasnya
terwujud dalam eksistensi kekuatan kreatifnya di dalam alam, sebagai makhluk yang
unik, khas dan istimewa di alam semesta. Manusia lebih dari sekedar makhluk
pembuat alat, pencipta, dan pembuat barang-barang yang belum terdapat di dalam
alam. Sebabnya, mengapa ia membuat dan menyempurnakan seni, karena ia
mengetahui bahwa tidak semua keinginannya dapat dipuaskan dengan apa yang
telah pada alam. Sepanjang ia tetap pada eksistensinya tanpa bergerak maju maka
alam dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Akan tetapi ia membutuhkan lebih
dari apa yang disediakan oleh alam dan bergerak maju menuju kesempurnaan
eksistensinya.
Manusia bukan sekedar pembuat alat, tetapi juga seniman yang kreatif. Dan
daya ciptanya yang lebih tinggi itulah membuat manusia memiliki kelebihan yang
luar biasa jikan dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang lain. Manusia sejati
atau manusia yang “menjadi” adalah manusia tiga dimensional, manusia dengan tiga
memiliki nur Ilahi dan manefestasi dari esensi, sifat-sifat, dan nama-nama Tuhan tersebut pada semua
level untuk mengembang amanah, dan ia terus mempertahankan amanah itu dan dengan menyelimuti
aktualitasnya, dan 7) ketika Manusia Sempurna adalah manusia yang mampu memutuskan seluruh
sifat-sifat keduniawiannya dan menghilangkan rasa cinta pada materi dan segala apa yang ada di
dalamnya dari kesucian hatinya, maka kesempurnaan eksistensialnya akan lebih tinggi dari seluruh
eksistensi yang ada sehingga ia dapat merefleksikan Tuhan dan sifat-sifatnya. Lihat, Seyyed Mohsen
Miri, The Perfect Man: Comparative Study in Indian and Iranian Philosophical Thought,
diterjemahkan oleh Zubair dengan judul “ Sang Manusia Sempurna” Antara Filsafat islam dan Hindu”,
(Cet. I; Jakarta: Teraju, 2004), 92-96.
34Lihat, Ali Shariati, Man and Islam, diterjemahkan oleh M. Amien Rais, dengan judul “Tugas
Cendikiawan Muslim”, Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001)., h.h. 58. Lihat juga
Murtadha Muthahhari, Perfect Man, diterjemahkan oleh M. Hashem dengan judul “Manusia Sempurna:
Pandangan Islam Tentang Hakikat Manusia, (Cet. II; Jakarta: Lentera, 1994), 11-12.
talenta utama: kesadaran, kemampuan iradah dan daya cipta. Semua ini adalah
termasuk sifat-sifat atau atribut-atibut Tuhan. Oleh karena itu manusia ikut
memiliki kualitas-kualitas tertentu tertentu dari Penciptanya. Berbeda dengan
makhluk yang lain, manusia mampu mengembangkan sifat-sifat yang dimiliki
Tuhan dan menjadi mikrokosmos-Nya di muka bumi. Dalam konteks inilah dimensi
insan sajalah yang dapat menyesuaikan dan memanefestasikan sifat-sifat Tuhan dan
menjadi khalifat di atas bumi. Manusia yang memiliki dimensi insan adalah
makhluk homosapeins yang mampu memilih, memberontak, menjadi sadar untuk
dirinya, dan pencipta. Sifat-sifat ini terdapat pada Tuhan adalah bentuk absolut. Bila
dekat dengan-Nya, manusia mengejawantahkan sifat-sifat di atas dalam bentuk yang
relatif dan mampu mengembangkan amanah kekhalifahan yang diembannya. Ini
semua dapat tercapai apabila manusia memiliki kemampuan ilmu pemgetahuan,
yang menjadi prasyarat untuk mengelola bumi dan segala isinya.35
Dengan kemampuan ilmu pengetahuan manusia akan dapat membentuk dan
mengembangkan diri dan komunitasnya sesuai dengan nilai-nilai insaniah yang
memiliki nuansa Ilahi yang hanif. Integralitas ini akan tergambar pada nilai iman
dan bentuk amaliahnya (QS. 5: 95-96). Dengan kemampuan ini, manusia akan
mampu mengembang amanah Allah SWT di muka bumi secara utuh. Namun
demikian, manusia sering lalai bahkan melupakan nilai insaniah yang dimilikinya
dengan berbuat berbagai mafsadat (kerusakan) di muka bumi.
Menurut Nur Ahmad Fadil Lubis, istilah al-insan digunakan dalam tiga
konteks. Pertama, insan dihubungkan dengan keistimewaan sebagai khalifah,
penerima amanah. Kedua, insan dihubungan dengan predisposisi negatif dalam
dirinya. Ketiga, insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia. Kecuali
kategori ketiga, semua konteks insan senantiasa merujuk pada sifat-sifat psikologis
dan spritual.36
Pada kategori pertama, keistimewaan manusia sebagai wujud yang berbeda
dari makhluk hewani. Menurut Al-quran, insan adalah makhluk yang diberi ilmu
(26: 4-5) dan diajarkan bahasa konseptual (55: 3). Insan diberikan kemampuan
untuk mengembangkan ilmu dengan daya nalarnya, dengan menalar perbuatannya
sendiri (79: 35), proses terbentuknya bahan makanan (80: 24-36) dan penciptaannya
(86: 5).
Dengan menggunakan istilah insan, Al-quran menjelaskan manusia adalah
makhluk yang mengembangkan amanah. Menurut Fazlur Rahman, amanah itu
adalah menemukan hukum alam, mengusainya atau dalam istilah Al-quran
mengetahui nama-nama semuanya, dan kemudian menggunakannya dengan inisiatif
moral insani untuk menciptakan tatanan dunia yang baik. Amanah inilah yang dalam
ayat-ayat yang lain disebut sebagai perjanjian atau komitmen yang digambarkan
secara metaforis dalam Al-quran (7: 172).37
35Lihat, Ali Shariati, Man and Islam, diterjemahkan oleh M. Amien Rais, dengan judul “Tugas
Cendikiawan Muslim”, Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 60-61
36Nur Ahmad Fadil Lubis, “Mewujudkan Pribadi Muslim (Al-Insan al-Kamil): Sebuah Kajian
Epistimologis”, dalam Farid Nasution (ed), Aktualisasi Pemikiran Islam, (Medan: Widyasarana, 1993),
129.
37Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka, 1983), 28.
38Lihat,Nur Ahmad Fadil Lubis, “Mewujudkan Pribadi Muslim (Al-Insan al-Kamil): Sebuah
Kajian Epistimologis”, dalam Farid Nasution (ed), Aktualisasi Pemikiran Islam, (Medan: Widyasarana,
1993), 134
39Lihar, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,
Adapun fungsi dan peran yang diemban oleh manusia sebagai pewaris ajaran
Allah SWT adalah sebagai hamba Allah dan sekaligus sebagai khalifah di atas bumi.
1. Tanggung Jawab sebagai hamba Allah
Kata hamba berasal dari bahasa Arab abdun, yang menurut Abu al-Husain
Ahmad bin Faris Ibn Zakariyyah, mempunyai beberapa pengertian yaitu, 1)
mamluk (budak), 2) tumbuh-tumbuhan yang memiliki aroma yang harum, 3)
anak panah yang pendek dan lebar.40
Makna pertama menunjukkan kerendahan, yang kedua menunjukkan
kelemah-lembutan dan yang terakhir kekerasan dan kekasaran. Sementara itu
Ibnu Manzhur, mengartikan kata hamba antara lain, 1) memperbudak laki-laki
itu, 2) tunduk dan taat, 3) mempertuhankan, menyembah kepada Allah SWT.41
Makna memperbudak dapat dilihat pada QS. 26: 22, pengertian tunduk dan
taat dapat dilihat pada QS. 47: 21 dan makna mempertuhankan dan menyembah
Allah SWT dapat dilihat pada QS. 39: 17.
Berdasarkan beberapa pengertian abdun di atas, maka dapatlah dipahami
bahwa seseorang yang telah menjadi hamba, harus melaksanakan apa yang
diperintahkan oleh tuannya. Apabila seorang hamba Allah, maka ia harus
melaksanakan apa yang telah diperintahkan dan berusaha untuk menghindarkan
dirinya dari apa yang telah dilarang Allah SWT. Menurut Dr. Quraish Shihab,
pengabdian bukan sekedar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia adalah suatu
bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa
keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia mengabdi,
serta sebagai dampak dari keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang
memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau arti hakikatnya.42
Dalam hubungan dengan Allah, manusia memiliki posisi sebagai ciptaan
dan Allah sebagai Pencipta. Posisi ini mempunyai konsekuensi adanya
keharusan manusia untuk taat dan patuh kepada Penciptanya. Hal ini sudah
termaktub dalam Al-quran tentang tujuan Allah menciptakan manusia, yakni
untuk menyembah kepada-Nya.Sikap berserah diri kepada Allah merupakan
sesuatu yang mutlak, tumbuh dalam jiwa seorang muslim sekaligus
mengandung beberapa konsekuensi dalam bentuk pengakuan tulus yaitu bahwa
Allah adalah wujud yang mutlak, yang menjadi sumber semua wujud yang lain.
Dengan demikian, semua wujud yang lain adalah nisbi belaka.
Pengingkaran manusia dalam penghambaan diri kepada Allah akan
mengakibatkan dia mempertuhankan dirinya, hawa nafsunya atau menghamba
kepada sesame makhluk ciptaan Allah. Menyembah, memahon perlindungan
ataupun perbuatan yang menyerupai Allah dengan makhluk-Nya disebut sebagai
perbuatan syirik. Orang yang berbuat syirik disebut musyrik. Perbuatan syirik
adalah dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah.
40Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariyyah, Mu’jam Maqayis al-Lughat, (Beirut: Dar al-
43Lihat, Lihat, Nur Ahmad Fadil Lubis, “Mewujudkan Pribadi Muslim (Al-Insan al-Kamil):
Sebuah Kajian Epistimologis”, dalam Farid Nasution (ed), Aktualisasi Pemikiran Islam, (Medan:
Widyasarana, 1993), 120.
44Machasin, Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia: Telaah Kritis Terhadap Konsepsi Al-
46Abu Ja’far bin Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan an-Ta’wil Ayi al-Qur’an,
Vol. I. Ju. I (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), 199-200. Lihat juga Abdiurrahman Saleh Abdullah,
Educational Theory: a Qur’anic Outlook, diterjemahkan oleh H. M. Arifin dan Zainuddin dengan
judul “Teori-Teori Pendidian Berdasarkan Al-Qur’an”, (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 48.
47Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia: Telaah Kritis Terhadap Konsepsi Al-Qur’an,
Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Cet. XIII; Bandung: Mizan, 1996), 150.
dari satu di atas bumi? Menurut Abdurrahman Saleh Abdullah, untuk menjawab
pertanyaan ini, terdapat dua penafsiran yang berbeda-beda. Pertama, mereka
membatasi diri kepada gelar khalifah yang diberikan kepada Adam. Pemegang
pendirian ini mengakui bahwa Al-quran sungguh-sungguh telah menjelaskan
malaikat yang harus sujud menghrmati Adam dan bukan person lain selain Adam.
Kedua, penafsiran kedua dengan para pendukungnya, tidak mengingkari Adam yang
telah diberi gelar khalifah atau wakil Allah SWT di bumi, akan tetapi mereka keluar
lebih jauh melampaui pikiran mereka. Mereka mengakui, bahwa manusia
sebagaimana kejadiannya telah terwakili dalam peristiwa Adam yang telah diberikan
keistimewaan oleh Allah SWT di hadapan para malaikat. Gelar keistimewaan ini
kemudian tidak hanya diberikan kepada Adam, namun yang lain juga bisa
diberikangelar atau kehormatan atau keistimewaan asal saja memenuhi persyaratan
yang diperlukan.51
Kelihatannya makna kekhalifahan yang dikemukakan Abdurrahman Saleh
Abdullah, lebih menekankan pada aspek-aspek normatif murni, sehingga terindikasi
kepada terminologi khalifah yang bersifat umum. 52 Dalam perspektif ini penulis
mengemukakan beberapa pendapat tentang khalifah, di antaranya Salman Al-Farisi
dan Muawiyah, yang mengatakan khalifah adalah kepala pemerintahan umat Islam.
Pendapat ini dikemukakan pula Ibn Katsir dan Al-Qurthubi. Sedangkan pendapat
lainnya dikemukakann oleh Al-Wahidi dan Al-Syaukani. Keduanya membatasi
istilah tersebut kepada kepemimpinan Nabi Muhammad SAW secara bergantian
menegakkan hukum-hukum Allah SWT. Pendapat ketiga dikemukakan, misalnya
Fairuzabadi, Al-Zamakhsyari dan Al-Nawawi. Mereka melihat kedudukan khalifah
mencakup kedudukan raja-raja dan nabi-nabi sebagai pemerintah.53
Sementara itu Muhammad Al-Khudari Bek, mengatakan khalifah adalah
pemimpin yang menggantikan Nabi Muhammad SAW dalam tanggungjawab umum
terhadap pengikut agama ini untuk membuat manusia tetap mengikuti undang-
undang-Nya yang mempersamakan orang lemah, orang kuat, orang mulia dan orang
hina di depan kebenaran sebagai khalifah rasul dalam memelihara agama dan
mengatur dunia. Abul A’la Al-Maududi juga mengatakan khalifah adalah pemimpin
tertinggi dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti rasul.54
oleh H. M. Arifin dan Zainuddin dengan judul “Teori-Teori Pendidian Berdasarkan Al-Qur’an”, (Cet.
I; Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 50-51
52Pendapat Abdurrahman Saleh Abdullah, tentang makna khalifah yang sarat dengan nilai-nilai
normatif, sejalan dengan pendapat Ibn Al-Arabi’ yang mengatakan bahwa khalifah bukan semata
jabatan dalam pemerintahan yang secara lahir merupakan tugas memimpin/mengendalikan
pemerintahan dalam suatu wilayah/ negara, tetapi lebih ditekankan pada pengertian khalifah yang
kedudukannya sebagai wakil Allah SWT atau lebih spesifik lagi sebagai manefestasi nama-nama dan
sifat-sifat Allah SWT hingga kenyataan adanya Allah SWT terlihat padanya. Lihat, Yunasril Ali,
Manusia Citra Ilahi, (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1997), 80-81.
53Lihat, Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, (Cet. I; Jakarta: PT.
C. Kesimpulan
Setelah menguraikan secara detail makalah ini, maka pada bagian akhir
penulis menarik beberapa implikasi penelitian, antara lain:
1. Perdebatan tentang hakekat kejadian manusia, telah melahirkan dua pandangan
besar, yakni pandangan dari ilmu pengetahuan dan menurut Al-quran.
Pandangan ilmu pengetahuan diwakili Robert Charles Darwin, melalui teori
evolusinya. Teori evolusi menyatakan bahwa makhluk hidup termasuk rnanusia,
muncul melalui proses seleksi alam (natural selection} yang gradual^ sehingga
bagi sementara pihak, peran Tuhan sebagai pencipta akan terusik. Pernyataan
teori evolusi tersebut tentang keberadaan makhluk hidup secara kebetulan (by
chance) dan tidak memiliki tujuan (non purposive} membuat signifikansi Tuhan
bagi kehidupan meluntur. Makhluk hidup tidak akan lagi butuh penyelamatan
dari Tuhan karena itu agama tidak lagi dibutuhkan.
2. Menurut Al-quran, generasi manusia yang ada sekarang ini berasal dari satu
sosok bernama Adam. Penciptaan Adam sendiri merupakan sebuah
pengecualian, dia berasal dari tanah. Hal dijelaskan pada QS. 7: 189, 6: 98, QS.
30: 6 dan QS. 41: 7-8. Informasi yang terkandung beberapa ayat Al-quran
menegaskan bahwa manusia awal yang diciptakan berasal dari tanah, sementara
generasi manusia selanjutnya diciptakan dari saripati air yang hina (air mani).
Komposisi penciptaan manusia ini juga dibekali dengan peniupan ruh Allah
SWT , yang menjadi titik perbedaan dibandingkan dengan makhluk-makhluk
ciptaan Allah SWT lainnya. Kesempurnaan dan keunggulan manusia inilah yang
akhirnya ia dingkat diangkat khalifah untuk memakmurkan bumi dan seluruh
isinya.
Daftar Pustaka