Anda di halaman 1dari 25

35

ANALISIS NILAI-NILAI HUMANISME DALAM ISLAM;


Study Al-quran dan Ilmu Pengetahuan

Amirudin1

Abstrak
Perdebatan tentang hakekat kejadian manusia, telah melahirkan dua
pandangan besar, yakni pandangan dari ilmu pengetahuan dan menurut Al-
quran. Pandangan ilmu pengetahuan diwakili Robert Charles Darwin,
melalui teori evolusinya. Teori evolusi menyatakan bahwa makhluk hidup
termasuk rnanusia, muncul melalui proses seleksi alam (natural selection}
yang gradual^ sehingga bagi sementara pihak, peran Tuhan sebagai
pencipta akan terusik. Pernyataan teori evolusi tersebut tentang keberadaan
makhluk hidup secara kebetulan (by chance) dan tidak memiliki tujuan (non
purposive} membuat signifikansi Tuhan bagi kehidupan meluntur. Makhluk
hidup tidak akan lagi butuh penyelamatan dari Tuhan karena itu agama
tidak lagi dibutuhkan. Menurut Al-quran, generasi manusia yang ada
sekarang ini berasal dari satu sosok bernama Adam. Penciptaan Adam
sendiri merupakan sebuah pengecualian, dia berasal dari tanah. Hal
dijelaskan pada QS. 7: 189, 6: 98, QS. 30: 6 dan QS. 41: 7-8. Informasi
yang terkandung beberapa ayat Al-quran menegaskan bahwa manusia awal
yang diciptakan berasal dari tanah, sementara generasi manusia selanjutnya
diciptakan dari saripati air yang hina (air mani). Komposisi penciptaan
manusia ini juga dibekali dengan peniupan ruh Allah SWT, yang menjadi
titik perbedaan dibandingkan dengan makhluk-makhluk ciptaan Allah SWT
lainnya. Kesempurnaan dan keunggulan manusia inilah yang akhirnya ia
dingkat khalifah untuk memakmurkan bumi dan seluruh isinya.

Kata Kunci: Manusia, teori evolusi, amanah, al-insa>n, al-bashar

A. Pendahuluan
Secara esensial perbedaan antara Barat dan Islam menimbulkan perbedaan-
perbedaan yang sangat signifikan, baik dari segi peradaban maupun pemikiran. Tak
dapat dipungkiri, bahwa Barat sebagai pusat peradaban dan pemikiran dianggap
lebih unggul. Jika dilihat dari segi rasionalitas, Barat dikenal sebagai bangsa yang
memberikan porsi rasion lebih besar dibandingkan religiusitasnya, sedangkan Islam
lebih berorientasi kepada religiusitasnya. Pada spektrum inilah perkembangan
peradaban Barat dianggap lebih maju jika dibandingkan dengan peradaban Islam.
Salah satu penyebab kemunduran peradaban Islam dengan peradaban Barat
adalah pengaruh faham fatalisme. Faham fatalisme adalah kepasrahan yang secara
total kepada segala ketentuan dan takdir Tuhan yang dianggapnya telah berlaku pasti
dan tidak ada kecenderungan untuk melakukan perubahan dalam meningkatkan
kualitas kehidupan manusia. Dengan demikian, faham fatalisme merupakan

1
Dr. Amirudin, MM, adalah Dosen IAI Bunga Bangsa Cirebon dan aktif diberbagai
kajian ilmiyah keislaman dan filsafat serta aktif sebagai peneliti dan penulis.

EduProf Volume 1 No. 01, Februari 2019


36

persoalan serius yang banyak mendapat perhatian baik dari kalangan pemikir,
ilmuwan maupun tokoh-tokoh agama.2
Kondisi sosial umat Islam di atas juga pernah melanda dalam pranata
kehidupan masyarakat Barat, di mana religiusitas memegang peranan yang sangat
penting dalam perkembangan pemikiran. Kondisi ini berlangsung sampai abad
pertengahan. Namun seiring perjalanan waktu peradaban Barat mengalami loncatan
kemajuan yang begitu dahsyat dengan melepaskan ketergantungan kepada institusi
agama.
Puncak dari kemajuan peradaban Barat, di mana mereka memasuki satu era
yang disebut dengan era renaisans. Renaisans adalah sebuah masa yang ditandai
semakin majunya peradaban umat manusia. Indikasi semakin majunya peradaban
umat manusia dengan munculnya gerakan reformasi yang begitu sistematis pada
aspek struktural dan kultural. Era ini mencapai kejayaannya sekitar abad 14 hingga
16 M.3 Pada masa ini masyarakat menemukan momen untuk melepaskan diri dari
hegemoni gereja yang dianggap mematikan kreativitas nalar manusia. Perubahan ini
menciptakan atmosfer baru yang menempatkan nilai-nilai kemanusiaan sebagai
landasan dalam setiap hal. Era renaisans ditandai dengan bangkitnya gerakan
humanisme4 dalam studi literatur dan kesusastraan di Italia yang mencoba

2Uraian tentang konsep fatalisme dalam Islam dapat dibaca secara lengkap dalam Rubina

Munir “Fate and Fatalism in Islam: A Philosopichal Appraisal”, Disertasi (Peshawar: Department of
Philosophy University of Peshawar, tp.th)., 140. Lihat juga Hamzah Harun Al-Rasyid, “Konsep al-
Kasb Al-Asy’ariyyah dan Peranannya Terhadap Peningkatan Produktivitas Kerja” Jurnal Al-Fikr
Volume 14 No. 2 Tahun 2010, 172. Bandingkan juga dengan Seyyed Hossein Nasr dan William C.
Chittick, Islam Intelektual: Teologi, Filsafat & Ma’rifat, (Cet. III; Jakarta: Perenial Press, 2001)., 21-
24. Lihat, juga H. L. Beck dan N. J. G. Kaptein, Pandangan Barat Terhadap Literatur, Hukum,
Filosofi, Teologi dan Mistik Tradisi Islam, Jilid I (Jakarta: INIS, 1988)., 54-57. Lihat juga Ali Musthafa
al-Gurabi, Tarikh al-Firaq al-Islamiyyah, (Kairo: Mathba’ah Muhammad Saleh wa Auladihi, t. t.)., 29.
Bandingkan juga Abdul Karim Ustman, Nazariyyatu al-Taklif: Ara’ahu al-Qadhi Abdul Jabbar al-
Kalamiah, (Beirut: Muassasatu al-Risalah, 1971), 25.
3Lihat, Donald M. Borcehert, ed. Encyclopedia in Philosophy, Vol 4, Second Edition

(Farmington Hills: Thomas Gale, 2006)., 477. Lihat juga Masduki, Humanisme Spiritual: Paradigma
Pengembangan Masyarakat Islam dalam Filsafat Sosial Hossein Nasr, (Cet. I; Jakarta: Referensi,
2014)., 27. Lihat juga Zainal Abidin, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, (Cet. I;
Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000)., 26. Lihat juga Alexander Key “The Applicability of the Term
"Humanism" to Abū Ḥayyān al-Tawḥīdī” Jurnal Studia Islamica,No. 100/101, Tahun 2005, 72.
4Kata ‘humanisme’ memiliki arti ganda. Pada satu sisi, ia berarti gerakan untuk

menghidupkan ilmu-ilmu kemanusiaan atau biasa disebut ‘humaniora.’Pada sisi lain, ia berarti sebuah
gerakan filsafat untuk menekankan sentralitas manusia. Dalam pengertian pertama, humanisme adalah
sebuah upaya untuk menghidupkan kembali karya-karya klasik, khususnya karya-karyaYunani.
Humanisme berusaha melampaui semangat abad pertengahan yang lebih banyak berfokus pada teologi
dan metafisika. Dalam pengertiannya yang kedua, humanisme adalah sebuah bentuk protes terhadap
elitisme filsafat yang hanya peduli pada tema-tema abstrak yang tak punya dampak langsung kepada
masyarakat. Kaum humanis mengkritik para filosof yang cenderung abai terhadap persoalan-persoalan
nyata yang dihadapi manusia. Bagi mereka, tugas ilmuwan bukan hanya duduk manis di menara
gading, tapi juga harus memiliki semangat aktivisme. Intelektual sejati adalah orang yang bisa
menggabungkan antara kontemplasi dan aksi. Lihat, Lutfhi Syaukani, “Membaca Kembali Humanisme
Islam, Kuliah Umum di Komunitas Salihara, Sabtu 27 Juni 2009., h.2-3. Sementara itu Joel L.
Karemer, humanisme adalah sebuah konsepsi tentang relasi manusia yang berkembang pada era klasik
dalam konteks pendidikan dan ide kultural yang berpusat pada kekuatan akal, karakter, nilai-nilai
kemanusian dan kasih sayang. Lihat, Joel L. Kraemer, “Humanism in the Renaissance of Islam: A
Preliminary Study, Journal of the American Oriental Society,Vol. 104, No. 1, Tahun, 1984., 136-137.

EduProf Volume 1 No. 01, Februari 2019


37

menghidupkan kembali warisan tradisi Yunani kuno abad ke 6 SM (era Sokrates,


Plato, dan Aristoteles).5
Salah satu perubahan mendasarkan dari renaisans adalah penafsiran konsep
antroposentrisme, di mana manusia disebut makhluk rasional yang selalu mencoba
memenuhi hasratnya untuk selalu mencari tahu tentang segala sesuatu yang berada
dalam dirinya maupun di luar dirinya.6
Antroposentrisme yang terjadi pada abad modern merupakan sebuah
dinamika baru dalam peradaban Barat. Manusia kemudian dijadikan pusat dari
segala sesuatu yang akhirnya memunculkan banyak ideologi, mulai dari
rasionalisme sampai ke sekularisme.7 Sebuah era yang banyak dipenuhi pandangan
dan pemikiran ilmuwan yang mengakibatkan sains berkembang pesat. Namun harus
diakui bahwa kemajuan itu mendatangkan implikasi yang sungguh luar biasa yakni
terjadinya pergeseran paradigma dari teosentris menjadi antroposentrisme,8 yang
hasilnya melahirkan salah satu tiga ranah filsafat yaitu kematian metafisika.9

5Karya-karya sastra yang tak mendapatkan perhatian selama ‘abad kegelapan’ itu dihidupkan

dan digeluti dengan penuh gelora. Surat-surat Cicero dan naskah-naskah pidato yang tak pernah
digubris para filosof Kristen sebelumnya diterbitkan kembali dan dipelajari secara serius. Gerakan
humanisme ini mengalami puncak ekspresinya pada pertangahan abad ke-15, ketika sekolah-sekolah
dan perguruan tinggi di Eropa mewajibkan mata kuliah studia humanitatis yang terdiri dari tatabahasa,
retorika, puisi, sejarah, dan filsafat moral. Lihat, Paul F. Grendler. “Humanism: Ancient Learning,
Criticism, Schools and Universities,” dalam Angelo Mazzocco, Interpretations of Renaissance
Humanism. (Leiden; Boston: Brill, 2006)., 79.
6Lihat, Jurate Morkuniene, Sosial Philosophy: Paradigm of Contemporary Thingking:

(Washington D. C.: The Council for Research in Values and Philosophy, 2004)., 5. Lihat juga Jurgen
Habermas, The Religion, (San Fransisico: Ignatius Press, 2006)., 19-32. Lihat juga Pippa Norris dan
Ronald Inglehart, Sacred and Secular: Religion and Politics Worldwide, (New York: Cambridge
University Press, 2004)., 3-5.
7Sekularisme adalah sebuah pandangan dunia tertutup yang baru berfungsi sangat mirip dengan

agama. Dengan demikian sekularisme dapat dikatakan setiap bentuk “perkembangan yang
membebaskan”. Proses pembebasan ini diperlukan karena umat Islam, akibat perjalanan sejarahnya
sendiri tidak sanggup lagi membedakan nilai-nilai yang disangkanya Islamis itu, mana yang transenden
dan mana yang temporal. Lihat, M. Dawam Rahardjo, “Islam dan Modernisasi: Catatan Atas Faham
sekularisasi Nurcholish Madjid, kata Pengantar dalam Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan dan
Keindonesian, (Cet. XI; Bandung: Mizan, 1998)., 19. Sementara Niyazi Berkas, mengatakan
sekularisme mengajarkan bahwa yang ada hanyalah dunia dan tidak sesuatupun di luar dunia. Tidak
ada yang sacral karena segala dapat dieksploirasi oleh rasio sehingga segala persoalan manusia tidak
ada yang tidak dapat diselesaikan. Lihat juga Masduki, Humanisme Spiritual: Paradigma
Pengembangan Masyarakat Islam dalam Filsafat Sosial Hossein Nasr, (Cet. I; Jakarta: Referensi,
2014)., h. 22. Lihat juga Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah tentang Keimanan,
Kemanusian dan Kemoderenan (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1992), ci. Lihat juga Bambang
Sugiharto, Humanisme dan Humaniora; Relevansinya Bagi Pendidikan, (Cet. I; Yogyakarta: Jalasutra,
2008), 85.
8Uraian lebih lengkap tentang teosentrisme dan antroposentrisme dapat dibaca pada karya,

Masduki, Humanisme Spiritual: Paradigma Pengembangan Masyarakat Islam dalam Filsafat Sosial
Hossein Nasr, (Cet. I; Jakarta: Referensi, 2014), 11-12.
9Metafisika adalah disiplin filsafat yang mempelajari realitas sesunggguhnya di balik

penampakan fisik. Metafisika adalah mengakaji “yang ada menjadi ada” (being qua being) dan yang
ada di balik penampakan seperti Tuhan (teologi), diri (psikologi), dan alam semesta (kosmologi). Lihat,
Donny Grahal Adian, Muhammad Iqbal, (Cet. I; Bandung: Teraju, 2003), 12. Uraian lebih lengkap
dapat dilihat pada karya Sachiko Murata, The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationship in
Islamic Thought, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti dan M. S. Nasrullah dengan judul Kitab Rujukan
Tentang Relasi Gender dalam Kosomologi dan Teologi Islam, (Cet. I; Bandung: Mizan, 1996), 65.

EduProf Volume 1 No. 01, Februari 2019


38

Perdebatan tentang keberadaan manusia berlangsung sampai pada abad ke-


19, akan tetapi memasuki abad modern sebagai filosof dan ilmuwan bahwa
perdebatan mengenai esensi manusia sudah merupakan hal yang usang atau telah
berlalu. Kecenderungan ini akhir berubah pada satu tema besar yakni
eksistensialisme.10 Eksistensialisme adalah sebuah aliran pemikran yang berpijak
eksistensi atau cara berada manusia dan ditegaskan bahwa eksistensi menolak
esensi. Menurut para filosof eksistensialis, manusia dikenal bukan karena esensinya
melainkan karena mereka bereksistensi. Bereksistensi berarti manusia tidak lagi
terkooptasi dan terpenjara oleh hukum-hukum kodrat tetapi mereka dapat
menentukan sesuatu berdasarkan kesadaran sendiri. Dan salah satu ciri khas dari
eksistensialisme adalah memberikan perhatiannya secara penuh pada subyek dan
menjadi sebuah keunikan tersendiri dari manusia. Namun keberadaan manusia
dalam konteks faham eksistensialisme, beberapa pendapat mengatakan bahwa
eksistensi manusia adalah bebas, namun kebebasan dalam arti bebas untuk
menentukan pilihannya sendiri. Selama ini asal-usul makhluk hidup masih menjadi
permasalahan di kalangan ilmuwan, agamawan maupun masyarakat pada umumnya.
Sebagaimana telah disebutkan di depan, bahwa yang masih menjadi permasalahan
bagi mereka adalah antara teori evolusi dan penciptaan terpisah. Keduanya masih
sering menghadapi kritik dari berbagai kalangan. Kritik-kritik tersebut patut dikaji
secara obyektif dan serius oleh para pakar masa kini, khususnya para ahli biologi.
Sebagian besar kalangan agamawan hingga kini masih menolak teori
evolusi. Kekhawatiran mereka terhadap teori evolusi terutama disebabkan karena
penafsiran teori evolusi cenderung meniadakan Tuhan. Teori evolusi menyatakan
bahwa makhluk hidup termasuk rnanusia, muncul melalui proses seleksi alam
(natural selection} yang gradual^ sehingga bagi sementara pihak, peran Tuhan
sebagai pencipta akan terusik. Pernyataan teori evolusi tersebut tentang keberadaan
makhluk hidup secara kebetulan (by chance) dan tidak memiliki tujuan (non
purposive} membuat signifikansi Tuhan bagi kehidupan meluntur. Makhluk hidup
tidak akan lagi butuh penyelamatan dari Tuhan karena itu agama ridak lagi
dibutuhkan.11 Berdasarkan teori evolusi, pada permulaan kehidupan, bentuk
kehidupan yang ada berupa mikroorganisme (makhluk renik) uniseluler dengan inti
sel yang belum sempurna. Dengan berjalannya waktu dan adanya seleksi alam,
sedikit demi sedikit mikroorganisme uniseluler berevolusi menjadi mikroorganisme
multiseluler, kemudian berlanjut menjadi mikroorganisme multiseluler dengan inti
sel yang sempurna. Evolusi selanjutnya akan memunculkan tumbuhan tingkat
rendah, seperti ganggang atau jamur yang pada tahap selanjutnya berevolusi menjadi
tumbuhan tingkat tinggi. Evolusi mikroorganisme menjadi tumbuhan, ada

Lihat juga Muhammad Yasir Nasution, Manusia Menurut Al-Ghazali, (Cet. I; Jakarta: Rajawali Pers,
1988), 65.
10Eksistensialisme “memproklamasikan gerakannya” (core) langsung pada kaitan mengenai

humanisme, sebagaimana yang dikatakan Sartre salah seorang tokoh Eksistensialis pada tahun 1945
bahwa “Eksistensialisme adalah suatu humanisme itu” Hal ini berarti aras kerja eksistensialisme
memang terutama pada pemuliaan nilai kemanusiaan, eksistensialisme mencoba melakukan “oposisi
intelegensia” terhadap dekadensi nilai-nilai kemanusiaan yang terjadi di Eropa saat itu karena
kungkungan gereja pada saat itu.
11Muqowim dan Syarif Hidayat,“ Harun Yahya: Kreasionisme Islam untuk Meruntuhkan Teori

Evolusi”, Jurnal Kaunia, Vol. I, No. 2, Oktober 2005., h. 97.

EduProf Volume 1 No. 01, Februari 2019


39

percabangan karena mutasi yang sukses menjadi bentuk tingkat rendah, yang
kemudian menjadi tingkat tinggi. Kemudian muncul binatang-binatang tingkat
tinggi dan berukuran lebih besar. Dengan tidak sengaja, dari salah satu binatang,
muncullah manusia. Hal ini dibuktikan dengan adanya sederet bukti berupa
tengkorak hewan yang secara runtut mengarah ke tengkorak manusia.
Perdebatan antara kreasionisme dengan teori evolusi telah berlangsung sejak
berabad-abad yang lalu dan masih berlangsung sampai sekarang. Kritik kreasionis
atas teori evolusi muncul kembali pada awal abad ke-21. Salah satu kreasionis
tersebut adalah Harun Yahya. Harun Yahya adalah penulis yang menentang teori
evolusi. Pandangannya tentang kreasionisme dan sanggahannya atas teori evolusi,
dianggap beberapa pihak mewakili pandangan umat Islam. Harun Yahya menyerang
secara frontal teori evolusi Darwin dan menganggap bahwa teori tersebut
sepenuhnya bertentangan dengan pandangan agama tentang penciptaan alam dan
asal-usul kehidupan.12
Menurutnya teori evolusi telah runtuh karena telah banyak fakta yang
nenggugurkan teori evolusi dan mendukunp fakta penciptaan. Harun Yahya
menganggap bahwa teori evolusi merupakan sebuah gagasan kuno, yang
menjelaskan tentang kehidupan sebagai hasil peristiwa tak disengaja dan tanpa
tujuan hanyalah sebuah mitos abad ke-19 (masa Darwin). Pada masa itu tingkat
pemahaman ilrnu pengetahuan tentang alam dan kehidupannya masih terbelakang
sehingga para evolusionis beranggapan bahwa kehidupan sangatlah sederhana.13
Dalam perspektif inilah menjadi urgent perdebatan tentang manusia ini akan
dapat menemukann jawaban yang komprehenship, maka domain kajian agama
menjadi sebuah keniscayaan yang tidapat dinafikan lagi untuk menguraikan benang
kusut yang telah berlangsung sekian lamanya, malahan tidak aka nada modus
vivendinya sampai dunia kiamat.
Berdasarkan uraian konseptual di atas, maka permasalahan utama dalam
makalah “Bagaimana eksistensi manusia menurut Al-quran dan ilmu pengetahuan”.

B. Pembahasan
1. Hakekat Manusia dan Misterinya
Pada abad XIX dunia ilmu pengetahuan dan institusi gereja dikejutkan
dengan sebuah penelitian dan penemuan yang dilakukan oleh Robert Charles
Darwin (1809-1882) yang dikenal dengan teori evolusi. Dalam karyanya yang
monumental “On the Origin Species”yang diterbitkan di Inggris pada tahun 1859
telah meraih sukses besar dan menyita perhatian hampir masyarakat ilmuwan dan
agamawan pada waktu itu. Robert Charles Darwin, berusaha mengetengahkan teori

12Muqowim dan Syarif Hidayat, “Harun Yahya: Kreasionisme Islam untuk Meruntuhkan Teori

Evolusi”, Jurnal Kaunia, Vol. I, No. 2, Oktober 2005., h. 98.


13Harun Yahya, Menyibak Tabir Evolusi, terj: Efendi dkk, (Cet. I; Jakarta, Global Cipta

Publishing, 2002), 10.

EduProf Volume 1 No. 01, Februari 2019


40

mengenai asal-usul spesies melalui sarana seleksi alam atau bertahannya ras-ras
yang beruntung dalam memperjuangkan dan mempertahankan kehidupannya.14
Lebih lanjut dikatakan bahwa manusia muncul dari proses kesempurnaan
yang terus bersinambung pada hewan-hewan yang lebih rendah darinya. Berbagai
spesies dari jenis tumbuh-tumbuhan dan binatang bermunculan diakibatkan adanya
proses evolusi yang terjadi secara alamiah karena faktor-faktor alam. Dan proses ini
banyak terjadi pada sebagian besar individu suatu spesies. Perubahan yang terjadi
pada individu-individu dari satu spesies itu diwarisi dari satu generasi ke generasi
lain. Dalam kondisi yang mengharuskan penyesuaian diri dengan lingkungan dalam
konteks perjuangan untuk mempertahankan hidup, kecenderungan alamiah dan
menciptakan kelanggengan yang lebih baik, mendorong terciptanya kondisi yang
kondusif bagi munculnya spesies baru.15
Berdasarkan teori ini, dia berkeyakinan bahwa manusia sebagaimana seluruh
spesies hewan, juga berasal dari spesies-spesies terendah. Dalam kenyataannya
dewasa ini, manusia adalah spesies hewan yang terbaik ketimbang spesies-spesies
sebelumnya. Menurut Maurice Bucaille teori Darwin memuat dua aspek. Aspek
pertama bersifat ilmiah, meskipun data yang ditelaah Darwin kuantitasnya sangat
mengesankan, namun ketika segalanya diungkapkan dan dilaksanakan, ternyata
aspek ilmiahnya sangat rapuh. Sedangkan aspek kedua, yang bersifat filosofis,
diberikan tekanan sangat kuat oleh Darwin dan diungkapkan secara sangat jelas. 16
Secara filosofis, Darwin menyatakan sebagai berikut:
“Tapi aku mempercayai seleksi alam, bukan karena aku dapat membuktikan,
dalam setiap kasus, bahwa seleksi alam telah mengubah satu spesies menjadi
spesies lainnya, tetapi seleksi alam mengelompokkan dan menjelaskan dengan
baik (menurut pendapatku) banyak fakta mengenai klasifikasi, embriologi,
morfologi, organ-organ elementer, penggantian dan distribusi geologis.
Teori evolusi Robert Charles Darwin, mendapat sanggahan keras dari P. P.
Grase, seorang mantan ketua Masyarakat Studi-Studi Evolusioner di Sarbonne,
Perancis. Ungkapannya sebagaimana dikutip Maurice Bucaille:
Meskipun akan adanya evolusi bisa dipastikan benar, tapi terdapat kesenjangan
yang amat lebar dalam pengetahuan kita tentang cara-cara bekerjanya, dan tak
ada penjelasan yang sahih tentang faktor-faktor yang menentukannnya. Mutasi
acak yang terjadi di dalam gen-gen yang mengendalikan sifat-sifat turunan tidak
cukup untuk memainkan peran yang menentukan dalam evolusi itu sendiri.
Dalam hal manusia, suatu kenyataan bahwa perkembangan otak sejak
Australopithecus, sepanjang satu periode yang meliputi hampir delapan puluh
ribu generasi, tak terbayangkan di dalam peristilahan-peristilahan noe-
Darwinisme. Salah satu misteri besar evolusi manusia adalah hilangnya hampir

14Badan Litbang dan Diklat, Penciptaan Manusia: Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains,

(Cet, I; Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
RI, 2010), 8-9.
15Mahmoud Rajabi, Insan Syenasi, diterjemahkan oleh Yusuf Anas dengan judul “Horizon

Manusia” (Cet. I; Jakarta: Al-Huda, 2006), 93.


16Maurice Bucaille, What is The Origin of Man?: The Answer of Science and The Holy

Scripturer, diterjemahkan Rahmani Astuti dengan judul “Asal-Usul Manusia Menurut Bibel, Al-Quran
dan Sains”. (Cet. I; Bandung: Mizan, 1990), 46.

EduProf Volume 1 No. 01, Februari 2019


41

seluruh perilaku bawaan manusia yang masih tampak terdapat dan aktif di dalam
kera. Evolusi manusia tak dapat dibandingkan sama sekali dengan anggota-
anggota dunia hewan selebihnya.17
Sebagian ilmuwan lain, seperti Alfred Russel Wallace, menilai pendapat
Charles Darwin ini menyesatkan dan keliru, khususnya bila dikaitkan dengan
penciptaan manusia.18 Teori ini, sekalipun telah menjalani proses evolusi dalam
penerapannya serta ditelaah dari sudut pandang arkeologi dan genetika, mustahil
berubah menjadi teori yang absolut dan permanen. Beberapa ilmuwan juga telah
menjelaskan bahwa secara arkeologis, pencarian asal-usul keturunan manusia sama
sekali tidak jelas. Dalam hal ini terjadi perbedaan pandangan yang perdebatan yang
cukup menarik, khususnya yang berkenaan dengan contoh-contoh fosil yang
menyerupai sosok manusia dan hubungan satu sama lainnya yang dijadikan
sandaran para pendukung evolusi (Darwinisme).
Menurut keterangan Ian Barbour, mereka berpendapat bahwa satu generasi
sebelumnya seperti sebuah garis linear yang menghubungkan keturunan manusia
yang ada sekarang ini dengan monyet-monyet di zaman purbakala. Tetapi, hari ini
diketahui bahwa kemungkinan besar keserupaan manusia dengan monyet tidak
menunjukkan bahwa yang pertama berasal dari yang kedua. Dengan demikian,
berapa banyak komunitas manusia yang merupakan gambaran suatu generasi yang
terus menerus berada dalam kondisi primitif dan tidak berlanjut atau mengalami
perubahan.
Sementara itu secara genetik pun terjadi perbedaan pendapat dalam hal
pentingnya perubahan relatif dan peran yang mungkin dimilikinya. Sebagian
ilmuwan berkeyakinan bahwa meskipun mutasi-mutasi kecil sering terjadi, namun
mutasi-mutasi besar yang penting dalam pembuktian teori evolusi, sangat jarang
sekali dan tak diprediksikan sekalipun menggunakan teknik-teknik statistik. Lebih-
lebih, pelbagai penelitian dalam laboratorium mampu memastikan adanya
perubahan-perubahan dalam diri suatu spesies, namun tidak sanggup membuktikan
pembentukan spesies-spesies baru tersebut dikarenakan adanya perubahan-
perubahan secara bertahap, khususnya dalam kelompok yang besar. Pergantian dari
suatu entitas yang termutasikan menjadi sekelompok besar, tak akan luput dari
pertanyaan-pertanyaan dan kritikan-kritikan, dan sama sekali tidak ada bukti-bukti,

17Maurice Bucaille, What is The Origin of Man?: The Answer of Science and The Holy
Scripturer, diterjemahkan Rahmani Astuti dengan judul “Asal-Usul Manusia Menurut Bibel, Al-Quran
dan Sains”. (Cet. I; Bandung: Mizan, 1990),13
18Meskipun jawaban terhadap sejumlah kritik yang dialamatkan pada teori Darwin datang dari

para pembelanya, akan tetapi jawaba atas kritik tersebut belum memuaskan. Sebagai contoh, sebut saja
Voltair Valas yang berbeda dari Darwin. Dia yang merumuskan sistematika tema-tema “seleksi alam”
berkeyakinan bahwa jarak antara otak manusia dengan monyet melebihi apa yang dikatakan Darwin
dan komunitas orang-orang pedalaman tidak dapat menghilangkan jarak tersebut. Karena kekuatan otak
mereka berbanding dengan kemajuan otak individu manusia modern. Maka seleksi alam tidak akan
dapat mengalahkan otak manusia yang paling tinggi. Dia berkeyakinan bahwa kemampuan intelektuak
kaum pedalaman melebihi gaya hidup mereka yang sederhana. Dan pemenuhan segenap kebutuhan
sederhana itu, cukup dengan otak yang lebih kecil. Seleksi alam hendaknya mengakui sedikit melebihi
otak monyet. Sementara otak manusia seperti itu sedikit lebih kecil dari kaum filosof. Lihat, Mahmoud
Rajabi, Insan Syenasi, diterjemahkan oleh Yusuf Anas dengan judul “Horizon Manusia”, (Cet. I;
Jakarta: Al-Huda, 2006),94.

EduProf Volume 1 No. 01, Februari 2019


42

baik secara langsung atau tidak, yang menunjukkan terjadinya peristiwa-peristiwa


besar semacam itu.19
Masalah lainnya dari teori Darwin adalah pewarisan karakter. Pembuktian
atasnya sangat terkait dan bergantung pada pengumpulan data dan informasi suatu
pekerjaan yang dilakukan lembaga-lembaga penelitian di masa depan sekalipun
tetap tak mampu melakukannya. Atau dengan cara mengungkapkan penjelasan-
penjelasan yang dihasilkan dari data-data dan informasi-informasi yang ada
sekarang di mana kebanyakan pakar biologi menerimanya.
Dengan demikian, kesimpulan yang dihasilkan oleh teori Darwin dalam
hubungannya dengan manusia tanpa menyertakan keberatan-keberatan dan
bantahan-bantahan, dan kekuarangan-kekurangan yang terkait dengannya, tak lebih
dari sebuah spekulasi semata dan bersifat teoritis. Lebih dari itu, kalau pun teori ini
dianggap dapat diterima, tak ada satu dalil pun yang dapat membuktikan tentang tak
adanya kemungkinan perubahan pada fenomena alam dengan izin Tuhan yang
penuh dengan mukjizat seperti kemustahilan penciptaan Adam secara langsung dari
tanah. Selain itu, teori ini hanya membuktikan adanya kemungkinan penciptaan
manusia sesuai dengan pandangan Darwin, namun tidak dapat memastikan masalah
penciptaan keturunan manusia sekarang ini lewat proses tersebut. Betapa banyak
manusia yang lahir dari cara ini dan setelah itu ia mengalami kepunahan.
Jika sekiranya teori Darwin di atas benar adanya, maka tentu semua manusia
akan mengalami perubahan, karena seleksi alam tak pernah berhenti. Oleh karena itu
ada beberapa alasan, yang secara keilmuan memiliki kelemahan-kelemahan yang
nyata; antara lain:
1. Jumlah kromoson pada tubuh manusia adalah 46 sedangkan pada kera sebanyak
48.
2. Perbandingan berat otak dengan berat badan manusia adalah 1: 50, sedangkan
pada kera adalah 1: 225.
3. Manusia pada berbicara sedangkan kera tidak pandai berbicara.
4. Manusia pandai membuat segala sesuatu untuk kepentingan hidupnya bersifat
dinamis (berbudaya), sedangkan kera hidupnya bersifat statis.
5. Jenis bulu manusia mengandung belerang, sedangkan bulu kera mengandung
pigmen.
6. Manusia tidak berekor, sedangkan semuanya berekor.20
Prof. Carl Sagan dari Princeton University, dalam bukunya The Dragon of
Eden, memberikan gambaran bahwa manusia memang lebih unggul dibandingkan
dengan makhluk-makhluk lainnya. Salah satu bentuk keunggulannya adalah dalam
hal kepemilikan sistem penyimpanan informasi atau memori. Sistem penyimpanan
memoru pada manusia ada dua macam, yaitu (1) jaringan otak yang menyimpan
informasi apapun yang terekam olehnya. Otak manusia mempunyai kemampuan
untuk menyimpan informasi sebanyak 10 per 13 bits atau 10 per 7 gbits, dan (2)

19Mahmoud Rajabi, Insan Syenasi, diterjemahkan oleh Yusuf Anas dengan judul “Horizon

Manusia”, (Cet. I; Jakarta: Al-Huda, 2006), 94.


20Lalu Ibrahim M. Thayyib, Keajaiban Sains Islam: Mengungkap Kebenaran Islam Al-Qur’an

dengan Logika dan Ilmu Pengetahuan (Cet. I; Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2010), 39.

EduProf Volume 1 No. 01, Februari 2019


43

DNA-kromosonal21, yaitu molekul DNA yang ada di kromoson, yang menyimpan


informasi genetik manusia. Informasi bentuk kedua ini akan diturunkan kepada
keturunanannya. DNA kromosonal manusia mampu menyimpan memori sebanyak
2x10 per 10 bits atau sebanding dengan buku setebal 2.000.000 halaman, atau
sebandingkan 4.000 jilid buku yang masing-masing setebal 500 halaman.22
Jika ditelusuri ternyata teori Darwin bukan hanya bertentangan saja
bertentangan dengan ajaran Islam, malahan berselisih jauh juga dengan ajaran
Kristen, Yahudi dan lain-lain.
Dalam Injil Perjanjian Lama (The Old Testament) pada Kitab Kejadian Pasal
2 dan 3 menerangkan bahwa Tuhan membuat manusia dari debu, kemudian
ditempatkannya di taman Eden. Kemudian dalam Perjanjian Baru (The New
Testament) pada kitab Lukas pasal 3 ayat -23-38 menceritakan silsila Yesus sampai
Adam sebagai manusia pertama. Bukan keturunan kera sebagaimana dalam teori
Darwin.
Sementara itu dalam kitab agama Hindu, Weda Smerti atau Manawa Darma
Sastra diterangkan bahwa manusia pertama adalah Swayam Bhumanu (manusia
yang lahir atau jadi sendiri). Adapun tempat dan tahun jadinya itu tidak dijelaskan
secara pasti. Dialah yang menurunkan manusia-manusia yang lain di atas bumi.23
Setali tiga uang, Harun Yahya juga mengkritis teori evolusi. Menurutnya
gagasan penciptaan terpisah (kreasionisnae) merupakan gagasan yang umum
diyakini oleh sebagian besar manusia sejak berabad-abad yang lalu. Munculnya teori
evolusi atas prakarsa Darwin pada tahun 1859 adalah gagasan yang kontroversial
karena bettolak belakang dengan pandangan kreasionisme yang telah berumur
ribuan tahun. Kontroversi antara kresionisme dengan teori evolusi terus berlangsung
sampai sekarang. Gagasan kreasionisme Harun Yahya oleh sebagian masyarakat
dianggap mewakili kreasionisme Islam. Harun Yahya menganggap bahwa teori
evolusi merupakan sebuah gagasan kuno, yang menjelaskan tentang kehidupan
sebagai hasil peristiwa tak disengaja dan tanpa tujuan hanyalah sebuah mitos abad

21Setiap manusia normal mempunyai 46 kromoson yang terdiri 23 pasang. Pasangan


kromoson tersebut berasal dari ayah dan ibu. 22 dari pasangan kromoson itu membawa sifat-sifat
genetika yang secara turun temurun ditentukan oleh karakteristik genetika seseorang. Pasangan
kromoson yang berjumlah 23 itu disebut kromoson seks, yang membedakan laki-laki dengan
perempuan. Jika seseorang itu laki-laki maka kromoson diidentifikasi kromoson XY, dan jika ia
perempuan maka kromosonnya diidentifikasi XX. Jadi, proses untuk menjadi laki-laki atau perempun
sejak awal ditentukan oleh seorang ayah.21 Jika sel sperma yang menembus telur pada saat terjadi
konsepsi memuat kromoson Y, maka akan lahir seorang anak laki-laki, sebaliknya jika memuat
kromoson X, maka yang akan lahir adalah seorang anak perempuan. Kehadiran kromoson Y, di
samping menentukan seseorang menjadi laki-laki, juga membawa beberapa pengaruh. Ada sebuah jenis
protein yang diidentifikasi sebagai H-Y antigen, yang hanya terdapat dalam sel laki-laki dan tidak
ditemukan dalam sel perempuan. Protein H-Y antigen ini memegang peranan penting dalam
mengorganisir unsur-unsur kimia yang ada dalam tubuh. Lihat, Nasaruddin Umar, Argumen
Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran, (Cet. I; Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 2001), 39-40
22Badan Litbang dan Diklat, Penciptaan Manusia: Dalam Perspektif Al-Qur’an dan Sains,

(Cet, I; Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-Qur’an Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama
RI, 2010), 20.
23Lihat, Lalu Ibrahim M. Thayyib, Keajaiban Sains Islam: Mengungkap Kebenaran Islam Al-

Qur’an dengan Logika dan Ilmu Pengetahuan, (Cet. I; Yogyakarta: Pinus Book Publisher, 2010), 39-
40.

EduProf Volume 1 No. 01, Februari 2019


44

ke-19 (masa Darwin). Pada masa itu tingkat pemahaman ilmu pengetahuan tentang
alam dan kehidupannya masih terbelakang sehingga para evolusionis beranggapan
bahwa kehidupan sangatlah sederhana.24
Harun Yahya mengungkapkan bahwa teori evolusi merupakan sumber atau
landasan segala tindakan yang berhuburtgan dengan rasisme, materialisme,
komunistne, imperialisme dan sebagainya. Segala tindakan tersebut menurutnya
tidak lain adalah sebagai implikasi dari legalisasi teori evolusi (Darwinisme).25 Buku
Darwin yang berjudul The Origin of Spesies menurut Harun Yahya telah menjadi
pembenaran ilmiah bagi penindasan terhadap ras-ras tertentu. Istilah yang banyak
dijadikan acuan oleh Harun Yahya, antara lain istilah survival of the fittest, struggle
(seleksi alam).
Dalam The Origin of Species, Darwin tidak menggunakan istilah natural
selection dan struggle for existence dalam konteks filsafat maupun sebagai landasan
bagi kejahatan manusia. Kedua istilah tersebut digunakan Darwin untuk
menjelaskan mekanisme reproduksi, pola penyebaran makhluk hidup, adanya
persaingan yang universal, adanya faktor barrier dalam lingkungannya,
kompleksitas hubungan antar makhluk hidup serta perjuangan yang keras dan upaya
untuk mempertahankan keberadaan masing-masing individu dan varietas yang sama
maupun genus yang sama. Pertumbuhan makhluk hidup yang semakin bertambah
akan berakibat pada kecenderungan struggle for existence yang tak terhindarkan.
Adanya jumlah individu yang melebihi daya dukung lingkungan akan memacu
upaya struggle for existence dan perjuangan melawan kondisi kondisi fisik
kehidupan.26
Merujuk pada uraian di atas telah membuktikan bahwa teori evolusi memiliki
implikasi luas di luar kajian biologi evolusi. Filsafat materialism adalah teori evolusi
telah dipandang sebagai filsafat yang menyesatkan sebagian besar umat manusia.
Filsafat materialisme dari teori evolusi merupakan wujud pengingkaran atas
eksistensi Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Setelah mengkaji tentang konsep
asal-usul makhluk hidup menurut teori evolusi, Harun Yahya berupaya
meyakinkann kalangan ilmuwan maupun agamawan untuk lebih yakin pada konsep
penciptaan terpisah atau kreasionisme dengan menyatakan bahwa seluruh kehidupan
telah diciptakan oleh Allah dalam bentuknya masing-masing.
Perdebatan apakah manusia berasal dari spesies kera pada akhirnya tidak
terbukti kebenarannya. Akhirnya Al-quranlah yang mampu memberikan jawaban
atas pertanyaan dari mana manusia itu berasal? Dan bagaimana manusia diciptakan?
Telaah atas ayat-ayat Al-quran yang membicarakan tentang penciptaan
manusia, menyuguhkan kesimpulan bahwa generasi manusia yang ada sekarang ini
berasal dari satu sosok bernama Adam. Penciptaan Adam sendiri merupakan sebuah
pengecualian, dia berasal dari tanah. Di antara ayat-ayat Al-quran yang
mengemukakan persoalan penciptaan manusia di muka bumi , yang secara jelas

24Harun Yahya, Menyibak Tabir Evolusi, terj: Efendi dkk, (Cet. I; Jakarta, Global Cipta

Publishing, 2002), 10.


25Muqowim dan Syarif Hidayat, “Harun Yahya: Kreasionisme Islam untuk Meruntuhkan Teori

Evolusi”, Jurnal Kaunia, Vol. I, No. 2, Oktober 2005., h. 103.


26Robert Charles Darwin, The Origin of Spesies, Terjemahan: Tim Pusat Penerjemah

Universitas Nasional, (Cet. I; Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2000), 51-54.

EduProf Volume 1 No. 01, Februari 2019


45

menunjukkan bahwa generasi sekarang ini berujung pangkal pada Adam dan istrinya
Hawa. Hal ini terdapat dalam QS. 4: 1:
”Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah menciptakan
kamu dari diri yang satu dan daripadanya Dia menciptakan istrinya, dan dari
keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”
Hal ini juga dijelaskan pada QS. 7: 189, 6: 98, QS. 30: 6 dan QS. 41: 7-8.
Pada ayat-ayat ini pun dijelaskan bahwa manusia awal yang diciptakan berasal dari
tanah, sementara generasi manusia selanjutnya diciptakan dari saripati air yang hina
(air mani).
Al-quran telah menegaskan dengan memberi jawaban bahwa manusia bukan
keturunan kera melainkan keturunan manusia pertama (Adam) yang diciptakan oleh
Allah dari tanah. Menurut penelitian Dr. Nasaruddin Umar, ternyata Al-quran
menggunakan 12 term yang menjelaskan substansi kejadian manusia, yaitu: al-mau
(air/water), al-ardh (tanah, bumi/earth), at-turab (tanah gemuk/sol), at-thin (tanah
lempung/clay), thiin laazib (tanah lempung yang pekat/sticky clay), shalsaal kal
fakhkhar (tanah lempung seperti tembikar/ sounding clay like unto pottery), shalsaal
min hamaain masnuun (tanah lempung dari lumpur yang dicetak/sounding clay from
mud moulded into shape), nafsi waahidah (diri yang satu/single person), sulaalatin
min thiin (saripati lempung/quintessence of clay), maniyyin yumna (mani yang
ditumpahkan/sperm emitted), nuthfatin amsyaaj (cairan mani yang bercampur/ a
drop of mingled sperm), dan maain mahiin (cairan yang hina/despised fluid).27
Untuk mengkaji konsep Islam tentang manusia, adalah menarik sekali
melakukan kajian semantik filologis terhadap terminologi yang digunakan Al-quran.
Dalam Al-quran, ada tida istilah kunci (key terms) yakni bashar, insan dan al-nas
yang mengacu pada makna pokok (basic meaning) dan makna nasabi (relational
meaning).
Istilah al-basyar yang disebut sebanyak, 35 kali yang tersebar dalam 26 surah.
Secara etimologi kata al-basyar berarti kulit kepala, awajah atau tubuh yang menjadi
tempat tumbuhnya rambut. Penamaaan ini menunjukkan makna bahwa secara
biologis yang mendominasi manusia adalah pada kulitnya, dibandingkan dengan
rambut atau bulunya.28Pada aspek ini terlihat perbedaan umum biologis manusia
dengan hewan yang lebih didominasi oleh bulu atau rambut.Kata al-basyar juga
dapat diartikan mulamasah yaitu persentuhan kulit antara laki-laki dengan
perempuan.
Berdasarkan makna etimologis dapat dipahami bahwa manusia al-basyar
merupakan makhluk yang memiliki sifat-sifat kemanusian dan keterbatasan, seperti
makan, minum, seks, keamanan, kebahagian dan lain sebagainya. Penggunaan kata
al-basyar ditujukan Allah SWT kepada seluruh manusia tanpa pengeculian.
Demikian pula halnya dengan para rasul-rasul-Nya. Hanya saja kepada mereka
diberikan wahyu, sedangkan kepada manusia umumnya, tidak diberikan wahyu (QS.
18: 110 dan QS. 3: 47). Menurut Aisyah Abdurrahman (Bintusy Syathi’)
adakalanya ayat-ayat yang kemanusian para rasul tidak dinyatakan secara jelas
27Nasaruddin Umar, Argumen Kesetaraan Jender Perspektif Al-Quran, (Cet. I; Jakarta:

Yayasan Wakaf Paramadina, 2001), 221-222.


28Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis, (Cet. I;

Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 2.

EduProf Volume 1 No. 01, Februari 2019


46

dengan teks yang menyatakan kesamaan sisi manusiawi para rasul itu dengan
seluruh manusia. Namun konteksnyalah yang menunjukkan kesamaan
kemanusiawian tersebut.29
Dengan pemaknaan konsep al-basyar yang diperkuat kedua ayat di atas,
dapatlah dipahami bahwa seluruh manusia akan mengalami reproduksi seksual dan
senantiasa berupaya untuk memenuhi semua kebutuhan biologisnya, memerlukan
ruang dan waktu, serta tunduk terhadap hukum alamiahnya, baik yang berupa
sunnatullah (sosial kemasyarakatan), maupun takdir Allah SWT (hukum alam).
Kesemuanya merupakan konsekwensi logis dari proses pemenuhan kebutuhan
tersebut. Untuk itu Allah SWT memberikan kebebasan dan kekuatan kepada
manusia dengan batas kebebasan dan potensi yang dimilikinya untuk mengeloladan
memanfaatkan alam semesta, sebagai salah tugas kekhalifahan di atas bumi.
Sedangkan kata insan disebut sebanyak 73 kali dalam Al-quran dan tersebar
dalam 43 surah. Secara etimologis, kata al-insan dapat diartikan harmonis, lemah
lembut, tampak atau pelupa.30Kata al-insan digunakan dalam Al-quran untuk
menunjukkan totalitas manusia sebagai makhluk jasmani dan rohani. Harmonisasi
kedua aspek tersebut, dengan berbagai potensi yang dimilikinya, mengantarkan
manusia sebagai makhluk Allah SWT yang unik dan istimewa, sempurna dan
memiliki diferensiasi individual antara satu sama lain, dan sebagai makhluk
dinamis, sehingga mampu menyandang khalifah di atas bumi.
Simultan dengan pernyataan di atas, kata al-insan dalam Al-quran sangat
retorik dan pesona sehingga Aisyah Abdurrahman mengatakan al-insan mempunya
nilai kemanusian, yang tidak hanya terbatas pada kenyataan spesifiknya untuk
menjadi manusia. Tetapi lebih dari itu, ia akan sampai pada tingkat yang
membuatnya pantas menjadi khalifah di bumi, menerima beban taklif dan amanat
kemanusian. Karena hanya dialah dibekali dengan ilmu, al-bayan, al-aql dan al-
tamyiz. Sekaligus dengan konsekwensi harus berhadapan dengan ujian kebaikan dan
kejahatan. Juga optimisme untuk mencapai tingkat perkembangan yang paling tinggi
di antara spesies-spesies lainnya di alam semesta.31
Ali Shariati menjelaskan hakekat manusia sebagai al-insan sebagai tipe yang
memiliki karakteristik khusus yang berlainan antara satu dengan orang lainnya
sesuai dengan tingkatan realitas atau esensinya. Jadi, bila kita menyebut insan kita
tidak memaksudkannya sebagai penduduk dunia pada umumnya yakni tiga milyar
makhluk berkaki dua yang sekarang hidup di muka bumi. Jadi tidak semua makhluk
adalah insan, namun mereka mempunyai potensialitas untuk mencapai tingkatan
yang lebih tinggi dari kemanusian ini. Walaupun demikian setiap manusia dalam
kehidupannya dalam batas-batas tertentu. Individu-individu tertentu dapat bergerak
ke arah taraf-taraf yang lebih tinggi dalam proses menjadi insan. Bagaimanapun,

29Aisyah Abdurrahman (Bintusy Syathi’), Maqal fi al-Insan, diterjemahkan oleh M. Adib al

Arif dengan judul “Manusia: Sensitivitas Hermeneutika Al-Qur’an”, (Cet. I; Yogyakarta: LKPSM,
1997), 14
30Lihar, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis

(Cet. I; Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 5


31Lihat, Aisyah Abdurrahman (Bintusy Syathi’), Maqal fi al-Insan, diterjemahkan oleh M.

Adib al Arif dengan judul “Manusia: Sensitivitas Hermeneutika Al-Qur’an”, (Cet. I; Yogyakarta:
LKPSM, 1997), 14-15.

EduProf Volume 1 No. 01, Februari 2019


47

kemanusian dapat dipandang sebagai terus menuju ke arah realitas


kesempurnaannya.32
Lebih lanjut dikatakan al-insan adalah makhluk yang menjadi (becoming)
yang terus bergerak maju ke arah kesempurnaan. Insan berbeda dengan basyar dan
fenomena lainnya karena ia seorang makhluk yang “menjadi”, yang berarti hanya
manusia saja yang dapat “menjadi” (maju) dan bukan fenomena lainnya di dalam
alam. Akan tetapi manusia di dalam esensinya, sebagai suatu kebenaran yang
tertinggi, terdiri dari kualitas-kualitas ideal dan luhur yang kita harus untuk
mencapainya. Kualitas-kualitas itu sayangnya, bagaimana juga tidak terdapat di
dalam keadaan kita sebagai basyar, namun kita dapat menciptakannya di dalam diri
kita secara bersamaan dengan kemauan kita untuk bergerak ke arah taraf “menjadi”
atau menyempurnakan. Dengan demikian, menjadi (becoming) berarti bergerak,
maju, mencari kesempurnaan, merindukan keabadian, tidak pernah menghambat dan
menghentikan proses terus menerus ke arah kesempurnaan. Ini menjadi asas
melajunya kemanusian, yakni senantiasa dan proses mengalir.
Manusia dalam keadaannya menjadi atau manusia yang berusaha, seyogianya
ia memiliki tiga sifat yang saling berkaitan, yakni kesadaran diri, kemauan bebas,
dan kreatifitas. Bila ia memiliki sifat-sifat lainnya, maka sifat-sifat lain tersebut
hanya menjadi derivasi atau sifat yang diturunkan dari tiga kualitas pokok di atas.
Kesadaran diri menuntun manusia untuk memilih. Kemampuannya untuk memilih
menolongnya untuk mencipta, yakni mencipta sesuatu yang bukan alam. Ketiga
prinsip ini saling saling melengkapi dan saling memerlukan dalam suatu cara yang
terpadu.
Manusia adalah satu-satunya makhluk di dalam alam yang telah meraih
kesadaran. Kesadaran itu adalah pengalamannya tentang kualitas dan esensi dirinya,
dunia dan hubungan antara dirinya dengan dunia dan alam. Makin mendalam
kesadarannya terhadap ketiga unsur di atas, maka makin cepat manusia bergerak ke
arah tahap-tahap yang lebih tinggi dalam proses kemajuannya. Kesadaran diri
dengan demikian adalah ciri pertama manusia yang memungkinkanny pergi
melampau instink hewaniahnya.33

32Ali Shariatu, Man and Islam, diterjemahkan oleh M. Amien Rais, dengan judul “Tugas

Cendikiawan Muslim”, Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 51
33Manusia yang telah mencapai tingkat kesadaran yang tertinggi menurut Murtadha Muthahari

adalah “Perfect Man” atau manusia sempurna. Manusia sempurna bermakna manusia teladan, unggul
dan luhur. Manusia sempurna adalah terintegrasinya kemampuan spiritual dan intelektualnya dalam
sebuah konsep yang utuh. Lihat, Murtadha Muthahhari, Perfect Man, diterjemahkan oleh M. Hashem
dengan judul “Manusia Sempurna: Pandangan Islam Tentang Hakikat Manusia, (Cet. II; Jakarta:
Lentera, 1994)., h. 1. Simultan dengan ini Mulla Sadra, mengatakan manusia sempurna adalah yang
adalah manusia yang memiliki tujuh karakteristik, 1) memiliki kekuasaan untuk menghasilkan sesuatu
di dunia eksternal, 2) memiliki aspek batin dan jiwa yang merupakan manifestasi keberadaan Tuhan
dalam dirinya, 3) adalah mereka yang telah mengenal Hakikat dalam sejumlah manefestasi-Nya yang
mereka sembah dan karena mengikuti pertimbangan dari manifestasi tersebut dan tidak adanya
manifestasi lain, ia menolak adanya kesempurnaan lain dari Hakikat Kebenaran, 4) seorang sufi yang
telah mencapai Hakikat dan fana pada-Nya, sementara ia mendapatkan hidup dari-Nya dan ia bukan
lagi obyek yang dapat berubah dan berganti-ganti, 5) pada akhir perjalanan pertama, manusia
sempurna tidak akan terhalang oleh rintangan apapun, bahkan oleh entitasnya sendiri, yang ada
mengantarai dirinya dan Hakikat Kebenaran, karena begitu ia menginginkan dan mencintai-Nya, 6)
manusia sejak awal geraknya menuju Hakikat sampai ia mencapai stasiun Manusia Sempurna, ia telah

EduProf Volume 1 No. 01, Februari 2019


48

Ciri manusia yang kedua adalah ia bebas untuk memilih. Ia adalah satu-
satunya makhluk di dalam alam yang dapat memilih dirinya sendiri dan apa yang ia
pilih dapat bertentangan dengan instinknya, dengan alam, masyarakat atau juga
bertentangan dengan dorongan-dorongan fisiologis dan psikologisnya. Kebebasan
memilih atau kemampuan iradahnya itulah yang dapat menolong manusia dalam
mencapai taraf tertinggi dari proses menjadi manusia, realitas kemanusiannya.
Kemampuan untuk memilih yang berlawanan sesungguhnya menjadi milik
Penciptanya, tetapi manusia dikarunia dengan hak istimewa yang unik ini. Ia dapat
juga melawan dorongan instinknya, betapa pun kuatnya dorongan tersebut.34
Di sisi yang lain manusia dapat melawan kecenderungan alamiahnya. Ia dapat
mengabaikan kebutuhan-kebutuhan dan kemauan fisiknya. Ia dapat membunuh
dirinya, mengorbankan hidupnya demi satu tujuan, dengan menggunakan
kemampuan iradahnya untuk menaklukan mekanisme biologisnya yang bersifat
defensif. Dengan tidak memilih kehidupan yang damai, kesenangan, kemakmuran
dan kemudahan, sebagai konsekwensinya manusia justru memilih kehidupan yang
penuh bahaya, atau kehidupan yang membangkang dan memberontak, atau
kehidupan disiplin baja dan menekan keinginan-keinginan tubuhnya. Ia bisa
menentang keharusan-keharusan alamiahnya dan masyarakatnya dan memilih
sesuatu yang tidak ditolerir oleh masyarakatnya.
Sedangkan ciri yang ketiga adalah daya ciptanya. Ia dapat menciptakan
barang-barang dalam berbagai bentuk dan ukuran yang berbeda. Kearitifitasnya
terwujud dalam eksistensi kekuatan kreatifnya di dalam alam, sebagai makhluk yang
unik, khas dan istimewa di alam semesta. Manusia lebih dari sekedar makhluk
pembuat alat, pencipta, dan pembuat barang-barang yang belum terdapat di dalam
alam. Sebabnya, mengapa ia membuat dan menyempurnakan seni, karena ia
mengetahui bahwa tidak semua keinginannya dapat dipuaskan dengan apa yang
telah pada alam. Sepanjang ia tetap pada eksistensinya tanpa bergerak maju maka
alam dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Akan tetapi ia membutuhkan lebih
dari apa yang disediakan oleh alam dan bergerak maju menuju kesempurnaan
eksistensinya.
Manusia bukan sekedar pembuat alat, tetapi juga seniman yang kreatif. Dan
daya ciptanya yang lebih tinggi itulah membuat manusia memiliki kelebihan yang
luar biasa jikan dibandingkan dengan makhluk-makhluk yang lain. Manusia sejati
atau manusia yang “menjadi” adalah manusia tiga dimensional, manusia dengan tiga

memiliki nur Ilahi dan manefestasi dari esensi, sifat-sifat, dan nama-nama Tuhan tersebut pada semua
level untuk mengembang amanah, dan ia terus mempertahankan amanah itu dan dengan menyelimuti
aktualitasnya, dan 7) ketika Manusia Sempurna adalah manusia yang mampu memutuskan seluruh
sifat-sifat keduniawiannya dan menghilangkan rasa cinta pada materi dan segala apa yang ada di
dalamnya dari kesucian hatinya, maka kesempurnaan eksistensialnya akan lebih tinggi dari seluruh
eksistensi yang ada sehingga ia dapat merefleksikan Tuhan dan sifat-sifatnya. Lihat, Seyyed Mohsen
Miri, The Perfect Man: Comparative Study in Indian and Iranian Philosophical Thought,
diterjemahkan oleh Zubair dengan judul “ Sang Manusia Sempurna” Antara Filsafat islam dan Hindu”,
(Cet. I; Jakarta: Teraju, 2004), 92-96.
34Lihat, Ali Shariati, Man and Islam, diterjemahkan oleh M. Amien Rais, dengan judul “Tugas

Cendikiawan Muslim”, Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001)., h.h. 58. Lihat juga
Murtadha Muthahhari, Perfect Man, diterjemahkan oleh M. Hashem dengan judul “Manusia Sempurna:
Pandangan Islam Tentang Hakikat Manusia, (Cet. II; Jakarta: Lentera, 1994), 11-12.

EduProf Volume 1 No. 01, Februari 2019


49

talenta utama: kesadaran, kemampuan iradah dan daya cipta. Semua ini adalah
termasuk sifat-sifat atau atribut-atibut Tuhan. Oleh karena itu manusia ikut
memiliki kualitas-kualitas tertentu tertentu dari Penciptanya. Berbeda dengan
makhluk yang lain, manusia mampu mengembangkan sifat-sifat yang dimiliki
Tuhan dan menjadi mikrokosmos-Nya di muka bumi. Dalam konteks inilah dimensi
insan sajalah yang dapat menyesuaikan dan memanefestasikan sifat-sifat Tuhan dan
menjadi khalifat di atas bumi. Manusia yang memiliki dimensi insan adalah
makhluk homosapeins yang mampu memilih, memberontak, menjadi sadar untuk
dirinya, dan pencipta. Sifat-sifat ini terdapat pada Tuhan adalah bentuk absolut. Bila
dekat dengan-Nya, manusia mengejawantahkan sifat-sifat di atas dalam bentuk yang
relatif dan mampu mengembangkan amanah kekhalifahan yang diembannya. Ini
semua dapat tercapai apabila manusia memiliki kemampuan ilmu pemgetahuan,
yang menjadi prasyarat untuk mengelola bumi dan segala isinya.35
Dengan kemampuan ilmu pengetahuan manusia akan dapat membentuk dan
mengembangkan diri dan komunitasnya sesuai dengan nilai-nilai insaniah yang
memiliki nuansa Ilahi yang hanif. Integralitas ini akan tergambar pada nilai iman
dan bentuk amaliahnya (QS. 5: 95-96). Dengan kemampuan ini, manusia akan
mampu mengembang amanah Allah SWT di muka bumi secara utuh. Namun
demikian, manusia sering lalai bahkan melupakan nilai insaniah yang dimilikinya
dengan berbuat berbagai mafsadat (kerusakan) di muka bumi.
Menurut Nur Ahmad Fadil Lubis, istilah al-insan digunakan dalam tiga
konteks. Pertama, insan dihubungkan dengan keistimewaan sebagai khalifah,
penerima amanah. Kedua, insan dihubungan dengan predisposisi negatif dalam
dirinya. Ketiga, insan dihubungkan dengan proses penciptaan manusia. Kecuali
kategori ketiga, semua konteks insan senantiasa merujuk pada sifat-sifat psikologis
dan spritual.36
Pada kategori pertama, keistimewaan manusia sebagai wujud yang berbeda
dari makhluk hewani. Menurut Al-quran, insan adalah makhluk yang diberi ilmu
(26: 4-5) dan diajarkan bahasa konseptual (55: 3). Insan diberikan kemampuan
untuk mengembangkan ilmu dengan daya nalarnya, dengan menalar perbuatannya
sendiri (79: 35), proses terbentuknya bahan makanan (80: 24-36) dan penciptaannya
(86: 5).
Dengan menggunakan istilah insan, Al-quran menjelaskan manusia adalah
makhluk yang mengembangkan amanah. Menurut Fazlur Rahman, amanah itu
adalah menemukan hukum alam, mengusainya atau dalam istilah Al-quran
mengetahui nama-nama semuanya, dan kemudian menggunakannya dengan inisiatif
moral insani untuk menciptakan tatanan dunia yang baik. Amanah inilah yang dalam
ayat-ayat yang lain disebut sebagai perjanjian atau komitmen yang digambarkan
secara metaforis dalam Al-quran (7: 172).37

35Lihat, Ali Shariati, Man and Islam, diterjemahkan oleh M. Amien Rais, dengan judul “Tugas

Cendikiawan Muslim”, Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), 60-61
36Nur Ahmad Fadil Lubis, “Mewujudkan Pribadi Muslim (Al-Insan al-Kamil): Sebuah Kajian

Epistimologis”, dalam Farid Nasution (ed), Aktualisasi Pemikiran Islam, (Medan: Widyasarana, 1993),
129.
37Fazlur Rahman, Tema-Tema Pokok Al-Qur’an, (Bandung: Pustaka, 1983), 28.

EduProf Volume 1 No. 01, Februari 2019


50

Berkaitan dengan amanah, insan juga dihubungkan dengan tanggungjawab. Ia


diwasiatkan untuk tetap berbuat baik dan seluruh amal perbuatannya akan dicatat
untuk diberi imbalan atau balasan. Karena itu, insanlah yang dimusuhi syetan (17:
53) dan yang ditentukan nasibnya di hari kiamat. Dalam menerapkan amanah ini,
insan sangat dipengaruhi lingkungannya. Bila ditimpa musibah, ia cendrung
menyembah Allah dengan khidmat, bila mendapat keberuntungan ia cenderung
sombong, takabur bahkan musyrik.
Pada kategori ketiga, Menurut Nur Ahmad Fadil Lubis, kata insan
dihubungkan dengan predisposisi negatif. Menurut Al-quran, manusia itu cendrung
zalim dan kikir (14: 34 & 22: 66), tergesa-gesa (17: 11 & 12: 37), bakhil (17: 100),
bodoh (33: 72), suka berbantah dan berdebat (18: 54 & 16: 4), resah, gelisah, sudah
dan menderita (84: 6 & 90: 4), tidak berterima kasih (100; 6) dan suka berbuat dosa
(96: 6 & 75: 5) serta meragukan hari kiamat (19: 66).
Sementara itu term an-nas dsebut sebanyak 240 kali. Penyebutan an-nas
mengacu kepada manusia sebagai makhluk sosial. Ada manusia yang bertakwa (2:
2, 4, 5), kafir (2: 6,7) dan munafik (2: 8-20). Di samping itu, Al-quran juga
mengidentifikasi manusia sebagai makhluk yang hanya memikirkan kehidupan
dunia (2: 200), berdebat tentang Allah tanpa ilmu, petunjuk (22: 3), memusuhi
kebenaran (2: 204) dan banyak tipe-tipe yang lain.38
Sedangkan hakekat manusia sebagai an-nas dinyatakan dalam Al-quran
sebanyak 240 kali dan tersebar dalam 53 surah. An-nas menunjukkan pada
eksistensi manusia sebagai makhluk sosial secara keseluruhan tanpa melihat status
keimanan atau kekafirannya.
Dalam menunjukknan makna manusia, kata al-nas lebih bersifat umum bila
dibandingkan dengan kata al-insan. Keumumannya dapat dilihat dari penekanan
makna yang dikandungnya. Kata al-nas menunjukkan manusia sebagai makhluk
sosial dan kebanyakan digambarkan sebagai kelompok manusia tertentu yang sering
melakukan kerusakan dan merupakan penghuni neraka di samping iblis. Hal ini
dijelaskan dalam QS. 2: 24 dan QS. 10:11.
Kata al-nas dinyatakan Allah SWT dalam Al-quran untuk menunjukkan
sebagian besar manusia tidak memiliki ketetapan iman yang kuat. Kadangkala ia
beriman, tetapi pada waktu yang lain ia munafik. Hal dinyatakan Allah SWT dalam
QS. 2: 8, 13, 44 dan 83. Adapun secara umum, penggunaan kata al-nas memiliki arti
peringatakan Allah SWT akan semua tindakannya, seperti jangan bersifat kikir dan
ingkar nikmat (QS. 4: 37), riya dan pamer diri (QS. 4: 38), tidak menyembah dan
meminta pertolongan kepada selain Allah (QS. 5: 44), larangan untuk berbuat
zalaim (QS. 7: 85), mengingatkan manusia adanya ancaman dari kaum Yahudi dan
musyrik (QS. 5: 82), semua amal manusia akan dibalas di hari akhirat, sebagai
konsekuensi dari perbuatannya di muka bumi (QS. 3: 9), manusia merupakan obyek
utama ajaran Islam (QS. 3: 4), kewajiban manusia menjaga keharmonisan sosial di
antara sesamanya (QS. 5: 32, 11: 85), menjadikan Ka’bah sebagai pusat peribadatan
umat manusia (5: 97), dan penjelasan Allah terhadap kebesaran-Nya melalui

38Lihat,Nur Ahmad Fadil Lubis, “Mewujudkan Pribadi Muslim (Al-Insan al-Kamil): Sebuah
Kajian Epistimologis”, dalam Farid Nasution (ed), Aktualisasi Pemikiran Islam, (Medan: Widyasarana,
1993), 134

EduProf Volume 1 No. 01, Februari 2019


51

fenomena alam semesta, agar manusia mengambil pelajaran dan menambah


keimanan kepada Khaliq-Nya (QS. 10: 2 dan QS. 11: 17).39
Di samping ketiga istilah al-basyar, al-insan, dan al-nas, Allah SWT juga
menjelaskan hakekat manusia dengan ungkapan bani Adam. Kata ini dijumpai
dalam Al-quran sebanyak 7 kali dan tersebar di 3 surah. Secara arti kata, bani Adam
menunjukkan pada keturunan Nabi Adam AS.
Menurut Allamah al-Thabathaba’i, penggunaan kata bani Adam menujukkan
pada arti manusia secara umum. Dalam hal ini, setidaknya ada tiga aspek yang
dikaji, yaitu: Pertama, anjuran untuk berbudaya sesuai dengan ketentuan Allah
SWT, di antaranya dengan berpakaian guna menutup auratnya.Kedua, mengingatkan
kepada semua keturunan Adam agar jangan terjerumus pada bujuk rayu syaitan yang
mengajak kepada keingkaran. Ketiga, memanfaatkan semua yang ada di alam
semesta dalam rangka beribadah dan mentauhidkan-Nya. Kesemuanya itu
merupakan anjuran sekaligus peringatan Allah SWT, dalam rangka memuliakan
keturunan Adam dibandingkan dengan makhluk-makhluk lainnya.
Bila pandangan mufassir yang beraliran Syi’ah ini, terlihat bahwa pemaknaan
kata bani Adam, lebih ditekankan pada aspek-aspek amaliah manusia, sekaligus
pemberi arah ke mana dan dalam bentuk apa aktivitas itu dilakukan. Pada dirinya
diberikan kebebasan untuk melakukan serangkaian kegiatan dalam kehidupannya
dengan memanfaatkan semua fasilitas yang ada di alam ini secara maksimal. Dalam
melakukan segala aktivitas ini, Allah SWT telah memberikan garis pembatas kepada
manusia pada dua alternatif, yaitu kemulian atau kesesatan (QS. 91: 8). Di sini
terlihat demi kasih dan demokratisnya Allah terhadap makhluk-Nya. Hukum
kausalitas ini memungkinkan Allah SWT untuk meminta pertanggungjawaban pada
manusia atas segala amal perbuatan yang pernah dilakukan di atas dunia.
Merujuk pada uraian di atas, ternyata Al-quran memandang manusia sebagai
makhluk biologis, psikologis, intelektual, spritual dan sosial. Manusia sebagai
basyar berkaitan dengan unsur fisik-material hingga pada keadaan ini manusia
secara alamiah tunduk pada takdir Allah. Meskipun dalam cakupan takdir Ilahi,
insan dan al-nas diberikan kekuatan untuk memilih, sesuai dengan kemampuan dan
kesempatan yang dianugerahkan Allah kepadanya.

2. Fungsi dan Peranan Manusia


Manusia mempunyai peran yang ideal yang harus dijalankan yakni
memakmurkan bumi, mendiami dan memelihara serta mengembangkannya demi
kemashlahatan hidup mereka sendiri, bukan mengadakan kerusakan dan eksploitasi
yang dapat merusak tata nilai lingkungan dan peradaban.
Merujuk pada ketentuan normatif pada QS. 2: 30-36 status dasar manusia
adalah khalifah. Jika khalifah diartikan sebagai makhluk pengembang amanah dan
ajaran Allah SWT, maka peran yang dilakukan adalah sebagai pelaku ajaran Allah
dan sekaligus menjadi pelopor dalam membumikan dan mengaktualkan ajaran Allah
SWT di atas bumi.

39Lihar, Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan Praktis,

(Cet. I; Jakarta: Ciputat Pers, 2002), 13-14.

EduProf Volume 1 No. 01, Februari 2019


52

Adapun fungsi dan peran yang diemban oleh manusia sebagai pewaris ajaran
Allah SWT adalah sebagai hamba Allah dan sekaligus sebagai khalifah di atas bumi.
1. Tanggung Jawab sebagai hamba Allah
Kata hamba berasal dari bahasa Arab abdun, yang menurut Abu al-Husain
Ahmad bin Faris Ibn Zakariyyah, mempunyai beberapa pengertian yaitu, 1)
mamluk (budak), 2) tumbuh-tumbuhan yang memiliki aroma yang harum, 3)
anak panah yang pendek dan lebar.40
Makna pertama menunjukkan kerendahan, yang kedua menunjukkan
kelemah-lembutan dan yang terakhir kekerasan dan kekasaran. Sementara itu
Ibnu Manzhur, mengartikan kata hamba antara lain, 1) memperbudak laki-laki
itu, 2) tunduk dan taat, 3) mempertuhankan, menyembah kepada Allah SWT.41
Makna memperbudak dapat dilihat pada QS. 26: 22, pengertian tunduk dan
taat dapat dilihat pada QS. 47: 21 dan makna mempertuhankan dan menyembah
Allah SWT dapat dilihat pada QS. 39: 17.
Berdasarkan beberapa pengertian abdun di atas, maka dapatlah dipahami
bahwa seseorang yang telah menjadi hamba, harus melaksanakan apa yang
diperintahkan oleh tuannya. Apabila seorang hamba Allah, maka ia harus
melaksanakan apa yang telah diperintahkan dan berusaha untuk menghindarkan
dirinya dari apa yang telah dilarang Allah SWT. Menurut Dr. Quraish Shihab,
pengabdian bukan sekedar ketaatan dan ketundukan, tetapi ia adalah suatu
bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai puncaknya akibat adanya rasa
keagungan dalam jiwa seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia mengabdi,
serta sebagai dampak dari keyakinan bahwa pengabdian itu tertuju kepada yang
memiliki kekuasaan yang tidak terjangkau arti hakikatnya.42
Dalam hubungan dengan Allah, manusia memiliki posisi sebagai ciptaan
dan Allah sebagai Pencipta. Posisi ini mempunyai konsekuensi adanya
keharusan manusia untuk taat dan patuh kepada Penciptanya. Hal ini sudah
termaktub dalam Al-quran tentang tujuan Allah menciptakan manusia, yakni
untuk menyembah kepada-Nya.Sikap berserah diri kepada Allah merupakan
sesuatu yang mutlak, tumbuh dalam jiwa seorang muslim sekaligus
mengandung beberapa konsekuensi dalam bentuk pengakuan tulus yaitu bahwa
Allah adalah wujud yang mutlak, yang menjadi sumber semua wujud yang lain.
Dengan demikian, semua wujud yang lain adalah nisbi belaka.
Pengingkaran manusia dalam penghambaan diri kepada Allah akan
mengakibatkan dia mempertuhankan dirinya, hawa nafsunya atau menghamba
kepada sesame makhluk ciptaan Allah. Menyembah, memahon perlindungan
ataupun perbuatan yang menyerupai Allah dengan makhluk-Nya disebut sebagai
perbuatan syirik. Orang yang berbuat syirik disebut musyrik. Perbuatan syirik
adalah dosa besar yang tidak diampuni oleh Allah.

40Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn Zakariyyah, Mu’jam Maqayis al-Lughat, (Beirut: Dar al-

Fikr, Juz IV, t. th), 205


41Abu al-Fadl Jamal al -Din Muhammad bin Mukram Ibn Manzur, Lisan al-‘Arab, (Beirut:

Dar Sadr-Dar Baerut, t. th), 258.


42M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran Wahyu

dalam Kehidupan Masyarakat, (Cet. XIII; Bandung: Mizan, 1996), 50.

EduProf Volume 1 No. 01, Februari 2019


53

2. Tanggung Jawab sebagai khalifah Allah


Manusia adalah khalifah Allah di bumi. Ia diberi kepercayaan untuk
mengelola bumi dan karenanya mesti mengetahui seluk beluk bumi, atau paling
tidak ia mempunyai potensi untuk mengetahuinya. Malaikat semula menyangkal
perlunya seorang khalifah di bumi karena sudah ada mereka sendiri yang selalu
bertasbih dengan memuji Allah dan mengkuduskan-Nya, sedangkan khalifah itu
mempunyai potensi untuk membuat kerusakan di bumi dan menumpahkan
darah. Potensi inilah yang diperhatikan malaikat, atau bahkan yang mereka
ketahui. Allah kemudian mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak diketahui
oleh para malaikat mengenai khalifah itu. Yang tidak diketahui itu adalah
kemampuan untuk menyebut nama-nama. Dengan kemampuan ini, berarti juga
kemampuan untuk berinisatif.
Kemudian Allah meminta kepada para malaikat untuk menyebut nama-
nama sebagai ikhtiar membuktikan kebenaran anggapan mereka. Para malaikat
menjawab, bahwa mereka hanya mengetahui hal-hal yang telah diajarkan oleh
Allah kepada mereka. Ini menunjukkan bahwa mereka tidak mempunyai potensi
kreatif yang dituntut jabatan khalifah. Mereka diciptakan dengan satu
kemungkinan saja, yakni kepatuhan mutlak kepada Allah.
Manusia dengan segala kekurangan dan kelebihannya adalah khalifah.
Secara etimologis, menurut Abu al- Husain Ahmad bin Faris Ibn Zakariyah, kata
khalifah bermakna mengganti, belakang, dan perubah man. Sementara itu43 T.
M. Hasbi Ash-Shiddieqy, sebagaimana yang dikutip oleh Dr. Machasin (1996:
10), mengartikan kata khalifah dengan tiga makna (1) pengganti bagi kaum yang
sudah ada, (2) kaum yang terus menerus berganti, dan (3) petugas yang
mentanfidzkan (melaksanakan) perintah44. Sinkron dengan pernyataan di atas,
Dr. Abd. Muin Salim (1994: 111-112), mengatakan kata kerja khalifah-yakhlufu
dipergunakan dalam arti ”mengganti” baik dalam konteks pergantian generasi
atau dalam pengertian penggantian kedudukan kepemipinan.45
Kata khalifah dalam bentuk tunggal terulang dua kali dalam Al-quran yaitu
dalam QS. 2: 30 dan QS. 28: 26. Dalam QS. 2: 30, kata khalifah menunjukkan
Adam dan keturunannya adalah pengganti makhluk lain di atas bumi untuk
memakmurkannya dan sebagai “wakil Tuhan” yang melaksanakan hukum-hukum-
Nya di bumi. Dalam konteks ini, kata khalifah mengandung beberapa arti, yaitu:
Pertama, bahwa penghuni bumi yang pertama adalah makhluk jin, kemudian
iblis. Karena kedua makhluk ini selalu berbuat kerusakan, menumpahkan darah dan
saling membunuh, maka Allah SWT menciptakan Adam dan keturunannya sebagai
pengganti jin dan iblis untuk meemakmurkan bumi. Kedua, bermaksud
menggantikan sebagian yang lain, yaitu anak-anak menggantikan ayah mereka,
setiap generasi makhluk akan menggantikan generasi makhluk sebelumnya.Ketiga,

43Lihat, Lihat, Nur Ahmad Fadil Lubis, “Mewujudkan Pribadi Muslim (Al-Insan al-Kamil):

Sebuah Kajian Epistimologis”, dalam Farid Nasution (ed), Aktualisasi Pemikiran Islam, (Medan:
Widyasarana, 1993), 120.
44Machasin, Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia: Telaah Kritis Terhadap Konsepsi Al-

Qur’an, (Cet. I; Pustaka Pelajar, 1996), 10.


45Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, (Cet. I; Jakarta: PT. Raja

Grafindo Persada, 1994), 111-112.

EduProf Volume 1 No. 01, Februari 2019


54

Allah SWT menjadikan di antara bagi-Nya di bumi melaksanakan aturan-aturan-


Nya di antara makhluk-Nya. Keempat, Allah SWT menjadikan khalifah-Nya di
bumi untuk menggantikan-Nya dalam melaksanakan hukum di kalangan makhluk-
Nya. Waki yang dimaksud adalah Adam dan keturunannya yang taat kepada Allah
SWT agar menetapkan hukum dengan adil.46
Kewajiban untuk memakmurkan, mengelola bumi merupakan sebuah
tanggung jawab yang tidak boleh diabaikan. Karena mengabaikan tanggung jawab
pengelolaan bumi merupakan sebuah bentuk pengingkaran konsep amanah yang
telah diembankan kepada manusia.
Sebagaimana telah dinyatakan secara jelas dalam QS. 33: 72, kata amanah
mengandung makna ketaatan dan kepatuhan kepada Allah, baik yang bersifat
alamiah, tanpa pilihan, maupun ikhtiariah yang di dalamnya ada pilihan untuk
berbuat sebaliknya. Maksud ditawarkan amanah dalam QS. 33: 72 adalah bahwa
pribadi yang mempunyai kebebasan diminta untuk melakukannya, sementara dari
benda-benda atau makhluk yang lain tidak mempunyai kebebasan dan hanya
dikehendaki ketaatan mutlak. Jadi, benda-benda yang kelihatan kuat itu tidak mau
atau tidak dapat mengkhianati kehendak Allah yang berlaku atas mereka, yakni
ketaatan kepada-Nya secara alamiah, sedangkan manusia mempunyai kemampuan
untuk memenuhi atau tidak memenuhi perintah ketaatan itu.
Sementara Al-Baidawi sebagaimana yang dikutip Machasin menafsirkan kata
amanah dengan akal dan taklif, yakni pembebanan kewajiban-kewajiban
keagamaan. Penawaran amanah dengan pengertian ini kepada benda-benda itu
berarti dilihatnya itu dari segi kesiapan bawaan untuk menerima akal dan taklif.
Manusialah yang mempunyai kesiapan untuk itu. Akan tetapi, selain kemampuan
itu, tersimpan dalam dirinya daya amarah dan syahwat yang sering kali
menguasainya, sehingga ia disebut dengan zaluman jahulan.47
Analisis kontekstual di atas menghasilkan sebuah asumsi bahwa amanah
dipahami sebagai sebuah kepercayaan dalam arti titipan atau limpahan wewenang
yang diberikan kepada seseorang dengan harapan bahwa ia akan menjalankannya
dengan sebaik-baiknya.
Merujuk pada hakekat khalifah dan konsep amanah yang dibebankan kepada
manusia, melahirkan sebuah paradigm bahwa konsekuensi kekhalifahan manusia di
muka bumi adalah membangun, mengolah dan memakmurkan bumi ini dengan
sebaik-baiknya. Dengan demikian, kehidupan seorang manusia akan dipenuhi
dengan amaliah dan kerja keras yang tiada henti. Kerja keras bagi seorang manusia
adalah satu bentuk ibadah kepada Allah.
Manusia yang dianggap sebagai khalifah tidak akan menjunjung tinggi
tanggung jawab kekhalifahannya tanpa dilengkapi dengan potensi-potensi yang
memungkinkannya mampu melaksanakan tugasnya. Dalam perspektif ini, Dr. M.

46Abu Ja’far bin Muhammad bin Jarir al-Thabari, Jami’ al-Bayan an-Ta’wil Ayi al-Qur’an,

Vol. I. Ju. I (Beirut: Dar al-Fikr, 1984), 199-200. Lihat juga Abdiurrahman Saleh Abdullah,
Educational Theory: a Qur’anic Outlook, diterjemahkan oleh H. M. Arifin dan Zainuddin dengan
judul “Teori-Teori Pendidian Berdasarkan Al-Qur’an”, (Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 48.
47Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia: Telaah Kritis Terhadap Konsepsi Al-Qur’an,

(Cet. I; Pustaka Pelajar, 1996), 19

EduProf Volume 1 No. 01, Februari 2019


55

Quraish Shihab (1992: 300-301), mengemukakan beberapa potensi yang dimiliki


manusia dalam kapasitasnya sebagai seorang khalifah,48 yaitu:
a. Kemampuan untuk mengetahui sifat, fungsi, dan kegunaan segala macam benda.
Melalui potensi ini manusia dapat menemukan hokum-huku dasar alam semesta,
menyusun konsep, mencipta, mengembangkan dan mengemukakan gagasan
untuk melaksanakannya serta memiliki pandangan menyeluruh terhadapnya.
b. Pengalaman selama berada di surga, baik manis seperti kedamaian dan
kesejahteraan, maupun yang pahit seperti keluarnya Adam dan Hawa dari surge
akibat terbujuk oleh rayuan syaitan. Pengalaman ini amat berharga dalam
menghadapi rayuan syaitan di dunia, sekaligus peringatan bahwa jangankan
yang belum masuk surge, yang sudah masuk surge pun, bila mengikuti rayuan
syaitan akan diusir dari surga.
c. Tuhan telah menaklukan dan memudahkan alam semesta ini untuk diolah oleh
manusia. Penaklukan yang tidak mungkin dilakukan manusia sendiri. Perlu
digarisbawahi bahwa kemudahan dan penaklukan tersebut bersumber dari Allah.
Dengan demikian, manusia dan seluruh isi alam semesta itu mempunyai
kedudukan yang sama dari sisi ketundukan (penghambaan diri) kepada Allah.
d. Tuhan memberikan petunjuk kepada manusia selama berada di bumi.
Berdasarkan uraian-uraian yang ada dapat disimpulkan bahwa kata khalifah
dan berbagai derivasinya yang digunakan Al-quran mengandung beberapa
pengertian, yaitu:
Pertama, manusia dijadikan Allah SWT sebagai pengganti makhluk
terdahulu yakni jin dan iblis yang selalu berbuat kerusakan, untuk melaksanakan
hukum-hukum Allah SWT dan memakmurkan bumi. Kedua, umat manusia
seluruhnya dijadikan Allah SWT sebagai penguasa dan kepada mereka diberikan
kemampuan untuk mengelolanya dan melaksanakan hukum menurut batas-batas
yang ditelah ditetapkan-Nya. Ketiga, orang yang memiliki kekuasaan sebagai
anugerah dari Allah SWT untuk memobilisasi sumber daya alam. Keempat, Allah
SWT menjadikan manusia dari satu generasi umat ke generasi umat yang lain secara
bergantian untuk menguji siapa di antara umat-umat itu yang paling baik karya dan
amal perbuatannya. Kelima, orang-orang mukmin akan dikarunia berupa kekuasaan
oleh Allah SWT bila benar-benar taat dan banyak berbuat amal saleh.49
Sehubungan analisis makna khalifah di atas, Muhammad Baqir al-Shadr,
mengemukakan hakekat kekhalifahan mempunyai empat unsur, yaitu, Pertama,
manusia, dalam hal ini dinamai khalifah, kedua, alam raya yang ditunjuk dalam QS.
2: 30 sebagai ardh, ketiga, hubungan antara manusia dengan alam dan segala isinya,
termasuk manusia, dan keempat, yaitu adanya penugasan dari Allah SWT. Dialah
yang memberikan penugasan itu, dengan demikian yang ditegaskan harus
memperhatikan kehendak yang dikuasai.50
Klasifikasi keempat unsur kekhalifahan versi Muhammad Baqir al-Shadr di
atas, melahirkan sebuah pertanyaan, siapakah khalifah itu? Apakah khalifah itu lebih

48 M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, 300-301.


49Umar Sulaiman, “Membangun Model Kepemimpinan Pendidikan Islam Melalui Konsep
Kekhalifahan”, Tesis, (Makassar: PPs Universitas Muslim Indonesia, 2002), 70-71.
50Lihat, M. Quraish Shihab, M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran: Fungsi dan Peran

Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, (Cet. XIII; Bandung: Mizan, 1996), 150.

EduProf Volume 1 No. 01, Februari 2019


56

dari satu di atas bumi? Menurut Abdurrahman Saleh Abdullah, untuk menjawab
pertanyaan ini, terdapat dua penafsiran yang berbeda-beda. Pertama, mereka
membatasi diri kepada gelar khalifah yang diberikan kepada Adam. Pemegang
pendirian ini mengakui bahwa Al-quran sungguh-sungguh telah menjelaskan
malaikat yang harus sujud menghrmati Adam dan bukan person lain selain Adam.
Kedua, penafsiran kedua dengan para pendukungnya, tidak mengingkari Adam yang
telah diberi gelar khalifah atau wakil Allah SWT di bumi, akan tetapi mereka keluar
lebih jauh melampaui pikiran mereka. Mereka mengakui, bahwa manusia
sebagaimana kejadiannya telah terwakili dalam peristiwa Adam yang telah diberikan
keistimewaan oleh Allah SWT di hadapan para malaikat. Gelar keistimewaan ini
kemudian tidak hanya diberikan kepada Adam, namun yang lain juga bisa
diberikangelar atau kehormatan atau keistimewaan asal saja memenuhi persyaratan
yang diperlukan.51
Kelihatannya makna kekhalifahan yang dikemukakan Abdurrahman Saleh
Abdullah, lebih menekankan pada aspek-aspek normatif murni, sehingga terindikasi
kepada terminologi khalifah yang bersifat umum. 52 Dalam perspektif ini penulis
mengemukakan beberapa pendapat tentang khalifah, di antaranya Salman Al-Farisi
dan Muawiyah, yang mengatakan khalifah adalah kepala pemerintahan umat Islam.
Pendapat ini dikemukakan pula Ibn Katsir dan Al-Qurthubi. Sedangkan pendapat
lainnya dikemukakann oleh Al-Wahidi dan Al-Syaukani. Keduanya membatasi
istilah tersebut kepada kepemimpinan Nabi Muhammad SAW secara bergantian
menegakkan hukum-hukum Allah SWT. Pendapat ketiga dikemukakan, misalnya
Fairuzabadi, Al-Zamakhsyari dan Al-Nawawi. Mereka melihat kedudukan khalifah
mencakup kedudukan raja-raja dan nabi-nabi sebagai pemerintah.53
Sementara itu Muhammad Al-Khudari Bek, mengatakan khalifah adalah
pemimpin yang menggantikan Nabi Muhammad SAW dalam tanggungjawab umum
terhadap pengikut agama ini untuk membuat manusia tetap mengikuti undang-
undang-Nya yang mempersamakan orang lemah, orang kuat, orang mulia dan orang
hina di depan kebenaran sebagai khalifah rasul dalam memelihara agama dan
mengatur dunia. Abul A’la Al-Maududi juga mengatakan khalifah adalah pemimpin
tertinggi dalam urusan agama dan dunia sebagai pengganti rasul.54

51Abdiurrahman Saleh Abdullah, Educational Theory: a Qur’anic Outlook, diterjemahkan

oleh H. M. Arifin dan Zainuddin dengan judul “Teori-Teori Pendidian Berdasarkan Al-Qur’an”, (Cet.
I; Jakarta: Rineka Cipta, 1990), 50-51
52Pendapat Abdurrahman Saleh Abdullah, tentang makna khalifah yang sarat dengan nilai-nilai

normatif, sejalan dengan pendapat Ibn Al-Arabi’ yang mengatakan bahwa khalifah bukan semata
jabatan dalam pemerintahan yang secara lahir merupakan tugas memimpin/mengendalikan
pemerintahan dalam suatu wilayah/ negara, tetapi lebih ditekankan pada pengertian khalifah yang
kedudukannya sebagai wakil Allah SWT atau lebih spesifik lagi sebagai manefestasi nama-nama dan
sifat-sifat Allah SWT hingga kenyataan adanya Allah SWT terlihat padanya. Lihat, Yunasril Ali,
Manusia Citra Ilahi, (Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1997), 80-81.
53Lihat, Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-Qur’an, (Cet. I; Jakarta: PT.

Raja Grafindo Persada, 1994), 115-116


54J. Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah: Ajaran, Sejarah, dan Pemikiran, (Cet. I; Jakarta: Raja

Grafindo Persada, 1994), 49

EduProf Volume 1 No. 01, Februari 2019


57

Dengan demikian, dapat dikatakan khalifah adalah pengganti yang akhirnya


berkembang menjadi gelar yang diberi label agama. Lebih khusus lagi, ia berarti
sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW dan urusan agama dan politik.

C. Kesimpulan
Setelah menguraikan secara detail makalah ini, maka pada bagian akhir
penulis menarik beberapa implikasi penelitian, antara lain:
1. Perdebatan tentang hakekat kejadian manusia, telah melahirkan dua pandangan
besar, yakni pandangan dari ilmu pengetahuan dan menurut Al-quran.
Pandangan ilmu pengetahuan diwakili Robert Charles Darwin, melalui teori
evolusinya. Teori evolusi menyatakan bahwa makhluk hidup termasuk rnanusia,
muncul melalui proses seleksi alam (natural selection} yang gradual^ sehingga
bagi sementara pihak, peran Tuhan sebagai pencipta akan terusik. Pernyataan
teori evolusi tersebut tentang keberadaan makhluk hidup secara kebetulan (by
chance) dan tidak memiliki tujuan (non purposive} membuat signifikansi Tuhan
bagi kehidupan meluntur. Makhluk hidup tidak akan lagi butuh penyelamatan
dari Tuhan karena itu agama tidak lagi dibutuhkan.
2. Menurut Al-quran, generasi manusia yang ada sekarang ini berasal dari satu
sosok bernama Adam. Penciptaan Adam sendiri merupakan sebuah
pengecualian, dia berasal dari tanah. Hal dijelaskan pada QS. 7: 189, 6: 98, QS.
30: 6 dan QS. 41: 7-8. Informasi yang terkandung beberapa ayat Al-quran
menegaskan bahwa manusia awal yang diciptakan berasal dari tanah, sementara
generasi manusia selanjutnya diciptakan dari saripati air yang hina (air mani).
Komposisi penciptaan manusia ini juga dibekali dengan peniupan ruh Allah
SWT , yang menjadi titik perbedaan dibandingkan dengan makhluk-makhluk
ciptaan Allah SWT lainnya. Kesempurnaan dan keunggulan manusia inilah yang
akhirnya ia dingkat diangkat khalifah untuk memakmurkan bumi dan seluruh
isinya.

Daftar Pustaka

Abidin, Zainal, Filsafat Manusia: Memahami Manusia Melalui Filsafat, Cet. I;


Bandung: Remaja Rosdakarya, 2000.
Abdullah, Abdiurrahman Saleh, Educational Theory: a Qur’anic Outlook,
diterjemahkan oleh H. M. Arifin dan Zainuddin dengan judul “Teori-Teori
Pendidian Berdasarkan Al-quran”, Cet. I; Jakarta: Rineka Cipta, 1990.
Abdurrahman, Aisyah (Bintusy Syathi’), Maqal fi al-Insan, diterjemahkan oleh M.
Adib al Arif dengan judul “Manusia: Sensitivitas Hermeneutika Al-quran”,
Cet. I; Yogyakarta: LKPSM, 1997.
Adian, Donny Grahal, Muhammad Iqbal, Cet. I; Bandung: Teraju, 2003.
Ali, Yunasril, Manusia Citra Ilahi, Cet. I; Jakarta: Paramadina, 1997.
Badan Litbang dan Diklat, Penciptaan Manusia: Dalam Perspektif Al-quran dan
Sains, Cet, I; Jakarta: Lajnah Pentashihan Mushaf Al-quran Badan Litbang
dan Diklat Kementerian Agama RI, 2010.
Bucaille, Maurice, What is The Origin of Man?: The Answer of Science and The
Holy Scripturer, diterjemahkan Rahmani Astuti dengan judul “Asal-Usul

EduProf Volume 1 No. 01, Februari 2019


58

Manusia Menurut Bibel, Al-quran dan Sains”. Cet. I; Bandung: Mizan,


1990.
Borcehert, Donald M., ed. Encyclopedia in Philosophy, Vol 4, Second Edition
(Farmington Hills: Thomas Gale, 2006.
Grendler, Paul F.. “Humanism: Ancient Learning, Criticism, Schools and
Universities,” dalam Angelo Mazzocco, Interpretations of Renaissance
Humanism. Leiden; Boston: Brill, 2006.
Habermas, Jurgen, The Religion, San Fransisico: Ignatius Press, 2006.
Key, Alexander “The Applicability of the Term "Humanism" to Abū Ḥayyān al-
Tawḥīdī” Jurnal Studia Islamica, No. 100/101, Tahun 2005
Kraemer, Joel L, “Humanism in the Renaissance of Islam: A Preliminary Study,
Journal of the American Oriental Society, Vol. 104, No. 1, Tahun, 1984.
Lubis, Nur Ahmad Fadil, “Mewujudkan Pribadi Muslim (Al-Insan al-Kamil):
Sebuah Kajian Epistimologis”, dalam Farid Nasution (ed), Aktualisasi
Pemikiran Islam, Medan: Widyasarana, 1993.
Manzur, Abu al-Fadl Jamal al -Din Muhammad bin Mukram Ibn, Lisan al-‘Arab,
(Beirut: Dar Sadr-Dar Baerut, t. th.
Masduki, Humanisme Spiritual: Paradigma Pengembangan Masyarakat Islam
dalam Filsafat Sosial Hossein Nasr, Cet. I; Jakarta: Referensi, 2014.
Machasin, Menyelami Kebebasan Manusia: Telaah Kritis Terhadap Konsepsi Al-
quran, Cet. I; Pustaka Pelajar, 1996.
Madjid, Nurcholish, Islam Doktrin dan Peradaban: Sebuah Telaah tentang
Keimanan, Kemanusian dan Kemoderenan (Cet. I; Jakarta: Paramadina,
1992

Madjid, Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesian, Cet. XI; Bandung:


Mizan, 1998.
Miri, Seyyed Mohsen, The Perfect Man: Comparative Study in Indian and Iranian
Philosophical Thought, diterjemahkan oleh Zubair dengan judul “ Sang
Manusia Sempurna” Antara Filsafat islam dan Hindu”, Cet. I; Jakarta:
Teraju, 2004.
Muqowim dan Syarif Hidayat, “Harun Yahya: Kreasionisme Islam untuk
Meruntuhkan Teori Evolusi”, Jurnal Kaunia, Vol. I, No. 2, Oktober 2005.
Murata, Sachiko, The Tao of Islam: A Sourcebook on Gender Relationship in
Islamic Thought, diterjemahkan oleh Rahmani Astuti dan M. S. Nasrullah
dengan judul “Kitab Rujukan Tentang Relasi Gender dalam Kosomologi
dan Teologi Islam, Cet. I; Bandung: Mizan, 1996.
Muthahhari, Murtadha, Perfect Man, diterjemahkan oleh M. Hashem dengan judul
“Manusia Sempurna: Pandangan Islam Tentang Hakikat Manusia, Cet. II;
Jakarta: Lentera, 1994.
Morkuniene, Jurate, Sosial Philosophy: Paradigm of Contemporary Thingking:
Washington D. C. : The Council for Research in Values and Philosophy,
2004.
Nasution, Muhammad Yasir, Manusia Menurut Al-Ghazali, (Cet. I; Jakarta:
Rajawali Pers, 1988

EduProf Volume 1 No. 01, Februari 2019


59

Nizar, Samsul, Filsafat Pendidikan Islam: Pendekatan Historis, Teoritis dan


Praktis, (Cet. I; Jakarta: Ciputat Pers, 2002.
Norris, Pippa dan Ronald Inglehart, Sacred and Secular: Religion and Politics
Worldwide, New York: Cambridge University Press, 2004.
Rahman, Fazlur, Tema-Tema Pokok Al-quran, Bandung: Pustaka, 1983.
Rajabi, Mahmoud, Insan Syenasi, diterjemahkan oleh Yusuf Anas dengan judul
“Horizon Manusia”, Cet. I; Jakarta: Al-Huda, 2006.
Salim, Abd. Muin, Konsepsi Kekuasaan Politik dalam Al-quran, (Cet. I; Jakarta: PT.
Raja Grafindo Persada, 1994.
Sugiharto, Bambang, Humanisme dan Humaniora; Relevansinya Bagi Pendidikan,
(Cet. I; Yogyakarta: Jalasutra, 2008.
Sulaiman, Umar, “Membangun Model Kepemimpinan Pendidikan Islam Melalui
Konsep Kekhalifahan”, Tesis, Makassar: PPs Universitas Muslim
Indonesia, 2002.
Shariati, Ali, Man and Islam, diterjemahkan oleh M. Amien Rais, dengan judul
“Tugas Cendikiawan Muslim”, Cet. II; Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,
2001.
Shihab, M. Quraish, Membumikan Al-quran: Fungsi dan Peran Wahyu dalam
Kehidupan Masyarakat, Cet. XIII; Bandung: Mizan, 1996.
Syaukani, Lutfhi, “Membaca Kembali Humanisme Islam, Kuliah Umum di
Komunitas Salihara, Sabtu 27 Juni 2009.
al-Thabari, Abu Ja’far bin Muhammad bin Jarir, Jami’ al-Bayan an-Ta’wil Ayi Al-
quran, Vol. I. Ju. I Beirut: Dar al-Fikr, 1984.
Thayyib, Lalu Ibrahim M., Keajaiban Sains Islam: Mengungkap Kebenaran Islam
Al-quran dengan Logika dan Ilmu Pengetahuan, Cet. I; Yogyakarta: Pinus
Book Publisher, 2010.
Yahya, Harun, Menyibak Tabir Evolusi, terj: Efendi dkk, Cet. I; Jakarta, Global
Cipta Publishing, 2002.
Zakariyyah , Abu al-Husain Ahmad ibn Faris ibn, Mu’jam Maqayis al-Lughat,
Beirut: Dar al-Fikr, Juz IV, t. th.

EduProf Volume 1 No. 01, Februari 2019

Anda mungkin juga menyukai