Anda di halaman 1dari 4

uinsgd.ac.

id

Dasar-dasar Epistemologi Islam


Redaksi
11-14 minutes

Epistemologi atau teori ilmu pengetahuan merupakan kajian yang berguna, karena ia membahas
aspek kehidupan manusia yang amat fundamental yaitu ilmu pengetahuan. Epistemologi
mengkaji secara filosofis tentang asal, struktur, metode, validitas dan tujuan ilmu pengetahuan.
Ia menjelaskan apa yang disebut kebenaran serta kriterianya dan menjelaskan cara yang dapat
membantu diperolehnya kebenaran itu.

Epistemologi mempunyai tempat yang cukup sentral dalam bangunan filsafat ilmu, sehingga
epistemologi telah menarik perhatian para pemikir baik di Barat maupun di bangunan pemikiran
Islam modern.

Pertama, Di dunia Barat, epistemologi menjadi suatu disiplin ilmu baru di Eropa yang dipelopori
oleh Descartes (1596-1650), dan dikembangkan oleh filosof Leibniz (1646–1716), kemudian
disempurnakan oleh John Locke di Inggris. Epistemologi berkembang sejak gagasan renaissance
dibangkitkan.     

Renaissance adalah produk dari gerak individualisme yang kuat yang menggoncang tatanan yang
sudah mapan pada abad k-14 dan ke-15. Pada abad ke-18 dimulailah suatu zaman baru, yang
memang telah berakar pada Renaissance, serta yang mewujudkan potensi diri manusia dalam
mengindera, berpikir dan melakukan berbagai eksperimen dalam mengolah alam, sehingga lahir
dua aliran rasionalisme dan empirisme. Abad ke-18 disebut abad Pencerahan (Aufklarung).
Sementara itu, abad ke-19, dimulai Gerakan Neo-Positivisme, yang dimotori oleh Lingkaran
Wina (Wiener Kreis, Vienna Circle) adalah suatu kelompok yang terdiri dari sarjana-sarjana ilmu
pasti dan ilmu alam di Wina. Aliran ini mendapat pengaruh dari tiga arah: (1)dari empirisme dan
positivisme, terutama Hume, Mill, dan Ernst Mach; (2)dari metodologi ilmu empiris yang
dikembangkan oleh para ilmuwan semenjak abad ke-19, seperti Einstein; (3) perkembangan
logika simbolik dan analisa logis yang dikembangkan terutama oleh Frege, Whitehead, Russell
serta Wittgeinstein.[1] Salah satu maksud gerakan ini ialah ingin memperbaharui positivisme
klasik ciptaan Comte. Pada awal abad ke-20 ini berkembang juga filsafat fenomenologi, dan
penggagas dasar aliran filsafat fenomenologi ialah Edmund Husserl (1859-1938). Husserl adalah
seorang filsuf Jerman yang pernah mengajar filsafat di Halle, Gottingen, dan Freiburg.

Bersamaan dengan itu pula berkembang filsafat eksistensialisme, yaitu filsafat yang menolak
pemutlakan akal budi dan menolak pemikiran-pemikiran abstrak murni. Eksistensialisme
berupaya untuk memahami manusia yang berada di dalam dunia, yakni manusia yang berada
pada situasi yang khusus dan unik. Blackham mengatakan bahwa eksistensialisme adalah suatu
filsafat keberadaan, suatu filsafat pembenaran dan penerimaan dan suatu penolakan terhadap
usaha rasionalisasi pemikiran yang abstrak tentang kebenaran. Selanjutnya, Mazhab Frankfurt
dan Marxisme, nama “Mazhab Frankfurt” (Die Frankfurter Schule) digunakan untuk
menunjukkan sekelompok sarjana yang bekerja pada Institut fur Sozialforschung (Lembaga
untuk Penelitian Sosial) di Frankfurt am Main.[2] Lembaga ini didirikan pada tahun 1923 oleh
Felix Well, dimaksudkan untuk membentuk sebuah pusat penelitian sosial yang independen.[3]

Kedua, Permasalahan epistemologi dalam filsafat Islam tidak dibahas secara tersendiri, akan
tetapi, begitu banyak persoalan epistemologi dikaji secara meluas dalam pokok-pokok
pembahasan filsafat Islam, misalnya dalam pokok kajian tentang jiwa. Begitu pula hal-hal yang
berkaitan dengan epistemologi banyak dikaji dalam pembahasan tentang akal, objek akal, akal
teoritis dan praktis, wujud pikiran, dan tolok ukur kebenaran dan kekeliruan suatu proposisi.
Dalam perkembangan filsafat Islam, epistemologi menjadi suatu bidang disiplin baru ilmu yang
mengkaji sejauh mana pengetahuan dan makrifat manusia sesuai dengan hakikat, objek luar, dan
realitas eksternal.

Dinamika epistemologi dalam pemikiran keagamaan di dunia Islam telah berlangsung  sejak 
periode klasik (650-1250), periode pertengahan (1250-1800) dan periode modern (1800-
sekarang).[4] Periode  perkembangan pemikiran modern sebagai periode ketiga dipandang
sebagai periode kebangkitan kembali umat Islam setelah tenggelam selama abad pertengahan.
Namun demikian, kehadiran modernisme telah menyebabkan respons yang beragam dan
memunculkan ketegangan di kalangan umat islam. Dengan adanya modernisasi di segala bidang
di beberapa Negara, seperti Mesir memasuki masa liberal (liberal age). Paham liberalisme
tumbuh mekar yang mengakibatkan munculnya sejumlah gagasan tentang pemisahan antara
agama, kebudayaan dan politik[5]. Dengan berkembangnya pemahaman liberatif di Mesir,
lahirlah apa yang disebut an-nahdah (renaissance), yang kemudian melahirkan beberapa trend
pemikiran

(1) Trend pemikiran ke arah tradisionalisme ini disebut The Islamic Trend (kecenderungan pada
Islam). Pandangan ini dimulai sejak pengajaran-pengajaran Ibn Hanbal yang mengalami
keberhasilan puncak melalui Muhammad ibn Abd al-Wahhâb (1703-1992).

(2) Kelompok The Syntetic and The Rational scientific and Liberal Trend (sintesa secara rasional
ilmiah dan pemikiran bebas), kelompok yang berusaha memadukan antara Islam dan kebudayaan
Barat. Kelompok ini diwakili oleh Qâsim Amîn (1865-1908), dan ‘Ali ‘Abd. ar-Râziq (1888-
1966), Tâha Husein (1883-1973), Lutfî as-Sayyid (1872-1972), Zakî Najîb Mahmûd (1905-
1993), Salamah Mûsa, Farag Fawdah, Fu’ad Zakariya, Hassan Hanafî (1935), Mohammed
Arkoun, Muhammad Syahrur, Seyyed Hosein Nasr dan Nasr Hâmid Abû Zaid.

Epistemologi yang telah tumbuh sejak ratusan tahun silam, kini berada pada posisi
perkembangan yang semakin menggairahkan. Kehadiran perguruan tinggi di berbagai belahan
dunia, termasuk di Indonesia sesuai dengan fungsi utamanya untuk mengembangkan ilmu, telah
memberikan kontribusi signifikan dalam memelihara semangat perkembangan ilmu. Berbagai
temuan dalam bidang sains, teknologi dan seni telah ikut memperkaya khazanah intelektual,
sekaligus memberikan kontribusi penting bagi kehidupan manusia.

Hampir semua disiplin ilmu yang saat ini berkembang baik di dunia pendidikan maupun di
lingkungan para penggunanya, pada dasarnya bermula dari buah pemikiran para penggagas atau
penemunya. Mereka telah memberikan sumbangan besar dalam proses transformasi budaya
masyarakat dunia. Informasi para penggagas dan penemu teori yang telah memperkaya ilmu
pengetahuan itu, kini tersebar dalam berbagai literatur khususnya berkaitan dengan sejarah
perkembangan sesuatu ilmu. Perkembangan ilmu pengetahuan, baik di lingkungan lembaga
pendidikan maupun dalam lingkup wilayah pemanfaatannya di dunia praktis, selalu membuka
peluang untuk ditelaah, dikritik, atau bahkan dibantah sesuai dengan perbedaan perspektif yang
digunakannya. Namun demikian, secara filosofis, pertumbuhan dan perkembangan ilmu
pengetahuan pada gilirannya akan berujung pada tema-tema kemanusiaan, kealamsemestaan, dan
ketuhanan. Ilmu pengetahuan kemudian muncul dan berkembang sebagai jawaban atas berbagai
pertanyaan di seputar ketiga tema tersebut.

Dalam perspektif epistemologi Islam, tidak dikenal adanya dikhotomi antara ilmu agama dengan
ilmu non-agama (umum). Ilmu adalah ilmu, Ia berasal dari sumber yang sama, kemudian
berkembang sesuai dengan wilayah obyeknya masing-masing, baik menyangkut obyek material
maupun obyek forma. Ia terus bersentuhan dengan fenomena alam, manusia dan apapun yang
berada di luar keduanya. Melalui persentuhan itulah ilmu pengatahuan terus berkembang
memasuki ruang sejarah dari waktu ke waktu.

Jika sains dan teknologi ini ditelusuri kembali ke masa-masa pertumbuhannya, hal itu tidak lepas
dari sumbangsih para ilmuwan muslim. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa asal-usul sains
modern atau revolusi ilmiah berasal dari peradaban Islam. Memang sebuah fakta, umat Islam
adalah pionir sains modern. Jikalau mereka tidak berperang di antara sesama mereka, dan jika
tentara kristen tidak mengusirnya dari Spanyol, dan jika orang-orang Mongol tidak menyerang
dan merusak bagian-bagian dari negeri-negeri Islam pada abad ke-13, tentulah mereka akan juga
mampu melahirkan seorang Descartes, seorang Gassendi, seorang Hume, seorang Copernicus,
dan seorang Tycho Brahe, karena kita telah menemukan bibit-bibit filsafat mekanika,
emperisisme, elemen-elemen utama dalam heliosentrisme dan instrumen-instrumen Tycho Brahe
dalam karya-karya al-Ghazali, Ibn al-Shatir, para astronom pada observatorium margha dan
karya-karya Takiyudin.

Peradaban Islam pernah memiliki khazanah ilmu yang sangat luas dan menghasilkan para
ilmuwan yang begitu luar biasa. Ilmuwan-ilmuwan ini ternyata jika kita baca, mempunyai
keahlian dalam berbagai bidang. Sebut saja Ibnu Sina. Dalam umurnya yang sangat muda, dia
telah berhasil menguasai berbagai ilmu kedokteran. Magnum opusnya al-Qanun fi al-Thib
menjadi sumber rujukan primer di berbagai universitas Barat.[6] Selain Ibnu Sina, al-Ghazali
juga bisa dibilang ilmuwan yang representatif untuk kita sebut di sini. Dia teolog, filosof, dan
sufi. Selain ia juga ahli fiqih terkenal sebagai orang yang menganjurkan ijtihad kepada orang
yang mampu melakukan itu. Al-Mushtasfa adalah bukti keahliannya dalam bidang ushul fiqih.
Tidak hanya itu, al-Ghazali juga ternyata mempunyai paradigma yang begitu modern. Dia pernah
mempunyai proyek untuk menggabungkan, tidak mendikotomi, ilmu agama dengan ilmu umum.
Baginya, kedua jenis ilmu tersebut sama-sama wajib dipelajari oleh umat Islam.[7]

Selain para ilmuwan di atas, Ibnu Rusyd layak kita sebut di sini. Dia filosof ulung, teolog dan
menguasai kedokteran. Bahkan dia juga bisa disebut sebagai faqih. Kapabalitasnya dalam bidang
fiqih dibuktikan dengan karya  Bidayah al-Mujtahid. Filosof ini juga menjadi inspirasi gerakan-
gerakan di Barat. Tidak sedikit idenya yang diadopsi oleh orang Barat sehingga bisa maju seperti
sekarang. Ilmuwan lainnya seperti Fakhruddin al-Razi, selain seorang teolog, filosof, ahli tafsir,
dia juga seorang yang menguasai kedokteran. Al-Khawarizmi, Matematikawan dan seorang
ulama. Dan masih banyak lagi para ulama sekaligus ilmuwan yang dihasilkan dari Peradaban
Islam.[8]

Buku ini mengangkat kembali diskursus di seputar epistemologi yang dikembangkan dan
diaktualisasikan oleh para pemikir muslim, mulai  dari Syuhrawardi, Syahrur, Nasr Hamid Abu
Zaid, Hassan Hanafi, Seyyed Hosein Nasr, Muhammad Abed Al-jabiri, dan Mohammed Arkoun.

sSemua itu menunjukkan, bahwa suatu peradaban bisa maju dan unggul, meskipun tetap
dilandasi oleh agama dan kepercayaan terhadap Tuhan (Allah SWT), dengan cara
mengembangkan epistemolog. Karya ini menjelaskan bahwa di dunia Islam epistemologi
berkembang dengan berbagai trend dan corak pemikiran yang beragam. Buku ini akan
memberikan sumbangan pemikiran yang besar bagi pengembangan metodologi ilmu di berbagai
bidang ilmu-ilmu keislaman.  

[1] C. Verhaak dan R. Haryono Imam. Filsafat Ilmu Pengetahuan Telaah Atas Kerja Ilmu-Ilmu
(Jakarta : Gramedia, 1991), hlm. 154

[2] Istilah madzhab Frankfurt (Frankfurt School) tidak hanya untuk kelompok Horkheimer,
Adorno dan Marcuse, tetapi juga figur-figur seperti Habermas dan Wellmer. Lihat Raymond
Geuss, The Idea of A Critical Theory Habermas & the Frankfurt School (Cambridge :
Cambridge University Press, 1989), hlm. 1.

[3] K Bertens, Filsafat., hlm. 176.

[4] Harun nasution, Pembaharuan dalam islam: sejarah Pemikiran dan aliran  (Jakarta: Bulan
Bintang, 1975), hlm. 12-14.

[5] Ibrahim M. Abu Rabi’. “Islam Liberalism in The Muslim Middle East Viable ?” dalam
Hamdard Islamicus (Baltimore: The John s Hopkins University Press, 1991) vol. XII, no. 4, hlm.
50.

[6] Taufiq Yusuf al-Wa’i, Al-Islam fi al-‘Aqli al-‘Alami (Kairo: Dar al-Wafa li Thaba’ah wa an-
Nasyr wa at-Tauzi’, 1990), hlm. 47.

[7] Hery Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Islam: dari Abu Bakr sampai Nashr dan Qardhawi
(Bandung: Hikmah, 2003), hlm. 163.

[8] Ibid., hlm. 183.

Anda mungkin juga menyukai