FILSAFAT ISLAM
Arief Subhan
1
Helenisme dan Filsafat Islam
Filsafat dan kebudayaan Yunani mengalami penyebaran (dissemination)
ke wilayah-wilayah timur bersamaan dengan ekspansi Yunani-Romawi,
terutama pada periode Alexander The Great (323 BC). Wilayah-wilayah seperti
Alexandria di Mesir dan Harran Mesopotamia merupakan dua di antara pusat
pengembangan filsafat Yunani di Timur. Wilayah-wilayah Timur mengalami apa
yang dikenal dengan “gelombang Hellenisasi”—arus pemikiran dan kebudayaan
Yunani yang berkembang dan berpengaruh di kalangan kalangan terpelajarnya.
Kedatangan Muslim di wilayah-wilayah tersebut membuka kemungkinan
perjumpaan (encounter) antara warisan filsafat Yunani dan Islam. Perjumpaan
tersebut semakin intensif dengan proses penerjemahan yang telah dijelaskan
pada bagian sebelumnya.
Sejak itulah kaum Muslim terpelajar mengenal kosa kata falsafah, yang
merupakan turunan dari filsafat. Di antara filsuf Muslim di wilayah timur antara
lain Al-Kindi (801-865), Al-Farabi (850-950), Ibn Sina (989-1036). Sedangkan di
wilayah Barat—Andalusia—antara lain Ibn Bajah (w. 1138), Ibn Thufail (1110-
1185), Ibn Rusyd (1126-1198). Sebagian sarjana memandang Al-Ghazali (1058-1111)
sebagai filsuf, tetapi sebagian lainnya menganggap sebagai sufi. Yang pasti, al-
Ghazali merupakan kritikus filsafat yang paling keras pada masanya. Dia menulis
buku berjudul Tahafut al-Falasifah (Kerancuan Para Filsuf). Lepas dari perbedaan
pendapat itu, melalui karya monumentalnya Ihya ‘Ulumuddin, dia mendapatkan
gelar sebagai Hujhatul Islam, atau agumentator Islam, sebuah pencapaian
intelektual yang luar biasa.
Topik Diskusi
Agenda penting filsafat Islam adalah membangun relasi yang harmonis
antara wahyu dan akal. Agenda membangun jembatan antara wahyu dan akal
ini sebenarnya tidak menonjol sebelum munculnya filsafat Islam. Dalam
lingkungan filsafat Yunani tidak dijumpai agenda itu. Wahyu, dalam bahasa
Inggris, secara literal sering diartikan dengan to reveal (menyingkapkan), to
show, expose (menunjukkan), to explosure (memberitahukan), to inform
(mengumumkan), to appear (menyatakan), to make known (mengungkapkan),
to display (memperlihatkan), to disclosure (memberitahukan), to discover, to
open (membuka). Berdasarkan arti literal ini, wahyu secara terminologis
didefinisikan sebagai petunjuk atau pedoman yang disampaikan Tuhan melalui
para Rasul-Nya. Wahyu tidak terbatas pada al-Qur’an, tetapi juga kitab-kitab suci
lain yang telah diturunkan sebelumnya. Dengan demikian, di samping
dianugerahkan akal (al-aql), manusia juga diberikan petunjuk yang disebut
wahyu. Bagaimana jika keduanya bertentangan? Atau apakah mungkin
keduanya akan menghasilkan sebuah kesimpulan yang bertentangan mengingat
sama-sama bersumber dari Tuhan?
Teologi Islam sebenarnya sudah berbicara mengenai topik ini tetapi
terbatas pada pertanyaan: sebelum wahyu, sampai sejauh mana akal memiliki
kemampuan mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan yang buruk;
2
apakah dengan akalnya manusia mengetahui bahwa berbuat baik itu wajib dan
mendapatkan pahala? Dalam teologi Islam, setiap madzhab memberikan
jawaban yang berbeda. Jawaban “liberal” datang dari Mu’tazilah yang
menegaskan bahwa sebelum wahyu, manusia wajib mengetahui Tuhan, baik
dan buruk, kewajiban mengerjakan yang baik, dan bersyukur kepada-Nya. Akal
harus berusaha mengetahui, sedangkan wahyu mengkonfirmasi. Sebaliknya,
jawaban yang datang dari Asy’ariyah, menegaskan bahwa tanpa wahyu, akal
tidak memiliki kewajiban sebagaimana disebutkan. Wahyu menyampaikan
informasi, sedangkan akal melakukan konfirmasi (Nasution, 2016: 82-83).
Meskipun demikian, topik yang berkenaan dengan pertanyaan pertentangan
antara keduanya tidak dielobarasi.
Para filsafat menegaskan bahwa akal secara independen merupakan
sumber ilmu pengetahuan. Dengan mengikuti aturan-aturan logis berdasarkan
logika—sebuah struktur berpikir model Aristotelian—akal dapat menemukan
kebenaran. Al-Kindi percaya bahwa kebenaran yang dicapai melalui akal
mempunyai nilai yang sama dengan sumber-sumber pengetahuan lain—
termasuk wahyu. Dengan keyakinan paradigmatik seperti ini diskusi filsafat
masuk dalam kebudayaan Islam bersamaan dengan masuknya sains. Akal dapat
mencapai “kebenaran pertama” (al-haqq al-awwal)—atau dalam konsep agama
disebut dengan Tuhan.
Ibn Thufail (nama lengkapnya abu Bakar Muhammad Ibn Abd al-Malik
ibn Muhammad ibn Thufail), filsuf Muslim asal Andalusia (Spanyol sekarang),
yang menekuni bidang kedokteran dan astronomi, menulis fiksi—mungkin
dapat disebut sebagai novel—yang memperkuat keyakinan bahwa akal manusia
memiliki kapasitas mengetahui Sang Pencipta, berterima kasih kepadaNya, dan
membedakan yang baik dan yang buruk. Novel itu berjudul Hayy Ibn Yaqzan,
yang sekaligus merupakan nama aktor utamanya. Dikisahkan Hayy hidup dan
tumbuh seorang diri di hutan belantara dan bergaul serta belajar dari binatang
dan aalam sekitarnya. Berbekal kemampuan akalnya dan belajar dari
lingkungannya secara otodidak, Hayy mamampu membuat kesimpulan tentang
keberadaan Tuhan, kebaikan dan keburukan, dan kewajiban untuk bersyukur.
Pada 1671, Edward Pococke, menerjemahkan novel tersebut dengan judul
Philosophus Autodidaktus—atau The Self-Taught Piloshoper. Atas dasar ini
diperkirakan bahwa novel Daniel Defoe, Robinson Crusoe, yang terbit pada 1719,
memgambil ide dari novel karya Ibn Thufail tersebut. Seperti dikenal populer,
Tarzan, merupakan aktor utama dalam Robinson Crusoe, yang dikenal sampai
sekarang.
Agenda kedua adalah tentang penciptaan alam semesta dengan
pertanyaan pokok: bagaimana alam semesta diciptakan? Apakah terdapat jarak
waktu antara Tuhan dan proses penciptaan alam semesta. Agenda kedua ini
menimbulkan kontroversi karena para filsuf Muslim mengadaptasi pendapat
Neo-Platonisme dalam menjelaskan tentang proses penciptaan. “Teori
Emanasi” (faidh) merupakan teori yang menjelaskan penciptaan alam semesta
melalui proses pelimpahan. Jadi, karena Tuhan Maha Pencipta, maka eksistensi
alam semesta ini merupakan kemestian yang proses melimpah dari Zat Allah
swt. Dalam kaitan ini, para filsuf memandang bahwa alam semesta ini juga
3
qadim li ghairihi (qadim tergantung); sedangkan Allah swt adalah qadim li dzatihi
(qadim independen). Ini merupakan pandangan yang mendapatkan kritik keras
dari al-Ghazali, bahkan sampai mengkafirkan mereka.
Socratres, Plato, dan Aristoteles—ketiganya merupakan guru-murid—
merupakan tiga nama filsuf Yunani yang berpengaruh pada perkembangan
filsafat Islam—bahkan paling berpengaruh sepanjang zaman. Sampai hari ini,
dalam kajian tentang filsafat, nama ketiga tokoh tersebut selalu mendapatkan
tempat dominan dalam pembahasan. Secrates dikenal dengan pendekatannya
bahwa kebenaran dapat ditemukan melalui dialog—bercakap-cakap. Konsep
Dialektika yang terdiri dari rangkaian tesis, antitesis, dan sintesis berasal dari
Socrates. Jika diandaikan bahwa tesis adalah pendapat, maka setiap pendapat
pasti ada yang menolaknya dan mengajukan pendapat lain—inilah antitesis;
ketika kedua pendapat itu dipadukan, maka akan jadi pendapat yang lebih baik
—dan inilah sintesis. Namun pada gilirannya nanti, sintesis itu kembali menjadi
tesis, demikianlah intelektualitas dan peradaban berkembang.
Sedangkan dari Plato diperoleh pandangan tentang konsep dualisme
alam semesta, yaitu “alam idea” dan “alam nyata atau realitas”. Alam idea
bersifat tunggal, sempurna, dan berlaku sebagai sebuah model. Sedangkan
alam nyata atau realitas bersifat plural, tidak sempurna dan selalu berubah. Jika
dibuat perumpamaan, alam idea itu seperti gagasan tentang “manusia”.
Gagasan ini bersfifat tunggal dengan segala kesempurnaannya. Sedangkan alam
nyata atau realitas adalah “Amir”, “Ali”, “Umar”—semuanya memiliki ciri
sebagai manusia, masing-masing memiliki kekurangan, dan berubah.
Pengetahuan yang utama, demikian Plato, adalah pengetahuan tentang alam
idea. Karena di situlah terletak kebenaran. Plato juga memberikan sumbangan
tentang ketatanegaraan melalui karyanya Republik. Dalam karya ini dia mulai
memandang pentingnya pembagian kewenangan negara. Konsep yang
kemudian terus mengalami perkembangan.
Aristoteles memberikan sumbangan yang lebih besar. Inilah filsuf yang
mendapatkan banyak perhatian dari para filsuf Muslim. Dia mendapatkan gelar
sebagai al-mu’allim alwwal (guru pertama) dan al-Farabi sebagai al-mu’allim al-
tsani (guru kedua). Teori Aristoteles tentang gerak sebagai perubahan dari
potensi ke aktus merupakan jawaban cerdas tentang konsep “ada dan tidak
ada” yang selama itu dianggap sebagai sesuatu yang statis. Apakah yang ada
bisa menjadi tidak ada; dan sebaliknya yang tidak ada bisa menjadi ada? Karena
setiap yang ada memiliki kemungkinan berubah melalui “gerak”, maka
kemudian dikenal konsep tentang “wujud mungkin” (mumkin al-wujud atau
potensi). Setiap gerak, pasti ada yang menggerakkan dan itulah sebab
perubahan. Tuhan adalah “penggerak pertama” yang membuat alam semesta
ini terus berjalan.
Dari uraian ringkas tadi terlihat bahwa filsafat Islam berusaha
menjelaskan aspek agama dan ketuhanan dengan berdasarkan pada
kemampuan rasional manusia. Mereka percaya bahwa akal manusia mampu
mencapai kebenaran jika dipergunakan dengan maksimal dan menggunakan
prinsip-prinsip logika. Jika prinsip logika tidak dipergunakan dengan benar,
4
mereka juga tetap mengakui bahwa manusia bisa jatuh dalam kesalahan-
kesalahan logis yang membuat kesimpulan yang diambilnya menjadi tidak valid.
Yang penting ditekankan pengaruh filsafat dalam kebudayaan Islam adalah
semakin tegasnya rasionalitas.