Anda di halaman 1dari 6

FILSAFAT ISLAM

Arief Subhan

Kosa kata filsafat atau falsafah tidak memiliki akar dalam bahasa Arab.
Kosa kata ini memiliki akar dalam Bahasa Yunani yang merupakan gabungan
dari dua kata philo dan shopia yang berarti “love of wisdom”. Daripada
mengklaim sebagai “orang yang bijaksana”, para filsuf hanya mendefinisikan
dirinya sebagai sekelompok orang yang “ingin bertindak bijaksana”. Para filsuf
pada masa Yunani Antik—periode mulai dari Thales (abad ke-11 SM) sampai
dengan Socrates, Plato dan Aristoteles (lahir 384 SM)—mengajukan
pertanyaan-pertanyaan besar dan merumuskan jawabannya tentang hidup,
asal-usul kehidupan, manusia dan tujuan hidupnya, dan alam semesta. Setiap
filsuf memiliki perhatian dan jawaban yang berbeda. Meskipun demikian, ciri
utama jawaban itu adalah mereka mendasarkan jawaban-jawabannya pada
logika dan argumentasi rasional.
Sejak kelahirannya di Yunani, filsafat terus mengalami perkembangan,
tidak hanya sebagai bagian dari bentuk pencarian makna kehidupan, tetapi ilmu
pengetahuan itu sendiri. Pada masa itu, filsafat juga disebut sebagai “mother of
knowledge” karena di dalamnya subjek-subjek penting dan mendasar dalam
sains juga termasuk bidang yang dibahas. Pada abad pertengahan—periode di
mana agama mendominasi pemikiran umat manusia—sampai dengan abad
modern—di mana sains menjadi ciri utama perkembangan peradaban—filsafat
selalu memiliki tempat yang tidak tergeser dalam konteks khazanah ilmu
pengetahuan manusia. Sejarah menyaksikan perkembangan filsafat di
lingkungan agama-agama, Yahudi, Kristen, Islam, dan—kemudian—peradaban
Barat.
Filsafat dan kebudayaan Yunani mengalami penyebaran (dissemination)
ke wilayah-wilayah timur bersamaan dengan ekspansi Yunani-Romawi,
terutama pada periode Alexander The Great (323 BC). Wilayah-wilayah seperti
Alexandria di Mesir dan Harran Mesopotamia merupakan dua di antara pusat
pengembangan filsafat Yunani di Timur. Wilayah-wilayah Timur mengalami apa
yang dikenal dengan “gelombang Hellenisasi”—arus pemikiran dan kebudayaan
Yunani yang berkembang dan berpengaruh di kalangan kalangan terpelajarnya.
Kedatangan Muslim di wilayah-wilayah tersebut membuka kemungkinan
perjumpaan (encounter) antara warisan filsafat Yunani dan Islam. Perjumpaan
tersebut semakin intensif dengan proses penerjemahan yang telah dijelaskan
pada bagian sebelumnya.
Abad ke-9 hingga 13, dunia Islam mencatat prestasi gemilang dalam
bidang yang berkaitan dengan ilmu pengetahun, agama, filsafat, dan
perkambangan budaya yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Setelah
berkembang pesat laksana meteor dari gurun pasir ke wlalah-wilayah di
sekitarnya, peradaban Islam memanyungi ragam budaya, agama, dan tradisi

1
intelektual yang terbentang dari Spanyol di sebelah barat sampai dengan India
di sebelah timur. Tidak ada dunia lain yang memiliki kekayaan seberagam
peradaban Islam pada periode ini. Dan tidak ada agama lain yang memiliki
kapastitas mengintegrasikan kebuadayaan yang beragam sebagaimana Islam.
Al-Makmun (813-833), salah satu Khalifah Abbasiyah, merupakan nama
yang harus disebut dalam konteks perkembangan itu. Dia percaya bahwa
masyarakat ideal hanya mungkin dibangun di atas fondasi ilmu pengetahuan.
Dengan memanfaatkan Baghdad sebagai ibukota dengan penduduk yang
multikultural pada zamannya—antara lain Yunani, Mesir, Persia, dan India—dia
membangun Bait al-Hikmah (“Rumah Kebijakan”) sebagai pusat riset dan
pendidikan tinggi yang dilengkali dengan perpustakaan yang mengoleksi
khazanah ilmu pengatahuan pada masa itu.
Bait al-Hikmah sendiri diuntungkan oleh konteksnya pada masa itu—dan
inilah yang menyebabkan institusi ini unik dibandingkan dengan institusi ilmu
pengetahuan pada periode itu. Pertama, perluasan Islam telah membangun
tembok sekaligus menyatukan seluruh aspek di dalamnya. Sebelum periode
Islam, sangat kecil kemungkinannya seorang sarjana dari Alexandria melakukan
perjalanan ke kota-kota lain Persia untuk belajar dan mengajar. Kalaupun itu
dilakukan pada masa sebelum Islam, maka faktor bahasa akan menjadi
hambatan besar para sarjana itu.
Kedua, sejak periode awal Abbasiyah—yang telah dirintis pada era
Amawiyah sebelumnya—bahasa Arab telah menjadi lingua franca yang
menyatukan masyarakat Muslim dari perbedaan budayanya. Lepas dari “bahasa
ibu” (mother tongue) seorang adalah Barbar, Syiria, atau Persia, sejauh dia
Muslim, maka dapat dipastikan dia mengetahui bahasa Arab—meskipun tidak
sempurna. Paling tidak dalam shalat lima waktu, dia membaca ayat-ayat al-
Qur’an yang berbahasa Arab. Bahasa Arab kemudian tidak hanya berkembang
sebagai bahasa ibadah (liturgical language), tetapi juga bahasa yang dapat
dimanfaatkan untuk komunikasi dan riset.
Ketiga, penekanan yang sangat penting dalam ajaran Islam untuk
mencari ilmu (thalab al-ilm). Bahkan menjadi kegiatan yang wajib bagi setiap
Muslim. Tidak cukup hanya memberikan penghargaan tinggi terhadap orang
berilmu, Islam juga menegaskan bahwa perjalanan mencari ilmu merupakan
perjalanan yang akan mengantarkan pelakunya ke jalan surga. Ini juga
merupakan penjelasan mengapa dalam tradisi mencari ilmu dalam Islam,
konsep rihlah (perjalanan) menjadi sangat sentral—sehingga dikenal istilah
“rihlah ilmiah” yang banyak dibahas para sarjana bidang pengkajian Islam.
Sentralnya perintah dan tradisi mencari ilmu menandai pentingnya rasio
atau akal budi dalam Islam. Dalam al-Qur’an, di samping terdapat perintah
mencari ilmu, juga terdapat perintah kepada kaum beriman untuk
menggunakan rasio atau akal dalam merenungi kebesaran Allah swt. Ayat-ayat
yang berbunyi afala tatafakkarun dan afala ta’qilun dapat ditemukan dalam al-
Qur’an di berbagai tempat. Itu merupakan perintah eksplisit kepada kaum
Muslim untuk senantiasa menggunakan rasio.

2
Salah satu program Bait al-Hikmah adalah projek penerjemahan literatur-
literatur penting dalam bidang ilmu pengetahuan dan filsafat dari bahasa Yunani
ke dalam bahasa Arab. Hasil terjemahan kemudian dikoleksi oleh perpustakan
lembaga bergengsi pada zamannya ini. Misi yang diemban adalah jelas:
memperkaya akses ilmu pengetahuan kepada para ilmuwan Muslim. Dikisahkan
bahwa al-Makmun bersedia mememberikan imbalan honorarium yang besar
bagi para penerjemah ini. Proyek penerjemahan itu membawa implikasi
signifikan bagi perkembangan wacana dalam teologi, membuka ruang bagi
munculnya filsafat dan perkembangan ilmu pengetahuan—yang berujung pada
the golden age of Islamic civilization.
Melalui proses penerjemahan itu, kaum Muslim terpelajar mengenal
kosa kata falsafah, yang merupakan turunan dari filsafat. Di antara filsuf Muslim
di wilayah timur terdapat Al-Kindi (801-865 M), Al-Farabi (850-950 M), Ibn Sina
(989-1036 M). Sedangkan di wilayah Barat—Andalusia—antara lain terdapat Ibn
Bajah (w. 1138 M), Ibn Thufail (1110-1185 M), Ibn Rusyd (1126-1198 M). Sebagian
sarjana memandang Al-Ghazali (1058-1111 M) sebagai filsuf, tetapi sebagian
lainnya menganggap sebagai sufi. Yang pasti, al-Ghazali merupakan kritikus
filsafat yang paling keras pada masanya. Dia menulis buku berjudul Tahafut al-
Falasifah (Kerancuan Para Filsuf). Lepas dari perbedaan pendapat itu, melalui
karya monumentalnya Ihya ‘Ulumuddin, dia mendapatkan gelar sebagai Hujhatul
Islam, atau agumentator Islam, sebuah pencapaian intelektual yang luar biasa.
Di antara nama-nama tersebut, tentu saja masih banyak lagi nama lain dalam
sejarah Islam yang panjang.
Para peneliti, memberikan sebutan beragam tentang filsafat pada
periode tersebut. Ada yang menyebutnya “filsafat Islam” dengan argumen
bahwa filsafat yang berkembang berada dalam lingkungan (environment)
Muslim sehingga terdapat pembahasan mendalam tentang doktrin Islam. Ada
juga yang menyebutnya dengan “Filsafat Arab” dengan argumen bahwa tokoh-
tokohnya adalah orang Arab—pendapat ini lemah karena di antara filsuf itu
terdapat Muslim dari Persia, Afghanistan, India dan sebagainya. Ada yang
menyebutnya dengan “filsafat di dunia Islam” dengan argumen bahwa topik-
topik yang dibahas para filsuf Muslim tidak jauh berbeda dengan filsafat di
Yunani—bahkan merupakan komentar dan pengembangan berdasarkan
doktrin Islam. Di samping itu, ada juga filsuf yang hidup pada periode Islam,
tetapi dia non-Islam.
Agenda pertama filsafat Islam adalah membangun relasi yang harmonis
antara wahyu dan akal. Agenda tersebut sebenarnya sudah muncul pada
periode sebelum munculnya filsafat, tetapi tidak terlalu menonjol. Dalam
bahasa Inggris, wahyu secara literal sering diartikan dengan to reveal
(menyingkapkan), to show, expose (menunjukkan), to explosure (memberita
hukan), to inform (mengumumkan), to appear (menyatakan), to make known
(mengungkapkan), to display (memperlihatkan), to disclosure
(memberitahukan), to discover, to open (membuka). Berdasarkan arti literal ini,
wahyu secara terminologis didefinisikan sebagai petunjuk atau pedoman yang
disampaikan Tuhan melalui para Rasul-Nya. Wahyu tidak terbatas pada al-
Qur’an, tetapi juga kitab-kitab suci lain yang telah diturunkan sebelumnya.

3
Dengan demikian, di samping dianugerahkan akal (al-aql), manusia juga
diberikan petunjuk yang disebut wahyu. Bagaimana jika keduanya
bertentangan? Atau apakah mungkin keduanya akan menghasilkan sebuah
kesimpulan yang bertentangan mengingat sama-sama bersumber dari Tuhan?
Teologi Islam sebenarnya sudah berbicara mengenai topik ini tetapi
terbatas pada pertanyaan: sebelum wahyu, sampai sejauh mana akal memiliki
kemampuan mengetahui Tuhan dan mengetahui yang baik dan yang buruk;
apakah dengan akalnya manusia mengetahui bahwa berbuat baik itu wajib dan
mendapatkan pahala? Dalam teologi Islam, setiap madzhab memberikan
jawaban yang berbeda. Jawaban “liberal” datang dari Mu’tazilah yang
menegaskan bahwa sebelum wahyu, manusia wajib mengetahui Tuhan, baik
dan buruk, kewajiban mengerjakan yang baik, dan bersyukur kepada-Nya. Akal
harus berusaha mengetahui, sedangkan wahyu mengkonfirmasi. Sebaliknya,
jawaban yang datang dari Asy’ariyah, menegaskan bahwa tanpa wahyu, akal
tidak memiliki kewajiban sebagaimana disebutkan. Wahyu menyampaikan
informasi, sedangkan akal melakukan konfirmasi. Meskipun demikian, topik
yang berkenaan dengan pertanyaan pertentangan antara keduanya tidak
dielobarasi.
Para filsuf menegaskan bahwa akal secara independen merupakan
sumber ilmu pengetahuan. Dengan mengikuti aturan-aturan logis berdasarkan
logika—sebuah struktur berpikir model Aristotelian—akal dapat menemukan
kebenaran. Al-Kindi, misalnya, percaya bahwa kebenaran yang dicapai melalui
akal mempunyai nilai yang sama dengan sumber-sumber pengetahuan lain—
termasuk wahyu. Dengan keyakinan paradigmatik seperti ini diskusi filsafat
dalam kebudayaan Islam berjalan bersamaan dengan masuknya sains. Dan para
filsuf pada periode itu juga dikenal sebagai saintis. Namun demikian, para filsuf
membawa akal kepada pencapaian mengenali “kebenaran pertama” (al-haqq al-
awwal)—atau dalam konsep agama disebut dengan Tuhan.
Agenda kedua adalah tentang penciptaan alam semesta dengan
pertanyaan pokok: bagaimana alam semesta diciptakan? Apakah terdapat jarak
waktu antara Tuhan dan proses penciptaan alam semesta. Agenda kedua ini
menimbulkan kontroversi karena para filsuf Muslim mengadaptasi pendapat
Neo-Platonisme dalam menjelaskan tentang proses penciptaan. “Teori
Emanasi” (faidh) merupakan teori yang menjelaskan penciptaan alam semesta
melalui proses pelimpahan. Jadi, karena Tuhan Maha Pencipta, maka eksistensi
alam semesta ini merupakan kemestian yang proses melimpah dari Zat Allah
swt. Dalam kaitan ini, para filsuf memandang bahwa alam semesta ini juga
qadim li ghairihi (qadim tergantung); sedangkan Allah swt adalah qadim li dzatihi
(qadim independen). Ini merupakan pandangan yang mendapatkan kritik keras
dari al-Ghazali, bahkan sampai mengkafirkan mereka.
Socratres, Plato, dan Aristoteles—ketiganya merupakan guru-murid—
merupakan tiga nama filsuf Yunani yang berpengaruh pada perkembangan
filsafat Islam—bahkan paling berpengaruh sepanjang zaman. Sampai hari ini,
dalam kajian tentang filsafat, nama ketiga tokoh tersebut selalu mendapatkan
tempat dominan dalam pembahasan. Socrates dikenal dengan pendekatannya

4
bahwa kebenaran dapat ditemukan melalui dialog—bercakap-cakap. Ini
kemudian dikenal juga dengan sebutan “dialektika”. Konsep dialektika yang
terdiri dari rangkaian tesis, antitesis, dan sintesis berasal dari Socrates. Jika
diandaikan bahwa tesis adalah pendapat, maka setiap pendapat pasti ada yang
menolaknya dan mengajukan pendapat lain—inilah antitesis; ketika kedua
pendapat itu dipadukan, maka akan jadi pendapat yang lebih baik—dan inilah
sintesis. Namun pada gilirannya nanti, sintesis itu kembali menjadi tesis,
demikianlah intelektualitas dan peradaban berkembang.
Sedangkan dari Plato diperoleh pandangan tentang konsep dualisme
alam semesta, yaitu “alam idea” dan “alam nyata atau realitas”. Alam idea
bersifat tunggal, sempurna, dan berlaku sebagai sebuah model. Sedangkan
alam nyata atau realitas bersifat plural, tidak sempurna dan selalu berubah. Jika
dibuat perumpamaan, alam idea itu seperti gagasan tentang “manusia”.
Gagasan ini bersfifat tunggal dengan segala kesempurnaannya. Sedangkan alam
nyata atau realitas adalah “Amir”, “Ali”, “Umar”—semuanya memiliki ciri
sebagai manusia, masing-masing memiliki kekurangan, dan berubah.
Pengetahuan yang utama, demikian Plato, adalah pengetahuan tentang alam
idea. Karena di situlah terletak hakekat kebenaran.
Aristoteles memberikan sumbangan yang lebih besar. Inilah filsuf yang
mendapatkan banyak perhatian dari para filsuf Muslim. Dia mendapatkan gelar
sebagai al-mu’allim alwwal (guru pertama) dan al-Farabi sebagai al-mu’allim al-
tsani (guru kedua). Teori Aristoteles tentang gerak sebagai perubahan dari
potensi ke aktus merupakan jawaban cerdas tentang konsep “ada dan tidak
ada” sebagai sesuatu yang statis. Apakah yang ada bisa menjadi tidak ada; dan
sebaliknya yang tidak ada bisa menjadi ada? Karena setiap yang ada memiliki
kemungkinan berubah melalui “gerak”, maka kemudian dikenal konsep tentang
“wujud mungkin” (mumkin al-wujud atau potensi). Setiap gerak, pasti ada yang
menggerakkan dan itulah sebab perubahan. Tuhan adalah “penggerak
pertama” yang membuat alam semesta ini terus berjalan. Aristoteles juga
memberikan sumbangan tentang ketatanegaraan melalui karyanya Republik.
Dalam karya ini dia mulai memandang pentingnya pembagian kewenangan
negara. Konsep yang kemudian terus mengalami perkembangan.
Dari uraian ringkas tadi terlihat bahwa filsafat Islam berusaha
menjelaskan aspek agama dan ketuhanan dengan berdasarkan pada
kemampuan rasional manusia. Mereka percaya bahwa akal manusia mampu
mencapai kebenaran jika dipergunakan dengan maksimal dan menggunakan
prinsip-prinsip logika. Jika prinsip logika tidak dipergunakan dengan benar,
mereka juga tetap mengakui bahwa manusia bisa jatuh dalam kesalahan-
kesalahan logis yang membuat kesimpulan yang diambilnya menjadi tidak valid.
Yang penting ditekankan pengaruh filsafat dalam kebudayaan Islam adalah
semekin tegasnya rasionalitas. Dan dengan demikian, masih banyak agenda di
dunia Islam yang bisa dikerjakan melalui filsafat.

5
6

Anda mungkin juga menyukai