Anda di halaman 1dari 2

MODERNISME ISLAM

Arief Subhan

Setelah melewat zaman keemasan (golden ages), masyarakat Muslim


mulai mengalami kemerosotan dalam berbagai bidang, terutama yang terbesar
adalah politik-militer. Ekspedisi Napoleon Bonaporte, pahlawan Perancis, ke
Syria dan Mesir, dan berhasil mengatur pemerintahan di Mesir 1 Juli 1798—2
September 1801 (3 tahun, 2 bulan, dan sehari) merupakan momentum penting
mulai merosotnya dunia Islam—dihadapkan pada Barat yang sedang
mengalami kebangkitan. Pada saat itu Syiria dan Mesir berada di bawah
administrasi Turki Usmani, super power militer dan kekhalifahan Islam terakhir.
Wilayah Turki Usmani terbentang dari Kairo, Istambul (Constantinopel),
Bukhara, Samarkand dan sampai perbatasan Wina di Eropa. Militer dan
administrasi “modern” yang dibawa Napoleon menimbulkan rasa kagum dan
ingin tahu di kalangan tokoh-tokoh Muslim disertai dorongan untuk
mempelajarinya.
Inilah tonggak dimulainya episode baru dunia Islam di mana “modern”—
dalam bahasa Arab disebut dengan tajdid (pembaruan)—muncul sebagai
kosakata baru dengan asosiasi Barat (western culture and civilization) sebagai
rujukan. Mesir sendiri termasuk wilayah yang kemudian mengirimkan respon
dengan mengirimkan delegasi kaum terpelajarnya ke Perancis. Delegasi ini
dipimpin Rifa’a Rafi’ al-Tahtawi (1801—1873) yang kemudian menjadi figur
penting intelektual-pembaru Islam pada periode tersebut. Langkah serupa juga
terjadi di Istambul yang mengirimkan tidak hanya pelajar, tetapi juga perwira
militer untuk belajar di Barat, terutama Perancis.
Pecahnya perang, terutama Perang Dunia I, menjadikan dunia Islam
semakin merosot secara politik dan ekonomi. Dalam kasus Turki, setelah
mengalami kekalahan Perang Dunia I, karena berkolaborasi dengan poros Italia
dan Jerman, menyebabkan Turki kehilangan banyak wilayah. Ini berakibat
semakin lemahnya Turki sehingga dikenal sebagai “the sickman of Europe” dan
memicu memunculkan ketidakpuasan. Revolusi akhirnya meletus dan berakibat
pada penghapusan sistem kekhalifahan pada 1924—yang dilakukan Mustafa
Kemal Attaturk, Presiden Turki waktu itu. Selain Turki yang berdaulat, tapi
lemah, dapat dikatakan dunia Islam masuk dalam periode penjajahan
(kolonialisme) Eropa.
Dihadapkan pada situasi dunia Islam yang merosot—politik, ekonomi,
dan pendidikan—banyak sarjana Muslim berpaling ke Barat untuk mempelajari
sebab-sebab kemajuan yang dicapai. Sehingga terjadi interaksi kultural yang
intensif antara Muslim dengan budaya Barat. Dalam konteks ini respon tokoh-
tokoh Muslim dapat dibagi dalam tiga kelompok besar. Meskipun demikian,

1
pada umumnya mereka sepakat dalam satu hal: dunia Islam membutuhkan
tajdid atau pembaruan dengan membuka selebar mungkin pintu ijtihad.
Kelompok pertama, mereka yang ingin mengikuti gagasan, langkah-
langkah, dan strategi Barat dalam mencapai kemajuan (progress). Tidak aspek
budaya dan pendidikan, mereka juga ingin mengadopsi sistem politik Barat.
Mereka dapat disebut dengan kelompok “modernis Islam”. Yang paling
ekstrem, lagi-lagi, adalah Turki. Modernisasi bagi Turki ditafsirkan sebagai
sekularisme—menjadikan agama sebagai urusan privat saja. Untuk hal-hal yang
sifatnya sosial, politik, dan ekonomi akan diatur sesuai dengan logika dan teori-
teori Barat. Meskipun demikian, tidak semua kelompok modernis Muslim,
mengikuti jalan Turki. Banyak di antara mereka yang memposisikan diri
mengambil Barat sebagai pelajaran untuk mencapai kemajuan masyarakat
Muslim.
Kelompok kedua, mereka yang ingin menggali kembali nilai dan spirit
Islam yang menurut mereka sudah ditinggalkan oleh kaum Muslim. Slogan yang
berkembang di kalangan kelompok ini adalah “al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-
Sunnah” (Back to the Qur’an and Sunnah). Mereka bersedia menerima ilmu dan
teknologi Barat, juga bersedia belajar dari Barat, tetapi dengan syarat ada
rujukannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Inilah kelompok yang dikenal dengan
“revivalist islam”—kelompok yang bercita-cita membangkitkan kembali Islam.
Ketiga, adalah kelompok yang memiliki pandangan bahwa kaum Muslim
telah terpengaruh oleh pandangan-pandangan atau budaya yang sifatnya
sinkretis sehingga kemurnian Islam terkontamisasi. Inilah yang menyebabkan
kaum Muslim tertinggal dari Barat. Meraka memiliki padangan bahwa untuk
mencapai kemajuan kembali, kaum Muslim perlu memurnikan kembali
keyakinan Islam, terutama pada aspek tawhid. Mereka dikenal dengan
kelompok “purification of Islam” (memurnikan kembali ajaran Islam). Jika
metode yang ditempuh adalah dengan kembali meniru kehidupan umat
terdahulu pada zaman sahabat, tabi’in, dan tabi’ut tabi’in, maka mereka juga
disebut dengan kaum salafi.
Ketiga kelompok tersebut mendominasi pemikiran modern dalam Islam
sejak awal abad ke-18 sampai dengan periode kontemporer sekarang ini.
Masing-masing kelompok telah berkembang sedemikian rupa dengan
kompleksitasnya masing-masing. Ketiga kelompok itu juga berkembang di
Indonesia melalui gerakan-gerakan pembaruan Islam yang berlangsung—yang
nanti akan kita bahas. Penting dicatat bahwa ketiga kelompok tersebut
meskipun memiliki pandangan dasar yang berbeda, harus diakui bahwa masing-
masing telah memberikan sumbangan pada kehidupan intelektual dan
peradaban Islam pasca abad ke-18.

Anda mungkin juga menyukai