Anda di halaman 1dari 4

SYARIAH DAN FIQH

Arief Subhan

Syari’ah, dan fiqh merupakan istilah yang seringkali ditemukan dalam


literatur studi Islam. Apakah sebenarnya pengertian kedua istilah tersebut?
Syari’ah memiliki akar kata syara’ yang secara bahasa (etimologi) berarti “jalan
menuju sumber air”—yang dalam konteks Arabia bisa jadi merupakan “jalan
menuju sumber kehidupan”. Dalam penggunaannya yang bersifat regilius,
syari’ah adalah “jalan kehidupan yang baik”, yaitu nilai-nilai agama yang
diungkapkan secara fungsional dan konkrit yang dimaksudkan untuk
mengarahkan kehidupan manusia. Dengan demikian, secara terminologis,
syrai’ah dapat diartikan sebagai “jalan yang ditetapkan oleh Tuhan di mana
manusia harus merealisir kehendak Tuhan”. Karena itu, syariah mengandung
pengertian yang luas, bahkan sejajar dengan pengertian al-din itu sendiri.
Menjalankan perintah syari’ah, dengan demikian, juga sama saja dengan
menjalankan perintah agama.
Sedangkan fiqh, pada hakekatnya, lebih merupakan ilmu pengetahuan
yang merupakan hasil pemahaman, atau penafsiran, dari sumber-sumber
syari’ah. Secara bahasa, fiqhs sendiri berarti “memahami”, atau “hasil
pemahaman”. Pada awalnya aktivitas memahami syari’ah bersifat individual
dan disebutkan ijtihad. Akan tetapi, pada perkembangannya dia berbentuk
metodologi Islam mapan yang di dalamnya terjadi dinamika dan interaksi antara
sumber hukum Islam (al-Qur’an dan Sunnah), ijtihad, dan Ijma (kesepakatan
kalangan ulama atas kasus hukum tertentu). Dengan demikian, fiqh
merupakan produk hukum yang merupakan hasil pemahaman ulama atas
masalah-masalah hukum. Karena merupakan hasil pemahaman dengan
metodologi tertentu, makan fiqh selalu membuka kemungkinan terjadinya
perbedaan pendapat (ikhtilaf).
Sebelum lebih jauh membicarakan tentang fiqh dan perkembangannya
dalam bentuk madzahab-madzah, terlebih dahulu akan diuraikan tentang
terminologi maqasid al-syari’ah—atau “tujuan ditetapkannya hukum”. Konsep
ini dirumuskan seorang faqih terkemuka yang hidup di Andalusia, Imam al-
Shatibi, atau nama lengkapnya Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa ibn Muhammad al-
Lakhmi al-Shatibi (w. 1388), dalam karyanya yang sangat terkenal, al-Muwafaqat
(terbit pertama kali di Tunis 1884), merumuskan maqasid al-shari’ah yang dapat
diringkaskan dalam bentuk lima nilai esensial yang harus mendapatkan
perlindungan dalam Islam. Lima nilai tersebut, yang biasa disebut sebagai ushul
al-khamsah, yaitu hak kebebasan beragama (hifdz al-din), hak hidup (hifdz al-
nafs aw al-hayat), hak untuk memiliki garis keturunan (hifdz al-nasl), Hak
kebebasan berpikir (hifdz al-aql), dan hak terhadap properti (hifdz al-mal).

1
Pertama, hak kebebasan beragama (hifdz al-din). Setiap manusia, tanpa
memandang ras dan etnis, memiliki hak menentukan keyakinan dan
melaksanakan keyakinannya. Tidak ada manusia yang bisa dipaksa untuk
memeluk agama atau keyakinan yang tidak sesuai dengan pilihannya (Q.S. al-
Baqarah [2]: 256). Setiap manusia harus dilindungi dari paksaan pihak lain,
perseorangan, kelompok dan negara, untuk berkeyakinan dan
melaksanakannya selain pilihannya sendiri. Penghormatan terhadap hak
beragama dan kebebasan beragama tidak hanya menjadi kewajiban individual,
tetapi juga menjadi kewajiban kelompok dan negara. Negara harus mengambil
cara-cara efektif untuk melindungi dan menghapus diskriminasi atas dasar
agama atau keyakinan. Negara harus mengusahakan undang-undang yang
mencegah semua bentuk diskriminasi dan mengambil inisiatif untuk memerangi
tindakan-tindakan intoleran yang mengatasnamakan agama.
Kedua, hak hidup (hifdz al-nafs aw al-hayat). Hak hidup adalah hak (dari
Allah swt) yang melekat pada setiap manusia, tanpa memandang latar belakang
ras, etnis, budaya dan agama. Setiap manusia mendapatkan jaminan untuk
hidup dan melanjutkan kehidupannya. Setiap manusia, dengan demikian,
memiliki hak yang sama. Tidak ada satu di antara mereka yang memiliki hak di
atas hak orang lain untuk menghilangkan kehidupan seseorang. Penghilangan
nyawa tidak dibenarkan oleh siapapun dengan alasan apa pun.
Ketiga, hak untuk memiliki garis keturunan (hifdz al-nasl). Hak reproduksi
adalah hak yang dimiliki seseorang karena fungsi reproduksinya. Hak reproduksi
menjadi penting setelah diselenggarakannya International Conference on
Population and Development (ICPD) di Kairo pada 1994. Hak reproduksi meliputi,
antara lain; (a) hak mendapatkan informasi yang jelas dan adil mengenai fungsi
reproduksi; (b) hak mendapatkan pendidikan; (c) hak menentukan pasangan
hidupnya; (d) hak menentukan apakah ingin memiliki keturunan atau tidak,
kapan dan berapa; (e) hak mengakses ilmu pengetahuan dan hasil
pembangunan; dan (f) hak mendapatkan privasi.
Keempat, adalah hak kebebasan berpikir (hifdz al-aql). Setiap warga
memiliki hak berpikir dan menyatakan pikiran secara bebas. Hak berpikir
merupakan unsur terpenting dari nilai-nilai warga yang tidak bisa dihalangi
siapapun—perseorangan, kelompok, negara maupun agama—karena
kebebasan berpikir merupakan jati diri manusia sebagai warga negara. Tanpa
kebebasan berpikir, manusia terhambat proses pertumbuhannya sebagai
makhluk yang beradab. Termasuk dalam kebebasan berpikir adalah hak
mendapatkan jaminan keselamatan atas dampak yang muncul akibat dari
ekspresi pemikiran mereka. Hasil pemikiran hanya bisa diadili dengan hasil
pemikiran, bukan dengan kekerasan. Hak mendapatkan pendidikan yang layak,
kekebasan akademis untuk melakukan penelitian, kajian dan kegiatan-kegiatan
lainnya yang terkait dengan penggunaan pikiran perlu mendapatkan jaminan
terutama dari negara.
Kelima, hak properti (hifdz al-mal). Setiap manusia memiliki hak
mendapatkan, mempertahankan, dan mendistribusikan apa yang mereka miliki

2
(kekayaan mereka). Fungsi utama dari hak atas kepemilikan pada dasarnya
untuk mempertahankan kehidupan. Tanpa kepemilikan, hak hidup menjadi
terancam. Untuk mewujudkan hak atas kekayaan, setiap manusia harus
mendapatkan jaminan penuh akan ketersediaan lapangan pekerjaan.
Karena fiqh merupakan hasil pemahaman ulama terhadap sumber
hukum Islam, atau dalam bahasa lain, hasil istimbat al-hukm (penggalian hukum)
ulama melalui ijtihad (usaha keras dan bersungguh-sungguh), dengan
metodologi tertentu, maka perbedaan pendapat tak terhindarkan. Inilah yang
disebut dengan ikhtilaf—sebagaimana di singgung di atas. Tentang ikhtilaf ini
terdapat sebuah hadis yang terkenal, ikhtilafu ummati rahmah (perbedaan di
antara ummatku akan menjadi rahmat). Dengan adanya perbedaan pendapat di
kalangan ulama, maka umat diberikan pilihan untuk memilih berdasarkan
konteks yang dihadapinya. Yang perlu digarisbawahi adalah maqasid al-
syari’ah, sebagaimana dirumuskan al-Syatibi di atas, terjami dalam hukum Islam
yang dirumuskan.
Dalam fiqh, “madzahab empat” merupakan madzhab-madzhab yang
terkenal dan otomatis juga yang memiliki pengikuti banyak. Akar kemunculan
madzhab-madzhab tersebut dimungkinkan karena sebuah hadis yang terkenal
berikut:
Ketika Muaz ibn Jabal ditugaskan sebagai hakim di Yaman, Nabi saw
bertanya: “Apa yang engkau lakukan jika kepadamu dihadapkan suatu
persoalan?” Muaz menjawab: “Saya akan melihat terlebih dahulu al-
Qur’an”. “Jika tidak kamu dapatkan”, kata Nabi. “Saya akan melihat
dalam Sunnah”, jawab Muaz. Nabi bertanya lagi, “Jika tidak kamu
jumpai?” Muaz menjawab, “Saya akan berijtihad semaksimal mungkin
dengan pikiran (ra’yu). Kemudian Muaz mengatakan bahwa Rasulullah
menepuk-nepuk dadanya dan mengatakan, “Segala puji bagi Allah yang
telah memberikan petunjuk kepada utusan RasulNya sesuai dengan yang
dikehendaki Allah dan RasulNya.”
Setelah Nabi saw wafat, tiga faktor berikut itu mempengaruhi munculnya
perbedaan pendapat di kalangan ulama mujtahid. Pertama, semakin luasnya
wilayah Islam—yang terbentang dari Semenanjung Arab, Irak, Syiria, Persia,
Mesir dan sebagainya—dengan kebudayaan lokal yang sangat beragam. Kedua,
interaksi kaum Muslim dengan etnis-budaya masyarakat di wilayah-wilayah
tersebut. Ketiga, semakin jauhnya jarak dengan pusat pemerintahan Islam
sehingga mendorong para gubernur, hakim, dan ulama harus berijtihad untuk
memberikan jawaban terhadap permasalahan hukum yang muncul (Farouk Abu
Zaid, al-Syari’ah al-Islamiyah bayn al-Muhafidzin wa al-Mujaddidin, h. 7).
Abu Hanifah Nu’man ibn Tsabit (80 H—150 H), merupakan mujtahid
pertama yang terkenal dan memiliki banyak pengikut. Ia mendapatkan julukan
Imam al-A’zam karena keluasan ilmunya. Abu Hanifah tinggal di wilayah
perkotaan Kufah, sebuah kota yang pada waktu itu tergolong maju, dan
berlokasi jauh dari Madinah. Di Kufah, sesuai dengan watak kehiduapan
masyarakat perkotaan, banyak masalah sosial yang muncul dan harus diberikan

3
penyelesaian hukumnya. Dengan posisi demikian, Hanafi banyak menggunakan
ijtihad atau ra’yu dalam menyelesaikan masalah hukum yang muncul sehingga
dikenal sebagai imam kaum rasional.
Selanjutnya adalah Imam Malik Ibn Anas (93 H—179 H). Ia lahir dan besar
di Madinah di lingkungan ahli hadis. Ia dikabarkan tidak pernah meninggalkan
Madinah dan hidup sederhana sesuai dengan ritme kota itu yang tenang dan
tidak banyak masalah-masalah sosial yang muncul. Masalah sosial yang kecil dan
dengan penduduk ahli hadis yang banyak menjadi faktor yang menjadikan Iman
Malik menjadi madzab yang dikenal dengan ahli hadis, atau dalam bahasa
modern disebut sebagai kelompok tradisionalis.
Berikutnya adalah Abu Abdillah Muhammad Ibn Idris Ibn Syafi’i atau yang
dikenal dengan Imam Syafi’i (150 H—204 H), lahir di Gazza Palestina dari
keluarga Quraish yang memiliki garis nasab pada Nabi saw melalui Abdi Manaf.
Ia merupakan murid Imam Malik dan Imam Hanafi. Namun pada
perkembangannya, dia mempuyai kritik terhadap Imam Malik dan kepada Imam
Hanafi, sehingga ia muncul dengan pendapatnya sendiri. Pandangan Imam
Syafi’i dapat dikatakan merupakan sintesa (gabungan) antara fiqh ahli hadits
(yang diperoleh dari Imam Malik) dan fiqh ahl ra’yi (yang diperoleh dari Imam
Hanafi). Dia memiliki dua pendapat yang berbeda, yang dikenal dengan qaul
qadim (pendapat lama), yaitu pendapat-pendapat ketika dia di Baghdad dan
qaul jadid (pendapat baru), yaitu pendapat-pendapat ketika dia pindah ke Mesir.
Dengan demikian, Imam Syafi’i telah mencerminkan diri sebagai kelompok
moderat.
Selanjutnya adalah Ahmad ibn Hambal (164 H—241 H), merupakan imam
madzhab paling muda di antara tiga tokoh sebelumnya. Berbeda dengan
pandahulunya, ia memiliki pendekatan yang dikenal dengan kembali kepada al-
Qur’an dan Sunnah secara ketat dalam fiqhnya. Ia menulis buku, al-Musnad,
yang merupakan kumpulan 40.000 hadis dari 700.000 hadis yang dia seleksi. Ibn
Hambal hidup di tengah kemajuan Badgdad sebagai ibukota Islam yang maju di
mana interaksi dengan kebudyaan lain semakin intensif. Reaksi yang diberikan
merupakan bentuk reaksi yang cenderung menolak pengaruh kebudayaan luar
ke dalam Islam, dan karenanya madzahabnya menjadi fundamentalis.

Anda mungkin juga menyukai