Anda di halaman 1dari 12

Nama : Mira Gusmara

NIM : 2032018020

REVIEW JURNAL

Judul FILSAFAT HUKUM ISLAM: Implikasi Logis terhadap Konstruksi


Pendidikan Islam
Jurnal Jurnal Ilmu Syari’ah dan Hukum
Volume
Vol. 46 No. 11
&Halaman
Tahun 2012
Penulis Mukhammad Ilyasin

Tujuan Penelitian Tujuan nya adalah untuk mengetahui dan memahami serta
menggali filsafat hukum Islam, dan rahasia-rahasia hukum
(asrar al-ahkam).
Metode Penelitian metodologi yang digunakan yaitu falsafah al-tasyri' dan
falsafah alsyari'ah yang dari dua pembagian ini dapat
diketahui beberapa hikmah disyari’atkannya hukum (hikmah
al-tasyri’) serta tujuan hukum dan rahasia-rahasia hukum
(asrar al-ahkam).

Hasil Penelitian A. Filsafat Hukum Islam


Falsafah al-tasyri’ adalah filsafat yang memancarkan,
menguatkan, dan memelihara hukum Islam atau filsafat yang
membicarakan hakikat dan tujuan penetapan hukum Islam.9
Falsafah tasyri’ dibagi menjadi: pertama, da’aim al-ahkam al-
Islam (dasar-dasar hukum Islam). Asas-asas pembinaan
hukum Islam yang dikatakan da’aim al- tasyri’ atau al-hukm
antara lain adalah: a). Menghilangkan kesulitan (nafyu al-
haraj) .
Kedua, mabadi’ al-ahkam al-Islam (prinsip-prinsip hukum
Islam). Titik tolak atau prinsip-prinsip hukum Islam ialah: a).
Prinsip tauhid; b). Prinsip masing-masing hamba
berhubungan langsung dengan Allah; c). Prinsip
menghadapkan khittab kepada akal; d). Prinsip memagari
akidah dengan akhlak (moral) yang utama sehingga dapat
mensucikan jiwa dan meluruskan kepribadian seseorang; e).
Prinsip menjadikan segala macam beban hukum demi untuk
kebaikan jiwa dan kesuciannya. f). Prinsip mengawinkan
agama dengan dunia dalam masalah hukum; g). Prinsip
persamaan. h). Prinsip menyerahkan masalah ta’zir kepada
pertimbangan penguasa atau para hakim; i). Prinsip tahkim.
j). Prinsip menyuruh ma‘ruf dan mencegah munkar; k).
Prinsip toleransi (tasammuh); l). Prinsip kemerdekaan; dan
m). Prinsip hidup bergotong-royong, jamin-menjamin
kehidupan bersama, bantu membantu antar sesama anggota
masyarakat.
Ketiga, usul al-ahkam al-Islam (sumber-sumber hukum Islam
atau pokok-pokok hukum Islam) atau masadir al-ahkam
(sumber-sumber Hukum Islam).
Keempat, qawa‘id al-ahkam al-Islam (kaidah-kaidah hukum
Islam). Ini adalah berupa kaidah-kaidah istinbat yaitu „amr,
nahyu, ‘amm, khas, mutlaq, muqayyad, mujmal, dan mufassar
atau segala kaidah yang berhubungan dengan kebahasaan,
yang dipetik dari kaidah-kaidah bahasa Arab, uslub-uslub dan
tarkib-tarkib-nya.
kelima, maqasid al-ahkam al-Islam yang merupakan tujuan-
tujuan hukum yang karena tujuan-tujuan tersebut hukum
disyariatkan dan diharuskan bagi para mukallaf untuk
menaatinya.
Untuk konteks ini, kajian yang komprehensif dapat dibagi
dalam empat bagian. Pertama, asrar al-ahkam al-Islami
(rahasiarahasia hukum). Kedua, khasais al-ahkam al-Islami
(karakteristik hukum Islam). Ketiga, mahasin al-ahkam al-
Islami (keutamaan hukum Islam). keempat, tabiat dan watak
hukum Islam.
B. Konstruksi Pendidikan Islam
Pendidikan bagi kehidupan manusia merupakan kebutuhan
mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat, bahkan
merupakan suatu proses atau kegiatan yang diarahkan untuk
mengubah tabiat (behavior) manusia. Yang dimaksud dengan
behavior adalah setiap tanggapan atau perbuatan seseorang,
sesuatu yang dilakukan oleh seseorang. Namun, yang paling
utama adalah membangun moralitas manusia modern dalam
menggapai peradaban madani. Oleh sebab itu, bagi
masyarakat Islam, mengkaji dan mengembangkan pendidikan
untuk melahirkan manusia-manusia unggul (insan kamil)
dengan berpegang teguh kepada al-Qur‟an dan Sunnah—
selain nalar juga wahyu.
pernyataan normatif ini juga menyiratkan bahwa Islam
sangatlah melarang adanya pemaksaan dan penindasan
dalam pendidikan. Dalam prosesnya, tidak boleh ada sebuah
penindasan tersistematis kepada anak didik, karena anak
didik mempunyai potensi insaniyyah (humanitas) yang
sangat ditinggikan dalam Islam. Tidak seperti sekarang ini di
mana secara ideologis, terjadi pemaksaan dan penindasan
dalam proses pendidikan, dan hal itu terjadi karena materi
pembelajaran bukan sesuatu yang dibutuhkan oleh manusia
dalam kehidupan, serta metode pembelajarannya bersifat
monoton dan lebih menonjolkan keaktifan guru daripada
partisipasi peserta didik dalam sebuah interaksi yang
dilakukan.
Kesimpulan nilai-nilai normatif yang dikembangkan pendidikan Islam
harus selalu dilandasi oleh empat hal yang menjadi isu pokok
yang dipandang sebagai dasar pendidikan Islam holistik-
integralistik, khususnya di bidang keagamaan, yaitu: 1)
Kesatuan dalam aspek ketuhanan dan pesan-Nya (wahyu); 2)
Kesatuan kenabian; 3) Tidak ada paksaan dalam beragama
(toleransi); dan 4) Pengakuan terhadap eksistensi agama lain
(inklusif).

Judul Mencermati Sejarah Perkembangan Filsafat Islam


Jurnal Jurnal TSAQAFAH
Volume
Vol. 10 No. 1
&Halaman
Tahun 2014
Penulis A. Khudori Soleh

Tujuan Penelitian Tujuan nya adalah untuk mengetahui dan memahami serta
menggali filsafat hukum Islam, dan rahasia-rahasia hukum
(asrar al-ahkam).

Metode Penelitian metodologi yang digunakan yaitu metode takwil, penjelasan


makna musytarak, dan qiyas.

Hasil Penelitian A. Bukan dari Filsafat Yunani


Ada beberapa hal yang harus diperhatian. Pertama, bahwa
belajar atau berguru tidak berarti hanya meniru atau
mengikuti semata. Harus dipahami bahwa suatu ide dapat
dibahas oleh banyak orang dan akan tampil dalam berbagai
macam fenomena. Seseorang berhak mengambil sebagian
gagasan orang lain tetapi itu semua tidak menghalanginya
untuk menampilkan teori atau filsafatnya sendiri. Aristoteles
(384-322 SM), misalnya, jelas murid Plato (427-348 SM),
tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak dikatakan
gurunya. Begitu pula Baruch Spinoza (1632-1777 M), walau
secara jelas sebagai pengikut Rene Descartes (1596-1650 M),
tetapi ia dianggap mempunyai pandangan filosofis yang
berdiri sendiri. Hal seperti itulah yang juga terjadi pada para
filsuf Muslim. Al-Farabi (870-950 M) dan Ibnu Rusyd (126-
1198 M), misalnya, walau banyak dilhami oleh pemikiran
filsafat Yunani, tetapi itu tidak menghalanginya untuk
mempunyai pandangannya sendiri yang tidak sama dengan
filsafat Yunani.
B. Sumber Rasionalitas Islam
Dalam upaya untuk memahami ajaran al-Qur’an tersebut,
minimal ada tiga model kajian resmi yang nyatanya
mempunyai relevansi filosofis. Antara lain, (1) penggunaan
takwîl. Makna takwil diperlukan untuk mengungkap atau
menjelaskan masalah-masalah yang sedang dibahas. Meski
model ini diawasi secara ketat dan terbatas, tapi
pelaksanaannya jelas membutuhkan pemikiran dan
perenungan mendalam, karena ia berusaha ‘keluar’ dari
makna lahiriah (zâ hir) teks. (2) Pembedaan antara istilah-
istilah atau pengertian yang mengandung lebih dari satu
makna (musytarak) dengan istilah-istilah yang hanya
mengandung satu arti. Di sini justru lebih mendekati model
pemecahan filosofis dibanding yang pertama. (3) Penggunaan
qiyâ s (analogi) atas persoalan-persoalan yang tidak ada
penyelesaiannya secara langsung dalam teks
C. Penerjemah Filsafat Yunani
Proses penerjemahan atas pemikiran filsafat Yunani ke dalam
bahasa Arab kemudian baru benar-benar dilakukan secara
serius setelah masa pemerintahan Bani Abbas, khususnya
pada masa kekuasaan khalifah al-Makmun (811-833 M);
suatu program yang oleh Abed al-Jabiri (1936-2010 M),
seorang pemikir Muslim asal Universitas Muhammad V,
Maroko, dianggap sebagai tonggak sejarah pertemuan
pemikiran rasional Yunani dengan pemikiran keagamaan
Arab-Islam, pertemuan epistemologi burhani Yunani dengan
epistemologi bayani Arab.
D. Pasang Surut Pemikiran Filsafat
Pemikiran filsafat Islam yang berkembang pasca
penerjemahan atas buku-buku Yunani, pertama kali,
dikenalkan oleh al-Kindi (806- 875). Dalam Kata Pengantar
untuk buku ‘Filsafat Utama’ (al-Falsafah al-Û la), yang
dipersembahkan pada khalifah al-Mu`tashim (833-842 M), al-
Kindi menulis tentang objek bahasan dan kedudukan filsafat,
serta ketidaksenangannya pada orang-orang yang anti
filsafat. Pemikiran rasional filsafat kemudian semakin
berkembang. Sepeninggal al-Kindi, lahir al-Razi (865-925),
tokoh yang dikenal sebagai orang yang ekstrim dalam teologi
dan juga dikenal sebagai seorang rasionalis murni yang hanya
mempercayai akal. Salah satu pikirannya yang dikenal adalah
pandangannya tentang akal. Menurutnya, semua
pengetahuan pada prinsipnya dapat diperoleh manusia
selama ia menjadi manusia. Hakikat manusia adalah akal atau
rasionya, dan akal adalah satu-satunya alat untuk
memperoleh pengetahuan tentang dunia fisik dan tentang
konsep baik dan buruk; setiap sumber pengetahuan lain yang
bukan akal hanya omong kosong, dugaan belaka, dan
kebohongan.
Kesimpulan Dalam bagian akhir ini, ada beberapa hal yang perlu
disampaikan. Pertama, bahwa pemikiran filsafat Islam tidak
didasarkan atas filsafat Yunani yang masuk ke dalam tradisi
keilmuan Islam lewat proses terjemahan melainkan
dikembangkan dari sumber-sumber khazanah Islam sendiri
karena adanya kebutuhan untuk itu. Alihalih didasarkan atas
filsafat Yunani, sebaliknya justru pemikiran rasional Islam
yang telah ada dan mapan sebelumnya itulah yang telah
memberikan jalan bagi diterimanya filsafat Yunani dalam
tradisi intelektual Islam. Meski demikian, harus diakui juga
bahwa hasil-hasil perterjemahan karya Yunani telah
membantu perkembangan filsafat Islam menjadi lebih pesat.
Kedua, bahwa grafik perkembangan pemikiran filsafat dalam
Islam ternyata tidak senantiasa naik dan mulus melainkan
mengalami pasang surut.
Ketiga, bahwa para tokoh filsafat Islam, mulai al-Kindi (806-
875 M), al-Farabi (870-950 M), sampai Ibnu Rusyd (1126-
1198 M), dengan caranya masing-masing sesungguhnya
senantiasa berusaha untuk menyelaraskan antara wahyu dan
rasio, antara agama dan filsafat, bukan memisahkannya
seperti yang sering dituduhkan oleh sebagian kalangan.
Karena itu, dugaan, asumsi atau bahkan tuduhan bahwa
filsafat Islam telah mengabaikan atau bahkan meninggalkan
ajaran wahyu, kiranya patut dikaji ulang

Judul KAJIAN FILSAFAT HUKUM ISLAM DALAM Al-QURAN


Jurnal Jurnal Al-‘Adl
Volume
Vol. 8 No. 2
&Halaman
Tahun 2015
Penulis Muhammad Hasdin Has

Tujuan Penelitian Tujuan dari adanya hukum Islam adalah terciptanya


kedamaian di dunia dan kebahagian di akhirat. Jadi, hukum
Islam bukan bertujuan meraih kebahagaiaan yang fana’ dan
pendek di dunia semata, tetapi juga mengarahkan kepada
kebahagiaan yang kekal di akhirat kelak.
Metode Penelitian metodologi yang digunakan yaitu metode diskriptif analisis
tentang filsafat hukum Islam dan hasilnya bahwa filsafat
hukum islam terbagi kepada dua rumusan, yaitu falsafah
tasyri dan falsyafah syariah. Falsafah tasyri

Hasil Penelitian A. Pengertian Filsafat Hukum Islam


Istilah filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia
yang kata dasarnya adalah philein artinya mencintai atau
philia, cinta dan sophia artinya kearifan yang pada akhirnya
melahirkan kata Inggris philosophy yang biasanya
diterjemahkan dalam pengertian “cinta kearifan” pengertian
filsafat ini pertama sekali dipergunakan oleh Pytagoras (572-
497 SM). Ia membagai kedalam dua kata “philos” (cinta),
sophie (pengetahuan). Hal ini dapat dilihat dari pertanyaan
seseorang yang bernama Leon kepada Pytagoras tentang
pekerjaannya. Maka Pytagoras menjawab bahwa
pekerjaannya adalah ia sebagai seorang filosof (pencinta
pengetahuan). “a lover of wisdom”.
B. Filsafat Hukum Islam dalam Sejarah
Dalam Al-Qur’an maupun dalam as-sunnah, tidak terdapat
kata filsafat, tidak berarti bahwa Al-Qur’an dan As-sunnah
tidak mengenal apa yang dimaksud dengan falsafah itu.
Dalam kedua sumber itu dikenal kata lain yang sama
maksudnya dengan itu yaitu kata hikmah. Pemikiran
terhadap Hukum Islam telah lahir sejak awal sejarah umat
Islam, disebabkan oleh adanya dorongan Al-Qur’an dan
Sunnah Rasul agar manusia menggunakan pikirannya dalam
menghadapi persoalan-persoalan hidup, lebihlebih dalam
persoalan yang fundamental, menyangkut akidah atau
keyakinan agama. Meskipun dalam hadits Mu’adz tentang
sumber-sumber Hukum Islam dinyatakan bahwa ijtihad
dilakukan dalam hal-hal yang tidak tercantum Al-Qur’an atau
Sunah Rasul, namun dalam sejarahnya, para sahabat Nabi
melakukan ijtihad juga dalam hal-hal yang nyata-nyata
disebutkan ketentuan hukumnya dalam nash. Ijtihad dalam
hal yang disebutkan dalam Al-Qur’an atau Sunah Rasul itu
dapat menyangkut pemahamannya, dapat menyangkut
penerapannya dan sebagainya.
C. Perkembangan Filsafat Hukum Islam
Kerangka berpikir al-Juwaini di atas di kembangkan oleh
muridnya alGazali. Dalam kitabnya Syifa al-Gali, al-Gazali
menjelaskan maksud syariat dalam kaitannya dengan
pembahasan al-Munasabat al-Mashlahiyyat dalam qiyas,
sementara dalam kitabnya yang lain ia memebicarakannya
dalam pembahasan istishlah. Maslahat, baginya adalah
memelihara maksud al-Syari’, pembuat hukum. Kemudian ia
memerinci mashahat itu menjadi lima, yaitu: Memelihara
agama, jiwa, akal keturunan dan harta. Kelima aspek
maslahat ini menurut alGhazali, berada pada peringatan yang
berbeda, bila ditinjau dari segi tujuannya, yaitu peringkat
daruriyyat, hajiat dan tahsiniyyat. Dari sini teori maqasid
alSyariah sudah kelihatan bentuknya. Ahli fiqh yang
berikutnya yang membahas secara khusus aspek utama
Maqasid al- Syariah, adalah Izz al-Din Ibn Abd al-Sala>m dari
kalangan mazhab Syafii. Dalam kitabnya Qowaid al-Ahkam fi
Masalih al-Anam, ia lebih banyak mengelaborasi hakikat
mas}lahat yang dijawantahkan dalam bentuk daru’ almafasid
wa jalwu al-manafi’ (menghindari mafsadat dan
menarikmanfaat). Baginya Mas}lahat dunyawiyat tidak dapat
dilepaskan dari tiga peringkat, yaitu: daruriyyat, hajiyat, dan
tatimmat atau takmillat.
D. Kegunaan Filsafat Hukum Islam
Diantara kegunaan memempelajari Filsafat Hukum Islam: 1.
Menjadikan filsafat sebagai pendekatan dalam menggali
hakikat, sumber dan tujuan hukum Islam. 2. Dapat
membedakan kajian ushul fiqih dengan filsafat terhadap
hukum Islam. 3. Mendudukan Filsafat Hukum Islam sebagai
salah satu bidang kajian yang penting dalam memahami
sumber hukum Islam yang berasal dari wahyu maupun hasil
ijtihad para ulama. 4. Menemukan rahasia-rahaisa syariat
diluar maksud lahiriahnya. 5. Memahami ilat hukum sebagai
bagian dari pendekatan analitis tentang berbagai hal yang
membutuhkan jawaban hukumiyahnya sehingga pelaksanaan
hukum Islam merupakan jawaban dari situasi dan kondisi
yang terus berubah dinamis. 6. Membantu mengenali unsur-
unsur yang mesti dipertahankan sebagai kemapanan dan
unsure-unsur yang menerima perubahan sesuai dengan
tuntunaan situasional
Kesimpulan Para ahli Ushul Fiqh, sebagaimana ahli filsafat hukum islam,
membagi filsafat hukum islam kepada dua rumusan, yaitu
Falsafah Tasyri dan Falsafah Syariah. Falsafah tasyri adalah
Fasafah yang memancarkan hukum islam atau
menguatkannya dan memeliharanya. Filsafat ini bertigas
membicarakan hakikat dan tujuan hukum islam. Falsafat
syari’ah adalah filsafat yang di ungkapkan dari materi-materi
hukum Islam, seperti Ibadah, muamalah, jinayah, uqubah dan
sebagainya. Dengan demikian filsafat hukum Islam
merupakan anak sulung filsafat Islam, baru kemudian disusul
dengan Ilmu Kalam, diikuti oleh lahirnya pemikiran
kefilsafatan yang berusaha mempertemukan ajaran Islam
dengan hasil-hasil pemikiran para filosuf Yunani, dan
Tasawuf Islam yang berbaur dengan berbagai macam unsur:
India, Parsi, Cina dan Yunani. Berijtihad dengan
mempergunakan akal dalam permasalahan hukum Islam,
yang padahakikatnya merupakan pemikiran falsafi itu
direstui oleh Rasulullah. Bahkan Allah swt. mengindikasikan
bahwa mempergunakan akal dan pikiran atau berpikir falsafi
itu sangat perlu dalam memahami berbagai persoalan.

Anda mungkin juga menyukai