Anda di halaman 1dari 18

Kaidah-Kaidah Fiqh dalam al-Nazhariyah al-Siyasah

Ditulis oleh:
Mira Gusmara (2031018020)

Semester / Unit : 5 / 1 (satu)


Jurusan :Hukum Tatanegara Islam
Dosen pembimbing : Muhajir, S.Ag., L.L.M.
Mata kuliah : Qawaid Fiqhiyyah Siyasah

FAKULTAS SYARIAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) LANGSA
TAHUN 2021
PENGANTAR

Assalamualaikum Wr.Wb.
Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah, atas izinnya sehingga saya dapat
menyelesaikan Makalah dari Mata Kuliah “Qawaid Fiqhiyyah Siyasah”.
Dalam penulisan makalah ini, saya sendiri masih banyak kekurangan yang
jauh dari kata sempurna baik pada teknis penulisan maupun isi materi dari
makalah saya, mengingat akan kemampuan yang saya miliki. Untuk itu, saya
sangat berharap adanya kritik dan saran untuk saya yang membangun ke
depannya.
Harapan saya, semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih
luas dan menjadi sumbangan pemikiran kepada pembaca khususnya para
mahasiswa.
Mungkin hanya ini yang dapat saya sampaikan pada kesempatan kali ini, terima
kasih atas perhatiannya, kurang lebihnya saya memohon maaf yang sebesar-
besarnya.
Wassalamualaikum Wr.Wb.

Penulis

ii
DAFTAR ISI

PENGANTAR ...................................................................................................................
ii
DAFTAR ISI .....................................................................................................................
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ........................................................................................................
1

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian dan Ruang Lingkup Siyasah..................................................................
2
B. Kaidah-kaidah Fiqih di Bidang Siyasah..................................................................
2
C. Pengertian Maslahah................................................................................................
7
D. Bentuk dan Macam-macam Maslahah.....................................................................
7
E. Maslahat Duniawiyah dan Nash Syara’...................................................................
10

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan..............................................................................................................
11
B. Saran........................................................................................................................
11

iii
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................
12

iv
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Siyasah dalam peradaban kaum muslim mengatur berbagai bentuk tentang


tata cara memimpin, dan membangun pemerintahan. Peradaban Islam tidak akan
dapat tegak sempurna tanpa adanya negara yang cocok baginya, yaitu negara
khilafah Islamiyah. Sistem politik Islam yang disebut dengan siyasah dipandang
sebagai sebuah proses yang tidak pernah selesai. Ia senantiasa terlibat dalam
pergulatan sosial dan budaya. Fakta tersebut berlangsung selama perjalanan
sejarah umat Islam. Meskipun demikian, nilai siyasah tidak serta merta menjadi
relatif karena ia memiliki kemutlakan yang terkait keharusan untuk mewujudkan
keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah.1 Siyasah secara garis besarnya
terbagi menjadi dua yaitu siyasah wadh`iyyah ialah siyasah yang dikenal
berdasarkan kepada pengalaman sejarah dan adat masyarakat dalam mengatur
hidup manusia bermasyarakat dalam negara. Yang kedua, siyasah syar`iyyah yaitu
siyasah yang berdasarkan syara` yang mengikut etika agama, moral dan
memperhatikan prinsip-prinsip umum syariat dalam mengatur manusia hidup
bermasyarakat dan bernegara dalam Islam.2 Akan tetapi dalam hal ini, Islam lebih
mengacu pada siyasah syar`iyyah dari pada siyasah wadh`iyyah, karena dianggap
bertentangan dengan ajaran Islam sehingga kurang diterima keberadaanya oleh
kaum muslimin.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dan ruang lingkup siyasah?
2. Apa saja kaidah-kaidah fikih di bidang siyasah?
3. Bagaimana bentuk dan macam-macam Maslahah?

1
Ahmad Djazuli, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 1
2
Ahmad Djazuli, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Prenada Media, 2003), hal. 44

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Siyasah


Sebelum membahas tentang kaidah-kaidah fikih yang berhubungan dengan
siyasah, alangkah baiknya dikemukakan terlebih dahulu pengertian dari siyasah
tersebut. Kata Siyasah berasal dari kata Sasa. Kata ini dalam kamus Al-Munjid
dan lisan Al-‘Arab berarti mengatur, mengurus, dan memerintah. Siyasah juga
berarti pemerintahan dan politik, atau membuat kebijaksanaan.
Secara terminologis dalam lisan al-Arab, Siyasah adalah mengatur atau
memimpin sesuatu dengan cara membawa kepada kemaslahatan. Sedangkan di
dalam Al-Munjid di sebutkan, Siyasah adalah membuat kemaslahatan manusia
dengan membimbing mereka ke jalan yang menyelamatkan. Siyasah adalah ilmu
pemerintahan untuk mengendalikan tugas dalam negeri dan luar negeri, yaitu
politik dalam negeri dan politik luar negeri serta kemasyarakatan, yakni mengatur
kehidupan atas dasar keadilan dan istiqamah.3
Seperti diketahui bahwa fikih siyasah adalah hukum Islam yang objek
bahasannya tentang kekuasaan. Apabila disederhanakan, fikih siyasah meliputi
hukum tata negara, administrasi negara, hukum internasional, dan hukum
ekonomi. Apabila dilihat dari sisi hubungan, fikih siyasah berbicara tentang
hubungan antara rakyat dan pemimpin-pemimpinnya sebagai penguasa yang
konkrit di dalam ruang lingkup satu negara atau antarnegara atau dalam
kebijakan-kebijakan ekonominya baik nasional maupun internasional.

C. Kaidah-kaidah Fiqih di Bidang Siyasah


Di antara beberapa kaidah fikih di bidang fikih siyasah yang dianggap penting
untuk diketahui:
1. ‫ف ا ِال َم ِام َعلَى ال َّر ِعيَ ِة َمنُوطٌ بِال َمصْ لَ َح ِة‬
]ُ ُّ‫صر‬
َ َ‫ت‬

3
Suyuthi Pulungan, Fiqh Siyasah, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994), hal. 22-23

2
“Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung kepada
kemaslahatan”4
Memperkuat kaidah ini, apa yang dikatakan oleh Umar bin Khattab yang
diriwayatkan oleh Sa’id bin Manshur:
ُ ‫ااس]]تَ ْغنَي‬
‫ْت‬ ُ ‫ت اَخ َْذ‬
ُ ْ‫ت ِم ْنهُ َواِ َذاا ْي َسر‬
ْ ‫ت َر َد ْدتُهُ َواِ َذ‬ ُ ْ‫ت نَ ْف ِسى ِم ْن َما ِل هللاِ َم ْن ِزلَةَ َولِ ِّى ْاليَتِي ِْم اِنِاحْ تَج‬
ُ ‫اِنِّ ِى اَ ْن َز ْل‬
ُ ‫اِ ْستَ ْعفَ ْف‬
‫ت‬
“Sungguh aku menempatkan diri dalam mengurus harta Allah seperti kedudukan
seorang wali anak yatim, jika aku membutuhkan, aku mengambil daripadanya,
jika aku dalam kemudahan, aku mengembalikannya, dan jika aku berkecukupan,
aku menjauhinya”.

Kaidah ini menegaskan bahwa seorang pemimpin harus berorientasi kepada


kemaslahatan rakyat, bukan mengikuti keinginan hawa nafsunya dan keinginan
keluarga atau kelompoknya. Kaidah ini juga dikuatkan oleh surat al- Nisâ’ ayat
58. Banyak contoh yang berhubungan dengan kaidah tersebut yaitu setiap
kebijakan yang maslahat dan manfaat bagi rakyat, maka itulah yang harus
direncanakan, dilaksanakan, diorganisasikan, dan dinilai atau dievaluasi kemajuan
nya. Sebaliknya, kebijakan yang mendatangkan mafsadah dan memudaratkan
rakyat, itulah yang harus disingkirkan dan dijauhi. Dalam upaya-upaya
pembangunan misalnya, membuat irigasi kepada para petani, membuka lapangan
kerja yang padat karya, melindungi hutan lindung, menjaga lingkungan,
mengangkat pegawai-pegawai yang amanah dan professional, dan lain
sebagainya.
2. ُ‫اَ ْل ِخيَانَةُ الَتَتَ َج َّزأ‬
“Perbuatan khianat itu tidak terbagi-bagi”5
Apabila seseorang tidak melaksanakan atau khianat terhadap salah satu
amanah yang dibebankan kepadanya, maka ia harus dipecat dari keseluruhan
amanah yang dibebankan kepadanya. Contohnya, seorang kepala daerah memiliki
banyak amanah yang dibebankan kepadanya, baik tentang keuangan,

4
Ahmad Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih Islam “kaidah-kaidah hukum Islam dalam menyelesaikan
masalah-masalah yang praktis”, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 147
5
Mustofa Hasan, “Aplikasi Teori Politik Islam Perspektif Kaidah-Kaidah Fikih”, Jurnal Madania Vol.
18 No. 01, 2014, hal. 104

3
kepegawaian, maupun tentang kebijakan yang arif dan bijaksana. Apabila ia
menyalahgunakan wewenangnya, misalnya dibidang keuangan dengan melakukan
korupsi, maka ia harus di hukum dan dipecat. Artinya seluruh amanah lain yang
dibebankan kepadanya, karena jabatannya itu menjadi lepas semuanya. Sebab
melanggar salah satunya berarti melanggar keseluruhannya.

3. ُ‫اِ َّن ا ِال َما َم أَ ْن يَ ْخطَ َئ فِي ال َع ْف ِو َخ ْي ٌر ِم ْن اَ ْن يَ ْخطَ َئ فِي ال ُعقُوبَة‬

“Seorang pemimpin itu salah dalam memberi maaf lebih baik daripada salah
dalam menghukum”.
Kaidah ini sama dengan ungkapan hadis yang diriwayatkan oleh al-Tirmidzi.
Maksud kaidah tersebut di atas menegaskan bahwa kehati-hatian dalam
mengambil keputusan sangatlah penting. Jangan sampai akibat dari keputusan
pemimpin mengakibatkan kemunduran kepada rakyat dan bawahannya. Apabila
seorang pemimpin masih ragu karena belum ada bukti yang meyakinkan antara
memberi maaf atau menjatuhkan hukuman, maka yang terbaik adalah memberi
maaf. Tetapi apabila sudah jelas dan meyakinkan bukti-buktinya, maka seorang
pemimpin harus berani dan tegas mengambil keputusan sesuai dengan kaidah:

‫يقدم في كل والية من هو اقدم على القيام بحقوقها ومصالح‬

“Didahulukan dalam setiap kekuasaan, orang yang berani menegakkan hak atau
kebenaran atau kemaslahatan”.
Ibnu Taimiyah menyimpulkan dengan:
‫اختيار األمثال فألمثال‬

“Memilih yang representatif atau yang lebih representatif lagi”.6

6
Mustofa Hasan, “Aplikasi Teori Politik Islam Perspektif Kaidah-Kaidah Fikih”, Jurnal Madania Vol.
18 No. 01, 2014, hal. 105

4
ِ َ‫صةُ أَ ْق َوى ِمن‬
4. ‫الوالَيَ ِة ال َعا َّم ِة‬ َّ ‫الوالَيَةُ الخَا‬
ِ

“Kekuasaan yang khusus lebih kuat (kedudukannya) dari pada kekuasaan


yang umum”.
Dalam fikih siyasah ada pembagian kekuasaan sejak zaman kekhalifahan.
Pembagian kekuasaan itu terus berkembang, maka muncul berbagai lembaga
kekuasaan dalam suatu negara. Ada khalifah sebagai lembaga kekuasaan
eksekutif, ada lembaga legislatif dan lembaga yudikatif. Bahkan ada lembaga
pengawasan.Maksud kaidah tersebut tersebut di atas bahwa lembaga-lembaga
yang khusus lebih kuat kekuasaannya dari pada lembaga yang umum. Contohnya
Camat lebih kuat kekuasaannya dalam wilayahnya daripada kepala desa; wali
nasab lebih kuat kekuasaannya terhadap anaknya dari pada lembaga peradilan
agama, dan seterusnya.
5. ‫َار ا ِإل ْساَل ِم الع ُْذ ُر بِ َجه ِْل األَحْ َك ِام‬
ِ ‫اَيُ ْقبَ ُل فِي د‬
“Tidak diterima di negeri muslim pernyataan tidak tahu hukum”.7
Sudah tentu yang dimaksud tidak tahu hukum di sini adalah hukum yang
bersifat umum karena masyarakat mestinya mengetahui, seperti hukum mentaati
ulil amri adalah wajib, zakat itu wajib, dan lain sebagainya.
6. ‫األَصْ ُل فِي ال َعالَقَ ِة الس ِّْل ُم‬
“Hukum asal dalam hubungan antar negara adalah perdamaian”.
Ajaran Islam baik dalam hubungan antara manusia maupun antara negara
adalah perdamaian. Perang hanya dilakukan untuk melakukan pertahanan diri.
Perang bersifat temporer dan dilakukan ketika satu-satunya penyelesaian adalah
perang. Perang itu karena darurat. Oleh sebab itu, harus memenuhi persyaratan
darurat. Apabila terpaksa terjadi perang, harus diupayakan kembali kepada
perdamaian, baik dengan cara penghentian sementara, perjanjian, dan dengan
melalui lembaga arbitrase.
ِ ْ‫الحر‬
7. ‫ب‬ َ ‫َار‬ ِ َ‫َارا ِإل ْساَل ِ]م لَ ْم ي‬
ِ ‫صحُّ فِي د‬ ِ َ‫ُكلُّ ُمبِي ٍْع لَ ْم ي‬
ِ ‫صحُّ فِي د‬

7
Mustofa Hasan, “Aplikasi Teori Politik Islam Perspektif Kaidah-Kaidah Fikih”, Jurnal Madania Vol.
18 No. 01, 2014, hal. 106

5
“Setiap barang yang tidak sah dijual belikan di negeri Islam, maka tidak sah
pula dilakukan di negeri harbi”.
Negara harbi adalah negara yang sedang berperang dengan negara Islam.
Kaidah ini Dalam kehidupan bersama sering terjadi dipakai oleh mazhab Maliki
dan Syafi`i. Kaidah ini berkaitan dengan nasionalitas. Artinya, dimana pun
berada, barang-barang yang haram tetap haram hukumnya. Jadi seorang muslim
yang pergi ke luar negeri, tetap haram baginya makan daging babi, minum
minuman yang memabukkan, melakukan riba dan sebagainya. Selain itu, dia
harus tetap salat, puasa, memegang amanah, dan lain sebagainya.
ْ ‫ال َع ْق ُد يُرْ عَى َم َع ال َكافِ ِر َك َما يُرْ عَى َم َع ال ُم‬
8. ‫سلِم‬
“Setiap perjanjian dengan orang non muslim harus dihormati seperti
dihormatinya perjanjian semua muslim”.
Kaidah ini berlaku dalam akad, perjanjian, atau transaksi antara individu
muslim dan non muslim dan antara negeri muslim dan non muslim secara bilateral
atau unilateral.
ِ ِ‫ال ِجبَايَةُ ب‬
9. ‫الح َمايَ ِة‬
“Pungutan harus disertai dengan perlindungan”.
Kaidah ini menegaskan bahwa setiap pungutan berupa harta dari rakyat, baik
berupa zakat, rikaz, ma`dun, kharaj, wajib disertai dengan perlindungan dari
pemerintah kepada warga yang sudah mengeluarkannya. Pemerintah tidak punya
hak untuk memungut tanpa melindungi rakyatnya. Apabila tidak ada perlindungan
dari pemerintah terhadap rakyatnya, maka pemerintah tidak berhak memungut apa
pun dari rakyatnya. Yang dimaksud dengan perlindungan ini adalah rakyat harus
dilindungi hartanya, darahnya dan kehormatannya. Termasuk di dalamnya
menciptakan kondisi keamanan yang menyeluruh agar bisa berusaha, bekerja
dalam lapangan kerja yang halal, serta membangun sarana dan prasarana untuk
kesejahteraan rakyatnya.
ِ ‫ال ُخرُو ُج ِمنَ ال ِخاَل‬
10. ٌ‫ف ُم ْست ََحب‬
“Keluar dari perbedaan pendapat adalah disenangi”.8
8
Mustofa Hasan, “Aplikasi Teori Politik Islam Perspektif Kaidah-Kaidah Fikih”, Jurnal Madania Vol.
18 No. 01, 2014, hal. 107

6
Dalam kehidupan bersama sering terjadi dipakai oleh mazhab Maliki dan
Syafi`i. Kaidah ini berkaitan dengan nasionalitas. Artinya, dimana pun berada,
barang-barang yang haram tetap haram hukumnya. Jadi seorang muslim yang
pergi ke luar negeri, tetap haram baginya makan daging babi, minum minuman
yang memabukkan, perbedaan pendapat. Perbedaan pendapat ini penting dalam
memberi alternatif pemecahan masalah. Tetapi, kembali kepada kesepakatan itu
disenangi, setelah terjadi terjadi perbedaan pendapat tadi, ini agar kehidupan
masyarakat menjadi tenang kembali.
11.ُ‫ك ُكلُّه‬
ُ ‫ك ُكلُّهُ الَيُ ْت َر‬
ُ ‫َما الَيُ ْد َر‬
“Apa yang tidak bisa dilaksanakan seluruhnya, jangan ditinggalkan
seluruhnya”.
Kaidah ini menyatakan bahwa apabila suatu keputusan yang baik sudah
diambil tetapi dalam pelaksanaannya banyak hambatan, maka tidak berarti harus
ditinggalkan seluruhnya. Akan tetapi, apa yang dapat dilaksanakan itulah yang
dikerjakan sesuai dengan kesempatan dan kemampuan yang ada.
12.‫لَهُ ْم َمالَنَا َو َعلَ ْي ِه ْم َما َعلَ ْينَا‬
“Bagi mereka ada hak seperti hak-hak yang ada pada kita terhadap mereka
dibebani kewajiban seperti beban kewajiban terhadap kita”.
Kaidah diatas tersebut menegaskan adanya persamaan hak dan kewajiban di
antara sesama warga negara yang dilandasi oleh moral ukhuwah wathaniyah,
meskipun mereka berbeda warna kulit, bahasa, dan budaya, seta kekayaannya.
Ulama menggunakan kaidah di atas dalam konteks hubungan antar negara muslim
dan dzimmi. Mereka berkedudukan sama di depan penguasa dan hukum.

D. Pengertian Maslahah
Menurut istilah ulama ushul ada bermacam-macam ta’rif yang diberikan,
yaitu:
1. Imam Ar-Razy mena’rifkan sebagai berikut: “maslahah adalah
perbuatan yang telah diperintahkan oleh musyarri’ (Allah) kepada
hambanya tentang pemeliharaan agamanya, jiwanya, akalnya,
keturunannya dan hartanya.”

7
2. Imam Al-Ghazali mena’rifkan sebagai berikut: “maslahah pada
dasarnya adalah meraih manfaat dan menolak mudharat”
3. Muhammad Hasbi As-Siddiqi: “maslahah adalah memelihara tujuan
syara’ dengan jalan menolak segala sesuatu yang merusakkan
makhluk.”
E. Bentuk dan Macam-macam Maslahah
Maslahah terdiri atas dua bentuk:
1. Mewujudkan manfaat, kebaikan dan kesenangan untuk manusia yang biasa
disebut dengan ‫( َج ْلبُ ْال َمنَافِ ِع‬membawa manfaat). Kebaikan dan kesenangan itu
ada yang langsung dirasakan oleh yang melakukan perbuatan yang disuruh itu.
Ibarat orang yang sedang haus meminum minuman segar. Ada juga yang
dirasakannya kemudian hari, sedangkan pada waktu melaksanakannya tidak
dirasakan sebagai suatu kenikmatan tatapi justru ketidakenakan. Seperti orang
yang sedang sakit malaria disuruh meminum obat yang rasanya pahit. Segala
suruhan Allah barlaku untuk mewujudkan kebaikan dan manfaat seperti ini.
2. Menghindari umat manusia dari kerusakan dan keburukakn yang disebut ‫درا‬
‫( المفاسد‬menolak kerusakan). Kerusakan dan keburukan itu ada yang langsung
dirasakannya setelah melakukan perbuatan yang dilarang, ada juga yang waktu
berbuat dirasakannya sebagai sesuatu yang menyenangkan tetapi setelah itu
dirasakan kerusakan dan keburukannya. Umpamanya berzina dengan pelacur
yang berpenyakit atau meminum minuman manis bagi yang berpenyakit
diabetes.9
Adapun yang menjadi tolok ukur menentukan baik buruknya (manfaat dan
mafsadatnya) sesuatu yang dilakukan dan yang menjadi tujuan pokok pembinaan
hukum itu adalah apa yang menjadi kebutuhan dasar bagi kehidupan manusia.
Jika ditinjau dari al-Maqhosid As-Syariah maka kemaslahatan terbagi menjadi
tiga bagian, yaitu:
1. Mashlaha Dlaruriyah, yaitu kemaslahatan yang mendukung tetapnya
kehidupan manusia dan tegak dan eksisnya masyarakat. Dengan kata lain
kemashlahatan yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh kehidupan

9
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh jilid 2, hal. 208

8
manusia. Dalam artian kehidupan manusia tidak punya arti apa-apa atau
kehidupann manusia akan rusak jika prinsip yang lima (hifdzu ad-din, hifdzu
an-nafs, hifdzu al-aql, hifdzu an-nasal, hifdzu al-mal) itu tidak terpenuhi. Jika
lima prinsip tersebut tidak dipenuhi maka kehidupan manusia akan terputus
dan peraturan masyarakat tidak akan terwujud.10
Dibawah ini akan dijelaskan lima prinsip yang telah disebutkan:
a) hifdzu ad-din, untuk mewujudkan kemaslahatan dalam agama Allah
memerintahkan manusia untuk memiliki rukun iman yang enam,
mengerjakan dasar-dasar ibadah seperti sholat dan puasa.
Selain itu untuk menjaga kemaslahatan yang berkenaan dengan agama
Allah melarang manusia berbuat murtad (keluar dari agama islam).
Karena hal itu akan mencederai kemaslahatan manusia yang berbentuk
agama, dalam surat al-Taubah: 41
٤١﴿ َ‫ُوا بِأ َ ْم َوالِ ُك ْم َوأَنفُ ِس ُك ْم فِي َسبِي ِل هّللا ِ َذلِ ُك ْم َخ ْي ٌر لَّ ُك ْم إِن ُكنتُ ْم تَ ْعلَ ُمون‬
ْ ‫ُوا ِخفَافا ً َوثِقَاالً َو َجا ِهد‬
ْ ‫﴾ا ْنفِر‬
Yang artinya: “Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan
ataupun merasa berat, dan berjihadlah dengan harta dan dirimu di jalan
Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu jika kamu
mengetahui.”
b) hifdzu an-nafs. Untuk mewujudkan kemashlahatan jiwa, maka Allah
memerintahkan manusia untuk menikah secara syar’i dan melarang
manusia untuk membunuh karena hal tersebut akan mencederai jiwa
manusia, sebagaimana firman Allah dalam surat al-an’am: 151
ۡ‫قُ ۡل تَ َعالَ ۡوا اَ ۡت ُل َما َح َّر َم َربُّ ُكمۡ َعلَ ۡي ُكمۡ‌ اَاَّل تُ ۡش ِر ُك ۡوا بِ ٖه َش ۡئـًًٔ]ـــا َّوبِ ۡال َوالِ ]د َۡي ِن اِ ۡح َس ]انًا‌ ۚ َواَل ت َۡقتُلُ] ۤۡ]وا اَ ۡواَل َد ُكم‬
‫س‬َ ‫ش َما ظَهَ َر ِم ۡنهَ]]ا َو َم]]ا بَطَنَ‌ ۚ َواَل ت َۡقتُلُ]]وا النَّ ۡف‬ َ ‫اح‬ ِ ‫ق‌ؕ ن َۡحنُ ن َۡر ُزقُ ُكمۡ َواِيَّاهُمۡ‌ ۚ َواَل ت َۡق َربُوا ۡالفَ َو‬ ٍ ‫ِّم ۡن اِمۡ اَل‬
َ‫صٮ ُكمۡ بِ ٖه لَ َعلَّ ُكمۡ ت َۡعقِلُ ۡون‬ ّ ٰ ‫ق ؕ ٰذ لِ ُكمۡ َو‬ ‌ِّ ‫الَّتِ ۡى َح َّر َم هّٰللا ُ اِاَّل بِ ۡال َحـ‬

”...Janganlah kamu melakukan pembunuhan terhadap diri yang


diharamkan Allah, kecuali secara hak...”
c) hifdzu al-aql. Untuk memelihara akal yang diciptakan Allah khusus
bagi manusia, diharuskan berbuat sgala sesuatu untuk menjaga

10
Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi ushul al-Fiqh, hal. 379

9
keberadaannya dan meningkatkan kualitasnya dengan cara menuntut
ilmu. Segala usaha untuk itu adalah perbuatan baik yang disuruh Allah.
Dalam hal ini manusia disuruh menuntut ilmu tanpa batas usia dan tidak
memperhitungkan jarak atau tempat, sebagaimana sabda Nabi:
َ ‫طَلَبُ ْال ِع ْل ِم فَ ِري‬
‫ْضةٌ َعلَى ُك ِّل ُم ْسلِ ٍم‬
“menuntut ilmu itu wajib atas setiap orang yang beriman.”11
d) hifdzu an-nasal. Untuk menjaga keturunan maka Allah memerintahkan
manusia menikah secara syari’at dan melarang manusia berbuat zina.
karena zina akan merusak keturunan, sebagaimana firman-Nya dalam
surat al-Nur:32
ُ ‫َوأَن ِكحُوا اأْل َيَا َمى ِمن ُك ْم َوالصَّالِ ِحينَ ِم ْن ِعبَا ِد ُك ْم َوإِ َمائِ ُك ْم إِن يَ ُكونُوا فُقَ َراء يُ ْغنِ ِه ُم هَّللا ُ ِمن فَضْ لِ ِه َوهَّللا‬
٣٢﴿ ‫﴾ َوا ِس ٌع َعلِي ٌم‬
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang
lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka
miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan
Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.”
e) hifdzu al-mal. Untuk menjaga harta maka Allah melarang manusia
mencuri, menghukum orang yang mencuri dan memperbolehkan
manusia untuk bertransaksi secara syar’i. Sebagaimana firman Allah
dalam surat al-jumu’ah:10
َ‫ض َوا ْبتَ ُغوا ِمن فَضْ ِل هَّللا ِ َو ْاذ ُكرُوا هَّللا َ َكثِيراً لَّ َعلَّ ُك ْم تُ ْفلِ ُح]]ون‬
ِ ْ‫صاَل ةُ فَانتَ ِشرُوا فِي اأْل َر‬
َّ ‫ت ال‬ ِ ُ‫فَإ ِ َذا ق‬
ِ َ‫ضي‬
١٠﴿﴾
“Apabila telah ditunaikan sembahyang, maka bertebaranlah kamu di
muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-
banyak supaya kamu beruntung.”

2. Mashlahah hajiyah. Ialah kemaslahatan yang dibutuhkan oleh manusia untuk


menghilangkan kesukaran pada hidup manusia. Jika kemashlahatan ini tidak
terpenuhi maka tidak mengancam kepada rusaknya lima prinsip tadi. Namun

11
Ibid, hal. 380

10
manusia hanya akan mengalami kesulitan saja. jika kemashlahatan ini
dipenuhi, maka juga akan menunjang kepada adanya prinsip yang lima.
Seperti makan untuk menunjang kehidupan manusia agar kehidupannya tetap
terjaga, menjama’ dan meng-qoshor shalat dalam perjalanan untuk
mendukung terjaganya agama. Andai kita tidak makan, maka kita tidak akan
langsung mati dan tidak akan secara langsung memutus nyawa. Tapi kita
hanya akan mendapatkan kesukaran dalam hidup. Namun juga akan menuju
kepada kematian jika kita tidak makan. Terkait dengan menjama’ dan meng-
qoshor shalat dalam perjalanan, jika kita tidak melakukan shalat ketika dalam
perjalanan dengan cara meng-qoshor dan menjama’, maka agama kita tidak
akan tercederai. Akan tetapi kita akan mengalami kesukaran. Namun hal itu
juga akan menyebabkan kita akan meninggalkan sholat. Jika kita sudah
meninggalkan sholat, maka kemaslahatan dloruriyah kita yang berupa agama
akan tercederai.

3. Mashlahah tahsiniyah, yaitu kemaslahatan yang bertujuan memberi


kesempurnaan dan keindahan bagi hidup manusia. Mashlahah dalam bentuk
ini juga berkaitan dengan lima prinsip di atas. Namun hanya sebatas
memperindah dan menyempurnakannya dan untuk menjunjung tinggi
tatakrama. Jadi jika hal kemaslahatan ini tidak diwujudkan, maka tidak
mencederai lima prinsip di atas dan tidak pula memberikan kesukaran kepada
manusia. Seperti memakai pakaian untuk menghias diri ketika ke masjid,
makan dengan tangan kanan. Jika kita tidak memakai pakaian yang bagus
ketika pergi ke masjid dan makan dengan tangan kanan, lima prinsip di atas
tidak akan tercederai dan kita tidak akan mengalami kesukaran, hanya saja
kita tidak menjunjung tinggi tatakrama.12

F. Maslahat Duniawiyah dan Nash Syara’


Para fuqaha dalam menghadapi hubungan maslahat duniawiyah dengan nash-
nash syara’ terbagi menjadi tiga golongan, yaitu:

12
Ibid, hal. 381

11
1. Golongan pertama, hanya berpegang kepada nash-nash saja dan mengambil
dhahirnya tidak melihat kepada sesuatu kemashlahatan yang tersirat di dalam
nash itu. Demikianlah pendirian golongan dhahiriyah, golongan yang menolak
qiyas, mereka mengatakan: “Tak ada kemaslahatan yang didatangkan syara’.”
2. Golongan kedua, berusaha mencari maslahat daripada nash untuk mengetahui
illat-illat nash, maksud, dan tujuan nash. Golongan ini mengqiyaskan segala
yang terdapat padanya maslahat kepada nash yang mengandung maslahat itu.
Hanya saja mereka tidak menghargai maslahat terkecuali ada syahid tertentu.
Jadi maslahat yang mereka i’tibarkan hanyalah maslahat yang disaksikan oleh
sesuatu nash atau oleh sesuatu yang dalil. Dan itulah yang mereka jadikan illat
qiyas.
3. Menetapkan setiap maslahat yang masuk kepada jenis maslahat yang
ditetapkan oleh syara’. Maka walaupun tidak disaksikan oleh sesuatu dalil
tertentu namun maslahat itu diambil dan dipegangi sebagai suatu dalil yang
berdiri sendiri dan mereka namakan maslahat mursalah atau istihlah.13

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

13
Hasbi Ash-Shiddieqy, Falsafah Hukum Islam, (Jakarta: Bulan Bintang), hal. 335

12
Dari pembahasan di atas tentang kaidah-kaidah yang berhubungan dengan
siyasah/politik/kekuasaan (pemerintahan) di atas, maka penulis mengambil
kesimpulan bahwa seorang pemimpin yang baik harus mengetahui keadaan
warganya, dan membuat peraturan-peraturan yang bisa mengangkat martabat
warganya sehingga menjadi lebih baik lagi. Apabila tidak bisa melakukan sesuatu,
maka janganlah ditinggalkan semuanya dan tetap melakukan untuk kebaikan
rakyat secara semaksimal mungkin. Tentu saja pada awalnya rakyatnya juga yang
harus memilih atau menempatkan pemimpin baik. Dibutuhkan para pemimpin
yang adil dan bijaksana. Selanjutnya berjalannya roda pemerintahan tidak bisa
dilaksanakan hanya oleh seorang pemimpin, dibutuhkan para pemimpin-
pemimpin di level-level terbawah yang mengepalai bidang-bidang tertentu yang
diistilahkan sebagai kekuasaan khusus. Tempatkanlah orang yang tepat di posisi
yang tepat sesuai keahlian di bidangnya masing-masing.
Ditinjau dari al-Maqhosid As-Syariah maka kemaslahatan terbagi menjadi
tiga bagian, yaitu:
1. Mashlahah Dlaruriyah,
a) hifdzu ad-din b)hifdzu an-nafs c)hifdzu al-aql d)hifdzu an-nasal e)hifdzu
al-mal
2. Mashlahah hajiyah
3. Mashlahah tahsiniya
B. Saran
Demikianlah makalah yang dapat saya selesaikan, mudah-mudahan dapat
bermanfaat bagi pembaca. Saya harap para mahasiswa bisa memahami kaidah-
kaidah fikih dibidang siyasah. Jika ada kesalahan atau kekurangan dalam
penyusunan makalah ini, saya mohon maaf sebesar-besarnya.

DAFTAR PUSTAKA

Ash-Shiddieqy, Hasbi. Falsafah Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang.

13
Dirjen Bimas Islam & Haji. 2001. Himpunan Peraturan Perundang-undangan
Perkawinan. Jakarta: DEPAG RI.
Djazuli, Ahmad. 2003. Fiqh Siyasah. Jakarta: Prenada Media.
Djazuli, Ahmad. 2007. Kaidah-kaidah Fikih Islam. Jakarta: Kencana.
Firmansyah, Ujang. 2000. Tinjauan Siyasah Maliyah terhadap Penguasaan
Barang Tambang dalam UU No.11/1967 Tentang Ketentuan Pokok
Pertambangan. Skripsi. Bandung: IAIN SGD.
Hasan, Mustofa. 2014. Aplikasi Teori Politik Islam Perspektif Kaidah-Kaidah
Fikih. Jurnal Madania. Vol.18 No.1.
Syarifuddin, Amir. Ushul Fiqh Jilid 2.
Pulungan, Suyuthi. 1994. Fiqh Siyasah. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Usman, Muchlis. 2002. Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah. Jakarta: Raja
Grafindo Persada.

14

Anda mungkin juga menyukai