Anda di halaman 1dari 26

A.

Latar Belakang

Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran


Islam, diakui banyak kalangan telah mendorong perkembangan filsafat Islam
menjadi makin pesat. Meski demikian, menurut ditulis Oliver Leaman (l. 1950
M),1 seorang orientalis asal Universitas Kentucky, USA, adalah suatu
kesalahan besar jika menganggap bahwa filsafat Islam bermula dari proses
penerjemahan teks-teksYunani tersebut, atau hanya nukilan dari filsafat
Aristoteles (384-322 SM) seperti dituduhkan Ernest Renan (1823-1893 M),
atau dari Neo-Platonisme seperti disampaikan Pierre Duhem (1861-1916 M).

Ada beberapa hal yang harus diperhatian. Pertama, bahwa belajar atau
berguru tidak berarti hanya meniru atau mengikuti semata.Harus dipahami
bahwa suatu ide dapat dibahas oleh banyak orangdan akan tampil dalam
berbagai macam fenomena. Seseorang berhak mengambil sebagian gagasan
orang lain tetapi itu semua tidakmenghalanginya untuk menampilkan teori atau
filsafatnya sendiri.Aristoteles (384-322 SM), misalnya, jelas murid Plato (427-
348 SM),tetapi ia mempunyai pandangan sendiri yang tidak dikatakan guru-nya.
Begitu pula Baruch Spinoza (1632-1777 M), walau secara jelassebagai
pengikut Rene Descartes (1596-1650 M), tetapi ia dianggapmempunyai
pandangan filosofis yang berdiri sendiri.

Hal seperti itu-lah yang juga terjadi pada para filsuf Muslim. Al-Farabi
(870-950 M)dan Ibnu Rusyd (126-1198 M), misalnya, walau banyak dilhami
olehpemikiran filsafat Yunani, tetapi itu tidak menghalanginya untuk
mempunyai pandangannya sendiri yang tidak sama dengan filsafat Yunani.

Kedua bahwa ide, gagasan, atau pemikiran, seperti dinyatakanKarl A.


Steenbrink, adalah ekspresi dan hasil dari proses komunikasisang tokoh dengan
kondisi sosial lingkungannya. Artinya, sebuah ide, gagasan, atau pengetahuan
tidak bisa lepas dari akar sosial,tradisi, dan keberadaan seseorang yang
melahirkan ide atau pemikirantersebut. Pemikiran filsafat Yunani dan Islam
lahir dari keyakinan,budaya dan kondisi sosial yang berbeda. Karena itu,
menyamakandua buah pemikiran yang lahir dari budaya yang berlainan adalah
sesuatu yang tidak tepat, sehingga penjelasan karya-karya Muslim secara
terpisah dari faktor dan kondisi kulturalnya juga akan menjadi suatu deskripsi
yang tidak lengkap, deskripsi yang tidak bisa menjelaskan sendiri transformasi
besar yang sering terjadi ketika batas-batas kultural sudah terlewati.

Berdasarkan kenyataan tersebut, maka apa yang disebut sebagai transmisi


filsafat Yunani ke Arab Islam pada dasarnya adalah suatu proses panjang dan
kompleks di mana ia justru sering banyak dipengaruhi oleh keyakinan dan
teologis para pelakunya, kondisi budaya yang melingkupi dan seterusnya;
termasuk dalam hal istilah-istilah teknis yang digunakan tidak akan lepas dari
konteks dan pro-blem bahasa Arab dan ajaran Islam. Konsekuensinya, tugas
rekonstruksi sumber-sumber Yunani untuk ilmu dan filsafat tidak mungkin
selalu diharapkan dalam terjemahan yang jelas ke dalam sesuatu yang dianggap
asli Yunani, tetapi harus mempertimbangkan aktivitas yang terjadi di luar teks.
Begitu juga perluasan-perluasan,pengembangan dan penggarapan kembali ide-
ide Yunani dari al-Kindi (801-878 M) sampai Ibnu Rusyd (1126-1198 M),
bahkan Suhrawardi (1153-1191 M) dan sesudahnya tidak mungkin sepenuh-nya
dapat dipahami tanpa merujuk pada situasi-situasi kultural
yangmengkondisikan arah dan karakter karya-karya tersebut.

Ketiga, kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pemikiran rasional telah


lebih dahulu ada dan mapan dalam tradisi keilmuan muslim sebelum
kedatangan filsafat Yunani. Meski karya-karyaYunani mulai diterjemahkan
sejak masa kekuasaan Bani Umaiyah(661-750 M), tetapi buku-buku filsafatnya
yang kemudian melahirkan al-Kindi (801-873 M), baru mulai digarap pada
masa dinasti Abbasiyah (750-1258 M), khususnya pada masa khalifah al-
Makmun (811-833 M), oleh orang-orang seperti Ja’far ibn Yahya al-Barmaki
(767-803 M), Yuhana ibn Masawaih (777-857 M), dan Hunain ibn Ishaq (809-
873 M).6 Pada masa-masa ini, sistem berpikir rasional telah berkembang pesat
dalam masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam fiqh (yurisprudensi) dan
kalâm (teologi). Dalam teologi, doktrin Muktazilah yang rasional yang
dibangun oleh Wasil ibn Atha’ (699-748 M) telah mendominasi pemikiran
masyarakat, bahkan menjadi doktrin resmi negara dan berkembang dalam
berbagai cabang, dengan tokohnya masing-masing, seperti Amr ibn Ubaid
(664- 761 M), Bisyr ibn al-Mu‘tamir (w. 825 M), Mu‘ammar ibn Abbad (w.
835 M), Ibrahim ibn Sayyar an-Nadzam (801-835 M), Abu Hudzail ibn al-Allaf
(752-849 M) dan Jahiz Amr ibn Bahr (781- 869 M).7 Begitu pula dalam bidang
fiqh. Penggunaan nalar rasional dalam penggalian hukum (istinbât}) dengan
istilah-istilah seperti istih}sân, istis}lâh}, qiyâs, dan lainnya telah lazim
digunakan. Tokohtokoh mazhab fikih yang melahirkan metode istinbât} dengan
menggunakan rasio seperti itu, seperti Abu Hanifah (699-767 M), Malik (716-
796 M), Syafi’i (767-820 M) dan Ibnu Hanbal (780-855 M), hidup sebelum
kedatangan filsafat Yunani. Semua itu menunjukkan bahwa sebelum dikenal
adanya logika dan filsafat Yunani, telah ada model pemikiran rasional filosofis
yang berjalan baik dalam tradisi keilmuan Islam, yakni dalam kajian teologis
dan hukum. Bahkan, pemikiran rasional dari teologi dan hukum inilah yang
telah berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya logika
dan filsafat Yunani dalam Islam, bukan sebaliknya. Oleh karena itu sebgai
mahasiswa muslim alangkah baiknya kita memepalajari pandangan filsafat
menurut para filsuf-filsuf islam termasuk Ibnu Thufail

B. Pengetian Filsafat Islam

Filsafat Islam juga sering disebut filsafat Arab dan filsafat Muslim merupakan
suatu kajian sistematis terhadap kehidupan, alam semesta, etika, moralitas,
pengetahuan, pemikiran, dan gagasan politik yang dilakukan di dalam dunia Islam
atau peradaban umat Muslim dan berhubungan dengan ajaran-ajaran Islam. Dalam
Islam, terdapat dua istilah yang erat kaitannya dengan pengertian filsafat—
falsafa (secara harfiah "filsafat") yang merujuk pada kajian filosofi, ilmu pengetahuan
alam dan logika, dan Kalam (secara harfiah berarti "berbicara") yang merujuk pada
kajian teologi keagamaan.
Merujuk pada periodisasi yang dicetuskan Harun Nasution, perkembangan kajian
filsafat Islam dapat dibagi ke dalam tiga periode yaitu periode klasik, periode
pertengahan,dan periode modern. Periode klasik dari filsafat Islam diperhitungkan
sejak wafatnya Nabi Muhammad hingga pertengahan abad ke 13, yaitu antara 650-
1250 M. Periode selanjutnya disebut periode pertengahan yakni antara kurun tahun
1250-1800 M. Periode terakhir yaitu periode modern atau kontemporer berlangsung
sejak kurun tahun 1800an hingga saat ini.
Aktifitas yang berhubungan dengan kajian filsafat Islam kemudian mulai berkurang
pascakematian Ibnu Rusyd pada abad ke-12 SM. Terdapat banyak pendapat yang
menganggap Al-Ghazali sebagai sosok utama dibalik kemunduran kajian filsafat
Islam. Gagasan-gagasan Al-Ghazali yang diterbitkan dalam bukunya Tahafut al-
Falasifa dipandang sebagai pelopor lahirnya kalangan Islam konservatif yang
menolak kajian filsafat dalam Islam. Buku ini memuat kritik terhadap kajian filsafat
yang ditawarkan oleh filsuf seperti Ibnu Sinadan Al-Farabi yang dianggap mulai
menjauhi nilai-nilai keislaman. Namun, pandangan ini kemudian menjadi perdebatan
dikarenakan Al-Ghazali juga dikenal secara luas oleh pemikir-pemikir Islam sebagai
seorang filsuf. Bahkan, dalam pendahuluan di buku tersebut Al-Ghazali menuliskan
bahwasannya, kaum fundamentalis adalah "kaum yang beriman lewat contekan,
yang menerima kebohongan tanpa verifikasi". Ketertarikan dalam kajian filsafat islam
dapat dikatakan mulai hidup kembali saat berlangsungnya pergerakan Al-Nahda pada
akhir abad ke-19 di Timur Tengah yang kemudian berlanjut hingga kini. Beberapa
tokoh yang dianggap berpengaruh dalam kajian filsafat Islam kontemporer
diantaranya Muhammad Iqbal, Fazlur Rahman, Syed Muhammad Naquib al-Attas,
dan Buya Hamka.

Daftar isi

 1Sejarah
 2Astrologi
 3Teosofi transenden
 4Kritik terkait kajian filsafat dalam Islam
 5Daftar pustaka
o 5.1Sumber lainnya

Sejarah[sunting | sunting sumber]


Secara historis, perkembangan filsafat dalam Islam dapat dikatakan dimulai oleh
pengaruh kebudayaan Hellenis, yang terjadi akibat bertemunya kebudayaan Timur
(Persia) dan kebudayaan Barat (Yunani). Pengaruh ini dimulai ketika Iskandar Agung
(Alexander the Great) yang merupakan salah satu murid dari Aristoteles berhasil
menduduki wilayah Persia pada 331 SM. Alkulturasi kebudayaan ini mengakibatkan
munculnya benih-benih kajian filsafat dalam masyarakat Muslim di kemudian hari.
Penerjemahan literatur-literatur keilmuan dari Yunani dan budaya lainnya ke dalam
bahasa Arab secara besar-besaran di era Bani Abbasiyah (750-1250an M) dapat
dikatakan memberi pengaruh terbesar terhadap kemunculan dan perkembangan
kajian filsafat Islam klasik. Peristiwa tersebut kemudian menjadikan periode ini
sebagai zaman keemasan dalam peradaban Islam. Ini sekaligus menunjukan
keterbukaan umat Muslim terhadap berbagai pandangan yang berkembang saat itu,
baik dari para penganut keyakinan monoteis lainnya, seperti kaum Yahudi yang
mendapat posisi penting saat itu di negeri-negeri Islam (Ravertz, 2004: 20), hingga
kaum Pagan, yang terlihat dari ketertarikan umat Muslim terhadap literatur bangsa
Yunani Kuno yang mana sering diidentikan dengan ritual-ritual Paganisme.
Keterbukaan dan ketertarikan umat Islam terhadap literatur-literatur ilmu pengetahuan
dari budaya lain diyakini telah membawa pengaruh besar terhadap perkembangan
filsafat dan ilmu pengetahuan, terutama terhadap perkembangan filsafat dan ilmu
pengetahuan yang di kemudian hari berkembang lebih lanjut pada Abad Pencerahan
di Eropa. Dunia pemikiran Islam kemudian semakin terfokus pada pendamaian antara
filsafat dan agama ataupun akal dan wahyu, yang kemudian mempengaruhi semakin
diusungnya integrasi antara akal dan wahyu sebagai landasan epistemologis yang
berpengaruh pada karakter perkembangan ilmu pengetahuan dalam dunia Islam.
Kondisi tersebut memunculkan semakin banyaknya cabang-cabang keilmuan dalam
dunia Islam, yang tidak hanya bersifat teosentris dengan merujuk pada dalil-dalil Al-
Qur'an dan Al-Hadits sebagai sumber kebenarannya oleh para Mutakalim (ahli kalam),
tetapi juga bersifat antroposentris dengan rasio dan pengalaman empiris manusia
sebagai landasannya tanpa menegasikan dalil dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits. Pada
periode ini, dunia Islam menghasilkan banyak filsuf, teolog, sekaligus ilmuwan
ternama seperti Ibnu Sina, Al-Farabi, Al-Kindi, Al-Ghazali, dan Ibnu Rusyd. Kajian
filsafat Islam di periode ini umumnya mengkaji lebih lanjut pandangan-pandangan
perguruan filsafat peripatetik di Eropa seperti logika, metafisika, filsafat alam, dan
etika, sehingga periode ini disebut juga sebagai periode peripatetik dari kajian filsafat
Islam (Islamic/Arabic peripatetic school).
Pasca kematian Ibn Rusyd pada abad ke-12 SM, kajian-kajian peripatetik dalam
filsafat Islam mulai meredup.1
B. Biografi Ibnu Thufail

Nama lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar Muhammad ibn Abd Al-
Malik ibn Muhammad Ibn Muhammad Ibn Thufail Al-Qaisyi, di Barat dikenal
dengan abudecer, 2 ( bab1 pembahasan ), tetapi lebih di kenal dengan Al-
Andalusia atau Al- Kurtubi al-isybili.3 Berasal dari kabilah Qais di Maroko. Dia
dilahirkan di Guadiks, dekat Granada, Andalusia, Ia lahir pada abad VI H/XIII
M .Buku-buku yang dikarangnya meliputi topik berkenaan dengan ilmu

1
https://id.wikipedia.org/wiki/Filsafat_Islam
2
Di akses pada http://www.academia.edu/download/39669160/TUGAS_ibnu_thufail.docx.tanggal
5April 2018 Pukul 23:00
3
Wahyu Murtingsih, Biografi Para Ilmuwan,Yogyakarta,Pustaka Insan Mdani 2009,hlm 172
kedokteran, farmasi, astronomi, matematika, biologi, falsafah, adab dan
kesusastraan.4

Sebagai keturunan kaum Qaisy, ia dengan mudah mendapatkan fasilitas


belajar, apalagi kecintaanya pada buku-buku dalm ilmu mengantarkannya
kepada pengetahuan mengalahkan cintanya kepada sesama manusia. Ilmu
kedokteran dan filsafat dipelajarinya di sevilla dan kordoba. 5,Selain terkenal
sebagai filsof Ibnu Thufail juga seorang penyair yang terkenal dari Dinasti Al-
Muwahhid.

Ibnu Thufail memulai karir dengan menjadi seorang dokter di Granda,


di karenakan beliau sangat terkenal menjdai dokter pada saat itu, maka akhirnya
isa pun di angkat menjadi sekertaris pribadi Gubernur Ceuta dan
Tangief ,penguasa Muwahhid pertama yang merebut Maroko.6dan beliau juga
menjabat sebagai dokter tinggi dan menjadi qadhi di pengadilan pada Khalifah
Muhawwwid Abu Ya’qub Yusuf

Kemudian pemerintahan yang di pimpin oleh Abu Ya’qub Yusuf


menjadikannya pemerintahhnya sebagai pemuka filosof dan metode ilmiah.
Khalifah memberikannya kebebasan berfilsafat dan membuat Spanyol di sebut
tempat kelahiran kembali negeri Eropa. Kemudian atas kehendak klhalifah ia
juga memvberi saran kepada Ibnu Bajjah agar membuat keterangan atas karya
karya Aristonteles,Kemudian Ibnu Bajjah mengerjakan tuga tersebut dengan
penuh semangat tetapi tidak terselesaikan karean ia sudah meninggal terlebih
dahulu,

4
Adina Pramitasari, Filsafat manusia dalam hay bin yaqzan karya ibnu thufail, Makalah Filusuf
Islam .Disajikan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Manusia
5
Asep Sulaiman,Mengenal filsafat islam,Bandung:Yrma Widya.2016,hlm93
6
Mustifa H.A, Filsafat Islam, Bandung CV Pustaka Setia,2004,hlm 271
Di karenakan usianya yang sudah tua Ibnu Thufail meninggalkan
jabatannya dokter pemerintahan pada tahun 578 H/1882 M, kemudian ia
memilih Ibnu Rusyd untuk menggantikan jabatannya, dan ia meninggal pada
1885 M dan di makamkan di Maroko.7

Al-Bitruji, salah satu seorang murid Ibnu Thufail menyebut Ibnu Thufail
mempunyai pengaruh besar terhdap murid-muridnya serta banyak merekrut
sarjana-sarjana ke istana, Ibnu Thufail juga banyak memberiklan nasihat –
nasihat kepada pangeran-pangeran di istana agar bersemnagat menuntut ilmu
dan mengajak muridnya untuk giat belajar.8

Kesibukan di pemerintahan yang sedemikian padat membuatnya kurang


produktif dalam dunia tulis-menulis. Namun, beberapa tema sempat ditulisnya,
misalnya kedokteran, astronomi, dan filsafat. Dari sekian buah karyanya,
Risalah Hayy Ibnu Yaqzan fi Asrar al-Hikmah al-Masyriqiyah adalah yang
termasyhur. Kitab ini mempresentasikan pemikiran inti Ibn Thufail dalam ranah
filsafat.9

B. Perkembangan Filsafat pada masa Ibnu Thufail

Pemikiran dan hasil karya para tokoh Islam khususnya dalam bidang
filsafat tentunya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial-budaya dan politik pada
masanya, begitu juga masa-masa sebelumnya. Karena pemikiran merupakan
produk budaya dari sebuah masyarakat, dimana seseorang itu hidup, tumbuh
dan dibesarkan. Pada massa kekuasaan Umayyah, Abad pertengahan, Islam
pernah berjaya di Cordova Spanyol. Waktu itu cordova menjadi salah satu
pusat peradaban dunia.

7
Mustifa H.A, Filsafat,,,.hlm272
8
Wahyu Murtiningsih, Para Filsuf Dari Plato sampai IbnuBajjah,Yogyakarta,IRCiSOoD,2012,hlm256
99
Amroeni Drajat,FILSAFAT ISLAM buat yang pengen tahu, Jakarta: ERLANGGA,2006) hlm.68.
Budaya seni, sastra, filsafat dan ilmu pengetahuan berkembang
disana. Tokoh-tokoh besar Islam juga banyak yang lahir di sana. Seperti Ibnu
Bajjah, Ibnu Masarrah, Ibnu ‘Arabi, Ibnu Hazm, asy-Syathibi dan sejumlah
tokoh lainnya. Mereka ini berhasil menempatkan filsafat sebagai kajian yang
berkembang disana. Seperti yang dikatakan Abed al-Jabiri, para tokoh tersebut
telah berhasil membangun tradisi nalar kritis yang ditegakkan di atas struktur
berfikir demonstratif (nizham al-aql al-burhani). Atau yang kemudian dikenal
sebagai “epistemologi burhani”.
Oleh karena itu, sebenarnya tradisi pemikiran filsafat sudah
diterapkan sejak dinasti Umayyah berdiri. Tradisi-tradis keilmuan lain, seperti
syari’ah, mistis (tasawuf), dan iluminis (Isyraqi) juga terus mengalami
pekembangan. Tradisi-tradisi keilmuan seperti inilah yang nantinya
mempengaruhi pemikiran Ibnu Thufail. Walaupun perkembangan keilmuan ini
mengalami pasang-surut mengikuti kondisi politik pemerintahan yang sedang
berkuasKegiatan intelektual di bidang filsafat dan ilmu pengetahuan mendapat
perhatian penuh pada masa khalifah al-Hakam al-Mustanshir Billah (961-976),
putra dari khalifah pertama, Abdurrahman ad-Dakhil. Pada masa ini juga dapat
dikatan semaraknya transmisi keilmuan dari Timur ke Barat. Karena setelah
pendirian lembaga ilmu pengetahuan tidak cukup menampung murid lagi, para
cendikian muslim di Barat berhijrah ke Timur yaitu mulai dari Mesir, syam,
Hijaz, hingga ke Baghdad untuk menuntut ilmu.
Al-hakam sangat cinta dengan ilmu pengetahuan, sehingga ia
bersedia menanggung biaya untuk tujuan ekspedisi ke berbagai Negara. Itulah
yang menjadi faktor utama bagi kegemaran umat Islam untuk menuntut ilmu
dan mendalami buku-buku filsafat. Menyangkut hal ini, penulis sejarah filsafat
dalam Islam, De Boer berpendapat bahwa peradaban yang dicapai pada masa
al-Hakam lebih megah dan lebih produktif daripada yang dicapai oleh dunia
Islam Timur.
Seiring berjalannya waktu, sejarah mengatakan tidak selamanya
zaman keemasan ini berlangsung hidup. Setelah tampuk kekuasaan digantikan
oleh putra al-Hakam, Hisyam al-Mu’ayyid Billah. Karena dia lebih cenderung
kepada pengetahuan syari’at dan anti filsafat. Akhirnya kegiatan intelektual pun
kembali fakum dan ajaran filsafat kembali dikatakan sesat.Walaupun kondisi
sangat tidak mendukung, kegiatan menekuni filsafat dilakukan secara
sembunyi. Sampai akhirnya berdirilah dinasti al-Muwahhidin, dimana ketika
pemerintahan dipegang oleh Abu Ya’qub Yusuf al-Mansur (558-580 H) filsafat
mulai terlihat titik terangnya. Masa inilah Ibnu Thufail hidup dengan menekuni
bidang filsafat. Kedekatannya dengan penguasa, bahkan dipercaya sebagai
dokter dan penasehat pribadi khalifah, maka kegiatan filsafat mulai diterima
kembali. Tapi hanya dalam lingkungan istana atau terbatas pada kaum elit saja.
Masyarakat masih menganggap filsafat sebagai ajaran yang sesat dan
bertentangan dengan agama Islam. Dalam situasi yang tidak kondusif inilah
Ibnu thufail terus menggali keilmuannya, sehinga lahir karyanya “Hayy ibnu
yaqzhan”. Dan dapat disimpulkkan mengapa Ibnu Thufail menggunakan bahasa
symbol dalam karyanya tersebut. Dengan bahasa yang sederhana, diharapkan
masyarakat akan mudah memahami dan lambat laun menerima filsafat sebagai
kajian keilmuan. Bahkan sebagai metode berfikir dan cara pandang hidup.10

D. Karya Ibnu Thufail

Buku-buku biografi menyebutkan beberapa karangan dari Ibnu Thufail


yang mengenai filsafat,seperti filsafat fisika, metafisika, kejiwaan dan
sebagainya, akan tetapi karangan – karangan tersebut tidak sampai kepada

10
bab 1 pendahuluan
kita kecuali satu,yaitu Hayy Bin Yaqzan yang merupakan initisari pemikiran
Ibnu Thufail, dan telah di terjemahkan ke dalam berbagai bahasa.11

Kisah Hayy Bin Yaqzan

Hayy merupakan seorang anak manusia. Terdapat dua versi akan asal-
usul Hayy, yang pertama menceritakan bahwa Hayy ada begitu saja tergeletak
di tengah hutan belantara, sedangkan versi yang lain menceritakan bahwa
Hayy adalah seorang anak yang lahir pada negeri dengan pemimpin yang
dzalim, yang menyuruh seluruh rakyatnya untuk menguburkan bayi mereka
hidup-hidup. Alkisah di negeri itu terdapat seorang ibu yang melahirkan di
dalam gua, karena khawatir anaknya akan dibunuh, maka ia pun bersembunyi
dari pengawal istana dan menghanyutkan bayinya di laut lepas. Selama
beberapa hari kotak berisi bayi itu pun melayari lautan dan sampailah pada
sebuah pulau yang tidak berpenghuni. Di pulau tersebut terdapat seekor rusa
yang baru saja kehilangan anaknya, induk rusa yang sedang bersedih itu
menemukan kotak yang berisi bayi, lalu mengasuhnya dengan kasih saying
yang tulus. Ia menyusui dan membesarkan Hayy dengan kasih saying.
Hayy pun tumbuh dewasa, semakin besar ia semakin ingin tahu tentang
alam dan dunia tempatnya tumbuh dewasa. Ia melihat bahwa disekitarnya
terdapat hewan yang memiliki pelindung tubuh seperti bulu, ataupun trambut
yang tebal untuk mengahngatkan badan, ia tidak memiliki hal tersebut, ia pun
menggunakan daun-daun kering untuk menutupi badannya dan membuat
badannya hangat. Lalu saat ia melihat seekor binatang yang mati, ia pun
menguliti binatang tersebut dan menjadikan kulitnya sebagai penghangat
badan.

11
Hanafi. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta.PT Bulan Bintang.1969.hlm 161
Hayy selalu bertanya dan ingin tahu tentang kehidupan. Ia melihat
banyak hewan di sekitarnya memiliki senjata untuk mempertahankan hidup.
Sedangkan ia tidak memilikinya. Suatu ketika saat ia sedang bermain di hutan,
terdapat seekor kambing liar yang sedang merumput, Hayy penasaran dan
melihat kambing tersebut. Ternyata kambing tersebut merasa terganggu
dengan keberadaan Hayy. Ia pun marah dan mencoba melawan Hayy dengan
tanduknya. Hayy lari tunggang langgang,namun akhirnya Hayy terkena
tanduk kambing itu. Secara tidak sengaja, ia menemukan tongkat kayu dan
memukulkannya pada kambing tersebut sampai kambing itu pingsan.
Akhirnya ia pun menjadikan togkat sebagai senjatanya, alat untuk
mempertahankan diri.
Secara berangsur-angsur, Hayy menggunakan potensi akalnya untuk
bertahan hidup dan memahami gejala-gejala di sekitarnya. Ia mengambil
manfaat dari alam dan mempelajari dunia dengan potensi akal tersebut tanpa
diajarkan oleh siapa pun. Lebih dari itu, ia mampu mempergunakan akalnya
sedemikianrupa sehingga dapat memahami hakikat alam empiris dan
mampu berpikir hal-hal yang bersifat metafisis
Memasuki tujuh tahun kedua, Hayy mendapati induk rusa yang
mengasuhnya semakin lemah dan tua. Induk rusa yang sudah dianggapnya
sebagai ibu kandung yang mengasuhnya sedari kecil tersebut lemah dan
tergeletak tak berdaya di dalam sebuah gua. Hayy merasa sangat sedih dan
merawat induk rusa tersebut dengan penuh kasih sayang, ia mencarikan air
minum, dan mencarikan berbagai macam buah-buahan. Namun induknya
tetap saja tidak membaik dan bahkan makanan terseubut tidak disentuhnya.
Setelah beberapa hari, induk rusa itu pun mati dan Hayy menjadi sedih.
Disamping kesedihan tersebut, timbul keheranan dalam diri Hayy. Bagaimana
suatu makhluk bisa bergerak sedangkan kini induknya tidak bisa bergerak lagi
dan terbujur kaku. Ia pun memukul-mukul tubuh induknya dan mencari-cari
“penggerak” yang ada dalam tubuh induknya. Karena rasa penasarannya ia
mulai membelah tubuh induknya. Ia bermain dengan darah dan melihat
berbagai macam organ tubuh induknya, setelah beberapa saat, ia menemukan
jantung yang tidak lagi berdetak. Ia meraba dadanya dan merasakan degup
jantungnya sendiri, ia melihat jantung ibunya yang tidak bedetak, sedangkan
dadanya sendiri berdetak. Ia menyimpulkan bahwa organ inilah yang
membuat induknya hidup atau mati. Semenjak pengalamannya membedah
organ tubuh induknya, ia pun mulai mengautopsi/membedah setiap hewan
mati yang ditemuainya. Pengalaman itu membuatnya menjadi paham akan
organ tubuh hewan/makhluk hidup. Selain itu ia juga menemukan bahwa
seorang mati/hidup tetap saja anggota tubuhnya lengkap dan tidak rusak, hal
tersebut mengindikasikan adanya kekuatan dari luar tubuh yang
mempengaruhi setiap makhluk hidup. Masing-masing kegiatan badaniyah
digerakkan oleh satu daya/kekuatan sentral yang tidak bersifat material jasad,
melainkan bersifat ruhani. Kekuatan itu disebutnya jiwa. Dengan
kecerdasannya ia mampu menyimpulkan bahwa esensi makhluk hidup dapat
hidup itu adalah bersatunya roh/jiwa dengan badan/jasad atau juga ikatan
antara jiwa dan jasad. Dan kematian berarti lepasnya ikatan tersebut, lepasnya
ikatan jiwa dan jasad. Saat kematian ibunya, ia melihat dua ekor burung gagak
yang sedang bertarung, salah satu dari burung tersebut mati. Setelah burung
tersebut mati, satu yang masih hidup menggali tanah dengan paruhnya dan
meletakkan bangkai burung kedalam lubang tersebut. Kemudian burung yang
masih hidup itu pun menutupi bangkai burung yang mati tersebut dengan
tanah. Hal tersebut menarik perhatian Hayy, ia pun melakukan hal yang sama
dengan mayat induknya yang telah ia bedah dan mulai berbau busuk. Ia mulai
menggali tanah dan menguburkan mayat induk rusa tersebut.
Ia pun melanjutkan pembelajarannya. Ia pun terus berfikir dengan
akal rasionalnya dan mempelajari banyak hal serta menemukan api dan
mengetahui bahwa hewan buruan yang dimasak di atas api memiliki rasa yang
jauh lebih nikmat disbanding yang mentah. Ia juga belajar bercocok tanam
dan membuat gubug untuk tempat tinggalnya. Ia mempelajari logam, dan
akhirnya menjadikannya sebagi senjata yang jauh lebih tajam dibanding
dengan batu dan tongkat yang biasa ia pakai untuk mempertahankan diri. Ia
mempelajari tentang berbagai macam hewan dan tumbuhan yang ia temukan
di hutan. Banyak hal yang ia pelajari, Akal rasionalnya terus berkembang,
terus saja mempelajari tentang kejadian dan peristiwa yang terjadi di
sekitarnya. Pada usia 21 tahun Hayy memperoleh kesadaran diri sebagai
pribadi, yang secara asasi satu, tetapi mampu untuk mengetahui aneka warna
hal, asal dipersatukan dengan akal. Dia merenungkan tentang tatatertib dan
tujuan segala-galanya dan menemukan adanya hubungan wajib antara sebab
dan akibat yang menguasai tata alam raya dan tata budi.
Di usia ke 28, ia semakin pintar dan semakin ingin tahu tentang
Pada usia ke 35 tahun timbullah pertanyaan mengenai asal mula alam dunia.
Bila alam berasal dari alam materiil lain, akan terdapat proses berantai tanpa
akhir (tasalsul) dan ini mustahil. Jadi kesimpulannya; alam pasti dibuat oleh
pembuat alam yang bersifat Ruhani/Ghoib. Bertahun-tahun lamanya Hayy
berfikir tentangnya.
Selama tujuh tahun keenam Hayy tidak habis memikirkan tentang
sumber mulia dari segala yang ada. DIA pasti Maha Baik dan Maha
Bijaksana, Sempurna dan penuh Rahmat serta merupakan tujuan manusia.
Demikian Hayy menyusun konsep ketuhananan tanpa dogmatisme ataupun
pertolongan wahyu. Hayy menjadi insaf bahwa tujuan, kebahagian dan
perwujudan diri sejati terletak pada konsentrasi pikiran terus-menerus kepada
Tuhan. Itulah juga dalam “hidup di balik maut”, karena jiwa sebagai wujud
ruhani tidak mungkin hancur. Dia juga tahu bahwa, bila jiwa insani, yang
diperuntukkan untuk untuk hidup abadi di hadirat Tuhan, mengikuti hawa
nafsu maka pasti kehilangan Tuhan dan setelah maut akan menderita selama-
lamanya. Itulah fikiran yang menggelisahkan Hayy. Seumpamanya dia,
terkejut oleh teriakan hewan atau sibuk memuaskan lapar dahaga, lupa akan
Tuhan dan terkena mati, adia akan dihukum atas kelalaiannya dengan
hukuman abadi. Maka Hayy makin berprihatin untuk memusatkan fikirannya
kepada Tuhan. Hayy hanya makan dan minum sejauh perlu, agar jangan
mengganggu meditasinya. Dia meniru falak-falak sempurna oleh pembersihan
diri dan berjalan dalam lingkaran (thawaf) sesuai peredaran falak di atasnya
sampai merasa pusing.
Sesudah tujuh kali tujuh tahun lewat, Hayy memperoleh puncak
meditasi, tetap mengingati Tuhan dalam keadaan jiwa yang tak mungkin dapat
diungkapkan dengan kata-kata. Itulah kebahagiaan sempurna “yang tidak
dapat dilihat mata, tidak didengar oleh telinga, dan tidak keluar dari
hatimanusia”.Dia mendapatkan taraf fana billah.
Terkisahlah pada suatu pulau yang lain terdapat dua orang muslim
yang bertengkaran tentang hidup yang baik, Absal dan Salaman nama masing-
masing. Absal, seorang ahli tasawwuf, berusaha memahami dimensi batin dari
syariat, sedangkan Salaman menta'ati semua peraturan dan upacara lahir.
Maka Absal pamit dari Salaman, dan dalam mencari jalan keluar mendaratlah
dia di pulau kediaman Hayy. Mereka memberitakan satu kepada yang lain
pengalaman ruhani dan menyadari diri sebagai manusia untuk Tuhan.
Hayy mendengar isi ajaran Islam, sangat terkejut: isi ruhaninya
terlalu sedikit dan terlalu banyak aturan lahiriah tentang fardhu, sunah,
mubah, makruh dll. Hayy heran bahwa hanya satu bulan per tahun disucikan
oleh puasa bagi Tuhan; mengapa bukan semua bulan? Dia tersinggung oleh
lukisan sensuil tentang surga dan waktu terbatas neraka menurut Qur'an,
Setelah banyak tukar fikiran, akhirnya Absal menemui jalan ke tafsir kiasan
(thamthil) mengenai Qur'an. Lalu keduanya mengambil keputusan untuk
kembali ke pulau kediaman Salaman dan mengajar kepada ummat disana
rahasia hidup sejati.
Tibalah mereka di pulau dan disambut oleh Salaman, yang ternyata
telah diangkat menjadi Raja di sana. Tetapi ketika mereka menda'wahkan
keyakinan suci mereka, maka rakyat membantah dan bertengkar mulut,
memperlihatkan diri sebagai budak huruf yang tidak terbuka untuk kebenaran
mulia. Hayy dengan sopan meminta maaf dan mengajak mereka agar terus
tekun pada upacara dan rukun agamanya tanpa mencoba memperdalamnya
lebih lanjut. Akhirnya Hayy dan Absal kembali ke pulau tempat asal Hayy,
melangsungkan hidupnya masing-masing menurut metodenya sendiri, mereka
berusaha menempuh tata ibadah sempurna, terpisah dari masyarakat sampai
ditebus oleh maut.12
Karya Ibnu Thufail ini merupakan suatu kreasi yang unik dari
filsafatanya. Sebelumnya judul ini sudah diberikan oleh Ibnu Sina kepada
salah satu kray esoteoriknya. Demikian juga nama tokoh Absal dan Salman
telah ada dalam buku Ibnu Sina, Salman wa Absil kendati kisah ini tidak
orisinil , bahkan sebelum Ibnu Sina juga kisah ini sudah ada, seperti kisah
Arba Kuno, Hunain Ibnu Ishak, Salman dan Absal Ibnu Arabi dan lain-lain
namun Ibnu Thufail berhasil menjadikan kisah ini menjadi kisah roman
filosofis yang unik. Ketajaman filosofinya ini yang menandai keterbaruan
kisah ini dan isa menjadikannya salah satu kisah yang paling asli dan paling
indah pada Abad Pertengahan. Hal ini terbukti dengan banyaknya buku di
terjemahkan ke dalam berbagai bahasa.13

Analisis
Hayy Bin Yaqzan dalam tulisan Ibnu Thufail bukan merupakan symbol
akal altif , tetapi symbol akal manusia yang tanpa bimbingan wahyu mampu
mencapai kebenaran tentang dunia fenomena serta Tuhan dan alam rohaniah
lainnya. Kebenarannya tidak bertentangan dengan kebenaran wahyu. Absal dan
Salaman dapat di pandang sebagai symbol wahyu yang di pahami dengan

12
Adina Pramitasari, Filsafat manusia dalam hay bin yaqzan karya ibnu thufail, Makalah Filusuf
Islam Disajikan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Filsafat Manusia
13
Sirajuddin Zar,filsafat islam (filosof dan filsafatnya). Depok.Rajawali Pers,2016.hlm 206-207
pemahalam yang berbeda. Absal sebagai symbol wahyu dengan pemahaman
metaforis kaum sufi, sedangkan salam sebagai symbol wahyu yang di pahami
dengan pembahsan tekstual para ulama pada umumnya.

Ada tiga tokoh dalam cerita karya Ibnu Thufaik yang melambangkan tiga
cara hidup, yakin sebagai berikut.

a. Hayy bin Yaqzan, lambang hidup filsuf (ahli piker atau ahli filsafat yang
sejati) ia memikirkan alam dan semua isinya,memikirkan dirinya sendiri,
dan lambat laun sampai kepada keyakinan adanya Tuhan.

b. Absal lambang hidup ahli agama, dengan memikirkan wahyu sebagai


kebenaran, lambat laun sampai kepada keyakinan adannya Tuhan

c. Raja Salaman dan rakyatnya, lambang hidup dari dunia. Mereka


mengetahui Tuhan dari pelajaran yang mereka peroleh dari gurunya,yang
pada dhirrnya saja mengakui adanya Tuhan, namun tidak di sertai
keyakinan. Oleh karena itu, kehidupan mereka dipengaruhi oleh nafsu,
kehendak dan kesenangan, hendak kaya raya dan hendak mendapat
kedudukan.14

Dari ringkasan isi cerita tersebut karya Ibnu Thufail ada beberapa kesimpulan
yang di kemukakan oleh Nadhim Aljisr dalam buku buku Qissat al-lman:

1. Urut-urutan tangga ma’rifat (pengetahuan) yang ditempuh oleh aka],


dimulai dari obyek-obyek inderawi yang khusus sampai kepada pikiran-
pikiran universal.

2 Tanpa pengajaran dan petunjuk, akal manusia bisa mengetahui wujud


Tuhan, yaitu dengan melalui tanda-tandanya pada makhuk-Nya, dan
menegakkan dalil-dalil atas wujud-Nya itu.

14
Asep Sulaiman,Mengenal filsafat islam,Bandung:Yrma Widya.2016,hlm96
3 Akal manusia ini kadang-kadang mengalami ketumpulan dan
ketidakmampuan dalam mengemukakan dalil-dalil pikiran, yaitu ketika
hendak menggambarkan ke-azali-an mutlak, ketidak-akhir-an, zaman,
qadim, huduts (baru) dan hal-hal lain yang sejenis dengan itu.

4. Baik akal menguatkan qadim-nya alam atau kebaharuannya namun,


kelanjutan dari kepercayaan tersebut adalah satu juga, yaitu adanya
Tuhan.

5. Manusia dengan akalnya sanggup mengetahui dasar-dasar keutamaan


dan dasar-dasarakhlakyang bersifatamali dan kemasyarakatan,serta
berhiaskan diri dengan keutamaan dasar akhlak tersebut, di samping
menundukkan keinginan-keinginan badan kepada hukum pikiran, tanpa
melalaikan hak badan, atau meninggalkannya sama sekali.

6. Apa yang diperintahkan oleh syariat Islam, dan apa yang diketahui oleh
akal yang sehat dengan sendirinya, berupa kebenaran, kebaikan dan
keindahan dapat bertemu kedua-duanya dalam sati titik , tanpa
diperselisihkan lagi.

7. Pokok dari semua hikmah ialah apa yang telah di tetapkan oleh Syara
yaitu mengarahkan pembicaraan kepada orang lain menurut
kesanggupan akalnya,tanpa membuka kebenaran dan rahasia-rahasia
filsfat kepada mereka. Juga pokok pangkal segala kebaikan ialah
menetapi batas –batas syara dan meniggalkan pendalaman sesuatu15.

Tulisan Malik bin Nabi

Hayy Ibnu Yaqzan membawakan daun daun yang segar dan memetik
buah buah manis untuk disuapkan kepada rusa beuna! itu. Akan tetapi, rusa

15
Hanafi. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta.PT Bulan Bintang.1969.hlm 163-164
betina itu semakin lemah dan parah sakitnya. kemudian mati. Gerakannya
berhenti total, seluruh nugget: tubuhnya tidak berfungsi lagi, dan ketika Hayy
Ibnu Yaqzan melihat keadaan rusa betina itu, dia menangis tersedu-sedu bahkan
dia nyaris larut dalam kesedihannya. Dia melihat-lihat kuping dan mata rusa
betina yang telah mati dan tidak menemukan sesuatu pun yang bisa membuat ia
mati. Demikian pula, dengan seluruh anggota tubuhnya yang lain. Dia sangat
berharap bisa menemukan tempat penyakitnya, lalu membuang penyakit itu
dari tubuh rusa betina tersebut. Kembali dia membolak-balik seluruh anggota
tubuh rusa betina itu, tetapi tidak menemukan apa pun yang bisa diduga sebagai
penyebab kematiannya.

Dalam tulisan Malik bin Nabi, dijelaskan bahwa Hayy bin Yaqzan
tidak berhasil menemukan tempat penyakit rusa betina itu. Kendati demikian,
Ibnu Thufail telah membuat kita melanjutkan penelusuran terhadap pikirannya
yang paling dalam, untuk kemudian terungkaplah, sedikit demi sedikit, “roh“,
“keabadian roh“, dan akhirnya “gagasan tentang Sang Maha Pencipta”. Sejak
saat itu, semakin meningkatlah perenungan yang memberi peluang kepada
Hayy Ibnu Yaqzan. Sesudah berkali-kali gagal memahami sistem Illahiah untuk
melihat Tuhan dengan hati nuraninya, tiba pula pada pemahaman tentang sifat-
sifatnya.

Dalam buku ini, lbnu Thufail menggambarkan bahwa filsafat (akal)


dapat berkembang sendiri tanpa harus bergantung pada masyarakat yang telah
maju. Dengan filsafat, manusia dapat mengenal Tuhan. Akan tetapi, Ibnu
Thufail akhirnya mengakui juga bahwa agama lebih praktis untuk menuntun
secara langsung keselamatan manusia dalam hidupnya. Filsafat dapat dipakai
untuk makrifat kepada Tuhan. Namun, untuk amal kehidupan manusia, filsafat
dinilai terlalu ideal dan teoretis (Sudarsono, 2010: 84).16

Kritik Ibnu Thufail terhadap para filsuf

Sebagai seorang filsuf, Ibnu Thufail bukan hanya berpikir secara kefllsafatan,
tetapi juga banyak merenungkan kembali pemikiran filsuf yang lain, seperti
Aristoteles, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Al-Ghazali. Mengenai fllsafat Aristoteles,
Al-Farabi, dan Ibnu Sina, Ibnu Thufail mengatakan bahwa dalam buku-buku
mereka, kita belum dapatkan gambaran filsafat yang memuaskan tentang
hakikat kebenaran (Nasution, 1999: 103).

Tulisan Al-Farabi yang berjudul AI-Milatul Fadilah mendapat pujian dari Ibnu
Thufail. Al-Farabi mengatakan dalam bukunya bahwa jiwa manusia yang jahat
akan tetap berada dalam penderitaan yang tak habis-habisnya sehingga akan
menyebabkan putus asa dalam mencapai kebahagiaannya. Sementara itu, Ibnu
Sina dipuji atas karangannya yang berjudul AI-FalsafauI-Masyriqiah, yang
mengandung pendapat tentang kebenaran yang dianggap penting oleh Ibnu
Thufail.

A. Hakikat Manusia Menurut Ibnu Thufail


Menurut Ibnu Thufail, hakikat manusia ada dua macam.
1. Manusia sebagai animale rasionale
Seperti pemikiran Ibnu Sina, Ibnu Thufail mengklasifikasikan
makhluk hidup menjadi tiga macam, yaitu alam tumbuhan, alam
hewan, dan alam manusia. Alam tumbuhan bersifat vegetative (Ar Ruh
An Nabatiyah) dan merupakan makhluk hidup yang memiliki
kecenderungan mengambil makanan yang sesuai dan meninggalkan
yang tidak sesuai.

16
Asep Sulaiman,Mengenal,,,,.hlm97
“Hayy mulai mempelajari tumbuh-tumbuhan. Ia amati semua
jenis tumbuh-tumbuhan. Ia bagi tumbuh-tumbuhan tersebut
berdasarkan kesamaan dahan, daun, bunga, dan buah, serta gerakan-
gerakannya. Dalam membagi tumbuhan itu ia menggunakan cara yang
sama ketika ia membagi jenis hewan.”(Thufail, terj. Nur Hidayah :
2003 hal 82).
Kemudian alam hewan. Hewan memiliki prinsip gerak yang
disebut prinsip sensitive (Ar Ruh an-Hawaniyyah) dan memiliki rasa
(syu’ur) sehingga lebih tinggi disbanding tumbuhan:
“Hayy membandingkan jenis-jenis hewan dan tumbuhan, ia
melihat hewan dan tumbuhan memiliki kesamaan. Keduanya sama-
sama makan dan tumbuh. Tetapi hewan memilki kelebihan disbanding
tumbuhan. Hewan memiliki keistimewaan yang tidak dimiliki
tumbuhan. Hewan memiliki perasaan atau insting, indra dan bisa
bergerak secara bebas. Namun kelebihan kelebihan yang dimiliki
hewan pada dasarnya dimiliki tumbuhan juga seperti gerakan bunga
yang cenderung condong kea rah sinar matahari atau gerakan dahan
yang merambat kea rah datangnya makanan. Namun salah satu
diantara keduanya lebih sempurna dan lebih utuh disbanding yang
lain. sementara gerakan satunya tertahan atau dihalangi oleh
penghalang.”( Thufail, terj. Nur Hidayah : 2003 hal 83).
Sedangkan manusia memiliki prinsip yang lebih tinggi
dibandingkan hewan maunpun tumbuhan. Manusia selain memiliki apa
yang dimiliki makhluk-makhluk tersebut juga memiliki rasioanal, yaitu
mampu berfikir dan selalu mempunyai pilihan untuk berbuat dan tidak
berbuat.Hal tersebut mengindikasikan bahwa manusia memiliki prinsip
yang memungkinkan dirinya untuk berfikir secara asional dan memilih
dalam hidupnya. Prinsip tersebut yang disebut akal (al-Nafs al-
Insaniyyah). Prinsip inilah yang membedakan manusia dengan
makhluk yang lainnya. Kalau hewan mampu membedakan baik buruk
dengan instingnya dan cukuplah hanya dengan instingnya saja,
sedangkan manusia membutuhkan sesuatu yang lebih dari pada insting
saja.
Manusia adalah makhluk yang dalam evolusi kehidupan
mencapai tingkat kemanusiaannya, yang ditandai dengan tumbuhnya
suatu struktur kehidupan jiwa yang baru, yang dinamakan budi atau
akal. Manusia mempunyai akal, dan akallah yang membuat manusia
berbeda dengan hewan dan kenyataan bahwa hanya manusialah satu-
satunya makhluk yang dikaruniakan kekuatan akal oleh Tuhan, dan
karena akallah manusia menjadi mulia. Kalau manusia dicabut akalnya,
maka manusia mungkin menjadi malaikat atau mungkin hewan
(Rusman : 1982 hal 31).
2. Manusia sebagai makhluk relasional
Manusia sebagai makhluk yang tidak terlepas dari alamnya.
Dalam diri manusia terdapat seluruh unsur alam (kosmos) seperti
mineral, tumbuh-tumbuhan, hewan dan bahkan unsur-unsur malaikat
dan ilahi. Ibnu Thufail juga menggabarkan bahwa unsur materi
pembentuk manusia juga merupakan unsur pembentuk alam yaitu: api,
air, udara, dan tanah. Unsur-unsur ini disebut juga dengan unsur yang
empat (al-Anasir al-Arba’ah).
Dalam Hayy, manusia adalah mikrokosmos yang berarti “alam
kecil”. Sebagai mikrokosmos, manusia mempresentasikan dalam
dirinya totalitas alam yang diciptakan. Seluruh ko=ualitas dan sifat
alam ada pada diri manusia. Sebagai bagian yang tak terpisahkan
dengan “alam besar” maka relasi manusia –sebagai salah satu makhluk-
dengan makhluk lainnya merupakan sebuah keniscayaan. Manusia
adalah makhluk relasional.
Manusia yang baik adalah yang memeilhara alam dan
membiarkan semua sesuai dengan kondisinya. Manusia boleh
memanfaatkan alam namun manusia tidak boleh merusak dan
menghancurkannya. Ibnu Thufail menggambarkan manusia sebagai
pengelola alam.

B. Perkembangan Pemikiran Manusia


1. Tahap pengetahuan empiris.
Kisah hay ibn yaqzan yang diawali dengan perkembangan Hayy
dalam beradaptasi dengan alam, belajar cara bertahan hidup, hingga dia
menemukan api. Hal itu termasuk tahap pertama dalam pencarian ilmu,
dengan memahami benda-benda sekitar dan mengetahui fungsinya.
Tahapan ini dapat disebut dengan tahap pengetahuan empiris.
Dimana pengetahuannya masih terbatas dengan hal-hal yang
terinderakan saja dengan pengamatan yang sederhana. Dari apa yang
diperolehnya itu, dia semakin berusaha meningkatkan pengetahuannya.
Memori-memori dari pengalaman pertamanya muncul seketika dia
memahami fungsi dan kegunaan api. Dia mampu mengingat kesan
pengalamannya lalu mengkorelasikan dengan pengalaman baru yang
didapat.
Hayy meneruskan pengamatannya pada semua jenis binatang,
tumbuhan, bebatuhan, tanah, air dan segalanya yang ada di alam bawah
dengan segala sifat dan atributnya. Tidak hanya itu, dia juga mengamati
benda-benda angkasa denga segala siklus yang dimilikinya. Hal
tersebut menunjukkan adanya metode-metode berfikir yang digunakan,
yaitu metode eskperimentasi dengan komparasi sehingga menghasilkan
kesimpulan-kesimpulan deduktif.
2. Tahap pengaetahuan rasionalis
Di sini terlihat rasionalitas pemikiran filsafat Ibnu Thufail yang
sangat kental. Hal itu tentunya tidak lepas dari pengaruh Ibnu Bajjah
sebagai filsuf rasional murni. Pengetahuannya tentang alam dengan
segala keberagamannya, pengetahuan tentang binatang dengan segala
spesiesnya, tentang angkasa dan sebagainya. Membuat ia dapat
kesimpulan bahwa semua itu ada sebabnya, yang mengaturnya dan ada
Wujud lain dibalik semua fenomena itu.
Dari wilayah empiris lalu bergerak pada sesuatu yang tidak berbau
materi. Pada tahapan ini dia mendalami pencariannya dengan
kontemplasi. Pemikirannya pada wilayah ini terlihat juga ketika dia
telah memahami bahwa alam ini ada permulaannya, alam ini adalah
sesuatuyang baru. Maka dari itu ada suatu proses dari ada menjadi
tiada. Proses itu memerlukan subyek yang sama sekali diluar sifat yang
diadakan.
3. Tahap mistis tasawuf
Tahapan terakhir dari perjalanan intelektual Ibnu Thufail dalam
kisah Hay Ibn Yaqzan adalah tahapan tasawuf mistis melalui jalan
intuitif. Hal ini dapat dilihat dari pencapaiannya ke titik penyaksian.
Pencapaiannya dalam maqam tertinggi dimana ia mendapatkan
pengetahuan sejati. Kisah Hay ibn yaqzan sampai disini mewakili
pemikirannya tentang jalan mencari kebenaran tidak cukup sampai
pada pengetahuan teoritik dan penalaran rasio atau akal saja.
Sebagaimana ia tidak puas terhadap hasil pemikiran Ibnu Bajjah yang
hanya berhenti disitu.
Maka hal itu sesuai dengan pendapatnya,”manusia tidak akan
pernah bisa mencapai derajat tertinggi ini, kecuali apabila ia senantiasa
memikirkan dzat-Nya, serta membebaskan diri dari segala pikiran
tentang segala sesuatu yang bersifat indrawi”. Derajat inilah yang
disebut olehnya sebagai derajatnya para sufi. Selain itu, ini sebagai
hasil ikhtiarnya dalam mendamaikan dua aliran pemikiran yang sering
dipertentangkan, yaitu pemikiran falsafah dan pemikiran sufi. Dua
aliran utama itu menggunakan metode berbeda dalam mencapai
kebenaran, tetapi ternyata keduanya dapat dipertemuka kembali. .
Mengenai pemikiran iluminasi Ibnu Thufail direfleksikan ketika
Hay mengetahui adanya kesamaan esensi antara dirinya, benda-benda
alam sekitar dan benda yang ada di langit. Esensi-esensi dipancarkan
oleh satu esensi sejati yang tak terbatas. Karena ketak terbatasan-Nya
itu, Dia memanivestasikannya pada semua yang beragam ini. Tentunya
dengan jalan emanasi cahaya, dimana cahaya tertinggi tidak dapat
dilihat kecuali dalam keadaan bersih dan suci.17

B. Hakikat Tuhan menurut ibnu Tuhufail

Dari hasil pengamatan dan pemikiran tentang alam semesta sertapengalaman


hidupnya, Hayy sampai pada suatu kepastian bahwa alam ini diciptakan oleh
Allah. Dengan akalnya, ia telah mengetahui adanya Allah. Dalam membuktikan
adanya Allah Ibnu Thufail mengemukakan tiga argumen sebagai ben'kut.

a. Argumen gerak (aI-harakat)

Geraka alam ini meniadi bukti tentang adanya Allah, baik bagi oranng yang
meyakini alam baharu maupun bagi orang yang meyakini alam qadim. Bago
orang yang meyakini alam itu baru, gerak alam berarti dari ketiadaan hingga
alam itu ada (diciptakan). Oleh karena itu, keberadaan alam dari ketiadaan itu
pasti membutuhkan pencipta, yaitu Allah. Sementara itu bagi oatang meyakini
alam itu qadim, gerak alam tidak berawal dan berakhir. Karena zaman tidak
mendahuluinya , arti gerak ini tidak di dahului oleh diam. Disini, penggerak
alam ( Allah) berfungsi mengubah materi dari alam potensial ke actual.

17
Adina Pramitasari, Filsafat manusia,,,,.hlm7-10
Mengubah dari suatu bentuk ke bentuk yang lain, inilah letak keistimewaaan
argument gerak Ibnu Thufail, yakini dapat dipahami oleh semua golongan.
Dengan argumen tersebut berarti manusia dapat mengetahui adanya Allah tanpa
melalui wahyu.

b. Argumen materi

Argumen materi Ibnu Thuail juag digunakan untuk membuktikan


adanya Tuhan. Argumen ini didasarkan pada ilmu fisika yang masih ada
kolerasinya dengan argument yang pertama (Al Harakat). Hal ini di kemukakan
Ibnu Thufail dlam kelompok pikiran yang terkait satu sama lain, yakni segala
yang ada tersusun dari materi dan bentuk, setiap materi membutuhkan
bentuk,bentuk tidak mungkin bereksintesnsi penggerak, dana segala yang ada
un tuk berksistensi membutuhkan pencipta . Bagi yang menyakini alam itu
qadim , pencipta berfungsi mengeksistensikan wujud dari suatu bentuk ke
bentuk yang lain. Semenatara bagi yang menyakini alam itu baru, pencipta
berfungsi menciptakan ketiadaan yang ada.Pencipta merupakan ilat (sebab)
dan alam merupakan ma’lul (akibat)

c. Argumen Al- Ghaiyyat dan Al-Innayat

Argumen ini sebenarnya pernah dikemukakan oleh Ibnu Sina. Tiga


sebab yang dikemukakan oleh Aristonteles, yaitu materi, bentuk dan pencipta.
Ibnu Siana melengkapinya dengan ilat al-ghaliyat (sebab tujuan). Menurut Ibnu
Thufail, bahwa segala yang ada di alam ini memiliki tujuan tertentu, ini
merupakan onayah dari Allah. Ibnu Thufail yang berpegang pada argument
sesuaI dengan AL-Quran, menolak bahwa alam diciptakan secara kebetulan.
Alam ini, masih menurut Ibnu Thufail, snagat rapi dan sangat teratur. Semua
planet, begitu juga jenis hewan dan anggota tubuh pada manusia memeiliki
tujuan tertentu. Demikianm tiga argument yang di kemukakan oleh Ibnu
Thufail.

Anda mungkin juga menyukai