1
terdapat tiga aliran filsafat yang menonjol, yaitu (1) Stoisisme; (2) Epikurisme; dan (3)
Neoplatonisme. Di samping ketiga aliran tersebut, sebenarnya terdapat pula gerakan
berpikir yang disebut Skeptisisme dengan pelopornya Pyrrho (365-275 SM) dan
Elektisisme oleh Cicero (106-43 SM).
2
Bagi para pemikir Islam klasik, bukanlah suatu kekeliruan menerima warisan
intelektual dari mana pun datangnya, termasuk yang berasal dari Yunani-Romawi itu.
Bahkan, sebagaimana dibuktikan dalam sejarah, umat Islam tidak alergis terhadap
peradaban Mesopotamia, Bizantium, Persia, Hindu dan Cina. Kunci memahaminya
karena pada hakikatnya Islam adalah agama inklusif, bersikap terbuka dan toleran
terhadap berbagai pengaruh peradaban ‘asing’ sejauh tidak bertentangan dengan prinsip
ketuhanan (tauhid) dan mampu memperkaya tradisi keilmuan Islam. Watak inilah yang
membuat Islam memiliki self confident (percaya diri) yang tinggi dan bebas dari
inferiority complex (rasa rendah diri) berhadapan dan berinteraksi dengan peradaban-
peradaban dunia.
Al-kindi adalah ahli filsafat yang pertama kali muncul di dunia islam. Sebagai
pegawai kelas atas dan sebagai penasehat keluarga Khalifah. Ia menulis berbagai
macam topik, kebanyakan diantaranya tentang matematika, astronomi, astrologi, kimia,
metalurgi, dan tafsir mimpi. Tetapi, sebagai seorang pemikir, pernyataan utama yang
membuatnya terkenal adalah seperti pendahulunya dalam islam yang mempertanyakan
kembali hubungan antara pemikiran yunani, terutama pemikiran filsafat Aristoteles
dengan wahyu al-Qur’an yang menggambarkan tentang pengembangan dan penyebaran
pengetahuan.
Pendidikan Islam di masa klasik dapat dikatakan maju bahkan dianggap telah
mencapai masa keemasan dalam sepanjang sejarah. Sejak permulaan penerjemahan
karya-karya pemikiran yunani,pendidikan islam mengalami kemajuan pesat baik dalam
materi pengajarannya (kurikulum) maupun lembaga pendidikan.
3
pendidikan di masa klasik tidak dikenal sekolah tingkat menengah yang ada hanya
lembaga pendidikan tingkat dasar dan lembaga pendidikan tingkat tinggi.
Menurut Mahmud Yunus, kurikulum sekolah tingkat tinggi dibagi menjadi dua,
yaitu: ilmu-ilmu naqliyah (ilmu yang bersumber pada al-Qur'an dan al-Hadits) dan
ilmu-ilmu aqliyah (ilmu yang bersumber pada akal). Ilmu-ilmu naqliyah meliputi tafsir,
al-Qur'an, hadits, fikih, usul fikih, nahwu/sharaf, balaghah, dan bahasa arab serta
kesustraan arab. Sedangkan ilmu-ilmu aqliyah meliputi mantiq/logika, ilmu alam dan
kimia, musik, ilmu pasti, ilmu ukur/matematik, falak (astronomi), ilmu kalam, ilmu
hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan, dan kedokteran.
4
Sebagaimana telah diisyaratkan, orang-orang Muslim berkenalan dengan ajaran
Aristoteles dalam bentuknya yang telah ditafsirkan dan diolah oleh orang-orang Syria,
dan itu berarti masuknya unsur-unsur Neoplatonisme. Maka cukup menarik bahwa
sementara orang-orang Muslim begitu sadar tentang Aristoteles dan apa yang mereka
anggap sebagai ajaran-ajarannya, namun mereka tidak sadar, atau sedikit sekali
mengetahui adanya unsur-unsur Neoplatonis didalamnya. Ini menyebabkan sulitnya
membedakan antara kedua unsur Hellenisme yang paling berpengaruh kepada falsafah
Islam itu, karena memang terkait satu sama lainnya.
5
Tetapi, seperti telah dikemukakan di atas, adalah mustahil melihat falsafah Islam
sebagai carbon copy Hellenisme. Misalnya, meskipun terdapat variasi, tetapi semua
pemikir Muslim berpandangan bahwa wahyu adalah sumber ilmu pengetahuan, dan,
karena itu, mereka juga membangun berbagai teori tentang kenabian seperti yang
dilakukan Ibn Sina dengan risalahnya yang terkenal, Itsbat al-Nubuwwat. Mereka juga
mencurahkan banyak tenaga untuk membahas kehidupan sesudah mati, suatu hal yang
tidak terdapat padanannya dalam Hellenisme, kecuali dengan sendirinya pada kaum
Hellenis Kristen. Para failasuf Muslim juga membahas masalah baik dan buruk, pahala
dan dosa, tanggungjawab pribadi di hadapan Allah, kebebasan dan keterpaksaan
(determinisme), asal usul penciptaan, dan seterusnya, yang kesemuanya itu merupakan
bagian integral dari ajaran Islam, dan sedikit sekali terdapat hal serupa dalam
Hellenisme.
Lebih lanjut, falsafah kemudian mempengaruhi ilmu kalam. Meski begitu, lagi-
lagi, tidaklah benar memandang ilmu kalam sebagai jiplakan belaka dari falsafah. Justru
dalam ilmu kalam orisinalitas kaum Muslim tampak nyata. Seperti dikatakan William
Lane Craig, the kalam argument as a proof for God's existence originated in the minds
of medieval Arabic theologians, who bequeathed to the West, where it became the
center of hotly disputed controversy. Great minds on both sides were raged against each
other: al-Ghazali versus Ibn Rushd, Saadia versus Maimonides, Bonaventure versus
Aquinas. The central issue in this entire debate was whether the temporal series of past
events could be actually infinite. (argumen kalam sebagai bukti adanya Tuhan berasal
dari dalam pikiran para teolog Arab zaman pertengahan, yang menyusup ke Barat, di
mana ia menjadi pusat kontroversi yang diperdebatkan secara hangat. Pemikir-pemikir
dari dua pihak berhadapan satu sama lain: al-Ghazali lawan Ibn Rusyd, Saadia lawan
Musa ibn Maymun, Bonaventura lawan Aquinas. Persoalan pokok dalam seluruh debat
itu ialah apakah rentetan zaman dari kejadian masa lampau itu dapat secara aktual tak
terbatas).
6
konfederasi masyarakat Asia Tengah di bawah kepemimpinan Jenghis Khan. Sesuai
dengan garis ketentuan Tuhan yang harus diyakini, Mongol telah berjuang untuk
menaklukkan beberapa wilayah yang ternama dan merampas Asia Timur, Timur
Tengah dan beberapa wilayah gurun Eropa Timur di bawah pemerintahan mereka.
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja
mengakhiri Khilafah Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa
kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan
dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khasanah ilmu pengetahuan itu ikut pula
lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan.
Demikianlah uraian ringkas tentang perjalan sejarah Jenghis Khan yang telah
memberikan sebuah catatan hitam dalam lembaran sejarah peradaban. Dahulunya
bangsa Mongol memang sangat dikenal sebuah bangsa yang memiliki keberanian
maupun kenekatan yang puncak kejayaan berada di tangan Jengis Khan sampai
beberapa generasi dibawahnya. Keberadaan, kekejaman maupun kebengisan Jenghis
Khan takkan pernah terlupakan dalam sejarah peradaban, walaupun cucunya belakangan
dianggap dapat menebus kesalahan-kesalahan kakeknya namun hancurnya peninggalan-
peninggalan sejarah dalam sebuah peradaban mungkin tak akan dapat dilupakan.
7
menjawab permasalahan yang terjadi dalam dunia pendidikan Islam dewasa ini dan
untuk masa yang akan datang. Maka suatu falsafah pendidikan yang berdasar Islam
tidak lain adalah pandangan dasar tentang pendidikan yang bersumberkan ajaran Islam,
yang orientasi pemikirannya berdasarkan ajaran Keesaan Tuhan dan kesatuan
penciptaan.
„tabula rasa’ (teori kertas putih). Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan dapat dapat
diperoleh melalui pengamatan, dengan jalan observasi, atau jalan penginderaan.
(Burhanuddin, 1997)
Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan yang teratur, intuisi tidak bisa
digunakan. Intuisi hanya dapat digunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya
dalam menentukan benar tidaknya pendapat yang dikemukakan. Memang intuisi
dipercaya mampu memahami banyak hal yang tidak dipahami oleh akal untuk menutupi
kekurangan itu, manusi dilengkapi dengan intuisi ataau hati (qalb), sehingga akan
8
lengkaplah seluruh perangkat ilmu bagi manusia. (Jalaluddin,2014). Jawaban dari
permasalahan yang sedang difikirkan muncul di benak manusia sebagai suatu keyakinan
yang benar walaupun manusia tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya untuk sampai
ke situ secara rasional. Dalam tradisi Islam, para sufi menyebut pengetahuan ini
sebagai rasa yang mendalam (dzauq) yang berkaitan dengan persepsi batin. Dengan
demikian pengetahuan intuitif sejenis pengetahuan yang dikaruniakan tuhan kepada
seseorang dan pada qalbu-Nya sehingga tersikaplah olehnya sebagian rahasia dan
tampak olehnya sebagai realitas. Perolehan pengetahuan ini bukan dengan jalan logis
melaainkan dengan jalan kesalehan, sehingga seseorang memiliki kebeningan kalbu
dan wawasan spiritual yang prima. (Mohammad, 2005)
d. Wahyu Allah. Wahyu Allah adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah
kepada manusia lewat para nabi yang diutus-Nya sejak nabi pertama sampai terakhir.
Wahyu adalah isyarat yang cepat atau bisikan halus atau firman tuhan yang disampaikan
kepada para anbiya. Para filusuf muslim juga mengakui wahyu sebagai sumber ilmu
pengetahuan.
9
Maka pengetahuan (ilmu) pendidikan Islam terdiri dari pengetahuan filsafat pendidikan,
tasawuf (mistik) pendidikan dan ilmu pendidikan. (Ahmad,1995). Dengan demikian,
maka penelitian pendidikan Islam, mencakup penelitian terhadap pengetahuan filsafat
pendidikan Islam, pengetahuan mistik Pendidikan Islam, dan Ilmu Pendidikan Islam.
10
Sumber dan Metode Epistimologi Barat
Dalam lingkup sains modern, segala sesuatu yang bukan sains, yaitu semua yang
tidak sesuai dengan ilmu alam dan matematika, tak terkecuali teori tentang alam
semesta, manusia atau masyarakat, perlahan-lahan dikenal sebagai filsafat. Namun, jika
dikumpulkan semua “isme” yang telah disebut-sebut sebagai filsafat di dunia modern
dan mendaftar semua definisinya, akan ditemukan bahwa keseluruhan “isme” tersebut
tidak memiliki kesamaan apa-apa kecuali sama-sama merupakan sejenis ilmu sains.
(Lihat, Murtadha Muthahhari, Tema- Tema Penting Filsafat Islam, Terj.A. Rifa’i Hasan
11
dan Yuliani L (Bandung: Mizan, 1993), h.25). Jadi, sulit memang untuk memisahkan
antara filsafat dan sains modern sebab di dalam filsafat tersebut terkandung landasan
sains dan sains itu sendiri bersandarkan pada filsafat.
12
- JELASKAN PENGARUH POLITIK ETIS BAGI PERKEMBANGAN
PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA (HINDIA BELANDA)
Politik Etis adalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kolonial Hindia Belanda
sejak 17 September 1901. Politik Etis disebut pula sebagai Politik Balas Budi. Politik
Etis bermula dari kebijakan tanam paksa.
Tahun 1830, Johannes van den Bosch yang merupakan Gubernur Jenderal Hindia
Belanda kala itu, menetapkan kebijakan tanam paksa atau cultuurstelsel. Ketika aturan
ini berlaku, masyarakat Indonesia dipaksa menanam komoditas ekspor demi
kepentingan Belanda. Akan tetapi, banyak penyimpangan yang terjadi dalam
pelaksanaan cultuurstelsel ini. Dampak yang ditimbulkan amat sangat menyengsarakan
rakyat.
Mulai muncul kritikan dan kecaman atas pelaksanaan tanam paksa, bahkan dari
kalangan orang Belanda sendiri. Akibatnya, sistem tanam paksa akhirnya dihentikan
pada 1863. Meskipun begitu, tanam paksa terlanjur menimbulkan kerugian besar bagi
rakyat Indonesia. Maka, beberapa aktivis dari Belanda seperti Pieter Brooshooft dan C.
Th. van Deventer memprakarsai digagasnya Politik Etis sebagai bentuk balas budi
kepada rakyat Indonesia. Van Deventer pertama kali mengungkapkan perihal Politik
Etis melalui majalah De Gids pada 1899. Ternyata, desakan terkait ini diiterima oleh
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sejak 17 September 1901, Politik Etis pun resmi
diberlakukan.
13
1. Irigasi
2. Edukasi
3. Emigrasi
Dampak Negatif
14
Berikutnya, dalam program edukasi, pemerintah kolonial Hindia Belanda
ternyata punya niatan buruk. Mereka ingin memperoleh tenaga kerja dengan kualitas
SDM tinggi namun dengan upah rendah.
Politik Etis adalah suatu kebijakan yang diarahkan untuk kepentingan penduduk
pribumi dengan cara meningkatkan pendidikan secara Barat. [1] [Soediyono, Sejarah
Pendidikan Indonesia, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, Semarang, 1986,
hlm. 59.]
15
pendidikan Islam. [4]. [Dra. Hanum Asrahah, M.Ag., Sejarah Pendidikan Islam, Logos
Wacana Ilmu, Jakarta, 1999, hlm. 153-154.]
Dari kebijakan politik etis, dapat diketahui tujuan dan akibat yang
ditimbulkannya. Tujuan politik etis berkaitan dengan pendidikan.:
16
Sedangkan akibat adanya politik etis adalah;
3. Munculnya sekelompok orang Indonesia yang lebih toleran kepada kaum penjajah.
4. Sikap antipati yang lebih dalam dari kaum ulama dan santri terhadap keberadaan
Belanda berkaitan dengan pendidikan.
Dampak Positif
Program edukasi yang diberikan dalam Politik Etis melahirkan kaum terpelajar
dari kalangan pribumi. Mereka inilah yang kemudian mengawali era pergerakan
nasional dengan mendirikan berbagai organisasi yang berjuang melalui pemikiran,
pengetahuan, hingga politik.
17
- MENURUT SAUDARA BAGAIMANA PERAN PENDIDIKAN BERBASIS
NU DALAM MEMBANGUN KARAKTER PESERTA DIDIK DI
INDONESIA.
18
pendidikan yang ditawarkan NU adalah pendidikan sebagai trasfer nilai dalam arti luas,
pendidikan agama menjadi pondasi serta pendidikan sebagai model kaderisasi
organisasi NU.
(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem
terbuka dan multimakna.
19
(6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen
masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan
pendidikan.
Jika dipahami lebih jauh, maka apa yang telah disebutkan dalam UU Sisdiknas
tidak keluar dari garis-garis besar perjuangan NU dalam membentuk karakter baik
sebagai warga Nahdliyin maupun sebagai warga bangsa Indonesia.
Pendidikan merupakan suatu sistem yang teratur dan mengemban misi yang
cukup luas yaitu segala sesuatu yang bertalian dengan perkembangan fisik, kesehatan,
keterampilan, pikiran, perasaan, kemauan, sosial sampai kepada masalah kepercayaan
atau keimanan. Hal ini menunjukkan bahwa sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan
formal mempunyai suatu muatan beban yang cukup berat dalam melaksanakan misi
pendidikan tersebut. Lebih-lebih kalau dikaitkan dengan pesatnya perubahan zaman
dewasa ini yang sangat berpengaruh terhadap pelajar dalam berfikir, bersikap dan
berperilaku, khususnya terhadap mereka yang masih dalam tahap perkembangan dalam
transisi yang mencari identitas diri.1
1
Departemen Agama, Kendali Mutu. Pendidikan Agama Islam (Jakarta : Dirjen Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam. 2001) hal. 10
20
jawab pendidikan yang memiliki karakter seperti yang di amanatkan undang-undang
Nomor 20 tahun 2003.
Oleh karena itu Pendidikan karakter secara lebih luas dapat diartikan sebagai
pendidikan yang mengembangkan nilai budaya dan kara karakter bangsa pada diri
peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya,
menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya sebagai anggota masyarakat,
dan warga negara yang religius, nasionalis, produktif, dan kreatif. Di sinilah pentingnya
mengutamankan pendidikan karakter, keberhasilan seseorang bahkan suatu bangsa
bukan hanya dengan dibekali kecerdasan yang mempuni, akan tetapi juga pembentukan
karakter yang berjiwa mandiri, penuh tanggung jawab, dan berahklak mulia seperti yang
tercantum dalam undang-undang.
2
Sudirman N.Ilmu Pendidikan(Bandung : Remaja Rosdakarya.1992) hal. 4
3
Abdullah Munir. Pendidikan Karakter (Yogyakarta: Pedagogia. 2010) hal. 4
21
Pendidikan NU
22
Sosok perseorang (kyai/Ulama) dalam NU menjadikan satu kekuatan yang
tidak dimiliki oleh organisasi lain dalam pertumbuhan dan perkembangan dunia
pendidikan disatu sisi ini merupakan kekuatan tetapi satu sisi ini menajdi kelemahan
mendasar untuk NU. Sebab dari kyai/Ulama inilah bermunculan banyak pendidikan
berbasis NU tetapi bukan miliki NU sebagai organisasi, hanya kultural yang ada dan
tidak mengikat dalam strutural NU. Sehingga NU harus memiliki satu intitusi yang
membidangi hal tersebut sebagai pengikat dan penjaga dalam perkembangan pendidikan
di NU sendiri. Hal ini perlu dilakukan sehingga NU akan terus berkembangan di akar
rumput dan menjadikan wajah pendidikan di Indonesia kaya dan beragam input, proses
dan outputnya.
1992), p. viii.
6
Achmad Siddiq, Khittah Nahdliyyah, “Khalista” Surabaya, (Surabaya, Cet. 3, 2005), p. 87-90.
23
loving good (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action) (Lickona, 1991).
Pendidikan karakter bukan sekedar hubungan horizontal antar individu, namun juga
antara individu dengan Tuhannya. Saat seseorang selalu merasa dekat dengan
Tuhannya, merasa Tuhan selalu melihatnya dan mengawasinya maka perilaku
seseorang tersebut akan terkontrol dan terkendali, sehingga ia akan berpikir dan
bertindak secara ihsan.
1. At-Tawassuth
Tawassuth berarti pertengahan, maksudnya menempatkan diri antara dua kutub dalam
berbagai masalah dan keadaan untuk mencapai kebenaran serta menghindari
keterlanjuran ke kiri atau ke kanan secara berlebihan.
2. Al I’tidal
7
Mabadi Khaira Ummah adalah sebuah gerakan untuk mengembangkan identitas dan karakteristik
anggota Nahdlatul 'Ulama dengan pengaturan nilai-nilai mulia dari konsep keagamaan Nahdlatul 'Ulama.
The Mabadi Khaira Ummah movement was the beginning of the establishment of ”the leading follower”
(khaira ummah), which are members who are capable of carrying out amar ma’ruf and nahy munkar
responsibilities which from a very important part of NU’s progress, because these two notions are
essential to support the formation of life order blessed by Allah in accordance with NU ideal. Lebih jelas
lihat Dr. Endang Turmudi, MA, (Ed.), Nahdlatul ’Ulama;, Ideology Politics and The Formation of Khaira
Ummah, The Central Board of The Ma’arif Education Institution of NU, printed by LKiS, (Yogyakarta,
2003), p. 76- 83.
24
I’tidal berarti tegak lurus, tidak condong ke kanan dan tidak condong ke kiri. I’tidal juga
berarti berlaku adil, tidak berpihak kecuali pada yang benar dan yang harus dibela.
3. At-Tasamuh
Tasamuih berarti sikap toleran pada pihak lain, lapang dada, mengerti dan menghargai
sikap pendirian dan kepentingan pihak lain tanpa mengorbankan pendirian dan harga
diri, bersedia berbeda pendapat, baik dalam masalah keagamaan maupun masalah
kebangsaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan.
4. At-Tawazun
Tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan sesuatu unsur atau
kekurangan unsur lain.
Amar ma’ruf nahi munkar artinya menyeru dan mendorong berbuat baik yang
bermanfaat bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi, serta mencegah dan
menghilangkan segala hal yang dapat merugikan, merusak, merendahkan dan atau
menjerumuskan nilai-nilai moral keagamaan dan kemanusiaan.8
Selain lima karakteristik di atas, dalam merespon berbagai persoalan baik yang
berkenaan dengan persoalan keagamaan maupun kemasyarakatan, Nahdlatul 'Ulama
memiliki manhaj Ahlusunnah wal Jama’ah yang dijadikan sebagai landasan berpikir
Nahdlatul 'Ulama (Fikrah Nahdliyah). Adapun ciri-ciri dari Fikrah Nahdliyah, 9 antara
lain:
2. Fikrah Tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya Nahdlatul 'Ulama dapat hidup
berdampingan secara damai dengan berbagai pihak lain walaupun aqidah, cara piker,
dan budayanya berbeda.
8
Tim Penulis, Materi Dasar Nahdlatul ‘Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, PW. LP Ma’arif NU Jawa
Tengah, (Semarang, 2002), P. 4
9
Soelaiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU, “Khalista” Surabaya bekerja sama
dengan Lajnah Ta’lif Wan Nasyr Jawa Timur, (Surabaya, 2007), p. 46.
25
3. Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul 'Ulama selalu
mengupayakan perbaikan menuju kea rah yang lebih baik (al ishlah ila ma huwa al
ashlah).
Karena strategi yang ditanamkan para warga Nahdliyin lima hal yaitu (1)
Menanamkan akidah para warga Nahdiyin secara benar (2) Menanamkan syari’ah
secartepat (3) Menanamkan pendidikan akhlak al-karimah (4) Menanamkan konsep
toleransi dalam beragama (5) Memberikan penerangan tentang konsep jihad yang
sesuai dengan al- Quran dan hadits.
Selain itu berdasarkan Program kerja NU meliputi tiga belas bidang garapan,
yaitu bidang diniyah (keagamaan), bidang pendidikan dan kebudayaan, bidang
dakwah, bidang Mabarrat (sosial), bidang perekonomian, bidang tenaga kerja, bidang
pertanian dan nelayan, bidang generasi muda, bidang kewanitaan, bidang pemberdayaan
sumber daya manusia, bidang penerbitan dan informasi, bidang kependudukan, dan
bidang lingkuangan hidup.11
10
Ahmad Syaukani, Perkembangan Pemikir Modern Di Dunia Islam , Pustaka Setia, 1997, hal. 133
11
Ahmad Syaukani, hal. 134
26
Jika kita pahami dari pemaparan di atas terlihat bahwa pendidikan NU telah
mempu menduga dan mengukur apa yang akan terjadi dalam dunia pendidikan di
Indonesia dari waktu ke waktu, dari zaman ke zaman. Sehingga NU telah
mempersiapkan kebijakan sedemikian sehingga pendidikan NU akan terus bisa
menjawab persoalan kehidupan. Kebijakan tersebut terukur serta mampu di
implementasikan dalam dunia pendidikan yang di gagas oleh NU sebagai alat untuk
membentuk dan membangun karakter peserta didik dan karakter bangsa.
Kesimpulan
27