Anda di halaman 1dari 27

UJIAN AKHIR SEMESTER

NAMA MAHASISWA : ABDUL HADI ZAKARIA


ASAL AERAH : ACEH
DOSEN : Dr. Affan Hasnan, M.Pd.
Mata Kuliah : Sejarah Pendidikan Islam
Tanggal : 12 Maret 2022
Semester : 1 (Ganjil)

- MENURUT SAUDARA BAGAIMANA KETERKAITAN HELLENISME


DENGAN BERKEMBANGNYA PENDIDIKAN ISLAM PASCA INVASI
BANGSA MONGOL?

Hellenisme (yang berasal dari kata hellenizein=berbahasa Yunani, dan juga


menjadikan Yunani) adalah roh dan kebudayaan Yunani, yang sepanjang roh dan
kebudayaan itu memberikan ciri-cirinya kepada para bangsa yang bukan Yunani di
sekitar Lautan Tengah, mengadakan perubahan-perubahan di bidang kesusasteraan,
agama dan keadaan bangsa-bangsa itu.

Pada masa Hellenisme terjadi transformasi pemikiran filsafat yang ditandai


dengan perubahan bentuk filsafat dari filsafat teoritis menjadi filsafat praktis dan
membuat filsafat menjadi bagian dari seni hidup. Berbagai aliran yang muncul pada saat
itu yang kesemuanya bertujuan untuk menentukan cita-cita hidup manusia. Ada aliran-
aliran Etis yang menentukan yang menekankan pada persoalan-persoalan kebijaksanaan
hidup yang praktis disamping juga ada aliran-aliran yang diwarnai pemikiran
keagamaan. Yang termasuk aliran yang bersifat Etis di antaranya adalah aliran Stoa dan
Epikuros, sedangkan yang termasuk aliran yang diwarnai agama, diantaranya adalah:
filsafat Neophytagoras, filsafat Plotinus Tengah, filsafat Yahudi dan Neoplatonisme.

Zaman Hellenisme adalah zaman keemasan kebudayaan Yunani. Tokoh yang


berjasa dalam pengembangan kebudayaan Yunani ini adalah Iskandar Agung (356-323
SM) dari Macedonia, salah seorang murid Aristoteles. Akibat ekspansi besar-besaran
yang dilakukannya, kebudayaan Yunani dengan cepat tersebar memasuki wilayah
Persia, Irak, Mesir, Suriah, Yudea, India, dan Asia Tengah. Pada masa Hellenisme ini

1
terdapat tiga aliran filsafat yang menonjol, yaitu (1) Stoisisme; (2) Epikurisme; dan (3)
Neoplatonisme. Di samping ketiga aliran tersebut, sebenarnya terdapat pula gerakan
berpikir yang disebut Skeptisisme dengan pelopornya Pyrrho (365-275 SM) dan
Elektisisme oleh Cicero (106-43 SM).

Begitu kuatnya pengaruh peradaban Yunani-Romawi terhadap peradaban Islam


sampai timbul asumsi bahwa peradaban Islam hanya copy dan ‘kelahiran kembali’
peradaban Yunani-Romawi tapi plus kepercayaan pada keesaan Tuhan (Tauhid).

Ziya Gokalp misalnya berpendapat bahwa melalui terjemahaan karya-karya


pemikir Yunani Kuno, bangsa Arab Muslim menyerap pengetahuan seni, filsafat,
matematika, logika, kedokteran dan lain-lain. Pengaruh Yunani itu nampak misalnya
dalam skisma intelektual yang terjadi di dunia Islam. Para pengikut aliran peripetik
adalah para pengikut ajaran Aristoteles sedangkan pengikut aliran iluminasionis
merupakan pengikut Plato. Kaum Mutakallimun (teolog) dipengaruhi ajaran filsafat
atomistik Demokritus dan Epikuros sedangkan kaum Mistikus dipengaruhi Neo-
Platonisme yang dikembangkan di Alexandria oleh Plotinus. Ada juga pengikut
Phytagoras dan Zeno di dunia Islam, yaitu kaum Riwakiyyun (Stoik). Ibnu al-Arabi,
tokoh mistikus Islam Andalusia, sangat dipengaruhi oleh Plato. Karya Ibnu al Arabi,
Akhlaq-i Nasiri, Akhlaq-i Jalali dan Akhlaq-i Ala’i, menurut Gokalp, pada dasarnya
hanyalah copy dari pemikiran Aristoteles.

Pandangan Gokalp mengandung kebenaran. Adanya pengaruh Yunani-Romawi


terhadap pemikiran Islam ini penting dikemukakan karena kontribusi warisan
intelektual Islam yang diadopsi Barat terjadi justru melalui karya-karya pemikir Islam
yang menerima pengaruh peradaban Yunani-Romawi itu. Hanya saja persoalannya
adalah: bagaimana sikap kaum muslimmin menerimaa warisan intelektual Yunani itu.
Apakah dengan menerima pengaruh itu, islam kemudian mengalami hellenisasi? Dan,
apakah warisan Yunani-Romawi itu diterima begitu saja, ataukah diterima setelah
melalui pergaulan intelektual yang panjang dan disaring oleh kritisisme serta filter
intelektual yang andal?

2
Bagi para pemikir Islam klasik, bukanlah suatu kekeliruan menerima warisan
intelektual dari mana pun datangnya, termasuk yang berasal dari Yunani-Romawi itu.
Bahkan, sebagaimana dibuktikan dalam sejarah, umat Islam tidak alergis terhadap
peradaban Mesopotamia, Bizantium, Persia, Hindu dan Cina. Kunci memahaminya
karena pada hakikatnya Islam adalah agama inklusif, bersikap terbuka dan toleran
terhadap berbagai pengaruh peradaban ‘asing’ sejauh tidak bertentangan dengan prinsip
ketuhanan (tauhid) dan mampu memperkaya tradisi keilmuan Islam. Watak inilah yang
membuat Islam memiliki self confident (percaya diri) yang tinggi dan bebas dari
inferiority complex (rasa rendah diri) berhadapan dan berinteraksi dengan peradaban-
peradaban dunia.

Al-kindi adalah ahli filsafat yang pertama kali muncul di dunia islam. Sebagai
pegawai kelas atas dan sebagai penasehat keluarga Khalifah. Ia menulis berbagai
macam topik, kebanyakan diantaranya tentang matematika, astronomi, astrologi, kimia,
metalurgi, dan tafsir mimpi. Tetapi, sebagai seorang pemikir, pernyataan utama yang
membuatnya terkenal adalah seperti pendahulunya dalam islam yang mempertanyakan
kembali hubungan antara pemikiran yunani, terutama pemikiran filsafat Aristoteles
dengan wahyu al-Qur’an yang menggambarkan tentang pengembangan dan penyebaran
pengetahuan.

Pengaruh Hellenistik Terhadap Perkembangan Pendidikan Islam

Pendidikan Islam di masa klasik dapat dikatakan maju bahkan dianggap telah
mencapai masa keemasan dalam sepanjang sejarah. Sejak permulaan penerjemahan
karya-karya pemikiran yunani,pendidikan islam mengalami kemajuan pesat baik dalam
materi pengajarannya (kurikulum) maupun lembaga pendidikan.

Lembaga-lembaga pendidikan yang sebelumnya hanya mengajarkan


pengetahuan agama, mulai mengajarkan ilmu pengetahuan, seperti: matematika, filsafat,
dan kedokteran. Misalnya di kuttab, yaitu salah satu dari lembaga pendidikan tingkat
dasar, pada abad pertama masa islam hanya mengajarkan pelajaran membaca dan
menulis, kemudian diajarkan pula pendidikan keagamaan. Sejak abad ke-8 M, Kuttab
mulai mengajarkan pelajaran ilmu pengetahuan disamping ilmu agama. Sistem

3
pendidikan di masa klasik tidak dikenal sekolah tingkat menengah yang ada hanya
lembaga pendidikan tingkat dasar dan lembaga pendidikan tingkat tinggi.

Menurut Mahmud Yunus, kurikulum sekolah tingkat tinggi dibagi menjadi dua,
yaitu: ilmu-ilmu naqliyah (ilmu yang bersumber pada al-Qur'an dan al-Hadits) dan
ilmu-ilmu aqliyah (ilmu yang bersumber pada akal). Ilmu-ilmu naqliyah meliputi tafsir,
al-Qur'an, hadits, fikih, usul fikih, nahwu/sharaf, balaghah, dan bahasa arab serta
kesustraan arab. Sedangkan ilmu-ilmu aqliyah meliputi mantiq/logika, ilmu alam dan
kimia, musik, ilmu pasti, ilmu ukur/matematik, falak (astronomi), ilmu kalam, ilmu
hewan, ilmu tumbuh-tumbuhan, dan kedokteran.

Setelah menguasai karya-karya hellenisme, ilmuwan-ilmuwan islam


mengadakan pengamatan, penelitian, dan pengkajian lebih jauh sehingga mereka
berhasil menemukan teori-teori baru di bidang ilmu pengetahuan dan filsafat. Pemikiran
hellenisme yang mereka transmisikan dalam karya-karya pemikiran islam bukanlah
sekedar terjemahan atau jiplakan, tetapi merupakan karya asli umat islam. Wacana
intelektual islam mengalami kemajuan pesat. Kontak dengan hellenisme bukan hanya
mempengaruhi lahirnya berbagai wacana di bidang ilmu pengetahuan dan filsafat
islam,tetapi juga pemikiran-pemikiran keagamaan, seperti teologi, tafsir, bahasa, hukum
islam dan sebagainya. Masa klasik islam adalah periode kejayaan dan keemasan
peradaban islam

Disamping kurikulum yang berkembang sebagai akibat pengaruh peradaban


yunani, lembaga pendidikanpun mengalami perkembangan dengan pesat. Lembaga-
lembaga pendidikan islam seperti: kuttab, mesjid, halaqah, dan majlis mengajarkan
materi pelajaran yang berkaitan dengan keagamaan. Pada perkembangan berikutnya,
diajarkan materi pelajaran tentang ilmu pengetahuan dan filsafat. Akibatnya, lembaga-
lembaga pendidikan islam mengalami perubahan karakteristik, bahkan munculnya
bentuk-bentuk lembaga pendidikan baru, serta menyebabkan terjadinya dualisme
lembaga pendidikan islam, yaitu:

1. Lembaga pendidikan islam yang terbuka pada pengetahuan umum.

2. Lembaga pendidikan islam yang tertutup terhadap pengetahuan umum.

4
Sebagaimana telah diisyaratkan, orang-orang Muslim berkenalan dengan ajaran
Aristoteles dalam bentuknya yang telah ditafsirkan dan diolah oleh orang-orang Syria,
dan itu berarti masuknya unsur-unsur Neoplatonisme. Maka cukup menarik bahwa
sementara orang-orang Muslim begitu sadar tentang Aristoteles dan apa yang mereka
anggap sebagai ajaran-ajarannya, namun mereka tidak sadar, atau sedikit sekali
mengetahui adanya unsur-unsur Neoplatonis didalamnya. Ini menyebabkan sulitnya
membedakan antara kedua unsur Hellenisme yang paling berpengaruh kepada falsafah
Islam itu, karena memang terkait satu sama lainnya.

Sekalipun begitu masih dapat dibenarkan melihat adanya pengaruh khas


Neoplatonisme dalam dunia pemikiran Islam, seperti yang kelak muncul dengan jelas
dalam berbagai paham Tasauf. Ibn Sina, misalnya, dapat dikatakan seorang
Neoplatonis, disebabkan ajarannya tentang mistik perjalanan ruhani menuju Tuhan
seperti yang dimuat dalam kitabnya, Isharat. Dan memang Neoplatonisme yang
spiritualistik itu banyak mendapatkan jalan masuk ke dalam ajaran-ajaran Sufi. Yang
paling menonjol ialah yang ada dalam ajaran sekelompok orang-orang Muslim yang
menamakan diri mereka Ikhwan al-Shafa (secara longgar: Persaudaraan Suci).

Demikian pula, kita sepenuhnya dapat berbicara tentang pengaruh besar


Aristotelianisme, yaitu dari sudut kenyataan bahwa kaum Muslim banyak
memanfaatkan metode berpikir logis menurut logika formal (silogisme) Aristoteles.
Cukup sebagai bukti betapa jauhnya pengaruh ajaran Aristoteles ini ialah populernya
ilmu mantiq di kalangan orang-orang Islam. Sampai sekarang masih ada dari kalangan
'ulama' kita yang menulis tentang mantiq, seperti K.H. Bishri Musthafa dari Rembang,
dan ilmu mantiq masih diajarkan di beberapa pesantren. Memang telah tampil beberapa
'ulama' di masa lalu yang mencoba meruntuhkan ilmu mantiq (seperti Ibn Taymiyyah
dengan kitabnya, Naqdl al-Manthiq dan al-Suyuthi dengan kitabnya, Shawn al-Mantiq
wa al-Kalam 'an Fann al-Manthiq wa al-Kalam). Tetapi bahkan al-Ghazali pun, meski
telah berusaha menghancurkan falsafah dari segi metafisikanya, adalah seorang pembela
ilmu mantiq yang gigih, dengan kitab-kitabnya seperti Mi'yar al-Ilm dan Mihakk al-
Nadhar. Bahkan kitabnya, al-Qisthas al-Mustaqim, dinilai dan dituduh Ibn Taymiyyah
sebagai usaha pencampur-adukan tak sah ajaran Nabi dengan falsafah Aristoteles,
karena uraian-uraian keagamaannya, dalam hal ini ilmu fiqh, yang menggunakan sistem
ilmu mantiq.

5
Tetapi, seperti telah dikemukakan di atas, adalah mustahil melihat falsafah Islam
sebagai carbon copy Hellenisme. Misalnya, meskipun terdapat variasi, tetapi semua
pemikir Muslim berpandangan bahwa wahyu adalah sumber ilmu pengetahuan, dan,
karena itu, mereka juga membangun berbagai teori tentang kenabian seperti yang
dilakukan Ibn Sina dengan risalahnya yang terkenal, Itsbat al-Nubuwwat. Mereka juga
mencurahkan banyak tenaga untuk membahas kehidupan sesudah mati, suatu hal yang
tidak terdapat padanannya dalam Hellenisme, kecuali dengan sendirinya pada kaum
Hellenis Kristen. Para failasuf Muslim juga membahas masalah baik dan buruk, pahala
dan dosa, tanggungjawab pribadi di hadapan Allah, kebebasan dan keterpaksaan
(determinisme), asal usul penciptaan, dan seterusnya, yang kesemuanya itu merupakan
bagian integral dari ajaran Islam, dan sedikit sekali terdapat hal serupa dalam
Hellenisme.

Lebih lanjut, falsafah kemudian mempengaruhi ilmu kalam. Meski begitu, lagi-
lagi, tidaklah benar memandang ilmu kalam sebagai jiplakan belaka dari falsafah. Justru
dalam ilmu kalam orisinalitas kaum Muslim tampak nyata. Seperti dikatakan William
Lane Craig, the kalam argument as a proof for God's existence originated in the minds
of medieval Arabic theologians, who bequeathed to the West, where it became the
center of hotly disputed controversy. Great minds on both sides were raged against each
other: al-Ghazali versus Ibn Rushd, Saadia versus Maimonides, Bonaventure versus
Aquinas. The central issue in this entire debate was whether the temporal series of past
events could be actually infinite. (argumen kalam sebagai bukti adanya Tuhan berasal
dari dalam pikiran para teolog Arab zaman pertengahan, yang menyusup ke Barat, di
mana ia menjadi pusat kontroversi yang diperdebatkan secara hangat. Pemikir-pemikir
dari dua pihak berhadapan satu sama lain: al-Ghazali lawan Ibn Rusyd, Saadia lawan
Musa ibn Maymun, Bonaventura lawan Aquinas. Persoalan pokok dalam seluruh debat
itu ialah apakah rentetan zaman dari kejadian masa lampau itu dapat secara aktual tak
terbatas).

Serangan Bangsa Mongol ke Wilayah Islam.

Serangkaian invasi Mongol benar-benar telah menimbulkan kehancuran bagi


peradaban Muslim. Invasi Mongol tersebut dilanjutkan dengan pembentukan sebuah

6
konfederasi masyarakat Asia Tengah di bawah kepemimpinan Jenghis Khan. Sesuai
dengan garis ketentuan Tuhan yang harus diyakini, Mongol telah berjuang untuk
menaklukkan beberapa wilayah yang ternama dan merampas Asia Timur, Timur
Tengah dan beberapa wilayah gurun Eropa Timur di bawah pemerintahan mereka.
Jatuhnya kota Baghdad pada tahun 1258 M ke tangan bangsa Mongol bukan saja
mengakhiri Khilafah Abbasiyah di sana, tetapi juga merupakan awal dari masa
kemunduran politik dan peradaban Islam, karena Baghdad sebagai pusat kebudayaan
dan peradaban Islam yang sangat kaya dengan khasanah ilmu pengetahuan itu ikut pula
lenyap dibumihanguskan oleh pasukan Mongol yang dipimpin oleh Hulagu Khan.

Jauh sebelum serangan bangsa Mongol melakukan serangan ke Bagdad sebagai


pusat kekhalifahan Bani Abbasiyah. Wilayah-wilayah Spanyol, Cordova dan kekuasaan
Bani Ummaiyah sudah lama berkembang di daerah tersebut. Yang kemudian menjadi
pusat-pusat kemajuan bagi Bangsa Barat atau Eropa.

Demikianlah uraian ringkas tentang perjalan sejarah Jenghis Khan yang telah
memberikan sebuah catatan hitam dalam lembaran sejarah peradaban. Dahulunya
bangsa Mongol memang sangat dikenal sebuah bangsa yang memiliki keberanian
maupun kenekatan yang puncak kejayaan berada di tangan Jengis Khan sampai
beberapa generasi dibawahnya. Keberadaan, kekejaman maupun kebengisan Jenghis
Khan takkan pernah terlupakan dalam sejarah peradaban, walaupun cucunya belakangan
dianggap dapat menebus kesalahan-kesalahan kakeknya namun hancurnya peninggalan-
peninggalan sejarah dalam sebuah peradaban mungkin tak akan dapat dilupakan.

- JELASKAN PERBEDAAN ASUMSI DASAR PENDIDIKAN ISLAM


DENGAN PENDIDIKAN BARAT (EROPA)?

Pendidikan Islam yang bertujuan untuk membimbing pertumbuhan rohani dan


jasmani pemeluknya menurut ajaran Islam. Pendidikan Islam merupakan hal yang wajib
untuk dilaksanakan untuk mengembangkan konsep-konsep pendidikan Islam dan upaya

7
menjawab permasalahan yang terjadi dalam dunia pendidikan Islam dewasa ini dan
untuk masa yang akan datang. Maka suatu falsafah pendidikan yang berdasar Islam
tidak lain adalah pandangan dasar tentang pendidikan yang bersumberkan ajaran Islam,
yang orientasi pemikirannya berdasarkan ajaran Keesaan Tuhan dan kesatuan
penciptaan.

Adapun yang dimaksud dengan sumber pengetahuan, adalah faktor yang


melatarbelakangi lahirnya ilmu pengetahuan. Dari mana atau dengan cara
bagaimana manusia memperoleh ilmu pengetahuan itu. Maka setidaknya ada empat
sumber pengetahuan manusia, yaitu:

a. Empirisme (Pengalaman Manusia). Dengan ini muncul aliran Empirisme yang


dipelopori oleh Jhon Locke. Manusia dilahirkan sebagai kertas putih pengalamanlah
yang akan memberikan lukisan kepadanya. Dunia empiris merupakan sumber
pengetahuan, utama dalam dunia pendidikan, terkenal dengan teori

„tabula rasa’ (teori kertas putih). Aliran ini berpendapat bahwa pengetahuan dapat dapat
diperoleh melalui pengamatan, dengan jalan observasi, atau jalan penginderaan.
(Burhanuddin, 1997)

b. Rasionalisme, (Pikiran Manusia). Hal ini melahirkan paham Rasionalisme yang


berpendapat bahwa sumber satu- satunya dari pengetahuan manusia adalah rasionya
(akal budinya). Pelopornya ialah Rene Descartes. Aliran ini sangat mendewakan akal
budi manusia yang melahirkan faham „intelektualisme’ dalam dunia pendidikan.

c. Intuisionisme (intuisi). Secara etimologis intuisi berarti langsung melihat.


Pengertian secara umum, merupakan suatu metode yang tidak berdasarkan penalaraan
maupun pengalaman dan pengamataan indra. Kaum intuisionis berpendapat bahwa
manusia mempunyai kemampuan khusus, yaitu cara khusus untuk mengetahui yang
tidak terikat kepada indra maupun penalaran.

Sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan yang teratur, intuisi tidak bisa
digunakan. Intuisi hanya dapat digunakan sebagai hipotesis bagi analisis selanjutnya
dalam menentukan benar tidaknya pendapat yang dikemukakan. Memang intuisi
dipercaya mampu memahami banyak hal yang tidak dipahami oleh akal untuk menutupi
kekurangan itu, manusi dilengkapi dengan intuisi ataau hati (qalb), sehingga akan

8
lengkaplah seluruh perangkat ilmu bagi manusia. (Jalaluddin,2014). Jawaban dari
permasalahan yang sedang difikirkan muncul di benak manusia sebagai suatu keyakinan
yang benar walaupun manusia tidak bisa menjelaskan bagaimana caranya untuk sampai
ke situ secara rasional. Dalam tradisi Islam, para sufi menyebut pengetahuan ini
sebagai rasa yang mendalam (dzauq) yang berkaitan dengan persepsi batin. Dengan
demikian pengetahuan intuitif sejenis pengetahuan yang dikaruniakan tuhan kepada
seseorang dan pada qalbu-Nya sehingga tersikaplah olehnya sebagian rahasia dan
tampak olehnya sebagai realitas. Perolehan pengetahuan ini bukan dengan jalan logis
melaainkan dengan jalan kesalehan, sehingga seseorang memiliki kebeningan kalbu
dan wawasan spiritual yang prima. (Mohammad, 2005)

d. Wahyu Allah. Wahyu Allah adalah pengetahuan yang disampaikan oleh Allah
kepada manusia lewat para nabi yang diutus-Nya sejak nabi pertama sampai terakhir.
Wahyu adalah isyarat yang cepat atau bisikan halus atau firman tuhan yang disampaikan
kepada para anbiya. Para filusuf muslim juga mengakui wahyu sebagai sumber ilmu
pengetahuan.

Adapun pengertian pendidikan dari segi istilah menurut Ki Hajar Dewantara


adalah upaya untuk memajukan pertumbuhan budi pekerti (kekuatan batin, karakter),
pikiran (intelect) dan tubuh anak yang antara satu dengan lainnya berhubungan agar
dapat memajukan kesempurnaan hidup, yakni kehidupan dan penghidupan anak-anak
yang kita didik selaras dengan dunia nya. (Ki Hajar Dewantara, 1962). Islam sebagai
agama yang bersumber dari al qur’an dan hadist, Islam terbukti memiliki ajaran yang
komprehensif, yaitu ajaran yang tidak hanya ditujukan untuk mencapai kehidupan
dunia, melainkan juga di akhirat. Selanjutnya, jika kata pendidikan dan Islam disatukan
menjadi pendidikan Islam, artinya secara sederhana adalah pendidikan yang
berdasarkan ajaran Islam dengan ciri-cirinya sebagaimana tersebut di atas. Sebagian ada
yang mengatakan bahwa pendidikann Islam adalah proses pewarisan dan
pengembangan budaya manusia yang bersumber dan berpedoman ajaran Islam
sebaagaimana termaktub dalam al qur‟an dan terjabar dalam as sunnah dan pendapat
para ulama. (Zuharini, 1992).

Ilmu Pendidikan Islam, cakupannya ialah masalah-masalah yang berada


dalam tataran ilmu (sains), yaitu objek-objek yang logis dan empiris tentang pendidikan.

9
Maka pengetahuan (ilmu) pendidikan Islam terdiri dari pengetahuan filsafat pendidikan,
tasawuf (mistik) pendidikan dan ilmu pendidikan. (Ahmad,1995). Dengan demikian,
maka penelitian pendidikan Islam, mencakup penelitian terhadap pengetahuan filsafat
pendidikan Islam, pengetahuan mistik Pendidikan Islam, dan Ilmu Pendidikan Islam.

Tugas utama epistimologi adalah menunjukkan bagaimana ilmu itu mungkin


secara filosofis. Jika ilmu itu sendiri didefinisikan sebagai ”pengetahuan tentang sesuatu
sebagaimana adanya”, maka tugas filsafat pengetahuan adalah menunjukkan bagaimana
“pengetahuan tentang sesuatu bagaimana adanya” mungkin secara filosofis. Namun,
pengetahuan tentang sesuatu bagaimana adanya itu baru mungkin diperoleh hanya
apabila kita yakin akan keberadaan atau lebih tepat lagi, status ontologis dari sesuatu
dijadikan objek penelitian. Masalah yang muncul kemudian ialah ketika menetapkan
status ontologi yang berakibat “deviasi” oleh pemikiran Barat. Maka, akibat deviasi itu
terjadi dua sistem epistimologi yang secara fundamental berbeda, yaitu epistimologi
Barat modern sekuler dan epistimilogi Aristotelian, termasuk ke dalamnya epistimologi
Islam. Pangkal perbedaan ini adalah timbulnya cara pandang radikal dalam memandang
status ontologis objek-objek ilmu di antara keduanya. Setelah melalui proses yang
panjang (terutama setelah pasca-renainsans), epistimologi Barat akhirnya cenderung
menolak status ontologis objek-objek metafisika, dan lebih memusatkan perhatiannya
pada objek-objek fisika, atau apa yang disebut oleh August Comte dengan
“positivistik”. Sementara itu, epistimologi Islam masih mempertahankan status
ontologis tidak hanya objek-objek fisik, tetapi juga objek-objek matematika dan
metafisika. Perbedaan cara pandang dan keyakinan terhadap status ontologis ini telah
menimbulkan perbedaan yang cukup signifikan antara kedua sistem epistimologi
tersebut dalam masalah-masalah yang menyangkut soal klasifikasi ilmu dan metode-
metode ilmiah. (Lihat, Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahulan; Pengantar
Epistimologi Islam (Bandung: Penerbit Mizan, 2003), h. 30-31).

Khusus terhadap pendidikan secara ontologis perbedaan ini tampak pada


pendidikan Islam dan pendidikan Barat. Jika pendidikan Islam memandang peserta
didik sebagai makhluk Allah dan sosial yang memiliki potensi sesuai dengan fitrahnya,
maka pendidikan Barat melihat peserta didik sebagai sosok yang merdeka dengan
potensi yang dimilikinya.

10
Sumber dan Metode Epistimologi Barat

Untuk memahami inti epistemologi Barat perlu dikemukakan tentang asumsi-


asumsi epistemologi modern. Al-Attas umpamanya, mengatakan bahwa inti asumsi-
asumsi episteotentik, yaitu bahwa ilmu yang berhubungan dengan fenomena, bahwa
sains ini, termasuk pernyataan-pernyataan dasar dan kesimpulan-kesimpulan umum
sains dan filsafat yang diturunkan darinya, adalah khas bagi zaman tertentu, bahwa yang
diterima hanyalah teori-teori yang direduksi kepada unsur-unsur inderawi, walaupun
ada kemungkinan melibatkan gagasan-gagasan yang melampaui jangkauan pengalaman
empiris.3 [3 Lihat, S.M.N. Al-Attas, Islam dan Filsafat Sains, Terj. Saiful Muzani
(Bandung: Mizan, 1995), h. 34 .]

Dengan memahami secara mendalam inti dari asumsi-asumsi dasar


epistemologis, disiplin-disiplin modern tentunya mensyaratkan pemahaman yang
mendalam juga tentang khazanah intelektual Barat itu sendiri. Sejalan dengan strategi
Islamisasi yang coba dibangun para intelektual muslim semisal al-Faruqi, Fazlur
Rahman, maupun al-Attas, terlihat bahwa mereka tidak mencampakkan begitu saja inti
asumsi epistemologi Barat. (Lihat, Abdul Hamid Abu Sulaiman, Islamization of
Knowledge: General Principles and Work Plan (Virginia: III, 1995), h. 18). Al-Attas
umpamanya, menggunakan pendekatan tersebut sebagai batu loncatan untuk
mengoreksi disiplin modern dan memurnikan ilmu- ilmu Islam yang telah tercelup
dalam paham-paham sekuler. Sains modern tumbuh dan berkembang dari sebuah
filsafat yang sejak periode pertamanya telah mengukuhkan pandangannya, bahwa segala
sesuatu muncul terwujud dari sesuatu yang lainnya. Penolakan terhadap realitas dan
keberadaan Tuhan sudah tersiram dalam filsafat ini. (Lihat ,S.M.N. al-Attas, Filsafat,
op. cit., h. 27.)

Dalam lingkup sains modern, segala sesuatu yang bukan sains, yaitu semua yang
tidak sesuai dengan ilmu alam dan matematika, tak terkecuali teori tentang alam
semesta, manusia atau masyarakat, perlahan-lahan dikenal sebagai filsafat. Namun, jika
dikumpulkan semua “isme” yang telah disebut-sebut sebagai filsafat di dunia modern
dan mendaftar semua definisinya, akan ditemukan bahwa keseluruhan “isme” tersebut
tidak memiliki kesamaan apa-apa kecuali sama-sama merupakan sejenis ilmu sains.
(Lihat, Murtadha Muthahhari, Tema- Tema Penting Filsafat Islam, Terj.A. Rifa’i Hasan

11
dan Yuliani L (Bandung: Mizan, 1993), h.25). Jadi, sulit memang untuk memisahkan
antara filsafat dan sains modern sebab di dalam filsafat tersebut terkandung landasan
sains dan sains itu sendiri bersandarkan pada filsafat.

Dengan landasan filsafat tersebut, maka metode-metode utama yang


dikembangkan tidak luput dari empat macam metode, yaitu: pertama, rasionalisme
filosofis yang cenderung pada persepsi inderawi. Kedua, rasionalisme sekular yang
cenderung pada pengalaman inderawi dan menyangkal otoritas serta intuisi, serta
menolak wahyu dan agama sebagai sumber ilmu yang benar. Ketiga, empirisme
filosofis atau empirisme logis yang menyandarkan seluruh ilmu pada fakta-fakta yang
dapat diamati, bangunan logika dan analisis bahasa, dan menelantarkan aspek
nonempiris sebagai zat supranatural. (S.M.N. al-Attas, Filsafat, op.cit., h. 28). Keempat,
Sistem etika Barat bercorak antroposentris, yaitu menempatkan manusia sebagai pusat
dari segala-galanya, sebagai sosok individu yang merdeka tanpa batas. (Lihat Ahmad
Syafi’i Ma’arif, Peta Bumi Intelektualisme Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1993),
h. 149-150). Sedangkan, sistem etika Islam lebih bercorak teo-antroposentris, yaitu
meletakkan manusia sebagai pelaku sejarah dan sekaligus makhluk Tuhan.

Dengan landasan filosofis dan metode-metode yang dilahirkan oleh ilmu-ilmu


modern, semua objek kajian yang menjadi sorotan utama hanyalah yang berkisar pada
sesuatu yang dapat diserap pancaindera. (Lihat, Iyas Ba-Yunus, ”Comtemporery
Sociologi: An Islamic Critique”, dalam Abdul Halim A. Sulaiman, Islam: Source and
Purpose of Knowledge (Virgina: III T, 1988), h. 274-275). Upaya pengungkapan
realitas-realitas yang tidak mampu diatasi dengan pancaindera maupun alat-alat bantu
yang tercanggih memerlukan landasan filosofis lain.

Klarifikasi Harun Nasution menunjukkan, perbedaan utama konsep tentang


manusia menurut pandangan Barat dan Timur (Islam) adalah di Barat manusia
dipandang sebagai tubuh dan akal/otak, sementara di Timur manusia dipandang sebagai
tubuh, akal, dan hati nurani (qalb). (Lihat Harun Nasution dalam Abdul Halim
Soebahar, Wawasan Baru Pendidikan Islam (Jakarta: Kalam Mulia, 2002), h. 64.)

12
- JELASKAN PENGARUH POLITIK ETIS BAGI PERKEMBANGAN
PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA (HINDIA BELANDA)

Politik Etis adalah kebijakan yang dikeluarkan pemerintah kolonial Hindia Belanda
sejak 17 September 1901. Politik Etis disebut pula sebagai Politik Balas Budi. Politik
Etis bermula dari kebijakan tanam paksa.

Tahun 1830, Johannes van den Bosch yang merupakan Gubernur Jenderal Hindia
Belanda kala itu, menetapkan kebijakan tanam paksa atau cultuurstelsel. Ketika aturan
ini berlaku, masyarakat Indonesia dipaksa menanam komoditas ekspor demi
kepentingan Belanda. Akan tetapi, banyak penyimpangan yang terjadi dalam
pelaksanaan cultuurstelsel ini. Dampak yang ditimbulkan amat sangat menyengsarakan
rakyat.

Mulai muncul kritikan dan kecaman atas pelaksanaan tanam paksa, bahkan dari
kalangan orang Belanda sendiri. Akibatnya, sistem tanam paksa akhirnya dihentikan
pada 1863. Meskipun begitu, tanam paksa terlanjur menimbulkan kerugian besar bagi
rakyat Indonesia. Maka, beberapa aktivis dari Belanda seperti Pieter Brooshooft dan C.
Th. van Deventer memprakarsai digagasnya Politik Etis sebagai bentuk balas budi
kepada rakyat Indonesia. Van Deventer pertama kali mengungkapkan perihal Politik
Etis melalui majalah De Gids pada 1899. Ternyata, desakan terkait ini diiterima oleh
pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sejak 17 September 1901, Politik Etis pun resmi
diberlakukan.

Isi Politik Etis

Politik Etis berfokus kepada desentralisasi politik, kesejahteraan rakyat, dan


efisiensi. Terkait isinya, terdapat tiga program utama, yakni irigasi, edukasi, dan
emigrasi.

13
1. Irigasi

Dalam program ini, pemerintah Hindia Belanda melakukan pembangunan


fasilitas untuk menunjang kesejahteraan rakyat. Sarana dan prasarana untuk menyokong
aktivitas pertanian serta perkebunan diberikan, meliputi pembuatan waduk, perbaikan
sanitasi, jalur transportasi pengangkut hasil tani, dan lainnya.

2. Edukasi

Melalui program edukasi, peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM)


dan upaya mengurangi angka buta huruf masyarakat dilakukan. Selain itu, mulai
dilaksanakan pengadaan sekolah-sekolah untuk rakyat. Akan tetapi, berdasarkan
penjelasan Suhartono dalam Sejarah Pergerakan Nasional dari Budi Utomo sampai
Proklamasi 1908-1945 (2001:7), hanya laki-laki saja yang boleh mengenyam
pendidikan kolonial kala itu, sedangkan perempuan belajar di rumah.

3. Emigrasi

Program emigrasi diterapkan dalam rangka meratakan kepadatan penduduk di


Hindia Belanda atau Indonesia. Pada 1900 saja, Jawa dan Madura telah dihuni oleh 14
juta jiwa. Melalui kebijakan yang aktif mulai 1901 ini, didirikan pemukiman-
pemukiman baru di Sumatera yang disediakan untuk tempat perpindahan rakyat dari
wilayah padat penduduk.

Dampak Politik Balas Budi

Awalnya, kebijakan Politik Etis memang terlihat menguntungkan rakyat


Indonesia. Akan tetapi, dalam perjalanannya terjadi penyimpangan Politik Balas Budi
yang dilakukan oleh orang-orang Belanda.

Dampak Negatif

Dalam program irigasi, upaya pengairan yang ditujukan untuk aktivitas


pertanian tidak berjalan mulus. Air yang disalurkan ternyata hanya untuk orang-orang
Belanda, sedangkan kaum pribumi seakan dipersulit sehingga menghambat kegiatan
pertaniannya.

14
Berikutnya, dalam program edukasi, pemerintah kolonial Hindia Belanda
ternyata punya niatan buruk. Mereka ingin memperoleh tenaga kerja dengan kualitas
SDM tinggi namun dengan upah rendah.

Program edukasi yang awalnya ditujukan untuk semua golongan, pada


kenyataannya didominasi oleh orang-orang kaya atau dari kalangan bangsawan saja
sehingga terjadi diskriminasi dalam hal pendidikan.

Pengaruh Politik Etis Terhadap Pendidikan

Politik Etis adalah suatu kebijakan yang diarahkan untuk kepentingan penduduk
pribumi dengan cara meningkatkan pendidikan secara Barat. [1] [Soediyono, Sejarah
Pendidikan Indonesia, Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo Semarang, Semarang, 1986,
hlm. 59.]

Pendidikan yang diterapkan ternyata berorientasi ke Barat, tanpa memperhatikan


keinginan dari rakyat Indonesia. Pendekatan dalam mewujudkan tujuan politik etis
tersebut mengikuti pendekatan dari usulan Snouck Horgronje dan J.H. Abendanon.
Pendekatan yang sifatnya elitis itu, menginginkan pendidikan gaya Eropa dengan
bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Pendidikan ini diperuntukkan bagi para
calon pegawai pemerintah, yang bisa menggantikan para pegawai yang berkebangsaan
Belanda. [2]. [M.C. Ricklef, Sejarah Indonesia Modern, Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta, 1991, hlm. 236.]

Belanda membagi sistem kependidikannya ke dalam dua kategori, yaitu sekolah


Belanda dan sekolah pribumi dengan kurikulum, bahasa pengantar dan pembiayaan
sendiri. Warga pribumi sendiri, ketika akan memasuki sekolah Belanda harus memenuhi
syarat tertentu, seperti anak yang akan masuk sekolah, harus berasal dari keturunan
orang tua yang berpangkat asisten wedana (camat).[3]. [Sartono Kartodirdjo, Pengantar
Sejarah Baru: Sejarah Pergerakan Nasional dari Kolonialisme Sampai Nasionalisme,
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1992, hlm. 218.]

Kehadiran sekolah-sekolah Belanda mendapat kecaman sengit dari kaum ulama.


Kaum ulama dan santri menganggap program pendidikan tersebut merupakan usaha
penetrasi kebudayaan Barat di tengah berkembangnya pesantren dan lembaga-lembaga

15
pendidikan Islam. [4]. [Dra. Hanum Asrahah, M.Ag., Sejarah Pendidikan Islam, Logos
Wacana Ilmu, Jakarta, 1999, hlm. 153-154.]

Politik etis dengan dalih meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia ternyata


hanya sebagai cara untuk menipu rakyat Indonesia. Belanda sebagai kaum penjajah
tentunya ingin kekuasaannya tetap kuat dan semakin meluas, dimana Belanda tidak
ingin rakyat Indonesia melawan kekuasaan itu. Dengan didirikannya sekolah-sekolah
Belanda, diharapkan orang-orang Indonesia merasa bahwa pemerintah Hindia
Belanda memperhatikan kesejahteraan mereka. Dengan cara halus, pemerintah Hindia
Belanda mengubah pola pikir bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang
berkebudayaan Eropa. Dengan penyatuan tersebut, diharapkan penduduk semakin bisa
dikendalikan.

Pendidikan merupakan media tranformasi nilai, dari yang merancangnya kepada


obyek yang diharapkan. Karena setiap kebudayaan disebarkan melalui berbagai agen
sosialisasi, salah satunya adalah pendidikan (lembaga-lembaga pengajaran).[5] Bassam
Tibi, Islam, Kebudayaan dan Perubahan Sosial, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta,
1999, hlm. 167]. Politik asosiasi (penyatuan) diajukan sebagai pendekatan dalam
perekatan antara pemerintah (penjajah) dengan jajahan, dengan harapan kaum pribumi
akan menerima dengan kesadarannya.

Dari kebijakan politik etis, dapat diketahui tujuan dan akibat yang
ditimbulkannya. Tujuan politik etis berkaitan dengan pendidikan.:

1. Mempermudah pendirian sekolah-sekolah Belanda yang berorientasi ke Barat.

2. Penyatuan kebudayaan antara Belanda dan Indonesia dalam kebudayaan Barat,


dalam pendidikan dengan menerapkan bahasa Belanda sebagai pengantar.

3. Memenuhi kekurangan tenaga kerja, sehingga pendidikan berorientasi pada


penyediaan tenaga kerja.

4. Menguasai kelompok-kelompok terpelajar dari bangsa Indonesia.

5. Menyaingi sistem pendidikan Islam

16
Sedangkan akibat adanya politik etis adalah;

1. Adanya kesenjangan antara pendidikan Barat dan pendidikan pribumi.

2. Semakin meruncingnya perbedaan ras antara penduduk pribumi dengan Belanda.

3. Munculnya sekelompok orang Indonesia yang lebih toleran kepada kaum penjajah.

4. Sikap antipati yang lebih dalam dari kaum ulama dan santri terhadap keberadaan
Belanda berkaitan dengan pendidikan.

Dampak Positif

Meskipun terjadi penyelewengan yang menimbulkan dampak negatif, Politik


Etis setidaknya juga menghadirkan beberapa dampak positif bagi bangsa Indonesia.

Diterapkannya Politik Etis memicu lahirnya berbagai organisasi pergerakan dan


perhimpunan yang bersifat daerah maupun nasional di Indonesia. Beberapa di antaranya
adalah Boedi Oetomo, Sarekat Islam, Indische Partij, dan lain-lain.

Program edukasi yang diberikan dalam Politik Etis melahirkan kaum terpelajar
dari kalangan pribumi. Mereka inilah yang kemudian mengawali era pergerakan
nasional dengan mendirikan berbagai organisasi yang berjuang melalui pemikiran,
pengetahuan, hingga politik.

Nantinya, berbagai organisasi pergerakan ini berganti wujud menjadi partai


politik yang memperjuangkan kesetaraan atau merintis upaya kemerdekaan bagi
Indonesia. Politik Etis berakhir ketika Belanda menyerah dari Jepang tahun 1942 dalam
Perang Asia Timur Raya atau Perang Dunia Kedua.

17
- MENURUT SAUDARA BAGAIMANA PERAN PENDIDIKAN BERBASIS
NU DALAM MEMBANGUN KARAKTER PESERTA DIDIK DI
INDONESIA.

Nahdlatul ‘Ulama (NU) didirikan di Surabaya pada tanggal 16 Rajab 1344 H


bertepatan dengan tanggal 31 Januari 1926 M oleh para ulama pengasuh pesantren yang
didalam komunitas Islam mempunyai kesamaan wawasan, pandangan, sikap dan tata
cara pemahaman, penghayatan dan pengamalan ajaran Islam Ahlus sunnah wal jama’ah.

Yang dengan sendirinya NU sebagai organisasi kemasyarakat juga memiliki


kewajiban untuk ikut serta mencerdasakan kehidupan bangsa melalui lembaga
pendidikan yang dimilikinya. Adapun pendidikan karakter yang dihadirkan NU adalah
Ke-Islaman, Ahlus sunnah wal jama’ah, Nasionalisme dan Kemanusiaan. Sehingga
karakter pendidikan yang dibangun oleh NU melalui lembaga pendidikan sesuai dengan
apa yang kemudian diwujudkan dan dicita-cita dalam undang-undang Nomor 20 tahun
2003 tentang Sisdiknas.

Kita dapat melihat karakteristik pendidikan NU adalah pendidikan yang mampu


melahirkan peserta didik yang memiliki karakter ash-shidqu (benar), tidak
berdusta, al-wafa bil ‘ahd (menepati janji) dan at-ta’awun (tolong-menolong). Maka

18
pendidikan yang ditawarkan NU adalah pendidikan sebagai trasfer nilai dalam arti luas,
pendidikan agama menjadi pondasi serta pendidikan sebagai model kaderisasi
organisasi NU.

Menurut UU Nomor 20 tahun 2003 tentanng Sistem Pendidikan Nasional


disebutkan bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,
pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang
diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (Ps. 1, Ayat (1) UU No. 20/2003 ttg
Sisdiknas).

Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak


serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan
bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia
yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat,
berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta
bertanggung jawab. (Ps. 3 UU No. 20/2003 ttg Sisdiknas).

Dan sebagaimana juga diuraikan dalam UU Sisdiknas Pasal 4:

(1) Pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak


diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai
kultural, dan kemajemukan bangsa.

(2) Pendidikan diselenggarakan sebagai satu kesatuan yang sistemik dengan sistem
terbuka dan multimakna.

(3) Pendidikan diselenggarakan sebagai suatu proses pembudayaan dan


pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.

(4) Pendidikan diselenggarakan dengan memberi keteladanan, membangun


kemauan, dan mengembangkan kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran.

(5) Pendidikan diselenggarakan dengan mengembangkan budaya membaca,


menulis, dan berhitung bagi segenap warga masyarakat.

19
(6) Pendidikan diselenggarakan dengan memberdayakan semua komponen
masyarakat melalui peran serta dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu layanan
pendidikan.

Jika dipahami lebih jauh, maka apa yang telah disebutkan dalam UU Sisdiknas
tidak keluar dari garis-garis besar perjuangan NU dalam membentuk karakter baik
sebagai warga Nahdliyin maupun sebagai warga bangsa Indonesia.

Pendidikan merupakan suatu sistem yang teratur dan mengemban misi yang
cukup luas yaitu segala sesuatu yang bertalian dengan perkembangan fisik, kesehatan,
keterampilan, pikiran, perasaan, kemauan, sosial sampai kepada masalah kepercayaan
atau keimanan. Hal ini menunjukkan bahwa sekolah sebagai suatu lembaga pendidikan
formal mempunyai suatu muatan beban yang cukup berat dalam melaksanakan misi
pendidikan tersebut. Lebih-lebih kalau dikaitkan dengan pesatnya perubahan zaman
dewasa ini yang sangat berpengaruh terhadap pelajar dalam berfikir, bersikap dan
berperilaku, khususnya terhadap mereka yang masih dalam tahap perkembangan dalam
transisi yang mencari identitas diri.1

Jika difahami dari beberapa defenisi pendidikan di Indonesia, tergambar bahwa


tujuan pendidikan di Indonesia yaitu dimensi ketuhanan, pribadi dan sosial. Artinya
bahwa, pendidikan bukan diarahkan pada pendidikan yang sekuler, bukan pada
pendidikan individualistik, dan bukan pula pada pendidikan sosialistik. Tapi dari
defenisi tersebut bahwa arah pendidikan Indonesia itu adalah pendidikan mencari
keseimbangan antara ketuhanan, individu dan sosial.

Dimesi ketuhanan yang menjadi tujuan pendidikan Indonesia yang melahirkan


kebaikan secara individu maupun kebaikan secara sosial. Sehingga pendidikan
Indonesia melahirkan manusia yang mampu melahirkan manusia cerdas secara
inteletual dan juga cerdas secara emosional. Sehingga pendidikan itu melahirkan
kebaikan sosial yang mana orang lain merasakan kecerdasan yang di miliki seseorang.
Sehingga pendidikan Indonesia menghargai keberagamana pemikiran tetapi tidak
terlepasa dari nilai agama. Sehingga jika difahami lebih lanjut NU sebaga organisasi
keagamaan yang memiliki infestasi dalam pendidikan sehingga NU memiliki tanggung

1
Departemen Agama, Kendali Mutu. Pendidikan Agama Islam (Jakarta : Dirjen Pembinaan Kelembagaan
Agama Islam. 2001) hal. 10

20
jawab pendidikan yang memiliki karakter seperti yang di amanatkan undang-undang
Nomor 20 tahun 2003.

Karakter menurut Pusat Bahasa Depdiknas adalah, bawaan, hati, jiwa,


kepribadian, budi pekerti, perilaku, personalitas, sifat tabiat, temperamen dan watak,
sementara itu, yang disebut dengan berkarakter ialah berkepribadian, berperilaku,
bersifat, bertabiat dan berwatak sedangkan pendidikan dalam arti sederhana sering
diartikan sebagai usaha manusia untuk membina, kepribadiannya sesuai dengan nilai-
nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.

Karakter merupakan nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan


Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang
terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-
norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat. Dalam perkembangannya ,
istilah pendidikan atau paedagogie, berarti bimbingan atau pertolongan dengan sengaja
oleh orang dewasa agar ia menjadi dewasa. Selanjutnya pendidikan diartikan sebagai
usaha yang dijalankan seseorang atau kelompok lain agar menjadi dewasa untuk
mencapai tingkat hidup atau penghidupam lebih tinggi dalam arti mental.2

Pendidikan karakter menurut Thomas Lickona (1991)3 adalah pendidikan untuk


membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya
terlihat dalam tindakan nyata seserorang yaitu tingkah laku yang baik, jujur,
bertanggung jawab, menghormati hak orang lain, kerja keras, dan sebagainya.

Oleh karena itu Pendidikan karakter secara lebih luas dapat diartikan sebagai
pendidikan yang mengembangkan nilai budaya dan kara karakter bangsa pada diri
peserta didik sehingga mereka memiliki nilai dan karakter sebagai karakter dirinya,
menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan dirinya sebagai anggota masyarakat,
dan warga negara yang religius, nasionalis, produktif, dan kreatif. Di sinilah pentingnya
mengutamankan pendidikan karakter, keberhasilan seseorang bahkan suatu bangsa
bukan hanya dengan dibekali kecerdasan yang mempuni, akan tetapi juga pembentukan
karakter yang berjiwa mandiri, penuh tanggung jawab, dan berahklak mulia seperti yang
tercantum dalam undang-undang.

2
Sudirman N.Ilmu Pendidikan(Bandung : Remaja Rosdakarya.1992) hal. 4
3
Abdullah Munir. Pendidikan Karakter (Yogyakarta: Pedagogia. 2010) hal. 4

21
Pendidikan NU

Secara historis sosiologis, paradigma pendidikan Nahdlatul 'Ulama, tidak akan


terlepas dari paradigma teologi yang mendasarinya, karena pendidikan bagi organisasi
memiliki multifungsi sebagai sarana transfer of value, transfer of religious character,
sekaligus sebagai media kaderisasi organisasi. Sehingga model pendidikan pesantren
yang kemudian berkembang menjadi madrasah ini dianggap oleh sebagian pakar
pendidikan sudah “out of date”, “the second education” dan tidak lagi
mempresentasikan pendidikan modern karena cenderung mempertahankan nilai-nilai
“tradisional”, “konservativ”dan “ortodok”. Sebagaimana Clifford Geertz yang
memberikan atribut sangat negative terhadap kaum tradisionalis sebagai anti
modernisme dan contra-reformist organization.4

Telihat jelas bahwa pendidikan yang dibangun oleh NU memiliki pondasi


berupa tata Nilai yang memiliki arti luas pertama, kedua bahwa NU dalam proses
pendidikan selalu menjadikan nilai agama yang utama sebab menjadi ciri khas dan
identitas NU sebagai organisasi keagamaan dan kemasyarakat. Yang mana pendidikan
keagamaan menjadi karakter dan modal utama NU sebagai organisasi masuk dalam
tatana masyarakat pada senyatanya. Dan hal ini nampak jelas bahwa pendidikan NU
yang menawarkan konsep nilai luas yang di dalamnya ada unsur agama (Ahlu Sunnah
Wal Jamaah) menjadi cara efektif menjadikan NU terus berkembang baik sebagai
sebuah organisasi dan lembaga pendidikan.

Pada sisi pendidikan bahwa pengaruh besarnya Kyai/Ulama melalui lembaga


pendidikan terutama pendidikan pesantren mengakibatkan Nahdlatul 'Ulama mudah
berkembang dengan pesat, khususnya di daerah basis pesantren. Sebagai Jam’iyyah
Diniyah yang bermotif keagamaan dan berlandaskan keagamaan, sehingga segala sikap,
perilaku, dan karakteristik perjuangan Nahdlatul ‘Ulama selalu disesuaikan dan diukur
dengan norma dan ajaran agama Islam Ahlus sunnah wal jama’ah, serta bercita-cita
keagamaan yakni Izzul Islam Wal Muslimin atau dengan kata lain tercapainya
Sa’adatud darain bagi umat dan warganya.5
4
Clifford Geertz, Abangan, Santri Priyayi dalam Masyarakat Jawa,Pustaka Jaya, (Jakarta, 1981), hal. 461
5
Sahal Mahfudh, ”Kata Pengantar” dalam Quo Vadis NU, Setelah Kembali ke Khittah 1926, Penerbit
Erlangga, (Jakarta,

22
Sosok perseorang (kyai/Ulama) dalam NU menjadikan satu kekuatan yang
tidak dimiliki oleh organisasi lain dalam pertumbuhan dan perkembangan dunia
pendidikan disatu sisi ini merupakan kekuatan tetapi satu sisi ini menajdi kelemahan
mendasar untuk NU. Sebab dari kyai/Ulama inilah bermunculan banyak pendidikan
berbasis NU tetapi bukan miliki NU sebagai organisasi, hanya kultural yang ada dan
tidak mengikat dalam strutural NU. Sehingga NU harus memiliki satu intitusi yang
membidangi hal tersebut sebagai pengikat dan penjaga dalam perkembangan pendidikan
di NU sendiri. Hal ini perlu dilakukan sehingga NU akan terus berkembangan di akar
rumput dan menjadikan wajah pendidikan di Indonesia kaya dan beragam input, proses
dan outputnya.

Melalui Lembaga Pendidikan Ma'arif Nahdlatul 'Ulama, Nahdlatul


'Ulama merekomendasikan kebijakan, tugas dan tanggung jawab di bidang pendidikan
kepada lembaga ini untuk mengelola lembaga pendidikan di lingkungan Nahdlatul
'Ulama di seluruh Indonesia. Di dalam mengelola lembaga pendidikan, ada beberapa
prinsip dasar, orientasi dan identitas pendidikan di lingkungan NU, yaitu ; Pertama,
Komitmen pada paham keagamaan Ahlusunnah wal Jama'ah. Kedua, Kebijakan
pendidikan NU didasarkan pada prinsip bahwa pendidikan merupakan usaha untuk
mengembangkan sumber daya manusia menjadi manusia yang seutuhnya. Ketiga,
Mengutamakan perpaduan antara pergerakan jiwa dan tugas untuk mengelola diri
sendiri. Sebagai lembaga pendidikan yang tumbuh dari masyarakat, pondok pesantren,
madrasah, dan sekolah Ma’arif Nahdlatul 'Ulama memiliki karakter yang khusus, yaitu
karakter masyarakat, diakui sebagai milik masyarakat dan selalu bersatu dengan
masyarakat. Sejak awal masyarakat mendirikan madrasah dilandasi oleh mental al
it’timad alannafsi.6

Konsep Pendidikan Karakter NU

Pendidikan karakter di sekolah memiliki sifat bidireksional yaitu pengembangan


kemampuan intelektual dan kemampuan moral. Pendidikan karakter yang baik harus
melibatkan aspek pengetahuan yang baik (moral knowing), merasakan dengan baik atau

1992), p. viii.
6
Achmad Siddiq, Khittah Nahdliyyah, “Khalista” Surabaya, (Surabaya, Cet. 3, 2005), p. 87-90.

23
loving good (moral feeling), dan perilaku yang baik (moral action) (Lickona, 1991).
Pendidikan karakter bukan sekedar hubungan horizontal antar individu, namun juga
antara individu dengan Tuhannya. Saat seseorang selalu merasa dekat dengan
Tuhannya, merasa Tuhan selalu melihatnya dan mengawasinya maka perilaku
seseorang tersebut akan terkontrol dan terkendali, sehingga ia akan berpikir dan
bertindak secara ihsan.

Secara kultural tradisi pendidikan Islam lahir, tumbuh dan berkembang di


dalam masyarakat Nahdlatul ‘Ulama. Hal ini bisa kita lihat dari sejarah lahirnya
pesantren sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia dan madrasah sebagai pola
pengembangan pendidikan Islam. Keterdekatan Nahdlatul 'Ulama dengan pesantren bisa
kita lihat dari warna khas dan pola pendidikan yang kental dengan nilai nilai- nilai
cultural teologis dan praktik keagamaan (amaliyah ubudiyah).

Sejak awal Nahdlatul 'Ulama menegaskan bahwa ia merupakan penganut


Ahlusunnah wal Jama'ah, sebuah paham keagamaan yang bersumber pada Al Qur’an,
As sunnah, Al Ijma’, dan Al Qiyas. Ada lima istilah utama yang diambil dari Al
Qur’an dan Hadits dalam menggambarkan karakteristik Ahlus sunnah wal jama’ah
sebagai landasan Nahdlatul 'Ulama dalam bermasyarakat atau sering disebut dengan
konsep Mabadiu Khaira Ummat,7 yaitu :

1. At-Tawassuth

Tawassuth berarti pertengahan, maksudnya menempatkan diri antara dua kutub dalam
berbagai masalah dan keadaan untuk mencapai kebenaran serta menghindari
keterlanjuran ke kiri atau ke kanan secara berlebihan.

2. Al I’tidal

7
Mabadi Khaira Ummah adalah sebuah gerakan untuk mengembangkan identitas dan karakteristik
anggota Nahdlatul 'Ulama dengan pengaturan nilai-nilai mulia dari konsep keagamaan Nahdlatul 'Ulama.
The Mabadi Khaira Ummah movement was the beginning of the establishment of ”the leading follower”
(khaira ummah), which are members who are capable of carrying out amar ma’ruf and nahy munkar
responsibilities which from a very important part of NU’s progress, because these two notions are
essential to support the formation of life order blessed by Allah in accordance with NU ideal. Lebih jelas
lihat Dr. Endang Turmudi, MA, (Ed.), Nahdlatul ’Ulama;, Ideology Politics and The Formation of Khaira
Ummah, The Central Board of The Ma’arif Education Institution of NU, printed by LKiS, (Yogyakarta,
2003), p. 76- 83.

24
I’tidal berarti tegak lurus, tidak condong ke kanan dan tidak condong ke kiri. I’tidal juga
berarti berlaku adil, tidak berpihak kecuali pada yang benar dan yang harus dibela.

3. At-Tasamuh

Tasamuih berarti sikap toleran pada pihak lain, lapang dada, mengerti dan menghargai
sikap pendirian dan kepentingan pihak lain tanpa mengorbankan pendirian dan harga
diri, bersedia berbeda pendapat, baik dalam masalah keagamaan maupun masalah
kebangsaan, kemasyarakatan, dan kebudayaan.

4. At-Tawazun

Tawazun berarti keseimbangan, tidak berat sebelah, tidak kelebihan sesuatu unsur atau
kekurangan unsur lain.

5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar

Amar ma’ruf nahi munkar artinya menyeru dan mendorong berbuat baik yang
bermanfaat bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi, serta mencegah dan
menghilangkan segala hal yang dapat merugikan, merusak, merendahkan dan atau
menjerumuskan nilai-nilai moral keagamaan dan kemanusiaan.8

Selain lima karakteristik di atas, dalam merespon berbagai persoalan baik yang
berkenaan dengan persoalan keagamaan maupun kemasyarakatan, Nahdlatul 'Ulama
memiliki manhaj Ahlusunnah wal Jama’ah yang dijadikan sebagai landasan berpikir
Nahdlatul 'Ulama (Fikrah Nahdliyah). Adapun ciri-ciri dari Fikrah Nahdliyah, 9 antara
lain:

1. Fikrah Tawassuthiyah (pola pikir moderat), artinya Nahdlatul 'Ulama senantiasa


bersikap tawazun (seimbang) dan I’tidal (moderat) dalam menyikapi berbagai
persoalan.

2. Fikrah Tasamuhiyah (pola pikir toleran), artinya Nahdlatul 'Ulama dapat hidup
berdampingan secara damai dengan berbagai pihak lain walaupun aqidah, cara piker,
dan budayanya berbeda.

8
Tim Penulis, Materi Dasar Nahdlatul ‘Ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah, PW. LP Ma’arif NU Jawa
Tengah, (Semarang, 2002), P. 4
9
Soelaiman Fadeli dan Mohammad Subhan, Antologi NU, “Khalista” Surabaya bekerja sama
dengan Lajnah Ta’lif Wan Nasyr Jawa Timur, (Surabaya, 2007), p. 46.

25
3. Fikrah Ishlahiyyah (pola pikir reformatif), artinya Nahdlatul 'Ulama selalu
mengupayakan perbaikan menuju kea rah yang lebih baik (al ishlah ila ma huwa al
ashlah).

4. Fikrah Tathawwuriyah (pola pikir dinamis), artinya Nahdlatul 'Ulama senantiasa


melakukan kontekstualisasi dalam merespon berbagai persoalan.

5. Fikrah Manhajiyah (pola pikir metodologis), artinya Nahdlatul 'Ulama


senantiasa menggunakan kerangka berpikir yang mengacu kepada manhaj yang telah
ditetapkan oleh Nahdlatul 'Ulama.

Karena strategi yang ditanamkan para warga Nahdliyin lima hal yaitu (1)
Menanamkan akidah para warga Nahdiyin secara benar (2) Menanamkan syari’ah
secartepat (3) Menanamkan pendidikan akhlak al-karimah (4) Menanamkan konsep
toleransi dalam beragama (5) Memberikan penerangan tentang konsep jihad yang
sesuai dengan al- Quran dan hadits.

Dalam upayanya untuk mencapai maksud tersebut maka organisasi NU melakukan


usaha- usaha sebagai berikut: 1) Mengadakan silaturahmi, di antara ulama- ulama yang
bermazhab tersebut di atas. 2) Memeriksa kitab-kitab sebelum dipakai untuk mengajar
untuk mengetahui apakah kitab itu termasuk kitab-kitab Ahli Sunnah Waljama’ah atau
kitab-kitab ahli bid’ah. 3) Menyiarkan agama Islam berasaskan pada mazhab tersebut
dengan jalan yang baik. 4) Berusaha memperbanyak madrasah- madrasah yang
berasaskan agama Islam 5) Mempertalikan hal-hal yang berhubungan dengan masjid-
masjid, surau-surau dan pondok-pondok, anak yatim, dan fakir miskin.10

Selain itu berdasarkan Program kerja NU meliputi tiga belas bidang garapan,
yaitu bidang diniyah (keagamaan), bidang pendidikan dan kebudayaan, bidang
dakwah, bidang Mabarrat (sosial), bidang perekonomian, bidang tenaga kerja, bidang
pertanian dan nelayan, bidang generasi muda, bidang kewanitaan, bidang pemberdayaan
sumber daya manusia, bidang penerbitan dan informasi, bidang kependudukan, dan
bidang lingkuangan hidup.11

10
Ahmad Syaukani, Perkembangan Pemikir Modern Di Dunia Islam , Pustaka Setia, 1997, hal. 133
11
Ahmad Syaukani, hal. 134

26
Jika kita pahami dari pemaparan di atas terlihat bahwa pendidikan NU telah
mempu menduga dan mengukur apa yang akan terjadi dalam dunia pendidikan di
Indonesia dari waktu ke waktu, dari zaman ke zaman. Sehingga NU telah
mempersiapkan kebijakan sedemikian sehingga pendidikan NU akan terus bisa
menjawab persoalan kehidupan. Kebijakan tersebut terukur serta mampu di
implementasikan dalam dunia pendidikan yang di gagas oleh NU sebagai alat untuk
membentuk dan membangun karakter peserta didik dan karakter bangsa.

Kesimpulan

Kesimpulan Konsep pendidikan karakter Nahdatul Ulama (NU) adalah


sebagaimana yang telah diputuskan Dalam Muktamar Magelang tahun 1939, NU
meletakan prinsip- prinsip relasi sosial atau perihal kemanusiaan NU yang tertuang
dalam “Mabadi Khaira Ummah”, dimana proses hidup manusia setidaknya memiliki
karakteristik sebagai ash- shidqu (benar), tidak berdusta, al-wafa bil ‘ahd (menepati
janji) dan at-ta’awun (tolong- menolong). Inilah karakter pendidikan yang harus
dimunculkan dan dilahirkan dari pendidikan Nahdhatul Ulama, sehingga pada akhirnya
peserta didik yang dilahirkan dari pendidikan NU akan mampu mengisi dan menjawab
tatangan zaman.

27

Anda mungkin juga menyukai