Anda di halaman 1dari 18

SEJARAH FILSAFAT ISLAM; Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu

Sina, Ibnu Rusyd dan Pemikirannya

Oleh:
Baghas Adetya, Irma Nuryani, Ulandia Maharany

Abstrak
Meskipun diakui bahwa filsafat Yunani memberikan pengaruh besar pada
perkembangan filsafat Islam, tetapi filsafat Islam tidak didasarkan atas
filsafat Yunani, sebab: 1) berguru tidak berarti menunjukkan pengulangan,
2) setiap pemikiran tidak lepas dari konteks budaya masing-masing dan
3) kenyataan yang ada menunjukkan bahwa pemikiran rasional Islam
telah lebih dahulu mapan sebelum datangnya filsafat Yunani. Karena
filsafat Islam berasal dari tradisi Islam sendiri, yaitu dari upaya para
ilmuwan Muslim untuk menjelaskan ajaran kitab sucinya. Pemikiran
filsafat dikembangkan kembali oleh beberapa filsuf yaitu salah satunya Al-
Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, dan Ibnu Rusyd yang memiliki perbedaan
pemikiran tentang filsafat itu sendiri. Pada penelitian ini teknik
pengumpulan data melalui studi pustaka selain menggunakan buku-buku,
peneliti juga melakukan internet searching guna mendapatkan jurnal-
jurnal ilmiah dan teori-teori.

Kata Kunci: Filsafat Islam, Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Rusyd

A. Pendahuluan
Perkembangan filsafat Islam sebagai bagian tidak terpisahkan dari
sejarah panjang khazanah pemikiran Islam sesungguhnya bukan sesuatu
yang sederhana. Banyak aspek dan hubungan yang harus dipahami,
dijelaskan dan diuraikan. Ketidak telitian dalam mencermati, memilah dan
memilih persoalan inilah yang sering menyebabkan kita tidak tepat untuk
menilai dan mengambil tindakan. Adanya sikap yang anti-filsafat di
sebagian kalangan umat Islam atau anggapan bahwa filsafat Islam

1
hanyalah berasal dari Yunani, salah satu sebabnya adalah karena adanya
kekurang telitian tersebut.
Pemikiran-pemikiran filsafat Yunani yang masuk dalam pemikiran
Islam, diakui banyak kalangan telah mendorong perkembangan filsafat
Islam menjadi semakin pesat. Meski demikian, menurut ditulis Oliver
Leaman, seorang orientalis asal Universitas Kentucky, USA, adalah suatu
kesalahan besar jika menganggap bahwa filsafat Islam bermula dari
proses penerjemahan teks-teks Yunani tersebut, atau hanya nukilan dari
filsafat Aristoteles, seperti dituduhkan Ernest Renan, atau dari Neo-
Platonisme seperti disampaikan Pierre Duhem.
Ada beberapa hal yang harus diperhatikan. Pertama, bahwa
belajar atau berguru tidak berarti hanya meniru atau mengikuti semata.
Harus dipahami bahwa suatu ide dapat dibahas oleh banyak orang dan
akan tampil dalam berbagai macam fenomena. Seseorang berhak
mengambil sebagian gagasan orang lain tetapi itu semua tidak
menghalanginya untuk menampilkan teori atau filsafatnya sendiri. 1
Kedua, bahwa ide, gagasan, atau pemikiran, seperti dinyatakan
Karl A. Steenbrink, adalah ekspresi dan hasil dari proses komunikasi sang
tokoh dengan kondisi sosial lingkungannya. Artinya, sebuah ide, gagasan,
atau pengetahuan tidak bisa lepas dari akar sosial, tradisi, dan
keberadaan seseorang yang melahirkan ide atau pemikiran tersebut.
Pemikiran filsafat Yunani dan Islam lahir dari keyakinan, budaya
dan kondisi sosial yang berbeda. Karena itu, menyatukan dua buah
pemikiran yang lahir dari budaya yang berlainan adalah sesuatu yang
tidak tepat, sehingga penjelasan karya-karya Muslim secara terpisah dari
faktor dan kondisi kulturalnya juga akan menjadi suatu deskripsi yang
tidak lengkap, deskripsi yang tidak bisa menjelaskan sendiri transformasi
besar yang sering terjadi ketika batas-batas kultural sudah terlewati.

1
Sri Wahyuningsih (2021). Sejarah Perkembangan Filsafat Islam, Jurnal Mubtadiin, 7(1),
83

2
Ketiga, kenyataan sejarah menunjukkan bahwa pemikiran rasional
telah lebih dahulu ada dan mapan dalam tradisi keilmuan muslim sebelum
kedatangan filsafat Yunani. Meski karya-karya Yunani mulai
diterjemahkan sejak masa kekuasaan Bani Umayyah, tetapi buku-buku
filsafatnya yang kemudian melahirkan al-Kindi, baru mulai digarap pada
masa dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa khalifah al-Makmun, oleh
orang-orang seperti Ja’far ibn Yahya al-Barmaki, Yuhana ibn Masawaih,
dan Hunain ibn Ishaq. Pada masa-masa ini, sistem berpikir rasional telah
berkembang pesat dalam masyarakat intelektual Arab-Islam, yakni dalam
fiqh (yurisprudensi) dan kalâm (teologi).
Semua itu menunjukkan bahwa sebelum dikenal adanya logika dan
filsafat Yunani, telah ada model pemikiran rasional filosofis yang berjalan
baik dalam tradisi keilmuan Islam, yakni dalam kajian teologis dan hukum.
Bahkan, pemikiran rasional dari teologi dan hukum inilah yang telah
berjasa menyiapkan landasan bagi diterima dan berkembangnya logika
dan filsafat Yunani dalam Islam, bukan sebaliknya.

B. Pembahasan
1. Al-Kindi Riwayat Hidup Al-Kindi
Nama lengkapnya Abu Yusuf Yaqub Ibn Ishaq Ibn al-Sabbah Ibn
‘Imran Ibn Isma’il Ibn al-Asy’ats Ibn al-Qais al-Kindi. Beliau berasal dan
keturunan dari suku kindah, salah satu suku besar Arab Selatan pra-
Islam. Kakeknya al-Asy’ats Bin Qais memeluk Islam dan dianggap
sebagai salah seorang sahabat Nabi. Bersama beberapa perintis Muslim,
kakeknya pindah ke Kufah dan bermukim di sana secara turun temurun.
Ayahnya Ishaq Ibn al-Sabbah, diangkat menjadi gubernur Kufah pada
masa khalifah al-Mahdi dan Harun al-Rasyid. Pada waktu itu, Kufah dan
juga Basrah merupakan dua pusat kebudayaan Islam yang sangat
menonjol. Kufah lebih semarak dengan studi-studi ‘aqliah dan di dalam

3
lingkungan intelektual inilah al-Kindi lahir dan melewatkan masa kanak-
kanaknya.2

Para ahli sejarah tampaknya tidak sepakat tentang tahun


kelahirannya. Salah satu sumber menyebutkan sekitar tahun 801 M,
sekitar satu dasawarsa sebelum khalifah Harun al-Rasyid meninggal.
Sumber lain menyebutkan bahwa beliau lahir pada tahun 796 M, dan
meninggal di Baghdad pada tahun 873 M. Dari data ini diketahui bahwa
al-Kindi hidup selama masa pemerintahan Khalifah Al-Amin, al-Ma’mun,
al-Mu’tashim, al-Watsiq, dan al-Mutawakkil, suatu masa kejayaan Dinasti
Abbasiyah dengan kehidupan politik, ekonomi, dan intelektual yang paling
cemerlang.
Di masa kecilnya, sebagaimana anak-anak Muslim lainya, al-Kindi
belajar membaca dan menghafal Al-Qur’an, di samping mempelajari tata
bahasa Arab, kesusasteraan dan ilmu hitung yang merupakan kurikulum
dalam pendidikan anak-anak Muslim kala itu. Ia kemudian mempelajari
fiqh dan disiplin ilmu baru yang disebut kalam. Setelah dewasa, al-Kindi
tampaknya tertarik kepada ilmu pengetahuan dan filsafat yang kepada
keduanya ia mengabdikan seluruh sisa hidupnya, terutama setelah ia
pindah ke Baghdad. Di sana ia mulai mengadakan hubungan yang
ekstensif dengan sarjana-sarjana non-Muslim yang semasa dengannya,
bahkan tanpa segan ia mendanai usaha penerjemahan karya-karya
Yunani ke dalam bahasa Arab. Yahya Ibn al-Bithriq antara lain disebut
sebagai salah seorang yang pernah bekerja pada al-Kindi. 3
Pemikiran Filsafat Al-Kindi
Bangunan pemikiran filsafat Al-Kindi merupakan refleksi doktrin-
doktrin yang diperbolehkan dari sumber-sumber Yunani klasik dan
warisan Neo-Platonis yang dipadukan dengan keyakinan agama yang
dianutnya. Oleh karena itu, basis pemikiran filsafat yang mendasari

2
Ris’an, Filsafat Islam: Telaah Tokoh dan Pemikirannya (Jakarta: Kencana, 2021), hal.5
3
Ibid., hal. 6

4
keseluruhan pemikiran Al-Kindi ditemukan dalam risalah Fi al-Hudud al-
Asyya. Dalam risalah tersebut, Al-Kindi melakukan peringkasan atas
definisi-definisi dari literatur Yunani dalam bentuk yang sederhana.
Ringkasan yang pada awalnya hendak memaparkan filsafat Yunani, oleh
banyak sejarawan dinilai hanya merupakan ringkasan definisi secara
harfiah saja yang merujuk kepada Aristoteles tanpa kepastian yang jelas
dan validitas sumbernya.
Sementara dalam risalah Al-Kindi yang khusus memaparkan
bagian permulaan dari disiplin filsafat, Al-Kindi mengemukakan enam
definisi filsafat yang seluruhnya bercorak Platonis. Menurut Al-Kindi
filsafat adalah ilmu tentang hakikat sesuatu dalam batas kesanggupan
manusia yang meliputi ilmu ketuhanan, ilmu keesaan (wahdaniyyah), ilmu
keutamaan (fadhilah) dan kajian apapun yang berguna bagi kehidupan
manusia. Al-Kindi juga berpandangan bahwa tujuan para filosof dalam
berteori adalah mengetahui kebenaran yang kemudian ditindaklanjuti
dengan amal perbuatan dan tindakan, semakin dekat manusia pada
kebenaran, akan semakin dekat pula pada kesempurnaan.
Oleh karena itu, pengetahuan tentang kebenaran dan hal-hal lain
yang diderivasi dari problem kebenaran merupakan orientasi para
filosof manapun tanpa membedakan latar pemikiran dan jenis ataupun
aliran yang dianut. Para filosof muslim sebagaimana juga para filosof
Yunani, percaya bahwa perihal kebenaran berada jauh di atas batas-
batas pengalaman, karena kebenaran abadi di alam dialami, atau berada
di alam idea atau di dalam posisi yang meliputi seluruh yang ada. Dalam
berteori, para filosof mencari kebenaran, dan dalam praktek,
menyesuaikan kebenaran itu dengan kenyataan empiris. Jika
pengetahuan tentang kebenaran merupakan orientasi yang hendak
dicapai oleh para filosof, maka Al-Kindi pun menetapkan tujuan utama
filsafat sebagai jalan menuju pengetahuan tersebut. Menurut Al-Kindi,

5
pengetahuan akan kebenaran mengharuskan manusia untuk
menggabungkan fisika dan Metafisika, sains dan teknologi. Berangkat
dari asumsi ini, Al-Kindi mengupayakan perpaduan antara doktrin filsafat
dan agama.4

2. Al-Farabi
Riwayat Hidup Al-Farabi
Dia adalah Abu Nasr Muhammad Al-Farabi lahir di Wasij, sebuah
desa di Farabi (Transoxania) pada tahun 870 M. Al-Farabi dalam sumber
Islam lebih akrab dikenal dengan nama Abu Nasr. Dia keturunan Persia.
Ayahnya, Muhammad Uzlah, adalah seorang panglima perang Persia
yang kemudian menetap di Damaskus. Ibunya berasal dari Turki. Karena
itu, mereka biasa disebut Persia atau Turki. Sebagai pembangun sistem
filosofis, ia mengabdikan dirinya untuk kontemplasi jauh dari politik dunia
sambil menulis karya politik yang monumental. Meninggalkan masalah
penting. Filosofinya menjadi rujukan pemikiran ilmiah dunia Barat dan
Timur, jah setelah kematiannya Al-Farabi hidup di tengah gejolak
masyarakat dan politik Islam.
Kehidupan Al-Farabi dapat dibagi menjadi dua, yang pertama
dimulai sejak lahir hingga usia lima tahun. Pendidikan pada dasarnya
adalah agama dan berbahasa; ia mempelajari ilmu fikih, hadis, dan tafsir
Al-Qur’an. Ia juga belajar bahasa Arab, Turki dan Persia. Periode kedua
adalah periode usia tua dan kematangan intelektual. Baghdad adalah
pusat pembelajaran terkemuka di abad ke-4/10. Di sana ia bertemu
dengan para sarjana dari berbagai bidang, termasuk para filsuf dan
penerjemah. Dia tertarik mempelajari logika, dan di antara ahli logika yang
paling menonjol adalah Abu Bishr Matta ibnu Yunus. Untuk beberapa
waktu dia belajar dengannya. Baghdad adalah kota pertama yang dia
kunjungi. Di sini dia selama dua puluh tahun, lalu pindah ke Damaskus. Di

4
Suprapno, Filsafat Pendidikan Islam; Kajian Tokoh-Tokoh Pemikiran Islam (Malang:
Literasi Nusantara, 2020), hal. 45-46

6
sini dia bentrok dengan Gubernur Aleppo, Saifuddaulah alHamdani.
Gubernur ini sangat terkesan dengan Al-Farabi.
Abu Nasr al-Farabi, umumnya disebut dalam sumber-sumber Arab
sebagai guru kedua (al-Mu’allim al-Thani), menempati posisi unik dalam
sejarah filsafat, sebagai penghubung antara filsafat Yunani dan Islam.
Dalam hal ini, Al-Farabi adalah ahli logika pertama yang mendobrak
tradisi suriah; komentar dan parafrase logisnya mencakup seluruh jajaran
logika Aristotelian, yang mengikuti tradisi Syariah, Retorika dan Poetika
ditambahkan. Tidak hanya dalam bidang logika, tetapi juga dalam
kosmologi dan metafisika, Al-Farabi menonjol sebagai tokoh terkemuka.
Baik Al-Kindi maupun Al-Razi tidak memberikan kontribusi substansial
pada sistematisasi kosmologi dan metafisika. Oleh karena itu, Al-Farabi
harus dianggap sebagai pembangun sistem pertama dalam sejarah
pemikiran Arab-Islam.5
Pemikiran Filsafat Al-Farabi
Filsafat dan agama
Kadang-kadang, menurut Al-Farabi, agama ditemukan
bertentangan dengan filsafat, karena para ahlinya tidak menyadari bahwa
prinsip-prinsip agama hanyalah representasi (mithalat) dari konsep-
konsep rasional yang dikemukakan oleh para filosof. Ketika ini terjadi,
para teolog (ahl al-Kalam) melanjutkan untuk membantah argumen palsu
yang digunakan oleh lawan mereka, menggunakan argumen retoris
dengan referensi yang jelas tentang peran sebenarnya yang dimainkan
oleh Mutakallimin, terutama Mu’tazilah dalam menyangkal argumen
Manichean dan musuh lainnya. Perang Kalam secara khusus dinyatakan
dalam pencacahan ilmu (ihsa al-Ulum) untuk mendukung pendapat yangs
sehat dan tindakan saleh yang ditetapkan oleh pemberi hukum (yaitu
Nabi), dan penolakan terhadap semua proposisi yang berlawanan.

5
Abu Bakar Dja’far dan Yunus, Mengenal Tokoh Filsafat Muslim dan Pemikirannya
(Jawa Barat: Adab, 2023) hal. 2-5

7
Dalam membahas lebih lanjut hubungan antara filsafat dan agama,
Al-Farabi menegaskan kembali keunggulan yang pertama dan
berpendapat bahwa, sejauh agama tertentu lebih jauh dari filsafat, itu
lebih jauh dari kebenaran. Masalah perparah ketika seorang pemberi
hukum (yakni seorang Nabi), alih-alih memperoleh pendapat atau
keyakinan yang hendak diberikannya kepada masyarakat dari sistem
filsafat yang kebetulan ada pada masanya, justru memperolehnya dari
pendapat atau keyakinan yang dikemukakan oleh para pendahulunya
orang agama.
Kesalahan ini diperparah ketika pembuat undang-undang
pengganti mengulangi proses yang sama dengan mengikut jejak para
pendahulu agama mereka. Kadang-kadang agama tertentu, yang
didasarkan pada filsafat asli, ditransmisikan ke bangsa atau komunitas
tertentu (yaitu Umam) yang anggotanya tidak menyadari bahwa prinsip
atau doktrin yang diajarkan oleh agama mereka hanyalah ‘representasi’
dari prinsip filosofis, yang mereka tidak memiliki pengetahuan.
Kemudian, permusuhan antara filsafat dan agama meningkat dan
dengan demikian para filosof harus menghadapi orang-orang beragama
(ahl al-millah) untuk keselamatan mereka sendiri, mempertahankan
bahwa mereka tidak menghadapi agama tersebut melainkan asumsi
orang-orang beragama bahwa agama memang bertentangan filsafat.
Orang-orang beragama kemudian diingatkan bahwa proposisi yang
mendasari keyakinan agama mereka tidak lebih dari representasi dari
proposisi atau prinsip filosofis asli.6
Maka dapat disimpulan bahwa Al-Farabi tidak menutup
kemungkinan bangsa-bangsa tertentu menunjukkan kasih terhadap
filsafat, tetapi bangsa-bangsa itu dikuasai oleh bangsa-bangsa yang
diam-diam mewarisinya atau melarangnya sama sekali. Alasan
pelarangan ini karena bangsa-bangsa yang bersangkutan tidak cocok
6
Ibid., hal.11-14

8
untuk diajarkan sebuah kebenaran murni atau hal-hal yang teoritis pada
umumnya, tetapi hanya dapat menerima pengajaran dengan
menggunakan analogi kebenaran tentang tindakan dan pengajaran
praktis. Kadang-kadang, pembuat hukum atau penguasa bersedia bekerja
ekstra dengan menyebarkan atau mempertahankan keyakinan atau
praktik agama palsu hanya untuk membangun kesejahteraan atau
kepuasan mereka sendiri, terlepas dari kesejahteraan atau kepuasan
rakyat mereka.
3. Ibnu Sina
Riwayat Hidup Ibnu Sina
Nama lengkapnya adalah ABu ‘Ali al-Husayn ibn Abdullah.
Penyebutan nama ini telah menimbulkan perdebatan pendapat di
kalangan para ahli sejarah. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa
nama tersebut diambil dari bahasa latin Avin Sina, dan sebagian lain
mengatakan bahwa nama tersebut diambil dari kata Al-Shin yang dalam
bahasa Arab berarti Cina. Selain itu ada juga pendapat yang mengatakan
bahwa nama tersebut dihubungkan dengan nama tempat kelahirannya
yaitu Afsana.
Dalam sejarah pemikiran Islam, Ibnu Sina dikenal sebagai
intelektual muslim yang banyak mendapatkan gelar. Ia lahir pada tahun
370H. Bertepatan dengan tahun 980M, di Afsana, suatu daerah yang
terletak di dekat bukhara, di kawasan Asia Tenggara. Ayahnya bernama
Abdullah dari Belkh, suatu kota yang termasyhur di kalangan orang-orang
Yunani, kota tersebut sebagai pusat kegiatan politik, juga sebagai pusat
kegiatan intelektual dan keagamaan.
Adapun ibu Ibnu Sina bernama Astarah, berasal dari Afsana yang
termasuk wilayah Afghanistan. Namun demikian, ia ada yang

9
menyebutkan sebagai berkebangsaan Persia, karena pada abad ke-10
M, wilayah Afganistan Ini termasuk daerah Persia. 7
Ibnu Sina dikaruniai kecerdasan yang luar biasa. Pada umur 10
tahun ia telah menghafalkan Alquran dengan sempurna. Setelah
menyelesaikan pelajaran Alquran, ia belajar dan menguasai disiplin ilmu
lainnya, mulai dari logika, fisika, matematika, fikih, hingga kedokteran. Ia
sempat belajar kepada Abu ‘Abdullah al-Natili dan Isma’il al-Zahid.
Namun akhirnya kedua gurunya tersebut kewalahan.
Bahkan, dikisahkan oleh Sirajuddin Zar bahwa suatu ketika
Pangeran Nuh bin Mansur menderita sakit, tetapi tidak ada seorang
dokter pun yang mampu mengobatinya. Pada kesempatan itu Ibnu Sina
menunjukkan kemampuannya dan berhasil menyembuhkan Pangeran.
Keberhasilannya diganjar dengan pengangkatan sebagai dokter kepala
yang membawahi para dokter. Selain itu ia diberi kebebasan untuk
mengakses perpustakaan istana, Kutub Khana. Di tempat itulah
selanjutnya Ibnu Sina menghabiskan waktu siang-malam untuk
menyalurkan dahaganya yang begitu besar terhadap ilmu.
Dalam kesempatan itu, ia bertemu dengan Metaphysics karangan
Aristoteles. Ibnu Sina membaca tulisan tersebut hingga 40 kali, namun
tidak kunjung memahami. Ibnu Sina lantas menemukan sebuah risalah
kecil karya Al-Farabi yang menjelaskan metafisika Aristotle tersebut.
Proses tersebut merupakan proses belajar tidak langsungnya kepada Al-
Farabi, sekaligus menjadikannya sebagai penerus mazhab masysyâ’iyah
atau peripatetik Islam Al-Farabi.
Sumber lain menjelaskan prosesnya. Setelah mendapatkan karya
Al-Farabi yang memudahkan tersebut, Ibnu Sina tidak serta merta
menangkap semua yang dimaksud Aristotle. Akan tetapi semangatnya
untuk menguasai kitab sangat tinggi. Maka ia langsung memperbanyak

7
Atma Endris, Belajar dari Guru tersebut Sepanjang Masa (Yogyakarta: Lontar
Mediatama, 2018), hal. 97-98

10
shalat dan sedekah agar Allah menolongnya. Bahkan dalam kesempatan
yang lain, ketika ia banyak meminta tolong kepada Allah dan tidak juga
menemukan ‘pencerahan’ di kala sadar, ia segera tidur. Dalam mimpinya,
Ia mendapatkan jawaban atas berbagai persoalan ilmiah yang dicarinya.
Dengan semua cara itu, yaitu perpaduan antara semangat yang tinggi,
kerja keras belajar, serta ketekunan meminta tolong kepada Allah, pada
usia 18 tahun Ibnu Sina berhasil menguasai semua bidang ilmu yang ada
pada masa itu dengan baik. Semua prestasi itu membuat Ibnu
Sina dikenal sebagai al-Syaikh al-Ra’îs atau Guru Utama. 8
Pemikiran Ibnu Sina
Filsafat Emanasi atau Al-Faidh
Ibnu Sina dalam pandangannya mengenai teori emanasi
mengadakan sintesis antara teori filsafat dengan kalam. Misalnya, teori
Aristoteles yang berpendapat bahwa alam dunia adalah azalii dan tidak
ada dalil akall yang bisa menunjukkan bahwa duni ini memiliki
permulaannya. Alam dunia dipersepsikan abadi dan kekal. Sebaliknya
pandangan Islam, alam tersebut merupakan baharu, fana, dan kelak
binasa. Maka dari itu, Ibnu Sina mengemukakan, bahwa terciptanya alam
ini adalah melalui cara melimpah, seperti melimpahnya cahaya dari
matahari atau melimpahnya panas dari api, hal mana sudah menjadi
tabiatnya.
Dalam teori emanasi, Ibnu Sina berpendapat bahwa alam
diciptakan oleh Allah dalam keadaan ada bukan adanya alam dari ketidak
adaan. Dengan kata lain dipahami bahwa alam ini adalah diciptakan.
Seandainya alam diciptakan dari kondisi tidak ada maka maksud untuk
mengatakan alam ini diciptakan tidak akan memenuhi syarat-syarat
logika. Sesuatu ada dalam perspektif logika haruslah didasarkan kepada
yang sudah ada .

8
Anton Ismunanto (2019). Teori Jiwa Ibnu Sina Dan Relevansinya Bagi Pendidikan
Islam, Jurnal Idrak, 2(1), 186-187

11
Dalam filsafat Yunani, Tuhan bukanlah penciptaan alam, melainkan
ia adalah penggerak pertama (prime cause). Sebenarnya teori emanasi
ini bukanlah berasal murni dari hasil renungan Ibnu Sina. Tetapi berasal
dari Neoplatonisme yang menyatakan hal ini terjadi (wujud alam) padahal
pancaran dari Yang Esa. Kemudian Ibnu Sina mengambil kaidah filsafat
Plotinus yang mengatakan bahwa: “Dari satu hanya satu yang melimpah”.
Dengan demikian, dapat dipahami berarti Tuhan bergerak (Prime Cause)
dari doktrin spekulatif filsafat Yunani (Aristoteles) telah bergeser menjadi
Tuhan pencipta (shani, Agent) dari sesuatu yang sudah ada secara
pancaran.
Filosof Muslim kebanyakan berargumen bahwa alam ini diciptakan
dari sesuatu yang telah ada. Pandangan ini sejalan dengan kenyataan
yang ada di alam. Di alam ini yang ada hanyalah penciptaan dari sesuatu
yang sudah ada atau dari suatu bentuk berubah menjadi bentuk yang lain.
Biji, misalnya berubah menjadi anak pohon, anak pohon menjadi pohon,
potong dipotong menjadi papan, papan disambung-sambung menjadi
meja, meja using menjadi bahan bakar, bahan bakar menjadi abu dan
abu menjadi tanah. Hal ini sesuai dengan konsep penciptaan dalam al-
quran. 9
Beberapa ayat yang dijadikan landasan filosofisnya antara lain:
Surah Hud ayat ke 7. Tentang penciptaan langit dan bumi dalam enam
masa.
ْ‫ش ٗه َعلَى ْال َمٓا ِء لِ َي ْبلُ َو ُك ْم اَ ُّي ُك ْم اَحْ َسنُ َع َماًل   َۗ ولَِئن‬ُ ْ‫ض فِيْ سِ َّت ِة اَ يَّا ٍم وَّ َكا َن َعر‬ َ ْ‫ت َوا اْل َ ر‬ ِ ‫َو ه َُو الَّذِيْ َخلَ َق الس َّٰم ٰو‬
ٌ‫ت لَ َيـقُ ْولَنَّ الَّ ِذي َْن َك َفر ۤ ُْوا اِنْ ٰه َذ ۤا ِااَّل سِ حْ ٌر م ُِّبيْن‬
ِ ‫ت ِا َّن ُك ْم َّم ْبع ُْو ُث ْو َن م ِۢنْ َبعْ ِد ْال َم ْو‬
َ ‫قُ ْل‬

Artinya: Dan Dialah yang menciptakan manusia dengan enam masa, dan
Arsy-Nya di atas air, agar dia menguji siapakah diantara kamu yang lebih
baik amalnya. (QS. Hud 11: Ayat 7).
Surah ke 41 ayat 11 Tentang penciptaan langit dan bumi
9
Parlaungan, Haidar Putra Daulay, Zaini Dahlan (2019). Pemikiran Ibnu Sina dalam
Bidang Filsafat, Jurnal Bil Qolam Pendidikan Islam 84-86

12
‫ض اْئ ِت َيا َط ْوعً ا اَ ْو َكرْ هًا ۗ  َقا لَ َت ۤا اَ َت ْي َنا‬ َ ‫ُث َّم اسْ َت ٰۤـوى ِالَى ال َّس َمٓا ِء َوه‬
ِ ْ‫ِي ُد َخا نٌ َف َقا َل لَ َها َولِاْل َ ر‬
‫َطٓاِئ ِعي َْن‬
Artinya: Kemudian Dia menuju ke langit dan (langit) itu masih berupa
asap, lalu Dia berfirman kepadanya dan kepada bumi.” Datanglah kamu
berdua menurut perintah-Ku dengan patuh atau terpaksa”. Keduanya
menjawab kami datang dengan patuh. (QS. Fussilat 41: Ayat 11).10
Dapat disimpulkan bahwa terjadi perbedaan sudut pandang, antara
filosof Muslim. Hal itu dikarenakan karena mereka beranjak dari titik yang
berbeda. Filosof muslim beranjak dari rasio, sedangkan al-Ghazali
beranjak dari empirik keagamaan. Seandainya al-Ghazali meyakini
tempat bertolak para filosof muslim ada kemungkinan kritiknya ini tidak
akan terjadi, contohnya dalam istilah qadim. Bagi para filosof muslim,
qadim berarti hal yang dalam terbentuknya terus menerus tanpa
permulaan bagi terbentuknya dan tanpa akhir. Dalam kata lain bagi para
filosof muslim, qadim tidak berarti tanpa sebab tetapi boleh juga berarti
suatu wujud dengan sebab. Dengan demikian messkipun alam ini qadim,
keqadimannya tidak sama dengan keqadima Allah. Sedangkan qadim
menurut Al-Ghazali adalah sesuatu yang tidak bersebab dan hanya satu
yang tidak bersebab adalah Allah. Bagi Al-Ghazali yang qadim itu
hanyalah Allah lainnya adalah baharu (huduts).11

4. Ibnu Rusyd
Riwayat Hidup Ibnu Rusyd
Nama lengkap Ibnu Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad bin
Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthubi al andalusi. Dia
biasa dipanggil dengan sebutan Abu al-Walid, Ibnu Rusyd atau Ibnu
Rusyd al-Hafid. Penambahan gelar al-Hafidz adalah untuk membedakan
Ibnu Rusyd dari kakeknya, yang sama-sama bernama Muhammad bin

10
Anonim, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama RI. 2008
11
Op.Cit., hal. 87

13
Ahmad, biasa dipanggil dengan sebutan Ibnu Rusyd, dan memiliki nama
kunyah Abu al-Walid.
Oleh orang Perancis, Ibnu Rusyd dipanggil dengan sebutan
Averroes, sehingga di dunia barat, dia populer dengan sebutan
Averroes.23 Ibnu Rusyd dilahirkan di kota Qurtubah, atau Cordova, salah
satu kota di Andalusia, pada tahun 1126 M./ 520 H., yaitu satu bulan
sebelum kakeknya, Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusyd al Faqih,
meninggal. Ibnu Rusyd berasal dari keluarga ilmuwan. Ayah dan
kakeknya adalah pecinta ilmu, dan merupakan ulama' yang sangat
disegani di Andalusia (Andalusia) pada masanya.
Ayahnya, Abu al-Qasim Ahmad bin Muhammad adalah seorang
ahli fiqih dan pernah menjadi hakim di Cordova, sementara kakeknya,
Muhammad bin Ahmad Ibnu Rusyd al-Faqih adalah ahli fiqih madzhab
Maliki, dan Imam masjid Cordova, serta pernah menjabat sebagai hakim
agung di Andalus. Jadi, tidak mengherankan jika derajat ilmuwan
mengalir dalam tubuh Ibn Rusyd, sehingga ia pun tumbuh menjadi
seorang ilmuwan di segala bidang, yakni sebagai ahli hukum Islam
(faqih), dokter, ahli matematika, astronom, filsuf, dan sebagainya.
Sebagaimana ayah dan kakeknya, Ibn Rusyd juga pernah menjadi hakim
dan qadhi al-qudhat di andalusia. 12

Pemikiran Filsafat Ibnu Rusyd


Kontribusi Rasionalisme Ibn Rusyd dalam Syariah, yaitu salah satu
pandangan Ibn Rusyd yang menonjol adalah teorinya tentang harmoni
(perpaduan) agama dan filsafat (al-ittishal baina al-syariah wa al-hikmah).
Ibnu Rusyd memberikan kesimpulan bahwa "filsafat adalah saudara
sekandung dan sesusuan agama". Dengan kata lain, tak ada
pertentangan antara wahyu dan akal; filsafat dan agama; para nabi dan
Aristoteles, karena mereka semua datang dari asal yang sama. Ini

12
Mohamad Thoyyib Madani (2017). Ibnu Rusyd dan Kontribusi Pemikirannya Terhadap
Perkembangan Ilmu Fiqih, Kabilah 2(1), 43

14
didasarkan pada ayat-ayat al-Qur’an dan karakter filsafat sebagai ilmu
yang dapat mengantarkan manusia kepada "pengetahuan yang lebih
sempurna" (at-tamm al-ma`rifah).
Dalam buku kecilnya yang berjudul Fashl Al Maqal fima Baina Al
Hikmah wa Asy Syari'ah min Al Ittishal (Kaitan filsafat dengan Syariat),
Ibnu Rusyd menjelaskan tentang harmonisasi antara `aql (akal/nalar)
dengan naql (transferensi) mengenai metode (manhaj) dan tujuan akhir
(ghayah). Menurutnya, belajar filsafat dan berfilsafat itu sendiri tidak
dilarang dalam agama Islam, bahkan alQuran sebagai pedoman umat
Islam berisi banyak ayat yang menghimbau agar mempelajari filsafat.
Untuk menghindari adanya pertentangan antara pendapat akal serta
filsafat dan teks al-Quran. Ibnu Rusyd menegaskan bahwa teks al-Quran
itu hendaknya diberi interpretasi sedemikian rupa atau dilakukan takwil.
Takwil inilah merupakan salah satu bahasan penting dalam buku kecil ini.
Mengenai hubungan antara agama dan filsafat, menawarkan satu
pandangan baru yang orisinil dan rasional, dalam arti mampu menangkap
dimensi rasionalitas baik dalam agama maupun dalam filsafat.
Rasionalitas filsafat dibangun atas landasan keteraturan dan keajegan
alam ini, dan juga pada landasan prinsip kausalitas. Sementara itu,
rasionalitas agama juga dibangun atas dasar maksud dan tujuan yang
diberikan sang Pembuat Syariat, dan yang pada akhirnya bermuara pada
upaya membawa manusia kepada nilai-nilai kebajikan atau al-fadlilah.
Ibnu Rusyd juga mengatakan bahwa siapa yang mempelajari
anatomi akan meningkatkan keimanannya kepada Allah Yang Mahakuasa
dan Esa. Pernyataan ini muncul dari berpegang teguhnya ia pada teks
agama melalui penajaman akal budi. Ini membuktikan bagaimana ia
mengenal Allah. Dalam banyak karyanya di bidang filsafat dan kedokteran
kita jumpai ketaatan dan kedalaman pemahamannya terhadap Alquran
dan hadits.

15
Nilai progresivitas pemikiran Ibn Rusyd terlihat pula dari upayanya
menyelesaikan problematika pertentangan antara agama dan filsafat
melalui metode tawil. Penggunaan takwil berarti memberikan porsi
seluas-luasnya kepada akal manusia untuk menyikapi semua
permasalahan yang ada. Ibnu Rusyd tidak risau bila metode penakwilan
harus diambil dari umat di luar Islam. Ibnu Rusyd mengingatkan
keberadaan komplikasi dalam setiap keilmuan; di mana yang datang
belakangan mengambil manfaat dari temuan para pendahulunya. Lebih
dari itu, Ibn Rusyd sangat menghargai adanya perbedaan pendapat.
Perbedaan agama tidak menghalangi dirinya mengkaji filsafat Yunani.
Ibnu Rusyd juga menganjurkan dilakukannya interaksi keilmuan antara
Islam dengan agama-agama lain. Kebenaran adalah sesuatu yang harus
dicari, namun tidak untuk dimonopoli. 13

C. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Al-Kindi yang memiliki nama lengkap Abu Yusuf Ya’qub Ibn Ishaq Ibn
al-Shabbah Ibn ‘Imran Ibn Isma’il Ibn al-Asy’ats Ibn al-Qais al-Kindi.
Beliau berasal dari keturunan dari suku Kindah. Dia tidak hanya
dikenal sebagai filsuf, tetapi juga sebagai ilmuwan yang menguasai
ilmu matematika, geometri, astronomi, farmakologi, ilmu hitung, ilmu
jiwa, optika, musik dan sebagainya.
Menurutnya orang yang menolak mencari kebenaran dan
menganggapnya sebagai kekafiran, maka dia sendiri yang seharusnya
dikatakan sebagai kafir, karena sebuah pengetahuan tentang
kebenaran mencakup pengetahuan tentang Tuhan, tentang keesaan-
Nya, tentang apa yang baik dan berguna, dan juga sebagai alat untuk

13
Rossi Delta Fitrianah (2018). Ibnu Rusyd (Averroisme) dan Pengaruhnya Di Barat, El-
Afkar, 7(1), 20-24

16
berpegang teguh kepadanya dan untuk menghindari hal-hal yang
kurang baik/tidak baik.
2. Al-Farabi yang memiliki nama lengkap Abu Nasr Muhammad Al-Farabi
lahir di Wasij, sebuah desa di Farabi (Transoxania) pada tahun 870 M.
Dia dalam sumber Islam lebih akrab dikenal dengan nama Abu Nasr.
Dia juga disebut dalam sumber-sumber Arab sebagai guru kedua (al-
Mu’allim al-Thani), menempati posisi unik dalam sejarah filsafat,
sebagai penghubung antara filsafat Yunani dan Islam. Al-Farabi
adalah ahli logika pertama yang mendobrak tradisi suriah bahkan tidak
hanya dalam bidang logika, tetapi juga dalam kosmologi dan
metafisika, dia menonjol sebagai tokoh terkemuka. Hubungan antara
filsafat dan agama, Al-Farabi menegaskan dan berpendapat bahwa,
jika sebuah agama tertentu jauh dari filsafat, maka agama tersebut
jauh dari kebenaran.
3. Ibnu Sina merupakan seorang ilmuwan yang sangat berpengaruh
dalam dunia kedokteran. Abu Ali Husain bin Abdullah bin Hasan bin
Ali bin Sina merupakan nama asli dari Ibnu Sina. Dia dilahirkan pada
bulan Safar 370 H atau Agustus-September 980 M di Afsyanah,
sebuah kota kecil yang berada di wilayah Uzbekistan saat ini. Di dunia
Barat dia sering dikenal dengan avicenna dan dijuluki sebagai
pangeran para dokter. Ibnu Sina juga disebut seorang filosof yang
terkenal. Salah satu filsafat Ibnu Sina yang terkenal yaitu: Filsafat
Emanasi/Faidh, Filsafat Wujud/Ketuhanan, dan Filsafat An-nafs/Jiwa.
4. Nama lengkap Ibnu Rusyd adalah Abu al-Walid Muhammad bin
Ahmad bin Muhammad bin Ahmad bin Rusyd al-Qurthubi al andalusi.
Dia biasa dipanggil dengan sebutan Abu al-Walid, Ibnu Rusyd atau
Ibnu Rusyd al-Hafid. Ibnu Rusyd memberikan kesimpulan bahwa
"filsafat adalah saudara sekandung dan sesusuan agama". Dengan
kata lain, tak ada pertentangan antara wahyu dan akal; filsafat dan

17
agama; para nabi dan Aristoteles, karena mereka semua datang dari
asal yang sama.

D. Daftar Pustaka

Anonim, Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Departemen Agama RI.


2008
Abu Bakar Dja’far dan Yunus. Mengenal Tokoh Filsafat Muslim dan
Pemikirannya. Jawa Barat: Adab. 2023.
Anton Ismunanto. Teori Jiwa Ibnu Sina Dan Relevansinya Bagi
Pendidikan Islam. Jurnal Idrak. (2019): 186-187.
Atma Endris. Belajar dari Guru tersebut Sepanjang Masa. Yogyakarta:
Lontar Mediatama 2018.
Mohamad Thoyyib Madani. Ibnu Rusyd dan Kontribusi Pemikirannya
Terhadap Perkembangan Ilmu Fiqih. Kabilah (2017): 43.
Parlaungan, Haidar Putra Daulay dan Zaini Dahlan. Pemikiran Ibnu Sina
dalam Bidang Filsafat. Jurnal Bil Qolam Pendidikan Islam, (2019):
Rossi Delta Fitrianah. Ibnu Rusyd (Averroisme) dan Pengaruhnya Di
Barat. El-Afkar, (2018): 20-24.
Ris’an. Filsafat Islam: Telaah Tokoh dan Pemikirannya. Jakarta: Kencana.
2021.
Sri Wahyuningsih. Sejarah Perkembangan Filsafat Islam, Jurnal
Mubtadiin, (2021): 83.
Suprapno. Filsafat Pendidikan Islam; Kajian Tokoh-Tokoh Pemikiran
Islam. Malang: Literasi Nusantara. 2020.

18

Anda mungkin juga menyukai