Anda di halaman 1dari 8

Nama : Thufall Sains Akbar (190603038)

Kelas : PPI 3B

MK : Filsafat Islam

Filsafat Islam bercorak Neo-Platonisme

A. Al-Kindi
1. Profil
Al-Kindi, alkindus, nama lengkapnya Abu Yusuf Ya’kub ibn Ishaq ibn
Shabbah ibn Imran ibn Ismail Al-Ash’ats ibn Qais Al-Kindi (Soleh, 2013: 88),
lahir di Kufah, Iraq sekarang, tahun 801 M, pada masa khalifah harun Al_Rasyid
(786-809 M) dari Dinasti Bani Abbas (750-1258 M). Nama Al-Kindi sendiri
dinisbahkan kepada marga atau suku leluhurnya, salah satu suku besar zaman pra-
Islam. Menurut Faud Ahwani, Al-Kindi lahir dari keluarga bangsawan, terpelajar,
dan kaya. Ismail Al-Ash’ats ibn Qais, buyutnya, telah memeluk Islam pada masa
Nabi dan menjadi sahabat Rasul. Mereka kemudian pindah ke Kufah. Di Kufah,
ayah Al-Kindi, Ishaq ibn Shabbah, menjabat sebagai gubernur, pada masa
Khalifah Al-Mahdsi (775-785 M), Al-Hadi (785-876 M), dan Harun Al-Rasyid
(786-909 M), masa kekuasaan Bani Abbas (750-1258 M). Ayahnya meninggal
saat Al-Kindi masih kecil.
Al-Kindi melewati masa kecilnya di Kufah dengan menghafal al-Qur’an,
mempelajari tata bahasa Arab, kesusastraan Arab dan ilmu hitung. Keseluruhan
yang dipelajarinya di masa itu merupakan kurikulum pelajaran wajib bagi semua
anak-anak zamannya di wilaah Kufah. Selanjutnya Al-Kindi mendalami pelajaran
Fiqh dan kajian keilmuan baru yang disebut Kalam. Akan tetapi, kecenderungan
Al-Kindi lebih mengarah pada ilmu pengetahuan dan filsafat, khususnya ketika
Al-Kindi meninggalkan Kufah dan berdomisili di Bagdad (Basri, 2013). Di ibu
kota pemerintahan Bani Abbas ini, Al-Kindi mencurahkan perhatiannya untuk
menerjemah dan mengkaji filsafat serta pemikiran-pemikiran rasional lainnya
yang marak saat itu. Menurut Al-Qifti (1171-1248 M), Al-Kindi banyak
menerjemahkan buku filsafat, menjelaskan hal-hal yang pelik, dan meringkaskan
secara canggih teori-teorinya. Hal itu dapat dilakukan karena Al-Kindi diyakini
menguasai secara baik bahasa Yunani dan Syiria, bahasa induk karya-karya
filsafat saat itu. Berkat kemampuannya itu juga, Al-Kindi mampu memperbaiki
hasil-hasil terjemahan orang lain, misalnya hasil terjemahan Ibn Na’ima AlHimsi,
seorang penerjemah Kristen, atas buku Enneads karya Plotinus (204-270
M); buku Enneads inilah yang di kalangan pemikir Arab kemudian disalahpahami
sebagai buku Theologi karya Aristoteles.
Atas kelebihan dan reputasinya dalam filsafat dan keilmuan, Al-Kindi
kemudian bertemu dan berteman baik dengan Khalifah Al-Makmun, seorang
khalifah dari bani Abbas yang sangat gandrung pemikiran rasional dan filsafat.
Lebih dari itu, ia diangkat sebagai penasehat dan guru istana pada masa Khalifah
Al-Mu’tasim dan Al-Watsiq (Soleh, 2013). Namun, ketika Al-Mutawakkil
menjabat khalifah pada 847 M, Al-Kindi bernasib buruk seperti para filosof dan
teolog lainnya. Setelah lima tahun melewati masa sulit pada pemerintahan
AlMuatawakkil, Al-Kindi wafat sekitar tahun 866 M.
2. Pemikiran
Bangunan pemikiran filsafat Al-Kindi merupakan refleksi doktrin-doktrin
yang diperolehnya dari sumber-sumber Yunani klasik dan warisan Neo-Platonis
yang dipadukan dengan keyakinan agama yang dianutnya. Oleh karena itu, basis
pemikiran filsafat yang mendasari keseluruhan pemikiran Al-Kindi ditemukan
dalam risalah Fi al-Hudud al-Asyya. Dalam risalah tersebut, Al-Kindi melakukan
peringkasan atas defenisi-defenisi dari literatur Yunani dalam bentuk yang
sederhana. Ringkasan yang pada awalnya hendak memaparkan filsafat Yunani,
oleh banyak sejarawan dinilai hanya merupakan ringkasan defenisi secara harfiah
saja yang merujuk kepada Aristoteles tanpa kepastian yang jelas atas validitas
sumbernya.
Sementara dalam risalah Al-Kindi yang khusus memaparkan bagian
permulaan dari disiplin filsafat, Al-Kindi mengemukakan enam defenisi filsafat
yang seluruhnya bercorak Platonis. Menurut Al-Kindi Filsafat adalah ilmu tentang
hakikat sesuatu dalam batas kesanggupan manusia yang meliputi ilmu ketuhanan,
ilmu keesaan (wahdaniyyah), ilmu keutamaan (fadhilah) dan kajian apapun yang
berguna bagi kehidupan manusia. Al-Kindi juga berpandangan bahwa tujuan para
filosof dalam berteori adalah mengetahui kebenaran yang kemudian
ditindaklanjuti dengan amal perbuatan dalam tindakan, semakin dekat manusia
pada kebenaran, akan semakin dekat pula pada kesempurnaan (Basri, 2013).
Oleh karena itu, pengetahuan tentang kebenaran dan hal-hal lain yang
diderivikasi dari problem kebenaran merupakan orientasi para filosof manapun
tanpa membedakan latar pemikiran dan jenis ataupun aliran yang dianut. Para
filosof muslim sebagaimana juga para filosof Yunani, percaya bahwa perihal
kebenaran berada jauh di atas batas-batas pengalaman (Basri, 2013). Karena
kebenaran bersifat abadi di alam adialami, atau berada di alam idea atau di dalam
posisi yang meliputi seluruh yang ada. Dalam berteori, para filosof mencari
kebenaran, dan dalam praktek, menyesuaikan kebenaran itu dengan kenyataan
empiris. Jika pengetahuan tentang kebenaran merupakan orientasi yang hendak
dicapai oleh para filosof, maka Al-Kindi pun menetapkan tujuan utama Filsafat
sebagai jalan menuju pengetahuan tersebut. Menurut Al-Kindi, pengetahuan akan
kebenaran mengharuskan manusia untuk menggabungkan fisika dan Metafisika,
sains dan teknologi. Berangkat dari asumsi ini, Al-Kindi mengupayakan
perpaduan antara doktrin filsafat dan agama.
Filsafat, menurut Al-Kindi adalah batas mengetahui hakikat suatu sejarah
batas kemampusn manusia. Tujuan filsafat dalam teori adalah mengetahui
kebenaran, dan dalam praktik adalah mengamalkan kebenaran/kebajikan. Filsafat
yang paling luhur dan mulia adalah filsafat pertama (Tuhan), yang merupakan
sebaba (‘illah) bagi setiap kebenaran/realitas. Oleh karena itu, filosof yang paling
sempurna dan mulia harus mampu mencapai pengetahuan yang mulia itu.
Mengetahui ‘illah itu lebih mulia dari mengetahui akibat/ma’mul-nya, karena kita
hanya mengetahui sesuatu dengan sempurna bila mengetahui ‘illah-nya.
Pengetahuan tentang ‘illah pertama merupakan pengetahuan yang tersimpul
mengenai semua aspek lain dari filsafat. Dia, ‘illah pertama, Tuhan, adalah paling
mulia, awal dari jenis, awal dalam tertib ilmiah, dan mendahului zaman, karena
dia adalah ‘illah bagi zaman.
Dalam upaya perpaduan agama dan filsafat yang dilakukan Al-Kindi
didasari pada keyakinan bahwa kitab suci al-Qur’an telah mewartakan
argumentasi-argumentasi yang meyakinkan seputar ihwal kebenaran yang tidak
akan pernah bertentangan dengan doktrin yang dihasilkan filsafat. Hanya saja,
proses pemaduan agama dan filsafat tidak mungkin terlaksana tanpa mengakui
keberadaan alat kerja agama dan filsafat yang sama. Bagi Al-Kindi, fakta bahwa
filsafat bersandar pada kemampuan akal (rasionalitas) tidak berbeda dengan fakta
bahwa doktrin agama jga memerlukan akal sebagai alat untuk memahami
ajaranya. Ini berarti, Al-Kindi menaruh hormat yang tinggi pada anugerah akal
dengan cara memaksimalkan kerja akal dalam mencapai pengetahuan akan
kebenaran.
3. Pengaruh
Menurut Al-Kindi, apapun eksis di alam, baik alam yang terindera maupun
yang tidak terindera, tidak mungkin memiliki keaneka-ragaman tanpa
keseragaman dan keseragaman tanpa keragaman. Hukum keseragaman dan
keragaman ini bukan merupakan sebuah kebetulan sejarah belaka, tapi pasti ada
penyebabnya. Penyebab yang memunculkan keragaman dan kesatuan ini mesti
sesuatu yang tidak dapat disebabkan oleh yang lain yaitu Tuhan. Dalil yang terakhir
dalam membuktikan keberadaan Tuhan, Al-Kindi menyatakan bahwa
alam dan hukum-hukum yang berlaku di dalamnya, tidak akan mengkin berjalan
se-teratur yang terlihat, tanpa ada yang mengedalikannya. Wujud pengendali alam
yang menjaganya tetap berada dalam keteraturan tentulah wujud yang maha dan
tidak akan mungkin sama dengan yang dikendalikannya. Jika alam dan hukumhukum
alam adalah baharu, maka pengendali tidaklah baharu. Jika alam dan
hukum-hukum alam merupakan hasil penciptaan, maka pengendali bukanlah
wujud yang diciptakan. Sesuatu yang mengendalikan mesti berbeda dengan yang
dikendalikannya. Sebab bila antara pengendali dengan yang dikendalikan sama,
maka yang akan lahir adalah sebuah ketidak-teraturan. Pengendali yang menjaga
keteraturan ini, hanya dapat diketahui melalui pelacakan jejak-jejaknya saja.
Argumentasi yang terakhir ini dikenal dengan illat tujuan. Keteraturan alam dalam
pengendalian ini mengarah pada sikap hormat dan kekaguman manusia pada
Tuhan yang mengatur dan mengendalikan alam jika direnungkan secara
mendalam. Penataan alam begitu rasional dan harmonis (Basri, 2013: 41).
Sementara tentang sifat Tuhan, Al-Kindi menyebutkan bahwa sifat Tuhan itu
azali, yang tidak berawal dan tidak berakhir. Ia tidak bergerak, sebab bila
dikatakan bergerak berarti ia memerlukan perubahan atau pertukaran arah.
Sedangkan yang memerlukan perubahan dan pertukaran arah memerlukan ruang
dan waktu. Padahal Allah tidak perlu ruang dan waktu.

B. Al-Farabi
1. Profil
Nama aslinya Abu Nasr Muhammad Bin Muhammad Bin Lharkhan ibn
Uzalagh al Farabi, lahir di kota Wesij tahun 259H/872,13 selisih satu tahun setelah
wafatnya filosof muslim pertama yaitu al-Kindi. Ayahnya dari Iran menikah dengan
wanita Turki kemudian ia menjadi perwira tentara Turki. Atas dasar itulah al-Farabi
dinasabkan sebagai orang Turki.14 Karir pemikiran filsafatnya dalam menjembatani
pemikiran Yunani dan Islam terutama dalam ilmu logika (manthiq) dan filsafat sangat
gemilang, sehingga gelar sebagai guru kedua (al-mu’allim tsāni), layak disematkan.
Diriwayatkan telah belajar logika di Baghdad dari para sarjana Kristen Yuhanna ibn
Hailan (w. 910 M) dan Abu Bisyr Matta (w.940 M), perlu segera dicatat bahwa,
Baghdad saat itu termasuk pewaris utama tradisi filsafat dan kedokteran di
Alexandria.15 Pertemuan dan pergumulan pemikiran di Baghdad nantinya menjadi
konektor pemikiran al-Farabi yang meramu filsafat Islam dengan filsafat Yunani
Neo-Platonis, 16 Al-Farabi dalam perkembangannya juga tercatat sebagai guru Yahya
ibn Adi (w. 974 M), seorang penerjemah Kristen Nestorian sebagai tokoh logika Ibn
al-Sarraj.17 Karir pendidikannya cukup panjang hingga pada tahun 330/941 M.
AlFarabi meninggalkan Baghdad menuju Aleppo kemudian ke Kairo dan
menghembuskan nafas terakhirnya di Damaskus, tepatnya pada bulan Rajab pada
tahun 339 H atau Desember 950 M.
Beliau termasuk filosof yang produktif dalam melahirkan berbagai karya tulis,
baik berupa buku maupun berupa tulisan essai pendek dan makalah. Di antara
karyanya adalah; Aghrādh mā Ba’da al-Thābi’ah, Al-Jam’u Baina Ra’yai al-
Hākimain, karya ini menurut beberapa sumber berisi tentang kemampuan al-Farabi
mengulas dan mempertemukan pemikiran filsafat Plato dan Aristoteles.
Karya penting lainnya adalah Risālah al-Itsbāt al-Mufāraqāt, At-Ta’līqāt,
alJam’u Baina Ra’yu al-Hākimain, kitab al-Siyāsāt al-Madīnah al-Fadhīlah, al-
Mūsiqā alKabīr, Risālah Tahsīl al-Sā’adah,‘Uyūn al-Masāil, al-Madīnah al-
Fadhīlah, Ārā’ Ahl alMadīnah al-Fadhīlah, adapun al-Ihshā al-Ulūm konon
merupakan karya terakhir sebelum ia wafat. 20 Bukti bahwa al-Farabi sebagai filosof
yang mendalami filsafat Aristoteles adalah konon pada saat Ibn Sina tidak memahami
isi Maqālah fī Aghrād al-Hakīm fī Kulli Maqālah al-Marsūm bi al-Hurūf karya
Aristoteles dan ia membacanya berulangkali hingga 40 kali, akhirnya berlabuh pada
karya al-Farabi yang berjudul Tahqīq Gharad Aristātālīs fī Kitāb mā Ba’da al-
Thabī’ah kemudian tersingkap ‘tabir gelap’ isi pemikiran karya Aristoteles tersebut.
2. Pemikiran
Mengawali filsafat emanasi versi al-Farabi, mungkin akan lebih mudah
dimengerti bila dilihat melalui tangga filsafat metafisika neo-platonisme, keduanya
mempunyai kedekatan dalam pola pikirnya. Menurut Plato (w. 347 SM) di balik
wujud alam ini, ada alam ide (‘alam mitsāl) yang kekal dan abadi. Ide-ide abadi
tersebut bersifat non material bersifat tetap dan tidak berubah-ubah.25 Dunia ide
adalah dunia kekal dan abadi, sementara yang tampak di dunia ini adalah dunia
bayang-bayang atau copy dari dunia ide yang abadi tersebut. Dunia ide tetap ada dan
kekal meskipun dunia bayangannya musnah, seperti manusia ini akan musnah tetapi
dunia ‘ide’ manusia akan abadi selamanya, dengan pemikirannya yang selalu
berkaitan dengan ide ini, menujukkan bahwa Plato termasuk aliran filsafat idealisme.
Dengan membagi realitas menjadi dua seperti itu, Plato berusaha mempertemukan
antara ‘filsafat ada’ menurut Parmenindes dan ‘filsafat menjadi’ menurut Heraklitos.
Lain Plato lain pula Aristoteles (w. 324 SM) selaku murid Plato, ia mencoba
melengkapi gagasan Plato yang masih sederhana, baginya ide-ide yang dijelaskan
plato tidak menghasilkan jawaban apa-apa. Aristoteles memecah dualisme Plato
antara alam idea dan alam materi dengan mengemukakan bahwa, alam ide dan materi
itu menyatu, sejalan dengan filsafat metafisikanya Aristoteles bahwa setiap benda
terdiri dari jiwa (matter) dan bentuk (form) jiwa adalah substansinya sedangkan
melalui bentuk itulah jiwa menampakkan eksistensi. Ia telah mengatasi dualisme
Plato tentang idea dan wujud, sedangkan Aristoteles lebih kepada jiwa dan materi
menyatu dalam sebuah wujud. Penggeraknya –menurut Aristoteles─ adalah sesuatu
yang tak bergerak yang bersifat abadi dan kekal atau lebih dikenal dengan penggerak
yang tidak bergerak (al-muhārik al ladzī lam yatakharrāk) yaitu Tuhan atau dikenal
dengan causa prima.
Bagi neo-platonis, akal menjadi adalah wujud yang paling jelas ‘menyerupai’
Tuhan dari segala alam semesta. Kemudian dari akal tersebut ber-emanasi dan
menghasilkan jiwa, jiwa-jiwa ini mempunyai daya pemahaman dan melahirkan
bentuk. Ada tiga jiwa yang berbeda yaitu jiwa tumbuhan, hewan dan manusia. dari
jiwa melahirkan jasad yang merupakan pelimpahan wujud tingkat ketiga,
3. Pengaruh
Akal dalam pemikiran filsafat al-Farabi menempati tempat istimewa sebagai
pangkal epistemologinya, termasuk filsafat metafisika yang berhubungan dengan
penciptaan. Konsep akal ini erat kaitannya dengan teori kenabian, di mana akal Nabi
mampu berhubungan dengan akal ke sepuluh untuk mendapatkan gambaran ‘ada’ dari
yang abstrak berupa pengetahuan. Secara garis besarnya akal menurut al-Farabi
dibagi menjadi dua yaitu :
a. akal praktis yang berfungsi menyelesaikan hal hal tekhnis dan keterampilan,
b. akal teoritis yang membantu jiwa mendapatkan inspirasi atau ilham,
Dari akal teoritis tersebut ia mampu menangkap konsep yang tak bermateri
(akal actual), kemampuan akal aktual ini dalam menangkap obyek-obyek yang
abstrak semata mata hanya dimiliki oleh orang orang tertentu, termasuk di dalamnya
adalah Nabi dan Filosof, atau disebut dengan akal intelektual.
Melalui akal intelektual, manusia bisa mencerap hal-hal abstrak yang sama
sekali tidak berhubungan dengan materi, bagi seorang Nabi dengan akal intelektual
akal mustafadh, seorang Nabi bisa menerima kode atau isyarat wahyu. 42 Sedangkan
upaya filosof untuk berkomunikasi dengan akal fa’al melalui akal intelektual dapat
dicapai melalui jalan kontemplasi dan perenungan atau melalui kegiatan berfikir
mendalam terhadap sesuatu. Akal inilah yang nantinya akan menjadi modal bagi kita
untuk memahami konsep kenabian (nubuwwah) al-Farabi.

C. Ibnu Sina
1. Profil
Nama lengkapnya adalah Abu Ali al-Husein ibn Abdulah Ibn Sina, seorang
alhakim al-masyhur (filosof yang sangat terkenal), sehingga ia di beri gelar al-Syeikh
al-Ra’is. Ia dilahirkan pada tahun 370 H/980 M, di kampung Afsyanah dekat kawasan
Bukhara. Pada usia sepuluh tahun ia sudah hapal al-Qur’an, sastra, menghapal
beberapa pokok agama (Islam), matematika, al-Jabar dan debat (logika). Pada usia
enam belas tahun ia telah dikenal sebagai seorang dokter yang ahli dalam berbagai
macam penyakit. Dalam usia delapan belas tahun, ia telah menguasai filsafat dan
berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti: matematika, astronomi, musik, mistik,
bahasa dan ilmu hukum Islam. Namanya semakin terkenal dalam ilmu kedokteran,
terutama setelah ia mampu menyembuhkan penyakit yang diderita oleh Sultan
Bukhara, dan sebagai imbalannya ia diberi hadiah perpustakaan pribadinya yang
berisi buku-buku yang jarang diperoleh di perpustakaan lainnya. Namun,
perpustakaan itu terbakar dan Ibn Sina mengalami nasib buruk. Ia dipenjara, karena
dituduh sebagai pelakunya.
Kesungguhannya yang luar biasa dalam mencari ilmu dan bekerja. Siangnya ia
gunakan untuk mencari nafkah dan malamnya ia habiskan untuk bertafakur. Ia sering
kali tampak dimasjid, berdoa, beribadah dan membaca. Diriwayatkan bahwa ia pernah
membaca empat puluh kali buku metafisika karangan Aristoteles, tetapi tidak
dipahaminya. Kebetulan ada pedagang buku yang menawarkan buku bekas
kepadanya dengan harga sangat murah, lalu ia beli setelah menolaknya beberapa kali.
Alangkah gembiranya Ibn Sina setelah diketahui bahwa buku itu adalah karya al-
Farabi. Lalu ia baca, sehingga dengan mudah ia memahami buku Aristoteles tersebut
dan semuanya ia hapal.
2. Pemikiran
Objek kajian falsafah [hikmah], menurut Ibnu Sina terbagi menjadi dua bagian:
Pertama, hikmah nadzariyah (ilmu teoritis) adalah bertujuan untuk membersihkan
jiwa melalui ma’rifat. Yang termasuk ilmu ini adalah membahas masalah-masalah
metafisika (ketuhanan), riyadhiyah (Matematika), dan thabi’iyah (Fisika).
Keduahikmah ‘Amaliyah (IlmuIlmu Praktis). Yang termasuk bagian dari ilmu-ilmu
praktis adalah: Etika (Khuluqiyah), mengatur pergaulan keluarga dalam rumah
tangga, ekonomi (Tadbir alManzil), mengatur pergaulan umat dalam Negara (Tadbir
al-Madinah) dan kenabian.
a. Teori Ontologi Ibn Sina
Filsafat Ibn Sina yang menandai puncak filsafat paripatetik Islam,
didasarkan pada ontology, sehingga Ibn Sina disebut juga sebagai ‘filosof wujud”.
Ada tiga hukum menurut ibn Sina untuk membedakan “wujud murni” dengan
“eksistensi dunia”. Ibn Sina membuat pembedaan fundamental diantara ketiganya:
Pertama, al-Wajib al-Wujud (wujud yang wajib) adalah realitas yang harus ada,
dan tidak bisa tidak ada. Hanya ada satu realitas dan itu al-Wajib alWujud, yakni
Tuhan. Eksistensi Tuhan adalah Esa (wahdah), simple/simpisitas (sederhana),
harus basit (tidak tersusun baik dari unsur-unsur dan organ-organ). Tuhan simple,
artinya tidak muraqab (tersusun) dari zat dan sifat. Lalu Ibn Sina membagi “Wajib
Wujud” kepada dua bagian, yaitu al-Wajib al-Wujud bi dzatihi, dan al-Wujud al-
Wujud bi ghairihi.
b. Filsafat Emanasi dan Kosmologi Ibn Sina
Teori emanasi berasal dari Plotinus sang filosof yang berkontemplasi,
pemikiran plotinus disebut “Yang Satu” (totten). Yang Satu itu adalah Yang tak
Berhingga Dan Absolut. Dengan Lain perkatan “Yang Satu adalah Allah. Dari
kesatuan yang tak berdiferensiasi itu keluarlah kebaikkan dari “Yang Satu”
melalui semacam emanasi atau radiasi. Filsafat emanasi dalam teologi dan
falsafah Islam bermaksud untuk memurnikan tauhid. Emanasi ialah teori tentang
keluarnya suatu Wujud Mumkin (alam makhluk) dari Zat yang Wajib alWujud
(Zat yang mesti adanya; Tuhan). Teori ini disebut juga “ teori Urut-urutan wujud”.
Pemurnian tauhid inilah yang menimbulkan filsafat emanasi (al-Faid, pancaran).
Yang Maha Esa berpikir tentang diri-Nya yang Esa, dan pemikiran merupakan
daya atau energi. Karena pemikiran Tuhan tentang diri-nya merupakan daya yang
dahsyat, maka daya itu menciptakan sesuatu yang diciptakan pemikiran Tuhan
tentang dirinya itu adalah akal pertama atau wujud pertama yang keluar dari
Tuhan.
Dalam diri yang Esa atau Akal I inilah mulai terdapat arti banyak. Objek
pemikiran Akal I adalah Tuhan dan dirinya sendiri. Pemikiraannya tentang Tuhan
menghasilkan Akal II dan pemikiran tentang dirinya menghasilkan Langit
Pertama. Akal II juga mempunyai objek pemikiran, yaitu Tuhan dan dirinya
sendiri. Pemikirannya tentang Tuhan menghasilkan Akal III.
3. Pengaruh
Falsafah yang terbaik mengenai jiwa adalah pemikiran yang diberikan Ibn
Sina (980-1037 M). Jiwa sebagai prinsip kehidupan, merupakan sebuah pancaran
(emanasi) dari akal kecerdasan aktif. Definisi yang umum tentang jiwa adalah
“Kesempurnaan yang pertama dalam tubuh organic”, baik ketika ia dibentuk tumbuh
dan diberi makan (seperti dalam kasus jiwa hewani), atau ketika ia memahami hal-hal
universal dan bertindak berdasarkan pertumbuhan yang mendalam (seperti kasus
dalam jiwa insani). Ibn Sina sama dengan al-Farabi ia membagi jiwa ke dalam tiga
bagian. Pertama, Jiwa nabati (ruh nabati), ia mempunyai daya makan, tumbuh dan
berkembang biak. Kedua, jiwa binatang (ruh Haywani) yang mempunyai daya gerak
pindah dari satu tempat ketempat yang lain dan daya menangkap dengan panca
indra.Misal; pendengaran, penglihatan, perasa, peraba, juga indra yang ada diotak.
Misal: menerima pesan indra, pengingat (memory) yang mengkode (menyimpan) arti-
arti. Ketiga, Jiwa manusia (ruh Insani), mempunyai satu daya, yaitu berpikir yang
disebut akal.Akal terbagi dua: Akal praktis (al-Aql al-Fa’al) yang menerima arti-arti
yang berasal dari materi melalui indra pengingat yang ada dari jiwa binatang. Akal
teoritis (al-aql al-Nadhari) yang menangkap arti-arti murni yang tak ada dalam materi
seperti Tuhan, ruh dan Malaikat. Akal yang memungkinkan kita membentuk konsep-
konsep universal, memahami berbagai macam makna dan saling hubungan antara
berbagai hal, melibatkan diri dalam diskusi argumentative dan memiliki pemikiran
abstak secara umum. Sebagai bahan komparasi dalam Piaget’s Cognitive-Stage
Theory (teori tingkatan kognitif Jean Piaget) dikenal dengan istilah “Formal
Operational Period” yaitu periode manusia yang sudah mampu menggunakan
akalnya untuk berpikir logis, sistimatis dan berpikir abstrak (akal teoritis).

Anda mungkin juga menyukai