Anda di halaman 1dari 6

KELOMPOK VI

Nama: M. Rayhan Hidayat & Reksi Saputra


NIM: 11830114564 & 11830111410
Kelas; VI B
Matkul: Filsafat Islam
Dosen Pengampuh: Dr. H. Kasmuri Slamet, Ma.

Al-Kindi dan Filsafatnya

A. Riwayat Hidup al-Kindi


Nama: Abu Yusuf Ya`kub ibn Ishaq ibn Sabbah ibn Imran ibn Ismail al-Ash`ats ibn Qais
al-Kindi.
Lahir: Sekitar 801 M, di Kufah (Iraq sekarang) pada masa khalifah harun Al_Rasyid
(786-809 M) dari Dinasti Bani Abbas (750-1258 M).
Wafat: 873 M, di Bahdad
Nama “al-Kindi” sendiri dinisbatkan kepada marga atau suku leluhurnya, salah
satu suku besar zaman pra-Islam. Menurut Faud Ahwani, al-Kindi lahir dari keluarga
bangsawan, terpelajar dan kaya. Ismail al-Ash`ats ibn Qais, buyutnya, telah memeluk
Islam pada masa Nabi dan menjadi shahabat Rasul. Mereka kemudian pindah ke Kufah.
Di Kufah sendiri, ayah al-Kindi, Ishaq ibn Shabbah, menjabat sebagai Gubernur, pada
masa khalifah al-Mahdi (775-785 M), al-Hadi (785-876 M) dan Harun al-Rasyid (786-
909 M), masa kekuasaan Bani Abbas (750-1258 M).
Pendidikan al-Kindi dimulai di Kufah, dengan pelajaran yang umum saat itu,
yaitu al-Qur’an, tata bahasa Arab, kesusasteraan, ilmu hitung, fiqhdanteologi.Yang perlu
dicatat, kota Kufah saat itu merupakan pusat keilmuan dan kebudayaan Islam, di samping
Basrah, dan Kufah cenderung pada studi keilmuan rasional (aqliyah).
Kondisi dan situasi inilah tampaknya yang kemudian menggiring al-Kindi untuk memilih
dan mendalami sains dan filsafat pada masa-masa berikutnya.
Al-Kindi kemudian pindah ke Baghdad. Di ibu kota pemerintahan Bani Abbas ini
al-Kindi mencurahkan perhatiannya untuk menterjemah dan mengkaji filsafat serta
pemikiran-pemikiran rasional lainnya yang marak saat itu. Menurut al-Qifthi (1171-1248
M), al-Kindi banyak menterjemahkan buku filsafat, menjelaskan hal-hal yang pelik dan
meringkaskan secara canggih teori-teorinya. Hal itu dapat dilakukan karena al-Kindi
diyakini menguasai secara baik bahasa Yunani dan Syiria, bahasa induk karya-karya
filsafat saat itu. Berkat kemampuannya itu juga, al-Kindi mampu memperbaiki hasil-hasil
terjemahan orang lain, misalnya hasil terjemahan Ibn Na`ima al-Himsi, seorang
penterjemah Kristen, atas buku Enneads karya Plotinus (204-270 M); buku Enneadsinilah
yang dikalangan pemikir Arab kemudian disalahpahami sebagai buku Theologikarya
Aristoteles (348-322 SM).

B. Keselarasan Antara Agama dan Filsafat


Al Kindi berusaha memadukan antara agama dan filsafat. Menurutnya, filsafat
adalah pengetahuan yang benar. Al Qur’an yang membawa argumen-argumen yang lebih
meyakinkan dan benar tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang dihasilkan
filsafat. Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi
tujuan dari keduanya. Apabila filsafat hanya mempergunakan akal, maka agama
mempergunakan wahyu sekaligus akal.
Filsafat dan agama dibedakan Al Kindi secara tajam dalam risalah “Jumlah karya
Aristoteles”, yang bertentangan dengan pendapat umumnya bahwa ilmu agama (Teologi)
adalah bagian dari filsafat. Pandangan al Kindi mengenai keduanya dapat disimpulkan
sebagai berikut :
1. Bahwa kedudukan Teologi lebih tinggi daripada filsafat
2. Bahwa agama merupakan ilmu Ilahiah, sedang filsafat adalah ilmu Insani
3. Bahwa jalur agama diperoleh lewat keimanan, sedang jalur filsafat adalah akal
4. Bahwa pengetahuan Nabi diperoleh langsung melalui wahyu, sedangkan pengetahuan
para filosof diperoleh melalui logika dan pemaparan.
Disamping argumen rasional di atas, Al Kindi juga mengacu pada al Qur’an yang
banyak menyuruh meneliti dan mengamati segala macam fenomena yang terdapat di
alam. Diantaranya adalah QS. Al A’raf ayat 185.

‫سى أنْ يَ ُك ْونَ قَ ِد ا ْقت ََر َب‬


َ ‫ش ْي ٍئ َوأنْ َع‬ َ َ‫ض َو َما َخل‬
َ ْ‫ق هللاُ ِمن‬ ِ ‫األر‬
ْ ‫ت َو‬
ِ ‫س َم َوا‬
َّ ‫ت ال‬ِ ‫أ َولَ ْم يَ ْنظُ ُروا فِي َملَ ُكو‬
َ‫ث بَ ْع َدهُ يُؤ ِمنُ ْون‬ ِّ ‫أجلُ ُه ْم فَبِأ‬
ٍ ‫ي َح ِد ْي‬ َ
“Dan apakah mereka tidak memperhatikan kerajaan langit dan bumi dan segala sesuatu
yang diciptakan Allah, dan kemungkinan telah dekatnya kebinasaan mereka? Maka
kepada berita manakah lagi mereka akan beriman selain kepada Al Qur’an itu?” (QS.
Al A’raf: 185)

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa keselarasan anatara agama dan


filsafat berlandaskan pada 3 alasan, yaitu:
1. ilmu agama merupakan bagian dari filsafat.
2. Wahyu yang diturunkan kepada Nabi dan kebenaran filsafat saling bersesuaian.
3. Menuntut ilmu secara logika diperintahkan agama.

Namun demikian, tidak bisa dipungkiri perbedaaan keduanya, sebagaimana


dijelaskan Al Kindi sebagai berikut:
1. filsafat termasuk humaniora yang dicapai filosof dengan berpikir dan belajar.
Sedangkan agama adalah ilmu ketuhanan yang diperoleh tanpa melalui proses belajar
dan hanya diterima secara langsung oleh para Easul dalam bentuk wahyu.
2. Jawaban filsafat menunjukkan ketidakpastian (semu) dan memerlukan pemikiran
(perenungan). Sedangkan agama lewat dalil-dalilnya yang dibawa al Qur’an memberi
jawaban pasti dan meyakinkan dengan mutlak.
3. Filsafat mempergunakan metode logika sedangkan agama mendekatinya dengan
keimanan.
C. Filsafat Ketuhanannya
Konsep ketuhanan al-Kindi dibangun atas dasar metafisika. Dalam metafisikanya
dititik beratkan kepada masalah hakikat Tuhan, bukti-bukti, dan sifat Tuhan. Menurutnya
Tuhan adalah wujud yang haq (benar), yang bukan asalnya dari tidak ada menjadi ada, Ia
selalu mustahil tidak ada, Ia selalu ada dan akan selalu ada.Jadi Tuhan adalah wujud
sempurna yang tidak didahului wujud yang lain, tidak berakhir wujud-Nya dan tidak ada
kecuali dengannya.
Hal ini yang membedakan dengan Aristoteles. Dalam beberapa hal, doktrin-
doktrin filosofisnyadan segi peristilahan, al-Kindimengadopsi dari Aristoteles, akan tetapi
hal tersebut tidak diambil secara penuh oleh al-Kindi,diadapsi dan disaring sehingga hasil
ijtihadnya berbeda dari sumber asalnya.
Tuhan dalam filsafat al-Kindi mempunyai hakikat dalam arti an-niyah maupun
ma’hiyyah. Tuhan bukanlah benda, dan tidak termasuk benda yang ada di alam. Ia
pencipta alam. Ia tidak tersusun dari materi dan bentuk. Tuhan juga tidak mempunyai
hakikat dalam bentuk ma’hiyah, karena Tuhan tidak merupakan genus atau spesies.
Tuhan hanya satu, tidak ada yang serupa dengan-Nya. Ia adalah unik, ia adalah Yang
Benar Pertama (al-Haqq al-awal)dan yang Maha Benar (al-Haqq al-wahid). Ia hanya satu
dan semata-mata satu. Selain dia mengandung arti banyak.
Sesuai dengan ajaran paham Islam, Tuhan bagi al-Kindi adalah pencipta dan
bukan penggerak pertama seperti pendapat Aristoteles. Alam bagi al-Kindi bukan kekal
di zaman lampau (qodim), tetapi mempunyai permulaan. Karena itu dalam hal ini ia lebih
dekat dengan filsafat Plotinus yang mengatakan bahwa yang Maha satu (to-Hen)adalah
sumber dari alam ini dan sumber dari segala yang ada. Alam ini adalah emanasi atau
pancaran dari Yang Maha Satu. Namun, paham emanasi (nazzariyyat al-fayadl)al-Kindi
itu tidak begitu jelas.
Tuhan digambarkan oleh al-Kindi sebagai sesuatu yang bersifat tetap, tunggal,
ghaib dan penyebab sejati gerak. Dalam al-Sina’at al-‘uzma, al-Kindi memaparkan Al-
Kindi berkata: “Karena Allah Maha terpuji, Dia adalah penyebab gerak ini,yang abadi
(qadim), maka Ia tidak dapat dilihat dan tak bergerak, penyebab gerak tanpa
menggerakkan diri-Nya. Inilah gambaran-Nya bagi yang memahaminya lewat kata-kata
sederhana:
“Ia tunggal sehingga tak dapat dipecah-pecah lagi menjadi lebih tunggal. Ia tak
terlihat, karena ia tak tersusun dan tak ada susunan bagi-Nya, tetapi sesungguhnya ia
terpisah dari segala yang dapat dilihat, karena Ia..... adalah penyebab gerak segala yang
dapat dilihat.”
Gagasandasar Islam tentang Tuhan adalah keEsaan-Nya, penciptaan oleh-Nya
dari ketakadaan, dan ketergantungan semua ciptaan kepada-Nya.

D. Ruh Dan Akal Dalam Pandangan al-Kindi


Ruh dipandang sebagai intisari dari manusia dan filosof-filosof Islam banyak
memperbincangkan hal ini. Menurut Al-Kindi, jiwa atau roh tidak tersusun, tetapi
mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Substansinya berasal dari substansi Tuhan
dan hubungannya dengan manusia sama dengan hubungan cahaya dengan matahari.
Karena pada hakikatnya bersifat Ilahi dan spiritual, maka Ruh berbeda dengan tubuh dan
bahkan bertentangan dengannya. Potensi-potensi keburukan nafsu birahi boleh jadi
mendorong manusia untuk berbuat keji, tetapi ruh akan mengekangnya.
Fakta ini membuktikan bahwa ruh Rasional yang tetap mengawasi kecakapan-kecakapan
itu berbeda dengan dengan kecakapan-kecakapan tersebut. Ketika meninggalkan tubuh,
ruh akan bersatu kembali dengan dunai real tempat cahaya Pencipta terbit.
Pemikiran tentang ruh dalam filsafat Al-Kindi banyak dipengaruhi oleh ide-ide
Aristoteles, Plato dan Plotinus. Al-Kindi mendefenisikan ruh sebagai; “Kesempurnaan
awal bagi fisik yang bersifat alamiah, mekanistik, dan memilikikehidupan yang energik,
atau kesempatan fisik alami yang mempunyai alat dan mengalami kehidupan”. Defenisi
ini merupakan defenisi yang digagas Aristoteles. Selain menerima defenisi yang digagas
Aristoteles, Al-Kindi juga menyebutkan defenisi yang ditengarai bersumber dari Plato
dan Plotinus, yakni sebagai “elemen yang mempunyai kehormatan, kesempurnaan,
berkedudukanluhur, dan substansinya berasal dari substansi Sang Pencipta”. Defenisi ini
oleh Al-Kindi dialamatkan pada ruh rasional yang disebutnya dengan al-Nafsal-Nathiqah.
Menurutnya, ruh ini merupakan substansi yang bersifat ilahi, rabbani dan berasal dari
Cahaya Pencipta, substansi sederhana yang tidak fana, substansi yang turun dari dunia
akal ke dunia indera dan dianugerahi kekuatan memori akan masa lalunya.
Menurut Al-Kindi, ruh manusia itu mempunyai 3 (tiga) daya, yaitu; (a) daya
berpikir (al-quwwah al-‘aqliyah), (b) daya marah (al-quwwah al-gadhabiyah), dan (c)
daya syahwat (al-quwwah al-syahwaniyah). Daya berpikir itu disebut akal. Sementara
akal terdiri dari tiga tingkat; (a) Akal yang masih bersifat potensial (al-quwwah), (b) Akal
yang telah keluar dari potensial menjadi aktual (Al-Fi’l), dan (c) Akal yang telah
mencapai tingkat kedua dari aktualitas (al-‘ql al-tsany), akal kedua. Sedangkan akal yang
bersifat potensial tidak akan menjadi aktual jika tidak ada kekuatan yang
menggerakannya dari luar, yang mempunyai wujud tersendiri diluar ruh manusia. Akal
tersebut adalah akal yang selamanya aktualis (al-‘aql al-ladzi bi al-fi’l abadan), dan ini
memiliki ciri-ciri sebagai berikut: (a) merupakan Akal Pertama, (b) selamanya dalam
aktualitas, (c) merupakan species dan genus, (d) membuat akal potensial menjadi aktual
berpikir, dan (e) tidak sama dengan akal potensialtetapi lain dari padanya.

Anda mungkin juga menyukai