Anda di halaman 1dari 17

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Aqidah ilmu kalam sebagaimana diketahui, membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu
agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk-beluk agamanya secara mendalam, perlu
mempelajari akidah yang terdapat dalam agamanya. Mempelajari akidah/teologi akan
memberi seseorang keyakinan-keyakinan yang berdasarkan pada landasan yang kuat, yang
tidak mudah diombang-ambingkan oleh peredaran zaman.
Teologi dalam Islam disebut juga ilmu At-Tauhid. Kata Tauhid mengandung arti
satu/esa dan keEsaan dalam pandangan Islam merupakan sifat yang terpenting diantara sifat-
sifat Tuhan. Teologi Islam disebut juga ilmu kalam.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ilmu Kalam


Secara harfiah, kalam berarti “Pembicaraan”. Secara istilah, kalam tidak dimaksudkan
“pembicaraan” dalam pengertian sehari-hari, melainkan dalam pengertian “pembicaraan yang
bernalar dengan menggunakan logika. Karena itu, ciri utama ilmu kalam ialah rasionalitas
atau logika.1
Ilmu Kalam juga adalah suatu studi ilmu yang membahas berbagai aliran tentang
akidah dengan dalil-dalil aqliyah (rasional ilmiah) dan naqliah sebagaimana pandangan-
pandangan para terkemuka :

Seperti Menurut Syaikh Muhammad Abduh (1849-1905)

‫َو َم اُجَيْو ُز َأْن ُيْو َص َف ِبِه َو َم اِجَيُب َأْن‬، ‫الَتْو ِح ْيُد ِعْلٌم ُيْبَح ُث ِفْيِه َعْن ُوُجْو ِد اِهلل َو َم اِجَيُب َأْن َيْثُبَت َلُه ِم ْن ِص َف اٍت‬
‫ِن‬ ‫ِه‬ ‫ِت‬ ‫ِت‬
‫ َو َم اُجَيْو ُز َأْن ُيْنَسَب ِإَلْيِه ْم َو َم ا ْمَيَت ُع َأْن ُيْلَحَق‬، ‫ َو َعِن الُّر ُس ِل ِإِل ْثَبا ِر َس اَل ِه ْم َو َم اِجَي ُب َأْن َيُك ْو ُنْو اَعَلْي‬،‫ُيْنَف ى َعْنُه‬
‫ِهِب‬
‫ْم‬
“Ilmu yang membahas tentang wujud Allah, sifat-sifat yang wajib baginya, sifat-sifat
yang jaiz disifatkan kepada-Nya, dan tentang sifat-sifat yang mustahil bagi-Nya. Membahas
juga tentang Rasul-rasul Allah untuk menetapkan kebenaran risalahnya, apa yang wajib
pada dirinya, hal-hal yang jaiz padanya dan hal-hal yang mustahil padanya”.

Adapun Ibnu Khaldun mendefinisikan Ilmu Kalam adalah disiplin ilmu yang
mengandung berbagai argumentasi tentang akidah imani yang diperkuat dalil-dalil rasional
untuk mempertahankan kepercayaan-kepercayaan iman.
Apabila kita rinci, pembahasan ilmu kalam meliputi:
1. Nama dan sifat Allah;
2. Sifat Rasul
3. Qudrah (kekuasaan) dan iradah (kehendak) Allah Swt;
4. Kebebasan kehendak manusia;
1
Emsoe Abdurrahman dan Apriyanto Ranoedarsono, The Amazing Stories Of al-Quran Sejarah Yang
Harus Dibaca, (Bandung: PT Karya Kita, 2009), hlm. 133

2
5. Qadha dan qadar;
6. Abadi atau tidaknya surga dan neraka; serta
7. Makhluk atau tidaknya al-Qur’an
B. Nama-nama Lain Ilmu Kalam
1) Ilmu Kalam
Adapun ilmu ini dinamakan ilmu kalam karena beberapa sebab antara lain :
a) Persoalan yang terpenting pada abad permulaan hijriah adalah apakah kalam
Allah (al-Qur’an) itu qodim atau hadist. Karena itu ilmu kalam adalah bagian
yang terpenting.
b) Dasar ilmu ini merupakan dalil-dalil rasional dan pengaruh dalil rasional ini
tampak jelas dalam pembicaraan para mutakalimin. Mereka terkadang
menggunakan dalil naqli (al-Qur’an dan Hadist).
2) Ilmu Tauhid
Ilmu Tauhid ini mengemukakan tentang keesaan Allah. Menurut Ulama-ulama
ahli Sunah mengatakan bahwa :

‫ ا ِح ٌد ىِف ِص َف اِتِه اَألَز ِلَّيِة َالَنِظ ْي َلُه ا ِح ٌد ىِف‬.‫َأَّم االَّت ِح ْيُد َأَّن اهلل َتَعاىَل اِح ٌد ىِف َذاِتِه َالَقِس ْي َلُه‬
‫َر َو َو‬ ‫َم َو َو‬ ‫َو‬ ‫َو ْو‬
‫ِلِه‬
‫َأْفَعا َالَش ِر ْيَك َلُه‬
“Adapun tauhid itu ialah bahwa Allah SWT itu Esa dalam Dzat-Nya, tidak terbagi-
bagi. Esa dalam sifat-sifatnya yang azali, tiada tara baginya dan Esa dalam perbuatan-
perbuatannya.”
3) Ilmu Ushuluddin
Ilmu kalam dinamakan juga dengan Ilmu Ushuluddin karena ilmu ini membahas
tentang prinsip-prinsip agama Islam.

‫ِعْلُم ُأُصْو ِل الِّد ْيِن ُه َو ِعْلٌم ُيْبَح ُث ِفْيِه َعْن ُأُصْو ِل الَعَق اِء ىِد الِّد ْيِنَّيِة ِباَألِد َّلِة الَق ْطِعَّيِة َو الَعْق ِلَّية‬
“Ilmu Ushuluddin ialah ilmu yang membahas tentang prinsip-prinsip kepercayaan
agama dengan dalil-dalil yang qath’i (Al-Qur’an dan Hadits Mutawatir, pen) dan dalil-dalil
aqli.”
4) Ilmu Akidah atau Aqo’id

3
Ilmu ini membicarakan tentang kepercayaan Islam yang didalamnya terdapat hal-hal
yang diyakini.2
C. Sebab-sebab Berdirinya Ilmu Kalam
Ilmu kalam sebagai ilmu yang berdiri sendiri belum dikenal pasa masa Rosulullah,
maupun pada masa sahabat-sahabatnya. Ilmu kalam baru dikenal pada masa setelahnya,
setelah ilmu-ilmu keislaman yang lain satu per satu muncul dan setelah banyak orang yang
membicarakan tentang kepercayaan alam gaib (metafisika). Banyak faktor yang
mempengaruhi munculnya ilmu kalam, tetapi secara umum dapat digolongkan kepada dua
bagian, yaitu faktor-faktor yang datang dari dalam Islam dan kaum muslim sendiri (intern)
dan faktor-faktor yang datang dari luar mereka (ekstern) yaitu adanya kebudayaan-
kebudayaan lain dan agama-agama yang bukan Islam.3
A. Faktor Intern
1. Al-Qur’an, disamping ajakannya kepada tauhid dan mempercayai kenabian dan hal-
hal lain yang berhubungan dengan itu, menyinggung pula golongan-golongan dan
agama-agama yang ada pada masa Nabi Muhammad saw, yang mempunyai
kepercayaan-kepercayaan yang tidak benar. firman Allah dalam al-Qur’an telah
membantah alasan-alasan dan perkataan-perkataan mereka semua dan juga
memerintahkan kepada Nabi Muhammad untuk teteap menjalankan dakwahnya
sambil menghadapi alasan-alasan mereka yang tidak percaya dengan cara yang halus.
Sebagaimana di jelaskan dalam firman Allah dalam Q.s an-Nahl: 125 yang berbunyi:
         
              

Artinya “serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah[845] dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu
Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang
lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk”.

“Ketika kaum Muslimin selesai membuka negeri-negeri baru untuk masuk Islam,
mereka mulai tentram dalam pikirannya, di samping itu melimpahnya rezeki. Di sinilah mulai
mengemukakan persoalan agama dan berusaha mempertemukan nas-nas agama yang
kelihatannya saling bertentangan. Keadaan ini adalah gejala umum bagi tiap-tiap agama
2
Prof. Dr. K.H. Sahilun A. Nasir, M. Pd. I, Pemikiran Kalam (Teologi Islam) Sejarah, Ajaran, dan
Perkembangannya, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010), hlm. 4-5
3
Ahmad Hanafi, Teologi Islam, (Jakarta: PT Bulan Bintang, 2010), hlm. 7

4
bahkan pada tiap-tiap masyarakat pun terdapat gejala tersebut. Pada awalnya agama itu
hanyalah kepercayaan-kepercayaan yang kuat dan sederhana, tidak perlu diperselisihkan dan
tidak memerlukan penyelidikan. Para penganutnya menerima bulat-bulat apa yang diajarkan
agama, kemudian dianutnya dengan sepenuh hati.
Sesudah itu datanglah fase penyelidikan dan pemikiran yang membicarakan soal-soal agama
secara filosofis. Di sinilah kaum Muslimin mulai memakai filsafat untuk memperkuat alasan-
alasannya. Sebagai contoh, orang-orang muslim dulu iman kepada qadar baik dan buruknya
dan iman sepenuhnya tanpa menenyakan lebih lanjut. Datanglah kemudian orang-orang yang
mengumpulkan ayat-ayat mengenai soal tersebut dan memfilsafatkannya.
2. Sebab yang ke tiga adalah persoalan politik. Ketika Rosulullah meninggal dunia,
beliau tidak mengangkat seorang pengganti. Karena itu antara sahabat Muhajirin dan
Ansar terdapat perselisihan, masing-masing menghendaki supaya pengganti Rasul
dari pihaknya.
Peristiwa terbunuhnya Usman menjadi titik yang jelas dari permulaan berlarut-
larutnya perselisihan bahkan peperangan di antara kaum Muslimin, sebab sejak waktu
itu, timbullah orang yang menilai dan menganalisa pembunuhan tersebut di samping
menilai perbuatan Usman r.a. sewaktu hidupnya. Menurut segolongan kecil, Usman
r.a salah bahkan kafir dan pembunuhnya berada dipihak yang benar, karena
perbuatannya yang dianggap salah selama memegang khilafat. Sebaliknya pihak lain
mengatakan bahwa pembunuhan atas Usman r.a. adalah kejahatan besar dan
pembunuh-pembunuhnya adalah orang-orang kafir, karena Usman adalah khalifah
yang sah dan salah seorang prajurit Islam yang setia. Penilaian yang saling
bertentangan kemudian menjadi fitnah dan peperangan yang terjadi sewaktu Ali r.a.
memegang pemerintahan.
B. Faktor Eksternal
1. Banyak diantara pemeluk-pemeluk Islam yang awalnya beragama Yahudi dan lain-
lain, bahkan diantara mereka ada yang pernah menjadi ulamanya. Setelah pikiran
mereka tenang dan sudah memegang teguh agama Islam mereka mengingat kembali
ajaran agamanya yang dulu, dan dimasukkannya ke dalam ajaran-ajaran Islam.
Karena itu, dalam buku-buku aliran dan golongan Islam sering kita jumpai pendapat-
pendapat yang jauh dari ajaran Islam yang sebenarnya.
2. Golongan Islam yang dulu, terutama golongan Mu’tazilah, memusatkan perhatiannya
untuk penyiaran Islam dan membantah alasan-alasan mereka yang memusuhi Islam.

5
Mereka tidak akan bisa menghadapi lawan-lawannya, kalau mereka itu sendiri tidak
mengetahui pendapat-pendapat lawan tersebut, beserta dalil-dalilnya. Oleh karena itu,
mereka harus menyelami pendapat-pendapat tersebut, dan akhirnya negeri Islam
menjadi arena perdebatan bermacam-macam pendapat dan bermacam-macam agama.
Salah satu seginya yang jelas adalah penggunaan filsafat sebagai senjata kaum
Muslimin.
3. Sebagai kelanjutan dari sebab tersebut, para mutakalimin hendak mengimbangi
lawan-lawannya yang menggunakan filsafat, maka mereka terpaksa mempelajari
logika dan filsafat, terutama segi ketuhanan.4
D. Ilmu Kalam dan Filsafat
Filsafat Yunani telah menarik perhatian kaum Muslimin, terutama sesudah ada
terjemahan buku-buku filsafat Yunani ke dalam bahasa Arab, Ilmu retorika, ilmu tentang
cara berdebat atau adabul bahtsi wal munadharah sebagai bagian dari filsafat Yunani
mendapat perhatian tersendiri dari kaum muslimin, sebagai suatu yang membicarakan tentang
cara berdebat.
Filsafat Yunani ternyata bukan hanya kalangan Mutakalimin saja yang mengambil
manfaat sebagai alat untuk memperkuat dalil-dalil kepercayaan Islam dalam menghadapi
lawan-lawannya, tetapi juga dari kalangan ahli-ahli filsafat Islam seperti al-Kindi, al-Farabi,
Ibnu Sina dan lain-lain.
Mutakalimin mengambil filsafat Yunani dan mempertemukannya dengan ajaran
Islam. Para Mutakalimin membuang hal-hal yang bertentangan dengan Islam dan mengambil
hal-hal yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Mutakalimin sebenarnya lebih dahulu
lahir daripada ahli-ahli filsafat Islam.
Antara ilmu kalam dan filsafat Islam ada perbedaan secara pembinaannya. Ilmu kalam
timbul secara berangsur-angsur dan mula-mula hanya berupa hal yang terpisah. Tetapi filsafat
ini seakan-akan serentak. Sebab bahan-bahannya diperoleh dari Yunani dan sebagaimana
dalam keadaan sudah lengkap atau hampir lengkap. Mereka ahli-ahli filsafat itu tinggal
mempertemukan dengan ajaran-ajaran agama. Filsafat Islam memasuki seluruh ilmu-ilmu ke-
Islaman di mana ilmu kalam merupakan puncak dari padanya.
B. Sumber-Sumber Ilmu Kalam
Sumber-sumber ilmu kalam dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu dalil naqli ( al-
Qur’an dan Hadits ) dan dalil aqli ( akal pemikiran manusia ). Al-Qur’an dan Hadits
4
Ibid. hlm,7-13.

6
merupakan sumber utama yang menerangkan tentang wujud Allah, sifat-sifat-Nya,
perbuatan-perbuatan-Nya dan permasalahan aqidah Islamiyah uang lainnya. Para mutakallim
tidak pernah lepas dari-dari nash-nash al-Qur’an dan Hadits ketika berbicara masalah
ketuhanan. Masing-masing kelompok dalam ilmu kalam mencoba memahami dan
menafsirkan al-Qur’an dan Hadits lalu kemudian menjadikannya sebagai penguat
argumentasi mereka.
Berikut ini adalah sumber-sumber ilmu kalam:
1. Al-Qur’an
Sebagai sumber ilmu kalam, Al-Qur’an banyak menyinggung hal yang berkaitan
dengan masalah ketuhanan,di antarannya adalah :
a. Q.S. Al-Ikhlas : 1-4. Ayat ini menunjukkan bahwa Allah Maha Esa.
b. Q.S. Asy-Syara : 7. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan tidak menyerupai apapun di
dunia ini. Ia Maha Mendengar dan Maha Mengetahui.
c. Q.S. Al-Furqan : 59. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan Yang Maha Penyayang
bertahta di atas “Arsy”. Ia pencipta langit,bumi, dan semua yang ada diantara keduannya.
d. Q.S.Al-Fath : 10. Ayat ini menunjukkan Tuhan mempunyai “tangan” yang selalu berada
diatas tangan orang-orang yang melakukan sesuatu selama mereka berpegang teguh
dengan janji Allah.
e. Q.S. Thaha : 39. Ayat ini menunjukkan bahwa Tuhan mempunyai “mata” yang selalu
digunakan untuk mengawasi seluruh gerak, termasuk gerakan hati makhluk-Nya.
Ayat-ayat diatas berkaitan dengan dzat, sifat, asma, perbuatan,tuntunan, dan hal-hal
lain yang berkaitan dengan eksistensi Tuhan. Hanya saja, penjelasan rinciannya tidak
ditemukan. Oleh sebab itu, para ahli berbeda pendapat dalam menginterpretasikan rinciannya.
Pembicaraan tentang hal-hal yang berkaitan dengan ketuhanan disistematisasikan yang pada
gilirannya menjadi sebuah ilmu yang dikenal dengan istilah ilmu kalam.
2. Hadist
Masalah-masalah dalam ilmu kalam juga disinggung dalam banyak hadits,
Diantarannya yaitu hadits yang menjelaskan tentang iman, islam, dan ihsan termasuk
menyinggu ilmu kalam,salah satu di antaranya juga
Adapula beberapa Hadits yang kemudian dipahami sebagian umat sebagai prediksi
Nabi mengenai kemunculan berbagai golongan dalam ilmu kalam, diantaranya :
“Hadits yang diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. Ia mengatakan bahwa Rasulullah
bersabda, “ Orang-orang Islam akan terpecah belah menjadi tujuh puluh dua golongan.”

7
“Hadits yang diriwayatkan dari Abdullah bin Umar. Ia mengatakan bahwa
Rasulullah bersabda, “ Akan menimpa umatku yang pernah menimpa Bani Israil, Bani Israil
telah terpecah belah menjadi 72 golongan dan umatku akan terpecah belah menjadi 73
golongan. Semuanya akan masuk neraka, kecuali satu golongan saja, “ Siapa mereka itu,
wahai Rasulullah?” tanya para sahabat. Rasulullah menjawab ‘mereka adalah yang
mengikuti jejakku dan sahabat-sahabatku’.
Syaikh Abdul Qadir mengomentari bahwa Hadits yang berkaitan dengan masalah
faksi umat ini, yang merupakan salah satu kajiiian ilmu kalam, mempunyai sanad sangat
banyak. Diantara sanad yang sampai kepada Nabi adalah yang berasal dari berbagai sahabat,
seperti Anas bin Malik, Abu Hurairah, Abu Ad-Darba, Jabir, Abu Said Al-Khudri, Abu Abi
Kaab, Abdullah bin Amr bin Al-Ash, Abu Ummah, Watsilah bin Al-Aqsa.
Adapula pada riwayat yang hanya sampai kepada sahabat. Diantaranya adalah Hadits
yang mengatakan bahwa umat islam akan terpecah belah kedalam beberapa golongan.
Diantara golongan-golongan itu, hanya satu saja yang benar, sedangkan yang lainnya sesat.
3. Pemikiran Manusia
Sebagai salah satu sumber ilmu kalam, pemikiran manusia berasal dari pemikiran
umat islam sendiri dan pemikiran yang berasal dari luar umat islam. Di dalam al-Qur’an,
banyak sekali terdapat ayat-ayat yang memerintahkan manusia untuk berfikir dan
menggunakan akalnya. Dalam hal ini biasanya Al-Qur’an menggunakan redaksi tafakkur,
tadabbur, tadzakkur, tafaqqah, nazhar, fahima, aqala, ulul al-albab, ulul al-ilm, ulu al-
abshar, dan ulu an-nuha. Diantara ayat-ayat tersebut yaitu :
“ Maka hendaklah manusia memperhatikan dari apakah dia diciptakan. Dia
diciptakan dari air yang memancar. Yang keluar dari antara tulang sulbi laki-laki dan tulang
dada perempuan.” ( Q.S. At-Thariq Ayat 5-7 )
Ayat-ayat yang lain dapat ditemukan pada Surah Muhammad : 24, An-Nahl : 68-69,
Al-Isra’ : 44, Al-An’am : 97-98, At-Taubah : 122, Shad : 29, Az-Zummar : 9, Adz-Dzariyat :
47-49, Al-Ghatsiyah : 7-20, dan lain-lain.
Oleh karena itu, jika umat islam sangat termotivasi untuk memaksimalkan
penggunaan rasionya, hal itu bukan karena ada pengaruh dari pihak luar saja, melainkan
karena adanya perintah langsung dari ajaran agama mereka. Hal inilah yang akhirnya
menyebabkan sangat jelasnya penggunaan rasio dan logika dalam pembahasan ilmu kalam.
Adapun sumber kalam berupa pemikiran dari luar Islam, Ahmad Amin menyebutkan
setidaknya ada tiga faktor penting.

8
Pertama, kebanyakan orang-orang yang memeluk Islam setelah kemenangannya,
pada awalnya mereka memeluk berbagai agama yaitu: Yahudi, Nasrani, Zoroaster,
Brahmana, Atheisme, dan lain-lain.Mereka dilahirkan dan dibesarkan dalam ajaran-ajaran
agama ini. Bahkan diantara mereka ada yang benar-benar memahami ajaran agama aslinya.
Setelah fikiran mereka tenang dan mereka benar-benar teguh memeluk agama Islam,
mulailah mereka memikirkan ajaran-ajaran agama mereka sebelumnya dan mengangkat
persoalan-persoalannya lalu memberinya corak baju keislaman.
Kedua, golongan Mu’tazilah memusatkan perhatianya untuk dakwah Islam dengan
membantah argumentasi-argumentasi orang-orang yang memusuhi Islam. Untuk itu, mereka
tidak akan bias menolak lawa-lawannya kecuali sesudah mereka mempelajari pendapat-
pendapat serta alas an-alasan lawan mereka. Maka terjadilah perdebatan-perdebatan yang
rasional antar agama saat itu.
Ketiga, sebagaimana pada faktor kedua dimana para mutakallimun sangat
membutuhkan filsafat Yunani untuk mengalahkan lawan-lawannya, maka mereka terpaksa
mempelajari dan mengambil manfaat dari ilmu logika, terutama dari sisi ketuhanannya.
Misalnya An-Nadham, seorang tokoh Mu’tazilah, ia mempelajari filsafat Aristoteles dan
menolak beberapa pendapatnya, demikian juga Abu al-Hudzail al-‘Allaf
4. Insting
Secara Instingtif, manusia selalu ingin bertuhan. Oleh sebab itu, kepercayaan adanya
Tuhan telah berkembang sejak adanya manusia pertama. Abbas Mahmoud Al-Akkad
mengatakan bahwa keberadaan mitos merupakan asal-usul agama dikalangan orang-orang
primitif. Tylor justru mengatakan bahwa animism-anggapan adanya kehidupan pada benda-
benda mati- merupakan asal-usul kepercayaan adanya Tuhan. Adapun Spencer mengatakan
bahwa pemujaan terhadap nenek moyang merupakan bentuk ibadah yang paling tua.
Keduanya menganggap bahwa animisme dan pemujaan terhadap nenek moyang sebagai asal-
usul kepercayaan dan ibadah tertua terhadap Tuhan Yang Maha Esa, lebih dilatarbelakangi
oleh adanya pengalaman setiap manusia yang suka mengalami mimpi.
Di dalam mimpi, seorang dapat bertemaan terhadap, bercakap-cakap, bercengkerama,
dan sebagainya dengan orang lain, bahkan dengan orang yang telah mati sekalipun. Ketika
seorang yang mimpi itu bangun, dirinya tetap berada di tempat semula. Kondisi ini telah
membentuk intuisi bagi setiap orang yang telah bermimpi untuk meyakini bahwa apa yang
telah dilakukannya dalam mimpi adalah perbuatan roh lain, yang pada masanya roh itu akan

9
segera kembali. Dari pemujaan terhadap roh berkembang ke pemujaan terhadap matahari,
lalu lebih berkembang lagi pada pemujaan terhadap benda-benda langit atau alam lainnya.
Dari sini dapat disimpulkan bahwa kepercayaan adanya Tuhan, secara instingtif, telah
berkembang sejak keberadaan manusia pertama. Oleh sebab itu, sangat wajar kalau William
L. Reese mengatakan bahwa ilmu yang berhubungan dengan ketuhanan, yang dikenal dengan
istilah theologia, telah berkembang sejak lama. Ia bahkan mengatakan bahwa teologi muncul
dari sebuah mitos ( thelogia was originally viewed as concerned with myth ). Selanjutnya,
teologi itu berkembang menjadi “ theology natural “ ( teologi alam ) dan “revealed theology
“ ( teologi wahyu ).
C. Sejarah Kemunculan Persoalan-Persoalan Ilmu Kalam
Sejarah dalam pendeklarasian ilmu kalam tidak luput dari sejarah perpecahan prinsip
teologi umat islam yang masih ketika itu dipicu persoalan politik dan kedangkalan ukhuwah
dalam prilaku perebutan singgasana kekuasaan,bermula dari Peristiwa wafatnya Nabi
Muhammad SAW pada tanggal 8 juni 632 M melahirkan suatu perjuangan keagamaan dan
politik dalam masyarkat islam sehingga mengakibatkan timbulnya perpecahan di kalangan
umat islam. Perpecahan ini mulai memanas sejak Khalifah Utsman bin Affan mengambil
kebijakan mengangkat anggota keluarganya untuk menduduki posisi dalam struktur politik
dan jabatan penting, sehingga sebagian besar masyarakat islam tidak senang dengan
kebijakan tersebut. Puncaknya adalah saat Khalifah Utsman bin Affan terbunuh saat sedang
membaca Al-Qur’an dirumahnya.
Setelah khalifah ustman terbunuh maka kembali diumumkan pergantian kekhalifahan
selanjutnya dengan berpacu pada penolakan muawiyyah atas terpilihnya Ali bin abi Thalib.
banyak diantara yang semula berpihak pada Ali kemudian terpecah dan keluar dari barisan
militer ali bin abi Thalib ,Putusan hanya datang dari Allah dan harus kembali pada hukum
dan ketetapan Allah yang ada dalam Al-qur’an . La hukma illa Allah (tidak ada perantara
selain Allah) Hal ini tidak hanya mempunyai implikasi politik yang tajam, tetapi juga
meningkat kepada persoalan-persoalan teologi, yang melahirkan beberapa aliran teologi
yaitu:
a. Khawarij: persoalan iman dan kufr (mu’min dan kafir)
Sebagai kelompok yang lahir dari peristiwa politik, pendirian teologis khawarij –
terutama yang berkaitan dengan masalah iman dan kufur lebih bertendensi politis ketimbang
ilmiah-teoritis. Kebenaran pernyataan ini tak dapat disangka karena, seperti yang telah
diungkapkan sejalrah, Khawarij mula-mula memunculkan eprsoalan teologis seputar masalah

10
“apakah Ali dan pendukungnya adalah kafir atau tetap mukmin?””apakah muawiyah dan
pendukungnya telah kafir atau tetap mukmin?” jawaban atas pertanyaan ini kemudian
menjadi pijakan atas dasar teologi mereka. Menurut mereka, Ali dan Muawiyah beserta para
pendukungnyatelah melakukan tahkim kepada manusia, berarti mereka telah berbuat dosa
besar. Dansemua pelaku dosa besar (mutabb al-kabirah), menurut semua subsekte Khawarij,
kecuali Najdah, adalah kafir dan akan disiksa di neraka selamanya. Subsekte Khawarij yang
sangat ekstrim, Azariqah, menggunakan istilah yang lebih “mengerikan” dari pada kafir yaitu
musyrik. Mereka memandang musyrik bagi siapa saja yang tidak mau bergabung ke dalam
barisan mereka, sedangkan pelaku dosa besar dalam pandangan mereka telah beralih status
keimanannya menjadi kafir millah (agama), dan itu berarti ia telah keluar dari Islam. Si kafir
semacam ini akan kekal di neraka bersama orang kafir lainnya.
Iman dalam pandangan Khawarij, tidak semata-mata percaya kepada Allah.
Mengerjakan segala perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan. Segala
perintah kewajiban agama juga merupakan bagian dari keimanan, segala perbuatan yang
berbau religius, termasuk di dalam masalah kekuasaan adalah bagian dari keimanan, al-amal
juz’un al-iman). Dengan demikian, siapapun yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah
dan bahwa Muhammad adalah Rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban agama dan
malah melakukan perbuatan dosa, ia dipandang kafir oleh khawarij.

11
b. Murji’ah: masalah iman dan menentang pendapat Khawarij
Aliran murji’ah adalah aliran yang memberikan reaksi terhadap pendapat aliran
khawarij yang mengkafirkan orang yang melakukan dosa besar adalah aliran murji’ah.
Menurut kaum murjiah dosa besar tidak mengakibatkan kekafiran. Apabila seorang mukmin
melakukan dosa besar tetap mukmin. Adapun hakikatnya, kita serahkan kepada Allah kelak
di akhirat.
Dua doktrin pokok ajaran Murji’ah, yaitu:
a) Iman adalah percaya kepada Allah dan Rasul-Nya saja. Adapun amal atau perbuatan tidak
merupakan suatu keharusan bagi adanya iman. Berdasarkan hal ini, seseorang tetap dianggap
mukmin walaupun meninggalkan perbuatan yang difardukan dan melakukan dosa besar.
b) Dasar keselamatan adalah iman semata. Selama masih ada iman di hati, setiap maksiat tidak
dapat mendatangkan madarat ataupun gangguan atas seseorang. Untuk mendapatkan
pengampunan, manusia cukup hanya dengan menjauhkan diri dari syirik dan mati dalam
keadaan akidah tauhid.
c) Ajaran pokok murji’ah pada dasarnya bersumber dari gagasan atau doktrin irja atau arja’a
yang diaplikasikan dalam banyak persoalan, baik persoalan politik maupun teologis. Di
bidang politik, doktrin irja diimplementasikan dengan sikap diam. Itulah sebabnya, kelompok
Murji’ah dikenal pula sebagai the queieties (kelompok bungkam). Sikap ini akhirnya
berimplikasi begitu jauh sehingga membuat murjiah selalu diam dalam persoalan politik.
c. Paham Qadariyah dan Jabariyah: Memaksa
Dalam kitab Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, Ali musthafa al-Ghurabi menjelaskan
bahwa menurut paham teologi Aliran Qadariyah, manusia berkuasa atas perbuatan-
perbuatannya; manusia sendirilah yang melakukan perbuatan-perbuatan baik atas kehendak
dan kemauannya sendiri, dan manusia sendiriilah yang melakukan perbuatan-perbuatan jahat
atas kehendak dan kemauannya sendiri. Menurut paham mereka, manusia mempunyai
kebebasan dalam tingkah lakunya. Ia dapat berbuat baik kalau ia menghendakinya, dan ia
pula dapat berbuat jahat kalau ia menghendakinya. Aliran ini menolak paham yang
mengatakan bahwa manusia dalam perbuatan-perbuatannya hanya bertindak menurut kadar
yang telah ditentukan sejak zaman azali. Selanjutnya pengarang kitab Tarikh al-Firaq al-
Islamiyah itu juga menyebutkan, bahwa menurut paham Jabariyah, manusia tidak mempunyai
kekuasaan untuk berbuat apa-apa. Manusia tidak mempunyai daya, tidak mempunyai
kehendak sendiri dan tidak mempunyai pilihan dalam perbuatan-perbuatannya. Manusia
dalam perbuatan-perbuatannya dipaksa, dengan tidak ada kekuasaan, kemauan dan pilihan

12
baginya. Perbuatan-perbuatan diciptakan Tuhan di dalam diri mereka, tak ubahnya seperti air
yang mengalir, manusia tak ubahnya seperti bulu yang ditiup oleh angin, dia akan melayang-
layang ke arah mana angin bertiup. Menurut paham ini, segala perbuatan manusia tidak
merupakan sesuatu yang timbul dari kehendak dan kemauan sendiri, tapi perbuatan yang
dipaksakan kepada dirinya. Kalau seseorang membunuh orang lain, maka perbuatannya itu
bukanlah terjadi atas kehendaknya sendiri, tetapi terjadi karena Qadha dan Qadar Tuhanlah
yang menghendaki demikian.
Dengan kata lain, dia membunuh bukanlah atas kehendaknya sendiri, tetapi Tuhanlah
yang memaksanya membunuh. Manusia dalam paham ini hanya merupakan wayang yang
digerakan oleh dalang. Manusia berbuat dan bergerak karena digerakan oleh Tuhan. Tanpa
gerak dari Tuham manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Disamping kedua paham itu, terdapat
pula paham tengah antara paham Qadariyah yang dibawa oleh Ma’bad dan Ghailan dengan
paham Jabariyah yang dibawa oleh Jaham, yaitu paham kasb, yang dibawa oleh al-Husain
Ibn Muhammad al-Najjar dan Dirar Ibn ‘Amr. Menurut al-Syahrastani dalam kitab al-Milal
wa al-Nihal, dalam paham Kasb, Tuhanlah yang menciptakan perbuatan-perbuatan manusia,
baik perbuatan baik maupun perbuatan yang jahat. Tetapi manusia mempunyai bagian dalam
perwujudan perbuatan-perbuatan itu. Tenaga yang diciptakan dalam dirinya mempunyai daya
untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. Jadi menurut paham ini, Tuhan dan manusia
bekerja sama dalam mewujudkan perbuatan-perbuatan manusia. Manusia tidak semata-mata
dipaksa dalam melakukan perbuatannya.
d. Mu’tazilah : al-Ushul al-Khamsah
Setiap pelaku dosa besar, menurut mu’tazilah berada diposisi tengah diantara posisi
mukmin dan posisi kafir, jika pelakunya meninggal dunia dan belum sempat bertobat, ia akan
dimasukkan kedalam neraka selama-lamanya. Walaupun demikian, siksaan yang diterimanya
lebih ringan dari pada siksaan orang kafir. Dalam perkembangannya, beberapa tokoh
mu’tazilah, seperti Wasil bin Atha dan Amir Amr bin Ubaid memperjelas sebutan itu dengan
istilah fasik yang bukan mukmin attau kafir.
1) Al Tauhid ( Ke-Esa-an )
Tuhan dalam paham Mu’tazilah betul-betul Esa dan tidak ada sesuatu yang
serupa denganNya. Ia menolak paham anthromorpisme (paham yang menggambarkan
Tuhannya serupa dengan makhlukNya) dan juga menolak paham beaticvision (Tuhan
dapat dilihat dengan mata kepala) untuk menjaga kemurnian Kemaha esaanTuhan,
Mu’tazilah menolak sifat-sifat Tuhan yang mempunyai wujud sendiri di luar Zat

13
Tuhan. Hal ini tidak berarti Tuhan tak diberisifat, tetapi sifat-sifat itu tak terpisah dari
ZatNya. Mu’tazilah membagi sifat Tuhan kepada dua golongan :
a. Sifat-sifat yang merupakan esensi Tuhan, disebut sifat dzatiyah, seperti al Wujud - al
Qadim – al Hayy dan lain sebagainya
b. Sifat-sifat yang merupakan perbuatan Tuhan, disebut juga dengan sifat fi’liyah yang
mengandung arti hubungan antara Tuhan dengan makhlukNya, seperti al Iradah –
Kalam – al Adl, dan lain-lain.
Kedua sifat tersebut tak terpisah atau berada di luar Zat Tuhan, Tuhan
Berkehendak, MahaKuasa dan sifat-sifat lainnya semuanya bersama dengan Zat. Jadi
antara Zat dan sifat tidak terpisah.
Pandangan tersebut mengandung unsur teori yang dikemukakan oleh
Aristoteles bahwa: penggerak pertama adalah akal, sekaligus subyek yang berpikir.
2) Al ‘Adl (Keadilan )
Paham keadilan dimaksudkan untuk mensucikan Tuhan dari perbuatanNya.
Hanya Tuhanlah yang berbuat adil, karena Tuhan tidak akan berbuat zalim, bahkan
semua perbuatan Tuhan adalah baik. Untuk mengekspresikan kebaikanTuhan,
Mu’tazilah mengatakan bahwa wajib bagi Tuhan mendatangkan yang baik dan terbaik
bagimanusia. Darisinilah muncul pahamal Shalahwa al Aslah yakni paham Lutf atau
rahmatTuhan. Tuhan wajib mencurahkan lutf bagimanusia, misalnya mengirim Nabi
dan Rasul untuk membawa petunjuk bagimanusia.
KeadilanTuhanmenuntutkebebasanbagimanusiakarenatidakadaartinyasyari’ah
dan pengutusan para Nabi dan Rasul kepada yang tidak mempunyai kebebasan.
Karena itu dalampandangan Mu’tazilah, manusia bebas menentukan perbuatannya.
3) Al Wa’dwa al Wa’id (Janji dan Ancaman)
Ajaran ini merupakan kelanjutan dari keadilan Tuhan, Tuhan tidak disebut adil
jika ia tidak memberi pahala kepada orang yang berbuat baik dan menghukum orang
yang berbuat buruk, karena itulah yang dijanjikan oleh Tuhan. QS. Al Zalzalahayat 7-
8.

“Barangsiapa yang berbuat kebajikan seberat biji zarrah, niscaya diaakan


lihat balasannya, dan barangsiapa yang berbuat keburukan seberat bijizarrah,
niscaya dia akan melihat balasannya pula.”
4) Manzilah Baina Manzilatain (Posisi di antara duatempat )

14
Posisi menengah atau fasik dalam ajaran Mu’tazilah di tempati oleh orang-
orang Islam yang berbuat dosa besar. Pembuat dosa besar bukan kafir karena masih
percaya kepada Tuhan dan Nabi Muhammad saw, tetapi tidak juga dapat dikatakan
mukmin karena imannya tidak lagi sempurna, maka inilah sebenarnya keadilan
(menempatkan sesuatu pada tempatnya), akan tetapi di akhirat hanya ada syurga dan
neraka, maka tempat bagi orang-orang yang berbuat dosa adalah di neraka, hanya saja
tidak sama dengan orang-orang kafir sebab Tuhan tidak adil jika siksaannya sama
dengan orang kafir. Jadi lebih ringan dari orang kafir.
5) Amar Ma’ruf , Nahi Munkar. ( Memerintahkan Kebaikan dan Melarang Keburukan ).
e. Asy’ariyah: Mazhab Syafi’i
Pendiri mazhab Asya`irah adalah Abu Al-Hasan Ali bin Ismail Asy`ari. Ia lahir pada
tahun 260 H di Bashrah dan wafat tahun 324 H di Baghdad. Sampai usia empat puluh tahun,
ia adalah salah satu murid Abu Ali Jubai yang mendukung mazhab Mu`tazilah. Abu Hasan
Asy`ari keluar dari mazhab Mu`tazilah pada tahun 300 H. Setelah mengadakan beberapa
perbaikan dalam ajaran Ahlul hadits, Abu Hasan Asy`ari mendirikan mazhab baru, yang
berlawanan dengan Ahlul hadits dan juga Mu`tazilah. Dalam bidang fikih, Abu Hasan
Asy`ari mengikuti mazhab Syafi`i. Di masa sekarang, sebagian besar pengikutnya juga
berkiblat kepada Imam Syafi`i dalam masalah hukum.
Tehadap pelaku dosa besar, agaknya asy’ari, sebagai wakil ahl al-sunnah tidak
mengkafirkan orang-orang yang sujud ke baitullah (ahl al-qiblah), walaupun melakukan dosa
besar seperti berzina dan mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang
beriman dengan keimanan yang mereka miliki, selalipun berbuat dosa besar, akan tetapi, jika
dosa besar itu tetap dilakukannya dengan anggapan bahwa hal ini dibolehkan (halal) dan
tidak meyakini keharamannya, ia dipandang telah kafir. Adapun balasan diakhirat kelak bagi
pelaku dosa besar apabila ia meninggal dan tidak sempat bertobat, maka menurut al-asyari,
hal itu bergantung pada kebijakan tuhan yang maha berkehendak. Tuhan dapat saja
mengampuni dosanya atau pelaku dosa besar itu mendapat syafaat nabi SAW. Sehingga
terbebas dari siksa neraka atau kebalikannya, yaitu Tuhan memberinya siksaan neraka sesuai
dengan ukuran dosa yang dilakukannya. Meskipun begitu, ia tidak akan kekal di neraka
seperti orang-orang kafir lainnya. Setelah penyiksaan terhadap dirinya selesai ia akan
dimasukkan ke dalam surga. Dari paparan singkat ini, jelaslah bahwa asy’ariyah
sesungguhnya mengambil posisi yang sama dengan murjiah khususnya tidak mengkafirkan
para pelaku dosa besar.

15
f. Maturidiyah: Mazhab Ahmad bin Hambal
Maturidiyah didirikan oleh Abu Manshur Muhammad bin Muhammad Maturidi, di
daerah Maturid Samarqand, untuk melawan mazhab Mu`tazilah. Abu Manshur Maturidi
(wafat 333 H) menganut mazhab Abu Hanifah dalam masalah fikih. Oleh sebab itu,
kebanyakan pengikutnya juga bermazhab Hanafi.
Setelah menelaah sekian riwayat tentang munculnya ilmu kalam dan persoalan-
persoalan disekitar ilmu kalam yang menjadi simbolisasi dari ilmu manthiq dan logika ,
seakan menata barisan idiologi tentang hal-hal yang mendoktrin untuk terus berfikir akan
sesuatu yang telah ada dan mencakup semua sejarah tentang perebutan kekuasaan, perbedaan
cara pandang dan sistem perpolitikan. Kaca perbandingan yang menyeluruh dari sekian
bentuk knowladge yang bermunculan seiring perkembangan zaman. Wallahu a’lam.

16
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa Ilmu Kalam adalah suatu
ilmu yang membahas tentang akidah dengan dalil-dalil aqliyah (rasional ilmiah) dan sebagai
tameng terhadap segala tantangan dari para penentang dan sejarah dalam pendeklarasian ilmu
kalam tidak luput dari sejarah perpecahan prinsip teologi umat islam yang masih ketika itu
dipicu persoalan politik dan kedangkalan ukhuwah dalam prilaku perebutan singgasana
kekuasaan dan ilmu kalam tidak lepas dari ilmu tauhid , ilmu tauhid adalah salah satu cabang
ilmu study keislaman yang lebih memfokuskan pada pembahasan wujud allah dengan segala
sifat nya serta tentang para rasul nya , sifat – sifat dan segala perbuatannya dengan berbagai
pendekatan.

17

Anda mungkin juga menyukai