Anda di halaman 1dari 38

Tugas Resume 10

Rabu / 09-11-2022

RESUME FILSAFAT ILMU


“TOKOH FILSAFAT ISLAM DAN KARYANYA”

OLEH:
Nurhamdin Putra (22175021)

DOSEN PEMBIMBING:
Dr. Fatni Mufit, S.Pd., M.Si

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN FISIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2022
TOKOH FILSAFAT ISLAM DAN KARYANYA

A. Tokoh Filsafat Islam bidang Ilmu sains


1. Al-Akindi
a) Riwayat Hidup
Al-Kindi (185 H/ 801 M-252 H/ 866 M) adalah filsuf pertama yang muncul di dunia
islam. Dalam buku History of Muslim Philosophy, Al-Kindi disebut sebagai “Ahli Filsafat
Arab”. Ia adalah keturunan bangsawan arab dari suku Kindah, suku bangsa yang dimasa
sebelum islam bermukim di Arab Selatan (Hakim, 2008: 441). Nama lengkap Al-Kindi adalah
Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq Ibnu Sabbah Ibnu Imran Ibnu Ismail bin Muhammad bin Al-
Ash’ats bin Qais Al-Kindi. Ayahnya adalah Gubernur Basrah pada masa pemerintahan
Khalifah Abbasiyah, Al-Hadi (169-170 H/ 785-786 M) dan Harun Ar-Rasyid (170-194 H/ 786-
809 M) (Faud, 1993: 50). Al-Kindi dilahirkan di Kufah. Ia memperoleh Pendidikan masa
kecilnya di Basrah, tetapi tumbuh dewasa dan meninggal di Baghdad (Nasution, 2002: 16). Di
Baghdad, ia ikut serta dalam gerekan penerjemahan dan cukup memiliki harta untuk menggaji
banyak orang guna menerjemahkan dan menyalin naskah-naskah ilmu pengetahuan dan
filsafat. Perjalanan intelektual yang mengantarkan Al-Kindi menjadi ulama besar dipengeruhi
oleh faktor lingkungan dari dua kota besar pada saat itu, yaitu Kufah dan Basrah. Kedua kota
tersebut adalah dua pusat kebudayaan islam yang bersaing tepatnya pada saat abad ke 2H/ ke
8M dan ke 3H/ ke 9 M.
b) Karya-Karya Al-Kindi
Beberapa karya Al-Kindi, baik yang ditulis sendiri atau ditulis ulang oleh penulis
lainnya, diantaranya sebagai berikut:
1) Kitab Kimiya’ Al-‘Itr (Book Of The Chemeistry Of Perfume).
2) Kitab fi Isti’mal Al-‘Adad Al-Hindi (On The Use Of The Indian Numerals).
3) Risala fi-Illa Al-Failali I-Madd wa I-Fazr (Treatise On The Efficient Cause Of The Flow
and Ebb).
4) Kitab Ash-Shu’a’at (Book Of The Rays)
5) The Medical Formulary or Aqrabadhin of Al-Kindi, terjemahan Levey Martin (1966).
6) Al-Kindi’s Metaphysics: a Translation of Yaqub Ibnu Ishaq Al-Kindi’s Treatise “On First
Phylosophy” (Fi Al-Falsafah al-Ula), terjemahan Alfred L.Ivry (1974).
7) Al-Kindi’s Treatise on Cryptanalysis, terjemahan M. Mrayati, Y. Meer Alam, dan M.H.
At-Tayyan (2003).
8) Kitab Al-kindi Ila Al-Mu’tashim Billahi fi Al-Falsafah Al-Ula; karya yang marangkum
pemikiran Al-Kindi tentang filsafat pertama.
9) Kitab Al-Falsafah Al-Dakhilah Wa Al-masa’il Al-Manthikiyyah Wa Al-Muktasha Wama
Fauqa Al-Thob’iyyah, karya yang berhubungan pengenalan filsafat persoalan logika dan
metafisika (Basri, 2009: 36-37).
c) Filsafat atau Pemikirannya
1) Talfiq (Pemaduan Filsafat dan Agama)
Al-Kindi berusaha memadukan (talfiq) antara agama dan filsafat. Menurutnya filsafat
adalah pengetahuan yang benar (knowledge of truth). Al-Quran membawa argumen-argumen
yang lebih meyakinkan dan benar, tidak mungkin bertentangan dengan kebenaran yang
dihasilkan oleh filsafat. Oleh karena itu, mempelajari filsafat dan berfilsafat tidak dilarang
bahkan teologi bagian dari filsafat, sedangkan umat Islam diwajibkan mempelajari teologi.
Bertemunya agama dan filsafat dalam kebenaran dan kebaikan sekaligus menjadi
tujuan dari keduanya. Agama disamping wahyu, juga mempergunakan akal serta filsafat pun
juga mempergunakan akal. Yang benar pertama bagi Al-Kindi ialah Tuhan. Filsafat dengan
demikian membahas tentang Tuhan dan agama lah yang menjadi dasarnya. Filsafat yang paling
tinggi ialah filsafat tentang Tuhan.
Dengan demikian, orang yang menolak filsafat maka orang itu menurut Al-Kindi telah
mengingkari kebenaran, kendatipun ia menganggap dirinya paling benar. Disamping itu,
pengetahuan tentang kebenaran termasuk pengetahuan tentang Tuhan, tentang ke-Esaan-Nya,
tentang apa yang baik dan berguna, dan juga sebagai alat untuk berpegang teguh kepadanya
dan untuk menghindari hal-hal sebaliknya.
Kita harus menyambut dengan gembira kebenaran dari manapun datangnya. Sebab,
“tidak ada yang lebih berharga bagi para pencari kebenaran daripada kebenaran itu sendiri”.
Karena itu tidak wajar merendahkan dan meremehkan orang yang mengatakan dan
mengajarkannya. Tidak ada seorang pun akan rendah dengan sebab kebenaran, sebaliknya
semua orang akan menjadi mulia karena kebenaran.
Jika diibaratkan maka orang yang mengingkari kebenaran tersebut tidak beda dengan
orang yang memperdagangkan agama, dan pada hakikatnya orang itu tidak lagi beragama.
Pengingkaran terhadap hasil-hasil filsafat karena adanya hal-hal yang bertentangan dengan apa
yang menurut mereka telah mutlak digariskan Al-Qur’an. Hal semacam ini menurut Al-Kindi,
tidak dapat dijadikan alasan untuk menolak filsafat.
2) Filsafat Jiwa
Al-Kindi mengatakan bahwa jiwa adalah tunggal, tidak tersusun, tidak panjang, dalam
dan lebar. Jiwa mempunyai arti penting, sempurna, dan mulia. Subtansinya berasal dari
subtansi Allah. Hubungannya dengan Allah sama dengan hubungannya dengan cahaya dan
matahari. Jiwa mempunyai wujud tersendiri, terpisah, dan berbeda dengan jasad atau badan.
Jiwa bersifat rohani dan illahi sementara badan mempunyai hawa nafsu dan marah.
Dan perbedaannya, jiwa menentang keinginan hawa nafsu dan kemarahan.Pada jiwa manusia
terdapat tiga daya: daya bernafsu (yang terdapat di perut), daya marah (terdapat di dada), dan
daya pikir (berputar pada kepala).
3) Filsafat Moral dan Akal
Menurut Al-Kindi, filsafat harus memperdalam pengetahuan manusia tentang diri dan
bahwa seorang filosof wajib menempuh hidup susila. Kebijaksanaan tidak dicari untuk diri
sendiri (Aristoteles), melainkan untuk hidup bahagia. Al-Kindi mengecam para ulama yang
memperdagangkan agama untuk memperkaya diri dan para filosof yang memperlihatkan jiwa
kebinatangan untuk mempertahankan kedudukannya dalam Negara.
Dalam jiwa manusia terdapat tiga daya yang telah disebutkan diatas salah satunya
ialah daya berpikir. Daya berpikir itu adalah akal. Menurut al-Kindi akal dibagi menjadi tiga
macam: akal yang bersifat potensil; akal yang keluar dari sifat potensil dan aktuil; dan akal
yang telah mencapai tingkat kedua dari aktualitas.
2. Ar-Razi
a) Riwayat Hidup
Abu Bakar Muhammad Ibnu Zakaria Ibnu Yahya Ar-Razi, dikenal pula dengan sebutan
Rhazes, dilahirkan di Ray (bagian selatan Teheran), Provinsi Khurasan pada tanggal 1Sya’ban
250 H/ 864 M. ia adalah seorang dokter terkemuka sepanjang abad pertengahan. Beberapa
Riwayat juga menyebutkan bahwa ia adalah dokter pertama yang menggunakan kimia dalam
tradisi pengobatan. Sebelum menjadi fisuf dan dokter, ia pernah menjadi tukang intan, penukar
uang (money changer), dan pemain kecapi. Menjelang usia 30 tahun Ar-Razi diangkat menjadi
kepala rumah sakit di kota aslanya. Kemudia, ia juga menjabat sebagai pemimpin rumah sakit
di Baghdad.
b) Karya-Karya Ar-Razi
Berikut ini beberapa karya yang dihasilkan Ar-Razi, yakni:
1) Kitab Al-Asrar
2) Kitab Al-Hawi
3) Kitab Al-Jidar wa Al-Hasbah
4) Al-Mansouri Liber Al Mansorem
5) Al-Thibb Al-Rohani
6) Al-Sirah Al-Falsafiyah
7) Amarah Iqbal Al-Daulah
8) Kitab Al-Ladzdzah
9) Kitab Al-Ilm Al-Ilahi
10) Maqolah fi Ma Ba’dah
c) Filsafat atau Pemikirannya
1) Lima Kekal (Al Qadim)
Ar- Razi memiliki banyak pemikiran filsafat, namun yang paling terkenal adalah
filsafat lima kekal. Lima kekal tersebut yaitu Al-Baary Ta’ala (Allah Ta’ala), Al-Nafs Al-
Kulliyyat (jiwa universal), Al-Hayuula al-Uula (materi pertama), al-Makaan al-Muthlaq
(tampat/ruang absolut), dan al-Zamaan al-Muthlaq.
➢ Al-Baary Ta’ala (Allah Ta’ala), menurutnya Allah itu kekal karena Dia-lah yang
menciptakan alam ini dari bahan yang telah ada dan tidak mungkin dia menciptakan ala
mini dari ketiadaan.
➢ Al-Nafs Al-Kulliyyat (jiwa universal), menurutnya jiwa merupakan sesuatu yang kekal
selain Allah, akan tetapi kekekalannya tidak sama dengan kekekalan Allah.
➢ Al-Hayuula al-Uula (materi pertama), disebut juga materi mutlak yang tidak lain adalah
atom-atom yang tidak bisa dibagi lagi, dan menurutnya mengenai materi pertama,
bahwasanya ia juga kekal karena diciptakan oleh Pencipta yang kekal. Sebelumnya dia
berpendapat bahwa materi bersifat kekal dan karena materi ini menempati ruang.
➢ Al-Makaan al-Muthlaq (tampat/ ruang absolut) dari pernyataan diatas maka tempat/
ruang absolut juga kekal. Ruang dalam pandangannya dibedakan menjadi dua kategori,
yakni ruang pertikular yang terbatas dan terikat dengan sesuatu wujud yang menempatinya
dan ruang universal yang tidak terikat dengan maujud dan tidak terbatas.
➢ Al-Zamaan al-Muthlaq (masa absolut) dapat dibedakan pada dua kategori yakni; waktu
yang absolut/ mutlak yang bersifat qadiim dan substansi yang bergerak atau yang mengalir
(jauhar yajri), pembagian yang kedua yaitu waktu mahsur. Waktu mahsur adalah waktu
yang berlandaskan pada pergerakan planet-planet, perjalanan bintang-bintang, dan
mentari. Waktu yang kedua ini tidak kekal. Menurutnya, bahwasanya waktu yang kekal
sudah ada terlebih dahulu sebelum adanya waktu yang terbatas.
2) Filsafat Rasionalis
Ar-Razi adalah rasionalis murni yang menempatkan seluruh pemikiran dan
kecendrungannya pada keampuhan daya rasional. Di bagian pengantar Al-Tib Al-Rohani, Ar-
Razi menulis: “Tuhan, segala puji bagi Nya, yang telah memberi kita akal agar dengannya kita
dapat memperoleh sebanyak-banyaknya manfaat, inilah karunia terbaik tuhan kepada kita.
Dengan akal, kita melihat segala yang berguna bagi kita dan yang membuat hidup kita baik.
Dengan akal kita dapat mengetahui yang gelap, yang jauh, dan yang tersembunyi dari kita.
Dengan akal, kita juga memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, satu pengetahuan tertinggi
yang kita peroleh” (Basri, 2009: 58).
Ar-Razi meyakini bahwa akal merupakan alat penentu, pusat pengendali dan pemberi
perintah kepada manusia menuju kebaikan. Studi klinis kedokterannya membuat Ar-Razi
dalam menentukan metode yang kuat dijadikan fondasi pemikiran filsafat secara keseluruhan.
Melalui studi kedokteran, Ar-Razi mencoba untuk berpijak pada metode observasi dan
eksperimen dalam filsafat. Metode observasi dan eksperimen yang diyakini Ar-Razi, ternyata
terbukti banyak berfungsi dalam mengkritisi pandangan kosmologis dan medis.
3. Al- Farabi
a) Riwayat Hidup
Nama lengkap Al-Farabi adalah Abu Muhammad Ibnu Muhammad Tarkhan Ibnu
Auzalagh. Ia lahir di wasij, distrik farab (sekarang dikenal dengan kota Atrar/ Transoxiana),
Turkistan pada tahun 257 H (870 M). ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan
ibunya berkebangsaan turki. Di kalangan bangsa latin abad pertengahan, Al-Farabi lebih
dikenalal dengan sebutan Abu Nashr (Abunaser). Sebutan Al-Farabi diambil dari nama kota
Farab, tempat ia dilahirkan (Nasution, 2002: 32).
Semasa mudanya, Al-Farabi pernah belajar Bahasa dan sastra arab kepada Abu Bakar
As-Saraj Baghdad, serta logika dan filsafat kepada Abu Bisyr Mattitus Ibnu Yunus, seorang
Kristen Nastorian yang banyak menerjemahkan filsafat Yunani. Selai itu iy juga belajar kepada
Yuhana Ibnu Hailam. Kemudian, ia pindah ke Harran, pusat kebudayaan Yunani di asia kecil
dan berguru kepada Yuhana Ibnu Jilad. Akan tetapi, tidak berapa lama, ia Kembali setelah 20
tahun tinggal di Haram. Di Baghdad, ia membuat ulasan terhadap buku-buku filsafat Yunani.
Selain itu, ia mengajar salah satu muridnya yang terkenal adalah Yahya Ibnu ‘Adi, filsuf
Kristen. Pada bulan desember 950 M (339 H), Al-Farabi meninggal dunia di Damaskus pada
usia 80 tahun. Al-Farabi dikenal sebagai filsuf islam terbesar, mimiliki keahlian dalam banyak
bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya
dengan sempurna.
b) Karya-Karya Al-Farabi
Karya Al-Farabi yang masih dapat dibaca dan dipublikasikan kurang lebih berjumlah
30 judul, beberapa diantaranya sebagai berikut:
1) Al-Jam’u baina Ra’yay al-Hakimain Aflathun wa Aristhu.
2) Tahqiq Ghardh Aristhu fi Kitab ma Ba’da Ath-Thabi’ah.
3) Syarah Risalah Zainun al-Kabir al-Yunani
4) At-Ta’liqat
5) Risalah fima Yajibu Ma’rifat Qabla Ta’allumi al-Falsafah.
6) Kitab Tahshil As-Sa’adah
7) Risalah fi Itsbat al-Mufaraqah
8) ‘Uyun al-Masa’il
9) Ara’Ahl al-Madinah al-Fadhilah
10) Ihsa al-Ulum wa at-Ta’rif bi Aghradita
11) Maqalat fi Ma’ani al-Aql
12) Fushul al-Hukm
13) Risalah al-Aql
14) As-Siyasah al-Madaniyah
15) Al-Masa ’il al-Falsafiyah wa al-Ajwibah Anha.
c) Filsafat dan Pemikirannya
1) Pemaduan filsafat
Al Farabi telah memadukan beberapa aliran filsafat yang telah berkembang pada masa
sebelumnya yaitu pemikiran Plato, Aristoteles dan Plotinus. Pemikiran Plato, Aristoteles dan
Plotinus digunakan Al Farabi untuk mendasari pemikirannya, diantaranya ilmu logika dan
fisika, ia dipengaruhi oleh Aristoteles, dalam masalah akhlak dan politik, ia dipengaruhi oleh
Plato, sedangkan dalam hal matematika, ia dipengaruhi oleh Plotinus. Aristoteles berfikiran
bahwa idea bukanlah hakikat, namun Plato mengemukakan bahwa idea adalah hakikat dari
segala-galanya. Untuk mempertemukan dua filsafat yang berbeda seperti dua halnya Plato dan
Aristoteles mengenai idea, Al Farabi menggunakan interpretasi batini, yakni dengan
menggunakan ta’wil bila menjumpai pertentangan pikiran antara kedanya. Menurut Al-Farabi,
sebenarnya Aristoteles mengakui alam rohani yang terdapat diluar alam ini. Jadi kedua filosof
tersebut sama-sama mengakui adanya idea-idea pada zat Tuhan.

2) Filsafat Jiwa

Dalam pemikirannya ini, Al Farabi juga dipengaruhi oleh Plato, Aristoteles dan
Plotinus. Jiwa bersifat rohani, bukan materi, terwujud setelah adanya badan dan tidak
berpindah-pindah dari suatu badan ke badan lain. Kesatuan antara jiwa dan jasad merupakan
kesatuan secara accident, artinya antara keduanya mempunyai substansi yang berbeda dan
binasanya jasad tidak membawa binasanya jiwa. Jiwa manusia disebut al-nafs al-nathiqah,
yang berasal dari alam ilahi, sedangkan jasad berasal dari alam khalq, berbentuk, berupa,
berkadar, dan bergerak. Jiwa diciptakan tatkala jasad siap menerimanya. Mengenai keabadian
jiwa, Al-Farabi membedakan antara jiwa kholidah dan jiwa fana. Jiwa khalidah yaitu jiwa yang
mengetahui kebaikan dan berbuat baik, serta dapat melepaskan diri dari ikatan jasmani. Jiwa
ini tidak hancur dengan hancurnya badan.

3) Filsafat Politik

Pemikiran filsafat politik oleh Al Farbi banyak dipengaruhi oleh pemikiran Plato yang
menyamakan poltik dengan bagian tubuh manusia yang memiliki fungsi masing – masing.
Yang paling penting dalam tubuh manusia adalah kepala, karena kepalalah (otak) segala
perbuatan manusia dikendalikan, sedangkan untuk mengendalikan kerja otak dilakukan oleh
hati.
Demikian juga dalam negara. Menurut Al-Farabi yang amat penting dalam negara
adalah pimpinannya atau penguasanya, bersama-sama dengan bawahannya sebagaimana
halnya jantung dan organ-organ tubuh yang lebih lain saling bekerja sama. Pengusa ini harus
orang yang lebih unggul baik dalam bidang intelektual maupun moralnya.
Disamping daya profetik yang dikaruniakan Tuhan kepadanya, pemimpin harus
memilki kualitas berupa: kecerdasan, ingatan yang baik, pikiran yang tajam, cinta pada
pengetahuan, sikap moderat dalam hal makanan, minuman, dan seks, cinta pada kejujuran,
kemurahan hati, kesederhanaan, cinta pada keadilan, ketegaran dan keberanian, serta kesehatan
jasmani dan kefasihan berbicara.
4. Ibnu Sina
a) Riwayat Hidup
Nama lengkap Ibnu Sina adalah Abu Ali al- Husien ibn Abdullah ibn Hasan ibn Ali ibn
Sina. Ia dilahirkan di desa Afsyanah, dekat Buhkara, Persia Utara pada 370 H. Ia mempunyai
kecerdasan dan ingatan yang luar biasa sehingga dalam usia 10 tahun telah mampu menghafal
Al-Qur’an, sebagian besar sastra Arab dan juga hafal kitab metafisika karangan Aristoteles
setelah dibacanya empat puluh kali. Pada usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu
pengetahuan, sastra arab, fikih, ilmu hitung, ilmu ukur, filsafat dan bahkan ilmu kedokteran
dipelajarinnya sendiri.
Diantara guru yang mendidiknya ialah Abu Abd Allah Al-Natili dan ismail sang Zahid.
Karena kecerdasan otaknya yang luar biasa ia dapat menguasai ilmu yang diajarkan kepadanya
dengan sempurna, bahkan melebihi sang guru. Setelah guru-gurunya kewalahan, ibnu sina
menjadi bingung mencari tempat untuk memuaskan kehausan belajarnya yang tak kunjung
terpenuhi. Telah disebutkan, karena keberhasilannya mengobati pangaran Nuh Ibnu Manshur,
Ibnu sina diberi kebebasan belajar di perpustakan istana, kutub Khana. Disinilah ia melepaskan
dahaga belajarnya siang dan malam sehingga semua ilmu pengetahuan dapat dikuasai dengan
sempurna (Mustofa, 2005: 188).
b) Karya-Karya Ibnu Sina
Menurut Ahmad Mustofa dalam bukunya filsafat islam (2004), mengatakan bahwa
Ibnu sina walaupun sibuk bekerja dalam pemerintahan, namun ia adalah seorang Filosof
sehingga ia menjadi penulis yang luar biasa produktif membuat karya tulis yang sangat besar
pengaruhnya kepada generasi sesudahnya, baik di dunia barat meupun di dunia timur. Diantara
karya tulisnya adalah:
1) Al-Syifa’ berisi uraian tentang falsafat yang terdiri atas empat bagian: ketuhanan, fisika,
matematika dan logika.
2) An-Najah berisikan ringkasan dari kitab Al-Syifa’. Karya tulis ini ditujukan khusus untuk
kelompok terpelajar yang ingin mengetahui dasar-dasar ilmu hikmah secara lengkap.
3) Al-Qanun fi Al-Thibb berisikan ilmu kedokteran yang terbagi atas lima kitab dalam
berbagai ilmu dan berjenis-jenis penyakit dan lain-lainnya.
4) Al-Isyarat wa Al-Tanbihat isinya mengenai uraian tentang logika dan hikmah.
5) ‘Uyun al-Hikmah (dikenal juga dengan nama Al-Mujaz)
6) Danisynama-yi Ala’I
c) Filsafat dan Pemikirannya
1) Al- Tawfiq (Rekonsilasi) antara Agama dan Filsafat
Sebagaimana Al-farabi, Ibnu Sina juga mengusahakan pemanduan (rekonsilasi) antara
agama dan filsafat. Menurutnya nabi dan filosof menerima kebenaran dari sumber yang sama,
yakni Malaikat Jibril yang juga disebut Akal Kesepuluh atau Akal Aktif. Perbedaannya hanya
terletak pada cara memperolehnya, bagi nabi terjadinya hubungan dengan malaikat Jibril
melaui akal materiil yang disebut (kekuatan suci, qudsiyyat), sedangakan filosof melaui Akal
Mustafad. Nabi memperoleh akal materiil yang dayanya jauh lebih kuat daripada Akal
Mustafad sebagai anugrah Tuhan kepada orang pilihan-Nya. Sementara itu, filisof memperoleh
akal mustafad yang dayanya jauh lebih rendah daripada akal meteriil melalui latihan berat.
Pengetahuan diperoleh nabi disebut wahyu, berlainan dengan pengetahuan yang diperoleh
filosof hanya dalam bentuk ilhan, tetapi antara keduanya tidaklah bertentangan.
Ibnu sina, sebagaimana al-farabi, juga memberikan ketegasan tentang perbedaan
antarav para nabi dan antara para filosof. Mereka yang disebut pertama, menurutnya adalah
manusia pilihan Allah dan tidak ada peluang bagi manusia lain untuk mengusahakan dirinya
jadi nabi. Sementara itu, mereka yang disebut kedua adalah manusia yang mempunyai
intelektual yang tinggi yang tidak bisa jadi nabi.
2) Ketuhanan
Ibnu sina dalam membuktikan adanya tuhan (isbat wujud Allah) dengan dalil wajib al-
wujud dan mumkin al-wujud mengesankan duplikat Al-farabi. Sepertinya tidak ada tamabahan
sama sekkali. Akan tetapi, dalam filsafat wujudnya, bahwa segala yang ada ia bagi pada tiga
tingkatan yaitu:
a. Wajib al-wujud, esensi yang tidak mesti mempunyai wujud. Yang artinya esensi tidak
dapat dipisahkan dari wujud keduanya adalah sama dan satu.
b. Mumkin al-wujud, esensi iniboleh mempunyai wujud dan boleh pula tidak berwujud.
Artinya, jika ia dianadaikan tidak ada atau diaandaikan ada, maka ia tidaklah mustahil,
yakni boleh ada atau tidak ada.
c. Mumtami al-wujud, esensi yang tidakn dapat mempunyai wujud, seperti adanya sekarang
ini.
3) Emanasi
Ibnu sina, sebagaimana juga al-farabi menemui kesulitan dalam menjelaskan
bagaimana terjadinya yang banyak yang bersifat materi (alam) dari yang Esa, jauh dari arti
banyak, jauh dari arti materi, Maha sempurna, dan tidak berkehendak apapun (Allah). Untuk
memecahkan masalah ini, ia juga mengemukakan penciptaan secara emanasi.
Telah disebutkan bahwa filsafat emanasi ini bukan hasil renungan ibnu sina (al-farabi),
tetapin berasal dari “ramuan plotinus” yang menyatakan bahawa alam ini terjadi karena
pancaran dari yang Esa (the one). Hal ini memungkinkan karena dalam Al-Qur’an tidak
ditemukan informasi yang rinci tentang penciptaan alam dari materi yang sudah ada atau yang
tiadanya. Dengan demikian, walaupun prinsip ibnu sina dan plotinus sama, namun hasil dan
tujuan berbeda. Oleh karena itu, dapat dikatakan, Yang Esa plotinus sebagai penyebab yang
pasif bergeser menjadi Allah Pencipta (Shani; agent) yang aktif.
Adapun proses terjadinya pancaran tersebut ialah ketika Allah wujud (bukan dari tiada)
sebagai Akal ‘(aql) langsung memikirkan (ber-ta’aqqul) terhadap zat-Nya yang menjadi objek
pemikiran-Nya, maka memancarlah akal pertama. Dari Akal Pertama ini memancarlah akal
Kedua, Jiwa pertama, dan langit Pertama. Demikianlah seterusnya dari akal kesepuluh yang
sudah lemah dayanya dan tidak dapat menghasilkan akal sejenisnya, dan hanya menghasilkan
Jiwa Kesepuluh, bumi, roh, materi, pertama yang menjadi dasar bagi keempat unsur pokok;
air, udara, api, dan tanah.
Berlainan dengan Al-farabi, bagi Ibnu Sina Akal Pertama mempunyai dua sifat: sifat
wajib wujudnya sebagai pancaran dari Allah dan sifat mungkin wujudnya jika ditijau dari
hakikat dirinya. Dengan demikian. Ibnu sina membagi objek pemikiran akal – akal menjadi
tiga; Allah (Wajib al-wujud dzatihi), dirinya akal – akal (wajib al-wujud li ghairihi) sebagai
pancaran dari Allah, dan dirinya akal – akal (mukmin al-wujud) ditinjau dari hakikat dirinya.
4) Jiwa
Harus diakui bahwa keistimewaan pemikiran Ibnu Sina terletak pada filssafat jiwa.
Kata jiwa dalam Al-Qur’an dan hadits diistilahkan dengan al-nafs atau al-ruh sebagaimana
terekam dalam surah Shad: 71-72, al-isra’: 85 dan al-fajr: 27-30. Jiwa, maunsia sebagai jiwa –
jiwa lain dan segala apa yang terdapat dibawah rembulan, memancarkan dari akal sepuluh.
Secara garis besarnya pembahasan Ibnu Sina tentang jiwa terbagi pada dua bagian berikut,
Fisika, membicarakan tentang jiwa tumbu-tumbuhan, hewan, dan manusia.

5. Ibnu Miskawaih
a) Riwayat Hidup
Nama lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Al-Kasim Ahmad (Muhammad) bin
Yaqub bin Miskawaih. Ia lahir di Rayy (sekarang Teheran). Nama itu diambil dari nama
kakeknya yang semula beragama Majusi (Persia) kemudian masuk islam (Sudarsono, 2004:
88). Tanggal kelahirannya belum jelas. Sebagian menyebutkan bahwa ia lahir tahun 330 H/
941 M. Namun mengingat pergaulannya Bersama Al-Mahallabi pada 352 H/ 963 M,
diperkirakan Miskawaih lahir tahun 320 H/ 923 M atau pada tahun sebelumnya.
Ia belajar dan mematangkan pengetahuannya di Baghdad dan wafat di Isfahan. Setelah
mempelajari banyak cabang ilmu pengetahuan dan filsafat, Ibnu Miskawaih akhirnya
memusatkan perhatian pada sejarah dan akhlak. Ibnu Maskawaih mempelajari sejarah,
terutama Tharikh Al-Tabhari, kepada Abu Bakar Ibnu Kamil Al Qadhi (350 H/ 9960 M) dan
belajar filsafat pada Ibnu AL-Khammar, mufasir karya-karya Aristoteles.
b) Karya-Karya Ibnu Miskawaih
Jumlah karya tertulis Ibnu Miskawaih sebanyak 17 buah judul yang kebanyakan
berbicara tentang jiwa dan akhlak. pendapat lainnya menyatakan bahwa karyanya berjumlah
13 buah (Supriyadi, 2013: 56). berikut ini karya-karya yang dihasilkan Ibnu Miskawaih:
1) Al-Fauz al-Akbar
2) Al-Fauz al-Asghar
3) Tajarib al-Umam
4) Uns Al-Farid
5) Tartib As-Sa’adah
6) Al-Mustafha
7) Jawidan Khirad
8) Al-Jami
9) As-Siyar
10) Tahzib al-Akhlaq
11) Ajwibah wa al-As’ilahfi an-Nafs wa al-Aql
12) Thaharah an-Nafs
13) Al-Jawab fi al-Masail as-Salas
14) Risalah fi al-Ladzdzat wal-Alam fi Jauhar an-Nafs
15) Risalah fi Jawab fi Su’al Ali bin Muhammad Abu
16) Hayyan Ash-Shufi fi Haqiqat al-Aql
17) Risalah fi Haqiqah al-‘Aql.
c) Filsafat atau Pemikirannya
1) Konsep Tentang Tuhan
Tuhan menurut Ibnu Maskawaih adalah zat yang tidak berjisim, Azali, dan Pencipta,
tidak terbagi-bagi dan tidak mengandung kejamakan dan tidak satu pun yang setara dengan-
Nya. Menurut Ibnu Miskawaih, Tuhan adalah zat yang jelas atau tidak jelas. Jelas karena
Tuhan memiliki sifat yang haq (benar), sedangkan tidak jelas berarti karena kelemahan akal
manusia untuk menangkap keberadaan Tuhan serta banyaknya kendala kebendaan yang
menutupinya.
2) Konsep Tentang Akhlak
Menurut Ibnu Miskawaih, akhlak adalah keadaan jiwa seseorang yang mendorongnya
untuk melakukan suatu perbuatan – perbuatan tanpa memikirkan pertimbangan terlabih
dahulu. Sikap mental terbagi menjadi dua yaitu mental/akhlak yang berasal dari watak dan
yang berasal dari latihan dan kebiasaan. Akhlak yang berasal dari watak biasanya akan
menghasilkan akhlak yang jelek sedangkan akhlak yang berasal dari latihan atau kebiasaan
akan menghasilkan akhlak yang baik. Oleh karena itu, Ibnu Maskawaih menekankan
pentingnya pendidikan akhlak pada masa kanak – kanak.
3) Konsep Tentang Manusia
Pemikiran Ibnu Miskawaih tentang konsep manusia tidak jauh berbeda dengan
pemikiran para filosof yang lain. Menurutnya, manusia memiliki tiga daya yang saling saling
berhubungan satu sama lain, diantaranya yaitu daya nafsu (al-nafs al-bahimiyyat) sebagai daya
yang paling rendah; daya berani (al-nafs al-sabu’iyyat) sebagai daya pertengahan dan daya
berpikir (al nafs al nathiqah) sebagai daya yang paling tinggi. Sama halnya dengan Al Razi,
Ibnu Maskawaih juga memadukan pemikiran dari Plato, Aristoteles, Phytagoras, Galen dan
para filosof lain. Manusia memiliki jiwa yang bersifat kekal dan tidak hancur dengan kematian
jasad. Jiwa berbeda dengan jasad. Ibnu Miskawaih mengemukakan argumennya mengenai
perbedaan jiwa dengan jasad, yaitu sebagai berikut:
a. Indera sebagai penerima suatu rangsangan
b. Kelemahan Fisik yang disebabkan usia tua tidak mempengaruhi kekuatan mental
c. Jiwa memahami proposisi – proposisi tertentu yang tidak berhubungan dengan data – data
inderawi.
6. Al-Ghazali
a) Riwayat Hidup
Nama lengkap Al-Ghazali adalah Abu Hamid bin Muhammad bin Ahmad Al-
Ghazali. Lahir di kota kecil yang terletak di dekat Thus, Provinsi Khurasan, Republik Islam
Irak pada tahun 450 H (1058 M). namun, terdapat beberapa sumber yang menyebutkan bahwa
beliau lahir pada tahun 1050, 1056, atau 1059 M.
Ayah Al-Ghazali gemar mempelajari ilmu tasawuf sehingga ia hanya mau makan dari
usaha sendiri, yakni dengan menenun wol. Ia juga dikenal sebagai pencinta ilmu dan selalu
berdoa agar anaknya kelak menjadi seorang ulama. Amat disayangkan, ia tidak sempat
menyaksikan keberhasilan Al-Ghazali (Rasyidin, 2005: 85). Sebelum meninggal, ia sempat
menitipkan Al-Ghazali kepada saudaranya yang Bernama Ahmad, seorang sufi, untuk didik
dan dibimbing dengan baik.
Sejak masa kanak-kanak, ia telah belajar dengan sejumlah guru di kota kelahirannya,
salah satunya adalah Ahmad Ibnu Muhammad Ar-Razikani. Kemudian saat remaja ia belajar
di Nisyapur dan Khurasan, yang pada waktu itu merupakan salah satu pusat ilmu pengetahuan
yang penting di dunia islam. Al-Ghazali kemudian menjadi murid imam Al-Haramain Al-
Juwaini, guru besar di Madrasah Al-Nizamiyyah Nisyapur. Al-Ghazali belajar mengenai
telogi, hukum islam, filsafat, logika, sufisme, dan ilmu-ilmu alam (Syadani, 1997: 178). Pada
tanggal 14 Jumadil Akhir 505 H (1111 M) di kota Thus Al-Ghazali meninggal.
b) Karya-Karya Al-Ghazali
Karya tulis Al-Ghazali melibuti berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Berikut ini
sejumlah karya Al-Ghazali yang berpengaruh besar terhadap pemikiran umat islam.
1) Maqasid al-Falasifah
2) Tahafut al-Falasifah
3) Mi’yar al-‘Ilm
4) Ihya ‘Ulum ad-Din
5) Al-Munqiz min Ad-Dhalal
6) Al-Ma’arif al-‘Aqliyah
7) Misykat al-Anwar
8) Minhaj al-‘Abidin
9) Al-Iqtisad fi al-I’tiqad
10) Ayyuha al-Walad
11) Al-Mustafa
12) Iljam al-‘Awwam’an ‘Ilm al-Kalam
13) Mizan al-‘Amal

7. Ibnu Bajjah
a) Riwayat Hidup
Nama Panjang dari Ibnu Bajjah adalah Abu Bakar Muhammad Ibnu Yahya Ibnu Al-
Sha’igh Al-Tujibi Al-Andalusi Al-Samqusti Ibnu Bajjah. Orang-orang eropa pada abad
pertengahan menjuluki Ibnu Bajjah dengan sebutan “Avempace”. Ibnu Bajjah dilahirkan di
Saragossa pada abad ke 11 atau abad ke 5 pada tahun 475 H/ 1082 M. ia berasal dari keluarga
Al-Tujib sehingga ia dikenal juga sebagai Al-Tujib yang bekerja sebagai pedagang emas
(bajjah emas). Dia menyelesaikan jenjang kuliahnya di kota Saragossa. Oleh karena itu, Ketika
pergi ke Granada, dia telah menjadi sarjana Bahasa dan sastra arab serta menguasai dua belas
macam ilmu pengetahuan (Mustafa, 2007: 225).
Ibnu Bajjah menguasai sastra, tata Bahasa, dan filsafat kuno. Oleh tokoh-tokoh
sezamannya, ibnu Bajjah disejajarkan dengan Al-Syam Al-Rais Ibnu Sina. Menurut beberapa
literatur, Ibnu Bajjah bukan hanya seorang filsuf, melainkan juga seorang ilmuwan yang
menguasai beberapa disiplin ilmu pengetahuan, seperti kedokteran, astronomi, fisika, musik,
dan matematika. Faz, Marokko merupakan kota tempat Ibnu Bajjah menghembuskan nafas
terakhirnya pada bulan Ramadhan 533 H/ 1138 M. menurut suatu Riwayat, ia meninggal
karena diracuni oleh seorang dokter Bernama Abu Al-‘Ala Ibnu Zuhri yang iri hati terhadap
kecerdasan, ilmu, dan ketenarannya (Zar, 2004: 187).
b) Karya-Karya Ibnu Bajjah
Berikut ini sejumlah karya filsafat Ibnu Bajjah yang terkenal, yaitu:
1) Risalah Tadbir al-Mutawahhid
2) Risalah Al-Wada’
3) Risalah Al-Ittisal al-‘Aql bi al-Insan
4) Kitab Al-Nafs
c) Filsafat atau Pemikirannya

8. Ibnu Thufail
a) Riwayat Hidup
Nama lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar Muhammad Ibnu ‘Abd al-Malik Ibnu
Muhammad Ibnu Thufail. Ia dilahirkan di Cadix, Provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506
H/ 1110 M. ia meninggal di kota Marrakesh, Marokko pada 581 H (1185 M). Ibnu Thufail
dikenal sebagai filsuf muslim yang gemar menuangkan pemikiran kefilsafatannya melalui
kisah-kisah Ajaib dan penuh dengan kebenaran. Keturunan Ibnu Thufail termasuk keluarga
suku Arab yang terkemuka, yaitu suku Qais (Mustofa, 2007: 271).
Sebagai keturunan suku Qais, ia dengan mudah mendapatkan fasilitas belajar, apalagi
kecintaannya kepada buku-buku dan ilmu pengetahuan mengalahkan cintanya kepada sesame
manusia. Hal ini mengantarkannya menjadi seorang ilmuan dalam banyak bidang, seperti
kedokteran, kesusastraan, matematika, dan filsafat. Pada tahun 549 H/ 1154 M, Ibnu Thufail
menjabat sebagai sekretaris pribadi gubernur Ceuta dan Tangier. Pada tahun 558 H/ 1163 M-
580 H/ 1184 M thufail menduduki jabatan dokter tinggi dan menjadi qadhi di pengadilan serta
wazir Khalifah Muwahhid Abu Ya’qub Yusuf.
b) Karya-Karya Ibnu Thufail
Ibnu Thufail tidak menghasilkan banyak karya. Namun, beberapa buku biografi
menyatakan bahwa ia sempat menulis sejumlah buku dalam beberapa bidang, seperti filsafat,
fisika, kejiwaan, dan kedokteran. Namun, hanya satu karangan thufail yang ditemukan hingga
saat ini, yaitu Hayy Ibn Yaqzhan (Basri, 2009: 198).
9. Ibnu Rusyd
a) Riwayat Hidup
Nama lengkap Ibnu Rusyd adalah Abu Al-Walid Muhammad Ibnu Ahmad Ibnu
Muhammad Ibnu Rusyd. Dibara Ibnu Rusyd lebih dikenal dengan sebutan Averroes. Ubnu
Rusyd lahir tahun 520 H dan dibesarkan dalam keluarga yang memberikan perhatian dan
apresiasi yang besar pada ilmu pengetahuan dan tergolong masyhur di Kordoba (Basri, 2009:
213).
Sejak kecil, ia telah mempelajari Al-Qur’an. Selain itu, ia juga mempelajari ilmu-ilmu
keislaman, seperti tafsir, hadis, fikih, dan sastra arab. Dia merevisi dan menghapalkan buku
malikiyyah, Al-Muwatta, yang dipelajari Bersama ayahnya, Abu Al-Qasim. Kemudian, ia
mendalami ilmu matematika, fisika, astronomi, logika, filsafat, dan kedokteran. Pada tahun
548 H/ 1153 M, Ibnu Rusyd pergi ke Marrakesh Maroko atas permintaan Ibnu Thufail, yang
kemudian memperkenalkannya dengan Khalifah Abu Ya’Qub Yusuf. Pertemuan pertama
dengan Khalifah ini membawa berkah bagi Ibnu Rusyd. Ia diperintahkan oleh Khalifah untuk
menerjemahkan karya-karya Aristoteles dan menafsirkannya. Pertemuan itupun
menghantarkan Ibnu Rusyd untuk menjadi Qadhi di Sevilla. Setelah dua tahun mengabdi, ia
pun diangkat menjadi hakim agung di Kordoba. Pada tahun 1182 M ia menjadi dokter pribadi
Khalifah menggantikan Ibnu Thufail. Pada 19 Shafar 595 H/ 10 Desember 1198, Ibnu Rusyd
meninggal dunia di kota Marakesh, Maroko. Beberapa tahun setelah wafat, jenazahnya
dipindahkan ke kampung halamannya, Kordoba.
b) Karya-Karya Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd menghasilkan banyak karya dalam berbagai bidang, antara lain ilmu fikih,
kedokteran, ilmu falak, dan falsafat. Sebenarnya karya paling besar dan berpengaruh di barat
yang dikenal dengan Averroism adalah komentarnya atas kary-karya Aristoteles, bukan saja
dalam filsafat, tetapi juga dalam ilmu jiwa, fisika, logika, dan akhlak. Karya-karya Ibnu Rusyd,
antara lain sebagai berikut:
1) Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid
2) Kitab al-Kulliyat fi al-Thib
3) Tahafut at-Tahafut
4) Al-Kasyf’an Manhij al-Adillah fi’Aqaid al-Millah
5) Fashl al-Maqal fima bain al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal
6) Dhamimah li Masalah al-Qadim
7) Risalah fi Ta’alluqi ‘ilmillahi an ‘Adami Ta’aluqihi bil-juz’iyyat
8) Tafsiru ma ba’da At-Tabiat
9) Risalah fil-Aqli wal-Ma’quli
Adapun karya Ibnu Rusyd yang sampai saat ini masih dapat ditemukan, antara lain
sebagai berikut:
1) Bidayat al-Mujtahid wa Nihayat al-Muqtashid
2) Fashl al-Maqal fima bain al-Hikmah wa al-Syari’ah min al-Ittishal
3) Manahij al-Adillah fi Aqaaidi Ahl al-Millah
4) Tahafut at-Tahafut
c) Filsafat atau Pemikirannya
1) Pemikiran Epistemologi Ibnu Rusyd
Ibnu Rusyd bependapat bahwa berfilsafat bisa dihukumi wajib karena filsafat
mempelajari hal – hal yang wujud, lalu orang akan berusaha menarik pelajaran/hikmah/’ibrah
darinya, sebagai sarana pembuktian adanya Tuhan Sang Maha Pencipta. Semakin sempurna
pengetahuan seseorang tentang ciptaan Tuhan, maka semakin ia mendekati pengetahuan
tentang adanya Tuhan. Setiap manusia memiliki kemampuan dalam menerima kebenaran dan
bertindak dalam mencari pengetahuan yang berbeda – beda, Ibnu Rusyd memaparkan tiga cara
manusia dalam memperoleh pengetahuan, diantaranya sebagai berikut:
a. Metode Al – Khatabiyyah (retorika)
b. Metode Al- Jadaliyah (dialektika)
c. Metode Al – Burhaniyyah (demonstrative)
Menurut Ibnu Rusyd, ketiga metode tersebut telah dipergunakan oleh Allah
sebagaimana yang terdapat dalam Al – Qur’an. Allah memperkenalkan ketiga metode tersebut
karena tingkat pengetahuan dan kemampuan intelektual manusia yang berbeda – beda. Ibnu
Rusyd berpendapat bahwa adanya lafaz dhahir (eksoteris) dalam nash perlu dita’wil agar
diketahui makna bathiniyyah (esoteris) yang bertujuan untuk menyelaraskan keberagaman
kemampuan penalaran manusia dan perbedaan karakter dalam menerima kebenaran.
2) Metafisika
Ibnu Rusyd berependapat bahwa Allah adalah penggerak pertama (muharrik al-
awwal). Wujud Allah ialah esa (satu). Konsep Ibnu Rusyd tentang ketuhanan diambil dari
pemikiran Aristoteles, Plotinus, Al Farabi dan Ibnu Sina. Bukan berarti plagiat, tetapi sebagai
referensi pemikirannya tentang konsep ketuhanan. Dalam pembuktian adanya Tuhan, Ibnu
Rusyd memaparkan beberapa dalil sebagai berikut:
a. Dalil Wujud Allah (Ibnu Rusyd mengemukakan tiga dalil yang menurutnya sesuai dengan
Al – Qu’an)
b. Dalil ‘Inayah Al – Ilahiyah (pemeliharaan Tuhan). Dalil ini mengkaitkan bahwa segala
sesuatu dijadikan untuk kelangsungan hidup manusia.
c. Dalil Ikhtira’ (dalil ciptaan). Dalil ini berpijak pada segala makhluk ciptaan Allah.
Siapapun yang ingin mengetahui ciptaan Allah, maka ia wajib mengetahui hakikat semua
ciptaan Allah.
d. Dalil Harkah (gerak). Dalil ini menjelaskan bahwa gerak adalah keadaan tidak tetap
terhadap suatu keadaan. Ibnu Rusyd berkesimpulan sama dengan Aristoteles bahwa gerak
itu qadim.
3) Tanggapan Terhadap Al – Ghazali
Ibnu Rusyd terkenal sebagai seorang filosof yang menentang Al – Ghazali. Ibnu Rusyd
menuliskan beberapa pendapatnya yang menentang pemikiran Al – Ghazali dalam buku – buku
karyanya diantaranya yang berjudul Tahafut Al-tahafut. Karena hal inilah, maka menimbulkan
perdebatan diantara Al – Ghazali dan Ibnu Rusyd. Ada 20 persoalan yang menjadi perdebatan
yaitu sebagai berikut: a) Alam qadim, b)Keabadian alam , masa dan gerak, c) Konsep Tuhan
sebagai sang pencipta dan alam sebagai produk, d) Pembuktian eksistensi penciptaan alam, e)
Argumen rasional bahwa Tuhan itu satu, f) Penolakan akan sifat – sifat Tuhan, g)
Kemustahilan konsep genus kepada Tuhan, h) Wujud Tuhan adalah sederhana, murni, tanpa
kuiditas atau esensi, i) Argumen nasional bahwa Tuhan bukan tubuh, j) Argumen nasional
tentang hukum alam tak dapat berubah, k) Pengetahuan Tuhan selain diri-Nya, l) Pembuktian
bahwa Tuhan mengetahui diri-Nya sendiri, m) Tuhan tidak mengetahui perincian segala
sesuatu melainkan secara umum, n) Langit adalah makhluk hidup, o) Tujuan yang
menggerakkan, p) Jiwa – jiwa langit mengetahu particular – particular yang bermula, q)
Kemustahilan perpisahan dari sebab alami peristiwa – peristiwa, r) Jiwa manusia adalah
subtansi spiritual yang ada dengan sendirinya, tidak menempati ruang, tidak terpateri pada
tubuh dan bukan tubuh, s) Jiwa manusia setelah terwujud tidak dapat hancur, t) Penolakan
terhadap kebangkitan jasmani.
10. Nashiruddin Ath-Thusi
a) Riwayat Hidup
Nama lengkap Nashiruddin Ath-Thusi adalah Khawajah Nasir al-Din Abu Ja’far
Muhammad. Beliau dilahirkan di kota Thus (Persia) 597 H/ 1201 M. setelah menerima
Pendidikan dasar, dia mempelajari fiqh, ushul fiqh, hikmah, dan ilmu kalam, terutama al-
isyarat-nya Ibnu Sina dari Mahdi Farid Al-Din Damat, dan matematika dari Muhammad
Nasib di Nishapur. Kemudia ia pergi ke Baghdad untuk mempelajari ilmu pengobatan dan
filsafat dari Qutb al-Din. Selain itu, di Baghdad ia memperdalam ilmu matematika dari
Kamal Ibnu Yunus dan fikih dari Salim Ibnu Badrun.
Thusi adalah orang yang berwawasan luas di dalam berbagai disiplin ilmu. Buku
akhlak karya Nashiruddin Thusi mengklasifikasi pengetahuan ke dalam spekulasi dan
praktik. Pengetahuan spekulasi memuat metafisika dan matematika (optik, meteorologi,
botani, zoologi, dan psikologi). Sementara itu, pengetahuan praktis memuat etika, ekonomi,
domestic, dan politik. Oleh karena itu, Thusi dikenal sebagai seorang filsuf, sedangkan di
barat ia dikenal sebagai seorang astronom dan matematikawan. Selain itu, Thusi juga
merupakan seorang kritikus, ia banyak mengulas berbagai hal, termasuk doktrin Ismailiyah
Ketika ia berdinas pada kaum tersebut.
b) Karya-Karya Nashiruddin Ath-Thusi
karl Brockelmann mengumpulkan tidak kurang dari 56 judul karya Ath-Thusi.
Sedangkan Ivanov mengatakan bahwa karya Ath-Thusi berjumlah 150 judul. Sementara itu,
Mudarris Ridwi menyebutkan Ath-Thusi menghasilkan karya sekitar 130 judul. Beberapa
karya yang dihasilkan oleh Ath-Thusi , antara lain sebagai berikut:
1) Logika
a. Asas Al-Iqtibas
b. Al-Tajrid fi ‘Ilm al-Mantiq
c. Ta’dil al-Miyar
2) Metafisika
a. risalah dar Ithbat-I Wajib
b. Itsar-I Jauhar al-Mufariq
c. Risalah dar Wujud-I Jauhar-I Mujarrad
d. Risalah dar Itsbat-I ‘Aql-I Fa’al
e. Risalah Darurat-I Marg
f. Risalah Sudur Kathrat az Wahdat
g. Risalah ‘Ilal wa Ma’lulat Fushul
h. Tashawwurat
i. Talkhis al-Muhassal
j. Hall-i Musykilat al-Asyraf
3) Etika
a. Akhlaq-I Nasiri
b. Ausaf al-Asyraf
4) Teologi/ Dogma
a. Tajrid al-‘Aqaid
b. Qawa’id al-‘Aqaid
c. Risalah-I I’tiqadat
5) Astronomi
a. Kitab al-Mutawassiat Bain al-Handasa wal Hai’a
b. Kitab al-Tazkira fi al-Ilm al-Hai’a
c. Zubdat al-Hai’a
d. Kitab al-Tahsil fi aln-Nujum
e. Tahzir al-Majisti
f. Mukhtasar fi al-ilm al-Tanjim wa ma’rifat at-Taqwim
g. Kitab al-Bari fi ulum at-Taqwim wa Harakat al-Afak wa Ahkam ar-Nujum
6) Aritmatika, Geometri, dan Trigonometri
a. Al-Mukhtasar bi Jami al-Hisab bi at-Takht wa at-Turab
b. Kitab al-Jabr wa al-Muqabala
c. Al-Usul al-Maudua
d. Quwaid al-Handasa
e. Tahrir al-Ushul
f. Kitab Shakl al-qatta
7) Optik
a. Tahrir Kitab al-Manazir
b. Mabahis Finikas al-Shur’ar wa in Itaafiha
8) Musik
a. Kitab fi ‘Ilm al-Mausiqi
b. Kanz al-Tuhaf
9) Medikal
a. Kitab al-Bab Bahiya fi at-Tarakib as-Sultaniyah
c) Filsafat atau Pemikirannya
1. Filasafat Logika
Pemahaman Ath-Thusi terhadap logika dapat diibaratkan seperti bulan (alat ilmu) yang
menangkap cahaya matahari (ilmu) untuk dipantulkan ke bumi sebagai cahayanya sendiri.
Bulan adalah alat atau sarana yang menggunakan energi utama (matahari) untuk
menyampaikan cahayanya kebelahan bumi yang lain yang tidak mendapat cahaya matahari.
Sementara itu, bagi bumi, bulan adalah energi utama yang berperan sebagai cahaya dimalam
hari. Logika adalah alat dan sumber ilmu. Dikatakan “alat” saat dia menjadi kunci untuk
memahami berbagai ilmu. Dikatakan “sumber ilmu” saat dia memberikan pengertian dan
menjelaskan sifat dari suatu makna. Menurut Ath-Thusi, pengetahuan dapat dicapai melalui
definisi dan silogisme. Dengan demikian, logika adalah hukum untuk berpikir tepat.
2. Filsafat Moral
Menurut Ath-Thusi, penyebab penyimpangan adalah segala sesuatu yang berlebihan.
Dengan demikian, keadaan jiwa yang tidak seimbang disebabkan oleh kelebihan, kekurangan,
atau ketidakwajaran akal. Misalnya, seorang pencuri yang tertangkap akan memberontak
terhadap si penangkap karena adanya perasaan takut terhadap hukum atau seorang anak yang
berniat bunuh diri saat kedua orangtuanya meninggal dunia.
3. Filsafat Metafisika
Metafisika terdiri atas dua bagian, yaitu ilmu ketuhanan dan filsafat pertama. Ilmu
ketuhanan (‘ilm-I ilahi), mencangkup persoalan ketuhanan akal, jiwa, dan hal-hal yang
berkaitan dengan hal tersebut, seperti kenabian (nubuwwat), kepemimpinan spiritual (imamat),
dan hari pengadilan (Qiyamat). Sementara itu, filsafat pertama (falasafah ula), meliputi alam
semesta dan hal-hal yang berhubungan dengan alam semesta. Bagi Ath-Thusi, tuhan tidak
dapat dianalisis dengan logika dan metafisika. Baginya, tuhan harus diterima dan dianggap
sebagai postulat. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan kemampuan manusia.
4. Filsafat Jiwa
Menurut Ath-Thusi, eksistensi jiwa hanya dapat dibuktikan melalui jiwa itu sendiri
sehingga jiwa menjadi mustahil untuk dipelajari. Jiwa mengontrol tubuh melalui otot-otot dan
alat-alat perasa, tetapi tubuh tidak dapat merasakan keberadaan jiwa. Jiwa merupakan substansi
immaterial. Hal ini terjadi karena jiwa dapat menampung logika, matematika, teologi, dan
sebagainya tanpa tercampur-baur dan dapat diingat dengan kejelasan yang khas, yang tidak
dapat dilakukan oleh substansi material. Ath-Thusi menjelaskan bahwa jiwa imajinatif berada
diantara jiwa hewani dan jiwa manusiawi. Dalam jiwa manusiawi, terdapat dua jenis akal, yaitu
akal teoritis dan akal praktis. Dalam akal teoritis, tercangkup empat tingkat perwujudan, yaitu
akal material, akal malikat, akal aktif, dan akal yang diperoleh. Pada tingkat akal yang
diperoleh, bentuk konseptual yang terdapat dalam jiwa menjadi nyata terlihat. Sementara itu,
akal praktis berkenaan dengan Tindakan sengaja dan tidak sengaja sehingga potensialnya
diwujudkan dengan Tindakan-tindakan.
5. Filsafat Politik
Menurut Ath-Thusi, selain karena fitrah manusia yang selalu ingin berhubungan
dengan sesamanya, manusia juga membutuhkan orang lain untuk memenuhi kebutuhannya.
Ath-Thusi juga membicarakan etika perang. Menurutnya, perang hanya boleh dilakukan jika
tidak dapat menemukan jalan keluar dari suatu pertentangan, dilakukan atas nama tuhan, dan
dengan persetujuan seluruh anggota. Jika memperoleh kemenangan, tawanan tidak
diperbolehkan untuk dibunuh.
6. Filsafat Rumah Tangga
Tujuan rumah tangga adalah untuk mewujudkan rasa ingin memiliki dan rasa ingin
melidungi anter anggota keluarga, bukan sebagai pemenuh syahwat. Untuk memelihara
keharmonisan keluarga, dibutuhkan ketersedian harta yang didapat dengan terhormat,
sempurna, dan adil. Laki-laki, menurut Ath-Thusi, diibaratkan sebagai jantung yang hanya
dapat bekerja pada satu tubuh saja, mustahil dapat bekerja pada lebih dari satu tubuh. jika
soerang laki-laki tidak dapat menjaga dan memperbaiki keseimbangan keluarga, lebih baik dia
tidak menikah apalagi berpoligami.
11. Muhammad Iqbal
a) Riwayat Hidup
Muhammad Iqbal berasal dari golongan menengah di Punjab dan lahir di sialkot,
Pakistan. Keluarganya berasal dari kasta brahmana Kasmir yang memeluk agama islam sejak
tiga abad sebelum ia dilahirkan. Kakeknya adalah Muhammad rafiq, seorang sufi terkenal.
Ayahnya, Noor Muhammad, seorang muslim yang sangat disiplin dalam kehidupan sufi.
Sebelum kelahiran Iqbal, ayah bermimpi melihat burung dara putih cemerlang yang terbang
dan hinggap di kamarnya, mimpi tersebut diartikan sebagai pertanda akan memperoleh anak
yang terkenal dan menjadi sebuah kebahagiaan (Wahab, 1985: 16).
Pada masa kanak-kanak, Muhammad Iqbal belajar pada ayahnya kemudian ia
dimasukkan ayahnya ke Scotch Mission College di Sailkot agar mendapatkan bimbingan
dari Maulawi Mir Hasan, teman ayahnya yang ahli Bahasa Persia dan arab. Untuk
melanjutkan studinya, Muhammad Iqbal pergi ke Lahore. Disana ia memperoleh gelar sarjan
M.A. setelah itu, pada tahun 1905, Iqbal pergi ke inggris untuk melajutkan studi filsafatnya
di universitas Cambridge. Dua tahun kemudian, ia pindah ke jerman dan disanalah ia
memperoleh gelar Ph.D. dalam bidang tasawuf.
Muhammad Iqbal adalah seorang filsuf dan penyair. Syairnya menjadi hebat karena
filsafatnya dan filsafatnya menjadi hebat karena syairnya. Ide-ide Muhammad Iqbal tentang
pembaruan dan politik menganterkan umat islam india menjadi suatu bangsa yang lepas dari
bayangan-bayangan india, yakni Pakistan. Meskipun dia seorang penyair dan filsuf,
pemikirannya mengenai kemajuan dan kemunduran umat islam sangat berpengaruh pada
Gerakan pembaruan islam.
b) Karya-karya Muhammad Iqbal
Diperkirakan ada sekitar 21 karya monumental yang ditinggalakan oleh Muhammad
Iqbal, salah satu karyanya yang terkenal adalah Bal-I Jibril (Syap Jibril) yang dibuat pada
tahun 1935. Karya Muhammad Iqbal yang lainnya antara lain sebagai berikut:
1) Ilm al-Iqtishad (1903)
2) The Development of Metaphysics in Persia: A Contribution to the History of Muslim
Philosophy (1908)
3) Asrar-I Khudi (Rahasia pribadi) (1915)
4) Rumuz-I Bekhudi
5) Payam-I Masyriq (Pesan dari Timur) (1923)
6) Bang-I dara (Lonceng Kafilah) (1924)
7) Zabur-I ‘Azam (Mazmur Persia) (1927)
8) The Reconstruction of Religious Thought in Islam (1930)
9) Javid Nama (1932)
10) Musafir (Sang Pengembara) (1933)
11) Bal-I-Jibril (Sayap Jibril) (1935)
12) Zarb-I-Kalim (Pukulan Tongkat Musa) (1936)
13) Armaghan-I-Hijaz (1938)
c) Filsafat atau Pemikirannya
1) Filsafat Ego
Salah satu bukti pemikiran Iqbal adalah filsafat ego. Filsafat Iqbal pada intinya adalah
filsafat manusia yang berbicara tentang diri, yaitu ego. Karena bagi Iqbal, manusia adalah
suatu kesatuan energi, daya, atau kombinasi dari daya-daya yang membentuk beragam
susunan. Daya-daya tersebut adalah ego. Iqbal menyebut ego dengan khudi. Aktivitas ego
menurut Iqbal berupa aktivitas kehendak, seperti Tindakan, harapan dan keinginan,
Tindakan-tindakan tersebut sepontan terefleksikan dalam tubuh. Ego adalah sesuatu yang
dinamis, ia mengorganisasi dirinya berdasrkan waktu dan bentuk, serta mendisiplinkan
pengalaman sendiri.
2) Konsep Penciptaan
Teori penciptaan dijelaskan dalam karya Muhammad Iqbal yaitu Asrar-I Khudi.
Berikut ini salah satu kalimat yang diambil dari Asrar-I Khudi yakni: “semua bentuk kejadian
berasal dari Khudi (pribadi atau di dalam Bahasa farsi dan urdu diartikan sebagai tuhan).
Semua yang ada pada realitas merupakan rahasia-rahasia Khudi. Ketika alam dan pikiran
murni diciptakan dalam “kesadaran” khudi, maka alam-alam yang tercipta akan terhubung
pada khudi”.
12. Mulla Shadra
a) Riwayat Hidup
Sadr al-Din Muhammad Ibnu Ibrahim Ibnu Yahya al-Qawami al-Shirazi, yang
dikenal dengan Mulla Shadra atau Sadr al-Muta’allihin dilahirkan di Shiraz, Iran, sekitar
1571 M. ia berasal dari keluarga terpandang. Ayahnya adalah Ibrahim bin yahya Al Qawami
Al Shirazi, pernah menjabat sebagai gubernur fars dan memiliki kekuasaan yang istimewa
di kota Shiraz (Rahman, 2000: 1). Karena berasal dari keluarga terpandangm Mulla Shadra
selalu mendapat perhatian dan Pendidikan terbaik. Kondisi ini membuat Mulla Shidra cepat
menguasai beragam ilmu, baik Bahasa arab maupun Persia, Al-Qur’an, hadis, serta bidang
ilmu lainnya.
Untuk memuaskan rasa dahaganya akan ilmu, ia meninggalkan kota kelahirannya
menuju Isfahan. Disana ia mendapat bimbingan dari dau orang guru, yakni Syekh Bahauddin
al-Amili (Syekh Baha’i) seorang teologi, sufi, ahli hukum, filsuf juga penyair dan Sayid
Muhammad Baqir (Mir Damad), yang menguasai ilmu-ilmu intelektual. Selajutnya, ia
meninggalkan isfahan untuk menuju desa kahak. ia menjalani kehidupan menyendiri untuk
memnuhi dahaga spiritualnya. Sikap spiritual yang ua tempuh ternyata memberikan
pencerahan diri. Ia menyatakan bahwa kebenaran mistik pada dasarnya adalah kebenaran
intelektual. Pengalaman mistik merupakan pengalam kognitif.
b) Karya-karya Mulla Shadra
Karya-karya Mulla Shadra pada umumnya filosofis dan religious, telah menyatu dan
saling melengkapi. Berikut ini sejumlah karya-karya Shadra.
1) Al-Hikmah Al-Muta’aliyah fi Asfar Al-‘Aqliyah Al-Arba’ah
2) Al-Hasyr
3) Al-Hikmah Al-‘Arsyiyah
4) Hudus Al-‘Alam
5) Kalaq Al-A’mal
6) Mafatih Al-Ghaib
7) Kitab Al-Masya’ir
8) Al-Mizaj
9) Mutasyabihat Al-Qur’an

B. Tokoh Filsafat Islam Bidang Ilmu Pendidikan


1. Ibnu Miskawaih
a) Riwayat Singkat Ibnu Miskawaih
Riwayat hidup Ibnu Miskawaih dapat dilihat pada penjelasan sebelumnya di poin A tentang
tokoh filsafat islam bidang ilmu sains
b) Karya Ibnu Maskawaih
Karya Ibnu Maskawaih dapat dilihat pada penjelasan sebelumnya di poin A tentang tokoh
filsafat islam bidang ilmu sains.
c) Dasar Pemikiran Ibnu Miskawaih
1) Konsep Manusia
Ibnu Miskawaih memandang manusia adalah makhluk yang memiliki keistimewaan
karena dalam kenyataannya manusia memiliki daya pikir dan manusia juga sebagai mahkluk
yang memiliki macam-macam daya. Menurut dalam diri manusia ada tiga daya yaitu:
• Daya bernafsu (an-nafs al-bahimiyyat) sebagai daya terendah.
• Daya berani (an-nafs as-sabu’iyyat) sebagai daya pertengahan.
• Daya berpikir (an-nafs an-nathiqat) sebagai daya tertinggi.
Kekuatan berfikir manusia itu dapat menyebabkan hal positif dan selalu mengarah kepada
kebaikan, tetapi tidak dengan kekuatan berpikir binatang. Jiwa manusia memiliki kekuatan
yang bertingkat-tingkat:
▪ Al-Nafs al-Bahimmiyyah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kejahatan atau
keburukan.
▪ Al-Nafs al-Sabu‟iyyah adalah jiwa yang mengarah kepada keburukan dan sesekali
mengarah kepada kebaikan.
▪ Al-Nafs al-Nathiqah adalah jiwa yang selalu mengarah kepada kebaikan.
2) Konsep Akhlak
Pemikiran Ibnu Miskawaih dalam bidang akhlak termasuk salah satu yang mendasari
konsepnya dalam bidang pendidikan. Konsep akhlak yang ditawarkannya berdasar pada
doktrin jalan tengah. Ibnu Miskawaih secara umum memberi pengertian pertengahan (jalan
tengah) tersebut antara lain dengan keseimbangan atau posisi tengah antara dua ekstrim, akan
tetapi Ibnu Miskawaih cenderung berpendapat bahwa keutamaan akhlak secara umum
diartikan sebagai posisi tengah antara ekstrim kelebihan dan ekstrim kekurangan masing-
masing jiwa manusia. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa jiwa manusia ada tiga yaitu
jiwa bernafsu (al-bahimmiyah), jiwa berani (al-Ghadabiyyah) dan jiwa berpikir (an-nathiqah).
Menurut Ibnu Miskawaih posisi tengah jiwa bernafsu (al-bahimmiyah) adalah al-iffah yaitu
menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat seperti berzina. Selanjutnya posisi tengah jiwa
berani adalah pewira atau keberanian yang diperhitungkan dengan masak untung ruginya.
Sedangkan posisi tengah dari jiwa pemikiran adalah kebijaksanaan. Adapun perpaduan dari
ketiga posisi tengah tersebut adalah keadilan atau keseimbangan.
3) Konsep Pendidikan
Ibnu Miskawaih membangun konsep pendidikan yang bertumpu pada pendidikan
akhlak. Karena dasar pendidikan Ibn Miskawaih dalam bidang akhlak, maka konsep
pendidikan yang dibangunnya pun adalah pendidikan akhlak. Menurut Ibnu Miskawaih dasar
pendidikan Pertama, syariat, Ibnu Miskawaih tidak menjelaskan secara pasti tentang dasar
pendidikan. Namun secara tegas ia menyatakan bahwa syari’at agama merupakan faktor
penentu bagi lurusnya karakter manusia, yang menjadikan manusia terbiasa melakukan
perbuatan terpuji, yang menjadikan jiwa mereka siap menerima kearifan (hikmah), dan
keutamaan (fadilah), sehingga dapat memperoleh kebahagiaan berdasarkan penalaran yang
akurat.
Ibnu Miskawaih adalah orang yang pertama kali melandaskan pendidikan kepada
pengetahuan psikologi. Ia adalah perintis psikologi pendidikan, Konsep pendidikan akhlak dari
Ibn Miskawaih dikemukakan sebagai berikut:
a. Tujuan Pendidikan Akhlak
Tujuan pendidikan akhlak yang dirumuskan Ibn Miskawaih adalah terwujudnya sikap
bathin yang mampu mendorong serta spontan untuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai
baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan sejati.
b. Kebaikan dan kebahagiaan
Manusia yang ingin diwujudkan oleh pendidikan adalah manusia yang baik, bahagia
dan sempurna. Kebaikan, kebahagiaan dan kesempurnaan adalah suatu mata rantai yang tidak
dapat dipisahkan. Seluruhnya adalah berkaitan dengan akhlak, etika dan moral. Untuk
mencapai tingkatan tersebut, harus memiliki 4 kualitas, yaitu; kemampuan dan semangat yang
kuat, ilmu pengetahuan yang esensial-substansial, malu kebodohan, dan tekun melakukan
keutamaan dan konsisten mendalaminya.
c. Tercapainya Kemuliaan Akhlak
Manusia yang paling mulia ialah yang paling besar kadar jiwa rasionalnya, dan
terkendali. Oleh karena itu pembentukan individu yang berakhlak mulia terletak pada bagian
yang menjadikan jiwa rasional ini unggul dan dapat menetralisir jiwa-jiwa lain. Tujuan
pendidikan yang diinginkan Ibnu Miskawaih adalah idealistic-spiritual, yang merumuskan
manusia yang berkemanusiaan.
d. Sebagai Sarana Sosialisasi Individu
Manusia adalah makhluk sosial, maka pendidikan harus berfungsi sebagai proses
sosialisasi bagi subjek didik. Kebijakan manusia sangat banyak jumlahnya, yang tidak mampu
dicapai oleh individu, perlu bergabung dengan kelompok lain untuk tujuan tersebut. Gagasan
ini merupakan jalan rintis lahirnya sosiologi pendidikan yang di kembangkan oleh para
sosiolog modern.
2. Al-Qabisi
a) Biografi Al-Qobisi
Nama lengkap Al-Qabisi adalah Abu Al-Hasan Muhammad bin Khalaf Al-Ma„arifi
Al-Qairawaniy. Al-Qabisi adalah penisbahan kepada sebuah bandar yang terdapat di Tunis.
Kalangan ulama lebih mengenal namanya dengan sebutan Al-Qabisiy. Ia lahir di Kota
Qairawan Tunisia (wilayah Maghribi, sekarang Maroko, Afrika Utara) pada hari senin bulan
Rajab tahun 324 H- 935 M.beliau wafat pada tanggal 3 Rabbiul Awal Tahun 403 H. Bertepan
pada tanggal 23 Oktober 1012.
Semasa kecil dan remajanya belajar di Kota Qairawan. Ia mulai mempelajari Al-
Qur’an, hadits, fikih, ilmu-ilmu bahasa Arab dan Qira’at dari beberapa ulama yang terkenal di
kotanya. Di antara ulama yang besar sekali memberi pengaruh pada dirinya adalah Abu Al-
‘Abbas Al-Ibyani yang amat menguasai fikih mazhab Malik. Di Iskandariyah ia pernah belajar
pada Ali bin Zaid Al-Iskandariy, seorang ulama yang masyhur dalam meriwayatkan hadits
Imam Malik dan mendalami mazhab fikihnya. Al-Qabisiy mengajar pada sebuah madrasah
yang diminati oleh penunut-penuntut ilmu. Madrasah ini lebih memfokuskan pada ilmu hadits
dan fikih.
Al-Qabisi merupakan seorang ulama yang produktif dalam mengarang kitab-kitab. la
menghasilkan 15 karya dalam bidang fiqh maupun hadist, diantaranya al-Mumahid fi al-Fiqh
dan al-I'tiqadat. Sedangkan karyanya dalam bidang pendidikan berjudul: "al-Mufassal li Ahwal
al-Mutha' alaimin wa Ahkam al-Maulimmin wa al-Muta'allamin', sebuah kitab 13 rincian
tentang keadaan para pelajar, serta hukum-hukum yang mengatur para guru dan pelajar. Kitab
ini terdiri dari 80 halaman dan dibagi ke dalam 3 juz.
b) Pemikiran Al-Qobisi
Berikut konsep yang diberikan oleh al-Qobisi
1) Pendidikan Anak-Anak
Al-Qabisi memiliki perhatian yang besar terhadap pendidikan anak-anak yang
berlangsung di kuttab-kuttab. Menurutnya bahwa mendidik anak-anak merupakan upaya amat
strategis dalam rangka menjaga kelangsungan bangsa dan Negara, oleh karena itu pendidikan
anak harus dilaksanakan dengan penuh kesungguhan dan ketekunan yang tinggi. Al-Qabisi
sebagai ahli fiqih dan hadis mempunyai pendapat tentang pendidikan yaitu mengenai
pengajaran anak-anak di Kuttab-kuttab. Dengan lebih memperhatikan dan lebih menekuni,
maka mengajar anak-anak sebagai tuntunan bangsa adalah merupakan tiangnya bangsa itu
yang harus dilaksankan dengan penuh kesungguhan dan ketekunan ibarat seperti membangun
piramida pendidikan (institusi pendidikan).
2) Tujuan Pendidikan
Al-Qabisi menghendaki agar pendidikan dan pengajaran dapat menumbuh-
kembangkan pribadi anak yang sesuai dengan nilai-nilai Islam yang benar.Lebih spesifik
tujuan pendidikannya adalah mengembangkan kekuatan akhlak anak, menmbuhkan rasa cinta
agama, berpegang teguh kepada ajaran-ajarannya, serta berperilaku yang sesuai dengan nilai-
nilai agama yang murni.Di ssamping itu juga al-Qabisi mengarahkan dalam tujuan
pendidikannya agar anak memiliki keterampilan dan keahlian pragmatis yang dapat
mendukung kemampuanya mencari nafkah.
3) Metode dan Teknik Belajar
Selain membicarakan materi, ia juga berbicara mengenai teknik dan langkah
mempelajari ilmu itu. Misalnya menghafal alquran dan belajar menulis langkah-langkah
adalah berdasarkan pemilihan waktu-waktu yang terbaik, yaitu waktu pagi-pagi selama
seminggu terus-menerus dan baru beristirahat sejak waktu dzuhur hari Kamis sampai dengan
hari Jum’at. Kemudian belajar lagi pada hari Sabtu pagi hingga minggu berikutnya. Al-Qabisi
juga mengemukakan metode belajar yang efektif, yaitu menghafal, melakukan latihan dan
demonstrasi.
4) Percampuran Belajar antara Murid Laki-Laki dan Perempuan
Percampuran belajar antara murid laki-laki dan perempuan dalam satu tempat atau co-
educational classes juga menjadi perhatian al-Qabisi. Ia tidak setuju bila murid laki-laki dan
perempuan dicampur dalam kuttab, hingga anak itu belajar sampai usia baligh (dewasa).
Sahnun, seorang ahli pendidikan Islam (yang juga guru dari al-Qabisi) abad ke 3 Hijriyah
berpendapat (yang juga dinukil oleh al-Qabisi) bahwa: ”Guru yang paling tidak disukai ialah
guru yang mengajar anak-anak perempuan remaja, kemudian mereka bercampur dengan anak
lelaki remaja, maka hal ini akan mendatangkan kerusakan terutama bagi anak perempuan
remaja”. Salah satu alasan mengapa al-Qabisi berpegang teguh pada pendapatnya; karena ia
khawatir kalau anak-anak itu sendiri menjadi rusak moralnya. Ia memperingatkan agar tidak
mencampurkan anak kecil dengan remaja yang telah dewasa kecuali bila anak remaja yang
telah baligh tidak akan merusak anak kecil (belum dewasa).
3. Ibnu Sina
a) Biografi Ibnu Sina
Biografi Ibnu Sina dapat dilihat pada penjelasan sebelumnya di poin A tentang tokoh
filsafat islam bidang ilmu sains
b) Pemikiran Pendidikan Islam Ibnu Sina
1) Tujuan Pendidikan
Ibnu Sina berpendapat bahwa tujuan pendidikan adalah "pendidikan harus diarahkan
pada pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang ke arah perkembangannya yang
sempuma, yaitu perkembangan fisik, intelektual dan budi pekerti." Selain itu tujuan pendidikan
menurut Ibn Sina harus diarahkan pada upaya mempersiapkan seseeorang agar dapat hidup di
masyarakat secara bersama-sama dengan melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya
sesuai dengan bakat, kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya. Pendidikan yang
bersifat jasmani, Ibn Sina berpendapat tujuan pendidikan tidak melupakan pembinaan fisik.
seperti olahraga, makan, minum, tidur dan menjaga kebersihan. Sedangkan tujuan pendidikan
yang bersifat keterampilan ditujukan adalah menyiapkan tenaga professional. Dan juga
memberikan pendidikan budi pekerti (akhlak) agar ada kepaduan antara keterampilan dengan
budi pekerti.
2) Kurikulum
Menurut Ibn Sina kurikulum harus didasarkan kepada tingkat perkembangan usia anak
didik, yaitu fase 3-5 tahun, 6-14 tahun, dan di atas 14 tahun.
a) Usia 3 sampai 5 tahun
Menurut Ibn Sina, diusia ini perlu diberikan mata pelajaran olah raga, budi pekerti,
kebersihan, seni suara, dan kesenian.
b) Usia 6 sampai 14 tahun
Selanjutnya kurikulum untuk anak usia 6 sampai 14 tahun menurut Ibn Sina adalah
mencakup pelajaran membaca dan menghafal Al-Qur'an, pelajaran agama, pelajaran sya'ir,
dan pelajaran olahraga.
c) Usia 14 tahun ke atas
Pelajaran yang harus diberikan pada anak usia 14 tahun ke atas menurut ibnu sina amat
banyak jumlahnya, namun pelararan tersebut perlu dipilih sesuai dengan bakat dan minat
si anak.
3) Konsep Guru
Adapun pemikiran ibnu sina mengenai guru yang baik adalah guru yang cerdas,
beragama, mengetahui cara mendidik akhlak, cakap dalam mendidik anak, berpenampilan
tenang, jauh dari berolok-olok dan main-main di hadapan muridnya, tidak bermuka masam,
sopan santun, bersih dan suci murni. Kemudian seorang guru menurut ibnu sina sebaiknya dari
kaum pria yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, cerdas, teliti, sabar, telaten dalam
membimbing anak-anak, adil, hemat dalam penggunaan waktu, gemar bergaul dengan anak-
anak, tidak keras hati dan senantiasa menghias diri.
4) Metode
Metode yang ditawarkan Ibn Sina adalah metode talqin, demonstrasi, pembiasaan dan
teladan, diskusi, magang, dan penugasan.
a) Metode talqin
Metode talqin perlu digunakan dalam mengajarkan membaca al-Qur'an.
b) Metode demonstrasi
Menurut Ibn Sina, metode demonstrasi dapat digunakan dalam pembelajaran yang bersifat
praktik, seperti cara mengajar menulis.
c) Metode pembiasaan dan keteladanan
Ibn Sina berpendapat bahwa pembiasaan adalah termasuk salah satu metode pengajaran
yang paling efektif, khususnya dalam mengajarkan akhlak.
d) Metode diskusi
Metode diskusi dapat dilakukan dengan cara penyajian pelajaran di mana siswa di
hadapkan kepada suatu masalah yang dapat berupa pertanyaan yang bersifat problematis
untuk dibahas dan dipecahkan bersama. Ibn Sina mempergunakan metode ini untuk
mengajarkan pengetahuan yang bersifat rasional dan teoretis.
e) Metode magang
Ibn Sina telah menggunakan metode ini dalam kegiatan pengajaran yang dilakukannya.
Para murid Ibn Sina yang mempelajari ilmu kedokteran dianjurkan agar menggabungkan
teori dan praktek.
f) Metode penugasan
Metode penugasan ini pernah dilakukan oleh Ibn Sina dengan menyusun sejumlah modul
atau naskah kemudian menyampaikannya kepada para muridnya untuk dipelajarinya.
g) Metode targhib dan tarhib
Targhib atau ganjaran, hadiah, penghargaan ataupun imbalan sebagai motivasi yang baik.
5) Konsep Hukuman Dalam Pengajaran
Dalam konsep ini Ibn Sina sangat hati-hati dalam memberikan hukuman karena ia
sangat menghargai martabat manusia, hukuman diperlukan jika dalam keadaan terpaksa. Atas
dasar kemanusiaan ia membatasi hukuman tersebut, serta membolehkan pelaksanaan hukuman
dengan cara yang ekstra hati-hati hal ini dalam keadaan tidak normal. Sedangkan dalam
keadaan normal hukuman tidak boleh dilakukan.
c) Kontribusinya terhadap Pendidikan Nasional
Dari beberapa pemikiran Ibnu Sina banyak yang sangat berkaitan sekali dengan
pendidikan Nasional dan mampu menjawab persoalan–persoalan pendidikan yang sesuai
dengan tantangan zaman. Pendidikan akhlak sangatlah menjadi prioritas dalam pendidikan
Islam, seperti yang di jelaskan dalam pemikiran Ibnu sina akhlak adalah menjadi hal yang
sangat pokok karena akhlak mulia menjadi salah satu indikator penting perumusan tujuan
system pendidikan Nasioal (pasal 3 UU Sisdiknas Tahun 2003). Pendidikan Al-Qur’an juga
sangatlah penting utuk diterapkan dalam sekolah-sekolah. Namun kenyataannya di Indonesia
sendiri masih banyak sekolah yang belum mampu untuk mengintegrasikannya dalam
pendidikan sekolah, sehingga perlu adanya pembelajaran integrasi antara Al-Qur’an dan Ilmu
– ilmu lainnya, dengan harapan agar muncul bibit – bibit penerus bangsa yang seperti Ibnu
Sina.
4. Al-Ghazali
a) Riwayat Hidup Al-Ghazali
Penjelasan Riwayat hidup Al-Ghazali dapat dilihat pada pembahasan sebelumnya di poin
A mengenai tokoh filsafat islam bidang ilmu sains.
b) Karya-karya Al-Ghazali
Penjelasan tentang Karya-karya Al-Ghazali dapat dilihat pada pembahasan sebelumnya di
poin A mengenai tokoh filsafat islam bidang ilmu sains.
c) Pemikiran Al Ghazali Tentang Pendidikan Islam
Al-Ghozali menjelaskan sebuah tujuan pendidikan yang bermuara pada nilai moralitas
akhlak. Sehingga tujuan sebuah pendidikan tidak hanya bersifat keduniawian, pendidikan
bukan sekedar untuk mencari materi di masa mendatangnya. Melainkan pendidikan harus
memiliki rasa emansipatoris. Subuah konsep yang masih saja di dengung-dengungkan oleh
pakar ilmu kritis saat ini.
1) Tujuan Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut al-ghazali harus mengarah kepada realisasi tujuan
keagamaan dan akhlak, dengan titik penekanannya pada perolehan keutamaan dan taqarrub
kepada Allah dan bukan untuk mencari kedudukan yang tinggi atau mendapatkan kemegahan
dunia. Sebab jika tujuan pendidikan diarahkan selaim untuk mendekatkan diri pada Allah, akan
menyebabkan kesesatan dan kemudaratan.
2) Kurikulum pendidikan
Kurikulum disini dimaksudkan adalah kurikulum dalam arti yang sempit, yaitu
seperangkat ilmu yang diberikan oleh pendidik kepada peserta didik agar dapat mencapai
tujuan yang telah dirumuskan. Pandangan al-ghazali terhadap kurikulum dapat dilihat dari
pandangan mengenai ilmu pengetahuan.
a. Berdasarkan pembidangan ilmu dibagi menjadi dua bidang:
➢ Ilmu syari’at sebagai ilmu terpuji, terdiri atas:
1) Ilmu ushul (ilmu pokok): ilmu al-qur‟an, sunah nabi, pendapatpendapat sahabat
dan ijma
2) Ilmu furu’ (cabang): fiqh, ilmu hal ihwal hati dan akhlak.
3) Ilmu pengantar (mukaddimah) ilmu bahasa dan gramatika.
4) Ilmu pelengkap (mutammimah).
➢ Ilmu bukan syari’ah terdiri atas:
1) Ilmu terpuji: ilmu kedokteran, ilmu berhitung dan ilmu pustaka.
2) Ilmu yang diperbolehkan (tak merugikan); kebudayaan, sastra, sejarah, puisi.
3) Ilmu yang tercela (merugikan): ilmu tenung, sihir dan bagian-bagian tertentu dari
filsafat.
b. Berdasarkan objek, ilmu dibagi menjadi tiga kelompok.
1) Ilmu pengetahuan yang tercela secara mutlak, baik sedikit maupun banyak seperti sihir,
azimat, nujum dan ilmu tentang ramalan nasib.
2) Ilmu pengetahuan yang terpuji, baik sedikit maupun banyak, namun kalau banyak lebih
terpuji, seperti ilmu agama dan tentang ilmu beribadat.
3) Ilmu pengetahuan yang kadar tertentu terpuji, tetapi jika mendalaminya tercela, seperti
dari sifat naturalisme.
c. Berdasarkan setatus hukum mempelajari yang dikaitkan dengan nilai gunanya dan dapat
digolongkan kepada:
1) fardu ‘ain, yang wajib dipelajari oleh setiap individu, ilmu agama dan cabang-
cabangnya.
2) fardu kifayah, ilmu ini tidak diwajibkan kepada setiap muslim, tetapi harus ada diantara
orang muslim yang mempelajarinya. Dan jika tidak seorangpun diantara kaum
muslimin dan kelompoknya mempelajari ilmu dimaksud, maka mereka akan berdosa.
Contohnya; ilmu kedokteran, hitung, pertanian dll.
3) Pendidik
Dalam proses pembelajaran, menurutnya, pendidik merupakan suatu keharusan.
Eksistensi pendidik merupakan syarat mutlak bagi keberhasilan suatu proses pendidikan anak.
Pendidik dianggap sebagai maslikul kabir, bahkan dapat dikatakan bahwa pada satu sisi,
pendidik mempunyai jasa lebih disbandingkan kedua orang tuanya. Lantaran kedua orang tua
menyelamatkan anaknya dari sengatan api neraka dunia, sedangkan pendidik
menyelamatkannya dari sengatan api neraka di akhirat.
4) Metode Dan Media
Mengenai metode dan media yang dipergunakan dalam proses pembelajaran, menurut
al-ghazali harus dilihat secara psikologis, sosiologis, maupun pragmatis dalam rangka
keberhasilan proses pembelajaran. Metode pengajaran tidak boleh monoton, demikian pula
media atau alat pengajaran. Prihal kedua masalah ini, banyak sekali pendapat al-Ghazali
tentang metode dan media pengajaran. Untuk metode, misalnya ia menggunakan metode
mujahadah dan riyadhah, pendidikan praktek kedisiplinan, pembiasaan dan penyajian dalil
naqli dan aqli serta bimbingan dan nasihat. Sedangkan media/alat beliau menyetujui adanya
pujian dan hukuman, disamping keharusan menciptakan kondisi yang mendukung
terwujudnya akhlak mulia.
5. Proses Pembelajaran
Mengenai proses pembelajaran, al-ghazali mengajukan konsep pengintegrasian antara
materi, metode dan media atau alat pengajarannya. Seluruh komponen tersebut harus
diupayakan semaksimal mungkin, sehingga dapat menumbuh kembangkan segala potensi
fitrah anak, agar nantinya menjadi manusia yang penuh dengan keutamaan. Materi pengajaran
yang diberikan harus sesuai dengan tingkat perkembangan anak, baik dalam hal usia, integrasi,
maupun minat dan bakatnya. Jangan sampai anak diberi materi pengajaran yang justru merusak
akidah dan akhlaknya. Anak yang dalam kondisi taraf akalnya belum matang, hendaknya
diberi materi pengajaran yang dapat mengarahkan kepada akhlak mulia. Adapun ilmu yang
paling baik diberikan pada taraf pertama ialah agama dan syari’at, terutama Al-Qur’an. Begitu
pula metode/ media yang diterapkan juga harus mendukung; baik secara psikologis, sosiologis,
maupun pragmatis, bagi keberhasilan proses pengajaran.
5. Ibnu Taimiyah
a) Riwayat Ibnu Taimiyah
Nama lengkapnya adalah Taqiy ad-Din Ahmad bin „Abd Hakim bin Taimiyah, lahir di
kota Harran wilayah syiria, lima tahun setelah baghdad dikuasai oleh pasukan Mongol dibawah
Hulagu Khan. Beliau lahir pada hari senin tanggal 10 Rabi’ul Awal 661 H/ 22 Januari 1263
M. Dan wafat di damaskus malam senin, 20 Dzulqa’idah 728 H/ 26 September 1328 M.
Ayahnya bernama Syihab ad-Din al-Halim Ibn ‘Abd Salam (627- 672 H) seorang faqih
bermazhab Hambali. Ia juga guru dalam bidang tafsir, hadis dan nahwu. Jabatan lainnya adalah
sebagai Direktur Madrasah Dar al-Hadis as-Sukriyah, salah satu lembaga pendidikan islam
bermazhab Hambali yang sangat maju dan berkualitas di masanya.
Ibn Taimiyah dapat dijumpai dalam karya-karyanya yang menurut perkiraan Telah
disebutkan bahwa keluarga Ibn Taimiyah berpegang teguh pada mazhab Hambali. Hal tersebut
sangat mempengaruhi pemikiran Ibn Taimiyah, maka pusaran ide-idenya tertuju pada
pemurnian islam dengan semboyan ar-Ruju’ ila al-Quran wa as-Sunnah. Ibnu Taimiyah sejak
kecil dikenal sebagai seorang anak yang mempunyai kecerdasan otak luar biasa, tinggi
kemauan dan kemampuan serta tegas dan teguh dalam menyatakan dan mempertahankan
pendapat (pendirian). Ilmu yang mula-mula dipelajari Ibn Taimiyah adalah Al-Qur’an dan
Hadits, kemudian bahasa arab, ilmu Al-Qur’an, ilmu Hadis, fiqih, ushul fiqih, sejarah, kalam,
mantiq, filsafat, tasawuf, ilmu jiwa, sastra, matematika, dan berbagai dsiplin ilmu lainnya, dan
mengantarkannya menjadi orang yang memiliki keahlian dalam seluruh cabang ilmu tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

Sulaiaman, Asep. 2016. Mengenal Filsafat Islam. Bandung: Yrama Widya


Fadriati. 2016. Pemikiran Tokoh Pendidikan Islam (Klasik Dankontemporer). Batusangkar:
Institut Agama Islam Negeri (Iain)

Anda mungkin juga menyukai