0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
6 tayangan13 halaman
Teks tersebut membahas tentang substansi filsafat ilmu pengetahuan yang mencakup pembahasan mengenai kenyataan atau fakta, kebenaran, dan jenis-jenis kebenaran. Fakta dibedakan menjadi fakta untuk pengetahuan dan ilmu pengetahuan, dimana fakta untuk ilmu pengetahuan harus dapat dibuktikan secara ilmiah. Kebenaran dibagi menjadi kebenaran metafisik, etik, logika, dan empirik. Te
Teks tersebut membahas tentang substansi filsafat ilmu pengetahuan yang mencakup pembahasan mengenai kenyataan atau fakta, kebenaran, dan jenis-jenis kebenaran. Fakta dibedakan menjadi fakta untuk pengetahuan dan ilmu pengetahuan, dimana fakta untuk ilmu pengetahuan harus dapat dibuktikan secara ilmiah. Kebenaran dibagi menjadi kebenaran metafisik, etik, logika, dan empirik. Te
Teks tersebut membahas tentang substansi filsafat ilmu pengetahuan yang mencakup pembahasan mengenai kenyataan atau fakta, kebenaran, dan jenis-jenis kebenaran. Fakta dibedakan menjadi fakta untuk pengetahuan dan ilmu pengetahuan, dimana fakta untuk ilmu pengetahuan harus dapat dibuktikan secara ilmiah. Kebenaran dibagi menjadi kebenaran metafisik, etik, logika, dan empirik. Te
Kata “fakta” sendiri berasal dari Bahasa Latin factum yang secara literer diterjemahkan sebagai “sesuatu yang telah terjadi” atau “sesuatu yang telah selesai menyatakan diri”. Kata fakta selalu dihubungkan dengan “sesuatu yang memang benar-benar terjadi”. Kata “fakta” sendiri sering di samakan dengan kata “kebenaran”. Paralelisasi kedua kata ini sengaja dilakukan dalam perdebatan ilmiah, terutama untuk membedakan kenyataan yang benar-benar terjadi (objektif) dengan apa yang biasanya disebut sebagai opini (pendapat), kepalsuan, atau hal-hal yang berhubungan dengan perasaan dan selera. Fakta selalu mengindikasikan adanya sebuah “proses evaluasi dan putusan rasional” atas sesuatu pengalaman objektif. Karenanya, fakta dapat diuji kebenarannya melalui kerja nalar, eksperimentasi, pengalaman personal, dan sebagainya. Dalam filsafat, gagasan “fakta” didiskusikan dalam rangka epistemologi dan ontologi. Pertanyaan tentang objektivitas dan kebenaran tidak bisa dipisahkan dari pertanyaan mengenai fakta. Sebuah “fakta” dapat didefinisikan sebagai “sesuatu yang menjadi inti persoalan” Fakta dapat dipahami sebagai “hal atau masalah yang membuat sebuah kalimat menjadi benar” atau “sesuatu yang memberi isi dan menjustifikasi kebenaran sebuah pernyataan. Demikianlah, pernyataan bahwa “Jupiter adalah planet terbesar dalam sistem tata surya” hanya dapat menjadi benar jika memang kenyataannya demikian. “Fakta” atau objek tentu menjadi gagasan kunci dalam ilmu pengetahuan dan filsafat ilmu pengetahuan. “Fakta” dalam ilmu pengetahuan identik dengan “bukti empiris” yang eksistensinya sangat diandaikan sebagai fundamen dalam membangun seluruh teori ilmu pengetahuan. Fakta menjadi gagasan kunci dalam pemahaman ilmiah atas fenomena alam, konstruksi metode keilmuan, serta lingkup dan validitas kerja dan penalaran ilmiah. Dalam pengertiannya yang paling mendasar, fakta berhubungan dengan observasi objektif dan yang dapat diverifikasi. Ada pernyataan yang mengatakan “Jakarta dilanda musibah banjir di awal bulan Januari 2014”, kita menyimpulkan dari perspektif ilmiah bahwa pernyataan tersebut memang benar, dan bahwa isi dari pernyataan itu pun benar atau terjadi. Artinya, “Jakarta memang dilanda musibah banjir di awal bulan Januari 2014” merupakan sebuah fakta pula dan bukan sebuah penafsiran atau kesan subjektif. Fakta seharusnya tidak hanya dibatasi pada “segala sesuatu yang berada di dunia” yang sifatnya empiris, tetapi juga “segala sesuatu yang ada” yang sifatnya tidak empiris. Makna dari “segala sesuatu yang ada di dunia” yang sifatnya empiris memang dapat diamati dan diukur sehingga sangat mudah untuk dibuktikan. Lain halnya ketika kita berhadapan dengan fakta yang tidak langsung berhubungan dengan penginderaan atau materi. Misalnya seseorang mengatakan, “Tuhan sungguh maha pengasih dan penyayang. Ia benar-benar mengasihi aku.” Pernyataan ini merupakan sebuah fakta. Apakah kalimat ini benar atau salah (benar dan salah berdasarkan kriteria apakah ia menggambarkan secara tepat sifat Tuhan) memang tidak dapat dibuktikan secara empiris. Kebenaran dan kesalahan pernyataan ini hanya dapat dibuktikan secara eksistensial. Artinya, seseorang hanya akan menyetujui pernyataan tersebut sebagai benar jika ia telah mengalami kemaha rahiman Tuhan secara pribadi. Fakta dapat dibedakan menjadi dua, yaitu “fakta untuk pengetahuan” dan “fakta untuk ilmu pengetahuan”. Pengetahuan bersifat spontan, sangat umum, dan tidak metodis atau belum direfleksikan, dapat dikatakan bahwa pengetahuan selalu mengenai baik fakta empiris maupun non-empiris. Dalam konteks pengetahuan dikenal dua kutub pengetahuan, yakni pengetahuan empiris (diwakili oleh aliran empirisme) dan pengetahuan non-empiris (diwakili oleh aliran rasionalisme). Pengetahuan selalu berarti tahu akan sesuatu, tetapi sesuatu yang dimaksud di sini tidak harus dibatasi hanya pada hal-hal yang empiris. Tahu akan sesuatu selalu merupakan kesadaran akan sesuatu. Kesadaran itu sendiri merupakan sebuah fakta, sementara ia sendiri bersifat non empiris alias tidak material. Fakta dalam konteks ilmu pengetahuan haruslah mengandung kebenaran. Artinya, pernyataan mengenai suatu fakta harus dapat dibuktikan dalam kenyataan. Sementara itu, hal-hal yang tidak dapat dibuktikan secara ilmiah tidak dapat dikategorikan sebagai fakta yang mengandung kebenaran, tetapi sebagai keyakinan atau kepercayaan saja. Dengan demikian, dalam konteks ilmu pengetahuan, pernyataan bahwa ada kehidupan di planet Mars masih merupakan sebuah keyakinan yang masih harus dibuktikan. Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut. Fakta dapat bersifat material (empiris), tetapi dapat juga non-empiris. Kedua jenis fakta ini membuka diri kepada pengetahuan dan ilmu pengetahuan untuk diketahui. Fakta bagi pengetahuan biasanya dikategorikan sebagai kepercayaan atau keyakinan, karena sifat pengetahuan yang tidak metodis dan tidak terstruktur. Sebaliknya, fakta bagi ilmu pengetahuan harus mengandung kebenaran, dalam arti harus dapat dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Setiap ilmu pengetahuan memiliki metodologi yang berbeda dalam “memperlakukan” fakta menjadi sebuah kebenaran atau pengetahuan (yang telah teruji). Pengetahuan yang telah teruji ini tidak akan pernah bersifat final, karena masih akan terus diuji keabsahannya. Demikianlah proses kegiatan ilmiah berlangsung dari waktu ke waktu (Jena, 2015). B. Kebenaran Dari jenis katanya, “kebenaran” merupakan kata benda. Namun, dalam realitanya tidak ada benda “kebenaran”, yang ada dalam kenyataan secara ontologis adalah sifat “benar”. Kata benda “kebenaran” merupakan kata jadian dari kata sifat “benar” (sebagai kata dasarnya); ini merupakan rekayasa morfologis, agar hal yang merupakan sifat itu dapat dijadikan subjek atau objek dalam suatu struktur kalimat perlu dijadikan kata benda terlebih dahulu, meskipun kenyataannya adalah tetap sebagai sifat. Sifat “benar” tentu saja dapat kita cari dan dapat kita temukan dalam hal-hal yang memiliki sifat “benar” tersebut. Sifat “benar” pada umumnya dapat kita temukan pada hal-hal berikut: pemikiran yang benar, jawaban yang benar, pengetahuan yang benar, penyataan yang benar, penjelasan yang benar, pendapat yang benar, pandangan yang benar, informasi yang benar, berita yang benar, tindakan yang benar, kebijaksanaan yang benar. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa sifat “benar” dapat berada pada kegiatan berpikir maupun hasil pemikiran yang dapat diungkapkan dalam bahasa lisan maupun tertulis, sebagai: jawaban, penyataan, penjelasan, pendapat, informasi, berita, tindakan, peraturan (Wahana, 2016). 1. Jenis-Jenis Kebenaran Menurut Ford (2006), kebenaran atau truth dapat dibedakan atas 4 macam, diantaranya: a. Kebenaran metafisik (T1). Sesungguhnya kebenaran ini tidak bisa diuji kebenarannya (baik melalui justifikasi maupun falsifikasi/kritik) berdasarkan norma eksternal seperti kesesuaian dengan alam, logika deduktif, atau standar-standar perilaku profesional. Kebenaran metafisik merupakan kebenaran yang paling mendasar dan puncak dari seluruh kebenaran (basic, ultimate truth) karena itu harus diterima apa adanya (given for granted). Misalnya, kebenaran iman dan doktrin-doktrin absolut agama. b. Kebenaran etik (T2). Kebenaran etik merujuk pada perangkat standar moral atau profesional tentang perilaku yang pantas dilakukan. Seseorang dikatakan benar secara etik bila ia berperilaku sesuai dengan standar perilaku itu. Sumber kebenaran etik bisa berasal dari kebenaran metafisik atau dari norma sosial-budaya suatu kelompok masyarakat atau komunitas profesi tertentu. Kebenaran ini ada yang mutlak (memenuhi standar etika universal) dan ada pula yang relatif. c. Kebenaran logika (T3). Sesuatu dianggap benar apabila secara logik atau matematis konsisten dan koheren dengan apa yang telah diakui sebagai benar atau sesuai dengan apa yang benar menurut kepercayaan metafisik. Aksioma metafisik yang menyatakan bahwa 1+1= 2 maka secara logika dapat dianggap benar. Namun demikian, di dalam kebenaran ini juga tidak terlepas dari konsensus orang-orang yang terlibat di dalamnya. Misalnya, 1+1 ≠ 3, karena secara konsensus telah diterima demikian. d. Kebenaran empirik (T4). Kebenaran ini yang lazimnya dipercayai melandasi pekerjaan ilmuwan dalam melakukan penelitian. Sesuai (kepercayaan asumsi, dalil, hipotesis, proposisi) dianggap benar apabila konsisten dengan kenyataan alam, dalam arti dapat diverifikasi, dijustifikasi, atau kritik (Suaedi, 2016). 2. Teori Kebenaran Berikut ini beberapa contoh teori kebenaran, yang nampak sekali menekankan salah satu langkah proses manusia mengusahakan pengetahuan. a. Teori Kebenaran Korespondensi Teori ini dikenal sebagai salah satu teori kebenaran tradisional, atau teori yang paling tua. Teori ini dimunculkan oleh Aristoteles. Menurut Aristoteles, mengatakan hal yang ada sebagai tidak ada, atau yang tidak ada sebagai ada, adalah salah. Sedangkan mengatakan hal yang ada sebagai ada, atau yang tidak ada sebagai tidak ada, adalah benar. Dengan ini Aristoteles sudah meletakkan dasar bagi teori kebenaran korespondensi, yaitu bahwa kebenaran adalah persesuaian antara apa yang dikatakan dengan kenyataan. Pernyataan dianggap benar kalau apa yang dinyatakan di dalamnya berhubungan atau punya keterkaitan (correspondence) dengan kenyataan yang diungkapkan dalam pernyataan itu. Menurut teori ini, kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang diketahui subjek dan realitas objektif sebagaimana adanya. Contoh: “Bumi adalah bulat” merupakan suatu pernyataan yang benar, karena dalam kenyataannya pernyataan itu didukung atau sesuai dengan kenyataan. Sedangkan pernyataan “Kerusuhan-kerusuhan akhir-akhir ini didalangi oleh pihak ketiga.” adalah benar, bila dalam kenyataannya memang ada pihak ketiga yang mendalangi kerusuhan-kerusuhan tersebut. Namun bila pernyataan-pernyataan tersebut tidak didukung oleh kenyataan atau fakta yang terjadi, maka pernyataan tersebut salah. Teori korespondensi ini sangat ditekankan oleh aliran empirisme yang mengutamakan pengalaman dan pengamatan indrawi sebagai sumber utama pengetahuan manusia. Teori ini sangat menghargai pengamatan, percobaan atau pengujian empiris untuk mengungkapkan kenyataan yang sebenarnya. Teori ini lebih mengutamakan cara kerja dan pengetahuan aposteriori, yaitu pengetahuan yang terungkap hanya melalui dan setelah pengalaman dan percobaan empiris. b. Teori Kebenaran Koherensi Teori kebenaran koherensi dianut oleh kaum rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Descartes, Hegel, dan yang lainnya. Menurut teori ini, kebenaran tidak ditemukan dalam kesesuaian antara proposisi dengan kenyataan, melainkan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang sudah ada sebelumnya dan telah diakui kebenarannya. Suatu pengetahuan, teori, pernyataan proposisi, atau hipotesis dianggap benar kalau sejalan dengan pengetahuan, teori, proposisi, atau hipotesis lainnya, yaitu kalau proposisi itu konsisten dengan proposisi sebelumnya yang dianggap benar. Matematika dan ilmu-ilmu pasti sangat menekankan teori kebenaran koherensi. Sebagai contoh: “Lilin akan mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih.” bagi kaum rasionalis yang menganut kebenaran koherensi, untuk mengetahui kebenaran pernyataan itu kita cukup mencek apakah pernyataan ini sejalan dengan pernyataan-pernyataan lainnya. Apakah pernyataan ini meneguhkan pernyataan-pernyataan lainnya. Ternyata pernyataan ini benar, karena sesuai dengan pernyataan bahwa lilin termasuk bahan parafin, dan parafin selalu mencair pada suhu minimal 60 derajat Celcius. Dan dengan demikian lilin tentu saja akan mencair bila dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih (suhunya 100 derajat Celcius, lebih tinggi daripada kemungkinan mencairnya lilin yang berasal dari bahan parafin). Ini berarti bahwa pernyataan “Lilin mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih.” adalah pernyataan yang benar tanpa perlu dirujuk pada realitas. Teori kebenaran koherensi lebih menekankan kebenaran rasional-logis dan juga cara kerja deduktif. Pengetahuan yang benar hanya dideduksikan atau diturunkan sebagai konsekuensi logis dari pernyataan-pernyataan lain yang sudah ada, dan yang sudah dianggap benar. Teori kebenaran koherensi lebih menekankan kebenaran dan pengetahuan apriori. Ini berarti pembuktian atau justifikasi sama artinya dengan validasi, yaitu memperlihatkan apakah kesimpulan yang mengandung kebenaran tadi memang diperoleh secara sahih (valid) dari proposisi-proposisi lain yang telah diterima sebagai benar. c. Teori Kebenaran Pragmatis Teori ini dikembangkan dan dianut oleh filsuf-filsuf pragmatis dari Amerika, seperti Charles S. Pierce, William James, dan John Dewey. Bagi kaum pragmatis, kebenaran sama artinya dengan kegunaan. Jadi, ide, konsep, pernyataan, atau hipotesis yang benar adalah ide yang berguna. Ide yang benar adalah ide yang paling mampu memungkinkan seseorang berdasarkan ide itu melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat guna. Dengan kata lain, berhasil dan berguna adalah kriteria utama untuk menentukan apakah suatu ide benar atau tidak. Contohnya, ide bahwa kemacetan di jalan-jalan besar di Jakarta disebabkan terlalu banyak kendaraan pribadi yang ditumpangi satu orang. Maka, konsep solusinya, “wajibkan kendaraan pribadi ditumpangi minimum 3 penumpang”. Ide tadi benar kalau ide tadi berguna dan berhasil memecahkan persoalan kemacetan. Kebenaran pragmatis sebenarnya juga mencakup kebenaran empiris. Namun kebenaran pragmatis lebih bersifat radidkal, karena kebenaran pragmatis tidak hanya sesuai dengan kenyataan, melainkan juga pernyataan yang benar (sesuai dengan kenyataan) itu memang dalam kenyataannya berguna bagi manusia. Kebenaran bagi kaum pragmatis mengandung suatu sifat yang baik. Suatu ide atau teori tidak pernah benar kalau tidak baik untuk sesuatu. Dengan kebenaran, manusia dibantu untuk melakukan sesuatu secara berhasil. d. Teori Kebenaran Sintaksis Teori ini berkembang di antara para filsuf analisa bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap pemakaian gramatika seperti Friederich Schleiermacher. Para penganut teori kebenaran sintaksis, berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan atau tata-bahasa yang melekatnya. Sehingga kebenaran ini terkait dengan bagaimana suatu hasil pemikiran diungkapkan dalam suatu pernyataan bahasa (lisan atau tertulis) yang perlu dirangkai dalam suatu keteraturan sintaksis atau gramatika yang digunakannya. Suatu ide, konsep, atau teori dinyatakan benar, bila berhasil diungkapkan menurut aturan sintaksis yang baku. Kebenaran baru akan nampak dalam suatu pernyataan bahasa (lisan atau tertulis). Sehingga benar atau salahnya suatu pernyataan sangat dipengaruhi oleh keteraturan sintaksis serta penataan bahasa yang digunakannya. Apabila mampu dinyatakan dalam wujud bahasa dengan aturan sintaksis yang baku, maka pernyataan tersebut dapat dikatakan benar, sedangkan apabila tidak mampu tentu saja itu salah. e. Teori Kebenaran Semantis Teori kebenaran semantis dianut oleh faham filsafat analitika bahasa yang dikembangkan paska filsafat Bertrand Russell sebagai tokoh pemula dari filsafat Analitika Bahasa. Menurut teori ini, benar atau tidaknya suatu proposisi didasarkan pada ada tidaknya arti atau makna dalam proposisi terkait. Apabila proposisi tersebut memiliki arti atau makna, serta memiliki pengacu (referent) yang jelas, maka proposisi dinyatakan benar, sedangkan apabila sebaliknya dapat dinyatakan salah. Proposisi itu mempunyai nilai kebenaran, bila proposisi itu memiliki arti. Arti diperoleh dengan menunjukkan makna yang sesungguhnya, yaitu dengan menunjuk pada referensi atau kenyataan. Arti yang dikemukakan itu memiliki sifat definitif, yaitu secara jelas menunjuk ciri khas dari sesuatu yang ada. Arti yang termuat dalam proposisi tersebut dapat bersifat esoterik, arbitrer, atau hanya mempunyai arti sejauh dihubungkan dengan nilai praktis dari subyek yang menggunakannya. f. Teori Kebenaran Performatif Teori ini terutama dianut oleh filsuf seperti Frank Ramsey, Joh Austin, dan Peter Strawson. Menurut teori performatif ini, suatu pernyataan dianggap benar kalau pernyataan itu menciptakan realitas. Jadi, pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas tapi justru dengan pernyataan itu tercipta suatu realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu. Contohnya: “Dengan ini, saya mengangkat kamu menjadi bupati Bantul.” Dengan pernyataan itu, tercipta sebuah realitas baru, yaitu realitas kamu sebagai bupati Bantul (Wahana, 2016). C. Konfirmasi Fungsi ilmu pengetahuan adalah menjelaskan, memrediksi proses dan produk yang akan datang atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut atau probabilistik. Menampilkan konfirmasi absolut pada umumnya menggunakan asumsi, postulat atau axioma yang sudah dipastikan benar, namun juga tidak salah bila mengeksplisitkan asumsi dan postulatnya. Proses membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar kepastian probabilistik dapat ditempuh secara induktif, deduktif ataupun reflektif (Sudiantara, 2020). D. Logika Inferensi Logika adalah ilmu tentang berpikir. Logika yang sangat berpengaruh adalah logika matematika, yang menguasai positivisme. Positivisme Comte menampilkan kebenaran korespondensi antara fakta, sedangkan Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi antara yang dipercaya dengan fakta. Post-positivisme dan rasionalisme menampilkan kebenaran koheren antara rasional, yaitu antara fakta dengan skema rasio. Fenomenologi Bogdan menampilkan kebenaran koherensi antara fakta dengan skema moral. Realisme metafisik Popper menampilkan kebenaran struktural paradigmatik rasional universal. Kesimpulan baru dianggap sah kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu, yakni berdasarkan logika. Ada dua jenis logika yaitu logika alamiah dan logika ilmiah. Logika juga ada dua bagian yaitu, logika induksi dan logika deduksi (Sumantri, 2000). Logika mengarah pada kemampuan mengambil keputusan untuk bertindak. Logika ilmiah bersangkutan dengan proses perumusan prinsip dalam arti pengetahuan. Logika deduktif merupakan cara penarikan kesimpulan dari hal- hal yang bersifat umum menjadi hal-hal yang bersifat khusus (individual). Logika induktif merupakan cara menarik kesimpulan dari kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang sifatnya umum. Kemampuan menalar menyebabkan manusia dapat mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia kekuasaannya. Manusia dapat mengembangkan pengetahuannya karena dua hal (Wilarjo, 1997); pertama karena ia memimiliki bahasa yang digunakan untuk mengomunikasikan informasi dan pilihan-pilahan yang melatarbelakangi informasi tersebut, dan kedua manausia memiliki kemampuan berpikir yang menuntut suatu alur kerangka pikir tertentu atau yang disebut penalaran. penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang mempunyai karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran. Penalaran merupakan proses berpikir dalam menarik kesimpulan yang berupa pengetahuan. Di sini ditemukan adanya pola pemikiran yang secara luas dapat disebut logika atau berpikr logis. Proses berpikir ini juga memiliki sifat analitis, yang merupakan kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu, seperti perasaan intuitif yang merupakan cara berpikir secara analitis (Sudiantara, 2020). E. Telaah Konstruksi Teori Telaah konstruksi teori (Bangunan teori) adalah sekumpulan proporsi yang saling berkaitan secara logis untuk memberikan pengertian mengenai sejumlah fenomena. Atau bisa diartikan abstrak dari sejumlah konsep yang disepakatkan dalam definisi-definisi. 1. Model-Model Telaah Kontruksi Teori Terdapat beberapa model dalam telaah konstruksi teori diantaranya: a. Konstruksi Teori Model Korespondensi Konstruksi berfikir korespondensi adalah bahwa kebenaran sesuatu dibuktikan dengan cara menemukan relasi relevan dengan sesuatu yang lain. Tampilan korespondensi tersebut beragam mulai dari korelasi, kausal, kontributif, sampai mutual. Konstruk berfikir statistik kuantitatif dan juga pendekatan positifistik menggunakan cara ini. (Menurut Bertand Russel suatu pernyataan benar jika materi pengetahuan yang dikandung oleh pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan/cocok) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan itu. Misalnya, jika ada seseorang yang mengatakan “Ibu kota republik Indonesia adalah Jakarta” maka pernyataan itu benar sebab pernyataan itu sesuai dengan fakta objektif. b. Konstruksi Teori Model Koherensi Konstruksi teori model koherensi merentang dari koheren dalam makna rasional sampai dalam makna moral. Konstruk koheren dalam makna rasional adalah kesesuaian sesuatu dengan skema rasional tertentu, termasuk juga kesesuaian sesuatu dengan kebenaran obyektif rasional. Aristoteles dalam teori koherensi memberikan standar kebenaran dengan cara deduktif, yaitu kebenaran yang didasarkan pada kriteria koherensi yang dapat diungkap bahwa berdasarkan teori koherensi suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita menganggap benar bahwa “semua manusia pasti mati” adalah pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “si fulan adalah seorang manusia dan si Fulan pasti mati” adalah benar pula. Sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama. Konstruksi berfikir koherensi kedua adalah yang dilandaskan kepada kebenaran moral dan nilai. Sesuatu dipandang sebagai benar bila sesuai dengan moral tertentu. Moral dalam maknanya yang luas menyangkut masalah: right or wrong, truth or false, justice or unfair, human or inhuman dan lainnya. Hal ini terkait dengan kehidupan budi yang terjelma dalam proses penilaian itu merupakan ciri manusia yang terpenting dalam kehidupan individu, masyarakat dan kebudayaan, sebagai makhluk yang berkelakuan. c. Konstruksi Teori Model Pragmatis Konstruksi teori model Prgmatis berupaya mengkonstruk teorinya dari kosep-konsep, pernyataan-pernyataan yang bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak. Kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak; Artinya suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau implikasinya mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Kaum pragmatis berpaling pada metode ilmiah sebagai metode untuk mencari pengetahuan tentang alam ini yang dianggap fungsional dan berguna dalam menafsirkan gejala-gejala alamiah. Agama bisa dianggap benar karena memberikan ketenangan pada jiwa dan ketertiban dalam masyarakat. Para ilmuan yang menganut azas ini tetap menggunakan suatu teori tertentu selama teori itu mendatangkan manfaat. d. Konstruksi Teori Iluminasi Teori Iluminasi menurut Mehdi Ha’iri Yazdi adalah pengetahuan yang semua hubungannya berada dalam kerangka dirinya sendiri, sehingga seluruh anatomi gagasan tersebut bisa dipandang benar tanpa membutuhkan hubungan eksterior. Artinya hubungan mengetahui, dalam bentuk pengetahuan tersebut adalah hubungan objek tanpa campur tangan koneksi dengan objek eksternal. 2. Bentuk-Bentuk Konstruksi Teori Terdapat 2 bentuk dasar dalam konstruksi teori (bagunan teori) antara lain: a. Konstruksi Teori Deduktif Penekanan dalam jenis ini adalah terletak pada membangun sistem konstruk dan aturan relasional yang secara konseptual dan logis konsisten tapi verifikasi empiris yang terbuka untuk dipertanyakan. Penemu jenis teori bekerja dari atas ke bawah,membangun sebuah teori yang tampaknya logis dengan basis apriori dan kemudian menguji kebenaran dari teori ini dengan melakukan percobaan yang ditentukan oleh teori. b. Konstruksi Teori Induktif Pada jenis konstruksi teori ini, teori merupakan ringkasan pernyataan-pernyataan atau generalisasi dari fakta-fakta empiris. Para penganut teori ini bekerja dari bawah keatas, menyusun sistem (atau teori kecil) yang sudah diverifikasi dengan replikasi hasil penelitian tertentu, kemudian memikirkan sistem tingkat tinggi yang menggeneralisir seluruh teori miniature/kecil, dan akhirnya merumuskan teori yang dapat menjelaskan semua pernyataan dalam skema. 3. Fungsi Telaah Konstruksi Teori Fungsi dari telaah konstruksi teori antara lain: a) Sebagai pedoman,bagan sistemanisasi,atau system acuan. b) Memberikan suatu skema atau rencana sementara mengenai medan yang semula belum dipetakan. c) Menunjukkan atau menyarankan kearah-arah penyelidikan lebih lanjut. d) Sebagai pengembangan teori vs pengumpulan fakta. e) Untuk memberitahu para ilmuwan tempat untuk mencari jawaban atas pertanyaan. f) Dapat digunakan sebagai untuk memprediksi. g) Untuk memberi penjelasan peristiwa atau faktor-faktor yang tidak diketahui/dipahami. (http://kampusunipdu.blogspot.com/2013/12/filsafat_12.html) F. Memahami Filosof Alam dan Filosof Besar 1) Filosof Alam Disebut filsafat alam ialah karena perhatian atau pemikiran para filsuf dipusatkan pada alam (Bertens, 1975). Filsafat alam adalah filsafat yang berusaha untuk menjelaskan kejadian alam, sifat-sifatnya da hukum-hukunya secara teoritis dan menyeluruh. Filsafat alam berasal dari bahasa Latin philosophia naturalis adalah istilah yang melekat pada pengkajian alam dan semesta fisika yang pernah dominan sebelum berkembangnya ilmu pengetahuan modern. Filsafat alam dipandang sebagai pendahulu ilmu alam semisal fisika. Tokoh-tokoh Filsuf Alam diantaranya Thales (624-546 SM), Anaximender (610-547 SM), Anaximenes (585-524 SM), dan Pythagoras (580-500 SM). 2) Filosof Besar Filsafat merupakan ilmu yang terus berkembang dan tak ada hentinya; selama manusia masih bisa berpikir dan bumi masih berputar pada porosnya, perkembangan pemikiran tentang dunia dan segala isinya akan terus hidup. Meskipun terus berjalan maju, perlu lah kita menengok ke belakang dan memahami kehidupan para filsuf terkemuka pada masanya; tentang pemikirannya yang masih relevan hingga hari ini. Ada 5 filsuf besar sepanjang masa, diantaranya: Michael Foucault, Machiavelli, Jean Paul Sartre, Nietzsche, dan Confusius. (https://kuliahdimana.id/index.php/berita/read/236/5-Filsuf-Besar-Sepanjang-Masa) SUMBER: Bertens, K. (1975). Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius Jena, Yeremias. (2015). Filsafat Ilmu: Kajian Filosofis atas Sejarah dan Metodologi Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Deepublish Wahana, Paulus. (2016). Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Diamond Suaedi. (2016). Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press Printing Sudiantara, Yosephus. (2020). Filsafat Ilmu Pengetahuan Bagian pertama, Inti Filsafat Ilmu Pengetahuan. Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata Sumantri, J. (2000). Filsafat ilmu: Sebuah pengantar populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan http://kampusunipdu.blogspot.com/2013/12/filsafat_12.html https://kuliahdimana.id/index.php/berita/read/236/5-Filsuf-Besar-Sepanjang-Masa