Anda di halaman 1dari 13

Tugas Resume 3

Rabu / 14-09-2022

RESUME FILSAFAT ILMU


“SUBSTANSI FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN”

OLEH:
Nurhamdin Putra (22175021)

DOSEN PEMBIMBING:
Dr. Fatni Mufit, S.Pd., M.Si

PROGRAM STUDI MAGISTER PENDIDIKAN FISIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI PADANG

2022
SUBSTANSI FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN

A. Kenyataan atau Fakta


Kata “fakta” sendiri berasal dari Bahasa Latin factum yang secara literer diterjemahkan sebagai
“sesuatu yang telah terjadi” atau “sesuatu yang telah selesai menyatakan diri”. Kata fakta selalu
dihubungkan dengan “sesuatu yang memang benar-benar terjadi”. Kata “fakta” sendiri sering di
samakan dengan kata “kebenaran”. Paralelisasi kedua kata ini sengaja dilakukan dalam perdebatan
ilmiah, terutama untuk membedakan kenyataan yang benar-benar terjadi (objektif) dengan apa
yang biasanya disebut sebagai opini (pendapat), kepalsuan, atau hal-hal yang berhubungan dengan
perasaan dan selera. Fakta selalu mengindikasikan adanya sebuah “proses evaluasi dan putusan
rasional” atas sesuatu pengalaman objektif. Karenanya, fakta dapat diuji kebenarannya melalui
kerja nalar, eksperimentasi, pengalaman personal, dan sebagainya.
Dalam filsafat, gagasan “fakta” didiskusikan dalam rangka epistemologi dan ontologi.
Pertanyaan tentang objektivitas dan kebenaran tidak bisa dipisahkan dari pertanyaan mengenai
fakta. Sebuah “fakta” dapat didefinisikan sebagai “sesuatu yang menjadi inti persoalan” Fakta
dapat dipahami sebagai “hal atau masalah yang membuat sebuah kalimat menjadi benar” atau
“sesuatu yang memberi isi dan menjustifikasi kebenaran sebuah pernyataan. Demikianlah,
pernyataan bahwa “Jupiter adalah planet terbesar dalam sistem tata surya” hanya dapat menjadi
benar jika memang kenyataannya demikian.
“Fakta” atau objek tentu menjadi gagasan kunci dalam ilmu pengetahuan dan filsafat ilmu
pengetahuan. “Fakta” dalam ilmu pengetahuan identik dengan “bukti empiris” yang eksistensinya
sangat diandaikan sebagai fundamen dalam membangun seluruh teori ilmu pengetahuan. Fakta
menjadi gagasan kunci dalam pemahaman ilmiah atas fenomena alam, konstruksi metode
keilmuan, serta lingkup dan validitas kerja dan penalaran ilmiah. Dalam pengertiannya yang paling
mendasar, fakta berhubungan dengan observasi objektif dan yang dapat diverifikasi. Ada
pernyataan yang mengatakan “Jakarta dilanda musibah banjir di awal bulan Januari 2014”, kita
menyimpulkan dari perspektif ilmiah bahwa pernyataan tersebut memang benar, dan bahwa isi
dari pernyataan itu pun benar atau terjadi. Artinya, “Jakarta memang dilanda musibah banjir di
awal bulan Januari 2014” merupakan sebuah fakta pula dan bukan sebuah penafsiran atau kesan
subjektif.
Fakta seharusnya tidak hanya dibatasi pada “segala sesuatu yang berada di dunia” yang
sifatnya empiris, tetapi juga “segala sesuatu yang ada” yang sifatnya tidak empiris. Makna dari
“segala sesuatu yang ada di dunia” yang sifatnya empiris memang dapat diamati dan diukur
sehingga sangat mudah untuk dibuktikan. Lain halnya ketika kita berhadapan dengan fakta yang
tidak langsung berhubungan dengan penginderaan atau materi. Misalnya seseorang mengatakan,
“Tuhan sungguh maha pengasih dan penyayang. Ia benar-benar mengasihi aku.” Pernyataan ini
merupakan sebuah fakta. Apakah kalimat ini benar atau salah (benar dan salah berdasarkan kriteria
apakah ia menggambarkan secara tepat sifat Tuhan) memang tidak dapat dibuktikan secara
empiris. Kebenaran dan kesalahan pernyataan ini hanya dapat dibuktikan secara eksistensial.
Artinya, seseorang hanya akan menyetujui pernyataan tersebut sebagai benar jika ia telah
mengalami kemaha rahiman Tuhan secara pribadi.
Fakta dapat dibedakan menjadi dua, yaitu “fakta untuk pengetahuan” dan “fakta untuk ilmu
pengetahuan”. Pengetahuan bersifat spontan, sangat umum, dan tidak metodis atau belum
direfleksikan, dapat dikatakan bahwa pengetahuan selalu mengenai baik fakta empiris maupun
non-empiris. Dalam konteks pengetahuan dikenal dua kutub pengetahuan, yakni pengetahuan
empiris (diwakili oleh aliran empirisme) dan pengetahuan non-empiris (diwakili oleh aliran
rasionalisme). Pengetahuan selalu berarti tahu akan sesuatu, tetapi sesuatu yang dimaksud di sini
tidak harus dibatasi hanya pada hal-hal yang empiris. Tahu akan sesuatu selalu merupakan
kesadaran akan sesuatu. Kesadaran itu sendiri merupakan sebuah fakta, sementara ia sendiri
bersifat non empiris alias tidak material.
Fakta dalam konteks ilmu pengetahuan haruslah mengandung kebenaran. Artinya, pernyataan
mengenai suatu fakta harus dapat dibuktikan dalam kenyataan. Sementara itu, hal-hal yang tidak
dapat dibuktikan secara ilmiah tidak dapat dikategorikan sebagai fakta yang mengandung
kebenaran, tetapi sebagai keyakinan atau kepercayaan saja. Dengan demikian, dalam konteks ilmu
pengetahuan, pernyataan bahwa ada kehidupan di planet Mars masih merupakan sebuah keyakinan
yang masih harus dibuktikan.
Dari penjelasan diatas dapat disimpulkan sebagai berikut. Fakta dapat bersifat material
(empiris), tetapi dapat juga non-empiris. Kedua jenis fakta ini membuka diri kepada pengetahuan
dan ilmu pengetahuan untuk diketahui. Fakta bagi pengetahuan biasanya dikategorikan sebagai
kepercayaan atau keyakinan, karena sifat pengetahuan yang tidak metodis dan tidak terstruktur.
Sebaliknya, fakta bagi ilmu pengetahuan harus mengandung kebenaran, dalam arti harus dapat
dibuktikan kebenarannya secara ilmiah. Setiap ilmu pengetahuan memiliki metodologi yang
berbeda dalam “memperlakukan” fakta menjadi sebuah kebenaran atau pengetahuan (yang telah
teruji). Pengetahuan yang telah teruji ini tidak akan pernah bersifat final, karena masih akan terus
diuji keabsahannya. Demikianlah proses kegiatan ilmiah berlangsung dari waktu ke waktu (Jena,
2015).
B. Kebenaran
Dari jenis katanya, “kebenaran” merupakan kata benda. Namun, dalam realitanya tidak ada
benda “kebenaran”, yang ada dalam kenyataan secara ontologis adalah sifat “benar”. Kata benda
“kebenaran” merupakan kata jadian dari kata sifat “benar” (sebagai kata dasarnya); ini merupakan
rekayasa morfologis, agar hal yang merupakan sifat itu dapat dijadikan subjek atau objek dalam
suatu struktur kalimat perlu dijadikan kata benda terlebih dahulu, meskipun kenyataannya adalah
tetap sebagai sifat.
Sifat “benar” tentu saja dapat kita cari dan dapat kita temukan dalam hal-hal yang memiliki
sifat “benar” tersebut. Sifat “benar” pada umumnya dapat kita temukan pada hal-hal berikut:
pemikiran yang benar, jawaban yang benar, pengetahuan yang benar, penyataan yang benar,
penjelasan yang benar, pendapat yang benar, pandangan yang benar, informasi yang benar, berita
yang benar, tindakan yang benar, kebijaksanaan yang benar. Secara sederhana dapat dikatakan
bahwa sifat “benar” dapat berada pada kegiatan berpikir maupun hasil pemikiran yang dapat
diungkapkan dalam bahasa lisan maupun tertulis, sebagai: jawaban, penyataan, penjelasan,
pendapat, informasi, berita, tindakan, peraturan (Wahana, 2016).
1. Jenis-Jenis Kebenaran
Menurut Ford (2006), kebenaran atau truth dapat dibedakan atas 4 macam, diantaranya:
a. Kebenaran metafisik (T1).
Sesungguhnya kebenaran ini tidak bisa diuji kebenarannya (baik melalui justifikasi
maupun falsifikasi/kritik) berdasarkan norma eksternal seperti kesesuaian dengan alam, logika
deduktif, atau standar-standar perilaku profesional. Kebenaran metafisik merupakan kebenaran
yang paling mendasar dan puncak dari seluruh kebenaran (basic, ultimate truth) karena itu
harus diterima apa adanya (given for granted). Misalnya, kebenaran iman dan doktrin-doktrin
absolut agama.
b. Kebenaran etik (T2).
Kebenaran etik merujuk pada perangkat standar moral atau profesional tentang perilaku
yang pantas dilakukan. Seseorang dikatakan benar secara etik bila ia berperilaku sesuai dengan
standar perilaku itu. Sumber kebenaran etik bisa berasal dari kebenaran metafisik atau dari
norma sosial-budaya suatu kelompok masyarakat atau komunitas profesi tertentu. Kebenaran
ini ada yang mutlak (memenuhi standar etika universal) dan ada pula yang relatif.
c. Kebenaran logika (T3).
Sesuatu dianggap benar apabila secara logik atau matematis konsisten dan koheren dengan
apa yang telah diakui sebagai benar atau sesuai dengan apa yang benar menurut kepercayaan
metafisik. Aksioma metafisik yang menyatakan bahwa 1+1= 2 maka secara logika dapat
dianggap benar. Namun demikian, di dalam kebenaran ini juga tidak terlepas dari konsensus
orang-orang yang terlibat di dalamnya. Misalnya, 1+1 ≠ 3, karena secara konsensus telah
diterima demikian.
d. Kebenaran empirik (T4).
Kebenaran ini yang lazimnya dipercayai melandasi pekerjaan ilmuwan dalam melakukan
penelitian. Sesuai (kepercayaan asumsi, dalil, hipotesis, proposisi) dianggap benar apabila
konsisten dengan kenyataan alam, dalam arti dapat diverifikasi, dijustifikasi, atau kritik
(Suaedi, 2016).
2. Teori Kebenaran
Berikut ini beberapa contoh teori kebenaran, yang nampak sekali menekankan salah satu
langkah proses manusia mengusahakan pengetahuan.
a. Teori Kebenaran Korespondensi
Teori ini dikenal sebagai salah satu teori kebenaran tradisional, atau teori yang paling tua. Teori
ini dimunculkan oleh Aristoteles. Menurut Aristoteles, mengatakan hal yang ada sebagai tidak ada,
atau yang tidak ada sebagai ada, adalah salah. Sedangkan mengatakan hal yang ada sebagai ada,
atau yang tidak ada sebagai tidak ada, adalah benar. Dengan ini Aristoteles sudah meletakkan dasar
bagi teori kebenaran korespondensi, yaitu bahwa kebenaran adalah persesuaian antara apa yang
dikatakan dengan kenyataan. Pernyataan dianggap benar kalau apa yang dinyatakan di dalamnya
berhubungan atau punya keterkaitan (correspondence) dengan kenyataan yang diungkapkan
dalam pernyataan itu.
Menurut teori ini, kebenaran terletak pada kesesuaian antara subjek dan objek, yaitu apa yang
diketahui subjek dan realitas objektif sebagaimana adanya. Contoh: “Bumi adalah bulat”
merupakan suatu pernyataan yang benar, karena dalam kenyataannya pernyataan itu didukung atau
sesuai dengan kenyataan. Sedangkan pernyataan “Kerusuhan-kerusuhan akhir-akhir ini didalangi
oleh pihak ketiga.” adalah benar, bila dalam kenyataannya memang ada pihak ketiga yang
mendalangi kerusuhan-kerusuhan tersebut. Namun bila pernyataan-pernyataan tersebut tidak
didukung oleh kenyataan atau fakta yang terjadi, maka pernyataan tersebut salah.
Teori korespondensi ini sangat ditekankan oleh aliran empirisme yang mengutamakan
pengalaman dan pengamatan indrawi sebagai sumber utama pengetahuan manusia. Teori ini
sangat menghargai pengamatan, percobaan atau pengujian empiris untuk mengungkapkan
kenyataan yang sebenarnya. Teori ini lebih mengutamakan cara kerja dan pengetahuan aposteriori,
yaitu pengetahuan yang terungkap hanya melalui dan setelah pengalaman dan percobaan empiris.
b. Teori Kebenaran Koherensi
Teori kebenaran koherensi dianut oleh kaum rasionalis seperti Leibniz, Spinoza, Descartes,
Hegel, dan yang lainnya. Menurut teori ini, kebenaran tidak ditemukan dalam kesesuaian antara
proposisi dengan kenyataan, melainkan dalam relasi antara proposisi baru dengan proposisi yang
sudah ada sebelumnya dan telah diakui kebenarannya. Suatu pengetahuan, teori, pernyataan
proposisi, atau hipotesis dianggap benar kalau sejalan dengan pengetahuan, teori, proposisi, atau
hipotesis lainnya, yaitu kalau proposisi itu konsisten dengan proposisi sebelumnya yang dianggap
benar. Matematika dan ilmu-ilmu pasti sangat menekankan teori kebenaran koherensi.
Sebagai contoh: “Lilin akan mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih.”
bagi kaum rasionalis yang menganut kebenaran koherensi, untuk mengetahui kebenaran
pernyataan itu kita cukup mencek apakah pernyataan ini sejalan dengan pernyataan-pernyataan
lainnya. Apakah pernyataan ini meneguhkan pernyataan-pernyataan lainnya. Ternyata pernyataan
ini benar, karena sesuai dengan pernyataan bahwa lilin termasuk bahan parafin, dan parafin selalu
mencair pada suhu minimal 60 derajat Celcius. Dan dengan demikian lilin tentu saja akan mencair
bila dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih (suhunya 100 derajat Celcius, lebih tinggi
daripada kemungkinan mencairnya lilin yang berasal dari bahan parafin). Ini berarti bahwa
pernyataan “Lilin mencair kalau dimasukkan ke dalam air yang sedang mendidih.” adalah
pernyataan yang benar tanpa perlu dirujuk pada realitas.
Teori kebenaran koherensi lebih menekankan kebenaran rasional-logis dan juga cara kerja
deduktif. Pengetahuan yang benar hanya dideduksikan atau diturunkan sebagai konsekuensi logis
dari pernyataan-pernyataan lain yang sudah ada, dan yang sudah dianggap benar. Teori kebenaran
koherensi lebih menekankan kebenaran dan pengetahuan apriori. Ini berarti pembuktian atau
justifikasi sama artinya dengan validasi, yaitu memperlihatkan apakah kesimpulan yang
mengandung kebenaran tadi memang diperoleh secara sahih (valid) dari proposisi-proposisi lain
yang telah diterima sebagai benar.
c. Teori Kebenaran Pragmatis
Teori ini dikembangkan dan dianut oleh filsuf-filsuf pragmatis dari Amerika, seperti Charles
S. Pierce, William James, dan John Dewey. Bagi kaum pragmatis, kebenaran sama artinya dengan
kegunaan. Jadi, ide, konsep, pernyataan, atau hipotesis yang benar adalah ide yang berguna. Ide
yang benar adalah ide yang paling mampu memungkinkan seseorang berdasarkan ide itu
melakukan sesuatu secara paling berhasil dan tepat guna. Dengan kata lain, berhasil dan berguna
adalah kriteria utama untuk menentukan apakah suatu ide benar atau tidak. Contohnya, ide bahwa
kemacetan di jalan-jalan besar di Jakarta disebabkan terlalu banyak kendaraan pribadi yang
ditumpangi satu orang. Maka, konsep solusinya, “wajibkan kendaraan pribadi ditumpangi
minimum 3 penumpang”. Ide tadi benar kalau ide tadi berguna dan berhasil memecahkan
persoalan kemacetan.
Kebenaran pragmatis sebenarnya juga mencakup kebenaran empiris. Namun kebenaran
pragmatis lebih bersifat radidkal, karena kebenaran pragmatis tidak hanya sesuai dengan
kenyataan, melainkan juga pernyataan yang benar (sesuai dengan kenyataan) itu memang dalam
kenyataannya berguna bagi manusia. Kebenaran bagi kaum pragmatis mengandung suatu sifat
yang baik. Suatu ide atau teori tidak pernah benar kalau tidak baik untuk sesuatu. Dengan
kebenaran, manusia dibantu untuk melakukan sesuatu secara berhasil.
d. Teori Kebenaran Sintaksis
Teori ini berkembang di antara para filsuf analisa bahasa, terutama yang begitu ketat terhadap
pemakaian gramatika seperti Friederich Schleiermacher. Para penganut teori kebenaran sintaksis,
berpangkal tolak pada keteraturan sintaksis atau gramatika yang dipakai oleh suatu pernyataan
atau tata-bahasa yang melekatnya. Sehingga kebenaran ini terkait dengan bagaimana suatu hasil
pemikiran diungkapkan dalam suatu pernyataan bahasa (lisan atau tertulis) yang perlu dirangkai
dalam suatu keteraturan sintaksis atau gramatika yang digunakannya.
Suatu ide, konsep, atau teori dinyatakan benar, bila berhasil diungkapkan menurut aturan
sintaksis yang baku. Kebenaran baru akan nampak dalam suatu pernyataan bahasa (lisan atau
tertulis). Sehingga benar atau salahnya suatu pernyataan sangat dipengaruhi oleh keteraturan
sintaksis serta penataan bahasa yang digunakannya. Apabila mampu dinyatakan dalam wujud
bahasa dengan aturan sintaksis yang baku, maka pernyataan tersebut dapat dikatakan benar,
sedangkan apabila tidak mampu tentu saja itu salah.
e. Teori Kebenaran Semantis
Teori kebenaran semantis dianut oleh faham filsafat analitika bahasa yang dikembangkan
paska filsafat Bertrand Russell sebagai tokoh pemula dari filsafat Analitika Bahasa. Menurut teori
ini, benar atau tidaknya suatu proposisi didasarkan pada ada tidaknya arti atau makna dalam
proposisi terkait. Apabila proposisi tersebut memiliki arti atau makna, serta memiliki pengacu
(referent) yang jelas, maka proposisi dinyatakan benar, sedangkan apabila sebaliknya dapat
dinyatakan salah.
Proposisi itu mempunyai nilai kebenaran, bila proposisi itu memiliki arti. Arti diperoleh
dengan menunjukkan makna yang sesungguhnya, yaitu dengan menunjuk pada referensi atau
kenyataan. Arti yang dikemukakan itu memiliki sifat definitif, yaitu secara jelas menunjuk ciri
khas dari sesuatu yang ada. Arti yang termuat dalam proposisi tersebut dapat bersifat esoterik,
arbitrer, atau hanya mempunyai arti sejauh dihubungkan dengan nilai praktis dari subyek yang
menggunakannya.
f. Teori Kebenaran Performatif
Teori ini terutama dianut oleh filsuf seperti Frank Ramsey, Joh Austin, dan Peter Strawson.
Menurut teori performatif ini, suatu pernyataan dianggap benar kalau pernyataan itu menciptakan
realitas. Jadi, pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas tapi justru
dengan pernyataan itu tercipta suatu realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu.
Contohnya: “Dengan ini, saya mengangkat kamu menjadi bupati Bantul.” Dengan pernyataan itu,
tercipta sebuah realitas baru, yaitu realitas kamu sebagai bupati Bantul (Wahana, 2016).
C. Konfirmasi
Fungsi ilmu pengetahuan adalah menjelaskan, memrediksi proses dan produk yang akan
datang atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi
absolut atau probabilistik. Menampilkan konfirmasi absolut pada umumnya menggunakan asumsi,
postulat atau axioma yang sudah dipastikan benar, namun juga tidak salah bila mengeksplisitkan
asumsi dan postulatnya. Proses membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar
kepastian probabilistik dapat ditempuh secara induktif, deduktif ataupun reflektif (Sudiantara,
2020).
D. Logika Inferensi
Logika adalah ilmu tentang berpikir. Logika yang sangat berpengaruh adalah logika
matematika, yang menguasai positivisme. Positivisme Comte menampilkan kebenaran
korespondensi antara fakta, sedangkan Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi antara
yang dipercaya dengan fakta. Post-positivisme dan rasionalisme menampilkan kebenaran koheren
antara rasional, yaitu antara fakta dengan skema rasio. Fenomenologi Bogdan menampilkan
kebenaran koherensi antara fakta dengan skema moral. Realisme metafisik Popper menampilkan
kebenaran struktural paradigmatik rasional universal. Kesimpulan baru dianggap sah kalau
penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu, yakni berdasarkan logika.
Ada dua jenis logika yaitu logika alamiah dan logika ilmiah. Logika juga ada dua bagian yaitu,
logika induksi dan logika deduksi (Sumantri, 2000). Logika mengarah pada kemampuan
mengambil keputusan untuk bertindak. Logika ilmiah bersangkutan dengan proses perumusan
prinsip dalam arti pengetahuan. Logika deduktif merupakan cara penarikan kesimpulan dari hal-
hal yang bersifat umum menjadi hal-hal yang bersifat khusus (individual). Logika induktif
merupakan cara menarik kesimpulan dari kasus individual nyata menjadi kesimpulan yang sifatnya
umum.
Kemampuan menalar menyebabkan manusia dapat mengembangkan pengetahuan yang
merupakan rahasia kekuasaannya. Manusia dapat mengembangkan pengetahuannya karena dua
hal (Wilarjo, 1997); pertama karena ia memimiliki bahasa yang digunakan untuk
mengomunikasikan informasi dan pilihan-pilahan yang melatarbelakangi informasi tersebut, dan
kedua manausia memiliki kemampuan berpikir yang menuntut suatu alur kerangka pikir tertentu
atau yang disebut penalaran. penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang mempunyai
karakteristik tertentu dalam menemukan kebenaran. Penalaran merupakan proses berpikir dalam
menarik kesimpulan yang berupa pengetahuan. Di sini ditemukan adanya pola pemikiran yang
secara luas dapat disebut logika atau berpikr logis. Proses berpikir ini juga memiliki sifat analitis,
yang merupakan kegiatan berpikir berdasarkan langkah-langkah tertentu, seperti perasaan intuitif
yang merupakan cara berpikir secara analitis (Sudiantara, 2020).
E. Telaah Konstruksi Teori
Telaah konstruksi teori (Bangunan teori) adalah sekumpulan proporsi yang saling berkaitan
secara logis untuk memberikan pengertian mengenai sejumlah fenomena. Atau bisa diartikan
abstrak dari sejumlah konsep yang disepakatkan dalam definisi-definisi.
1. Model-Model Telaah Kontruksi Teori
Terdapat beberapa model dalam telaah konstruksi teori diantaranya:
a. Konstruksi Teori Model Korespondensi
Konstruksi berfikir korespondensi adalah bahwa kebenaran sesuatu dibuktikan dengan cara
menemukan relasi relevan dengan sesuatu yang lain. Tampilan korespondensi tersebut
beragam mulai dari korelasi, kausal, kontributif, sampai mutual. Konstruk berfikir statistik
kuantitatif dan juga pendekatan positifistik menggunakan cara ini. (Menurut Bertand Russel
suatu pernyataan benar jika materi pengetahuan yang dikandung oleh pernyataan itu
berkorespondensi (berhubungan/cocok) dengan obyek yang dituju oleh pernyataan itu.
Misalnya, jika ada seseorang yang mengatakan “Ibu kota republik Indonesia adalah Jakarta”
maka pernyataan itu benar sebab pernyataan itu sesuai dengan fakta objektif.
b. Konstruksi Teori Model Koherensi
Konstruksi teori model koherensi merentang dari koheren dalam makna rasional sampai
dalam makna moral. Konstruk koheren dalam makna rasional adalah kesesuaian sesuatu
dengan skema rasional tertentu, termasuk juga kesesuaian sesuatu dengan kebenaran obyektif
rasional. Aristoteles dalam teori koherensi memberikan standar kebenaran dengan cara
deduktif, yaitu kebenaran yang didasarkan pada kriteria koherensi yang dapat diungkap bahwa
berdasarkan teori koherensi suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat
koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila kita
menganggap benar bahwa “semua manusia pasti mati” adalah pernyataan yang benar, maka
pernyataan bahwa “si fulan adalah seorang manusia dan si Fulan pasti mati” adalah benar pula.
Sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Konstruksi berfikir koherensi kedua adalah yang dilandaskan kepada kebenaran moral dan
nilai. Sesuatu dipandang sebagai benar bila sesuai dengan moral tertentu. Moral dalam
maknanya yang luas menyangkut masalah: right or wrong, truth or false, justice or unfair,
human or inhuman dan lainnya. Hal ini terkait dengan kehidupan budi yang terjelma dalam
proses penilaian itu merupakan ciri manusia yang terpenting dalam kehidupan individu,
masyarakat dan kebudayaan, sebagai makhluk yang berkelakuan.
c. Konstruksi Teori Model Pragmatis
Konstruksi teori model Prgmatis berupaya mengkonstruk teorinya dari kosep-konsep,
pernyataan-pernyataan yang bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak.
Kebenaran suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak; Artinya suatu pernyataan adalah benar, jika
pernyataan itu atau implikasinya mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia.
Kaum pragmatis berpaling pada metode ilmiah sebagai metode untuk mencari pengetahuan
tentang alam ini yang dianggap fungsional dan berguna dalam menafsirkan gejala-gejala
alamiah. Agama bisa dianggap benar karena memberikan ketenangan pada jiwa dan ketertiban
dalam masyarakat. Para ilmuan yang menganut azas ini tetap menggunakan suatu teori tertentu
selama teori itu mendatangkan manfaat.
d. Konstruksi Teori Iluminasi
Teori Iluminasi menurut Mehdi Ha’iri Yazdi adalah pengetahuan yang semua
hubungannya berada dalam kerangka dirinya sendiri, sehingga seluruh anatomi gagasan
tersebut bisa dipandang benar tanpa membutuhkan hubungan eksterior. Artinya hubungan
mengetahui, dalam bentuk pengetahuan tersebut adalah hubungan objek tanpa campur tangan
koneksi dengan objek eksternal.
2. Bentuk-Bentuk Konstruksi Teori
Terdapat 2 bentuk dasar dalam konstruksi teori (bagunan teori) antara lain:
a. Konstruksi Teori Deduktif
Penekanan dalam jenis ini adalah terletak pada membangun sistem konstruk dan aturan
relasional yang secara konseptual dan logis konsisten tapi verifikasi empiris yang terbuka
untuk dipertanyakan. Penemu jenis teori bekerja dari atas ke bawah,membangun sebuah teori
yang tampaknya logis dengan basis apriori dan kemudian menguji kebenaran dari teori ini
dengan melakukan percobaan yang ditentukan oleh teori.
b. Konstruksi Teori Induktif
Pada jenis konstruksi teori ini, teori merupakan ringkasan pernyataan-pernyataan atau
generalisasi dari fakta-fakta empiris. Para penganut teori ini bekerja dari bawah keatas,
menyusun sistem (atau teori kecil) yang sudah diverifikasi dengan replikasi hasil penelitian
tertentu, kemudian memikirkan sistem tingkat tinggi yang menggeneralisir seluruh teori
miniature/kecil, dan akhirnya merumuskan teori yang dapat menjelaskan semua pernyataan
dalam skema.
3. Fungsi Telaah Konstruksi Teori
Fungsi dari telaah konstruksi teori antara lain:
a) Sebagai pedoman,bagan sistemanisasi,atau system acuan.
b) Memberikan suatu skema atau rencana sementara mengenai medan yang semula belum
dipetakan.
c) Menunjukkan atau menyarankan kearah-arah penyelidikan lebih lanjut.
d) Sebagai pengembangan teori vs pengumpulan fakta.
e) Untuk memberitahu para ilmuwan tempat untuk mencari jawaban atas pertanyaan.
f) Dapat digunakan sebagai untuk memprediksi.
g) Untuk memberi penjelasan peristiwa atau faktor-faktor yang tidak diketahui/dipahami.
(http://kampusunipdu.blogspot.com/2013/12/filsafat_12.html)
F. Memahami Filosof Alam dan Filosof Besar
1) Filosof Alam
Disebut filsafat alam ialah karena perhatian atau pemikiran para filsuf dipusatkan pada
alam (Bertens, 1975). Filsafat alam adalah filsafat yang berusaha untuk menjelaskan kejadian
alam, sifat-sifatnya da hukum-hukunya secara teoritis dan menyeluruh. Filsafat alam berasal
dari bahasa Latin philosophia naturalis adalah istilah yang melekat pada pengkajian alam dan
semesta fisika yang pernah dominan sebelum berkembangnya ilmu pengetahuan modern.
Filsafat alam dipandang sebagai pendahulu ilmu alam semisal fisika. Tokoh-tokoh Filsuf Alam
diantaranya Thales (624-546 SM), Anaximender (610-547 SM), Anaximenes (585-524 SM),
dan Pythagoras (580-500 SM).
2) Filosof Besar
Filsafat merupakan ilmu yang terus berkembang dan tak ada hentinya; selama manusia
masih bisa berpikir dan bumi masih berputar pada porosnya, perkembangan pemikiran tentang
dunia dan segala isinya akan terus hidup. Meskipun terus berjalan maju, perlu lah kita
menengok ke belakang dan memahami kehidupan para filsuf terkemuka pada masanya; tentang
pemikirannya yang masih relevan hingga hari ini. Ada 5 filsuf besar sepanjang masa,
diantaranya: Michael Foucault, Machiavelli, Jean Paul Sartre, Nietzsche, dan Confusius.
(https://kuliahdimana.id/index.php/berita/read/236/5-Filsuf-Besar-Sepanjang-Masa)
SUMBER:
Bertens, K. (1975). Sejarah Filsafat Yunani. Yogyakarta: Kanisius
Jena, Yeremias. (2015). Filsafat Ilmu: Kajian Filosofis atas Sejarah dan Metodologi Ilmu
Pengetahuan. Yogyakarta: Deepublish
Wahana, Paulus. (2016). Filsafat Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Diamond
Suaedi. (2016). Pengantar Filsafat Ilmu. Bogor: IPB Press Printing
Sudiantara, Yosephus. (2020). Filsafat Ilmu Pengetahuan Bagian pertama, Inti Filsafat Ilmu
Pengetahuan. Semarang: Universitas Katolik Soegijapranata
Sumantri, J. (2000). Filsafat ilmu: Sebuah pengantar populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
http://kampusunipdu.blogspot.com/2013/12/filsafat_12.html
https://kuliahdimana.id/index.php/berita/read/236/5-Filsuf-Besar-Sepanjang-Masa

Anda mungkin juga menyukai