Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

KEBENARAN ILMIAH
Disusun guna Memenuhi Tugas
Mata Kuliah: Filsafat Ilmu
Dosen Pengampu: Dr. Eko Sumadi, M. Pd.I.

Di Susun Oleh:

Ainy Musthofiyah (226050012)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


PASCASARJANA PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
TAHUN 2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia memiliki fitrah yang tertanam pada dirinya untuk memperoleh suatu
kebenaran sepanjang perjalanan hidupnya sampai menemukan bahwa kebenaran itu
sudah tidak lagi dianggap benar dan menemukan relasi kebenaran baru lagi. Proses
mencapai kebenaran membutuhkan langkah yang panjang. Karena dalam memperoleh
suatu hal yang sifatnya logis, empiris, dan pragmatis perlu menggunakan cara-cara
sebagai berikut yaitu mencari suatu realitas, sesuai dengan subjek dan mengatakan
apa adanya.

Begitu juga kebenaran ilmiah yang tidak bisa lepas dari proses kegiatan ilmiah
sampai dengan menghasilkan karya ilmiah yang diungkapkan atau diwujudkan. Suatu
kebenaran tidak akan muncul tanpa adanya prosedur yang mencangkup langkah,
kegiatan pokok, serta cara bertindak untuk memperoleh pengetahuan ilmiah hingga
dapat diwujudkan sebagai hasil karya ilmiah. Karena esensi kebenaran merupakan
sifat dari pengetahuan yang diperlukan. Sehingga perhatian dan pemikiran manusia
terhadap proses dan hasil pengetahuan dapat berbeda, yang dikemas dalam berbagai
macam teori kebenaran ilmiah.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian dari kebenaran ilmiah?
2. Bagimana teori kebenaran ilmiah?
3. Apa sifat dari kebenaran ilmiah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui arti dari kebenaran ilmiah
2. Untuk mengetahui teori kebenaran ilmiah
3. Untuk mengetahui sifat dari kebenaran ilmiah

BAB II

PEMBAHASAN
A. Arti Kebenaran Ilmiah

Kebenaran ilmiah telah ada sejak zaman Yunani Klasik. Kebenaran dalam
bahasa Yunani berasal dari kata “aletheia” yang artinya tidak tersembunyi atau tidak
menyembunyikan apa-apa (Sudiantara, 2020). Dalam bahasa Inggris berasal dari kata
“truth”, Anglo-Saxon “Treowt” (kesetiaan). Sedangkan dalam kamus bahasa
Indonesia kata “Kebenaran” menunjukkan kepada keadaan yang cocok dengan
keadaan sesungguhnya, sesuatu yang sungguh-sungguh adanya. Menurut Abbas
Hamami, jika subyek menyampaikan kebenaran artinya adalah proposisi itu benar
karena makna didalamnya tersimpan dalam suatu pernyataan (Idris, 1996).

Plato juga mengatakan bahwa pengetahuan yang diperoleh dengan alat dria
adalah pengetahuan yang semu, sedangkan pengetahuan yang benar adalah yang
diperoleh dengan akal. Berbeda dengan penganut aliran empirisme yang mengatakan
bahwa pengetahuan yang benar adalah yang diperoleh dengan perantara panca indra,
sedangkan yang diperoleh dengan akal hanya sebatas pendapat saja (Soelaiman,
2019). Sedangkan dari perspektif filosofis, terdapat langkah-langkah tersendiri dalam
menemukan pengetahuan yang benar (kebenaran ilmiah) yaitu:

1. Ketepatan atau kecocokan penentuan obyek atau sumber asal/ orang yang
mulai melakukan kegiatan berfikir ilmiah berdasarkan realitas yang ada.
2. Ketepatan atau kecocokan cara serta sarana yang digunakan untuk
menghasilkan bahan dalam melakukan kegiatan berfikir.
3. Ketepatan atau kecocokan proses penalaran dalam kegiatan berfikir yang
menghasilkan propisisi.
4. Ketepatan atau kecocokan menyatakan proposisi dalam berbagai
perwujudan termasuk dalam tindakan denga apa adanya (Paulus Wahana,
2016).

Sehingga, kebenaran dari ilmu merupakan kebenaran yang sifatnya obyektif,


atau dapat diartikan juga bahwa kebenaran berangkat dari suatu teori yang lebih tinggi
dari aksioma (pernyataan yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian)
dan paradigma yang didukung oleh fakta bersifat empiris dalam keadaan obyektif
(Sierrad, 2007). Demikian, suatu konsep, teori, pengetahuan memiliki kebenaran jika
terdapat sifat yang berhubungan dengan fakta dan termasuk dalam obyek dari
kegiatan ilmiah yang sedang ditunaikan (Paulus Wahana, 2016).
Terlepas dari pengertian kebenaran tersebut, kebenaran ilmiah tidak terlepas
dari 3 hal berikut, yaitu:

a. Kebenaran memiliki hubungan dengan kualitas pengetahuan, yaitu


pengetahuan ilmiah yang bersifat relative dan telah menetapkan obyek khusus
dengan menerapkan metodologis yang mendapatkan kesepakatan dari para ahli
sesuai bidangnya. Misalnya seperti pengetahuan falsafati yaitu pengetahuan
yang bersifat absolut-intersubyektif yang didalamnya memuat jenis
pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran falsafati
dengan model pemikiran analitis, kritis, dan spekulatif, dan pengetahuan agama
yang bersifat dogmatis, dimana pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri
oleh keyakinan yang telah ditentukan sehingga pernyataan dalam ayat suci
kitab memiliki nilai kebenaran.
b. Kebenaran berkaitan dengan sifat/karakteristik dari bagaimana cara atau bisa
juga untuk mengetahui alat apa yang digunakan seseorang pada saat
membangun pengetahuan itu. Terdapat 4 jenis alat yang digunakan yaitu
indrawi, akal budi, intuitif, dan kepercayaan atau otoritatif.
c. Kebenaran berkaitan dengan ketergantungan terjadinya pengetahuan itu.
Maksudnya bagaimana hubungan antara subyek dan obyek mana yang lebih
dominan untuk membangun suatu pengetahuan (Idris, 1996).

B. Teori – Teori Kebenaran Ilmiah

Teori kebenaran sebenarnya beriringan dengan teori pengetahuan yang


dibangunnya. Sebagaimana pengetahuan yang tidak diidentifikasi secara menyeluruh,
melainkan dilihat dari aspek tertentu saja. Sama halnya dengan kebenaran yang hanya
diperoleh dari pemahaman pengetahuan yang tidak menyeluruh. Sehingga setiap teori
kebenaran yang dibahas lebih menekankan pada salah satu aspek dari proses
mengusahakan kebenaran pengetahuan (Paulus Wahana, 2016). Adapun teori
kebenaran ilmiah yang digunakan dalam proses manusia mengusahakan pengetahuan

a) Teori Kebenaran Korespondensi


Teori kebenaran korespondensi merupakan teori tradisional atau teori
paling tua (Paulus Wahana, 2016), yang dibawa oleh Aristoteles yang biasa
disebut juga teori penggambaran, dimana kebenaran adalah persesuaian antara
pikiran dan pernyataan (veritas adaequatio intelectus et rhei es)(Sudiantara,
2020). Teori ini juga biasa disebut dengan the accordance theory of truth,
maksudnya teori kebenaran atau keadaan benar itu saling berhubungan antara
subyek dan obyek yaitu apa yang diketahui subyek dengan realitas dan obyek
yang apa adanya (Paulus Wahana, 2016). Suatu propisisi atau pernyataan itu
benar jika terdapat suatu fakta yang setara dengan kenyataan. Sehingga arti
kebenaran dalam teori korespondensi yaitu yang sesuai dengan fakta, sepakat
dengan realitas, san serasi dengan situasi aktual (Sudiantara, 2020). Contoh:
Perempuan dapat melahirkan dan mengandung. Sedangkan laki-laki tidak bisa.
Jadi orang yang dapat mengandung dan melahirkan bukan laki-laki, melainkan
perempuan.
Teori ini dianut oleh realisme empirisme, dimana lebih menekankan pada
bukti kebenaran suatu pengetahuan yang diantarkan obyek dan dapat ditangkap
langsung oleh panca indra manusia. Aliran teori ini sangat menghargai observasi
empiris serta menghargai cara kerja asposteriori (setelah diketahui keadaan
sebenarnya), lebih condong pada pangkal adanya dualitas antara pengenal dan
apa yang dikenal (Sudiantara, 2020).
Terlepas dari pengertian tersebut, Adapun persoalan yang dihadapi dalam
teori ini yaitu bahwa semua pernyataan, proposisi, atau hipotesis yang tidak
didukung oleh bukti empiris tidak dianggap benar. Misalnya pernyataan “Ada
Tuhan yang Maha Kuasa”, tidak akan dianggap sebagai suatu kebenaran kalua
tidak ada bukti empirisnya, tetapi hanya dianggap sebagai suatu keyakinan
(Paulus Wahana, 2016).
b) Teori Kebenaran Koherensi

Teori koherensi menempatkan kebenaran sebagai keteguhan. Teori ini


digagas kaum idealis atau rasionalis seperti Plato dan Aristoteles yang
dikembangkan oleh Hegel dan F.H Bradley, yang menempatkan kebenaran pada
kesesuaian antara suatu pernyataan yang sekarang dengan pernyataan lain yang
sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai benar. Maksudnya,
suatu putusan dianggap benar apabila mendapat kesaksian oleh keputusan
terdahulu yang sudah diketahui, diterima dan diakui kebenarannya (Sudiantara,
2020). Sehingga, kebenaran sesungguhnya berkaitan dengan implikasi logis dari
sistem pemikiran yang ada. Contoh : Lilin akan mencair kalau dimasukkan
kedalam air yang sedang mendidih. Kalau kaum empiris penganut teori
kebenaran korespondensi akan melakukan penelitian atau pengamatan terlebih
dahulu, berbeda dengan kaum idealis atau rasionalis yang menganut paham
koherensi, mereka cukup melihat apakah sejalan dengan pernyataan lainnya.
Apakah pernyataan ini meneguhkan pernyataan lainnya. Dan ternyata pernyataan
itu benar, bahwa lilin terbuat dari bahan prafin, dimana bahan itu akan mencair
disuhu 60 derajat Celcius (Paulus Wahana, 2016).

Suatu proposisi itu adalah benar jika itu saling berhubungan dengan
proposisi yang benar atau jika arti yang terkandung dalam proposisi itu koheren
dengan pengalaman sebelumnya (Sudiantara, 2020). Sehingga teori ini lebih
menekankan kebenaran dan pengetahuan apriori, maksudnya pembuktian sama
artinya validasi dengan memperlihatkan kesimpulan tersebut diperoleh secara
sahih (valid) (Paulus Wahana, 2016).

c) Teori Kebenaran Pragmatis

Teori pragmatis dicetuskan oleh Charles S. Piere, John Dewey dan


Wiliam James. Pragmatisme berasal dari bahasa Yunani “pragma” artinya yaitu
yang dikerjakan, yang dapat dilaksanakan, dilakukan dan tindakan. Jadi menurut
teori ini, kebenaran dianggap benar bergantung pada asas manfaat (Sudiantara,
2020). Ide, konsep, pernyataan, atau hipotesis adalah ide yang berguna. Contoh:
kemacetan di jalan Pantura disebabkan karena terlalu banyak kendaraan pribadi
yang ditumpangi satu orang. Sehingga, konsepnya dengan mewajibkan
kendaraan pribadi minimal ditumpangi 3 orang. Ide tersebut dianggap benar jika
dapat direalisasikan untuk memecahkan masalah tersebut (Paulus Wahana,
2016).

Disini Piere menyatakan bahwa ide yang jelas dan benar mau tidak mau
mempunyai konsekuensi praktis pada tindakan tertentu. Kemudian
dikembangkan oleh Willian James yang mengatakan bahwa fungsi dari berfikir
bukan untuk menangkap melainkan untuk membentuk ide tertentu demi
kepentingan manusia lainnya. Sedangkan menurut John Dawey, jika ingin
memahami pengaruh suatu ide atas pengalaman dan kehidupan, maka harus
melihat bagaimana ide tersebut membantu memecahkan persoalan yang ada.
Semakin berguna ide tersebut dalam menjawab dan memecahkan masalah, maka
ide itu dianggap paling benar (Paulus Wahana, 2016).

Kebenaran ini bersifat baik, dimana manusia didukung untuk melakukan


sesuatu secara berhasil (Paulus Wahana, 2016). Jadi, kebenaran yang terealisasi
dalam praktik ilmu dan teori juga terlaksana pada manusia. Kata kunci dari teori
ini adalah utility (kegunaan), workability (dapat dikerjakan), satisfactory
consequencies (akibat atau pengaruhnya yang memuaskan) (Sudiantara, 2020).

d) Teori Kebenaran Sintaksis

Teori Sintaksis dikembangkan oleh para filsuf analitika bahasa terutama


dalam penyusunan tata bahasa dan logika bahasa seperti Betrand Russell dan
Ludwig Wittgenstein. Bahasa dalam teori ini memegang peran fundamental
dalam pandangan dan pemikiran filosofis secara verbal. Menurut aliran yang
berada dalam teori ini, tugas filsafat itu membangun dan mengembangkan
bahasa untuk mengatasi kelemahan bahasa sehari-hari. Adapun cara yang
digunakan oleh Betrand Russell, ia mengatakan bahwa logika merupakan suatu
yang sentral dalam filsafat dan proposisi sebagai simbol bahasa yang
mengungkapkan fakta. Untuk membentuk proposisi majemuk, maka proposisi
atomis dirangkai dengan kata penghubung yseperti “dan” , “atau”, serta kata
penghubung lainnya (Paulus Wahana, 2016).

Teori ini berpangkal pada aturan sintakis atau gramatika yang dipakai
dalam suatu pernyataan atau tata bahasa seperti bahasa baku yang berfungsi
untuk mengungkapkan ide, konsep, atau teori yang telah dihasilkan dari proses
pemikiran dalam komunikasi satu sama lain. Sehingga kebenaran teori sintakis
berhubungan dengan bagaimana suatu hasil pemikiran yang diungkapkan dalam
suatu pernyataan bahasa yang perlu dirangkai dalam suatu keteraturan sintaksis
atau gramatika yang digunakan. Jika pernyataan bahasa tersebut tidak didasarkan
pada aturan bahasa maka hasil dari itu tidak memiliki makna apapun (Paulus
Wahana, 2016).

e) Teori Kebenaran Semantis

Teori Semantis dianut oleh faham filsafat analitika yang dikembangkan


pasca filsafat Betrand Russell. Teori ini berangkat dari pendapat Aristoteles yang
mengatakan bahwa “Mengungkapkan sesuatu yang ada sebagai yang ada dan
sesuatu yang tidak ada sebagai sesuatu yang tidak ada, adalah benar”. Dan
mengacu pada teori korespondensi yang menyatakan bahwa “kebenaran terdiri
dari hubungan kesesuaian antara apa yang dikatakan dengan apa yang terjadi
sesuai realitas”. Sehingga dalam teori ini, benar atau tidaknya suatu proposisi
didasarkan pada ada tidaknya arti atau makna dalam proposisi terkait (Paulus
Wahana, 2016).

f) Teori Kebenaran Performatif

Teori kebenaran performatif dianut oleh filsuf seperti Frank Ramsey, Joh
Austin, dan Peter Strawson. Mereka menentang teori klasik bahwa “benar” dan
“salah” adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu. Sedangkan dalam
teori ini, pernyataan dianggap benar itu bukan pernyataan yang mengungkapkan
realitas, tetapi pernyataan itu menciptakan realitas. Contoh: dengan ini saya
mengangkat kamu sebagai bupati Bantul (Paulus Wahana, 2016).

C. Sifat Kebenaran Ilmiah

Sifat kebenaran jika dilihat dari jenis kata maka kebenaran masuk dalam kata
benda yang merupakan kata jadian dari kata sifat “benar” (sebagai kata dasarnya),
karena termasuk dalam rekayasa morfologis supaya dapat membentuk kata yang
termasuk kata sifat itu diposisikan sebagai subyek dan obyek dalam suatu struktur
kalimat, sehingga perlu dijadikan suatu kata benda terlebih dahulu meskipun pada
realisasinya kata “benar” termasuk dalam kata sifat. Namun, sifat benar juga bisa
masuk dalam ruang kegiatan berfikir maupun kegiatan realisasi hasil pemikiran yang
diterangkan dalam bahasa lisan maupun tulisan sebagai jawaban, penjelasan,
pernyataan, pendapat, informasi, berita, tindakan, maupun peraturan (Paulus Wahana,
2016).

Sedangkan menurut Konrag Kebung, sifat kebenaran dibagi menjadi 3 yaitu:

1. Struktur rasional-logis. Pada sifat ini hakikatnya kebenaran ilmiah bersifat


rasional, maka semua orang yang rasional dapat memahami kebenaran
ilmiah. Contoh: melakukan tindakan tertawa dan menangis. Sehingga
dalam sifat ini kebenaran dapat dicapai berdasarkan kesimpulan logis atau
rasional dari proposisi atau premis tertentu.
2. Isi empiris. Pada sifat ini, hakikatnya kebenaran ilmiah memerlukan tahap
uji coba dengan realisasi yang ada, karena sebagian besar pengetahuan dan
kebenaran ilmiah berkaitan dengan kenyataan empiris di alam ini. Biarpun
seperti itu, tetapi spekulasi disini tetap ada hanya sampai tingkat tertentu.
Spekulasi itu bisa dikatakan sebagai nyata atau tidak berdasarkan suatu
pernyataan yang benar secara empiris.
3. Isi pragmatisme (dapat diterapkan). Esensi sifat pragmatis berusaha
menggabungkan kedua sifat kebenaran sebelumnya (logis dan empiris).
Artinya jika suatu pernyataan benar dinyatakan benar secara logis dan
empiris, maka pernyataan tersebut harus berguna bagi kehidupan manusia
(Ningsih, Dwi Sulistyawati, n.d.).

BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

Kebenaran ilmiah menjadi peran utama dalam pencarian pengetahuan yang


bersifat logis, empiris, dan pragmatis. Karena kebenaran merupakan suatu
pengetahuan yang jelas dan pasti kebenarannya menurut norma-norma keilmuan yang
mengarah pada sifat obyektif, dimana didalamnya terkandung berbagai pengetahuan
berdasarkan sudut pandang yang berbeda-beda dan semua sudut pandang itu
tersimpan dalam enam teori yaitu pertama, teori kebenaran korespondensi merupakan
teori tradisional atau teori paling tua, yang biasa disebut juga teori penggambaran,
dimana kebenaran adalah persesuaian antara pikiran dan pernyataan (veritas
adaequatio intelectus et rhei es). Kedua, Teori kebenaran koherensi menempatkan
kebenaran sebagai keteguhan. Ketiga, teori kebenaran pragmatis, yaitu kebenaran
dianggap benar bergantung pada asas manfaat. Keempat, teori kebenaran sintaksis
yang berpangkal pada aturan sintakis atau gramatika yang dipakai dalam suatu
pernyataan atau tata bahasa. Kelima, teori kebenaran semantis,dimana benar atau
tidaknya suatu proposisi didasarkan pada ada tidaknya arti atau makna dalam
proposisi terkait. Keenam, teori kebenaran performatif, dimana pernyataan dianggap
benar itu bukan pernyataan yang mengungkapkan realitas, tetapi pernyataan itu
menciptakan realitas.

Berbagai macam kebenaran ilmiah dicari melalui berbagai langkah seperti


penyelidikan, pengalaman dan percobaan. Demikian, suatu konsep, teori, pengetahuan
memiliki kebenaran jika terdapat sifat yang berhubungan dengan fakta dan termasuk
dalam obyek dari kegiatan ilmiah yang sedang ditunaikan.

DAFTAR PUSTAKA
Idris, Saifullah.1996. Kebenaran Ilmiah Menurut Perspektif Filsafat Ilmu. Jurnal Filsafat,
123(Desember), 124

Ningsih, Dwi Sulistyawati, dkk. (n.d.). No Title.


https://www.academia.edu/39345589/Teori_Kebenaran_Dalam_Perspektif_Filsafat_Ilm
u

Paulus,Wahana.2016. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jurnal Pustaka Diamond, 211(9), 1689–


1699. https://repository.usd.ac.id/7333/1/3. Filsafat Ilmu Pengetahuan (B-3).pdf

Sierrad, M. Z. 2007. Arti dan makna kebenaran ilmiah dalam perspektif filsafat
ilmu.Yogyakarta: Universitas Widya Mataram

Soelaiman, D. A.2019. Filsafat Ilmu Pengetahuan Pespektif Barat dan Islam.Banda Aceh:
Bandar Publishing

Sudiantara, Y.2020. Filsafat Ilmu, Induksi.Semarang: Unika Soegijapranata

Anda mungkin juga menyukai