Anda di halaman 1dari 13

TEORI KEBENARAN DALAM FILSAFAT (PRAGMATISME dan HUDURI)

Siti Khairani Itsnainy


UIN Alauddin Makassar
Itsnainy37@gmail.com

A. PENDAHULUAN

Manusia selalu berusaha menemukan kebenaran. Beberapa cara ditempuh

untuk memperoleh kebenaran, antara lain dengan menggunakan rasio seperti para

rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang

diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang dengan penalaran rasional,

kejadian-kejadian yang berlaku di alam itu dapat dimengerti. Ilmu pengetahuan harus

dibedakan dari fenomena alam. Fenomena alam adalah fakta, kenyataan yang tunduk

pada hukum-hukum yang menyebabkan fenomena itu muncul. Ilmu pengetahuan

adalah formulasi hasil telaah atas fenomena alam atau penyederhanaan atas fenomena

tersebut.

Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal

menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut

menunjukkan tingkat kebenaran yang berbeda. Pengetahuan indrawi merupakan

struktur terendah dalam struktur tersebut. Tingkat pengetahuan yang lebih tinggi adalah

pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat yang lebih rendah menangkap kebenaran

secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada umumnya kabur, khususnya pada

pengetahuan indrawi dan naluri. Oleh sebab itulah pengetahuan ini harus dilengkapi

dengan pengetahuan yang lebih tinggi. Pada tingkat pengetahuan rasional-ilmiah,

manusia melakukan penataan pengetahuannya agar terstruktur dengan jelas.


2

Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu ontologi, epistemologi dan

aksiologi. Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya dengan

ilmu pengetahuan, filsafat ini membahas tentang apa yang bisa dikategorikan sebagai

objek ilmu pengetahuan. Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu

pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern, jalan bagi diperolehnya ilmu

pengetahuan adalah metode ilmiah dengan pilar utamanya rasionalisme dan empirisme.

Aksiologi menyangkut tujuan diciptakannya ilmu pengetahuan, dengan kata lain


membahasa aksiologi berarti berbicara tentang nilai.

Sumber pengetahuan dalam dunia ini berawal dari sikap manusia yag

meragukan setiap gejala yang ada di alam semesta ini. Manusia tidak mau menerima

begitu saja hal-hal yang ada, termasuk nasib dirinya sendiri. Rene Descarte pernah

mengatakan “De Omnibus Dubitandum”, artinya adalah segala sesuatu harus

diragukan. Persoalan mengenai kriteria untuk menetapkan kebenaran itu sulit

dipercaya. Dari berbagai aliran maka muncul lah berbagai kriteria kebenaran1

B. PEMBAHASAN

Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan manusia. Dalam kaitan
dengan filsafat, kebenaran menurut Maufur merupakan tujuan yang hendak dicapai

oleh filsafat maupun ilmu pengetahuan.2 Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani

manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu

berusaha “memeluk” suatu kebenaran. Berbicara tentang kebenaran ilmiah tidak bisa

1
Jonathan Sarwono. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. (Cet. I; Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2006) h. 6.
2
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan
Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 86
3

dilepaskan dari makna dan fungsi ilmu itu sendiri sejauh mana dapat digunakan dan

dimanfaatkan oleh manusia. Di samping itu proses untuk mendapatkannya haruslah

melalui tahap-tahap metode ilmiah. Manusia hidup di dunia ini pada hakekatnya

mempunyai keinginan untuk mencari pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan

merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu. Pengetahuan menurut arti

sempit sebuah keputusan yang benar dan pasti.3

Teori-Teori Kebenaran

Purwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia,4 menerangkan bahwa

kebenaran itu adalah 1). Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal

atau keadaan yang sesungguhnya. Misalnya kebenaran berita ini masih saya ragukan,

kita harus berani membela kebenaran dan keadilan. 2). Sesuatu yang benar (sungguh-

sungguh ada, betul-betul hal demikian halnya, dan sebagainya). Misalnya kebenaran-

kebenran yang diajarkan agama. 3). Kejujuran, kelurusan hati, misalnya tidak ada

seorangpun sangsi akan kebaikan dan kebenaran hatimu.5

Sedang menurut Abbas Hamami,6 kata “kebenaran” bisa digunakan sebagai

suatu kata benda yang konkrit maupun abstrak. Jika subyek hendak menuturkan

kebenaran artinya adalah proposisi yang benar. Proposisi maksudnya adalah makna

yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement. Adanya kebenaran itu selalu

dihubungkan dengan pengetahuan manusia (subyek yang mengetahui) mengenai

obyek. Jadi, kebenaran ada pada seberapa jauh subjek mempunyai pengetahuan

3
Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012), h. 85.
4
Idzam Fautanu, Filsafat Ilmu; Teori dan Aplikasi,(Jakarta: Referensi, 2012), h. 96.
5
Ahmad Atabik, Teori Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu, Fikrah, Vol. 2, No. 1, Juni 2014,
2.1 (2014), 253–71.
6
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, (Yogyakarta: Liberti, 2003), h. 135
4

mengenai objek. Sedangkan pengetahuan berasal mula dari banyak sumber. Sumber-

sumber itu kemudian sekaligus berfungsi sebagai ukuran kebenaran7. Berikut ini adalah

teori-teori kebenaran yang lazim dikemukakan para ahli:

1. Teori Kebenaran Korespondensi

Kebenaran korespondesi adalah kebenaran yang bertumpu pada relitas objektif.

Kesahihan korespondensi itu memiliki pertalian yang erat dengan kebenaran dan
kepastian indrawi. Sesuatu dianggap benar apabila yang diungkapkan (pendapat,

kejadian, informasi) sesuai dengan fakta (kesan, ide-ide) di lapangan. Contohnya: ada

seseorang yang mengatakan bahwa Provinsi Yogyakarta itu berada di Pulau Jawa.

Pernyataan itu benar karena sesuai dengan kenyataan atau realita yang ada. Tidak

mungkin Provinsi Yogyakarta di Pulau Kalimantan atau bahkan Papua. Cara berfikir

ilmiah yaitu logika induktif menggunakan teori korespodensi ini. Teori kebenaran

menurut korespondensi ini sudah ada di dalam masyarakat sehingga pendidikan moral

bagi anak-anak ialah pemahaman atas pengertian-pengertian moral yang telah

merupakan kebenaran itu. Apa yang diajarkan oleh nilai-nilai moral ini harus diartikan

sebagai dasar bagi tindakan-tindakan anak di dalam tingkah lakunya. Menurut teori ini,

suatu pernyataan dianggap benar jika materi pengetahuan yang dikandung oleh

pernyataan itu berhubungan dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut.

2. Teori Kebenaran Koherensi

Teori ini disebut juga dengan konsistensi, karena mendasarkan diri pada

kriteria konsistensi suatu argumentasi. Makin konsisten suatu ide atau pernyataan yang

dikemukakan beberapa subjuk maka semakin benarlah ide atau pernyataan tersebut.

7
A. Susanto, Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis dan
Aksiologis, (Jakarta: Bumi Aksara, 2011), h. 85.
5

Paham koherensi tentang kebenaran biasanya dianut oleh para pendukung idealisme,

seperti filusuf Britania F. H. Bradley (1846-1924).

Teori ini menyatakan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan,

pendapat kejadian, atau informasi) akan diakui sahih atau dianggap benar apabila

memiliki hubungan dengan gagasan-gagasan dari proporsi sebelumnya yang juga sahih

dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan logika.

Sederhannya, pernyataan itu dianggap benar jika sesuai (koheren/konsisten) dengan


pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Contohnya; Setiap manusia pasti akan

mati. Fulan adalah seorang manusia. Jadi, Fulan pasti akan mati.

Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar jika pernyataan tersebut

konsisten dengan pertanyan-pertanyaan sebelumnya yang dianggap benar. Jadi, suatu

pernyataan dianggap benar apabila pernyataan tersebut dalam keadaan saling

berhubungan dengan pernyataan-pernyataan lain yang benar, atau jika makna yag

dikandungnya dalam keadaan saling berhubungan dengan pengalaman kita. Dengan

kata lain, suatu pernyataan itu benar jika mempunyai hubungan dengan ide-ide dari
8
pernyataan yang telah ada dan benar adanya.

3. Teori Kebenaran Pragmatik/Pragmatisme

Pramagtisme berasal dari bahasa Yunani, pragmai, artinya yang dikerjakan,

yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan bagi filsafat yang dikembangkan oleh

William James di Amerika Serikat. Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang

berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah,

personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah

8
Jonathan Sarwono. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. (Cet. I; Yogyakarta: Graha
Ilmu, 2006) h. 7
6

tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu

pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.9

Pragmatism merupakan aliran filsafat yang lahir di Amerika serikat akhir abad

ke-19, yang menekankan pentingnya akal budi (rasio) sebagai sarana pemecahan

masalah (problem solving) dalam kehidupan manusia baik masalah yang bersifat

teoritis maupun praktis.10 Tokoh pragmatism awal adalah Charles Sander Pierce (1834-

1914) yang dikenal juga sebagai tokoh semiotic, William James30 (1842-1910) dan
John Dewey (1859-1952). Menurut teori pragmatis, kebenaran suatu pernyataan diukur

dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis

manusia. Dalam artian, suatu pernyataan adalah benar, jika pernyataan itu atau

konsekuensi dari pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia.

Teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila ia membawa kepada akibat yang

memuaskan, apabila ia berlaku dalam praktik dan apabila ia mempunyai nilai praktis.

Misal lain, mengenai pertanyaan wujud Tuhan yang Esa. Menimbang teori

pragmatisme dengan teori-teori kebenaran sebelumya, pragmatisme memang benar

untuk menegaskan karakter praktis dari kebenaran, pengetahuan, dan kapasitas kognitif

manusia. Tapi bukan berarti teori ini merupakan teori yang terbaik dari keseluruhan
teori. Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuwan dalam menentukan

kebenaran ilmiah dalam perspektif waktu. Secara historis pernyataan ilmiah yang

sekarang dianggap benar suatu waktu mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan

dengan masalah seperti ini maka ilmuwan bersifat pragmatis selama pernyataan itu

fungsional dan mempunyai kegunaan maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya

pernyataan itu tidak lagi bersifat demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri

9
Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1994) h. 58.
10
Noeng Muhajir, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Rake Sarasin, 1998) h.20
7

yang menghasilkan pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan, demikian

seterusnya.

Artinya, suatu pernyataan itu benar jika pernyataan itu atau konsekuensi dari

pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Teori

pragmatis ini pertama kali dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah

makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul "How to Make Our Ideas Clear".

Dari pengertian diatas, teori ini (teori Pragmatik) berbeda dengan teori
koherensi dan korespondensi. Jika keduanya berhubungan dengan realita objektif,

sedangkan pragmamtik berusaha menguji kebenaran suatu pernyataan dengan cara

menguji melalui konsekuensi praktik dan pelaksanaannya.

Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima

pengalaman pribadi, kebenaran mistis, yang terpenting dari semua itu membawa akibat

praktis yang bermanfaat.

Menurut teori ini, suatu kebenaran pernyataan diukur dengan menggunakan

kriteria fungsional. Suatu pernyataan benar, jika pernyataan tersebut memiliki fungsi

atau kegunaan dalam hidup praktis. Jadi kebenaran menurut paham ini bukan

kebenaran yang dilihat dari segi etik, baik atau buruk, tetapi kebenaran yang didasarkan
pada kegunaanya.11

4. Teori kebenaran Huduri

Mehdi Ha’iri Yazdi, profesor filsafat di Universitas Teheran, menambahkan

bahwa ukuran kebenaran itu tidak hanya koherensi, korespondensi dan pragmatisme,

tetapi ada tambahannya, yaitu ilmu Hudhuri/Iluminasi. Ilmu Hudhuri adalah

pengetahuan dengan kehadiran karena ia ditandai oleh keadaan Neotic dan memiliki

11
A. Susanto, Filsafat Ilmu (Cet. I; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011), h. 87.
8

obyek imanen yang menjadikannya pengetahuan Swaobyek. Ilmu hudhuri berbeda

dengan korespondensi karena dalam korespondensi membutuhkan obyek diluar diri,

seperti meja dan kursi. Sementara ilmu Hudhuri tidak memiliki obyek di luar dirinya,

tetapi obyek itu sendiri ada adalah subyektif yang ada pada dirinya. Pengetahuan

dengan kehadiran ini, menurut Ha’iri Yazdi, adalah jenis pengetahuan yang semua

hubungannya berada dalam kerangka dirinya-sendiri, sehingga seluruh anatomi

gagasan tersebut bisa dipandang benar tanpa membutuhkan hubungan eksterior dari
luar dirinya. Artinya hubungan mengetahui, dalam bentuk pengetahuan tersebut adalah

hubungan swa obyektif tanpa campur tangan koneksi dengan obyek eksternal. Ha’iri

Yazdi mencontohkan dalam satu kasus: Aku benar-benar percaya bahwa “aku

mengetahui P”, tetapi apakah aku pada saat yang sama mengetahui diriku?” kalau

memang demikian berarti ada pengetahuan diriku yang benar-benar mengetahui ketika

mengalami pengetahuan tentang obyek eksternal P. Kalau aku tidak mengetahui

tentang diri, padahal dia (diri) mengetahui objek diluar dirinya, maka akan timbul

paradoks dari berbagai perspektif. Dengan demikian, jika seseorang benar-benar ingin

mengetahui suatu objek eksternal dalam penilaian diri, maka terlebih dahulu dia harus

mengetahui realitas dirinya sendiri. Pengetahuan tentang realitas dirinya ini seperti,
“Akal Aktif ”, yaitu agar hadir dalam dirinya obyek eksternal, sehingga ia dapat

mengetahui objek itu melalui korespondensi. Hubungan pengetahuan dengan

kehadiran dan pengetahuan dengen korespondensi harus di pandang sebagai hubungan

sebab-akibat dalam pengertian pencerahan dan emanasi. Hubungan jenis ini tidak lebih
9

dari pada hubungan sebab akibat efisien yang khas, tapi untuk membedakan kausasi

intelektual dari kausasi fisik, filsafat iluminasi menyebutnya dengan relasi iluminatif12

Dalam bukunya yang berjudul The principles of epistemology in Islamic

philosophy: knowledge by presence, Mehdi Ha’iri Yazdi menjelaskan bahwa

ilmu hudhūri merupakan pengetahuan yang dihadirkan atau diperoleh langsung dari

Tuhan melalui latihan (riyadhāh) rohani dengan tahap akhir dari ilmu ini ialah kesatuan
eksistensial mutlak dengan yang Esa, dengan kata lain ilmu hudhûrî merupakan ilmu

yang diperoleh tanpa adanya perantara, seperti halnya langsung diberikan oleh

Allah (‘ilm ladūnī), adapun perantara tersebut berupa materi dalam bentuk dan konsep

wujud yang nyata. Sedangkan ilmu hushūli merupakan pengetahuan yang diperoleh

dengan cara konsep atau konseptualisasi, baik lewat transformasi (naql) atau

rasionalitas (‘aql), dengan kata lain ilmu ini adalah ilmu yang diperoleh melalui

perantara yang bersifat materi, sedangkan dalam wujud non-materi, konsep ilmu

hushûlî tidak mampu menggapainya.

Salah satu misdâq (denotasi) ilmu hudhûrî adalah pengetahuan manusia tentang

wujud dirinya sendiri. Pengetahuan ini tidak mungkin diingkari, bahkan kaum shopis

pun meyakini bahwa “ukuran dari segala sesuatu adalah manusia”. Jadi, tidak mungkin

ada orang yang mengingkari pengetahuan dirinya tentang keberadaan dirinya sendiri.

Menurut Suhrawardi, ada dua sarana untuk bisa sampai pada

pengetahuan hushuli:

12
https://123dok.com/article/teori-kebenaran-korespondensi-koherensi-pragmatisme-dan-
hudhuri.qop46k7z diakses pada 09 Desember, 00;26 am.
10

1. Dengan memaksimalkan fungsi indrawi atau observasi empiris. Artinya, melalui

indra yang dimiliki, manusia mampu menangkap dan menggambarkan segala

objek indrawi (mahsusat), sesuai dengan pembenaran indrawi.

2. Melalui sarana daya pikir (observasi rasional), yaitu upaya rasionalisasi segala

objek rasio dalam bentuk spiritual (metafisik, ma’qulat) secara silogisme, yaitu

menarik kesimpulan dari hal-hal yang diketahui pada hal-hal yang belum

diketahui.

Sedangkan pengetahuan hudhuri, atau biasa juga disebut pengetahuan dengan

kehadiran, hanya bisa diperoleh melalui observasi ruhani. Pengetahuan

hudhuri ini bersumber dari sang pemberi pengetahuan tertinggi

berdasarkan mukasyafah dan illuminasi.

Menurut Mulla Shadra yang dimaksud dengan metode hudhuri adakah suatu

proses dalam memperoleh ilmu dengan melakukan proses perenungan serta

penghayatan secara mendalam terhadap suatu obyek, sehingga pengetahuan tersebut

hadir dalam kesadaran tanpa abstraksi yang sifatnya rasional. Dalah pengertian lain,

metode ini berusaha mendalami proses bagaimana hati (qalb) disandarkan pada

obyek (ma’qul).

Konsep hudhuri Mulla Shadra berupa proses kemampuan manusia dalam

memperoleh totalitas wujud melalui proses mukasyāfah serta musyāhadah dengan

situasi sadar bahwa manusia memperoleh pengetahuan tersebut berupa cahaya yang

datang dari Tuhan. Setelah sampai pada tingkatan tertentu tahapan spiritual tersebut,

seseorang akan memperoleh siraman pengetahuan yang datang langsung dari Tuhan

secara iluminatif atau ketersingkapan (kasyaf) hingga pada tahap tertentu dia akan
11

sampai pada kondisi musyâhadah yang berujung kepada tingkatan tertinggi

yaitu ittihâd. Al-Qusyairi menjelaskan bahwa kondisi kasyf merupakan pencapaian

atas kesadaran hati terhadap suatu kebenaran, musyâhadah yang merupakan kesaksian

hati pada hakikat kebenaran tersebut, hingga pada tinggkap ittihâd yakni proses

bersatunya hati (diri) dengan hakikat.

Dalam kajian filsafat oleh Mehdi H. Hairi Yazdi, persoalan-persoalan tersebut


bisa digambarkan seperti suatu kondisi ketika seseorang mampu sampai pada tingkatan

spiritual tertentu, dia akan memperoleh realitas kesadaran diri yang sifatnya mutlak

hingga dengan kesadaran tersebut ia mampu merasakan secara nampak akan realitas

diri sendiri (musyâhadah) sebagai objek yang diketahui dengan proses tersebut.

Namun, hakikat kesadaran serta hakikat yang disadari menurutnya bukan objek

eksternal, keduanya merupakan suatu eksistensi sama sehingga objek yang diperoleh

serta didapatkan ialah kesadaran terkait proses mengetahui itu sendiri.13

Para sufi pada umumnya mengakui dan bahkan mempertegas keberadaan

konsep iluminatif ini. Oleh sebagian sufi, iluminasi itu adalah pengetahuan diri tentang

diri yang berasal dari penyinaran dan anugerah Tuhan. Pengetahuan tersebut

digambarkan dengan berbagai ungkapan dan keadaan. Ada yang menyebutkannya

dengan terbukanya hijab antara dirinya dengan Tuhan, sehingga pengetahuan dan

rahasianya dapat diketahui. Ada yang mengungkapkan dengan rasa cinta yang sangat

dalam sehingga antara dia dengan Tuhan tidak ada rahasia lagi. Pengetahuan Tuhan

adalah pengetahuannya. Dan ada juga yang menyebutkan dengan kesatuan kesadaran

(ittihad/ hulul). Dalam kesatuan tersebut antara sufi dengan Tuhan tidak ada bedanya,

13
https://alif.id/read/abq/epistemologi-ilmu-%e1%ba%96udhuri-dan-%e1%ba%96ushuli-
b236248p/ Diakses pada 09 Desember pada 01:03 am
12

termasuk pengetahuannya. Bagi Ha’iri Yazdi, pengetahuan para sufi itu diperkuat

dengan meletakkan landasan yang lebih rasional dan argumen filosofis. Menurutnya,

pengetahuan para sufi tersebut adalah bagian dari pengetahuan swaobjek, yang

merupakan dasar atau prasyarat sebelum mengetahui objek eksternal.14

C. PENUTUP

Kesimpulan dari pembahasan di atas adalah:

1. Teori kebenaran yang masyhur ada 3, Koherensi, Korespondensi dan Pragmatik

2. Koherensi adalah pernyataan itu dianggap benar jika sesuai (koheren/konsisten)

dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar

3. Korespondensi adalah sesuatu dianggap benar apabila yang diungkapkan

(pendapat, kejadian, informasi) sesuai dengan fakta di lapangan

4. Pragmatik adalah benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada

berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya

5. Teori kebenaran Huduri dikemukakan oleh Mehdi Ha’iri Yazdi, seorang filsuf

Iran yang mendapat gelar Ph.D nya di universitas Toronto

6. Ilmu hudhūri merupakan pengetahuan yang dihadirkan atau diperoleh langsung

dari Tuhan melalui latihan (riyadhāh) rohani dengan tahap akhir dari ilmu ini

ialah kesatuan eksistensial mutlak dengan yang Esa

14
http://nazhiratulkhairat06.blogspot.com/2017/05/teori-kebenaran-korespindensi-
koherensi.html diakses pada 09 Desember, 00:32 am.
13

DAFTAR PUSTAKA

Atabik, Ahmad. Teori Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu, Fikrah, Vol. 2, No. 1, Juni
2014, 2.1 2014

Bakhtiar, Amsal. Filsafat Ilmu, Edisi Revisi, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2012.

Fautanu, Idzam. Filsafat Ilmu; Teori dan Aplikasi, Jakarta: Referensi, 2012

Jonathan Sarwono. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Cet. I; Yogyakarta:


Graha Ilmu, 2006)

Sanusi, Sanusi. (2017). Integrasi Al-Quran, Sains Dan Ilmu Sosial Sebagai Basis
Model Pengembangan Materi Ajar IPS Di Madrasah. IJTIMAIYA: Journal of
Social Science Teaching

Sarwono, Jonathan. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Cet. I; Yogyakarta:


Graha Ilmu, 2006.

Susanto, A. Filsafat Ilmu. Cet. I; Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011.

Suseno, Franz Magniz. 12 Tokoh Abad ke-20. Yogyakarta: Kanisisus, 2000.

Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Filsafat Ilmu; Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan, Yogyakarta: Liberti, 2003

https://123dok.com/article/teori-kebenaran-korespondensi-koherensi-pragmatisme-
dan-hudhuri.qop46k7z diakses pada 09 Desember, 00;26 am.

https://alif.id/read/abq/epistemologi-ilmu-%e1%ba%96udhuri-dan-
%e1%ba%96ushuli-b236248p/ Diakses pada 09 Desember pada 01:03 am

http://nazhiratulkhairat06.blogspot.com/2017/05/teori-kebenaran-korespindensi-
koherensi.html diakses pada 09 Desember, 00:32 am.

Anda mungkin juga menyukai