Anda di halaman 1dari 26

02 OKTOBER 2023

AKSIOLOGIS DAN TEORI


KEBENARAN
Filsafat Ilmu

REZY A20223011
Definisi
Secara etimologis, aksiologi berasal dari bahasa Yunani kuno, yaitu
“aksios” yang berarti nilai dan kata “logos” berarti teori. Jadi,
aksiologi merupakan cabang filsafat yang mempelajari nilai.
Dengan kata lain, aksiologi adalah teori nilai. Suriasumantri
mendefinisikan aksiologi sebagai teori nilai yang berkaitan
kegunaan dari pengetahuan yang di peroleh. Aksiologi dalam
Kamus Bahasa Indonesia (1995) adalah kegunaan ilmu
pengetahuan bagi kehidupan manusia, kajian tentang nilai-nilai
khususnya etika. Menurut Wibisono seperti yang dikutip Surajiyo
(2007), aksiologi adalah nilai-nilai sebagai tolak ukur kebenaran,
etika dan moral sebagai dasar normatif penelitian dan penggalian,
serta penerapan ilmu. Dalam Encyclopedia of Philosophy
dijelaskan bahwa aksiologi disamakan dengan value and valuation
Memperbincangkan aksiologi tentu
membahas dan membedah masalah nilai.
Apa sebenarnya nilai itu? Bertens
menjelaskan nilai sebagai sesuatu yang
menarik bagi seseorang, sesuatu yang
menyenangkan, sesuatu yang dicari,
sesuatu yang dicari, sesuatu yang disukai
dan diinginkan.11 Pendeknya, nilai
adalah sesuatu yang baik.
Obyek ilmu aksiologi
berkaitan dengan
dua komponen
mendasar, yakni:
Etika, yaitu obyek yang dibahas adalah
masalah-masalah moral. Titik fokusnya
pada prilaku, norma dan adat istiadat
yang berlaku pada kelompok tertentu.
Dalam etika, nilai kebaikan dari tingkah
laku yang penuh dengan tanggung
jawab terhadap diri sendiri,
masyarakat, alam maupun terhadap
Tuhan sebagai dzat pencipta (Warsito,
et. al., 2013).
Estetika, yaitu mempersoalkan nilai
keindahan, bahwa di dalam diri segala
sesuatu terdapat unsur-unsur yang
tertata secara tertib dan harmonis
dalam satu kesatuan hubungan yang
menyeluruh. Jadi, keindahan suatu
objek bukan semata-mata bersifat
selaras serta berpola baik, melainkan
juga harus mempunyai kepribadian.
(Warsito, et. al., 2013)
Estetika, yaitu mempersoalkan nilai
keindahan, bahwa di dalam diri segala
sesuatu terdapat unsur-unsur yang
tertata secara tertib dan harmonis
dalam satu kesatuan hubungan yang
menyeluruh. Jadi, keindahan suatu
objek bukan semata-mata bersifat
selaras serta berpola baik, melainkan
juga harus mempunyai kepribadian.
(Warsito, et. al., 2013)
CONTOH AKSIOLOGIS
• Kita mengetahui mengenai
handphonne, maka dengan aksiologi
kita dapat mengetahui apakah
handphone memberi manfaat untuk
kehidupan kita.
Referensi

10 Ibid, hal. 99. 11 Aziz, A., & Saihu, S. (2019). Interpretasi Humanistik Kebahasaan: Upaya Kontekstualisasi Kaidah
Bahasa Arab. Arabiyatuna: Jurnal Bahasa Arab, 3(2), 299-214 Saihu, S. (2019). PENDIDIKAN KARAKTER BERBASIS
KEARIFAN LOKAL (STUDI DI JEMBRANA BALI). Edukasi Islami: Jurnal Pendidikan Islam, 8(01), 69-90. Şahin, C.
RELIGIA. Saihu, S., & Mailana, A. (2019). Teori pendidikan behavioristik pembentukan karakter masyarakat muslim dalam
tradisi Ngejot di Bali. Ta'dibuna: Jurnal Pendidikan Islam, 8(2), 163-176. Mubin, F. KEADILAN DALAM GENDER:
KAJIAN KEPEMIMPINAN WANITA DALAM ISLAM1, Saihu, M. (2019). Merawat Pluralisme Merawat Indonesia (Potret
Pendidikan Pluralisme Agama Di Jembrana?Bali). Deepublish
KEBENARAN

DEFINISI KEBENARAN

Kebenaran merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan untuk membuktikan


suatu kebenaran dari teori ataupun pengetahuan yang kita dapatkan. Namun
kebenaran sendiri merupakan suatu bentuk dari rasa ingin tahu setiap
individu. Rasa ingin tahu sendiri terbentuk dari adanya kekuatan akal yang
dimiliki manusia yang selalu ingin mencari, memahami, serta memanfaatkan
kebenaran yang telah ia dapatkan dalam hidupnya. (Latif,2004:101)
Ukuran kebenaran yaitu
berpikir merupakan suatu
aktivitas manusia untuk
menemukan kebenaran, apa
yang disebut benar oleh
seseorang belum tentu benar
bagi orang lain, oleh karena itu
diperlukan suatu ukuran atau
kriteria kebenaran.
Dalam pencarian kebenaran itu
terjadi berbagai perubahan gejala,
peningkatan ataupun kemajuan
bagii lmu itu sendiri.
Tiga teori kebenaran itu pun
mendukung pelaksanaan kegiatan
ilmu secara konkret, yaitu
sebagai penerapan antara sisi
teoritis dan sisi praktis, praktik
dan kegunaannya.
BATAS PENGETAHUAN
SEBAGAI LANDASAN
KEBENARAN

Batas pengetahuan adalah pengetahuan


yang dimiliki keluasan wilayah secara
tertentu. Melalui keluasannya yang
terukur itu pengetahuan dibatasi oleh
panca indra manusia (Latif,2004:102).
Dengan demikian, sejauh mata memandang
terhadap apa yang dilihat kita, maka hal itu
menjadi pengetahuan manusia.

PENGETAHUAN INDRAWI

Pengetahuan manusia bersumber pada


panca indramanusia, dan hasil pengetahuan
itu disebut sebagai pengetahuan indriawi
atau pengetahuan empiris (pengalaman).
PENGETAHUAN NON-INDRAWI

Pengetahuan yang berasal dari akal budi


manusia. Melalui akal budi,manusia dapat
berpikir, dapat memiliki gagasan atau ide,
dan hasil dari kemampuan berpikir
itu,yaitu pengetahuan non-indriawi atau
pengetahuan rasional.
Jadi, kebenaran ada pada seberapa jauh
subjek mempunyai pengetahuan mengenai
objek. Sedangkan pengetahuan bersal mula
dari banyak sumber. Sumber-sumber itu
kemudian sekaligus berfungsi sebagai
ukuran kebenaran.
TEORI-TEORI KEBENARAN
• Teori Korespondensi (Correspondence Theory
of Truth)

Teori kebenaran korespondensi, Correspondence Theory of Truth yang


kadang disebut dengan accordance theory of truth, adalah teori yang
berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika
berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau
objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau keadaan benar itu
apabila ada kesuaian (correspondence) antara rti yang dimaksud oleh
suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh pernyaan
atau pendapat tersebut.16
Referensi

16 Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan, 2000, cet. ke 13), hlm. 57.
2. Teori Koherensi (Coherence Theory of
Truth)
Teori kebenaran koherensi atau konsistensi adalah teori
kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren
atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar bila
sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-
pernyataan yang berhubungan secara logis. Menurut
teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan
antara putusan dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta
dan realitas, tetapi atas hubungan antara putusan?
putusan itu sendiri.
Teori ini berpendapat bahwa kebenaran ialah
kesesuaian antara suatu pernyataan dengan
pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih
dahulu diketahui, diterima dan diakui sebagai
benar.
3. Teori Pragmatisme (The pramagtic theory of
truth.)

Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang


berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh
referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau
sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori
tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau
teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya.
Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis.
4. Teori Performatif

Teori performatif menjelaskan, suatu pernyataan dianggap benar jika ia


menciptakan realitas. Jadi pernyataan yang benar bukanlah pernyataan
yang mengungkapkan realitas, tetapi justeru dengan pernyataan itu
tercipta realitas sebagaimana yang diungkapkan dalam pernyataan itu.
Teori ini disebut juga “tindak bahasa” mengaitkan kebenaran satu
tindakan yang dihubungkan dengan satu pernyataan.
5. Agama sebagai Teori Kebenaran

Pada hakekatnya, manusia hidup di dunia ini adalah sebagai makhluk


yang suka mencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu
kebenaran adalah agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri
memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan
manusia; baik tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan. Dalam
mendapatkan kebenaran menurut teori agama adalah wahyu yang
bersumber dari Tuhan.
Referensi

• Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu., hlm. 116.


• Teori Pragmatis (The Pragmatic Theory of Truth) memandang bahwa “kebenaran suatu
pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam
kehidupan praktis”; dengan kata lain, “suatu pernyataan adalah benar jika pernyataan itu
mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia”. Lihat Jujun S. Suriasumantri, Filsfat
Ilmu… hlm. 58.
• Ahyar Lubis, Filsafat Ilmu, hlm., 55
• Amsal Bakhtiar, Filsafat Ilmu… 121.

Anda mungkin juga menyukai