Abstrak
Epistemologi merupakan cabang dari filsafat ilmu yang terfokus pada dua hal yaitu pengetahuan dan
kebenaran. Pengetahuan dalam perspektif epistemologi cara mendapatkannya melalui akal pikiran,
pengalaman indera, kritik atau intuisi. Kebenaran memiliki sifat nyata secara empiris yang
penerapannya dilakukan dengan cara seseorang itu berpikir atau bernalar. Agar kebenaran dapat
diterima maka diperlukan pembuktian dengan beberapa cara yaitu: pendekatan empiris, pendekatan
rasional, pendekatan intuisi, pendekatan religius, pendekatan otoritas, dan pendekatan ilmiah. Oleh
karena itu, kebenaran yang diperoleh manusia relatif tergantung cara mendapatkan kebenaran yang
dipakai dan juga sangat berpengaruh pada pemahaman ilmu pengetahuan.
A. Pendahuluan
Manusia pada dasarnya ialah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak pernah puas
dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari kebenaran yang sesungguhnya
dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Namun setiap jawaban itu juga selalu
memuaskan manusia. Ia harus mengujinya dengan metode tertentu untuk mengukur apakah
yang dimaksud disini bukanlah kebenaran yang bersifat semu, melainkan kebenaran yang
bersifat ilmiah yaitu kebenaran yang bisa diukur dengan cara-cara ilmiah.
Perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidaklah menjadikan
manusia berhenti untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya, semakin menggiatkan manusia
untuk terus mencari dan mencari kebenaran yang berlandaskan teori yang sudah ada
sebelumnya untuk menguji suatu teori baru atau menggugurkan teori sebelumnya. Sehingga
manusia sekarang lebih giat lagi melakukan penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi
dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Karena itu bersifat statis, tidak kaku, artinya ia tidak
akan berhenti pada satu titik, tapi akan terus berlangsung seiring dengan waktu manusia dalam
memenuhi rasa keingintahuannya terhadap dunianya (Latif, 2004: 191).
Manusia hidup di dunia ini pada hakekatnya mempunyai keinginan untuk mencari
pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk
tahu. Pengetahuan menurut arti sempit sebuah keputusan yang benar dan pasti. Penganut
pragmatis, utamanya John Dewey tidak membedakan antara pengetahuan dan kebenaran
(antara knowledge dan truth) (Atabik, 2014: 254). Hal inilah yang kemudian menjadi kajian
menarik epistemologi.
Jujun S. Suriasumantri (2010) mengatakan pengetahuan merupakan khazanah kekayaan
mental yang secara langsung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Pengetahuan
juga dapat dikatakan sebagai jawaban dari berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan.
Dari suatu pertanyaan diharapkan mendapatkan jawaban yang benar. Maka dari itu muncullah
masalah, bagaimana cara kita menyusun pengetahuan yang benar? Masalah inilah yang pada
ilmu filsafat disebut dengan epistemologi (Latif, 2004: 191).
Lahirnya epistemologi pada hakikatnya yaitu karena para pemikir melihat bahwa panca
indra manusia merupakan satu-satunya alat penghubung antara manusia dengan realitas
eksternal. Kata ‘epistemologi’ sendiri berasal dari bahasa Yunani, yakni episteme (pengetahuan)
2
dan logos (teori). Dengan demikian, epistemologi adalah suatu kajian atau teori filsafat
mengenai (esensi) pengetahuan (Abidin, 2012: 34).
Pada awalnya, pembahasan dalam epistemologi lebih terfokus pada sumber
pengetahuan (the origin of knowledge) dan teori tentang kebenaran (the theory of truth)
pengetahuan (Latif, 2004: 192). Pembahasan yang pertama berkaitan dengan hakikat filsafat
ilmu itu sendiri. Sementara itu, pembahasan yang kedua terfokus pada hakikat kebenaran,
kriteria kebenaran ilmiah, jenis dan sifat kebenaran ilmiah, cara mendapatkan kebenaran ilmiah,
serta keterkaitan filsafat ilmu dan kebenaran. Sehingga makalah ini diharapkan menjadi
stimulus (perangsang) bagi lahirnya tulisan-tulisan berikutnya mengenai kebenaran dalam
filsafat ilmu.
C. Hakikat Kebenaran
Kebenaran merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan untuk membuktikan suatu
kebenaran dari teori ataupun pengetahuan yang kita dapatkan. Namun kebenaran sendiri
merupakan suatu bentuk dari rasa ingin tahu setiap individu. Rasa ingin tahu sendiri terbentuk
dari adanya kekuatan akal yang dimiliki manusia yang selalu ingin mencari, memahami, serta
memanfaatkan kebenaran yang telah ia dapatkan dalam hidupnya. Manusia selalu mencari
kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula
untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang
kebenaran, tanpa melaksanakan konflik kebenaran manusia akan mengalami pertentangan
batin, konflik psikologis (Latif, 2004: 101). Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang
dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam hidup yang dijalaninya, dan manusia juga tidak
akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya dimana selalu ditunjukkan oleh
kebenaran.
Ukuran kebenaran yaitu berpikir merupakan suatu aktivitas manusia untuk menemukan
kebenaran, apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain, oleh
karena itu diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaran. Dalam pencarian kebenaran itu
terjadi berbagai perubahan gejala, peningkatan ataupun kemajuan bagi ilmu itu sendiri. Tiga
teori kebenaran itu pun mendukung pelaksanaan kegiatan ilmu secara konkret, yaitu sebagai
penerapan antara sisi teoritis dan sisi praktis, praktik dan kegunaannya. Di sisi lain, batas
pengetahuan juga menjadi landasan dalam teori kebenaran. Apakah yang disebut sebagai batas
3
pengetahuan itu? Batas pengetahuan adalah pengetahuan yang dimiliki keluasan wilayah secara
tertentu. Melalui keluasannya yang terukur itu pengetahuan dibatasi oleh panca indra manusia
(Latif, 2004: 102). Dengan demikian, sejauh mata memandang terhadap apa yang dilihat kita,
maka hal itu menjadi pengetahuan manusia. Ini berarti bahwa pengetahuan manusia bersumber
pada panca indra manusia, dan hasil pengetahuan itu disebut sebagai pengetahuan indriawi
atau pengetahuan empiris (pengalaman). Selain pengetahuan indriawi, terdapat pengetahuan
non-indriawi yaitu pengetahuan yang berasal dari akal budi manusia. Melalui akal budi, manusia
dapat berpikir, dapat memiliki gagasan atau ide, dan hasil dari kemampuan berpikir itu, yaitu
pengetahuan non-indriawi atau pengetahuan rasional.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia yang ditulis oleh Purwadarminta ditemukan arti
kebenaran, yakni 1. Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan
yang sesungguhnya); misal, kebenaran berita ini masih saya sangsikan; kita harus berani
membela kebenaran dan keadilan. 2. Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul
demikian halnya dengan sebagainya); misal, kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama.
3. Kejujuran; kelurusan hati; misal, tidak ada seorang pun sangsi akan kebaikan dan kebenaran
hatimu. 4. Selalu izin; perkenanan; misal, dengan kebenaran yang dipertuan. 5. Jalan kebetulan;
misal, penjahat itu dapat dibekuk dengan secara kebenaran saja (Surajiyo, 2015: 102).
4. Kebenaran performatif
Kebenaran performatif merupakan pernyataan kebenaran yang dihasilkan dari
suatu tindakan. Menurut John Langshaw Austin teori ini dikemukakan sebagai teori tindak
bahasa (speech-acts). Ia membedakan dua macam penggunaan bahasa, yaitu (1) proposisi
atau tuturan konstatif dan (2) proposisi atau tuturan performatif dengan aturan/kriterianya
sendiri. Selain melaporkan sesuatu (fakta) yang dapat diverifikasi (sebagaimana yang
dilakukan kaum positivisme melalui bahasa ilmiah yang disebutnya sebagai tuturan
konstatif), bahasa dapat pula bersifat performatif (Lubis, 2016: 54-55). Bahasa dapat
memunculkan tindakan yang berasal dari perkataan atau tuturan yang kita keluarkan. Jadi,
bahasa tidak sekedar menyatakan sesuatu tetapi dapat menghasilkan sesuatu bahkan dapat
menghasilkan suatu komunikasi. Dari kebenaran tindakan dihubungkan atau disesuaikan
dengan pernyataan agar bisa dikatakan dengan pernyataan yang benar, hal ini yang
dimaksud dari kebenaran performatif.
5. Kebenaran consensus
Kebenaran konsensus pertama kali dikemukakan oleh Thomas Khun. Ia
mengemukakan teori konsensus atau paradigmatik berkaitan dengan konsep paradigma
sebagai dasar atau model yang diterima oleh kelompok ilmuwan dalam mengembangkan
dan menguji teorinya. Teori ilmiah dengan demikian dianggap/dinyatakan benar kalau
dapat disetujui oleh komunitas ilmuwan pendukung paradigma tersebut (Lubis, 2016: 56).
Berbeda dengan yang dikemukakan oleh J. Habermas, ia mengemukakan bahwa teori
konsensus merupakan pernyataan dapat dikatakan benar apabila pernyataan tersebut telah
diterima oleh para partisipan rasional dalam suatu diskursus.
melainkan juga mencakup masalah yang bersifat transendental, seperti latar belakang
penciptaan manusia dan kehidupan setelah kematian.
5. Pendekatan otoritas. Pendekatan otoritas ini usaha dalam memperoleh kebenaran yang
dilakukan dengan dasar pendapat atau pernyataan dari pihak yang memiliki otoritas. Yang
dimaksud dengan hal ini yaitu individu yang memiliki kelebihan tertentu dibanding dengan
anggota masyarakat pada umumnya. Kelebihan ini bisa berupa kekuasaan, kemampuan
intelektual, keterampilan, pengalaman, dan sebagainya. Mereka yang memiliki
kelebihan-kelebihan seperti itu disegani, ditakuti, ataupun dijadikan figur panutan. Apa
yang mereka nyatakan akan diterima masyarakat sebagai suatu kebenaran. Sepanjang
sejarah dapat ditemukan contoh mengenai ketergantungan manusia pada otoritas dalam
mencari kebenaran. Pada masa Yunani Kuno para pemikir seperti Socrates, Plato, dan
Aristoteles dipandang sebagai sumber kebenaran, bahkan melebihi pengamatan atau
pengalaman langsung. Apa yang dinyatakan oleh para tokoh ini dijadikan acuan dalam
memahami realitas, berpikir, dan bertindak (Latif, 2004: 110).
6. Pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah bertumpu pada dua anggapan dasar, yaitu: (a)
bahwa kebenaran dapat diperoleh dari pengamatan; dan (b) bahwa gejala itu timbul sesuai
dengan hubungan yang berlaku menurut hukum tertentu. Pendekatan ilmiah merupakan
pengombinasian yang jitu dari pendekatan empiris dan pendekatan rasional. Kombinasi ini
didasarkan pada hasil analisis terhadap kedua pendekatan ini (Latif, 2004: 110).
kapitalisme industri yang sedang muncul (Eko Ariwidodo, 2011: 30). Sikap pragmatis dari ilmu
cocok dengan perkembangan peradaban manusia, telah terbukti secara nyata peranan ilmu
dalam membangun peradaban tersebut. Menolak kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi
berarti kita menutup mata terhadap kemajuan masa kini, yang ditandai oleh kenyataan bahwa
semua aspek kehidupan modern dipengaruhi oleh produk ilmu dan teknologi. Sebaliknya,
dengan jalan mendewakan ilmu kita pun gagal untuk mendapatkan pengertian hakikat ilmu
yang sesungguhnya.
H. Kesimpulan
Sesuai dengan apa yang sudah dipaparkan diatas, penulis menyimpulkan bahwa filsafat
ilmu merupakan ilmu yang menelaah pemikiran ilmiah atau upaya evaluatif dan kritis terhadap
pengetahuan yang bersumber dari manusia. filsafat ilmu salah satu pembahasannya terfokus
pada kebenaran. Adanya kebenaran itu dihubungkan dengan pengetahuan manusia terhadap
objek. Sejauh mana manusia memiliki pengetahuan untuk memberikan suatu kebenaran
terhadap objeknya. Oleh karena itu, kebenaran memiliki beragam sumber yang berfugsi
sebagai tolak ukur suatu kebenaran. Umumnya kebenaran dibagi menjadi 5 teori yaitu: teori
korespondensi, teori koherensi, teori pragmatis, teori performatif, dan teori konsensus.
Fokus lain pada pembahasan di atas adalah jenis dan sifat kebenaran. Keduanya
sama-sama dibagi menjadi tiga. Menurut A.M.W. Pranarka 3 jenis kebenaran tersebut adalah
pertama, kebenaran epistemologikal yang menghubungkan kebenaran dengan pengetahuan
manusia. Kedua, kebenaran otologikal yang bentuknya sebagai sifat dasar dari kebenaran.
Ketiga, kebenaran semantikal yang kebenarannya berhubungan dengan tutur kata dan bahasa.
Sedangkan sifat yang terdapat dalam kebenaran diantaranya: kebenaran berkaitan dengan
kualitas pengetahuan; kebenaran dikaitkan dengan sifat dan karakteristik dari cara seseorang
dalam membangun pengetahuannya; kebenaran yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya
pengetahuan.
Kebenaran dapat diterima apabila dilakukan pembuktian yang melalui beberapa cara
yaitu: pendekatan empiris, pendekatan rasional, pendekatan intuisi, pendekatan religius,
pendekatan otoritas, dan pendekatan ilmiah. Oleh karena itu, kebenaran yang diperoleh
manusia relatif tergantung cara mendapatkan kebenaran yang dipakai dan juga sangat
berpengaruh pada pemahaman ilmu pengetahuan. Disamping itu, manusia juga harus memiliki
sifat pengetahuan yang logis untuk bisa dijadikan tolak ukur dalam kebenaran ilmiah.
Daftar Pustaka
Susanto. (2016). Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Ontologis, Epistemologi, dan Aksiologi.
Jakarta: Bumi Aksara.
Tafsir, Ahmad. (2009). Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
Pengetahuan. Bandung: Remaja Rosdakarya.