Anda di halaman 1dari 8

1

TEORI KEBENARAN DALAM PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU

Dwi Meta Silvia


metasilvya62006@gmail.com
Dwi Sulistyawati Ningsih
Listyatya71@gmail.com

Abstrak
Epistemologi merupakan cabang dari filsafat ilmu yang terfokus pada dua hal yaitu pengetahuan dan
kebenaran. Pengetahuan dalam perspektif epistemologi cara mendapatkannya melalui akal pikiran,
pengalaman indera, kritik atau intuisi. Kebenaran memiliki sifat nyata secara empiris yang
penerapannya dilakukan dengan cara seseorang itu berpikir atau bernalar. Agar kebenaran dapat
diterima maka diperlukan pembuktian dengan beberapa cara yaitu: pendekatan empiris, pendekatan
rasional, pendekatan intuisi, pendekatan religius, pendekatan otoritas, dan pendekatan ilmiah. Oleh
karena itu, kebenaran yang diperoleh manusia relatif tergantung cara mendapatkan kebenaran yang
dipakai dan juga sangat berpengaruh pada pemahaman ilmu pengetahuan.

Kata kunci:​ ​Epistemologi, Ilmu Pengetahuan, Ilmu Kebenaran.

A. Pendahuluan
Manusia pada dasarnya ialah makhluk pencari kebenaran. Manusia tidak pernah puas
dengan apa yang sudah ada, tetapi selalu mencari dan mencari kebenaran yang sesungguhnya
dengan bertanya-tanya untuk mendapatkan jawaban. Namun setiap jawaban itu juga selalu
memuaskan manusia. Ia harus mengujinya dengan metode tertentu untuk mengukur apakah
yang dimaksud disini bukanlah kebenaran yang bersifat semu, melainkan kebenaran yang
bersifat ilmiah yaitu kebenaran yang bisa diukur dengan cara-cara ilmiah.
Perkembangan pengetahuan yang semakin pesat sekarang ini, tidaklah menjadikan
manusia berhenti untuk mencari kebenaran. Justru sebaliknya, semakin menggiatkan manusia
untuk terus mencari dan mencari kebenaran yang berlandaskan teori yang sudah ada
sebelumnya untuk menguji suatu teori baru atau menggugurkan teori sebelumnya. Sehingga
manusia sekarang lebih giat lagi melakukan penelitian yang bersifat ilmiah untuk mencari solusi
dari setiap permasalahan yang dihadapinya. Karena itu bersifat statis, tidak kaku, artinya ia tidak
akan berhenti pada satu titik, tapi akan terus berlangsung seiring dengan waktu manusia dalam
memenuhi rasa keingintahuannya terhadap dunianya (Latif, 2004: 191).
Manusia hidup di dunia ini pada hakekatnya mempunyai keinginan untuk mencari
pengetahuan dan kebenaran. Pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk
tahu. Pengetahuan menurut arti sempit sebuah keputusan yang benar dan pasti. Penganut
pragmatis, utamanya John Dewey tidak membedakan antara pengetahuan dan kebenaran
(antara knowledge dan truth) (Atabik, 2014: 254). Hal inilah yang kemudian menjadi kajian
menarik epistemologi.
Jujun S. Suriasumantri (2010) mengatakan pengetahuan merupakan khazanah kekayaan
mental yang secara langsung atau tak langsung turut memperkaya kehidupan kita. Pengetahuan
juga dapat dikatakan sebagai jawaban dari berbagai pertanyaan yang muncul dalam kehidupan.
Dari suatu pertanyaan diharapkan mendapatkan jawaban yang benar. Maka dari itu muncullah
masalah, bagaimana cara kita menyusun pengetahuan yang benar? Masalah inilah yang pada
ilmu filsafat disebut dengan epistemologi (Latif, 2004: 191).
Lahirnya epistemologi pada hakikatnya yaitu karena para pemikir melihat bahwa panca
indra manusia merupakan satu-satunya alat penghubung antara manusia dengan realitas
eksternal. Kata ‘epistemologi’ sendiri berasal dari bahasa Yunani, yakni ​episteme (pengetahuan)
2

dan ​logos (teori). Dengan demikian, epistemologi adalah suatu kajian atau teori filsafat
mengenai (esensi) pengetahuan (Abidin, 2012: 34).
Pada awalnya, pembahasan dalam epistemologi lebih terfokus pada sumber
pengetahuan (the origin of knowledge) dan teori tentang kebenaran (the theory of truth)
pengetahuan (Latif, 2004: 192). Pembahasan yang pertama berkaitan dengan hakikat filsafat
ilmu itu sendiri. Sementara itu, pembahasan yang kedua terfokus pada hakikat kebenaran,
kriteria kebenaran ilmiah, jenis dan sifat kebenaran ilmiah, cara mendapatkan kebenaran ilmiah,
serta keterkaitan filsafat ilmu dan kebenaran. Sehingga makalah ini diharapkan menjadi
stimulus (perangsang) bagi lahirnya tulisan-tulisan berikutnya mengenai kebenaran dalam
filsafat ilmu.

B. Hakikat Filsafat Ilmu


Kata filsafat berasal dari bahasa Yunani yang diambil dari akar kata “​philos’, yang berarti
cinta, dan ​“Sophia’ yang berarti kebijaksanaan. Filsafat juga dapat diartikan sebagai
pengetahuan tentang kebijaksanaan (​sophIa​), prinsip-prinsip mencari kebenaran, atau berpikir
rasional-logis, mendalam, dan tuntas (radikal) dalam memperoleh kebenaran. Sedangkan, kata
ilmu (science) diartikan sebagai pengetahuan tentang sesuatu, atau bagian dari pengetahuan.
Menurut maufur, menjelaskan bahwa ilmu adalah sebagian dari pengetahuan yang memiliki dan
memenuhi persyaratan tertentu (Susanto, 2016: 44). ​Dengan artian bahwa ilmu sudah jelas
merupakan pengetahuan, akan tetapi belum tentu pengetahuan merupakan ilmu. Dikarenakan
pengetahuan harus memenuhi syarat untuk bisa dikatakan ilmu.
Berdasarkan uraian di atas, filsafat ilmu dapat diartikan sebagai ilmu yang menelaah
pemikiran ilmiah atau upaya evaluatif dan kritis terhadap pengetahuan yang bersumber dari
manusia. Menurut langeveld, setelah orang berfilsafat sendiri, barulah ia maklum apa filsafat
itu; semakin dalam ia berfilsafat akan semakin mengerti ia apa filsafat itu (Tafsir, 2009: 63).
Apabila seseorang itu tidak bersungguh-sungguh dalam mempelajarinya maka tidak akan
mendapatkan pemahaman yang sempurna. Karena filsafat ilmu tidak dapat dipahami hanya
melalui definisi saja, melainkan dari konsep yang lain. Tetapi, kita juga perlu mencoba merubah
menjadi suatu bentuk uraian dari definisi tersebut dengan harapan pembaca dapat sedikit tahu
apa itu filsafat.

C. Hakikat Kebenaran
Kebenaran merupakan suatu hal yang mutlak diperlukan untuk membuktikan suatu
kebenaran dari teori ataupun pengetahuan yang kita dapatkan. Namun kebenaran sendiri
merupakan suatu bentuk dari rasa ingin tahu setiap individu. Rasa ingin tahu sendiri terbentuk
dari adanya kekuatan akal yang dimiliki manusia yang selalu ingin mencari, memahami, serta
memanfaatkan kebenaran yang telah ia dapatkan dalam hidupnya. Manusia selalu mencari
kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula
untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang
kebenaran, tanpa melaksanakan konflik kebenaran manusia akan mengalami pertentangan
batin, konflik psikologis (Latif, 2004: 101). ​Karena di dalam kehidupan manusia sesuatu yang
dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam hidup yang dijalaninya, dan manusia juga tidak
akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya dimana selalu ditunjukkan oleh
kebenaran.
Ukuran kebenaran yaitu berpikir merupakan suatu aktivitas manusia untuk menemukan
kebenaran, apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain, oleh
karena itu diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaran. Dalam pencarian kebenaran itu
terjadi berbagai perubahan gejala, peningkatan ataupun kemajuan bagi ilmu itu sendiri. Tiga
teori kebenaran itu pun mendukung pelaksanaan kegiatan ilmu secara konkret, yaitu sebagai
penerapan antara sisi teoritis dan sisi praktis, praktik dan kegunaannya. Di sisi lain, batas
pengetahuan juga menjadi landasan dalam teori kebenaran. Apakah yang disebut sebagai batas
3

pengetahuan itu? Batas pengetahuan adalah pengetahuan yang dimiliki keluasan wilayah secara
tertentu. Melalui keluasannya yang terukur itu pengetahuan dibatasi oleh panca indra manusia
(Latif, 2004: 102). ​Dengan demikian, sejauh mata memandang terhadap apa yang dilihat kita,
maka hal itu menjadi pengetahuan manusia. Ini berarti bahwa pengetahuan manusia bersumber
pada panca indra manusia, dan hasil pengetahuan itu disebut sebagai pengetahuan indriawi
atau pengetahuan empiris (pengalaman). Selain pengetahuan indriawi, terdapat pengetahuan
non-indriawi yaitu pengetahuan yang berasal dari akal budi manusia. Melalui akal budi, manusia
dapat berpikir, dapat memiliki gagasan atau ide, dan hasil dari kemampuan berpikir itu, yaitu
pengetahuan non-indriawi atau pengetahuan rasional.
Dalam ​Kamus Umum Bahasa Indonesia ​yang ditulis oleh Purwadarminta ditemukan arti
kebenaran, yakni 1. Keadaan (hal dan sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan
yang sesungguhnya); misal, kebenaran berita ini masih saya sangsikan; kita harus berani
membela kebenaran dan keadilan. 2. Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-betul
demikian halnya dengan sebagainya); misal, kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama.
3. Kejujuran; kelurusan hati; misal, tidak ada seorang pun sangsi akan kebaikan dan kebenaran
hatimu. 4. Selalu izin; perkenanan; misal, dengan kebenaran yang dipertuan. 5. Jalan kebetulan;
misal, penjahat itu dapat dibekuk dengan secara kebenaran saja (Surajiyo, 2015: 102).

D. Kriteria Kebenaran Ilmiah: Teori-Teori


Teori kebenaran sangat beragam, berdasarkan yang umum teori kebenaran dibagi
menjadi lima, bahkan sebagian juga ada yang mengatakan ada tujuh teori kebenaran. Hal ini
dikarenakan mereka mengkategorikan teori tersebut secara berbeda-beda. Teori-teori
kebenaran yang umum tersebut di antaranya:
1. Kebenaran koherensi
Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar kalau pernyataan tersebut
koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.
Jadi, suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan tersebut dalam keadaan saling
berhubungan dengan pernyataan-pernyataan lain yang benar, atau jika makna yang
dikandungnya dalam keadaaan saling berhubungan dengan pengalaman kita (Susanto,
2016: 86). ​Sehubungan dengan ini, tentunya teori kebenaran koherensi terdapat pada
matematika dan logika yang mana keduanya tersebut memiliki ciri hakikat yang konsistensi.
Teori ini juga bisa dikatakan lemah karena tidak didukung oleh fakta. Sehingga orang hanya
bisa membangun teori yang konsistensi dengan tidak mengetahui perbedaan antara yang
benar dan yang salah.
2. Kebenaran korespondensi
Kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang menyatakan bahwa suatu
pernyataan itu benar kalau isi pengetahuan yang terkandung dalam pernyataan tersebut
berkorespondensi (sesuai) dengan objek yang dirujuk oleh pernyataan tersebut
(Sudarminta, 2002: 130). ​Kebenarannya bisa terletak pada kesamaan atau kemiripan pada
struktur antara apa yang dinyatakan dengan objek yang terdapat pada realitasnya.
Misalnya: “Ibu Kota Negara Indonesia adalah Jakarta”, pernyataan tersebut adalah benar
karena memang kenyataannya Jakarta merupakan Ibu Kota Negara Indonesia dan ini
merupakan pernyataan yang objeknya bersifat faktual.
3. Kebenaran pragmatis
Katsoff menguraikan tentang teori kebenaran pragmatis ini adalah penganut
pragmatism meletakkan ukuran kebenaran dalam salah satu macam konsekuensi. Atau
proposisi itu dapat membantu untuk mengadakan penyesuaian yang memuaskan terhadap
pengalaman, pernyataan itu benar (Surajiyo, 2015: 106). ​Dengan kata lain bahwa
pernyataan dikatakan benar apabila memiliki kegunaan atau manfaat dalam kehidupan,
melainkan bukan karena dari segi baik dan buruknya. Dapat dikatakan pernyataan itu salah,
apabila tidak dapat digunakan atau dimanfaatkan.
4

4. Kebenaran performatif
Kebenaran performatif merupakan pernyataan kebenaran yang dihasilkan dari
suatu tindakan. Menurut John Langshaw Austin teori ini dikemukakan sebagai teori tindak
bahasa (​speech-acts​). Ia membedakan dua macam penggunaan bahasa, yaitu (1) proposisi
atau tuturan konstatif dan (2) proposisi atau tuturan performatif dengan aturan/kriterianya
sendiri. Selain melaporkan sesuatu (fakta) yang dapat diverifikasi (sebagaimana yang
dilakukan kaum positivisme melalui bahasa ilmiah yang disebutnya sebagai tuturan
konstatif), bahasa dapat pula bersifat performatif (Lubis, 2016: 54-55). Bahasa dapat
memunculkan tindakan yang berasal dari perkataan atau tuturan yang kita keluarkan. Jadi,
bahasa tidak sekedar menyatakan sesuatu tetapi dapat menghasilkan sesuatu bahkan dapat
menghasilkan suatu komunikasi. Dari kebenaran tindakan dihubungkan atau disesuaikan
dengan pernyataan agar bisa dikatakan dengan pernyataan yang benar, hal ini yang
dimaksud dari kebenaran performatif.
5. Kebenaran consensus
Kebenaran konsensus pertama kali dikemukakan oleh Thomas Khun. Ia
mengemukakan teori konsensus atau paradigmatik berkaitan dengan konsep paradigma
sebagai dasar atau model yang diterima oleh kelompok ilmuwan dalam mengembangkan
dan menguji teorinya. Teori ilmiah dengan demikian dianggap/dinyatakan benar kalau
dapat disetujui oleh komunitas ilmuwan pendukung paradigma tersebut (Lubis, 2016: 56).
Berbeda dengan yang dikemukakan oleh J. Habermas, ia mengemukakan bahwa teori
konsensus merupakan pernyataan dapat dikatakan benar apabila pernyataan tersebut telah
diterima oleh para partisipan rasional dalam suatu diskursus.

E. Jenis dan Sifat Kebenaran Ilmiah


Jenis dan sifat kebenaran ilmiah sama-sama dibagi menjadi 3 jenis. Menurut A.M.W.
Pranarka (1987) tiga jenis kebenaran itu adalah 1. Kebenaran epistemologikal adalah pengertian
kebenaran dalam hubungannnya dengan pengetahuan manusia. 2. Kebenaran ontologikal
adalah kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada ataupun
diadakan. Apabila dihubungkan dengan kebenaran epistemologikal kadang-kadang disebut juga
kebenaran sebagai sifat dasar yang ada dalam objek pengetahuan itu sendiri. 3. Kebenaran
semantikal adalah kebenaran yang terdapat serta melekat di dalam tutur kata dan bahasa
(Surajiyo, 2015: 102). Tutur kata dan bahasa disesuaikan kepada manusia dalam
menggunakannya. Hal ini kaitannya antara bahasa dengan kebenaran epistemologi dan
kebenaran ontologi.
Sifat kebenaran ilmiah yang dibagi menjadi 3 jenis tersebut menurut Konrad Kebung
(2011), yaitu: ​pertama​, struktur yang rasional-logis. Esensi ini di mana kebenaran dapat dicapai
berdasarkan kesimpulan logis atau rasional dari proposisi atau premis tertentu. Karena
kebenaran dapat dicapai berdasarkan kesimpulan logis atau rasional dari proposisi atau premis
tertentu. Karena kebenaran ilmiah bersifat rasional, maka semua orang yang rasional dapat
memahami kebenaran ilmiah. ​Kedua, isi empiris. Esensi kebenaran ilmiah perlu diuji dengan
kenyataan yang ada, bahkan sebagian besar pengetahuan dan kebenaran ilmiah, berkaitan
dengan kenyataan empiris di alam ini. Hal ini tidak berarti bahwa dalam kebenaran ilmiah
spekulasi tetap ada, namun sampai tingkat tertentu spekulasi itu bisa dibayangkan sebagai
nyata atau tidak, karena sekalipun suatu pernyataan tersebut juga benar secara empiris. ​Ketiga,
isi pragmatis (dapat diterapkan). Esensi sifat pragmatis berusaha menggabungkan kedua sifat
kebenaran sebelumnya (logis dan empiris). Artinya,jika suatu pernyataan benar dinyatakan
benar secara logis dan empiris, maka pernyataan ini harus berguna bagi kehidupan manusia
(Latif, 2004: 107).
5

F. Cara Mendapatkan Kebenaran Ilmiah


Kebenaran merupakan sifat yang nyata dimiliki suatu fakta secara empiris. Kebenaran
akan didapatkan oleh seseorang melalui penalaran yang dilakukan oleh manusia untuk
memaknai suatu anggapan umum. Kebenaran bukanlah sesuatu hal yang mudah didapatkan
dengan hanya merenung, melainkan dalam penerapannya untuk mendapatkan kebenaran
haruslah kita berpikir dan menalarkan apa yang terjadi. Agar dapat membuktikan suatu teori
dalam pengetahuan, terdapat beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mendapatkan
kebenaran dalam membuktikan suatu pengetahuan yang telah ada. Jujun S. Suriasumantri
(2010) mengidentifikasi pendekatan ini dalam enam hal, yakni:
1. Pendekatan empiris, yakni suatu pendekatan dengan memberdayakan seperangkat indra
manusia yang berfungsi sebagai penghubung dirinya dengan dunia nyata. Dengan indranya
manusia mampu mengenal berbagai hal yang ada di sekitarnya, yang kemudian diproses
dan mengisi kesadarannya. Indra bagi manusia merupakan pintu gerbang jiwa. Tidak ada
pengalaman yang diperoleh tanpa melalui indra (Latif, 2004: 108). ​Kenyataan yang
disebutkan tersebut menyebabkan timbulnya anggapan bahwa kebenaran dapat diperoleh
melalui pengindraan atau pengalaman. Kebenaran dari pendapat ini tidak dapat dipungkiri
bahwa dengan pengalaman kita mendapatkan pemahaman yang benar mengenai suatu
hal. Mereka yang memercayai bahwa pengindraan merupakan satu-satunya cara untuk
memperoleh kebenaran disebut kaum empiris. Bagi golongan ini, pengetahuan itu bukan
didapatkan melalui penalaran rasional, namun melalui pengalaman yang konkret. Gejala
alamiah menurut anggapan kaum empiris bersifat konkret dan dapat dinyatakan melalui
tangkapan indra manusia.
2. Pendekatan rasional, pendekatan rasional dalam mendapatkan kebenaran yaitu dengan
mengandalkan rasio. Upaya ini sering disebut sebagai pendekatan rasional. Manusia
merupakan makhluk hidup yang dapat berpikir. Dengan kemampuannya ini manusia dapat
menangkap ide atau prinsip tentang sesuatu, yang pada akhirnya sampai pada kebenaran,
yaitu kebenaran rasional. Golongan yang menganggap rasio sebagai satu-satunya
kemampuan untuk memperoleh kebenaran disebut kaum rasionalis. Premis yang mereka
gunakan dalam penalarannya yaitu ide, yang menurut anggapannya memang sudah ada
sebelum manusia memikirkannya. Fungsi pikiran manusia adalah mengenai ide itu untuk
dijadikan pengetahuan (Latif, 2004: 109).
3. Pendekatan intuitif. Pendekatan intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa
melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang menghadapi suatu masalah
secara tiba-tiba menemukan jalan pemecahannya. Atau secara tiba-tiba seseorang
memperoleh informasi mengenai peristiwa yang akan terjadi. Itulah beberapa contoh
intuisi. Intuisi bersifat personal dan tidak bisa diramalkan, bahwa intuisi yang dialami
seseorang bersifat khas, sulit, atau tidak bisa dijelaskan, dan tak bisa dipelajari atau ditiru
oleh orang lain. Bahkan seseorang yang pernah memperoleh intuisi sulit atau bahkan tidak
bisa mengulang pengalaman serupa (Latif, 2004: 109). ​Kebenaran intuitif sulit untuk
dipertanggungjawabkan, sehingga ada pihak-pihak yang meragukan kebenaran macam ini.
Meskipun validitas intuisi diragukan banyak pihak, ada sementara ahli yang menaruh
perhatian pada kemampuan manusia yang satu ini.
4. Pendekatan religius. Pendekatan religius yaitu sebagai konsekuensi manusia merupakan
makhluk yang menyadari bahwa alam semesta beserta isinya ini diciptakan dan
dikendalikan oleh kekuatan kodrati, yaitu Tuhan. Kekuatan adikodrati inilah sumber dari
segala kebenaran. Oleh karena itu, agar manusia memperoleh kebenaran yang hakiki,
upaya untuk memperoleh kebenaran dengan jalan seperti di atas disebut sebagai
pendekatan religius atau pendekatan suprapikir (Latif, 2004: 109). ​Disebut demikian karena
pendekatan ini melampaui daya nalar manusia. Kebenaran religius bukan hanya
berhubungan dengan kehidupan sekarang dan yang terjangkau oleh pengalaman,
6

melainkan juga mencakup masalah yang bersifat transendental, seperti latar belakang
penciptaan manusia dan kehidupan setelah kematian.
5. Pendekatan otoritas. Pendekatan otoritas ini usaha dalam memperoleh kebenaran yang
dilakukan dengan dasar pendapat atau pernyataan dari pihak yang memiliki otoritas. Yang
dimaksud dengan hal ini yaitu individu yang memiliki kelebihan tertentu dibanding dengan
anggota masyarakat pada umumnya. Kelebihan ini bisa berupa kekuasaan, kemampuan
intelektual, keterampilan, pengalaman, dan sebagainya. Mereka yang memiliki
kelebihan-kelebihan seperti itu disegani, ditakuti, ataupun dijadikan figur panutan. Apa
yang mereka nyatakan akan diterima masyarakat sebagai suatu kebenaran. Sepanjang
sejarah dapat ditemukan contoh mengenai ketergantungan manusia pada otoritas dalam
mencari kebenaran. Pada masa Yunani Kuno para pemikir seperti Socrates, Plato, dan
Aristoteles dipandang sebagai sumber kebenaran, bahkan melebihi pengamatan atau
pengalaman langsung. Apa yang dinyatakan oleh para tokoh ini dijadikan acuan dalam
memahami realitas, berpikir, dan bertindak (Latif, 2004: 110).
6. Pendekatan ilmiah. Pendekatan ilmiah bertumpu pada dua anggapan dasar, yaitu: (a)
bahwa kebenaran dapat diperoleh dari pengamatan; dan (b) bahwa gejala itu timbul sesuai
dengan hubungan yang berlaku menurut hukum tertentu. Pendekatan ilmiah merupakan
pengombinasian yang jitu dari pendekatan empiris dan pendekatan rasional. Kombinasi ini
didasarkan pada hasil analisis terhadap kedua pendekatan ini (Latif, 2004: 110).

G. Keterkaitan antara Filsafat Ilmu dan Kebenaran


Dari berbagai uraian yang telah dikemukakan, dapat kita pahami bahwa filsafat
berkembang demikian luas sejak zaman Yunani Kuno hingga zaman modern ini. Pada intinya
setiap orang yang berfilsafat berupaya untuk menemukan kebenaran yang hakiki. Untuk
menemukan kebenaran ternyata relatif sekali, yaitu tergantung kapasitas ilmu yang dimiliki oleh
orang itu. Adapun persamaan antara ilmu dan filsafat, bahwa keduanya menggunakan berpikir
reflektif dalam upaya menghadapi/memahami fakta dunia dan kehidupan, terhadap hal-hal ini,
baik filsafat maupun ilmu bersifat kritis, berpikiran terbuka serta sangat konsern pada
kebenaran, di samping perhatiannya pada pengetahuan yang terorganisasi dan sistematis (Latif,
2004: 113).
Meskipun filsafat ilmu mempunyai substansinya yang khas, namun merupakan bidang
pengetahuan campuran yang perkembangannya tergantung pada hubungan timbal balik dan
saling pengaruh antara filsafat dan ilmu. Oleh karena itu pemahaman bidang filsafat dan
pemahaman ilmu menjadi sangat penting, terutama hubungannya yang bersifat timbal balik,
meski dalam perkembangannya filsafat ilmu itu telah menjadi disiplin yang tersendiri dan
otonom dilihat dari objek kajian dan telaahannya dalam memperoleh kebenaran yang
bermakna, dan makna yang benar setiap individu harus menggunakan cara memperoleh
kebenaran dengan menggunakan empat alur pemikiran filsafati, yaitu alur rasional (​thinking​),
empiris (​sensing​), intuisi (​feeling​), dan otoriter atau kepercayaan (​believing​). Oleh karena itu
kebenaran yang diperoleh manusia relatif, tergantung cara memperoleh kebenaran yang
dipakai, sedang kebenaran yang berasal dari Tuhan bersifat hakiki (Latif, 2004: 114).
Sejarah ilmu telah mencatat berapa banyak kebenaran ilmiah di masa lalu yang
sekarang ini tidak dapat diterima lagi, karena manusia telah menemukan kebenaran lain yang
ternyata lebih dapat diandalkan. Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin
lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula
sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan ke arah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti
spesialisasi-spesialisasi. Seperti sains modern yang merupakan kegiatan yang secara sadar diberi
muatan patriarki dan gender. Ketika alam semakin dilihat sebagai seorang perempuan yang
perlu diperkosa, gender pun diciptakan kembali. Sains sebagai upaya laki-laki, didasarkan pada
penundukan alam dan jenis kelamin perempuan menyediakan dukungan bagi polarisasi gender.
Patriarki sebagai kekuatan ilmiah dan teknologi yang baru merupakan kebutuhan politis
7

kapitalisme industri yang sedang muncul (Eko Ariwidodo, 2011: 30). ​Sikap pragmatis dari ilmu
cocok dengan perkembangan peradaban manusia, telah terbukti secara nyata peranan ilmu
dalam membangun peradaban tersebut. Menolak kehadiran ilmu pengetahuan dan teknologi
berarti kita menutup mata terhadap kemajuan masa kini, yang ditandai oleh kenyataan bahwa
semua aspek kehidupan modern dipengaruhi oleh produk ilmu dan teknologi. Sebaliknya,
dengan jalan mendewakan ilmu kita pun gagal untuk mendapatkan pengertian hakikat ilmu
yang sesungguhnya.

H. Kesimpulan
Sesuai dengan apa yang sudah dipaparkan diatas, penulis menyimpulkan bahwa filsafat
ilmu merupakan ilmu yang menelaah pemikiran ilmiah atau upaya evaluatif dan kritis terhadap
pengetahuan yang bersumber dari manusia. filsafat ilmu salah satu pembahasannya terfokus
pada kebenaran. Adanya kebenaran itu dihubungkan dengan pengetahuan manusia terhadap
objek. Sejauh mana manusia memiliki pengetahuan untuk memberikan suatu kebenaran
terhadap objeknya. Oleh karena itu, kebenaran memiliki beragam sumber yang berfugsi
sebagai tolak ukur suatu kebenaran. Umumnya kebenaran dibagi menjadi 5 teori yaitu: teori
korespondensi, teori koherensi, teori pragmatis, teori performatif, dan teori konsensus.
Fokus lain pada pembahasan di atas adalah jenis dan sifat kebenaran. Keduanya
sama-sama dibagi menjadi tiga. Menurut A.M.W. Pranarka 3 jenis kebenaran tersebut adalah
pertama, kebenaran epistemologikal yang menghubungkan kebenaran dengan pengetahuan
manusia. Kedua, kebenaran otologikal yang bentuknya sebagai sifat dasar dari kebenaran.
Ketiga, kebenaran semantikal yang kebenarannya berhubungan dengan tutur kata dan bahasa.
Sedangkan sifat yang terdapat dalam kebenaran diantaranya: kebenaran berkaitan dengan
kualitas pengetahuan; kebenaran dikaitkan dengan sifat dan karakteristik dari cara seseorang
dalam membangun pengetahuannya; kebenaran yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya
pengetahuan.
Kebenaran dapat diterima apabila dilakukan pembuktian yang melalui beberapa cara
yaitu: pendekatan empiris, pendekatan rasional, pendekatan intuisi, pendekatan religius,
pendekatan otoritas, dan pendekatan ilmiah. Oleh karena itu, kebenaran yang diperoleh
manusia relatif tergantung cara mendapatkan kebenaran yang dipakai dan juga sangat
berpengaruh pada pemahaman ilmu pengetahuan. Disamping itu, manusia juga harus memiliki
sifat pengetahuan yang logis untuk bisa dijadikan tolak ukur dalam kebenaran ilmiah.

Daftar Pustaka

Abidin, Zainal. (2012). ​Pengantar Filsafat Barat​. Jakarta: Rajagrafindo Persada.


Ariwidodo, Eko. (2011). Paradigma Reduksionisme Epistemik dalam Rekayasa Genetika. ​Jurnal
Filsafat dan Pemikiran Keislaman, ​11(2), 30.
Atabik, Ahmad. (2014). ​Teori Kebenaran Perspektif Filsafat Ilmu: Sebuah Kerangka Untuk
Memahami Konstruksi Pengetahuan Agama​. 2(1), 254.
Latif, Mukhtar. (2014). ​Orientasi ke Arah Pemahaman Filsafat Ilmu​. Jakarta: Prenadamedia
Group.
Lubis, Akhyar Yusuf. (2016). ​Filsafat Ilmu: Klasik hingga Kontemporer​. Jakarta:
RajaGrafindo Persada.
Sudarminta. (2002). ​Epistemologi Dasar​. Yogyakarta: Kanisius.
Surajiyo. (2015). ​Filsafat Ilmu dan Perkembangannya di Indonesia​. Jakarta: Bumi Aksara.
8

Susanto. (2016). ​Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Ontologis, Epistemologi, dan Aksiologi.
Jakarta: Bumi Aksara.
Tafsir, Ahmad. (2009). ​Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi
Pengetahuan​. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Anda mungkin juga menyukai