Oleh
G2Q122018
PASCASARJANA
KENDARI
2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai
yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan
(human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. Manusia selalu berusaha
menemukan kebenaran. Banyak cara telah ditempuh untuk memperoleh kebenaran,
antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman
atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-
prinsip yang terkadang melampaui penalaran rasional, kejadian-kejadianyang berlaku di
alam itu dapat dimengerti.
Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal
menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan
tingkat kebenaran yang berbeda. Pengetahuan inderawi merupakan struktur yang
terendah. Tingkat pengetahuan yanglebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif.
Tingkat yang lebih rendah menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur,
dan pada umumnya kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab
itulah pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi. Pada
tingkat pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan pengetahuannya agar
terstruktur dengan jelas.
Metode ilmiah yang dipakai dalam suatu ilmu tergantung dari objek ilmu yang
bersangkutan. Macam-macam objek ilmu antara lain fisiko-kimia, mahluk hidup, psikis,
sosio-politis, humanistis dan religius. Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu
ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya dengan ilmu
pengetahuan,filsafat ini membahas tentang apa yang bisa dikategorikan sebagai objek
ilmu pengetahuan. Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu pengetahuan.
Dalam ilmu pengetahuan modern, jalan bagi diperolehnya ilmu pengetahuan adalah
metode ilmiah dengan pilar utamanya rasionalisme dan empirisme. Aksiologi
menyangkut tujuan diciptakannya ilmu pengetahuan, mempertimbangkan aspek
pragmatis-materialistis. Kerangka filsafat di atas akan memudahkan pemahaman
mengenai keterkaitan berbagai ilmu dalam mencari kebenaran.
Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya
mengemban tugas utama untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan,
menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua orang yang berhasrat untuk mencintai
kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di
dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia.
Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha
“memeluk” suatu kebenaran. Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia
sudah lama menjadi penyelidikan manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya
menyelidiki secara terus menerus apakah hakekat kebenaran itu?
Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong
pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman
tentang kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami
pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat
bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah
kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak
(absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus
individual, ada pula kebenaran umum universal.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu kebenaran?
2. Bagaimana penjelasan teori kebenaran menurut filsafat ilmu?
3. Bagaimana teori kebenaran yang dikemukakan oleh Julianne Ford dalam Lincoln &
Guba (1985)?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian kebenaran.
2. Untuk mengetahui teori-teori kebenaran dalam segi filsafat
3. Untuk mengetahui teori filsafat menurut Julianne Ford.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Standar Kebenaran
Standar kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai
nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat
kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. Dalam
kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam kepribadian
dan kesadarannya tak mungkin tanpa kebenaran.
A. Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
1. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama
yang dialami manusia
2. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui
indara, diolah pula dengan rasio
3. Tingkat filosofis, rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah
kebenaran itu semakin tinggi nilainya
4. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa
dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan.
Keempat tingkat kebenarna ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan
juga proses dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi
subyek yang dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenarna itu.
Misalnya pada tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah panca
indra.
Kebenaran itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari
kebanran itu, membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan
kepribadiannya.
D. Teori Performatif
Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh
pemegang otoritas tertentu. Contohnya mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim
di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian
yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu.Masyarakat
menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan oleh pemegang otoritas
tertentu walaupun tak jarang keputusan tersebut bertentangan dengan bukti-bukti
empiris.
Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran
performatif. Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama,
pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat
membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat
yang stabil dan sebagainya.
Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir
kritis dan rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti
kebenaran dari pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih
sangat patuh pada adat, kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak
berani melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk
mencari kebenaran.
E. Teori Konsensus
Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau
perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung
paradigma tersebut. Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena
adanya paradigma. Sebagai komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai
bersama yang bisa menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak
semua anggota kelompok menerapkannya dengan cara yang sama.
Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan
nilai-nilai bersamayang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan.
Paradigma berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak
tertulis. Adanya perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan relatif suatu
paradigma dalam memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa
mendatang dapat menjadi pedoman riset untuk memecahkan berbagai masalah secara
tuntas.
2.3 Empat Jenis Kebenaran Menurut Pranaka, Julianne Ford dalam Lincoln & Guba (1985)
Berbeda dengan Pranaka, Julianne Ford dalam Lincoln & Guba (1985)
mengemukakan ada 4 jenis kebenaran yang berbeda, yaitu kebenaran empiris, kebenaran
logis, kebenaran etis, kebenaran metafisis. Keempat kebenaran tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1. Kebenaran empiris yaitu kebenaran yang sudah biasa digunakan oleh para ilmuan
yang dirumuskan dalam bentuk hipotesis untuk menerima atau menolak sesuatu sebagai
kebenaran.
2. Kebenaran logis yaitu kebenaran yang masuk akal yang dapat diterima oleh orang
banyak, dimana kebenaran tersebut merupakan pernyataan hipotesis yang secara logis
atau matematis sejalan dengan pernyataan lain yang telah diketahui sebagai sesuatu
kebenaran.
3. Kebenaran etis adalah kebenaran yang dapat diukur dengan standar nilai atau moral
tertentu. Jadi, seseorang dianggap etis jika yang menyatakan kebenaran tersebut berbuat
sesuai dengan ukuran pelaksanaan yang bersifat moral atau profesional.
4. Kebenaran metafisis yang merupakan kebenaran yang sesuai dengan kepercayaan
dasar. Kebenaran ini merupakan kepercayaan yang harus diterima sebagaimana ada.
Kebenaran ini tidak dapat dibuktikan dengan ketidakbenaran, karena kebenaran ini
menghadirkan batas akhir yang berbeda dengan segala yang teruji.
BAB III
KESIMPULAN
Bahwa kebanran itu sangat ditentukan oleh potensi subyek kemudian pula tingkatan
validitas. Kebanran ditentukan oleh potensi subyek yang berperanan di dalam penghayatan
atas sesuatu itu.
Bahwa kebenaran itu adalah perwujudan dari pemahaman (comprehension) subjek
tentang sesuatu terutama yang bersumber dari sesuatu yang diluar subyek itu realita,
perisitwa, nilai-nilai (norma dan hukum) yang bersifat umum.
Bahwa kebenaran itu ada yang relatif terbatas, ada pula yang umum. Bahkan ada pula
yang mutlak, abadi dan universal. Wujud kebenaran itu ada yang berupa penghayatan
lahiriah, jasmaniah, indera, ada yang berupa ide-ide yang merupkan pemahaman potensi
subjek (mental,r asio, intelektual).
Bahwa substansi kebenaran adalah di dalam antaraksi kepribadian manusia dengan
alam semesta. Tingkat wujud kebenaran ditentukan oleh potensi subjek yang menjangkaunya.
Semua teori kebanrna itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang
mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Syam, Muhammad Noor. 1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional
Bertens, K. 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat. Jakarta: Yayasan Krisius
Sumantri Surya. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan
Susanto, A, 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan
Aksiologis. Jakarta:PT Bumi Aksara.