Anda di halaman 1dari 13

STANDAR KEBENARAN DALAM KONTEKS FILSAFAT

Oleh

AMMAR MAULANA SAYYID

G2Q122018

FAKULTAS KEGURUAN BAHASA

PASCASARJANA

UNIVERSITAS HALU OLEO

KENDARI

2023
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai
yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan
(human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. Manusia selalu berusaha
menemukan kebenaran. Banyak cara telah ditempuh untuk memperoleh kebenaran,
antara lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman
atau empiris. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-
prinsip yang terkadang melampaui penalaran rasional, kejadian-kejadianyang berlaku di
alam itu dapat dimengerti.
Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal
menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan
tingkat kebenaran yang berbeda. Pengetahuan inderawi merupakan struktur yang
terendah. Tingkat pengetahuan yanglebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif.
Tingkat yang lebih rendah menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur,
dan pada umumnya kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab
itulah pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi. Pada
tingkat pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan pengetahuannya agar
terstruktur dengan jelas.
Metode ilmiah yang dipakai dalam suatu ilmu tergantung dari objek ilmu yang
bersangkutan. Macam-macam objek ilmu antara lain fisiko-kimia, mahluk hidup, psikis,
sosio-politis, humanistis dan religius. Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu
ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya dengan ilmu
pengetahuan,filsafat ini membahas tentang apa yang bisa dikategorikan sebagai objek
ilmu pengetahuan. Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu pengetahuan.
Dalam ilmu pengetahuan modern, jalan bagi diperolehnya ilmu pengetahuan adalah
metode ilmiah dengan pilar utamanya rasionalisme dan empirisme. Aksiologi
menyangkut tujuan diciptakannya ilmu pengetahuan, mempertimbangkan aspek
pragmatis-materialistis. Kerangka filsafat di atas akan memudahkan pemahaman
mengenai keterkaitan berbagai ilmu dalam mencari kebenaran.
Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya
mengemban tugas utama untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan,
menyampaikan nilai-nilai kebenaran. Semua orang yang berhasrat untuk mencintai
kebenaran, bertindak sesuai dengan kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di
dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia.
Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha
“memeluk” suatu kebenaran. Kebenaran sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia
sudah lama menjadi penyelidikan manusia. Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya
menyelidiki secara terus menerus apakah hakekat kebenaran itu?
Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong
pula untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman
tentang kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami
pertentangan batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat
bahkan tingkat-tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah
kebenaran yang lain tingkatan kualitasnya ada kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak
(absolut). Ada kebenaran alami dan ada pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus
individual, ada pula kebenaran umum universal.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu kebenaran?
2. Bagaimana penjelasan teori kebenaran menurut filsafat ilmu?
3. Bagaimana teori kebenaran yang dikemukakan oleh Julianne Ford dalam Lincoln &
Guba (1985)?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian kebenaran.
2. Untuk mengetahui teori-teori kebenaran dalam segi filsafat
3. Untuk mengetahui teori filsafat menurut Julianne Ford.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Standar Kebenaran
Standar kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai
nilai-nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat
kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. Dalam
kehidupan manusia, kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam kepribadian
dan kesadarannya tak mungkin tanpa kebenaran.

A. Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
1. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama
yang dialami manusia
2. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui
indara, diolah pula dengan rasio
3. Tingkat filosofis, rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah
kebenaran itu semakin tinggi nilainya
4. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa
dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan.
Keempat tingkat kebenarna ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan
juga proses dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi
subyek yang dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenarna itu.
Misalnya pada tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah panca
indra.
Kebenaran itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari
kebanran itu, membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan
kepribadiannya.

B. Berdasarkan Ukuran Kebenarannya :


– Berfikir merupakan suatu aktifitas manusia untuk menemukan kebenaran
– Apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain
– Oleh karena itu diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaran

C. Berdasarkan Jenis-jenis Kebenaran :


1. Kebenaran Epistemologi (berkaitan dengan pengetahuan)
2. Kebenaran Ontologis (berkaitan dengan sesuatu yang ada/ diadakan)
3. Kebenaran Semantis (berkaitan dengan bahasa dan tutur kata)
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami
kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya
pengetahuan dan pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran,
manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam
kehidupan manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan
hidup yang dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan
dalam hidupnya yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.
Kebenaran agama yang ditangkap dengan seluruh kepribadian, terutama oleh
budi nurani merupakan puncak kesadaran manusia. Hal ini bukan saja karena sumber
kebnarna itu bersal dari Tuhan Yang Maha Esa supernatural melainkan juga karena yang
menerima kebenaran ini adalah satu subyek dengna integritas kepribadian. Nilai
kebenaran agama menduduki status tertinggi karena wujud kebenaran ini ditangkap oleh
integritas kepribadian. Seluruh tingkat pengalaman, yakni pengalaman ilmiah, dan
pengalaman filosofis terhimpun pada puncak kesadaran religius yang dimana di dalam
kebenaran ini mengandung tujuan hidup manusia dan sangat berarti untuk dijalankan
oleh manusia.

2.2 Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat


Dalam studi Filsafat Ilmu, pandangan tentang suatu ‘kebenaran’ itu sangat
tergantung dari sudut pandang filosofis dan teoritis yang dijadikan pijakannya. Dalam
menguji suatu kebenaran diperlukan teori-teori ataupun metode-metode yang akan
berfungsi sebagai penunjuk jalan bagi jalannya pengujian tersebut. Berikut ini beberapa
teori tentang kebenaran dalam perspektif filsafat ilmu:
A. Teori Korespondensi (Bertand Russel 1872-1970)
Teori kebenaran korespondensi adalah teori yang berpandangan bahwa
pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi (berhubungan) terhadap fakta
yang ada. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika adakesesuaian antara arti
yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi (ungkapan atau
keputusan) adalah benar apabila terdapat suatu faktayang sesuai dan menyatakan apa
adanya. Teori ini sering diasosiasikan denganteori-teori empiris pengetahuan.
Ujian kebenaran yang di dasarkan atas teori korespondensi paling diterima
secara luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan
kepadarealita obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara
pernyataan tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan
situasi yang dijadikan pertimbangan itu, serta berusaha untuk melukiskannya, karena
kebenaran mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita
lakukan tentang sesuatu (Titus, 1987:237).
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori
korespondensi suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung
pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dan sesuai dengan obyek yang dituju
oleh pernyataan tersebut (Suriasumantri, 1990:57). Misalnya jika seorang mahasiswa
mengatakan “matahari terbit dari timur” maka pernyataan itu adalah benar sebab
pernyataan tersebut bersifat faktual, atau sesuai dengan fakta yang ada bahwa matahari
terbit dari timur dan tenggelam di sebelah barat.
Menurut teori korespondensi, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai
hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan. Jika sesuatu pertimbangan
sesuai dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak maka pertimbangan itu
salah (Jujun, 1990:237). Teori ini menganggap. Teori kebenaran korespondensi adalah
“teori kebenaran yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu benar kalau isi
pengetahuan yang terkandung dalam pernyataan tersebut berkorespondensi (sesuai)
dengan objek yang dirujuk oleh pernyataan tersebut.
Teori kebenaran Korespondensi. Teori kebenaran korespondensi adalah teori
kebenaran yang paling awal (tua) yang berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles, teori
ini menganggap bawa “suatu pengetahuan mempunyai nilai benar apabila pengetahuan
itu mempunyai saling kesesuaian dengan kenyataan (realitas empirik) yang
diketahuinya”, Contoh, ilmu-ilmu pengetahuan alam.
Menurut teori ini, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian
(correspondence) antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan
objek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Dengan demikian kebenaran
epistimologis adalah kemanunggalan/keselarasan antara pengetahuan yang ada pada
subjek dengan apa yang ada pada objek, atau pernyataan yang sesuai dengan fakta, yang
berselaras dengan realitas, yang sesuai dengan situasi actual.
Teori korespondensi pada umumnya dianut oleh para pengikut
realisme.diantara pelopor teori ini adalah Plato, Aristoteles, Moore, Russel, Ramsey dan
Tarski. Mengenai teori korenspondensi tentang kebenaran, dapat disimpulkan sebagai
berikut: "Kebenaran adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan
kenyataan itu sendiri".
B. Teori Koherensi atau Konsistensi
Teori kebenaran Koherensi. Tokoh teori ini adalah Spinosa, Hegel dan
Bradley. Suatu pengetahuan dianggap benar menurut teori ini adalah “bila suatu
proposisi itu mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang terdahulu yang
bernilai benar”. Jadi, kebenaran dari pengetahuan itu dapat diuji melalui kejadian-
kejadian sejarah, atau melalui pembuktian logis atau matematis. Pada umumnya ilmu-
ilmu kemanusiaan, ilmu sosial, ilmu logika, menuntut kebenaran koherensi.
Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan
dengan fakta atau realita, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri, dengan
kata lain kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru dengan putusan-
putusan lainnya yang telah kita ketahui dan kebenarannya terlebih dahulu.
Teori ini menganggap bahwa“ "Suatu pernyataan dapat dikatakan benar apabila
pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang di anggap benar".
Misalnya bila kita menganggap bahwa pernyataan “semua hewan akan mati”
adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan “bahwa ayam adalah hewan, dan
ayam akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan
pernyataan yang pertama. Jadi menurut teori ini, “putusan yang satu dengan putusan
yang lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan satu sama lain. Maka lahirlah
rumusan kebenaran adalah konsistensi, kecocokan.”
Teorik ebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada
kriteria koheren atau konsistensi. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa
kepada pernyataan yang lain. Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila
pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan
sebelumnya yang dianggap benar (Jujun, 1990:55). Artinya pertimbangan adalah benar
jika pertimbangan itu bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima
kebenarannya, yaitu yang koheren menurut logika.
Suatu kebenaran tidak hanya terbentuk karena adanya koherensi atau
kensistensi antara pernyataan dan realitas saja, akan tetapi juga karena adanya pernyataan
yang konsisten dengan pernyataan sebelumnya. Dengan kata lain suatu proposisi
dilahirkan untuk menyikapi dan menanggapi proposisi sebelumnya secara konsisten serta
adanya interkoneksi dan tidak adanya kontradiksi antara keduanya. Misalnya, bila kita
menganggap bahwa “maksiat adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah” adalah suatu
pernyataan yang benar, maka pernyataan bahwa “mencuri adalah perbuatan maksiat,
maka mencuri dilarang oleh Allah” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah
konsisten dengan pernyataan yang pertama.
Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel,
Bradley dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan
begitu makatiap-tiap pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang
parsial bersifat terus menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari
keseluruhan tersebut (Titus,1987:239)
C. Teori Pragmatis (Charles S 1839-1914)
Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah
makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori
ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah
berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat
Amerika. Ahli-ahli filsafat ini di antaranya adalah William James(1842-1910), John
Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I.Lewis (Jujun, 1990:57).
Teori kebenaran Pragmatis. Tokohnya adalah William James dan John Dewey.
Suatu pengetahuan atau proposisi dianggap benar menurut teori ini adalah “bila proposisi
itu mempunyai konsekwensi-konsekwensi praktis (ada manfaat secara praktis) seperti
yang terdapat secara inheren dalam pernyataan itu sendiri”, maka menurut teori ini, tidak
ada kebenaran mutlak, universal, berdiri sendiri dan tetap. Kebenaran selalu berubah dan
tergantung serta dapat diroreksi oleh pengamalan berikutnya.
Jika seseorang menyatakan teori X dalam pendidikan, lalu dari teori itu
dikembangkan teori Y dalam meningkatkan kemampuan belajar, maka teori X dianggap
benar karena fungsional.
Pragmatism berasal dari bahasa Yunani Pragma, artinya yang dikerjakan, yang
dilakukan, perbuatan, dan tindakan. Menurut teori ini benar tidaknya suatu ucapan, dalil,
atau teori semata-mata bergantung pada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika
mendatangkan manfaat dan akan dikatakan salah jika tidak mendatangkan manfaat bagi
kehidupan manusia. Teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila ia mambawa kepada
akibat yang memuaskan, apabila ia berlaku pada praktek, apabila ia mempunyai nilai
praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya dan oleh akibat-akibat
praktisnya. Jadi kebenaran ialah apa saja yang berlaku.
Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide
dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya
suatu dalil atau teori tergantung kepada peran fungsi dalil atau teori tersebut bagi
manusia untuk kehidupannya dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Teori ini juga
dikenal dengan teori problem solving, artinya teori yang dengan itu dapat memecahkan
segala aspek permasalahan. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam
kehidupan praktis.
Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku
atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan
yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis, batu ujian
kebenaran adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat atau
pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequences). Teori ini tidak mengakui
adanya kebenaran yang tetap atau mutlak.
Francis Bacon pernah menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus mencari
keuntungan-keuntungan untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi. Ilmu
pengetahuan manusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan manusia. Dengan kata
lain ilmu pengetahuan manusia adalah kekuasaan manusia. Hal ini membawa jiwa
bersifat eksploitatif terhadap alam karena tujuan ilmu adalah mencari manfaat sebesar
mungkin bagimanusia.

D. Teori Performatif
Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh
pemegang otoritas tertentu. Contohnya mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim
di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian
yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu.Masyarakat
menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan oleh pemegang otoritas
tertentu walaupun tak jarang keputusan tersebut bertentangan dengan bukti-bukti
empiris.
Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran
performatif. Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama,
pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat
membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat
yang stabil dan sebagainya.
Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir
kritis dan rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti
kebenaran dari pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih
sangat patuh pada adat, kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak
berani melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk
mencari kebenaran.
E. Teori Konsensus
Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau
perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung
paradigma tersebut. Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena
adanya paradigma. Sebagai komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai
bersama yang bisa menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak
semua anggota kelompok menerapkannya dengan cara yang sama.
Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan
nilai-nilai bersamayang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan.
Paradigma berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak
tertulis. Adanya perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan relatif suatu
paradigma dalam memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa
mendatang dapat menjadi pedoman riset untuk memecahkan berbagai masalah secara
tuntas.

F. Teori Kebenaran Sintaksis


Teori ini berkembang diantara para filsuf analisa bahasa, seperti Friederich
Schleiermacher. Menurut teori ini, ‘suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu
mengikuti aturan sintaksis (gramatika) yang baku’.
G. Teori Kebenaran Semantis
Menurut teori kebenaran semantik, suatu proposisi memiliki nilai benar
ditinjau dari segi arti atau makna. Apakah proposisi itu pangkal tumpuannya pengacu
(referent) yang jelas? Jadi, memiliki arti maksudnya menunjuk pada referensi atau
kenyataan, juga memiliki arti yang bersifat definitif.
H. Teori Kebenaran Non-Deskripsi
Teori Kebenaran Non-Deskripsi. Teori ini dikembangkan oleh penganut
filsafat fungsionalisme. Jadi, menurut teori ini suatu statemen atau pernyataan itu akan
mempunyai nilai benar ditentukan (tergantung) peran dan fungsi pernyataan itu
(mempunyai fungsi yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari).
I. Teori Kebenaran Logik
Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistik. Menurut teori ini, bahwa
problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya
merupakan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa— pernyataan—yang hendak
dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logik yang sama yang masing-masing saling
melingkupinya.
J. Agama sebagai Teori Kebenaran
Manusia adalah makhluk pencari kebenaran, salah satu cara untuk menemukan
suatu kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri
memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik
tentang alam, manusia maupun tentang tuhan. Kalau ketiga teori kebenaran sebelumnya
lebih mengedepankan akal, budi, rasio, dan reason manusia, maka dalam teori ini lebih
mengedepankan wahyu yang bersumber dari Tuhan.
Penalaran dalam mencapai ilmu pengetahuan yang benar dengan berfikir
setelah melakukan penyelidikan dan pengalaman. Sedangkan manusia mencari dan
menentukan kebenaran sesuatu dalam agama dengan jalan mempertanyakan atau
mencari jawaban tentang masalah asasi dari atau kepada kitab suci, dengan demikian
suatu hal itu dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai
penentu kebenaran mutlak.

2.3 Empat Jenis Kebenaran Menurut Pranaka, Julianne Ford dalam Lincoln & Guba (1985)
Berbeda dengan Pranaka, Julianne Ford dalam Lincoln & Guba (1985)
mengemukakan ada 4 jenis kebenaran yang berbeda, yaitu kebenaran empiris, kebenaran
logis, kebenaran etis, kebenaran metafisis. Keempat kebenaran tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1. Kebenaran empiris yaitu kebenaran yang sudah biasa digunakan oleh para ilmuan
yang dirumuskan dalam bentuk hipotesis untuk menerima atau menolak sesuatu sebagai
kebenaran.
2. Kebenaran logis yaitu kebenaran yang masuk akal yang dapat diterima oleh orang
banyak, dimana kebenaran tersebut merupakan pernyataan hipotesis yang secara logis
atau matematis sejalan dengan pernyataan lain yang telah diketahui sebagai sesuatu
kebenaran.
3. Kebenaran etis adalah kebenaran yang dapat diukur dengan standar nilai atau moral
tertentu. Jadi, seseorang dianggap etis jika yang menyatakan kebenaran tersebut berbuat
sesuai dengan ukuran pelaksanaan yang bersifat moral atau profesional.
4. Kebenaran metafisis yang merupakan kebenaran yang sesuai dengan kepercayaan
dasar. Kebenaran ini merupakan kepercayaan yang harus diterima sebagaimana ada.
Kebenaran ini tidak dapat dibuktikan dengan ketidakbenaran, karena kebenaran ini
menghadirkan batas akhir yang berbeda dengan segala yang teruji.
BAB III
KESIMPULAN

Bahwa kebanran itu sangat ditentukan oleh potensi subyek kemudian pula tingkatan
validitas. Kebanran ditentukan oleh potensi subyek yang berperanan di dalam penghayatan
atas sesuatu itu.
Bahwa kebenaran itu adalah perwujudan dari pemahaman (comprehension) subjek
tentang sesuatu terutama yang bersumber dari sesuatu yang diluar subyek itu realita,
perisitwa, nilai-nilai (norma dan hukum) yang bersifat umum.
Bahwa kebenaran itu ada yang relatif terbatas, ada pula yang umum. Bahkan ada pula
yang mutlak, abadi dan universal. Wujud kebenaran itu ada yang berupa penghayatan
lahiriah, jasmaniah, indera, ada yang berupa ide-ide yang merupkan pemahaman potensi
subjek (mental,r asio, intelektual).
Bahwa substansi kebenaran adalah di dalam antaraksi kepribadian manusia dengan
alam semesta. Tingkat wujud kebenaran ditentukan oleh potensi subjek yang menjangkaunya.
Semua teori kebanrna itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang
mana masing-masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia.
DAFTAR PUSTAKA

Syam, Muhammad Noor. 1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan
Pancasila. Surabaya: Usaha Nasional
Bertens, K. 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat. Jakarta: Yayasan Krisius
Sumantri Surya. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar
Harapan
Susanto, A, 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan
Aksiologis. Jakarta:PT Bumi Aksara.

Anda mungkin juga menyukai