Anda di halaman 1dari 23

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi Kebenaran
Apakah kebenaran itu? Inilah pertanyaan yang lebih lanjut harus di
hadapi di dalam filsafat ilmu. Hal kebenaran sesungguhnya memang
merupakan tema sentral di dalam filsafat ilmu. Secara umum orang merasa
bahwa tujuan pengetahuan adalah untuk mencapai kebenaran. Rasanya lebih
tepat kalau pertanyaan kemudian di rumuskan menjadi apakah pengetahuan
yang benar itu?
Problematik mengenai kebenaran, seperti halnya problematik tentang
pengetahuan, merupakan masalah masalah yang mengacu pada tumbuh dan
berkembangnya, dalam filsafat itu. Apabila orang memberikan prioritas
kepada peranan pengetahuan, dan apabila orang percaya bahwa dengan
pengetahuan itu manusia akan menemukan kebenaran dan kepastian, maka
mau tidak mau orang harus berani menghadapi pertanyaan tersebut, sebagai
hal yang mendasar dan hal yang mendasari sikap dan wawasannya. 1
Dalam kamus umum bahasa Indonesia yang ditulis oleh
purwadarminta ditemukan arti kebenaran, yakni 1. Keadaan (hal dan
sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya);
missal, kebenaran berita ini masih saya sangsikan; kita harus berani membela
kebenaran dan keadilan. 2. Sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betul-
betul demikian halnya dan sebagainya); misal, kebenaran-kebenaran yang
diajarkan oleh agama. 3. Kejujuran; kelurusan hati; missal, tidak ada
seorangpun sangsi akan kebaikan dan kebenaran hatimu. 4. Selalu izin;
perkenanan; missal, dengan kebenaran yang dipertuan. 5. Jalan kebetulan;
missal, penjahat itu dapat dibekuk dengan secara kebenaran saja.

1 Surajiyo. 2013. Filsafat Umum Dan Perkembangannya Di Indonesia. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
Hlm 101

1
B. Jenis-jenis Kebenaran
Telaah dalam filsafat ilmu, membawa orang kepada kebenaran dibagi
dalam tiga jenis. Menurut A.M.W. Pramarka (1987) tiga jenis kebenaran itu
adalah 1. Kebenaran epistemologikal; 2. Kebenaran ontological; 3. Kebenaran
semantikal.
Kebenaran epistemological adalah pengertian kebenaran dalam
hubungannya dengan pengetahuan manusia. Kadang-kadang disebut dengan
istilah veritas logica. Kebenaran dalam arti ontological adalah kebenaran
sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada ataupun
diadakan. Apabila dihubungkan dengan kebenaran epistemological kadang-
kadang disebut juga kebenaran sebagai sifat dasar yang ada didalam objek
pengetahuan itu sendiri. Adapun kebenaran dalam arti semantikal adalah
kebenaran yang terdapat serta melekat didalam tutur kata bahasa. Kebenaran
semantikal disebut juga kebenaran moral (veritas moralis) karena apakah
tutur kata dan bahasa itu mengkhianati atau tidak terhadap kebenaran
epistemological ataupun kebenaran ontological tegantung kepada manusianya
yang mempunyai kemerdekaan untuk menggunakan tutur kata ataupun bahasa
itu. 2
Apabila kebenaran epistemological terletak didalam adanya
kemanunggalan yang sesuai serasi terpadu antara apa yang dinyatakan oleh
proses cognitif intelektual manusia dengan apa yang sesungguhnya ada
didalam objek (yang disebut esse reale rei), apakah itu konkret atau abstrak,
maka implikasinya adalah bahwa didalam esse reale rei tersebut memang
terkandung suatu sifat intelligibilitas (dapat diketahui kebenarannya).
Hal adanya intelligibilitas sebagai kodrat yang melekat didalam objek,
didalam benda, barang, makhluk dan sebagainya sebagai objek potensial
maupun riil dari pengetahuan cognitive intelektual manusia itulah yang
disebut kebenaran ontological, ialah sifat benar yang melekat didalam objek.

2
Ibid Hlm 102

2
C. Sifat sifat Kebenaran
Menurut Abbas Hamami Mintaredja (1983) kata ‘kebenaran’ dapat
digunakan sebagai suatu kata benda yang konkret maupun abstrak. Jika subjek
hendak menuturkan kebenaran artinya proposisi yang benar. Proposisi
maksudnya makna yang dikandung dalam suatu pertanyaan atau statement.
Jika subjek menyatakan kebenaran bahwa proposisi yang diuji itu pasti
memiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan, dan nilai. Hal yang
demikian karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat,
hubungan, dan nilai itu sendiri.

Dengan adanya berbagai kategori tersebut, tidaklah berlebihan jika


pada saatnya setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki
pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang amat berbeda satu
dengan yang lainnya, dan disitu terlihat sifat-sifat dari kebenarannya.

Berbagai kebenaran dalam Tim Dosen Filsafat Ilmu Fak. Filsafat


UGM Yogyakarta (1996) dibedakan menjadi tiga hal, yakni sebagai berikut :
1. Kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan. Artinya, setiap
penegtahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui sesuatu objek
dititik dari jenis pengetahuan yang dibangun. Maksudnya apakah
pengetahuan itu berupa:

a. Pengetahuan biasa atau biasa disebut knowledge of the man in the


street atau common sense knowledge. Pengetahuan seperti ini
memiliki inti kebenaran yang sifatnya subjektif, artinya amat
terikat pada subjek yang mengenal. Dengan demikian, pengetahuan
tahap pertama ini memiliki sifat selalu benar, sejauh sarana untuk
memperoleh pengetahuan bersifat normal atau tidak ada
penyimpangan.
b. Pengatahuan ilmiah, yaitu pengetahuan yang telah menetapkan
objek yang khas atau spesifik dengan menerapkan atau hampiran
metodologis yang khas pula, artinya metodologi yang telah
mendapatkan kesepakatan di antara ahli yang sejenis. Kebenaran

3
yang terkandung dalam pengetahuan ilmiah bersifat relative,
maksudnya kandunga kebenaran dari jenis pengetahuan ilmiah
selalu mendapatkan revisi yaitu selalu diperkaya oleh hasil
penemuan yang paling mutakhir. Dengan demikian, kebenaran
dalam pengetahuan ilmiah selalu mengalami pembeharuan sesuai
dengan hasil penelitian yang paling akhir dan mendapatkan
persetujuan para ilmuwan sejenis.
c. Penegetahuan filsafat, yaitu jenis penegtahuan yang pendekatannya
melalui metodologi pemikiran filsafat, yang sifatnya mendasar dan
menyeluruh dengan model pemikiran yang analitis, kritis, dan
spekulatif. Sifat kebenaran yang terkandung dalam pengetahuan
filsafati adalah absolut-intersubjektif. Maksudnya nilai kebenaran
yang terkandung jenis pengetahuan filsafat selalu merupakan
pendapat yang selalu melekat pada pandangan filsafat dari seorang
pemikir filsafat itu serta selalu mendapat pembenaran dari filsuf
kemudian yang menggunakan metodologi pemikiran yang sama
pula. Jika pendapat filsafat itu ditinjau dari sisi lain, artinya dengan
pendekatan filsafat yang lain sudah dapat dipastikan hasilnya akan
berbeda atau bahan bertentangan atau menghilangkan sama sekali.
d. Kebenaran pegetahuan yang terkandung dalam pengetahuan
agama. Pengetahan agama memiliki sifat dogmatis, artinya
pernyataan dalam suatu agama selalu dihampiri oeh kenyakinan
yang telah tertentu sehingga pernyataan dalam ayat kitab suci
agama memiliki nilai kebenaran sesuai dengan keyakinan yang
digunakan untuk memahaminya. Implikasi makna dari kandungan
kitab suci itu dapat berkembang secara dinamis sesuai dengan
perkembangan waktu, tetapi kandungan dari ayat kitab suci itu
tidak dapat diubah dan sifatnya absolut.
2. Kebenaran dikaitkan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimmana
cara atau denga alat apakah seseorang membangun pengetahuannya.
Apakah ia membangunnya dengan pengindraaan atau sense experience,
atau dengan akal pikir atau rasio, intuisi, keyakinan. Implikasi penggunaan

4
alat untuk memperoleh pengetahuan melalui alat tertentu akan
mengakibatkan karakteristik kebenaran yang dikandung oleh pengetauan
akan memiliki cara tertentu untuk membuktikannya, arrtinya jika
seseorang membangunnya melalui indra atau sense experience, pada saat
ia membuktikan kebenaran pengetahuan harus melalui indra pula, begitu
juga dengan cara yang lain. Seseorang tidak dapat membuktikan
kandungan kebenaran yang dibangun oleh cara intuitif, dibuktikannya
dengan cara lain cara indrawi misalnya.
3. Kebenaran yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan.
Artinya, bagaimana relasi atau hubungan atau subjek dan objek, manakah
yang dominan untuk membangun pengetahuan, subjekkah atau objek. Jika
subjek yang berperan maka jenis pengetahuan itu mengandung nilai
kebenaran yang sifatnya subjektif, artinya niai kebenaran dari pengetahuan
yang dikandungnya amat tergantung pada subjek yang memiliki
pengetahuan itu. Atau jika objek amat berperan maka sifatnnya objektif,
seperti pengetahuan tentang alam dan ilmu-ilmu alam.3

D. Cara Penemuan Kebenaran


Cara untuk menemukan kebenaran berbeda-beda. Dari berbagai cara
untuk menemukan kebenaran dapat dilihat cara yang ilmiah dan yang
nonilmiah. Cara-cara untuk menemukan kebenaran sebagaimana diuraikan
oleh Hartono Kasmadi, dkk., (1990) sebagai berikut.
1. Penemuan Secara Kebetulan
Penemuan kebenaran secara kebetulan adalah penemuan yang
berlangsung tanpa disengaja. Dalam sejarah manusia, penemuan secara
kebetulan itu banyak juga yang berguna walaupun terjadinya tidak
dengan cara yang ilmiah, tidak disengaja, dan tanpa rencana. Cara ini
tidak dapat diterima dalam metode keilmuan untuk menggali
pengetahuan atau ilmu.
2. Penemuan 'Coba dan Ralat' (Trial and Error)

3
Ibid hlm 103

5
Penemuan coba dan ralat terjadi tanpa adanya kepastian akan
berhasil atau tidak berhasil kebenaran yang dicari. Memang ada
aktivitas mencari kebenaran, tetapi aktivitas itu mengandung unsur
spekulatif atau 'untung-untungan'. Penemuan dengan cara ini kerap kali
memerlukan waktu yang lama, karena memang tanpa rencana, tidak
terarah, dan tidak diketahui tujuannya. Cara coba dan ralat ini pun
tidak dapat diterima sebagai cara ilmiah dalam usaha untuk
mengungkapkan kebenaran.
3. Penemuan Melalui Otoritas atau Kewibawaan
Pendapat orang-orang yang mempunyai kedudukan dan
kekuasaan sering diterima sebagai kebenaran meskipun pendapat itu
tidak didasarkan pada pembuktian ilmiah. Pendapat itu tidak berarti
tidak ada gunanya. Pendapat itu tetap berguna, terutama dalam
merangsang usaha penemuan baru bagi orang-orang yang
menyangsikannya. Namun demikian adakalanya pendapat itu ternyata
tidak dapat dibuktikan kebenarannya. Dengan demikian pendapat
pemegang otoritas itu bukanlah pendapat yang berasal dari penelitian,
melainkan hanya berdasarkan pemikiran yang diwarnai oleh
subjektivitas.
4. Penemuan Secara Spekulatif
Cara ini mirip dengan cara coba dan ralat. Akan tetapi,
perbedaannya dengan coba dan ralat memang ada. Seseorang yang
menghadapi suatu masalah yang harus dipecahkan pada penemuan
secara spekulatif, mungkin sekali ia membuat sejumlah alternatif
pemecahan. Kemudian ia mungkin memilih satu alternatif pemecahan,
sekalipun ia tidak yakin benar mengenai keberhasilannya.
5. Penemuan Kebenaran Lewat Cara Berpikir Kritis dan Rasional
Telah banyak kebenaran yang dicapai oleh manusia sebagai
hasil upaya menggunakan ke mampuan berpikirnya. Dalam
menghadapi masalah, manusia berusaha menganalisisnya berdasarkan
pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki untuk sampai pada
pemecahan yang tepat. Cara berpikir yang ditempuh pada tingkat

6
permulaan dalam memecahkan masalah adalah dengan cara berpikir
analitis dan cara berpikir sintetis.
6. Penemuan Kebenaran Melalui Penelitian Ilmiah
Cara mencari kebenaran yang dipandang ilmiah ialah yang
dilakukan melalui penelitian. Penelitian adalah penyaluran hasrat ingin
tahu pada manusia dalam taraf keilmuan. Sampai pada taraf setinggi
ini disertai oleh keyakinan bahwa ada sebab bagi setiap akibat, dan
bahwa setiap gejala yang tampak coba dicari penjelasannya secara
ilmiah. Pada setiap penelitian ilmiah melekat ciri-ciri umum, yaitu
pelaksanaannya yang metodis hanya mencapai suatu keseluruhan yang
logis dan koheren. Artinya, dituntut adanya sistem dalam metode
maupun dalam hasilnya. Jadi susunannya logis. Ciri lainnya adalah
universalitas. Setiap penelitian ilmiah harus objektif, artinya terpimpin
oleh objek dan tidak mengalami distorsi karena adanya berbagai
prasangka subjektif. Agar penelitian ilmiah dapat dijamin
objektivitasnya, tuntutan intersubjektivitas perlu dipenuhi. Penelitian
ilmiah juga harus diverifikasi oleh semua penelitian yang relevan.
Prosedur penelitian harus terbuka untuk diperiksa oleh ilmuwan yang
lain. Oleh karena itu penelitian ilmiah harus dapat dikomunikasikan.4

E. Tipologi Teori Kebenaran


Ketika berbicara tentang teori-teori kebenaran, secara klaksikal
terdapat tiga teori kebenaran yang sudah sangat populer dalam kajian filsafat
ilmu yakni (1) teori kebenaran korespondensi atau kesesuaian, (2) teori
kebenaran koherensi atau keteguhan, dan (3) teori kebenaran pragmatis atau
kesuksesan bila dipraktikkan. Namun, disamping ketiga teori tersebut, dalam
konteks kontemporer dikenal juga dua teori kebenaran lain yaitu (4) teori
kebenaran perfomatif dan (5) teori kebenaran konsensus.
1. Teori Kebenaran Korespondensi
Teori kebenaran korespondensi merupakan teori kebenaran yang
paling populer sekaligus paling tertua. Teori kebenaran korespondensi

4 Ibid hlm 100

7
adalah teori kebenaran yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu benar
kalau isi pengetahuan yang terkandung dalam pernyataan tersebut
berkorespondensi (sesuai ) dengan objek yang dirujuk oleh pernyataan
tersebut.

Teori korespondensi dengan tegas menyatakan bahwa truth is an


agreement between a propotition and fact, kebenaran adalah sebuah
kesesuaian antara sebuah proporsi (pernyataan) dan sebuah fakta. Jaminan
kebenaran disini adalah adanya kesamaan atu kemiripan structural antar
apa yang dinyatakan (proporsi yang diungkapkan dalam suatu kalimat) dan
suatu fakta objektif di dunia nyata yang dirujuk oleh pernyataan tersebut.

Contohnya teman yang sedang berkunjung ke rumah saya pada


malam hari, berkata “keadaan diluar terang benderang karena pancaran
rembulan yang terang seacara penuh menggantung indah di ufuk
cakrawala “. Pernyataan teman saya ini ditinjau dari sudut pandang teori
korespondensi hanya benar jika keadaan diluar pada malam hari itu benar-
benar cukup terang dengan sinaran cahaya bulan yang menggangtung
indah di ermukaan langit.

Penyelididkan empiris terhadap fakta-fakta yang dinyatakan dalam


suatu proporsi menjadi alat yang objektif untuk menguji kebenaran suatu
pernyataan. Dalam konteks inilah, teori korespondensi menempatkan
kesetiaan terhadap realitas objektif, realitas factual, fidelity to objective
reality.

Dalam the problems of philosophy, Russel mengajukan tiga syarat


yang harus dipenuhi oleh teori kebenaran korespondensi, yaitu (1) teori
tentang kebenaran harus sudah mengakui lawannya yakni kesesatan atau
kesalahan. Artinya, ketika sebuah pernyataan diungkapkan, namun
maknanya tidak seuai dengan fakta konkretnya, maka pernyataan tersebut
salah. Karenanya, setiap ungkapan / proporsisi tentang kebenaran, secara
tidak langsung atau implisist harus sudah mengakui kontradiksinya yakni
kesalahan, jika tidak bisa dibktikan secara factual. (2) menjadikan

8
kebenaran dan kesesatan sebagai sifat dari keyakinan. Dalam arti bahwa,
jika keyakinan dalam diri seseorang tidak diekspresikan dalam sebuah
proporsisi tentang sesuatu yang didnilai sebagai benar atau salah, maka
tidak aka nada kebenaran dan kesalahan. (3) kebenrandan kesalahan dari
suatu keyakinan selalu bergantung pada sesuatu yang terletak diluar
keyakinan itu sendiri juga. Dari ketiga syarat-syarat diatas, terlihat cukup
jelas bahwa dalam teori korespondensi dan kebenaran terdiri atas benyuk
hubungan antara keyakinan dan fakta.

Meskipun pijakan-pijakan argumentasi yang dimiliki teori


korespondensi sangat reasonable, namun dalam tataran tertentu teori ini
memiliki sejumlah kelemahan yang signifikan. Pertama, justifikasi ideal
teori korespondensi bahwa fakta dunia luar benra-benar dapat dipahami
secara tepat dan aktual melalui kapasitas kemampuan kita. Dengan
ungkapan lain bahwa penilaian dan persepsi internal kita mengenai
kenyataaan adalah benar-benar sesuai dengan kenyataan eksternal tersebut.
Disinilah letak kelemahan sebab ketika kita melakuakn penilaian terhadap
fakta dunia eksternal, maka kita membawa asumsi-asumsi dan perasaaan
internal yangtelah terakumulasi dalam pengalaman kita sebelumnya.
Sehingga penilaian tidak autentik lagi, penilaian sudah terdistorsi
subjektivitas tumpukan pengalaman kita. Kedua, teori korespondensi
menunjukkan bahwa kita membuat suatu penilaian yang benar, kita
memiliki semacam gambaran kenyataan dalam pikiran kita. Penilaian kita
benar karena gambaran ini persis seperti realitas yang
dipresentasikannya.Tapi penilaian kita tidak pernah persis yang menjadi
rujukan kita. Sebab ketika menilai sesuatu yang bersifat eksternal, kita
menggunakan kata-kata dan bahasa dalam pikiran kita. Ini berarti kita
telah menggunakan mediasi bahasa pikiran yang berada dalam benak kita,
apalagi kita kita mengekspresikannya secara verbalistik, maka bahasa kita
tidak akan sama persis dengan realitas faktual yang dipresentasikannya.
Ketiga, dalam dunia pengetahuan, manusia juga memiliki pengetahuan
tentang arti (definisi) dan hubungan (relation) dan nilai seperti
matematika, logika dan etika. Dalam bidang-bidang tersebut sedikitnya,

9
teori korespondensi tentang kebenenaran tidak berfungsi. Tetapi nyatanya
pengetahuan dalam bidang-bidang tersebut memiliki kedududkan tinggi.
Dengan demikian dengan tataran yang lebih subtil, teori korespondensi
ternyata memiliki problematika yang tidak terjawab secara holistik.

2. Teori Kebenaran Koherensi

Teori kebenaran koherensi secara etimologis berasal dari bahasa


latin, cohaerere yang berarti melekat, menyatu, atau bersatu. Sedangkan
secara terminologis, teori koherensi merupakan teori yang menyatakan
bahwa kebenaran harus berdasarkan harmoni internal proposisi-
proporsisi dalam suatu sistem tertentu. Suatu preposisi dikatakan benar
kalau proposisi itu konsisten dengan proposisi lain yang sudah diterima
atau diketahui kebenarannya. Teori koherensi menempatkan
kepercayaannya daklam konsistensi atau keharmonisan segala
pertimbangan. Suatu pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu
bersifat konsisten dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang telah
diterima kebenarannya. Pertimbangan yang benar adalah pertimbang yang
koheren, menurut logika, dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang
relevan.

Pandangan tentang alam menurut Copernicus dan teori evolusi


dalam biologi adalah contoh dari ide-ide baru yang mendorong kepada
perubahan-perubahan besar. Teori-teori tersebut diterima karena teori-
teori tersebut memberi tingkat koherensi dan konsistensi yang lebih besar,
teori-teori tersebut menerangkan hal-hal yang sebelumnya tidak dapat
diterangkan.

Dalam perspektif Sudarminta, teori kebenaran koherensi berakar


pada dua hal: (1) fakta bahawa matematika dan logika adalah sistem
deduktif yang ciri hakikinya adalah konsistensi. (2) sistem metafisika
rasionalistik yang seringakali mengambil dari matematika. Karena dua
akar ini maka tidak mengherankan bahwa kaum rasionalis dan positivis
logis menekankan teori kebenaran ini. Karena matematika dan logika

10
menarik kesimpulan yang niscaya (dan kalau benar, tentu kebenarannya
juga bersifat niscaya), teori kebenaran koherensi mengambil kedua disiplin
ilmu itu sebagai dasar. Satu-satunya tolok ukur kebenaran untuk
pernyataan matematis dan logis adalah tidaknya konsistensi dengan
aksioma dalam sistem yang diikuti.

Kaum rasionalis menyusun suatu metafisika dalam model sistem


aksiomatis. Dalam dunia semacam itu, segala sesuatu secara hakiki terjalin
dengan segala sesuatu yang lain, sehingga kalau ada satu bagian yang
berubah, seluruhnya berubah. Inilah ajaran tentang relasi internal. Dalam
pandangan ini, kita tidak dapat sungguh mengetahui sesuatu tanapa
mengetahuinya sebagai bagian dari suatu keseluruhan sistem. Jadi teori
kebenaran koherensi, secara sangat luas selain mencakup bidang sains,
secara prinsispil berpijak pada sistem matematika dan logika formal.
Pijakan fundamental terhadap aturan-aturan formal dalam logika dan
matematika menjadi prinsip-prinsip yang tidak bisa dilepaskan oleh teori
koherensi.

Teori koherensi pun tetap memiliki kelemahan dan kekurangan.


Pertama , sejumlah proposisi dalam sebuah ungkapan bisa saja saling
berhubungan satu sama lain, namun salah. Para pengkritik teori koherensi
mengatakan bahwa teori koherensi tidak membedakan antara kebenaran
yang konsisten dan kesalahan yang konsisten. Kedua, sangat mungkin
sekali suatu proposisi begitu terjalin satu sama lain yang membentuk
sebuah sistem yang benar-benar logis, namun tidak hanya justru hanya
berupa khayalan atau kreativitas imajinasi seseorang. Contohnya ratusan
juta, baik orang-orang dewasa lebih-lebih anak-anak terpesona dengan
kehebatan dan keunikan figure harry potter hasil imajinasi kreatif J.K
Rowlling. Walaupun proposisi-proposisi dalam novel ini logis, tetapi
ketika tidak riil dengan tataran objektif- factual, kebenarannya menjadi
lemah atau tidak absah. Ketiga, teori kebenaran koherensi terlalu bersifat
teoretis sehingga tidak praktis untuk kehidupan actual sehari-hari. Teori
koherensi sangat berpijak pada relasi internal antara hubungan-hubungan

11
logika yang tersusun dalam bentuk proposisi-proposisi yang bersifat
rasional. Dengan argumentasi yang bersifat hanya penalaran intelektual
tersebut, justru teori menjadi begitu abstrak bagi kehidupan konkret sehari
hari.

3. Teori Kebenaran Pragmatis

Teori kebenaran pragmatis secara etimologi beerasal dari bahasa


inggris, pragmatic yang berarti berkenaan dengan hasil praktik. Sedangkan
pragmatism (pragmatisme) merupakan filsafat yang berdasarkan paham
bahwa kebenaran, arti, atau nilai suatu gagasan harus dinilai dari segi
praktisnya. Jadi kebenaran dalam perspektif pragmatisme harus dilihat dari
kegunaan praktisnya. Untuk meperkaya pemahaman kita tentang
pragmatism, mari kita lihat sejumlah definisi berikut:

a. Pengetahuan berasal dari pengalaman, metode-metode


eksperimental dan usaha-usaha praktis. Pragmatisme kritis
terhadap spekulasi metafisika dalam meraih kebenaran.
b. Pengetahuan harus digunakan untuk memecahkan masalah-
masalah setiap hari, masalah-masalah praktis; membantu kita
beradaptasi dengan lingkungan kita. Pemikiran harus berhubungan
dengan praktik dan aksi.
c. Kebenaran dan arti gagasan –gagasan harus dikaitkan dengan
konsekuensi-konsekuensinya (hasil, penggunaan). Gagasan-
gagasan merupakan pedoman bagi aksi positif dan bagi rekontruksi
kreatif atas pengalaman dalam berhadapan dan penyesuaian dengan
pengalaman-pengalaman baru
d. Kebenaran adalah apa yang bernilai praktis dalam pengalaman
hidup. Ia bertindak sebagai instrument, atau sasaran, a) dalam
pencapaian tujuan-tujuan kita, dan b) dalam kemampuan kita untuk
meramalkan dan menyusun masa depan bagi penggunaan kita.
e. Kebenaran itu berubah, bersifat tentatif, dan asimptotis.

12
f. Arti gagasan (teori, konsep, keyakinan) sama dengan: a) kegunaan
praktis yang dapat diberikan oleh gagasan itu, dan b) konsekuensi
yang berasal dari gagasan itu.

Secara umum, pragmatism berhubungan dengan tokoh-tokoh filsuf


terkenal dari Amerika Serikat yaitu Charles S. Peirce. William James, dan
John Dewey. Kita akan menelaah sekilas pemikiran-pemikiran keiga tokoh
ini mengenai teori kebenaran pragmatis. Cherles S. Peirce, sebagai bapak
pragmatism, berpendirian bahwa ujian kebenaran yang terbaik tentang
suatu ide adalah melalui pertanyaan.

Bagi Peirce, ide itu menjadi betul-betul benar, jika terlihat secara
faktual akibat-akibat praktisnya dalam kehidupan manusia. Ia memandang
kehidupan manusia sebagai pejuang hidup yang tak berkesudahan dan
makna terpenting dalam perjuangan itu adalah konsekuensi-konsekuensi
yang bersifat praktis. Konsekuensi- konsekuensi yang bersifat praktis
tersebut erat hubungannya dengan makna dan kebenaran. Demikian
eratnya, sehingga oleh Peirce dikatakan bahwa kedua hal tersebut
sesungguhnya merupakan keunggulan. Meminjam kalimat Peirce secara
langsung: “untuk memastikan apakah yang dikandung oleh suatu konsepsi
akali, maka kita harus memperhatiakan konsekuensi-konsekuensi praktis
apakah yang niscaya akan timbul dari kebenaran-kebenaran tersebut”.
Dengan kata lain jika tidak menimbulkan konsekuensi- konsekuensi yang
praktis, maka sudah tentu tidak ada makna yang dikandunag oleh
konsepsi-konsepsi yang dianggap benar.

Filsuf kedua yang paling popular dalam mengembangkan teori


kebenaran pragmatis adalah William James dengan sebuah karyanya yang
cukup terkenal, pragmatism. Berhubungan dengan teori kebenaran
pragmatis, James mengunkapkan sebuah statemen yang cukup
membingungakan yaitu “Truth happens to an idea” yakni kebenaran itu
menjadi kepada sesuatu ide.

Menurut Harold Titus, yang membingungkan Dalam pernyataan


tersebut adalah bahwa teori kebenaran yang tradisional mengatakan

13
sebaliknya, yakni bahwa kebenaran itu suatu hubungan yang pasti dan
tetap (statis). Ketika James menyelidiki teori-teori kebenaran yang
tradisional, ia menanyakan, apakah arti kebenaran dalam tindakan.
Kebenaran harus merupakan nilai dari suatu ide. Tak ada suatu motif
dalam mengatakan bahwa sesuatu itu benar atau salah, kecuali untuk
memberi petunjuk bagi tindakan yang praktis. Suatu ide menjadi benar
jika menghasilakan atau jika ia memberikan akibat-akibat yang
memuaskan.

Filsuf ketiga yang menguraiakan teori kebenaran pragmatis secara


luas adalah John Dewey. Dewey merupakan filsuf yang sangat kritis
terhadap fisafat klasik dan tradisional yang disibukkan dalam mencari
realitas tertinggi dan menemukan zat yang abadi (Immutable). Bagi
Dewey, tujuan filsafat adalah untuk mengatur kehidupan dan aktivitas
manusia secara lebih baik, untuk di dunia dan sekarang. Dewet
memandang makna yag dikandung suatu proposisi terletak di dalam
konsekuensi- konsekuensinya terhadap tingkah laku sesorang. Suatu
proposisi itu membuat perubahan. Atau jika proposisi itu menyediakan
suatu perangakat cara untuk melakukan sesuatu. Tetapi tingkah laku
makhluk selalu ditunjukan untuk menyelesaikan masalah hidup.

Menurut Dewey, kita baru mengetahuai setelah mengadakan


verifikasi , dan yang demikiaan ini kita kerjakan dengan cara berjalan ke
kiri. Jika dengan berjalan ke arah kiri,kita sungguh-sungguh keluar dari
hutan, maka barulah proposisi tersebut sungguh-sungguh benar. Proposisi
yang kita ajukan merupakan suatu hipotesis yang meramalkan
konsekuensi-konsekuensi tersebut terwujud. Kebenaran adalah
pembenaran (verification),dan hal ini ditunjukkan bila penyelidiakan yang
menimbulkan perumusan proposisi tersebut diselesaikan dengan sukses.
Melalui contoh praktis diatas, kita dapat melihat teori kebenaran sangat
pragmatis menekankan pada kegunaan konkret dari sebuah gagasan dalam
kehidupan riil.

14
Teori kebenaran pragmatis menjadi ajaran yang amat menarik dan
cukup digemari oleh sebagian besar orang. Teori pragmatis bukan hanya
pada penyelesaian masalah dan manfaat praktis yang memuaskan, tapi
juga pada kontemplasi filosofis harus menyentuh perubahan perilaku pada
ranah praktis. Pengetahuan dan wawasan tidak boleh berhenti pada tatanan
pemahaman semata, tapi mesti membawa implikasi pada tindakan nyata.
Dengan ungkapan lain ,teori pragmatis lebih bersifat aktif – dinamis.
Sehingga konsep ini sangat menarik bagi orang-orang yang tergerak ingin
melakuakan perubahan aktual. Dalam konteks makna ini, teori kebenaran
pragmatis memang banyak diapresiasi karena usahanya dalam
menurunkan filsafaat dari ranah kontemplatif-filosofis, ke ranah pragmatis
untuk menjawab problem-problem kehidup saat ini.

Kelemahan teori pragmatis yang mengundang sejumlaah kritik.


Pertama,bahwa teori pragmatism tidak memiliki metafisik yang sepadan.
Kelompok pragmatis lebih condong untuk mengatakan bahwa
memikirkan watak yang tertinggi dari realitas hanya menghabisan waktu.
Akibatnya, mereka mengarahkan diri kepada metode penyidikan ilmiah
untuk mencari pengetahuan, berdasarkan atas kepercayaan bahwa cara-
caranya alam bekerja itu dapat diungkapkan. Kedua, pragmatism tidak
memiliki pandangan yang kuat tentang akal. Sudah jelas bahwa akal
adalah alat untuk langsung hidup (survival) dengan dibantu segi-segi
biologis. Akan tetapi, akal adalah lebih tinggi daripada sekedar alat untuk
memuaskan kebutuhan-kebutuhan yang praktis seperti makan, pakaian dan
rumah. Memang benar manusia itu ahli pemecah persoaalan, tetapi
manusia juga bekerja dalam bidang pemikiran estetik, bidang ide dan
bidang ideal. Ketiga, para kritis menyerang pandang pragmatis bahwa
kebenaran itu buat manusia dan tidak mempunyai eksstensi yang berdiri
sendiri seperti dilukiskaan oleh kelompok realitas dan lain-lain. Walaupun
“proposisi yang benar itu pada akhirnya berhasil” akan tetapi untuk
membalikkan pernyataan diatas hingga menjadi “ proposisi yang berhasi
adalah benar”, tidak dapat diterima menurut logika. Ada kepercayaan-
kepercayaan yang benar tak dapat dibuktikan; ada pula kepercayaan yang

15
tidak bermanfaat. Menurut para kritis, terdapat kebenaran yang harus kita
pikirkan, keindahan yang kita rasakan dan ketertiban alam yang harus di
ungkapakan. Keempat, teori pragmatis juga rentan terperangkap dalam
relativisme. Dengan memberikan definisi tentang kebenaran sebagai
kegunaan praktisnya dalam setiap konteks-konteks yang berbeda dan
menerima akibat-akibat yang baik sebagai kriteria kebenaran, setidaknya
mengandung asumsi bahwa tedapat suatu kebenaran untuk saya, dan suatu
kebenaran lagi buat anda. Relativisme semacam itu condong untuk
mebaurkan pertimbangan kita dan menjadikan kita kurang dapat
menghargai bukti secara objektif dan tidak memihak. Kita harus belajar
memandang benda-benda sebagaimana apa adanya, dan mengekang
harapan, kemauan, keinginan dan prasangka-prasangka kita.

Tedapat banyak sekali teori-teri agama, kehidupan, ekonomi, sains


dan bidang-biadan lain yang berfungsi dalam waktu yang panjang.
Sehingga ide tidak benar memberikan kepada kita apa yang dinamakan:
akibat-akibat yang memuaskan (satisfactory results). Di lain
pihak,terdapat pertimbanga-pertimbangan yang tak dapat di uji
kebenarannya secara pragmatis. Walaupun kepercayaan yang benar itu
akhirnya condong untuk berfungsi, akan tetapi hal tersebut tidak berarti
bahwa kepercayaan yang berfungsi itu mesti benar.

Definisi kebenarann kaum pragmatis sebenarnya juga rentan


terhadap kritik yang sudah di kemukakan terhadap definisi kebenaran
menurut teori koherensi , yakni bahwa kebenaran suatu keyakinaan
tergantung pada keterkaitannya dengan sesuatu yang objektif, bukan
hanya pada fungsinya sebagai keyakinan. Jadi tentu saja ada sebuah
kebenaran objektif dan universal dalam sebuahh ide dan gagasan. Jika
sebuah proposal dalam sebuah ide mempunyai kebenaran universal , maka
ia pasti benar bagi semua orang dan tidak sekedar benar bagi sebagian
orang yang dapat meraskan manfaatnya dan salah bagi sebagian yang lain
yang tiadak dapat merasakan manfaatnya.

16
4. Teori Kebenaran Performatif

Teori kebenaran performatif adalah teori yang menegaskan bahwa


sesuatu penyataan atau ujaran itu benar apabial apa yang dinyatakan itu
sungguh terjadi ketika pernyataan atau ujaran itu dilakukan (performed) .
Teori kebenaran performatif sebenarnya berasal dari salah satu filsafat
analitik bahasa yang digulirkan oleh seorang filsuf ternama di inggris,
John Langshaw Austin dalam filsafat bahasa adalah perbedaan yang
dilakuakannya antara performative utterance ( ucapan-ucapan performatif)
dengan constative utterance ( ucapan-ucapan konstatif),untuk memahami
secara distingtif tentang kebenaran performatif, di sini kita akan
membahas secara singkat kedua macam ucapan tersebut:

a. Ucapan konstatif (constative utterance)

Ucapaan konstatif adalah salah satu jenis ucapan yang


melukiskan suatu keadaan factual, yang menyatakan sesuatu atau
terdapat ssuatu yang konstatif dalam ucapan tersebut. Dalam pengertin
ini, ucapan konstatif memang memiliki konsekuensi untuk ditentukan
benar atau salah, yang tampaknya memiliki kemiripan dengan
ungkapan proposisi ke sebagaimana dikemukakan oleh kaum
atomisme logis. Namun demikian, terdapat perbedaan karena konsep
Austin walaupun ucapaan konstatif itu dapat dibuktikan benar atau
salahnya oleh si pendengar, namun Austin tidak melukiskan fakta
melalui ucapan konstatif itu berdasarkan formulasi logika. Benar atau
salah dari ucapan konstatif itu didasarkan atas konskuensi ucapan
dengan fakta yang terjadi yang dilukiskan melalui ucapan
tersebut.Untuk memahami ucapan tersebut dapat di analisis contoh
berikut:

1. Undang-Undang Dasar 1945 disahkan tanggal 18 Agustus


1945.
2. Di kebun binatang Gembira Loka ada seekor gajah yang sedng
beranak.

17
3. Perekonomiaan Indonesia mengalami guncangan karena
jatuhnya nilai Rupiah terhadap dolar AS.
4. Banyak tenaga kerja wanita Indonesia terlantar dan
bermasaalah di Arab Saudi.

Menurut Austin, bahwa filsafat bahasa biasa tiadak hanya dapat


dibatasi dengan penemuan bahasa yang bermakna atau tidak bermakna
berdasarkan formulasi logika belaka sebagaimana dilakukan oleh
kaum atomisme logis atau sebaliknya, kita tidak dapat hanya
menentukan bermakn aaatau tidak bermaknanya suatu ungkapan itu
hanya tergantung pada penggunaannya tanpa ditentukan benr atau
salahnya ungkapan tersebut berdasarkan fakta atau peristiwa pada
waktu yang lampau. Selain itu, peristiwa atau fakta yang dimaksudkan
Austin bukanlah sebagai fakta menurut atomisme logis menunjukkan
realitas dunia. Fakta daalam pengertian ini menurut Austin bahwa
suatu ungkapan itu benar-benar menunjukan pada suatu kejadian atau
peristiwa yang telah lalu yaitu peristiwa yang telah terjadi sebelum
ungkapan tesebut di ucapkan. Dalam pengetian inilah, bahwa ucapan
konstaatif itu memiliki acuan historis yang mengacu pada suatu
peristiwa.

b. Ucapan performatif (performative utterances)

Dalam kajian Austin, selain ucapan konstatif terdapat juga jenis


ucapan yang disebut ucapan performatif . Ucapan performatif tidak
dapat ditentukan benar dan salah berdasarkan peristiwa atau fakta yang
telah lampau, melainkan suatu ucapan yang memiliki konsekuensi
perbuatan bagi penuturnya. Dengan suatu ucapan performatif
seseorang bukanya memberitahukan suatu peristiwa atau kejadian
,melaikan dengan mengucapkan kalimat itu seseorang sungguh-
sungguh berbuat sesuatu misalnya mengadakan suatu perjanjian. Oleh
karena itu, Austin menamakan ucapan semacam itu sebagai ucapan
‘performatif’ (performative utterances) ,yang berdasarkan pada kata di

18
dalam bahasa inggris ‘to perform’ dan ‘performance’. Beberapa
contoh ucapan performatif dapat diamati pada contoh kalimat berikut:

1. Saya menunjuk saudara sebagai ketu pnitia ujian Negara


kelompok ilmu ekonomi.
2. Aku berjanji akan memberi hadiah kepada saudara, jika saya
nak paangkat.
3. Saya mengakat saudara menjadi Dekan Fakultas Filsafat
Universitas Gajah Mada.

Ucapan-ucapan semacam itu tidak dibuktikan benar atau


salahnya baik berdasarkan logika maupun fakta yang terjadi,
melainkan berkaitan dengan layak atau tidak layak diucapkan oleh
seseorang. Ucapan -ucapan tersebut juga bukan berkaitan dengan
bermakna atau tidaknya suatu ungkapan yang di ucapkan oleh
seseorang, melaikan suatu ucapan performatif akan tidak layak
diucapkan manakala seseorang tersebut tidak memiliki kewewenang
dalam mengucapkannya. Misalnya yang diungkakan “Saya
mengangkat saudara menjadi Dekan Fakultas Filsafat Universitas
Gajah Mada”, adalah tidak layak bilamana diucapkan olehseorang
mahasiswa atau seorang dosen biasa, karena mereka ittu secara formal
tidak memilki kewenangan untuk mengucapkan ungkapan tersebut.
Menurut Austin ucapan-ucapan performatif memiliki syarat-syarat
sebagai berikut:

1. Suatu ucapan performatif pasti tidak sah jikalau diucapkan oleh


seseorang yang tidak memiliki kompetensi dengan masalah ini
atau suatu keaadaan yang tidak memenuhi syarat atau tidak
mengizinkan ucapan itu.
2. Suatu ucapan performatif juga tidak sah jika seseorang
yangamengucapkan kalimat tersebut tidak bonafide atau tidak
bersikap jujur. Misalnya seseorang yang berjanji, akan tetapi
tidak mau menepatinya.

19
3. Akhirnya suatu ucapan performatif juga tidak sah manakala
orang yang bersangkutan menyimpang dari apa yang
diucapakannya. Misalnya saya menunjukan saudara untuk
menggantikan kedudukan saya sebagai sekertaris organisasi
kita , akan tetapi orang yang bersangkutan masih tetap
menduduki jabatan sekretaris, sehingga ucapan tersebut tidak
konsekuen.

Berdasarkan ciri-cirinya ucapan performatif menurut Austin


memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Diucapakan oleh orang pertama ( penutur pertama ).


2. Orang yang mengucapakan hadir dalam situasi tersebut.
3. Bersifat Indikatif (mengandung pernyataan tertentu).
4. Orang yang menyatakan terlibat secara aktif dengan isi
pernyataan tersebut.

Dengan demkian, kita tidak sekedar menggunakan bahasa


untuk mengatakan sesuatu (to make statemens), tetapi juga bias
untuk melakukan sesuatu (to perform actions). Karena itu pula ,
kebenaran performatif berhubungan dengan kebenaran pernyataan
yang diungkapkan oleh orang-orang yang memiliki kompetensi
dan legitimasi dalam bidang yang diungkapkan.

5. Teori Kebenaran Consensus

Teori kebenaran consensus pertama-tama dikemukakan oleh


Thomas Kunh (dalam buku The Structure of Scientific Revolution) dan
kemudian secara khusus, dalam konteks mengenbangkan etika Diskursus,
juga dikembangkan oleh J. Habermas. Dengan teori kebenaran consensus
sebagaimana dikemukakan oleh Thomas Kuhn adalah teori yang
mengajarkan bahwa suatu teori ilmiah dianggap benar kalau dapat
disetujui oleh komunitas ilmuwan bidang yang bersangkutan sebagai
benar. Konsensus pada ahli bidang yang bersangkutan de facto dalam
praktik menjadi penentu benar tidaknya suatu teori. Seperti dia sendiri

20
katakan “ There is no standard higher than the assent of the relavant
community “. Memang bagi Kunh, Tujuan poko sains , yang kegiatan nya
selalu tergantung pada suatu paradigm yang dianut, bukan untuk mencari
kebenaran , tetapi untuk memecahkan teka-teki (puzzles solving) yang
disajiakan oleh alam. Salah satu tolak ukur utama untuk menilai apakah
pengetahuan sains mengalami kemajuan atau tidak adalah dari kenyataan
apakah dibandingkan dengan waktu sebelumnya semakin banyak tek-
teki yang disajikan oleh alam itu terpecahkan atau tidak.

Sedangkan dalam teori kebenaran consensus yang dikemukakan


oleh Jurgen Habermas, syarat untuk kebenaran pernyataan-pernyataan
adalah kemungkinan adanya persetujuan dari para partisipan rasional
daalam suatu diskursus . Kebenaran suatu janji akan tercapainya suatu
konsesus rasional . Suatu pernyataan dapat disebut benar kalau klaim
validitas yang dimunculkan ole tindak-tutur yang kita pakai untuk
menegaskan pernyataan tersebut adalaah abash. Untuk itu , maka syarat-
syarat berikut diandaikan terpenuhi:

a. Ujaran itu mestidapaat dipahami .


b. Isi proposisional dari ujaraan tersebut benar .
c. Sewajarnya atau daapat dibenaarkan bahwa si pembicara
membuat ujaran tersebut.
d. Si pembicara berbicara benar dan jujur. 5

5
Zaprulkhan & Nuran Hasanah (Ed). 2015. filsafat ilmu, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.
hlm116

21
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan materi di atas maka dapat di tarik beberapa
pengetahuan, diantaranya:
1. Definisi Kebenaran
Dalam kamus umum bahasa Indonesia yang ditulis oleh
purwadarminta ditemukan arti kebenaran, yakni 1. Keadaan (hal dan
sebagainya) yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang
sesungguhnya); missal, kebenaran berita ini masih saya sangsikan; kita
harus berani membela kebenaran dan keadilan. 2. Sesuatu yang benar
(sungguh-sungguh ada, betul-betul demikian halnya dan sebagainya);
misal, kebenaran-kebenaran yang diajarkan oleh agama. 3. Kejujuran;
kelurusan hati; missal, tidak ada seorangpun sangsi akan kebaikan dan
kebenaran hatimu. 4. Selalu izin; perkenanan; missal, dengan
kebenaran yang dipertuan. 5. Jalan kebetulan; missal, penjahat itu dapat
dibekuk dengan secara kebenaran saja.
2. Jenis-jenis Kebenaran
1) Kebenaran epistemological
2) Kebenaran ontological
3) Kebenaran semantikal
3. Cara Penemuan Kebenaran
1. Penemuan Secara Kebetulan
2. Penemuan 'Coba dan Ralat' (Trial and Error)
3. Penemuan Melalui Otoritas atau Kewibawaan
4. Penemuan Secara Spekulatif
5. Penemuan Kebenaran Lewat Cara Berpikir Kritis dan
Rasional

6. Penemuan Kebenaran Melalui Penelitian Ilmiah

22
4. Sifat-sifat Kebenaran
1. Kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan
2. Kebenaran berkaitan dengan sifat atau karekteristik
3. Kebenaran yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya
pengetahuan
5. Tipologi Teori Kebenaran

1. Teori kebenaran korespondensi atau kesesuaian

2. Teori kebenaran koherensi atau keteguhan

3. Teori kebenaran pragmatis atau kesuksesan bila


dipraktikkan.

4. Teori kebenaran perfomatif

5. Teori kebenaran konsensus.

B. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah diatas banyak seakali kesalahan dan
jauh dari kesempurnaan. Penulis akan memperbaiki makalah tersebut dengan
berpedoman pada banyak sumber yang dapat dipertanggungjawabkan. Maka
dari itu penulis mengharapkan kritik dan saran mengenai pembahasan makalah
dalam kesimpulan diatas.

23

Anda mungkin juga menyukai