Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara historis abad modern dimulai sejak adanya krisis abad pertengahan. Selama
dua abad (abad 15 dan 16) di Eropa muncul sebuah gerakan yang menginginkan seluruh
kejayaan filsafat dan kebudayaan kembali hadir sebagaimana pernah terjadi pada masa
jayanya Yunani kuno. Gerakan tersebut dinamakan renaissance. Renaissance berarti
kelahiran kembali, yaitu lahirnya kebudayaan Yunani dan kebudayaan Romawi. Pada saat itu
gejala masyarakat untuk melepaskan diri dari kungkungan dogmatisme Gereja sudah mulai
tampak di Eropa. Abad pertengahan manusia tidak bisa berekspresi secara bebas, manusia
dininakbobokkan lebih kurang 1000 tahun lamanya.
Pada abad ke 14 dan 15 terutama di Italia muncul keinginan yang kuat, sehingga
memunculkan penemuan-penemuan baru dalam bidang seni dan sastra, dari penemuan
tersebut sudah memperlihatkan suatu perkembangan baru. Manusia berani berpikir secara
baru, antara lain mengenai dirinya sendiri, manusia menganggap dirinya sendiri tidak lagi
sebagai viator mundi, yaitu orang yang berziarah di dunia ini, melainkan sebagai faber mundi,
yaitu orang yang menciptakan dunianya.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Perkembagan Filsafat Barat Modern
Akhir abad ke 16 Eropa memasuki abad sangat menentukan dalam dunia
perkembangan filsafat, sejak Descartes, Spinoza dan Leibniz mencoba untuk menyusun suatu
sistem filsafat dengan dunia yang berpikir dalam pusatnya, yaitu suatu sistem berpikir
rasional. Rasionalisme adalah paham filsafat yang mengatakan bahwa akal (reason) adalah
alat terpenting dalam memperoleh pengetahuan dan mengetes pengetahuan. Rasionalisme
pada dasarnya ada dua macam, yaitu dalam bidang agama dan filsafat, dalam agama
rasionalisme adalah lawan autoritas. i Sementara dalam bidang filsafat rasionalisme adalah
lawan empirisme. Rasionalisme dalam bidang agama biasanya digunakan untuk mengkritik
ajaran agama, rasionalisme dalam filsafat berguna sebagai teori pengetahuan.
Sejarah rasionalisme pada esensialnya sudah ada sejak Thales ketika merumuskan
filsafatnya, kemudian pada kaum sofis dalam melawan filsafat Socrates, Plato dan Aristoteles,
dan beberapa filsuf sesudahnya. Dalam abad modern tokoh utama rasionalisme adalah Rene
Descartes.ii Sebab Descarteslah orang yang membangun fondasi filsafat jauh berbeda bahkan
berlawanan dengan fondasi filsafat abad pertengahan. iii Dasar filosofis utama Descartes
adalah bahwa perkembangan filsafat sangat lambat bila dibandingkan dengan laju
perkembangan filsafat pada zaman sebelumnya. Ia melihat tokoh-tokoh gereja yang
mengatasnamakan agama telah menyebabkan lambatnya perkembangan filsafat. Descartes
ingin melepaskan dari dominasi gereja dan mengembalikan pada semangat filsafat Yunani,
yaitu filsafat yang berbasis pada akal. Dengan demikian corak utama filsafat modern yang
dimaksud di sini adalah dianutnya kembali rasionalisme seperti pada masa Yunani kuno.
Rasionalisme yang dikembangkan oleh Descartes, kemudian dikembangkan lagi oleh Spinoza,
Leibniz dan Pascal. Paham yang berlawanan dengan rasionalisme adalah empirisme. aliran
ini lebih menekankan peranan pengalaman dan mengecilkan peran akal dalam memperoleh
pengetahuan. Sebagai suatu doktrin, empirisme adalah lawan dari rasionalisme. Dalam
menguatkkan doktrinya, empisme mengembangkan dua teori, yaitu teori tentang makna yang
begitu tampak pada pemikiran J. Locke dalam buku An Essay concerning human
understanding ketika ia menentang innate idea (ide bawaan) rasionalisme Descartes. Teori
tentang makna kemudian dipertegas oleh D. Hume dalam bukunya Treatise of human nature
dengan cara membedakan antara idea dan kesan (impression). Pada abad 20 kaum empirisis
cendrung menggunakan teori makna mereka pada penentuan apakah suatu konsep diterapkan
dengan benar atau tidak. Filsafat empirisme tentang teori makna berdekatan dengan
positivisme logis. Oleh karena itu, bagi penganut empirisis jiwa dapat dipahami sebagai
gelombang pengalaman kesadaran, materi sebagai pola jumlah yang dapat diindera, dan
hubungan kausalitas sebagai urutan peristiwa yang sama. Teori kedua yaitu teori pengetahuan,
menurut pengikut rasionalisme ada beberapa kebenaran umum seperti setiap kejadian
mempunyai sebab, seperti dasar-dasar matematika, dan beberapa prinsip dasar etika yang
dikenal dengan istilah kebenaran apriori yang diperoleh lewat institusi rasional. Empirisme
menolak pendapat seperti itu, mereka menganggap bahwa kebenaran hanya aposteriori yaitu
pengetahuan melalui observasi. Tokoh empirisme yang eksis mengembangkan teori ini J.
Locke, D. Hume dan H. Spencer. Rasionalisme dan empirisme dalam pandangan kritisisme
sudah terjebak pada paham eklusivisme, ke dua aliran ini sama-sama mempertahankan
kebenaran, seperti rasionalisme mengatakan bahwa sumber pengetahuan adalah rasio,
sementara empirisme mengatakan sumber pengetahuan adalah pengalaman, padahal masing-
masing aliran ini memiliki kelemahan-kelemahan. Dalam kondisi seperti itu Immanual Kant
tampil untuk mendamaikan kedua aliran tersebut, menurut Kant bahwa pengetahuan
merupakan hasil kerja sama dua unsur yaitu ‘pengalaman inderawi’ dan ‘keaktifan akal budi’.
Pengalaman inderawi merupakan unsur aposteriori (yang datang kemudian), akal budi
merupakan unsur apriori (yang datang lebih dulu). Empirisme dan rasionalisme hanya
mementingkan satu dari dua unsur ini. Kant telah memperlihatkan bahwa pengetahuan selalu
merupakan sebuah sintesis.iv
Revolusi kopernikan yang telah diadakan Kant dalam bidang filsafat dengan
kritisismenya, diteruskan dengan lebih radikal lagi oleh pengikutnya.vPara murid Kant tidak
puas terhadap batas kemampuan akal, alasannya karena akal murni tidak akan dapat
mengenal hal yang berada di luar pengalaman. Untuk itu dicari suatu sistem metafisika yang
ditemukan lewat dasar tindakan. Para idealis dalam hal ini tidak sepakat dengan Kant dan
mereka menyangkal adanya ‘das ding an sich’ (realitas pada dirinya). Menurut mereka, Kant
jatuh dalam kontradiksi dengan mempertahankan ‘das ding an sich’. Menurut Kant sendiri
penyebab merupakan salah satu katagori akal budi dan akibatnya tidak boleh disifatkan pada
das ding an sich. Karena alasan-alasan serupa itu para idealis mengesampingkan ‘das ding an
sich’. Menurut pendapat mereka tidak ada suatu realitas pada dirinya atau suatu realitas yang
objektif. Realitas seluruhnya merupakan hasil aktivitas suatu subjek, yang dimaksud subjek
di sini bukan subjek perorangan melainkan subjek absolut. Pemikiran idealisme
dikembangkan oleh Fichte dengan idealisme subjektif, Schelling dengan idealisme objektif
dan Hegel dengan idealisme mutlak. Perkembangan filsafat idealisme yang menyetarafkan
realitas seluruhnya dengan roh atau rasio menuai pesimisme dengan lahirnya positivisme.
Aliran ini mulanya dikembangkan oleh A. Comte, menurut positivisme pengetahuan tidak
pernah boleh melebihi fakta-fakta, untuk itu pengetahuan empiris menjadi contoh istimewa
bagi aliran ini, sehingga mereka menolak metafisika dan mengutamakan pengalaman,
meskipun positivisme mengandalkan pengalaman dalam mendapatkan pengetahuan, namun
mereka membatasi diri pada pengalaman objektif saja.vi
Pada pertengahan abad ke 20 ilmu pengetahuan positif berkembang pesat di Eropa
dan Amerika. Salah satu metode kritis yang berkembang pada waktu itu yaitu munculnya
filsafat fenomenologi sebagai sumber berpikir kritis. Fenomenologi adalah metode yang
diperkembangkan oleh Edmund Husserl berdasarkan ide-ide gurunya Franz Brentano.
Menurut Husserl bahwa objek harus diberi kesempatan untuk berbicara, yaitu dengan cara
deskripsi fenomenologi yang didukung oleh metode deduktif, tujuannya adalah untuk melihat
hakikat gejala-gejala secara intuitif. Sedangkan metode deduktif mengkhayalkan fenomena
berbeda, sehingga akan terlihat batas invariable dalam situasi yang berbeda.
Sementara di Amerika salah satu aliran filsafat berkembang adalah aliran
pragmatisme. Aliran ini mengajarkan bahwa yang benar adalah apa saja yang membuktikan
dirinya sebagai yang benar dan bermanfaat secara praktis. Ide aliran pragmatisme berasal dari
William James, pemikiran James pada awalnya sederhana karena James melihat bahwa telah
terjadi pertentangan antara ilmu pengetahuan dengan agama sehingga tujuan kebenaran orang
Amerikan terlalu teoritis, ia menginginkan hasil yang kongkret, untuk menemukan esensi
vii
tersebut maka harus diselidiki konsekwensi praktisnya. Pragmatisme kemudian
dikembangkan oleh John Dewey, menurut Dewey filsafat tidak boleh berada dalam
pemikiran metafisika yang tidak ada manfaatnya. Dengan demikian filsafat harus berdasarkan
pada pengalaman, kemudian mengadakan penyelidikan dan mengolahnya secara kritis
sehingga filsafat dapat memberikan sistem norma dan nilai-nilai.
Filsafat kadang kala lahir tidak selamanya dalam keadaan normal, salah satunya
adalah eksistensialisme. Lahirnya eksistensialisme berangkat dari suatu krisis kemanusiaan
akibat perang dunia I terutama di Eropa barat, dalam bidang filsafat eksistensialisme
mengkritik paham materialisme yang menganggap manusia hanyalah sesuatu yang ada, tanpa
menjadi subjek. Manusia berpikir, berkesadaran inilah yang tidak disadari oleh materialisme.
Dengan demikian manusia dalam pandangan materialisme melulu menjadi objek. Sementara
idealisme sebaliknya, berpikir dan berkesadaran dilebih-lebihkan sehingga menjadi seluruh
manusia, bahkan dilebih-lebihkan lagi sampai menjadi tidak ada barang lain selain pikiran.
Idealisme dalam hal ini hanya memandang manusia sebagai subjek. Aliran ini dikembangkan
oleh Soren Kierkegaard kemudian diteruskan oleh Jean Paul Sartre.viii
Filsafat untuk abad sekarang bukan lagi barang baru dan momok yang harus ditakutkan oleh
banyak orang, tetapi yang menjadi kendala dalam menyampaikan maksud-maksud filsafat
kepada masyarakat secara luas yaitu bahasa. Filsuf dalam kondisi seperti itu harus menaruh
perhatian besar guna menjelaskan kaidah-kaidah bahasa dalam filsafat agar mudah dipahami
oleh masyarakat. Perhatian terhadap bahasa tersebut awalnya dilakukan Filsafat dengan
demikian sejak kemunculanya sampai sekarang telah memberikan warna menarik, terutama
dalam merumuskan pertanyaan-pertanyaan sambil memberikan jawaban-jawaban kepada kita
sebagai manusia yang hidup pada abad modern ini.

B. IDEALISME
1) Pengertian Pokok Idealisme
Idealisme adalah suatu ajaran/faham atau aliran yang menganggap bahwa realitas ini
terdiri atas roh-roh (sukma) atau jiwa. ide-ide dan pikiran atau yang sejenis dengan itu.
2) Perkembangan Idealisme
Aliran ini merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pikiran
manusia. Mula-mula dalam filsafat Barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari
Plato. yang menyatakan bahwa alam, cita-cita itu adalah yang merupakan kenyataan
sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanyalah berupa bayangan saja
dari alam idea itu. Aristoteles memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya yang
menggambarkan alam ide sebagai sesuatu tenaga (entelechie) yang berada dalam benda-
benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu. Sebenarnya dapat dikatakan sepanjang
masa tidak pernah faham idealisme hilang sarna sekali. Di masa abad pertengahan malahan
satu-satunya pendapat yang disepakati oleh semua ahli pikir adalah dasar idealisme ini.
Pada jaman Aufklarung ulama-ulama filsafat yang mengakui aliran serba dua seperti
Descartes dan Spinoza yang mengenal dua pokok yang bersifat kerohanian dan kebendaan
maupun keduanya mengakui bahwa unsur kerohanian lebih penting daripada kebendaan.
Selain itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan kepada penganut Idealisme
yang paling setia sepanjang masa, walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil filsafat yang
mendalam. Puncak jaman Idealiasme pada masa abad ke-18 dan 19 ketika periode Idealisme.
Jerman sedang besar sekali pengaruhnya di Eropa.
3) Tokoh-Tokohnya
a. Plato (477-347 Sb.M)
b. Spinoza (1632-1677)
c. Liebniz (1685-1753)
d. Berkeley (1685-1753)
e. Immanuel Kant (1724-1881)
f. J. Fichte (1762-1814)
g. Schelling (1755-1854)
h. Hegel (1770-1831)

C. MATERIALISME
1) Pengertian Pokok Materialisme
Materialisme merupakan faham atau aliran yang menganggap bahwa dunia ini tidak
ada selain materi atau nature (alam) dan dunia fisik adalah satu.
2) Perkembangan Materialisme
Pada abad pertama masehi faham Materialisme tidak mendapat tanggapan yang serius,
bahkan pada abad pertengahan, orang menganggap asing terhadap faham Materialisme ini.
Baru pada jaman Aufklarung (pencerahan), Materialisme mendapat tanggapan dan penganut
yang penting di Eropah Barat. Pada abad ke-19 pertengahan, aliran Materialisme tumbuh
subur di Barat. Faktir yang menyebabkannya adalah bahwa orang merasa dengan faham
Materialisme mempunyai harapan-harapan yang besar atas hasil-hasil ilmu pengetahuan alam.
Selain itu, faham Materialisme ini praktis tidak memerlukan dalil yang muluk-muluk dan
abstrak, juga teorinya jelas berpegang pada kenyataan yang jelas dan mudah dimengerti.
Kemajuan aliran ini mendapat tantangan yang keras dan hebat dari kaum agama dimana-
mana. Hal ini disebabkan bahwa faham Materialisme ini pada abad ke-19 tidak mengakui
adanya Tuhan (atheis) yang sudah diyakini mengatur budi masyarakat. Pada masa ini,
kritikpun muncul di kalangan ulama-ulama barat yang menentang Materialisme.
Adapun kritik yang dilontarkan adalah sebagai berikut :
i. Materialisme menyatakan bahwa alam wujud ini terjadi dengan sendirinya dari khaos
(kacau balau). Padahal kata Hegel. kacau balau yang mengatur bukan lagi kacau balau
namanya.
ii. Materialisme menerangkan bahwa segala peristiwa diatur oleh hukum alam. padahal
pada hakekatnya hukum alam ini adalah perbuatan rohani juga.
iii. Materialisme mendasarkan segala kejadian dunia dan kehidupan pada asal benda itu
sendiri. padahal dalil itu menunjukkan adanya sumber dari luar alam itu sendiri yaitu
Tuhan.
iv. Materialisme tidak sanggup menerangkan suatu kejadian rohani yang paling mendasar
sekalipun.
3) Tokoh-Tokohnya
a. Anaximenes ( 585-528)
b. Anaximandros ( 610-545 SM)
c. Thales ( 625-545 SM)
d. Demokritos (kl.460-545 SM)
e. Thomas Hobbes ( 1588-1679)
f. Lamettrie (1709-1715)
g. Feuerbach (1804-1877)
h. Spencer (1820-1903)
i. Karl Marx (1818-1883)

D. DUALISME
1) Pengertian Pokok
Dualisme adalah ajaran atau aliran/faham yang memandang alam ini terdiri atas dua
macam hakekat yaitu hakekat materi dan hakekat rohani. Kedua macam hakekat itu masing-
masing bebas berdiri sendiri, sama azazi dan abadi. Perhubungan antara keduanya itu
menciptakan kehidupan dalam alam Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama
kedua hakekat ini adalah terdapat dalam diri manusia.
2) Tokoh-Tokohnya
a. Plato (427-347 Sb.H)
b. Aristoteles (384-322 Sb.H)
c. Descartes (1596-1650)
d. Fechner (1802-1887)
e. Arnold Gealinex
f. Leukippos
g. Anaxagoras
h. Hc. Daugall
i. A. Schopenhauer (1788-1860)

E. EMPIRISME
1) Pengertian Pokok Empirisme
Empirisme berasal dari kata Yunani yaitu "empiris" yang berarti pengalaman inderawi.
Oleh karena itu empirisme dinisbatkan kepada faham yang memilih pengalaman sebagai
sumber utama pengenalanan dan yang dimaksudkan dengannya adalah baik pengalaman
lahiriah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniah yang menyangkut pribadi
manusia. Pada dasarnya Empirisme sangat bertentangan dengan Rasionalisme. Rasionalisme
mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal dari ratio, sehingga pengenalan inderawi
merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. sebaliknya Empirisme berpendapat bahwa
pengetahuan berasal dari pengalaman sehingga pengenalan inderawi merupakan pengenalan
yang paling jelas dan sempurna.
Seorang yang beraliran Empirisme biasanya berpendirian bahwa pengetahuan didapat
melalui penampungan yang secara pasip menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini
berarti semua pengetahuan betapapun rumitnya dapat dilacak kembali dan apa yang tidak
dapat bukanlah ilmu pengetahuan. Empirisme radikal berpendirian bahwa semua
pengetahuan dapat dilacak sampai kepada pengalaman inderawi dan apa yang tidak dapat
dilacak bukan pengetahuan. Lebih lanjut penganut Empirisme mengatakan bahwa
pengalaman tidak lain akibat suatu objek yang merangsang alat-alat inderawi, kemudian di
dalam otal dipahami dan akibat dari rangsangan tersebut dibentuklah tanggapan-tanggapan
mengenai objek yang telah merangsang alat-alat inderawi tersebut. Empirisme memegang
peranan yang amat penting bagi pengetahuan, malah barangkali merupakan satu-satunya
sumber dan dasar ilmu pengetahuan menurut penganut Empirisme. Pengalaman inderawi
sering dianggap sebagai pengadilan yang tertinggi.
2) Tokoh-Tokohnya
a. Francis Bacon (1210-1292)
b. Thomas Hobbes ( 1588-1679)
c. John Locke ( 1632-1704)
d. George Berkeley ( 1665-1753)
e. David Hume ( 1711-1776)
f. Roger Bacon ( 1214-1294)

F. RASIONALISME.
1) Pengertian Pokok Rasionalisma
Rasionalisme adalah merupakan faham atau aliran atau ajaran yang berdasarkan ratio,
ide-ide yang masuk akal.Selain itu, tidak ada sumber kebenaran yang hakiki. Zaman
Rasionalisme berlangsung dari pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke XVIII. Pada
zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal
budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian
tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan
yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikut
orang-orang yang terpelajar Makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran
tentang hidup dan dunia. Hal ini menjadi menampak lagi pada bagian kedua abad ke XVII
dan lebih lagi selama abad XVIII antara lain karena pandangan baru terhadap dunia yang
diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana geniaal Fisika Inggeris ini yaitu
menurutnya Fisika itu terdiri dari bagian-bagian kevil (atom) yang berhubungan satu sama
lain menurut hukum sebab akibat. Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan
mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu keinsyafan yang mendalam
tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Berdasarkan
kepercayaan yang makin kuat akan kekuasaan akal budi lama kelamaan orang-orang abad itu
berpandangan dalam kegelapan. Baru dalam abad mereka menaikkan obor terang yang
menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan, karena kepercayaan itu
pada abad XVIII disebut juga zaman Aufklarung (pencerahan).
2) Tokoh-Tokohnya
a. Rene Descartes (1596-1650)
b. Nicholas Malerbranche (1638-1775)
c. De Spinoza (1632-1677 M)
d. G.W.Leibniz (1946-1716)
e. Christian Wolff (1679-1754)
f. Blaise Pascal (1623-1662 M)

G.FENOMENALISME
1) Pengertian Pokok Fenomenalisme
Secara harfiah Fenomenalisme adalah aliran atau faham yang menganggap bahwa
Fenomenalisme (gejala) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Seorang Fenomenalisme
suka melihat gejala. Dia berbeda dengan seorang ahli ilmu positif yang mengumpulkan data,
mencari korelasi dan fungsi, serta membuat hukum-hukum dan teori. Fenomenalisme
bergerak di bidang yang pasti. Hal yang menampakkan dirinya dilukiskan tanpa
meninggalkan bidang evidensi yang langsung. Fenomenalisme adalah suatu metode
pemikiran, "a way of looking at things". Gejala adalah aktivitas, misalnya gejala gedung
putih adalah gejala akomodasi, konvergensi, dan fiksasi dari mata orang yang melihat gedung
itu, di tambah aktivitas lain yang perlu supaya gejala itu muncul. Fenomenalisme adalah
tambahan pada pendapat Brentano bahwa subjek dan objek menjadi satu secara dialektis.
Tidak mungkin ada hal yang melihat. Inti dari Fenomenalisme adalah tesis dari
"intensionalisme" yaitu hal yang disebut konstitusi.
Menurut Intensionalisme (Brentano) manusia menampakkan dirinya sebagai hal yang
transenden, sintesa dari objek dan subjek. Manusia sebagai entre au monde (mengada pada
alam) menjadi satu dengan alam itu. Manusia mengkonstitusi alamnya. Untuk melihat
sesuatu hal, saya harus mengkonversikan mata, mengakomodasikan lensa, dan
mengfiksasikan hal yang mau dilihat. Anak yang baru lahir belum bisa melakukan sesuatu hal,
sehingga benda dibawa ke mulutnya.
2) Tokoh-Tokohnya
a. Edmund Husserl (1859-1938)
b. Max Scheler (1874-1928)
c. Hartman (1882-1950)
d. Martin Heidegger (1889-1976)
e. Maurice Merleau-Ponty (1908-1961)
f. Jean Paul Sartre (1905-1980)
g. Soren Kierkegaard (1813-1855)

H. INTUSIONALISME
1) Pengertian Pokok Intusionalisme
Intusionalisme adalah suatu aliran atau faham yang menganggap bahwa intuisi
(naluri/perasaan) adalah sumber pengetahuan dan kebenaran. Intuisi termasuk salah satu
kegiatan berfikir yang tidak didasarkan pada penalaran. Jadi Intuisi adalah non-analitik dan
tidak didasarkan atau suatu pola berfikir tertentu dan sering bercampur aduk dengan perasaan.
2) Tokoh-Tokohnya
a. Plotinos (205-270)
b. Henri Bergson (1859-1994)

i
A. Hanafi. (1981). Ihktisar sejarah filsafat barat. Jakarta: Pustaka Alhusna. Hlm. 55
ii
Anton Bakker. (1986). Metode-metode filsafat. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hlm. 68
iii
Lihat, Ahmad Tafsir. Hlm. 129
iv
Lihat. Harry Hamersme. hlm. 27
v
Asmoro Achmadi. (2008). Filsafat Umum. Jakarta: Raja Grafindo Persada. hlm. 119-120
vi
Lihat K. Bertens. Hlm. 72
vii
Lihat. Asmoro Achmadi, hlm. 124-125
viii
Lihat. Ahmad Tafsir, hlm. 217-223

Anda mungkin juga menyukai