ONTOLOGI ILMU
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.....................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................2
C. Tujuan Penulisan..........................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Ontologi.......................................................................................3
B. Metafisika..................................................................................11
C. Asumsi.......................................................................................13
D. Peluang.......................................................................................15
E. Beberapa Asumsi dalam Ilmu....................................................18
F. Batas-Batas Penjelajahan Ilmu..................................................19
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................21
B. Saran..........................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................22
i
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Filsafat diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu makna. Pengetahuan
adalah keseluruhan hal yang diketahui yang membentuk persepsi jelas
mengenai kebenaran atau fakta. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang
diatur dan diklasikfikasikan secara tertib, membentuk suatu sistem
pengetahuan, berdasar rujukan kepada kebenaran atau hukum-hukum umum.
Ilmu merupakan kegiatan untuk mencari pengetahuan dengan jalan melakukan
pengamatan ataupun penelitian, kemudia peneliti atau pengamat tersebut
berusaha membuat penjelasan mengenai hasil pengamatan atau penelitiannya.
Dari hasil pengamatan atau penelitian ini akan dihasilkan teori dan dapat pula
pengamatan atau penelitian ini ditujukan untuk menguji teori yang ada.
Dengan demikian, ilmu merupakan suatu kegiatan yang sifatnya
operasional. Jadi terdapat runtut yang jelas dari mana suatu ilmu pengetahuan
berasal. Ilmu pengetahuan hanya membahas segala sisi yang sifatnya positif
semata. Hal-hal yang berkaitan dengan kaedah, norma atau aspek normatif
lainnya tidak dapat menjadi bagian dari lingkup ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan dihasilkan dari perilaku berpikir manusia yang tersusun secara
akumulatif dari hasil pengamatan atau penelitian. Hasil eksplorasi pengetahuan
digunakan untuk mengabstraksi objek menjadi sejumlah informasi dan
mengolah informasi untuk maksud tertentu
Filsafat itu meliputi berbagai macam permasalahan. Adapun masalah
utama yang harus kita bahas adalah masalah kenyataan, tentang realitas,
tentang yang nyata dari sesuatu. Yang menjadi titik persoalan ialah kita harus
memecahkan permasalahan realitas secara tepat, karena konsepsi kita tentang
realitas mengontrol pertanyaan kita tentang dunia ini. Dan tanpa adanya
pertanyaan, kita jelas tidak akan memperoleh jawaban dari mana kita nantinya
akan membina kumpulan ilmu pengetahuan yang kita miliki dan menetapkan
disiplin tentang masalah – masalah pokoknya.
1
Ontologi adalah ilmu yang mengkaji apa hakikat ilmu atau pengetahuan
ilmiah yang sering kali secara populer banyak orang menyebutnya dengan ilmu
pengetahuan, apa hakikat kebenaran rasional atau kebenaran deduktif dan
kenyataan empiris yang tidak terlepas dari persepsi ilmu tentang apa dan
bagaimana. Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang
dapat dipikirkan manusia secara rasional dan bisa diamati melalui panca indera
manusia. Sementara kajian objek penelaahan yang berada dalam batas
prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca-pengalaman (seperti
surga dan neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar ilmu. Dari
pemaparan diatas, penulis tertarik membuat makalah dengan judul Ontologi
Ilmu.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah adalah
sebagai berikut:
1. Apakah pengertian ontologi?
2. Apakah pengertian metafisika?
3. Apakah pengertian asumsi?
4. Apakah pengertian peluang?
5. Bagaimana asumsi dalam ilmu?
6. Di mana batas – batas penjelajahan dalam ilmu?
C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian ontologi.
2. Untuk mengetahui pengertian metafisika.
3. Untuk mengetahui pengertian asumsi.
4. Untuk mengetahui pengertian peluang.
5. Untuk mengetahui deskripsi asumsi dalam ilmu.
6. Untuk mengetahui batas – batas penjelajahan dalam ilmu
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ontologi
B. Metafisika
Perkataan metafisika berasal dari Bahasa Yunani, meta yang berarti
selain, sesudah, atau sebalik, dan fisika yang berarti alam nyata. Maksudnya
ilmu yang menyelidiki hakekat segala sesuatu dari alam nyata dengan tidak
terbatas pada apa yang dapat ditangkap oleh panca indra saja. (hasbullah
dalam surajiyo, 2017:115). Pengertian metafisika menurut van peursen adalah
bagian filsafat yang memmusatkan perhatiannya pada pertanyaan mengenai
akar terdalam yang mendasi segala sesuatu. Metafisika membicarakan segala
sesuatu yang dianggap ada, mempersoalkan hakekat. Hakekat ini tidak dapat
dijangkau oleh panca indera karena tak terbentuk, berupa, berwaktu dan
bertempat. Dengan mempelajari hakikat kita dapat memperoleh pengetahuan
dan dapat menjawab pertanyaan tentang apa hakekat ilmu itu
Aristoteles berpendapat bahwa objek dari metafisika itu ada dua macam,
yaitu yang ada sebagai yang ada, dan yang – ilahi. Pembahasan mengenai
yang ada sebagai yang ada, yang- ada dalam keadaannya yang wajar,
menunjukan bahwa ilmu pengetahuan semacam ini berusaha untuk memahami
yang – ada itu dalam bentuk yang semurni-murninya. Dalam hal ini yang
penting bukannya apakah yang- ad aitu dapat terkena olej perubahan atau
tidak, bersifat kejasmanian atau tidak, melainkan apakah barang sesuatu itu
memang sungguh- sungguh ada, pembicaraan mengenai yang-ada sebagai
yang- ada bertitik tolak pada pencerapan/tangkapan dengan panca indra saja.
Sebaliknya apabila kita membicarakan mengenai yang ilahi berarti kita bertitik
tolak dari sesuatu yang pada dasarnya tidak dapat di tangkap dengan panca
indra, karena tuhan itu tidak dapat diketahui dengan menggunakan alat-alat
indrawi.
1. Aliran-Aliran Metafisika
Hasbullah bakry berpendapat akan timbul empat aliran dalam filsafat
metafisika, yaitu sebagai berikut :
a) Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa wujud ini terdiri atas dua hakekat
sebagai sumbernya yaitu, kakikat materi dan hakikat rohani. Kaitan
antar keduanya itulah yang menciptakan kehidupan dalam alam ini.
yaitu materi(jasad) dan jasmani(spiritual). Kedua macam hakikat itu
masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama abadi dam azali.
Perhubungan antara keduanya itulah yang menciptakan kehidupan
dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama
kedua hakikat ini ialah dalam diri manusia.
b) Materialisme
aliran ini menganggap bahwa yang ada hanyalah materi dan bahwa
segala sesuatu yang lainnya yang kita sebut jiwa atau roh tidaklah
merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri. Menurut pahan
materialisme bahwa jiwa atau roh itu hanyalah merupakan proses
gerakan kebendaan dengan salah satu cara tertentu.
c) Adealisme.
idealisme merupakan lawan dari materialisme yang juga
dinamakan spiritualisme. Aliran menganggap bahwa hakikat kenyataan
yang beraneka warna itu semua berasal dari roh (sukma) atau yang
sejenis dengan itu. Intinya sesuatu yang tidak berbentuk dan yang tidak
menempati ruang. Menurut aliran ini materi atau zat itu hanyalah suatu
jenis daripada penjelmaan roh. Alasan yang terpenting dari aliran ini
adalah “manusia menganggap roh lebih berharga, lebih tinggi nilainya
dari materi bagi kehidupan manusia. Roh dianggap sebagai hakikat
yang sebenarnya, sehingga materi hanyalah badannya, bayngan atau
penjelmaan saja.
d) Agnosticisme.
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui
hakikat benda, baik hakikat materi maupun hakikat rohani. Kata
Agnosticisme berasal dari bahasa Grik Agnostos yang berarti unknown.
A artinya not, artinya know. Timbulnya aliran ini disebabkan belum
diperoleh seseorang yang mampu menerangkan secara konkret akan
adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat dikenal.
C. Asumsi
Setiap ilmu selalu memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk
mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus
obyek telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih
banyak. Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektual suatu
jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai gagasan primitif, atau
gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan yang lain
yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala
hal yang tersirat. McMullin (2002) menyatakan hal yang mendasar yang
harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi
pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek sebelum
melakukan penelitian.2, 4
Hipotesis merupakan suatu asumsi, jika diperiksa ke belakang
(backward) maka hipotesis merupakan asumsi. Jika diperiksa ke depan
(forward) maka hipotesis merupakan kesimpulan. Untuk memahami hal ini
dapat dibuat suatu pernyataan: “Bawalah payung agar pakaianmu tidak basah
waktu sampai ke sekolah”. Asumsi yang digunakan adalah hujan akan turun
di tengah perjalanan ke sekolah. Implikasinya, memakai payung akan
menghindarkan pakaian dari kebasahan karena hujan.4
Dengan demikian, asumsi menjadi masalah yang penting dalam
setiap bidang ilmu pengetahuan. Kesalahan menggunakan asumsi akan
berakibat kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Asumsi yang benar akan
menjembatani tujuan penelitian sampai penarikan kesimpulan dari hasil
pengujian hipotesis. Bahkan asumsi berguna sebagai jembatan untuk
melompati suatu bagian jalur penalaran yang sedikit atau bahkan hampa fakta
atau data.
Asumsi adalah praduga anggapan sementara (yang kebenarannya
masih dibuktikan). Timbulnya asumsi karena adanya permasalahan yang
belum jelas, seperti belum jelasnya hakekat alam ini, yakni apakah gejala
alam ini tunduk kepada determinisme , yakni hukum alam yang bersifat
universal ataukah hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala
merupakan akibat pilihan bebas ataukah keumuman memang ada namun
berupa peluang, sekedar tangkapan probalistik (kemungkinan sesuatu hal
untuk terjadi).
Asumsi bersifat tidak mutlak atau pasti sebagaimana ilmu yang tidak
pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan yang bersifat mutlak. Jadi asumsi bukanlah suatu keputusan
mutlak. Kedudukan ilmu dalam asumsi adalah ilmu memberikan pengetahuan
sebagai dasar untuk mengambil keputusan, karena keputusan harus
didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.2, 3
Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal, antara lain aksioma,
postulat dan premise. Aksioma adalah pernyataan yang disetujui umum tanpa
memerlukan pembuktian karena kebenaran sudah membuktikan sendiri.
Postulat adalah pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa
pembuktian atau suatu fakta yang hendaknya diterima saja sebagaimana
adanya. Sedangkan premise adalah pangkal pendapat dalam suatu entimen.
Pertanyaan penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana
penggunaan asumsi secara tepat. Untuk menjawab permasalahan ini, perlu
tinjauan dari awal bahwa gejala awal tunduk pada tiga karakteristik yakni :
1. Deterministik
Karakteristik deterministik merujuk pada hukum alam yang
bersifat universal. Tokoh dalam karakteristik ini adalah William
Hamilton dan Thomas Hobbes, yang menyimpulkan bahwa pengetahuan
bersifat empirik yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat
universal. Pada lapangan pengetahuan ilmu eksak, sifat deterministik
lebih banyak dikenal dan asumsina banyak digunakan dibanding ilmu
sosial. Sebagai misal, satu hari sama dengan 12 jam, 1 jam sama dengan
60 menit. Sejak jaman dahulu sampai saat ini, dan mungkin juga masa
nanti, pernyataan ini tetap berlaku. Berapapun jumlah percobaan
dilakukan, satu atom karbon dan oksigen dicampur akan menghasilkan
karbon dioksida. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham
fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib
yang telah ditetapkan lebih dahulu.
2. Pilihan Bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya,
tidak terikat pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif.
Karakteristik ini banyak ditemukan pada bidang ilmu sosial. Sebagai
misal, tidak ada tolak ukur yang tepat dalam melambangkan arti
kebahagiaan. Masyarakat materialistik menunjukkan semakin banyak
harta semakin bahagia, tetapi di belahan dunia lain, kebahagiaan suatu
suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu melestarikan budaya
animismenya. Sebagai mana pula masyarakat brahmana di India
mengartikan bahagia jika mampu membendung hasrat keduniawiannya.
Tidak ada ukuran yang pasti dalam pilihan bebas, semua tergantung
ruang dan waktu.
3. Probabilistik
Pada sifat probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal
memang ada namun sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku
deterministik dengan peluang tertentu. Probabilistik menunjukkan
sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki sifat deterministik dengan
menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan modern,
karakteristik probabilitas ini lebih banyak dipergunakan. Dalam ilmu
ekonomi misalnya, kebenaran suatu hubungan variabel diukur dengan
metode statistik dengan derajat kesalahan ukur sebesar 5%. Pernyataan
ini berarti suatu variable dicoba diukur kondisi deterministiknya hanya
sebesar 95%, sisanya adalah kesalahan yang bisa ditoleransi. Jika
kebenaran statistiknya kurang dari 95% berarti hubungan variabel tesebut
tidak mencapai sifat-sifat deterministik menurut kriteria ilmu ekonomi.
Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat,
permasalahan utamanya adalah mempertanyakan pada pada diri sendiri
(peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat
kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku
bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham
deterministik. Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang
bersifat khas bagi tiap individu manusia maka akan digunakan asumsi
pilihan bebas. Di antara kutub deterministik dan pilihan bebas, penafsiran
probabilistic merupakan jalan tengahnya.
Ilmuwan melakukan kompromi sebagai landasan ilmu. Sebab
ilmu sebagai pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam
memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidak perlu memiliki
kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap
hal-hal hakiki dalam kehidupan. Karena itu; Harus disadari bahwa ilmu
tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan
pengetahuan yang bersifat mutlak. Ilmu memberikan pengetahuan
sebagai dasar untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus
didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relative.Jadi,
berdasarkan teori-teori keilmuan, tidak akan pernah didapatkan hal pasti
mengenai suatu kejadian. Yang didapatkan adalah kesimpulan yang
probabilistik, atau bersifat peluang.
Semakin banyak asumsi berarti semakin sempit ruang gerak
penelaahan suatu objek observasi. Dengan demikian, untuk mendapatkan
pengetahuan yang bersifat analistis, yang mampu menjelaskan berbagai
kaitan dalam gejala yang ada, maka pembatasan dalam bentukasumsi yang
kian sempit menjadi diperlukan.
Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin
ilmu. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian
teoritis. Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya”
bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”. Asumsi harus bercirikan
positif, bukan normatif. Lebih lanjut mengenai asumsi dan ontologi adalah
esensi dari fenomena, apakah fenomena merupakan hal yang bersifat obyektif
dan terlepas dari persepsi individu atau fenomena itu dipandang sebagai hasil
persepsi individu. Mengenai hal ini ada dua asusmsi yang berbeda yakni
nominalisme dan realisme.
Pada asumsi nominalisme, kehidupan sosial dalam persepsi individu
tak lain adalah kumpulan konsep-konsep baku, nama dan label yang akan
mengkarakteristikkan realitas yang ada. Intinya, realita dijelaskan melalui
konsep yang telah ada. Sedangkan pada asumsi realisme, kehidupan sosial
adalah merupakan kenyataan yang tersusun atas struktur yang tetap, tidak ada
konsep mengartikulasikan setiap realita tersebut dan realita tidak tergantung
pada persepsi individu.
Akan terjadi perbedaan pandang suatu masalah bila ditinjau dari
berbagai kacamata ilmu begitu juga asumsi. Ilmu sekedar merupakan
pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis yang dapat membantu
kehidupan manusia secara pragmatis (sesuatu yang mengandung manfaat).
Asumsi-asumsi dalam ilmu contohnya ilmu fisika yakni ilmu yang paling
maju bila di bandingkan dengan ilmu-ilmu lain. Fisika merupakan ilmu
teoritis yang di bangun atas system penalaran deduktif yang meyakinkan serta
pembutktian induktif yang sangat mengesankan. Fisika terdapat celah-celah
perbedaan yang terletak di dalam pondasi dimana dibangun teori ilmiah diatas
yakni dalam asumsi tentang dunia fisiknya.(zat,gerak,ruang dan waktu).
Kesimpulannya sebuah asumsi adalah sebuah ketidak pastian.
Asumsi perlu dirumuskan berdasarkan ilmu pengetahuan dan timbulnya
asumsi karena adanya sesuatu kejadian atau kenyataan.
D. Peluang
Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang
pasti mengenai suatu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik. Peluang
secara sederhana diartikan sebagai probabilitas. Peluang 0.8 secara sederhana
dapat diartikan bahwa probabilitas untuk suatu kejadian tertentu adalah 8 dari
10 (yang merupakan kepastian). Dari sudut keilmuan hal tersebut
memberikan suatu penjelasan bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah
berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Tetapi
ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi manusia untuk mengambil
keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan kepada kesimpulan ilmiah
yang bersifat relatif. Dengan demikan maka kata akhir dari suatu keputusan
terletak ditangan manusia pengambil keputusan itu dan bukan pada teori-teori
keilmuan.
Ontologi ialah hakikat apa yang dikaji dalam ilmu. Ontologi akan
memjawab pertanyaan mengenai: 1) Apakah objek ilmu yang akan
ditelaah?, 2) Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut? 3)
Bagaimana hubungan antara objek dan daya tangkap manusia (seperti
berpikir, merasa, dan mengindra) yang dapat menghasilkan pengetahuan.
Objek telaah ontologi adalah ada. Artinya objeknya nampak dan terlihat.
Ontologi memiliki aliran: Monoisme, materialisme, pluralisme, dualisme,
nihilisme, idealisme dan agnotisme.
Metafisika membicarakan segala sesuatu yang dianggap ada,
mempersoalkan hakekat. Hakekat ini tidak dapat dijangkau oleh panca
indera karena tak terbentuk, berupa, berwaktu dan bertempat. Untuk
mengembangkan suatu ilmu maka diperlukan asumsi. Asumsi diperlukan
untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan. Semakin terfokus obyek
telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih
banyak. Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektual
suatu jalur pemikiran.
Ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya
suatu pernyataan. Tentang baik dan buruk, semua (termasuk ilmu)
berpaling kepada sumber-sumber moral; tentang indah dan jelek, semua
(termasuk ilmu) berpaling kepada pengkajian estetik. Menurut Einstein
Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta.
B. Saran
Dalam memperlajari ilmu maka diperlukan objek yang nyata.
Dalam hal ini harus bisa membedakan antara ilmu dan pengetahuan
sehingga tidak mencampur adukan keduanya. Dalam mempelajari filsafat,
hendaknya bersikap bijak dan berpikiran luas.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
Remaja Rosdakarya.