Anda di halaman 1dari 23

MAKALAH

ONTOLOGI ILMU

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.....................................................................................ii
DAFTAR ISI..................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................1
B. Rumusan Masalah........................................................................2
C. Tujuan Penulisan..........................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
A. Ontologi.......................................................................................3
B. Metafisika..................................................................................11
C. Asumsi.......................................................................................13
D. Peluang.......................................................................................15
E. Beberapa Asumsi dalam Ilmu....................................................18
F. Batas-Batas Penjelajahan Ilmu..................................................19
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan................................................................................21
B. Saran..........................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA....................................................................................22

i
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Filsafat diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu makna. Pengetahuan
adalah keseluruhan hal yang diketahui yang membentuk persepsi jelas
mengenai kebenaran atau fakta. Sedangkan ilmu adalah pengetahuan yang
diatur dan diklasikfikasikan secara tertib, membentuk suatu sistem
pengetahuan, berdasar rujukan kepada kebenaran atau hukum-hukum umum.
Ilmu merupakan kegiatan untuk mencari pengetahuan dengan jalan melakukan
pengamatan ataupun penelitian, kemudia peneliti atau pengamat tersebut
berusaha membuat penjelasan mengenai hasil pengamatan atau penelitiannya.
Dari hasil pengamatan atau penelitian ini akan dihasilkan teori dan dapat pula
pengamatan atau penelitian ini ditujukan untuk menguji teori yang ada.
Dengan demikian, ilmu merupakan suatu kegiatan yang sifatnya
operasional. Jadi terdapat runtut yang jelas dari mana suatu ilmu pengetahuan
berasal. Ilmu pengetahuan hanya membahas segala sisi yang sifatnya positif
semata. Hal-hal yang berkaitan dengan kaedah, norma atau aspek normatif
lainnya tidak dapat menjadi bagian dari lingkup ilmu pengetahuan. Ilmu
pengetahuan dihasilkan dari perilaku berpikir manusia yang tersusun secara
akumulatif dari hasil pengamatan atau penelitian. Hasil eksplorasi pengetahuan
digunakan untuk mengabstraksi objek menjadi sejumlah informasi dan
mengolah informasi untuk maksud tertentu
Filsafat itu meliputi berbagai macam permasalahan. Adapun masalah
utama yang harus kita bahas adalah masalah kenyataan, tentang realitas,
tentang yang nyata dari sesuatu. Yang menjadi titik persoalan ialah kita harus
memecahkan permasalahan realitas secara tepat, karena konsepsi kita tentang
realitas mengontrol pertanyaan kita tentang dunia ini. Dan tanpa adanya
pertanyaan, kita jelas tidak akan memperoleh jawaban dari mana kita nantinya
akan membina kumpulan ilmu pengetahuan yang kita miliki dan menetapkan
disiplin tentang masalah – masalah pokoknya.

1
Ontologi adalah ilmu yang mengkaji apa hakikat ilmu atau pengetahuan
ilmiah yang sering kali secara populer banyak orang menyebutnya dengan ilmu
pengetahuan, apa hakikat kebenaran rasional atau kebenaran deduktif dan
kenyataan empiris yang tidak terlepas dari persepsi ilmu tentang apa dan
bagaimana. Ontologi ilmu membatasi diri pada ruang kajian keilmuan yang
dapat dipikirkan manusia secara rasional dan bisa diamati melalui panca indera
manusia. Sementara kajian objek penelaahan yang berada dalam batas
prapengalaman (seperti penciptaan manusia) dan pasca-pengalaman (seperti
surga dan neraka) menjadi ontologi dari pengetahuan lainnya di luar ilmu. Dari
pemaparan diatas, penulis tertarik membuat makalah dengan judul Ontologi
Ilmu.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, adapun rumusan masalah adalah
sebagai berikut:
1. Apakah pengertian ontologi?
2. Apakah pengertian metafisika?
3. Apakah pengertian asumsi?
4. Apakah pengertian peluang?
5. Bagaimana asumsi dalam ilmu?
6. Di mana batas – batas penjelajahan dalam ilmu?

C. Tujuan Penulisan
Adapun tujuan penulisan adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui pengertian ontologi.
2. Untuk mengetahui pengertian metafisika.
3. Untuk mengetahui pengertian asumsi.
4. Untuk mengetahui pengertian peluang.
5. Untuk mengetahui deskripsi asumsi dalam ilmu.
6. Untuk mengetahui batas – batas penjelajahan dalam ilmu
BAB II
PEMBAHASAN
A. Ontologi

Menurut utami (2013:7) mengemukakan Ontologi (apa yang dikaji)


Ontologi ialah hakikat apa yang dikaji atau ilmunya itu sendiri. Seorang
filosof yang bernama Democritus menerangkan prinsip-prinsip materialisme
mengatakan sebagai berikut : Hanya berdasarkan kebiasaan saja maka manis
itu manis, panas itu panas, dingin itu dingin, warna itu warna. Artinya, objek
penginderaan sering kita anggap nyata, padahal tidak demikian. Hanya atom
dan kehampaan itulah yang bersifat nyata. Jadi istilah “manis, panas dan
dingin” itu hanyalah merupakan terminology yang kita berikan kepada gejala
yang ditangkap dengan pancaindera.
Ilmu merupakan pengetahuan yang mencoba menafsirkan alam semesta
ini seperti adanya, oleh karena itu manusia dalam menggali ilmu tidak dapat
terlepas dari gejala-gejala yang berada didalamnya. Dan sifat ilmu
pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam mememecahkan
masalah tidak perlu memiliki kemutlakan seperti agama yang memberikan
pedoman terhadap hal-hal yang paling hakiki dari kehidupan ini. Sekalipun
demikian sampai tahap tertentu ilmu perlu memiliki keabsahan dalam
melakukan generalisasi. Sebagai contoh, bagaimana kita mendefinisikan
manusia, maka berbagai penegertianpun akan muncul pula. Contoh : Siapakah
manusia iu ? jawab ilmu ekonomi ialah makhluk ekonomi Sedang ilmu politik
akan menjawab bahwa manusia ialah political animal dan dunia pendidikan
akan mengatakan manusia ialah homo educandum.
Menurut Gie (dalam Suaedi, 2016:81) Ontologi memiliki pengertian
yang berbeda-beda, definisi ontologi berdasarkan bahasa berasal dari bahasa
Yunani, yaitu On (Ontos) merupakan ada dan logos merupakan ilmu sehingga
ontologi merupakan ilmu yang mengenai yang ada. Ontologi menurut istilah
merupakan ilmu yang membahas hakikat yang ada, yang merupakan ultimate
reality, baik berbentuk jasmani/konkret maupun rohani abstrak (Bakhtiar
2004). Ontologi dalam definisi Aristoteles merupakan pembahasan mengenai
hal ada sebagai hal ada (hal ada sebagai demikian) mengalami perubahan yang
dalam, sehubungan dengan objeknya.
Ontologi menurut Suriasumantri (1990) membahas mengenai apa yang
ingin kita ketahui, seberapa jauh kita ingin tahu, atau dengan kata lain suatu
pengkajian mengenai teori tentang “ada”. Telaah ontologis akan menjawab
pertanyaan-pertanyaan:
a. Apakah objek ilmu yang akan ditelaah?
b. Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut?
c. Bagaimana hubungan antara objek dan daya tangkap manusia (seperti
berpikir, merasa, dan mengindra) yang dapat menghasilkan pengetahuan?
Ontologi dalam Ensiklopedia Britannica yang diangkat dari konsepsi
Aristoteles merupakan teori atau studi tentang wujud, misalnya karakteristik
dasar dari seluruh realitas. Pembahasan tentang ontologi sebagi dasar ilmu
berusaha untuk menjawab “apa” yang menurut Aristoteles merupakan The
First Philosophy dan merupakan ilmu mengenai esensi benda (Romdon 1996).
Ontologi memiliki arti sama dengan metafisika yang merupakan studi filosofi
untuk menentukan sifat nyata yang asli (real nature) dari suatu benda untuk
menentukan arti, struktur, dan prinsip benda tersebut (filosofi ini didefinisikan
oleh Aristoteles abad ke-4 SM) (Ensiklopedia Bratannica dalam Wikipedia).
Ontologi dalam filsafat ilmu merupakan studi atau pengkajian mengenai
sifat dasar ilmu yang memiliki arti, struktur, dan prinsip ilmu. Ontologi filsafat
sebagai cabang filsafat adalah ilmu apa, dari jenis dan struktur dari objek,
properti, peristiwa, proses, serta hubungan dalam setiap bidang realitas.
Ontologi sering digunakan oleh para filsuf sebagai sinonim dari istilah yang
digunakan oleh Aristoteles untuk merujuk pada apa yang Aristoteles sendiri
sebut „filsafat pertama‟. Kadang-kadang „ontologi‟ digunakan dalam arti yang
lebih luas untuk merujuk pada studi tentang apa yang mungkin ada; metafisika
kemudian digunakan untuk penelitian dari berbagai alternatif yang mungkin
ontologi sebenarnya sejati dari realitas (Ingarden 1964). Istilah „ontologi‟ (atau
ontologia) diciptakan pada tahun 1613 secara mandiri oleh dua filsuf, Rudolf
Gockel (Goclenius) di Philosophicumnya Lexicon dan Jacob Lorhard
(Lorhardus) di Theatrumnyaphilosophicum. Kejadian pertama dalam bahasa
Inggris sebagaimana dicatat oleh OED muncul diKamus Bailey dari tahun
1721 yang mendefinisikan ontologi sebagai penjelasan di dalam Abstrak
(Smith 2003).
Ontologi bertujuan memberikan klasifikasi yang definitif dan lengkap
dari entitas di semua bidang. Klasifikasi harus definitif, dalam arti bahwa hal
itu dapat berfungsi sebagai jawaban atas pertanyaan seperti apa kelas entitas
yang diperlukan untuk penjelasan lengkap dan penjelasan dari semua kejadian-
kejadian di alam semesta? Apa kelas entitas yang diperlukan untuk
memberikan penjelasan mengenai apa yang membuat benar semua kebenaran?
Hal ini harus menjadi lengkap, dalam arti bahwa semua jenis entitas harus
dimasukkan ke dalam klasifikasi, termasuk juga jenis hubungan dengan entitas
yang diikat bersama untuk membentuk keutuhan yang lebih besar.
1. Aspek Ontologi
Objek telaah ontologi adalah ada. Studi tentang yang ada pada
dataran studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika.
Istilah ontologi banyak digunakan ketika kita membahas yang ada dalam
konteks filsafat ilmu. Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak
terikat oleh satu perwujudan tertentu. Ontologi membahas tentang yang
ada dan universal, menampilkan pemikiran semesta universal. Ontologi
berupaya mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan atau dalam
rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada, meliputi semua realitas
dalam semua bentuknya. Objek formal ontologi adalah hakikat seluruh
realitas. Bagi pendekatan kuantitatif, realitas tampil dalam kuantitas atau
jumlah, telaahnya akan menjadi kualitatif, realitas akan tampil menjadi
aliran-aliran materialisme, idealisme, naturalisme, atau hylomorphisme.
Aspek ontologi dari ilmu pengetahuan tertentu hendaknya
diuraikan secara metodis (mengunakan cara ilmiah); sistematis (saling
berkaitan satu sama lain secara teratur dalam suatu keselurusan); koheren
(unsur-unsurnya harus bertautan, tidak boleh mengandung uraian yang
bertentangan); rasional (harus berdasarkan pada kaidah berikir yang
benar/logis); komprehensif (melihat objek yang tidak hanya dari satu sisi
atau sudut pandang, tetapi juga secara multidimensional atau secara
keseluruhan/holistik); radikal (diuraikan sampai akar persoalannya atau
esensinya); universal (muatan kebenarannya sampai tingkat umum yang
berlaku di mana saja).
2. Fungsi dan Manfaat Ontologi
Fungsi dan manfaat dalam mempelajari ontologi, yaitu berfungsi
sebagai refleksi kritis atas objek atau bidang garapan, konsep-konsep,
asumsi-asumsi, dan postulat-postulat ilmu. Di antara asumsi dasar
keilmuan antara lain pertama, dunia ini ada, dan kita dapat mengetahui
bahwa dunia ini benar ada. Kedua, dunia empiris dapat diketahui oleh
manusia dengan pancaindra. Ketiga, fenomena yang terdapat di dunia ini
berhubungan satu dengan yang lainnya secara kausal (Ansari 1987: 80
dalam buku Ihsan 2010).
Ontologi menjadi penting karena pertama, kesalahan suatu asumsi
akan melahirkan teori, metodologi keilmuan yang salah pula. Sebagai
contoh, ilmu ekonomi dikembangkan atas dasar postulat bahwa “manusia
adalah serigala bagi manusia lainnya” dan asumsi bahwa hakikat manusia
adalah “homo ekonomikus”, makhlus yang serakah (Sastra ratedja 1988
dalam buku Ihsan 2010). Oleh karena itu, asumsi ini akan memengaruhi
teori dan metode yang didasarkan atas keserakahan manusia tersebut.
Kedua, ontologi membantu ilmu untuk menyusun suatu pandangan dunia
yang integral, komprehensif, dan koheren. Ilmu dengan ciri khasnya
mengkaji hal-hal yang khusus untuk dikaji secara tuntas yang pada
akhirnya diharapkan dapat memperoleh gambaran tentang objek. Namun,
pada kenyataannya kadang hasil temuan ilmiah berhenti pada simpulan-
simpulan yang parsial dan terpisah-pisah.
3. Aliran Ontologi
Berdasarkan konteks filosofi, metode ontologi ini selalu digunakan
di dalam adequatists sebagai metode filsafat secara umum. Metode ini
termasuk pengembangan teori ruang lingkup yang lebih luas atau sempit
dan pengujian serta penyempurnaan dari teori-teori tersebut dengan
memahami metode filsafat terhadap hasil ilmu pengetahuan. Metode ini
digunakan oleh Aristoteles sendiri.
Abad kedua puluhontologists telah tersedia untuk pengujian akhir
pengembangan teori ruang lingkup. Ontologists saat ini memiliki pilihan
kerangka formal (yang berasal dari aljabar, kategoriteori, mereologi,
topologi) dalam bentuk teori yang dapat dirumuskan. Melalui kerangka
formal tersebut, memungkinkan ahli filsafat untuk mengekspresikan
prinsip intuitif dan definisi dengan jelas dan teliti serta melalui penerapan
metode ilmu semantik formal, mereka dapat memungkinkan juga untuk
pengujian teori untuk konsistensi dan kelengkapan. Pandangan-pandangan
pokok di dalam pemahaman sebagai berikut.
a) Monoisme
Paham ini merupakan paham yang menganggap bahwa hakikat
yang asal dari seluruh kenyataan itu hanyalah satu saja, tidak mungkin
dua. Haruslah satu hakikatnya saja sebagai sumber yang asal, baik yang
asal berupa materi maupun berupa rohani. Tidak mungkin ada hakikat
masing-masing bebas dan berdiri sendiri. Haruslah salah satunya
merupakan sumber yang pokok dan dominan menentukan
perkembangan yang lainnya. Istilah monoisme oleh Thomas Davidson
disebut dengan Block Universe. Paham ini kemudian terbagi ke dalam
dua aliran (Edwards 1972) :
b) Materialisme.
Aliran ini menganggap bahwa sumber yang asal itu adalah materi,
bukan rohani. Aliran ini sering juga disebut dengan naturalisme.
Menurutnya, zat mati merupakan kenyataan dan satu-satunya fakta
(Sunarto 1983). Materialisme sering juga disebut naturalisme, tetapi
terdapat sedikit perbedaan di antara dua paham. Namun, materialisme
dapat dianggap suatu penampakan diri dari naturalisme. Naturalisme
berpendapat bahwa alam saja yang ada, yang lainnya di luar alam tidak
ada (Louis 1996).
c) Idealisme
Sebagai lawan materialisme adalah aliran idealisme yang
dinamakan dengan spiritualisme. Idealisme berarti serba cita,
sedangkan spiritualisme berarti serba roh. Idealisme berasal dari kata
“Idea” yaitu sesuatu yang hadir dalam jiwa. Aliran ini beranggapan
bahwa hakikat kenyataan yang beraneka ragam itu berasal dari roh
(sukma), yaitu sesuatu yang tidak berbentuk dan menempati ruang.
Materi dan zat itu hanyalah suatu jenis daripada penjelmaan rohani.
Alasan aliran ini yang menyatakan bahwa hakikat benda adalah
rohani, spirit, atau sejenisnya adalah nilai roh lebih tinggi daripada
badan, lebih tinggi nilainya dari materi bagi kehidupan manusia. Roh
itu dianggap sebagai hakikat yang sebenarnya sehingga materi hanya
badannya, bayangan, atau penjelmaan saja. Manusia lebih dapat
memahami dirinya daripada dunia luar dirinya. Materi ialah kumpulan
energi yang menempati ruang. Benda tidak ada, yang ada energi itu saja
(Bakhtiar 2010).
d) Dualisme
Setelah kita memahami bahwa hakikat itu satu (monoisme) baik
materi maupun rohani, ada juga pandangan yang mengatakan bahwa
halikat itu ada dua. Aliran ini disebut dualisme. Aliran ini berpendapat
bahwa benda terdiri atas dua macam hakikat sebagai asal sumbernya,
yaitu hakikat materi dan hakikat rohani, benda dan roh, jasad dan spirit,
materi bukan muncul dari roh, serta roh bukan muncul dari benda.
Sama-sama hakikat dan masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-
sama azali dan abadi. Hubungan kedua menciptakan kehidupan dalam
aliran ini. Contohnya, tentang adanya kerja sama kedua hakikat ini yaitu
dalam diri manusia.
e) Pluralisme.
Paham ini berpandangan bahwa segala macam bentuk merupakan
kenyataan. Pluralisme bertolak dari keseluruhan dan mengakui bahwa
segenap macam bentuk ini semuanya nyata. Pluralisme dalam Dictinary
of Philosophy and Religion dikatakan sebagai paham yang menyatakan
bahwa kenyataan alam ini tersususn dari banyak unsur, lebih dari satu
atau dua entitas. Tokoh aliran ini pada masa Yunani Kuno adalah
Anaxahoras dan Empedocles yang menyatakan bahwa substansi yang
ada itu terbentuk dan terdiri atas 4 unsur yaitu tanah, air, api, dan udara
(William et al. 1996).
Tokoh modern aliran ini adalah William James (1842−1910 M).
Kelahiran New York dan terkenal sebagai seorang psikolog dan filsuf
Amerika. Dalam bukunya The Meaning of Truth, James
mengemukakan tiada kebenaran yang mutlak, yang berlaku umum,
yang bersifat tetap,yang berdiri sendiri, lepas dari akal yang mengenal.
Hal ini disebabkan oleh pengalaman yang berjalan terus dan segala
yang dianggap benar dalam perkembangan pengamalaman itu
senantiasa berubah karena dalam praktiknya apa yang dianggap benar
dapat dikoreksi oleh pengalaman berikutnya.
f) Nihilisme
Nihilisme berasal dari bahasa Latin yang berarti nothing atau tidak
ada. Sebuah doktrin yang tidak mengakui validitas alternatif yang
positif. Istilah nihilisme diperkenalkan oleh Ivan Turgeniev dalam
novelnya Fathers and Children yang ditulisnya pada tahun 1862 di
Rusia. Dalam novel itu, Bazarov sebagai tokoh sentral mengatakan
lemahnya kutukan ketika ia menerima ide nihilisme.
Doktrin mengenai nihilisme sebenarnya sudah ada sejak zaman
Yunani Kuno, yaitu pada pandangan Gorgias (360−483 SM) yang
memberikan tiga proposisi tentang realitas. Pertama, tidak ada sesuatu
pun yang eksis. Pertama, tidak ada sesuatu pun yang eksis. Realitas itu
sebenarnya tidak ada. Kedua, bila sesuatu itu ada, ia tidak dapat
diketahui. Hal ini disebabkan oleh pengindraan itu tidak dapat
dipercaya, pengindraan itu sumber ilusi. Ketiga, sekalipun realitas itu
dapat kita ketahui, ia tidak akan dapat kita beritahukan kepada orang
lain.
Tokoh lain aliran ini adalah Friedrich Nietzsche (1844−1900 M).
Dilahirkan di Rocken di Prusia dari keluarga pendeta. Nietzsche
mengakui bahwa pada kenyataannya moral di Eropa sebagian besar
masih bersandar pada nilai-nilai kristiani. Namun, tidak dapat
dihindarkan bahwa nilai-nilai itu akan lenyap. Dengan sendirinya,
manusia modern terancam nihilisme. Dengan demikian, ia sendiri harus
mengatasi bahaya itu dengan menciptakan nilai-nilai baru, dengan
transvaluasi semua nilai.
g) Agnotisme
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui
hakikat benda, baik hakikat materi maupun hakikat rohani. Kata
Agnosticisme berasal dari bahasa Grik Agnostos yang berarti unknown.
A artinya not, artinya know. Timbulnya aliran ini disebabkan belum
diperoleh seseorang yang mampu menerangkan secara konkret akan
adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat dikenal.
Aliran ini dengan tegas selalu menyangkal adanya suatu kenyataan
mutlak yang bersifat trancendent. Aliran ini dapat kita temui dalam
filsafat eksistensi dengan tokoh-tokohnya seperti Soren Kierkegaar
(1813−1855 M) yang terkenal dengan julukan sebagai Bapak Filsafat
Eksistensialisme menyatakan manusia tidak pernah hidup sebagai suatu
aku umum, tetapi sebagai aku individual yang sama sekali unik dan
tidak dapat dijabarkan ke dalam sesuatu lain. Martin Heidegger
(1889−1976 M) seseorang filsuf Jerman mengatakan, satu-satunya yang
ada itu ialah manusia karena hanya manusialah yang dapat memahami
dirinya sendiri. Jean Paul Sartre (1905−1980 M), seorang filsuf dan
sastrawan Perancis yang ateis sangat terpengaruh dengan pikiran
ateisnya mengatakan bahwa manusia selalu menyangkal. Hakikat
beradanya manusia bukan etre (ada), melainkan a etre (akan atau
sedang). Segala perbuatan manusia tanpa tujuan karena tidak ada yang
tetap (selalu disangkal). Segala sesuatu mengalami kegagalan. Das sein
(ada/ berada) dalam cakrawala gagal.
Ternyata segala macam nilai hanya terbatas saja. Manusia tidak
boleh mencari dan mengusahakan kegagalan dan keruntuhan sebab hal
ini bukanlah hal yang asli. Kegagalan dan keruntuhan itu mewujudkan
tulisan sandi (chiffre) sempurna dari “ada”. Di dalam kegagalan dan
keruntuhan itu orang mengalami “ada”, mengalami yang transenden.
Karl Jaspers (1883−1969 M) menyangkal adanya suatu kenyataan yang
transenden. Mungkin itu hanyalah manusia berusaha mengatasi dirinya
sendiri dengan membawakan dirinya yang belum sadar pada kesadaran
yang sejati, namun suatu yang mutlak (transcendent) itu tidak ada sama
sekali.
Jadi, agnostisisme adalah paham pengingkaran atau penyangkalan
terhadap kemampuan manusia mengetahui hakikat benda, baik materi
maupun rohani. Aliran ini mirip dengan skeptisisme yang berpendapat
bahwa manusia diragukan kemampuannya mengetahui hakikat. Namun,
tampaknya agnotisisme lebih dari itu karena menyerah sama sekali.

B. Metafisika
Perkataan metafisika berasal dari Bahasa Yunani, meta yang berarti
selain, sesudah, atau sebalik, dan fisika yang berarti alam nyata. Maksudnya
ilmu yang menyelidiki hakekat segala sesuatu dari alam nyata dengan tidak
terbatas pada apa yang dapat ditangkap oleh panca indra saja. (hasbullah
dalam surajiyo, 2017:115). Pengertian metafisika menurut van peursen adalah
bagian filsafat yang memmusatkan perhatiannya pada pertanyaan mengenai
akar terdalam yang mendasi segala sesuatu. Metafisika membicarakan segala
sesuatu yang dianggap ada, mempersoalkan hakekat. Hakekat ini tidak dapat
dijangkau oleh panca indera karena tak terbentuk, berupa, berwaktu dan
bertempat. Dengan mempelajari hakikat kita dapat memperoleh pengetahuan
dan dapat menjawab pertanyaan tentang apa hakekat ilmu itu
Aristoteles berpendapat bahwa objek dari metafisika itu ada dua macam,
yaitu yang ada sebagai yang ada, dan yang – ilahi. Pembahasan mengenai
yang ada sebagai yang ada, yang- ada dalam keadaannya yang wajar,
menunjukan bahwa ilmu pengetahuan semacam ini berusaha untuk memahami
yang – ada itu dalam bentuk yang semurni-murninya. Dalam hal ini yang
penting bukannya apakah yang- ad aitu dapat terkena olej perubahan atau
tidak, bersifat kejasmanian atau tidak, melainkan apakah barang sesuatu itu
memang sungguh- sungguh ada, pembicaraan mengenai yang-ada sebagai
yang- ada bertitik tolak pada pencerapan/tangkapan dengan panca indra saja.
Sebaliknya apabila kita membicarakan mengenai yang ilahi berarti kita bertitik
tolak dari sesuatu yang pada dasarnya tidak dapat di tangkap dengan panca
indra, karena tuhan itu tidak dapat diketahui dengan menggunakan alat-alat
indrawi.
1. Aliran-Aliran Metafisika
Hasbullah bakry berpendapat akan timbul empat aliran dalam filsafat
metafisika, yaitu sebagai berikut :
a) Dualisme
Aliran ini berpendapat bahwa wujud ini terdiri atas dua hakekat
sebagai sumbernya yaitu, kakikat materi dan hakikat rohani. Kaitan
antar keduanya itulah yang menciptakan kehidupan dalam alam ini.
yaitu materi(jasad) dan jasmani(spiritual). Kedua macam hakikat itu
masing-masing bebas dan berdiri sendiri, sama-sama abadi dam azali.
Perhubungan antara keduanya itulah yang menciptakan kehidupan
dalam alam ini. Contoh yang paling jelas tentang adanya kerja sama
kedua hakikat ini ialah dalam diri manusia.
b) Materialisme
aliran ini menganggap bahwa yang ada hanyalah materi dan bahwa
segala sesuatu yang lainnya yang kita sebut jiwa atau roh tidaklah
merupakan suatu kenyataan yang berdiri sendiri. Menurut pahan
materialisme bahwa jiwa atau roh itu hanyalah merupakan proses
gerakan kebendaan dengan salah satu cara tertentu.
c) Adealisme.
idealisme merupakan lawan dari materialisme yang juga
dinamakan spiritualisme. Aliran menganggap bahwa hakikat kenyataan
yang beraneka warna itu semua berasal dari roh (sukma) atau yang
sejenis dengan itu. Intinya sesuatu yang tidak berbentuk dan yang tidak
menempati ruang. Menurut aliran ini materi atau zat itu hanyalah suatu
jenis daripada penjelmaan roh. Alasan yang terpenting dari aliran ini
adalah “manusia menganggap roh lebih berharga, lebih tinggi nilainya
dari materi bagi kehidupan manusia. Roh dianggap sebagai hakikat
yang sebenarnya, sehingga materi hanyalah badannya, bayngan atau
penjelmaan saja.
d) Agnosticisme.
Paham ini mengingkari kesanggupan manusia untuk mengetahui
hakikat benda, baik hakikat materi maupun hakikat rohani. Kata
Agnosticisme berasal dari bahasa Grik Agnostos yang berarti unknown.
A artinya not, artinya know. Timbulnya aliran ini disebabkan belum
diperoleh seseorang yang mampu menerangkan secara konkret akan
adanya kenyataan yang berdiri sendiri dan dapat dikenal.

C. Asumsi
Setiap ilmu selalu memerlukan asumsi. Asumsi diperlukan untuk
mengatasi penelaahan suatu permasalahan menjadi lebar. Semakin terfokus
obyek telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih
banyak. Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektual suatu
jalur pemikiran. Asumsi dapat diartikan pula sebagai gagasan primitif, atau
gagasan tanpa penumpu yang diperlukan untuk menumpu gagasan yang lain
yang akan muncul kemudian. Asumsi diperlukan untuk menyuratkan segala
hal yang tersirat. McMullin (2002) menyatakan hal yang mendasar yang
harus ada dalam ontologi suatu ilmu pengetahuan adalah menentukan asumsi
pokok (the standard presumption) keberadaan suatu obyek sebelum
melakukan penelitian.2, 4
Hipotesis merupakan suatu asumsi, jika diperiksa ke belakang
(backward) maka hipotesis merupakan asumsi. Jika diperiksa ke depan
(forward) maka hipotesis merupakan kesimpulan. Untuk memahami hal ini
dapat dibuat suatu pernyataan: “Bawalah payung agar pakaianmu tidak basah
waktu sampai ke sekolah”. Asumsi yang digunakan adalah hujan akan turun
di tengah perjalanan ke sekolah. Implikasinya, memakai payung akan
menghindarkan pakaian dari kebasahan karena hujan.4
Dengan demikian, asumsi menjadi masalah yang penting dalam
setiap bidang ilmu pengetahuan. Kesalahan menggunakan asumsi akan
berakibat kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Asumsi yang benar akan
menjembatani tujuan penelitian sampai penarikan kesimpulan dari hasil
pengujian hipotesis. Bahkan asumsi berguna sebagai jembatan untuk
melompati suatu bagian jalur penalaran yang sedikit atau bahkan hampa fakta
atau data.
Asumsi adalah praduga anggapan sementara (yang kebenarannya
masih dibuktikan). Timbulnya asumsi karena adanya permasalahan yang
belum jelas, seperti belum jelasnya hakekat alam ini, yakni apakah gejala
alam ini tunduk kepada determinisme , yakni hukum alam yang bersifat
universal ataukah hukum semacam itu tidak terdapat sebab setiap gejala
merupakan akibat pilihan bebas ataukah keumuman memang ada namun
berupa peluang, sekedar tangkapan probalistik (kemungkinan sesuatu hal
untuk terjadi).
Asumsi bersifat tidak mutlak atau pasti sebagaimana ilmu yang tidak
pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan ilmu
pengetahuan yang bersifat mutlak. Jadi asumsi bukanlah suatu keputusan
mutlak. Kedudukan ilmu dalam asumsi adalah ilmu memberikan pengetahuan
sebagai dasar untuk mengambil keputusan, karena keputusan harus
didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relatif.2, 3
Terdapat beberapa jenis asumsi yang dikenal, antara lain aksioma,
postulat dan premise. Aksioma adalah pernyataan yang disetujui umum tanpa
memerlukan pembuktian karena kebenaran sudah membuktikan sendiri.
Postulat adalah pernyataan yang dimintakan persetujuan umum tanpa
pembuktian atau suatu fakta yang hendaknya diterima saja sebagaimana
adanya. Sedangkan premise adalah pangkal pendapat dalam suatu entimen.
Pertanyaan penting yang terkait dengan asumsi adalah bagaimana
penggunaan asumsi secara tepat. Untuk menjawab permasalahan ini, perlu
tinjauan dari awal bahwa gejala awal tunduk pada tiga karakteristik yakni :
1. Deterministik
Karakteristik deterministik merujuk pada hukum alam yang
bersifat universal. Tokoh dalam karakteristik ini adalah William
Hamilton dan Thomas Hobbes, yang menyimpulkan bahwa pengetahuan
bersifat empirik yang dicerminkan oleh zat dan gerak yang bersifat
universal. Pada lapangan pengetahuan ilmu eksak, sifat deterministik
lebih banyak dikenal dan asumsina banyak digunakan dibanding ilmu
sosial. Sebagai misal, satu hari sama dengan 12 jam, 1 jam sama dengan
60 menit. Sejak jaman dahulu sampai saat ini, dan mungkin juga masa
nanti, pernyataan ini tetap berlaku. Berapapun jumlah percobaan
dilakukan, satu atom karbon dan oksigen dicampur akan menghasilkan
karbon dioksida. Aliran filsafat ini merupakan lawan dari paham
fatalisme yang berpendapat bahwa segala kejadian ditentukan oleh nasib
yang telah ditetapkan lebih dahulu.
2. Pilihan Bebas
Manusia memiliki kebebasan dalam menentukan pilihannya,
tidak terikat pada hukum alam yang tidak memberikan alternatif.
Karakteristik ini banyak ditemukan pada bidang ilmu sosial. Sebagai
misal, tidak ada tolak ukur yang tepat dalam melambangkan arti
kebahagiaan. Masyarakat materialistik menunjukkan semakin banyak
harta semakin bahagia, tetapi di belahan dunia lain, kebahagiaan suatu
suku primitif bisa jadi diartikan jika mampu melestarikan budaya
animismenya. Sebagai mana pula masyarakat brahmana di India
mengartikan bahagia jika mampu membendung hasrat keduniawiannya.
Tidak ada ukuran yang pasti dalam pilihan bebas, semua tergantung
ruang dan waktu.
3. Probabilistik
Pada sifat probabilstik, kecenderungan keumuman dikenal
memang ada namun sifatnya berupa peluang. Sesuatu akan berlaku
deterministik dengan peluang tertentu. Probabilistik menunjukkan
sesuatu memiliki kesempatan untuk memiliki sifat deterministik dengan
menolerir sifat pilihan bebas. Pada ilmu pengetahuan modern,
karakteristik probabilitas ini lebih banyak dipergunakan. Dalam ilmu
ekonomi misalnya, kebenaran suatu hubungan variabel diukur dengan
metode statistik dengan derajat kesalahan ukur sebesar 5%. Pernyataan
ini berarti suatu variable dicoba diukur kondisi deterministiknya hanya
sebesar 95%, sisanya adalah kesalahan yang bisa ditoleransi. Jika
kebenaran statistiknya kurang dari 95% berarti hubungan variabel tesebut
tidak mencapai sifat-sifat deterministik menurut kriteria ilmu ekonomi.
Dalam menentukan suatu asumsi dalam perspektif filsafat,
permasalahan utamanya adalah mempertanyakan pada pada diri sendiri
(peneliti) apakah sebenarnya yang ingin dipelajari dari ilmu. Terdapat
kecenderungan, sekiranya menyangkut hukum kejadian yang berlaku
bagi seluruh manusia, maka harus bertitik tolak pada paham
deterministik. Sekiranya yang dipilih adalah hukum kejadian yang
bersifat khas bagi tiap individu manusia maka akan digunakan asumsi
pilihan bebas. Di antara kutub deterministik dan pilihan bebas, penafsiran
probabilistic merupakan jalan tengahnya.
Ilmuwan melakukan kompromi sebagai landasan ilmu. Sebab
ilmu sebagai pengetahuan yang berfungsi membantu manusia dalam
memecahkan masalah praktis sehari-hari, tidak perlu memiliki
kemutlakan seperti agama yang berfungsi memberikan pedoman terhadap
hal-hal hakiki dalam kehidupan. Karena itu; Harus disadari bahwa ilmu
tidak pernah ingin dan tidak pernah berpretensi untuk mendapatkan
pengetahuan yang bersifat mutlak. Ilmu memberikan pengetahuan
sebagai dasar untuk mengambil keputusan, dimana keputusan itu harus
didasarkan pada penafsiran kesimpulan ilmiah yang bersifat relative.Jadi,
berdasarkan teori-teori keilmuan, tidak akan pernah didapatkan hal pasti
mengenai suatu kejadian. Yang didapatkan adalah kesimpulan yang
probabilistik, atau bersifat peluang.
Semakin banyak asumsi berarti semakin sempit ruang gerak
penelaahan suatu objek observasi. Dengan demikian, untuk mendapatkan
pengetahuan yang bersifat analistis, yang mampu menjelaskan berbagai
kaitan dalam gejala yang ada, maka pembatasan dalam bentukasumsi yang
kian sempit menjadi diperlukan.
Asumsi harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disiplin
ilmu. Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar dari pengkajian
teoritis. Asumsi ini harus disimpulkan dari “keadaan sebagaimana adanya”
bukan “bagaimana keadaan yang seharusnya”. Asumsi harus bercirikan
positif, bukan normatif. Lebih lanjut mengenai asumsi dan ontologi adalah
esensi dari fenomena, apakah fenomena merupakan hal yang bersifat obyektif
dan terlepas dari persepsi individu atau fenomena itu dipandang sebagai hasil
persepsi individu. Mengenai hal ini ada dua asusmsi yang berbeda yakni
nominalisme dan realisme.
Pada asumsi nominalisme, kehidupan sosial dalam persepsi individu
tak lain adalah kumpulan konsep-konsep baku, nama dan label yang akan
mengkarakteristikkan realitas yang ada. Intinya, realita dijelaskan melalui
konsep yang telah ada. Sedangkan pada asumsi realisme, kehidupan sosial
adalah merupakan kenyataan yang tersusun atas struktur yang tetap, tidak ada
konsep mengartikulasikan setiap realita tersebut dan realita tidak tergantung
pada persepsi individu.
Akan terjadi perbedaan pandang suatu masalah bila ditinjau dari
berbagai kacamata ilmu begitu juga asumsi. Ilmu sekedar merupakan
pengetahuan yang mempunyai kegunaan praktis yang dapat membantu
kehidupan manusia secara pragmatis (sesuatu yang mengandung manfaat).
Asumsi-asumsi dalam ilmu contohnya ilmu fisika yakni ilmu yang paling
maju bila di bandingkan dengan ilmu-ilmu lain. Fisika merupakan ilmu
teoritis yang di bangun atas system penalaran deduktif yang meyakinkan serta
pembutktian induktif yang sangat mengesankan. Fisika terdapat celah-celah
perbedaan yang terletak di dalam pondasi dimana dibangun teori ilmiah diatas
yakni dalam asumsi tentang dunia fisiknya.(zat,gerak,ruang dan waktu).
Kesimpulannya sebuah asumsi adalah sebuah ketidak pastian.
Asumsi perlu dirumuskan berdasarkan ilmu pengetahuan dan timbulnya
asumsi karena adanya sesuatu kejadian atau kenyataan.

D. Peluang
Dasar teori keilmuan di dunia ini tidak akan pernah terdapat hal yang
pasti mengenai suatu kejadian, hanya kesimpulan yang probabilistik. Peluang
secara sederhana diartikan sebagai probabilitas. Peluang 0.8 secara sederhana
dapat diartikan bahwa probabilitas untuk suatu kejadian tertentu adalah 8 dari
10 (yang merupakan kepastian). Dari sudut keilmuan hal tersebut
memberikan suatu penjelasan bahwa ilmu tidak pernah ingin dan tidak pernah
berpretensi untuk mendapatkan pengetahuan yang bersifat mutlak. Tetapi
ilmu memberikan pengetahuan sebagai dasar bagi manusia untuk mengambil
keputusan, dimana keputusan itu harus didasarkan kepada kesimpulan ilmiah
yang bersifat relatif. Dengan demikan maka kata akhir dari suatu keputusan
terletak ditangan manusia pengambil keputusan itu dan bukan pada teori-teori
keilmuan.

E. Beberapa Asumsi dalam Ilmu


Waktu kecil segalanya kelihatan besar, pohon terasa begitu tinggi,
orang-orang tampak seperti raksasa Pandangan itu berubah setelah kita
beranjak dewasa, dunia ternyata tidak sebesar yang kita kira, wujud yang
penuh dengan misteri ternyata hanya begitu saja. Kesemestaan pun menciut,
bahkan dunia bisa sebesar daun kelor, bagi orang yang putus asa. Katakanlah
kita sekarang sedang mempelajari ilmu ukur bidang datar (planimetri).
Dengan ilmu itu kita membuat kontruksi kayu bagi atap rumah kita. Sekarang
dalam bidang datar yang sama bayangkan para amuba ingin membuat rumah
juga. Bagi amuba bidang datar itu tidak rata dan mulus melainkan
bergelombang, penuh dengan lekukan yang kurang mempesona. Permukaan
yang rata berubah menjadi kumpulan berjuta kurva.
Ilmu-ilmu ini bersifat otonom dalam bidang pengkajiannya masing-
masing dan “berfederasi” dalam suatu pendekatan multidisipliner. Hal – hal
yang harus diperhatikan dalam pengembangan asumsi;
1. Asumsi ini harus relevan dengan bidang dan tujuan pengkajian disipin
keilmuan.
Asumsi ini harus operasional dan merupakan dasar bagi pengkajian
teoritis.. Asumsi manusia dalam administrasi yang bersifat operasional
adalah makhluk ekonomis, makhluk sosial, makhluk aktualisasi diri atau
makhluk yang kompleks. Berdasarkan asumsi-asumsi ini maka dapat
dikembangkan berbagai model, strategi, dan praktek administrasi.
2. Asumsi ini harus disimpulkan dari „keadaan sebagaimana adanya‟ bukan
„bagaimana keadaan yang seharusnya‟.
Sekiranya dalam kegiatan ekonomis maka manusia yang berperan
adalah manusia „yang mencari keuntungan sebesar-besarnya dengan
pengorbanan sekecil-kecilnya‟ maka itu sajalah yang kita jadikan sebagai
pegangan tidak usah ditambah dengan sebaiknya begini, atau seharusnya
begitu. Sekiranya asumsi semacam ini dipakai dalam penyusunan
kebijaksanaan (policy), atau strategi, serta penjabaran peraturan lainnya,
maka hal ini bisa saja dilakukan, asalkan semua itu membantu kita dalam
menganalisis permasalahan. Namun penetapan asumsi yang berdasarkan
keadaan yang seharusnya ini seyogyanya tidak dilakukan dalam analisis
teori keilmuan sebab metafisika keilmuan berdasarkan kenyataan
sesungguhnya sebagaimana adanya.

F. Batas-batas Penjelajahan Ilmu


Memulai penjelajahannnya pada pengalaman manusia dan berhenti di
batas pengalaman manusia. Ilmu tidak mempelajari hal ihwal surga dan
neraka sebab surga dan neraka berada di luar jangkauan pengalaman manusia.
Baik hal-hal yang terjadi sebelum hidup kita, maupun apa –apa yang terjadi
sesudah kematian kita, semua itu berada di luar penjelajahan ilmu.
Ilmu hanya membatasi daripada hal-hal yang berbeda dalam batas
pengalaman kita karena terletak pada fungsi ilmu itu sendiri dalam kehidupan
manusia: yakni sebagai alat pembantu manusia dalam menanggulangi
masalah-masalah yang dihadapinya sehari-hari. Persoalan mengenai hari
kemudian tidak akan kita nyatakan kepada ilmu, melainkan kepada agama,
sebab agamalah pengetahuan yang mengkaji masalah-masalah seperti itu.
Ilmu membatasi lingkup penjelajahannya pada batas pengalaman
manusia juga disebabkan metode yang dipergunakan dalam menyusun yang
telah teruji kebenarannya secara empiris. Sekiranya ilmu memasukkan daerah
di luar batas pengalaman empirisnya, kita tidak dapat melakukan pembuktian
secara metodologis. Hal ini merupakan suatu kontradiksi yang
menghilangkan keahlian metode ilmiah.
Sehingga dapat disimpulkan bahwa sangat sedikit batas penjelajahan
ilmu yang ada, hanya sepotong dari sekian permasalahan kehidupan. bahkan
dalam batas pengalaman manusia pun, ilmu hanya berwenang dalam
menentukan benar atau salahnya suatu pernyataan. Tentang baik dan buruk,
semua (termasuk ilmu) berpaling kepada sumber-sumber moral; tentang
indah dan jelek, semua (termasuk ilmu) berpaling kepada pengkajian estetik.
Menurut Einstein Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta.
Dengan makin sempitnya daerah penjelajahan suatu bidang keilmuan
maka sering sekali diperlukan “pandangan” dari disiplin-disiplin lain. Saling
pandang-memandang ini, atau dalam bahasa protokolnya pendekatan multi-
disipliner, membutuhkan pengetahuan tentang tetangga-tetangga yang
berdekatan. Artinya harus jelas bagi semua: di mana disiplin seseorang
berhenti dan di mana disiplin orang lain mulai. Tanpa kejelasan batas-batas
ini maka pendekatan multidisipliner tidak akan bersifat konstruktif melainkan
berubah menjadi sengketa kapling.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Ontologi ialah hakikat apa yang dikaji dalam ilmu. Ontologi akan
memjawab pertanyaan mengenai: 1) Apakah objek ilmu yang akan
ditelaah?, 2) Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut? 3)
Bagaimana hubungan antara objek dan daya tangkap manusia (seperti
berpikir, merasa, dan mengindra) yang dapat menghasilkan pengetahuan.
Objek telaah ontologi adalah ada. Artinya objeknya nampak dan terlihat.
Ontologi memiliki aliran: Monoisme, materialisme, pluralisme, dualisme,
nihilisme, idealisme dan agnotisme.
Metafisika membicarakan segala sesuatu yang dianggap ada,
mempersoalkan hakekat. Hakekat ini tidak dapat dijangkau oleh panca
indera karena tak terbentuk, berupa, berwaktu dan bertempat. Untuk
mengembangkan suatu ilmu maka diperlukan asumsi. Asumsi diperlukan
untuk mengatasi penelaahan suatu permasalahan. Semakin terfokus obyek
telaah suatu bidang kajian, semakin memerlukan asumsi yang lebih
banyak. Asumsi dapat dikatakan merupakan latar belakang intelektual
suatu jalur pemikiran.
Ilmu hanya berwenang dalam menentukan benar atau salahnya
suatu pernyataan. Tentang baik dan buruk, semua (termasuk ilmu)
berpaling kepada sumber-sumber moral; tentang indah dan jelek, semua
(termasuk ilmu) berpaling kepada pengkajian estetik. Menurut Einstein
Ilmu tanpa (bimbingan moral) agama adalah buta.
B. Saran
Dalam memperlajari ilmu maka diperlukan objek yang nyata.
Dalam hal ini harus bisa membedakan antara ilmu dan pengetahuan
sehingga tidak mencampur adukan keduanya. Dalam mempelajari filsafat,
hendaknya bersikap bijak dan berpikiran luas.
DAFTAR KEPUSTAKAAN

A. Idi, and M. Faizin. 2007. Filsafat Pendidikan: Manusia, Filsafat, Dan

Pendidikan. Jakarta: Ar-Ruzz Media.

R. Mudyahardjo. 2001. Filsafat Ilmu Pendidikan: Suatu Pengantar. Jakarta:

Remaja Rosdakarya.

Prasetya. 2000. 'Filsafat Pendidikan'. Bandung: Pustaka Setia.

Surajiyo. 2005. Ilmu Filsafat: Suatu Pengantar. Jakarta: Bumi Aksara.

J.S. Suriasumantri. 2017. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. 22 edn.

Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.

Anda mungkin juga menyukai