Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH AL-MASHLAHAH AL-MURSALAH Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ushul Fiqih Dosen pembimbing : Busriyanti, M.

Ag

Oleh:

Nova Saha Fasadena

: (082 111 009)

Dakwah/KPI A1

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) JEMBER 2012

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Di abad ini, seiring dengan perkembangan pemikiran dan budaya masyarakat, setumpuk problematika kehidupun muncul kepermukaan. Mulai dari permasalahan masyarakat kalangan bawah sampai pada kalangan atas. Mulai dari masalah pribadi, keluarga, ekonomi, tak terkecuali sosial-politik. Semua itu memerlukan jawaban yang mapan. Islam sebagai agama yang menjunjung tinggi harkat manusia dengan misi utamanya "rahmatan lil alamin" , tertantang untuk menjawab semua problem di atas. Tapi benarkah Islam menjadi rahmat bagi segenap manusia, sementara sebagian hukumnyaseperti yang terekam dalam sejumlah kitab klasik- terkesan sangat memberatkan? Keraguan ini sangat beralasan, akan tetapi bisakah keraguan itu dibenarkan? Ataukah keraguan tersebut hanya sebatas keraguan yang tak beralasan karena kurang memahami prinsip hukum Islam? Menurut Al Ghazali, maslahah harus sejalan dengan tujuan syariat, sekalipun bertentangan dengan tujuan manusia. Sebab, kemaslahatan yang dikehendaki oleh manusia tidak selamanya didasarkan pada tujuan syariat. Tapi, sering didasarkan pada hawa nafsunya. Oleh karena itu, parameter untuk menentukan kemaslahatan itu adalah tujuan syariat.1[1] B. Rumusan Masalah Hal- hal yang dapat dijadikan rumusan masalah adalah: 1. Apakah pengertian Maslahah Al Mursalah? 2. Bagaimanakah pendapat golongan yang menolak dan menerima Maslahah Al Mursalah? 3. Bagaimanakah syarat- syarat Maslahah Al Mursalah? 4. Ada berapakah macam- macam Maslahah Al Mursalah ? BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Mashlahah Al-Mursalah Pengertian Maslahah al Mursalah

Maslahah secara bahasa atau secara etimologi berarti manfaat, faedah, bagus, baik, kebaikan, guna atau kegunaan, Sedangkan menurut istilah atau epistemology, maslahah diartikan oleh para ulama Islam dengan rumusan yang hampir bersamaan, di antaranya al-Khawarizmi (w. 997 H.) menyebutkan, maslahah adalah al-marodu bil-maslahatil-mukhaafazatu ala maqsudisyari bidafi-l mufaasidi ani-l- kholqi, yaitu memelihara tujuan hukum Islam dengan menolak bencana/kerusakan/hal-hal yang merugikan diri manusia (makhluq). Sedangkan ulama telah berkonsensus, bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk memelihara agama, akal, harta, jiwa dan keturunan atau kehormatan. Tidak jauh berbeda dengan al-Khawarizmi di atas, al-Ghazali merumuskan maslahah sebagai suatu tindakan memelihara tujuan syara atau tujuan hukum Islam, sedangkan tujuan hukum Islam menurut al-Ghazali adalah memelihara lima hal di atas. Setiap hukum yang mengandung tujuan memelihara salah satu dari lima hal di atas disebut maslahah, dan setiap hal yang meniadakannya disebut mafsadah, dan menolak mafsadah disebut maslahah. Sedangkan menurut asy-Syatibi dari golongan mazhab Malikiyah sebagai orang yang paling popular dan kontropersi pendapatnya tentang maslahah-mursalah mengatakan bahwa maslahah itu (maslahat yang tidak ditunjukkan oleh dalil khusus yang membenarkan atau membatalkan) sejalan dengan tindakan syara. 2[2] Sedangkan alasan dikatakan al-mursalah, karena syara memutlakannya bahwa di dalamnya tidak terdapat kaidah syara menjadi penguatnya ataupun pembatalnya. 3[3] Berdasarkan beberapa pengertian diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa maslahah al mursalah adalah suatu metode ijtihad dalam menggali sumber hukum yang tidak ada dalil nassnya dengan berdasarkan pada pendekatan memelihara hukum syara (maqosid asysyariah) B. Pendapat Golongan Yang Menolak Dan Menerima Maslahah Al Mursalah

Masalah al Mursalah tidak diterima oleh sebagian umat Islam, khususnya mayoritas penganut mazhab asy-Syafiiah sebagai dasar penetapan hukum Islam. Dalam hal ini ada beberapa argumen yang mereka ajukan di antaranya yaitu; Pertama, masalahat itu ada yang dibenarkan oleh syara, ada yang ditolak oleh syara dan ada pula yang diperselisihkan. Maslahat kategori pertama dan kategori kedua (yang dibenarkan dan yang ditolak oleh syara) tidak ada pertentangan di kalangan umat Islam. Maslahat kategori pertama harus diterima sebagai dasar penetapan hukum Islam, dan maslahat kategori kedua harus ditolak sebagai dasar penetapan hukum Islam. Sedangkan maslahat kategori ketiga diperselisihkan, sebagian menerima sebagai dasar penetapan hukum Islam, dan sebagian yang lain menolaknya. Sesuai dengan definisi di atas, maslahat kategori ketiga inilah yang menjadi kajian dari maslahah-mursalah atau istislah. Dengan demikian menurut kelompok umat Islam yang tidak menerima maslahah-mursalah sebagai dasar penetapan hukum Islam berpendapat, bahwa memandang maslahah-mursalah (kategori ketiga) sebagai hujjah berarti mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang meragukan. Kedua, memandang maslahah-mursalah sebagai hujjah berarti menodai kesucian hukum Islam karena penetapan hukum Islam tidak berdasarkan kepada nass-nass tertentu, tetapi hanya mengikuti keinginan hawa nafsu belaka dengan dalih maslahat. Dengan dalih maslahat dikhawatirkan akan banyak penetapan hukum Islam berdasarkan kepada kepentingan hawa nafsu. Ketiga, Bagi golongan ini, hukum Islam telah lengkap dan sempurna. Dengan menjadikan maslahat sebagai dasar dalam menetap hukum Islam, berarti umat Islam tidak mengakui prinsip kelengkapan dan kesempurnaan hukum Islam. Artinya hukum Islam belum lengkap dan sempurna, masih ada yang kurang. Keempat, memandang maslahat sebagai hujjah akan membawa dampak terjadinya perbedaan hukum Islam terhadap masalah yang sama (disparitas) disebabkan perbedaan kondisi dan situasi. Dengan demikian akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan fleksibelitas hukum Islam Alasan-alasan yang dikemukakan oleh sekelompok umat Islam yang tidak menerima maslahat (kategori ketiga) sebagai dasar menetapkan hukum Islam di atas, dapat disanggah dengan beberapa alasan.

Pertama, dengan memandang maslahat sebagai hujjah tidak berarti mendasarkan penetapan hukum Islam kepada sesuatu yang meragukan, sebab maslahat tersebut ditentukan lewat sekian banyak dalil dan pertimbangan, sehingga menghasilkan zann yang kuat (sesuatu yang lemah menjadi kuat). Dalam ilmu fiqih dikenal istilah yakfi al-amal biz-zann, beramal berdasarkan kepada zann dianggap cukup karena semua fiqih adalah zann. Dengan demikian tidak dapat dikatakan bahwa menjadikan maslahat kategori ketiga sebagai hujjah berarti memilih dua kemungkinan tanpa dalil, karena jika dibandingkan maslahat yang dibenarkan oleh syara dengan maslahat yang ditolak oleh syara, maka maslahat yang dibenarkan oleh syara jauh lebih banyak jumlahnya dari pada maslahat yang ditolak oleh syara. Dengan demikian jika ada suatu kemaslahatan, tetapi tidak ada dalil yang membenarkannya atau menolaknya, maka maslahat tersebut harus digolongkan ke dalam maslahat yang lebih banyak. Kedua, tidak benar kalau penetapan hukum Islam melalui metode istislah atau maslahahmursalah berarti menetapkan hukum Islam berdasarkan kepada hawa nafsu, karena untuk dapat dijadikan sebagai hujjah, maslahah-mursalah harus memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Jadi tidak asal maslahat. Persyaratan inilah yang akan mengendalikan, sehingga tidak terjadi penyalahgunaan dalam menetapkan hukum (Islam) berdasarkan kepada maslahat. Ketiga, Islam memang telah lengkap dan sempurna, tetapi yang dimaksud dengan lengkap dan sempurna itu adalah pokok-pokok ajaran dan prinsip-prinsip hukumnya. Jadi tidak berarti semua masalah ada hukumnya. Ini terbukti banyak sekali masalah-lasalah baru yang belum disinggung hukumnya oleh al-Quran dan as-Sunnah tetapi baru diketahui setelah digali melalui ijtihad. Keempat, tidak benar kalau memandang maslahah-mursalah sebagai hujjah akan menafikan prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan (flexible) hukum Islam, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Dengan menggunkan metode masalah-mursalah dalam menetapkan hukum, prinsip universalitas, keluasan dan keluwesan (flexible) hukum Islam dapat dibuktikan. Dengan demikian terlihat bahwa beberapa alasan yang dikemukakan oleh sekelompok umat Islam yang tidak menerima maslahah-mursalah sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam, sama sekali tidak logis dan tidak realistis.4[4]

C. Syarat- Syarat Maslahah Al Mursalah Agar maslahah al mursalah dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam maka para Imam Mujtahid, di antaranya Imam al-Ghazali, asy-Syatibi fan at-Tufi membuat persyaratan dan ruang lingkup operasional maslahah al mursalah. Persyaratan yang mereka buat berbeda satu sama lain, namun ruang lingkup operasionalnya mereka mempunyai pendapat yang sama sebagaimana terlihat dalam bahasan di bawah ini. Al-Ghazali membuat batasan operasional maslalah al mursalah untuk dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam adalah sebagai berikut : Pertama, maslahat tersebut harus sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu memelihara agama, jiwa, akal, harta dan keturunan atau kehormatan. Kedua, maslahat tersebut tidak boleh bertentangan dengan al-Quran, as-Sunnah dan ijma. Ketiga, maslahat tersebut menempati level daruriyah (primer) atau hajiyah (sekunder) yang setingkat dengan daruriyah. Keempat, kemaslahatannya harus berstatus qati atau zann yang mendekati qati. Kelima, dalam kasus-kasus tertentu diperlukan persyaratan, harus bersifat qatiyah, daruriyah,dan kulliyah Berdasarkan persyaratan operasional yang dibuat oleh Imam al-Ghazali di atas terlihat bahwa Imam al-Ghazali tidak memandang maslahah-mursalah sebagai dalil yang berdiri sendiri, terlepas dari al-Quran, as-Sunnah dan ijma. Imam al-Ghazali memandang maslahah-mursalah hanya sebagai sebuah metode istinbath (menggali/ penemuan) hukum, bukan sebagai dalil atau sumber hukum Islam. Sedangkan ruang lingkup operasional maslahah-mursalah tidak disebutkan oleh Imam al-Ghazali secara tegas, namun berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Munif Suratmaputra terhadap contoh-contoh kasus maslahahmursalah yang dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam buku-bukunya (al- Mankhul, Asas al-Qiyas, Shifa al-Galil, al-Mustafa) dapat disimpulkan bahwa Imam al-Ghazali membatasi ruang lingkup operasional maslahah-mursalah yaitu hanya di bidang muamalah saja.

Agak berbeda dengan Imam al-Ghazali, asy-Syatibi hanya membuat dua kriteria agar maslahat dapat diterima sebagai dasar pembentukan hukum Islam yaitu: Pertama, maslahat tersebut harus sejalan dengan jenis tindakan syara, karena itu maslahat yang tidak sejalan dengan jenis tindakan syara atau yang berlawanan dengan dalil syara (al-Quran, as-Sunnah dan ijma) tidak dapat diterima sebagai dasar dalam menetapkan hukum Islam. Kedua, maslahat seperti kriteria nomor satu di atas tidak ditunjukkan oleh dalil khusus. Jika ada dalil khusus yang menunjukkannya maka itu menurut asy-Syatibi termasuk dalam kajian qiyas.5[5] D. Macam- Macam Maslahah Al Mursalah Para ahli ushul fiqh mengemukakan beberapa pembagian maslahah, jika dilihat dari beberapa segi. Dilihat dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan itu, para ahli ushul fiqh membaginya kepada tiga macam, yaitu: 1. Maslahah al-Dzaruriyyah, yaitu kemaslahatan yang berhubungan dengan kebutuhan pokok umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada lima, yaitu 1. memelihara agama, 2. memelihara jiwa, 3. memelihara akal, 4. memelihara keturunan, dan 5. memelihara harta. Kelima kemaslahatan ini, disebut dengan al-mashalih al-khamsah. 2. Maslahah al-Hajiyah, yaitu kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan kemaslahatan pokok (mendasar) sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia. Misalnya, dalam bidang ibadah diberi keringanan meringkas (qashr) shalat dan berbuka puasa bagi orang yang sedang musafir. 3. Maslahah al-Tahsiniyyah, yaitu kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan untuk memakan yang bergizi. Dilihat dari segi kandungan maslahah, para ulama ushul fiqh membaginya kepada: 1. Maslahah al-Ammah, yaitu kemaslahatan umum yang menyangkut kepentingan orang banyak. Misalnya, para ulama membolehkan membunuh penyebar bidah yang dapat merusak aqidah umat, karena menyangkut kepentingan orang banyak.

2. Maslahah al-Khashshah, kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (maqfud). Dilihat dari segi berubah atau tidaknya maslahah, menurut Muhammad Musthafa al -Syalabi, guru besar ushul fiqh di Universitas al-Azhar Mesir, ada dua bentuk, yaitu: 1. Maslahah al-Tsabitah, yaitu kemaslahatan yang bersifat tetap, tidak berubah sampai akhir zaman. Misalnya, berbagai kewajiban ibadah, seperti shalat, puasa, zakat, dan haji. 2. Maslahah al-Mutaghayyirah, yaitu kemaslahatan yang berubah-ubah sesuai dengan perubahan tempat, waktu, dan subjek hukum. Kemaslahatan seperti ini berkaitan dengan permasalahan muamalah dan adapt kebiasaan. Dilihat dari segi keberadaan maslahah menurut syara terbagi kepada: 1. Maslahah al-Mutabarah, yaitu kemaslahatan yang didukung oleh syara. Maksudnya, adanya dalil khusus yang menjadi dasar bentuk dan jenis kemaslahatan tersebut. 2. Maslahah al-Mulghah, yaitu kemaslahatan yang ditolak oleh syara, karena bertentangan dengan ketentuan syara. 3. Maslahah al-Mursalah, yaitu kemaslahatan yang keberadaannya tidak didukung syara dan tidak pula dibatalkan/ditolak syara melalui dalil yang rinci.6[6]

BAB III PENUTUP Kesimpulan Dari berbagai macam uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Maslahah Al Mursalah merupakan suatu metode ijtihad dalam menggali sumber hukum yang tidak ada dalil nassnya dengan berdasarkan pada pendekatan memelihara hukum syara (maqosid asysyariah). Ternyata ada golongan yang menolak Maslahah Al Mursalah sebagai hujjah dengan berbagai maca argumen. Menerima maslahat sebagai hujjah haruslah melalui persyaratan tertentu, minimalnya tidak bertentangan dengan al-Quran, as-Sunnah dan ijma, harus mengandung kemaslahatan, dan kemaslahatan itu sejalan dengan tujuan penetapan hukum Islam yaitu; dalam rangka memilihara agama, akal, jiwa, harta dan keturunan atau kehormatan. Sedangkan ruang lingkup operasionalnya hanya di bidang muamalah dan sejenisnya, tidak berlaku di bidang ibadah. Para ulama juga telah membagi maslahah dari beberapa segi diantaranya: dari segi kualitas dan kepentingan kemaslahatan, dari segi kandungan maslahah, dari segi berubah atau tidaknya maslahah, dan dari segi keberadaan maslahah.

DAFTAR PUSTAKA Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih, Jakarta: Pustaka Amani, Cet 1, 2003 Miftahul Arifin, Ushul Fiqh: Kaidah-Kaidah Penetapan Hukum Islam, Surabaya: Citra Media, 1997 Racmhmat syafeI, Ilmu Us{hul Fiqih, Bandung: CV Pustaka Setia, cet 1, 1999 Abdul Wahhab Khallaf, Kaidah-Kaidah Hukum Islam Ilmu Usul Fiqh, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, Cet 8, 2002 Mahmuzar , maslahah-mursalah; suatu methode istinbath hukum, artikel pdf http://www.mail-archive.com/mencintai-slam@yahoogroups.com/msg01473.html http://muchad.info/muchad/dalil-syari-bag-2-al-maslahah-al-mursalah.html Mahmuzar , maslahah-mursalah; suatu methode istinbath hukum, artikel pdf hal 8- 11 Ibid hal.12- 14

http://muchad.info/muchad/dalil-syari-bag-2-al-maslahah-al-mursalah.html

makalah ushul fiqih

Klasifikasi Lafadz dari Segi Jelas Tidaknya Kandungan Makna

Makalah ini disusun Guna Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengembangan Kurikulum dosen Pengampu D.r H. Mashudi, M.Ag.

Disusun Oleh :
1. Lailatul Khasanah 2. Arif Makruf

INSTITUT ISLAM NAHDLATUL ULAMA (INISNU) JEPARA Tahun 2012/2013

KATA PENGANTAR

Assalamu alaikum Wr.Wb Alhamdulillahhirabbilalamin, Puji Syukur kehadirat Allah SWT, Atas segala rahmat dan hidayahNya. Shalawat serta salam senantiasa tercurah pada junjungan Nabi Agung Muhammad SAW yang selalu kita nantikan syafaatnya di Akhir kelak nanti. Amien.. Penulis berucap Syukur kepada Allah atas limpahan Nikmat sehat-Nya, baik fisik maupun akal pikiran, sehingga penulis berhasil menyelesaikan pembuatan makalah, sebagai tugas dari mata kuliah Ilmu ushul fiqh dengan judul klasikasi lafadz dari segi jelas tidaknya kandungan makna Tentunya makalah ini masih terdapat banyak kesalahan dan kekurangan, untuk itu, penulis mengharapkan kritik-kritik dan saran dari pembaca untuk lebih baiknya makalah ini. Demikian, dan jika terdapat banyak kesalahan penulis mohon maaf yang sebesar-besarnya. Akhirul kalam...... Wassalamualaikum Wr.Wb

DAFTAR ISI BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ........................................................................................................... B. Rumusan Masalah ..................................................................................................... BAB II PEMBAHASAN KLASIFIKASI LAFADZ DARI JELAS TIDAKNYA KANDUNGAN MAKNA A. AZ ZHAHIR ....................................................................................... B. NASH .............................................................................................. C. MUFASSAR ...................................................................................... D. MUHKAM ........................................................................................ E. KHAFI .............................................................................................. F. MUSYKIL ......................................................................................... G. MUJMAL........................................................................ H. MUTASYABBIH BAB III PENUTUP A. Kesimpulan .....................................................................................

B. Saran ..............................................................................................

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Ulama ushul fiqh memagi petujuk yang jelas itu menjadi empat bagian : Zhahir,nash,mufassar,dan muhakkam Dalalah (petujuk) yang j elas dari nash adalah makna yang di tunjukan dari bentuk itu sendiri tanpa membutuhkan faktor luar. Jika nash itu mungkin untuk di takwil, tetapi yang di maksud bukan tujuan asal dari susunan katanya maska disebut dzahir,jika mungkin untuk ditakwil,sedangkan yang di maksud adalah tujuan asal dari susunan katanya maka di sebut nash, jika nash itu tidak mungkin untuk di takwil tetapi hkumnya dapat di nasakh mska di sebut mufassar, dan jika tidak mungkin untuk di takwil danhukumnya tidak dapat di nasakh maka di sebut muhakkam. Nash yang tidak jelas petunjuknya yaitu nash yang bentuknya sendiri tidak dapat menunjukan makna yang di maksud tetapi dalam pemahamannnya membutuhkan unsur dari luar .jika kesamarannya dapat di hilangkan dengan penelitian dan ijtihad maka disebut khafiy atau musykil .jika kesamarannya tidak dapat di hilangkan kecuali dari penjelasan dari syari maka disebut mujmal .dan jika tidak ada kemungkinan sama sekali untuk menghilangkan kesamaran itu maka di sebut mutasyabih . Bahwa tingkatan dalalah yang jelas itu berada dalam kejelasannya . dalam kaidah ini kami akan jelaskan tentang dalalah yang tidak jelas .tingkat ketidakjelasannya dan hal yang di gunakan

menghilangkan kesamaran .para ulama ushul fiqh membagi dalalah yang tidak jelas menjadi empat bagian : al khafi, al musykil,al mujmal, dan al mutasyabih

B. Rumusan masalah 1. 2. Bagaimana penjelasan nash yang benar dsan yang jelas dalalahnya.? Bagaimana penjelasan nash yang tidak jelas dalalahnya.?

BAB II

PEMBAHASAN KLASIFIKASI LAFADZ DARI JELAS TIDAKNYA KANDUNGAN MAKNA

Ulama ushul fiqh membagi nash yang jelas dalalahnya kepada empat macam, yaitu : 1. 2. 3. 4. Zhahir Nash Mufassar Muhkam Sedangkan di tinjau dari segi kejelasan dalalahnya nash diurutkan sebagai berikut : Muhkam adalah yang paling jelas dalalahnya Mufassar Nash Mufassar Efek perbedaan tingkatan ini akan kelihatan ketika terjadi pertentangan

1. 2. 3. 4.

a. Zhahir Zhahir adalah istilah ulama ushul fiqh ialah: sesuatu yang menunjukan terhadap maksudnya dengan shinggatnya itu sendiri ,tanpa ketergantungan pemahaman maksudnya itu kepada suatu hal yang bersifat khariji (eksternal),akan tetapi maksudnya itu bukanlah yang dikehendaki yang sebenarnya dari susunan kalimatnya,dan ia mengandung kemungkinan takwil.7[1] Misalnya adalah firman Allah SWT :

(
Artinya : padahal Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba . (QS. 2/Al-Baqarah : 275). Firman Allah tersebut adalah zhahir dalam menghalalkan segala macam jual beli dan mengharamkan segala macam riba ,karena ini adalah makna yang segera dapat di pahami dari kedua lafadz(menghalakan dan mengharamkan ) tanpa membutuhkan suatu qarinah. b. Nash Nash menurut istilah ulama ushul fiqh ialah : suatu yang dengan bentuknya sendiri menunjukan makna asal yang di maksud dari susunan katanya dan mungkin untuk di takwil.jika makna itu langsung di

pahami dari lafal,pemahamannya tidak butuh faktor luar dan ia adalah makna asal yang di maksud dari susunan kata itu,maka di anggap nash. Definisi nash menurut al Sarkhasi adalah : lafadz yang mempunyai derajat kejelasan diatas dzahir dengan qorinah yang menyertai lafadz dari mutakallim, ditunjukkan dengan sighot sendiri atas makna yang dimaksud dalam konteks, mengandung kemungkinan takwil, menerima naskh dan takhsis. Dari definisi ini menjadi jelaslah bagi kita bahwa nash mempunyai dalalah yang jelas sebagaimana dzahir. Pemahaman maknanya tidak bergantung pada petunjuk dari luar sighotnya. Demikian juga makna nash tidak memerlukan penelitian akan tetapi bisa langsung dipahami dengan sighotnya. Nash lebih jelas daripada dzahir. Sebab menjadi lebih jelasnya nash dari dzahir adalah disebabkan qorinah yang terdapat dalam kalam. Seperti firman Allah SWT,


sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba Qorinah ini menunjukkan bahwasannya yang dimaksud dengan konteks ayat adalah menafikan persamaan antara jual beli dan riba dan menegaskan perbedaan diantara keduanya sebagai bantahan terhadap orang kafir yang mempersamakan kedua jenis transaksi tersebut. Ayat ini yaitu secara dzahir penghalalan jual beli dan pengharaman riba dan nash terhadap perbedaan diantara keduanya. Qorinah kadang-kadang juga datang setelah kalam sebagai mana yang ada dalam Al Quran, Hukum nash sama dengan hukum dzahir yaitu wajib melaksanakannya sesuai dengan makna yang langsung dipahami dan konteks kalam dengan mengandung kemungkinan takwil takhsis dan naskh. Namun apabila kemungkinan-kemungkinan ini tidak bersandar pada dalil maka hukum nash adalah qoti atau yakin. c. Mufassar Abdul Wahab Khalaf memberikan definisi : Suatu lafadz yang dengan sighotnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya yang terinci begitu terincinya sehingga tidak dapat dipahami adanya makna lain dari lafadz tersebut.Al Uddah memberikan definisi : suatu lafadz yang dapat diketahui maknanya dari lafadznya sendiri tanpa memerlukan qorinah yang menafsirkanya. Dari definisi-definisi yang dipaparkan menjadi jelaslah bagi kita bahwa hakikat lafadz mufassar itu: o Penunjukannya terhadap makna jelas sekali.

o Penunjukannya itu hanya dari lafadz sendiri tanpa memerlukan qorinah dari luar. o Karena terang dan jelas dan terinci maknanya maka tidak mungkin ditakwilkan. Contohnya firman Allah tentang had zina


Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera. (QS. Annur 2)

004. Dan orang-orang yang menuduh wanita-wanita yang baik-baik (berbuat zina) dan mereka tidak mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera,

Masing-masing lafadz yaitu : (( dan ))mufassar karena ia adalah bilangan tertentu. Lafadz tersebut tidak mengandung pengurangan dan penambahan. Dan firman Allah SWT,


dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya sebagaimana merekapun memerangi kamu semuanya; dan ketahuilah bahwasanya Allah beserta orang-orang yang bertakwa. (QS.at taubah:36) karena kata kaaffah (semuanya) meniadakan adanya perkecualian. Banyak sekali materi hukum pidana yang membatasi jumlah hukuman atas tindakan tertentu.juga materi undang-undang perdata yang membatasi bermacam-macam tindakan ,seperti hutang ,hak,atau yang menjelaskan hukum secara rinci yang tidk mungkin untuk di takwil. Demikain juga setiap kata yang mujmal(global)dalam alquran yang di jelaskan oleh hadist dengan penjelasan yang cukup sehingga menjadi mufassar(jelas/rinci).sedangkan perincian itu sendiri adalah bagian dari jumlah sebagai penyempurnaan selama ia berupa dalil qathi (pasti). Hukum mufassar harus di amalkan sebagaimana penjelasan terhadapnya ,ia tidak mempunyai kemungkinan untuk di palingkan dari makna lahirnya d. Muhkam

Muhkam dalam ulama ushul fiqh ialah :sesuatu yang menunjukan terhadap maknanya yang tidak menerima pembatalan dan penggantian dengan sendirinya,dengan suatu dalalah yang jelas . Nash muhkam tidak tidak mengandung kemungkinan takwil,artinya memaksudkan makna lain yang tidak dzahir dari padanya,karena nash tersebut telah di perinci dan di tafsirksn dengan suatu penafsiran yang tidak memberikan lagi peluang bagi pentakwilan. Hukum yang di ambil dari muhkam merupakan hukum yang asasi dari kaidah agama yang tidak menerima pertukaran, seperti menyembah Allah semata-mata ,mengimani kitab dan rasulnya. Apabila dzahir dan nash bertentangan ,maka nash di menangkan ,karena nash lebih jelas dari dzahirnya ,dari segi makna nash di kehendaki secara asli dari susunan kalimatnya ,sedangkan dzahir tidaksecara asli dari susunan kalimatnya.oleh karena inilah ,maka dalalah nash lebih jelas dari pada dalalah dzahir ,karena lafadz yang khas (khusus) di menangkan terhadap lafadz yang amm (umum) ketika terjadi pertentangan. Misalnya adalah firman Allah SWT tentang wanita-wanita yang di haramkan. Dalam QS.An-nisa :24 :

)42 : (
Artinya : .........dan di halakan selain kamu yang demikian.

Dengan firman Allah SWT dalam surat an;nisa :3 .

)3 : (
artinya : maka kawinilah wanita-wanita lain yang kamu senangi dua, tiga atau empat. Ayat yang pertama merupakan makna yang dzahir berkenaan dengan diantara yang selain demikian itu .sedangkan ayat yang kedua merupakan nasah dari pembatasan kebolehan menika empat orang istri.karena ayat tersebut bertentangan maka nash di menangkan karena kuatnya dalam kejelasan dhalalahnya ,dan di haramkan mengawini lebih dari empat orang istri. Apabila nash danmufassar bertentangan .maka mufassar dimenangkan .karena mufassar lebih jelas dalalahnya dari pada nash. e. Khafi Khafi dalam istilah ulama ushul fiqh ialah:lafadz yang menunjukan ,terkadang dari lafadz

penerapan maknanya dalam sebagian satuannya terdapat kesamaran dan untuk menghilangkannya di perlukan analisis dan pemikiran.

Sebab munculnya kesamaran ini ialah satuan trtentu di dalamnya ada suatu sifat yang melebihi terhadap satuan-satuan lainnya, atau satu sifat berkurang atau mempunyai suatu nama khusus . lafadz ini samar dalam konteksnnya dengan satuanya ,karena pencakupannya terhadap satuan ini tidak dapat dipahami dari lafadz itu sendiri. Contohnya lafadz ( ) As-Sariq, artinya yaitu pengambil harta berharga milik orang lain secara tersembunyi dari tempat penyimpanannya.Tetapi untuk menerapkan arti ini kepada sebagian dari beberapa satuan adalah macam yang samar seperti pencopet, dia adalah juga pengambil harta secara terang terangan dengan menggunakan macam-macam keterampilan atau kelihaian memainkan tangan dan keahlian menghindari pandangan mata orang di sekitarnya. f. Musykil Dalam istilah ulama ushul fiqh ialah fadz yang shiggatnya tidak menunjukan kepada yang di kehendaki dari lafadz itu ,bahkan untuk memprjelas maksudnya haruslah ada qarinah eksternal yang menjelaskan maksudnya Kemusrikan muncul dalam nash ,terkadang dari lafadz yang musytarak.karena lafadz musytarak di tetapkan menurut bahasa lebih dari satu makna .sedangkan dalam shiggatnya tidak terdapat suatu penunjukan kepada makna tertentu yang ditetapkan. Oleh karena itu, maka harus ada qarinah yang eksternal yang menentukan seperti lafadz al-quru dalam firman allah dalam ayat Al-baqarah ; 228

)224 : (
artinya : dan wanita-wanita yang di talak ,hendaklah menahan diri tiga kali quru. Lafadz tersebut di tetapkan dalam bahasa untuk makna suci dan haidh.manakah dari dua makna itu yang di kehendaki dalam ayat itu ? apaka iddah dari wanita yang di talak bearakhir dari tiga kali haidh atau dengan tiga kali suci. Imam syafii dan sebagian mujtahid berpendapat bahwa yang di maksud lafadz alquru dalam ayat ini adalah suci .qarinahnya ialah pentaknitsan isim adad(nama hitungan ),karena hal ini menunjukan bahwasanya yang di hitung adalah mudzakkar .yaitu suci bukan haidh. g. Mujmal Menurut istilah ialah :lafadz yang tidak dapat menunjukan terhadap maksudnya melalui shiggatnya ,tidak ada qarinah lafzhiyyah(tekstual) atau qarinah haliyyah(kontekstual) yang menjelaskannya .jadi sebab kesamaran adalah bersifat lafadz Di antara mujmal adalah lafadz lafadz yang di kutip oleh syari dari makna kebahasaanya dan di tetapkan untuk berbagai makna bersifat syari secara khusus,Bukan secara bahasa seperti lafadz shalat,zakat,puasa,haji, riba, dan lain sebagainya

Apabila ada lafadz dalam nash syari dari lafdz tersebut ,maka ia mujmal .oleh karena inilah maka datang sunnah amaliyah dan qauliyyah untuk mengintropesikan shalat,menerangksan rukunrukunnya,syarat-syaratnya dan cara pelaksaanaan ,rasullullah bersabda :


artinya : kukanlah shalat sebagaimana kamu melihatku melakukan shalat. Demikian pula beliau menginterpretasikan zakat,puasa,haji,riba,dan segala sesuatu yang mujmal dalam nash-nash alquran. Di antara lafadz yang mudzmal adalah lafadz asing yang di jelaskan oleh nash itu sendiri dengan arti khusus. Seperti lafadz al qariah dalam firman allah Swt:

) ( . - - -
Hari kiamat, apakah hari kiamat itu? Tahukah kamu apakah hari kiamat itu? Pada hari itu manusia adalah seperti anai-anai yang bertebaran. (QS.. AL Qariah; 1-4) h. Mutasyabih Mutasyaabih menurut istilah ulama ushul adalah lafadz yang bentuknya itu sendiri tidak menunjukkan kepada makna yang di maksud, tidak ada qarinah (alasan pendukung) dari luar yang menjelaskannya dan syari dengan ilmunya hanya mencukupkan begitu saja tanpa penjelasan.. Mustasyabih hanyalah di temukan pada tempat-tempat lain dari pafa nash,seperti potonganpotongan huruf pada permulaan sebagian surat alquran : Alif Lam Min.Qaf ,Shad, Ha, Mim dan seperti ayat-ayat yang dzahirnya bahwaanya Allah menyerupai makhluknya dalam hal bahwa mempunyai tangan,mata dan tempat. Misalnya firman Allah SWT dalam surat al fath : 10

) .01 : ( .
artinya : Tangan Allah di atas tangan mereka ........ Takwilnya adalah :kekuasaan Allah berada di atas kekuasaan mereka . Sedangkan menurut pendapat ulama khalaf (modren) adalah bahwa ayat-ayat itu lahirnya adalah mustahil, karena allah tidak memiliki tangan, mata dan bertempat. Dan setiap ayat yang lahirnya mustahil untuk di beri makna, maka ia harus di takwil dan makna harus di belokkan dari makna lahirnya. Kemudian dikeluarkan makna yang di kandung oleh lafaz meskipun dengan cara majas.

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan Nash yang jelas dallahnya ada empat macam : Zhahir Nash Mufasaar Muhkam. Hukum nash yang muhkam ini adalah wajib di amalkan secara pasti dan bersifat harus untuk di amalkan. Serta tidak mengandung kemungkinan untuk dipalingkan dari dzahirnya dan permasalahanya. Dan muhkam tidak menerima penghapusan. Apabila dzahir dan nash bertentangan maka yang di menangkan adalah nash. Sedangkan apabila nash dan mufassar bertentangan maka yang dimenangkan adalah mufassar. Nash yang tidak jelas dalalahnya ada empat macam : Khafi Musykil Mujmal Mutasyabih.

B. Saran

Demikianlah makalah ini kami buat, kami menyadari tentunya makalah ini tak lepas dari kesalahan-kesalahan, baik itu kesalahan tulisan atau kesalahan materi, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari segenap pembaca dan dosen pengampu senantiasa kami harapkan, demi kesempurnaan makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA Khalaf,prof.Abdul Wahab,Ilmu Ushul fiqh,Semarang:Dina Utama, 1994, Cet. 1

Anda mungkin juga menyukai