Disusun Oleh:
Kelompok 3
2023
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah
dan inayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“DISTRIBUSI DHAMAN DAN KHAFALAH”.
Makalah ini telah kami susun bertujuan untuk memenuhi tugas bapak Teuku
Muhammad Syahrizal S. HI., M. Ag pada mata kuliah Fikih Ekonomi I. Selain itu, makalah ini
disusun untuk memperoleh nilai, menambah pengetahuan dan wawasan penulis sesuai bidang
yang ditekuni.
Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah, sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah
ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih pada dosen pengampu bapak Teuku
Muhammad Syahrizal S. HI., M. Ag yang telah membagi pengentahuannya sehingga kami
dapat menyelesaikan makalah.
Terlepas dari itu semua, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih ada kekurangan
baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, dengan tangan terbuka
kami menerima segala saran dan kritik dari pembaca agar kami dapat memperbaiki makalah
ini.
Akhir kata kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat maupun
inspirasi terhadap pembaca,terima kasih
Penyusun
Kelompok 3
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, maka rumusan masalah yang akan
dibahas dalam makalah ini adalah:
1
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dari makalah ini adalah sebagai berikut:
2
BAB II
PEMBAHASAN
3
3. Menurut Madzhab Hambali, dhāmān adalah menggabungkan antara tanggung jawab
penjamin dan orang yang dijamin dalam menanggung kewajiban.
4. Menurut Madzhab syafi’i, dhāmān adalah membebankan diri dengan menanggung
hutang orang lain, atau menghadirkan benda yang dibebankan atau menghadirkan
badan oleh orang yang berhak menghadirkanya.
Dari beberapa konsep yang ada dapat disimpulkan bahwa dhaman adalah kesanggupan
pihak ketiga untuk menanggung hutang atau kewajiban pihak pertama kepada pihak kedua,
yaitu ketika pihak pertama tidak dapat memenuhi kewajibannya. Namun, kewajiban dhaman
dapat melekat secara otomatis pada pemerintah tanpa harus dimintai untuk menjadi penjamin.
• Kemudian juga dapat dilihat dalam Q.S. Al- Baqarah Ayat (194),
Artinya : Bulan haram dengan bulan haram, dan (terhadap) sesuatu yang dihorm ati berlaku
(hukum) qisas. Oleh sebab itu barangsiapa menyerang kamu, maka seranglah dia setimpal
dengan serangannya terhadap kamu. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah
beserta orang-orang yang bertakwa.
َ َوا ِْن عَا َق ْبت ُ ْم َفعَا ِقبُ ْوا بِمِ ثْ ِل َما ع ُْو ِق ْبت ُ ْم بِ ٌۗه َولَ ِٕى ْن
صبَ ْرت ُ ْم لَ ُه َو َخيْر لِل ه
َصبِ ِر ْين
Artinya :Dan jika kamu membalas, maka balaslah dengan (balasan) yang sama dengan
siksaan yang ditimpakan kepadamu. Tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih
baik bagi orang yang sabar.
4
b. Hadist
Rasulullah Saw “Pinjaman hendaklah dikembalikan dan orang yang
menjamin hendaklah membayar” (H.R. Abu Daud dan Tirmidzi). Hadis lain juga
menjelaskan bahwa kelompok yang membawa jenazah seseorang kehadapan
Rasulullah. Sebelum Rasulullah menyuruh mereka untuk menshalatkannya, karena
dia punya utang, beliau bertanya siapa yang akan menanggung utangnya. Kemudian
Abu Qatadah berkata “Utangnya saya yang menjamin”. Lalu Rasulullah
melakukan shalat atas mayat itu (H.R. Ahmad bin Hanbal, Imam Bukhari dan Nasai).
c. Ijma’ Ulama
Adapun dasar hukum menurut ijma’ ulama bahwa kaum muslimin telah
berijma’ atau sepakat atas pembolehan al-dhāmān atau kāfalah karena keperluan
manusia untuk saling tolong menolong dan menolah bahaya berhutang. Selain itu, para
ulama membolehkan al-dhāman atau kāfalah karena hal ini sudah dilakukan sejak
zaman Nabi Muhammad. Membolehkan (mubah) dhaman dalam muamalah karena
dhaman sangat diperlukan dalam waktu tertentu. Adakalanya orang memerlukan
modal dalam usaha dan untuk mendapatkan modal itu biasanya harus ada jaminan dari
seseorang yang dapat dipercaya, apalagi bisnisnya besar.
5
b. Syarat orang yang dijamin, yaitu orang yang berdasarkan hukum diperbolehkan
untuk membelanjakan harta.
c. Syarat orang yang menagih hutang, dia diketahui keberadaannya oleh orang yang
menjamin.
d. Syarat harta yang dijamin antara lain:
1) Diketahui jumlahnya
2) Diketahui ukurannya
3) Diketahui kadarnya
4) Diketahui keadaannya
5) Diketahui waktu jatuh tempo pembayaran.
e. Syarat lafal (ikrar) yaitu dapat dimengerti yang menunjukkan adanya jaminan serta
pemindahan tanggung jawab dalam memenuhi kewajiban pelunasan hutang dan
jaminan ini tidak dibatasi oleh sesuatu, baik waktu atau keadaan tertentu.
7
“Rasulullah SAW, kepada Abu Qatadah r.a. setelah dia melunasi hutang
jenazah yang ditanggung olehnya, “saat ini, engkau telah mendinginkan kulitnya.”
c. Waktu Pembayaran Dhaman
Jika menurut waktu pembayaran dhāmān di bagi menjadi:
• Mūnjaz, adalah jaminan yang di tunaikan saat peristiwa itu terjadi.
• Mu’allāq, yaitu menjamin sesuatu yang dikaitkan dengan sesuatu.
• Mu’aqqāt, yakni jaminan yang harus di bayar dengan dikaitkan pada waktu
tertentu.
8
jika peminjam gagal membayar hutang, maka kafil akan menjadi bertanggung jawab untuk
melunasi hutang tersebut.
Dalam konteks hukum Islam, khafalah memiliki beberapa prinsip penting, antara lain:
1. Kafalah madalah bentuk akad (perjanjian) yang sah dalam Islam, dan harus dilakukan
dengan persetujuan kedua belah pihak.
2. Kafalah tidak boleh dilakukan untuk tujuan yang bertentangan dengan syariat Islam,
misalnya untuk menghindari membayar hutang yang haram atau untuk memfasilitasi
aktivitas yang melanggar hukum Islam.
3. Pihak yang mengambil tanggung jawab khafalah harus memastikan bahwa dia memiliki
kemampuan untuk melunasi hutang atau kewajiban yang diambilnya.
4. Dalam hal pihak yang dijamin khafalah tidak mampu membayar hutangnya, pihak yang
bertanggung jawab harus menyelesaikan hutang tersebut, kecuali jika terdapat alasan
yang sah untuk membebaskan diri dari tanggung jawab tersebut.
Artinya : “Yaqub berkata, sekali-kali tidak akan aku melepaskannya (pergi) bersamamu
sebelum kamu memjerikan janji yang teguh kepadaku atas nama Allah bahwa kamu pasti
kembali kepadaku.” Q.S. Yusuf : 66
Dalam ayat tersebut telah dijelaskan bahwa dalam sebuah perjanjian atau tanggungan
haruslah ada suatu perjanjian akad yang kuat antar pihak serta harus berlandaskan rasa saling
percaya atas nama Allah swt. Hal ini pun masih ada kaitannya dengan kafalah, karena secara
lebih kongkret dalam peristiwa muamalah yang disebut penjamin ialah ia yang membayarkan
pembayar. Seperti firman Allah swt. dalam Q.S. Yusuf ayat 72 :
Artinya : penyeru-penyeru itu berseru, kami kehilangan piala raja, barang siapa yang
dapat mengembalikannya akan memperoleh makanan seberat beban unta dan aku menjamin
9
tehadapnya. (Q.S. Yusuf : 72) Ibnu Abbas berkata bahwa yang dimaksud dengan zaim dalam
ayat ini ialah kafil yang berarti penjamin.(Siregar and Khoerudin, 2019).
b. Ijma’
Adapun dasar hukum kafalah menurut ijma’ ulama, yakni bahwa kaum muslim
telah berjimak atau memiliki kesepakatan atas diperbolehkannya akad kafalah secara
umum karena adanya keperluan atau hajat manusia untuk saling tolong-menolong serta
untuk menghindarkan atau menolak bahaya dari orang yang berhutang. Selain hal
tersebut diperbolehkannya kafalah juga karena akad tersebut sudah ada sejak zaman
Rasulullah, yang bahkan sampai saat ini pun tidak ada pertentangan mengenai hal
tersebut dikarenakan maslahah yang ada didalamnya.
c. Fatwa Ulama
Fatwa Dewan Syari’ah Nasional Nomor 11/DSN-MUI/VI/2000 Fatwa tentang kafalah
Ketentuan Umum Kafalah
• Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan
kehendak mereka dalam mengadakan kontrak (akad).
• Dalam akad kafalah, penjamin dapat menerima imbalan (fee) sepanjang tidak
memberatkan.
• Kafalah dengan imbalan bersifat mengikat dan tidak boleh dibatalkan secara sepihak
10
dapat ditanggung (dijamin oleh kafīl).
c. Makfūl Lahu disyaratkan dikenal oleh kafīl (orang yang menjamin).
d. Makfūl Bihi disyaratkan diketahui jenis, jumlah, kadar atau pekerjaan atau segala
sesuatu yang menjadi hal yang ditanggung/dijamin.
Menurut Antonio (2001), kafalah dibagi dalam lima jenis, yaitu sebagai berikut:
1. Kafalah bin-Nafs. Merupakan akad memberikan jaminan atas diri (personal quarantee).
Sebagai contoh, dalam praktik perbankan untuk bentuk kafalah bin-nafis adalah
seseorang nasabah yang mendapat pembiayaan dengan jaminan nama baik dan
ketokohan seseorang atau pemuka masyarakat. Walaupun bank secara fisik tidak
memegang barang apapun, tetapi bank berharap tokoh tersebut dapat mengusahakan
pembayaran ketika nasabah yang dibiayai mengalami kesulitan.
2. Kafalah bil-Maal. Merupakan jaminan pembayaran barang atau pelunasan utang.
Bentuk kafalah ini merupakan medan yang paling luas bagi bank untuk memberikan
jaminan kepada para nasabahnya dengan imbalan fee tertentu.
3. Kafalah bit-Taslim. Jenis kafalah ini biasa dilakukan untuk menjamin pengembalian
atas barang yang disewa, pada waktu masa sewa berakhir. Jenis jaminan ini dapat
dilaksanakan oleh bank untuk kepentingan nasabahnya dalam bentuk kerja sama
dengan perusahaan penyewaan (leasing company). Jaminan pembayaran bagi bank
11
dapat berupa deposit/ tabungan dan bank dapat membebankan uang jasa (fee) kepada
nasabah itu.
4. Kafalah al-Munajazah. Merupakan jaminan mutlak yang tidak dapat dibatasi oleh
jangka waktu dan untuk kepentingan/tujuan tertentu. Salah satu bentuk kafalah al-
munajazah adalah pemberian jaminan dalam bentuk performance bonds (jaminan
prestasi), suatu hal yang lazim di kalangan perbankan dan hal sesuai dengan bentuk
akad ini.
5. Kafalah al-Muallaqah. Bentuk jaminan ini merupakan penyederhanaan dari kafalah al-
munajazah, baik boleh industri perbankan maupun asuransi, dimana jaminan dibatasi
oleh kurun waktu dan tujuan-tujuan tertentu.
Menurut Madzhab Hanafi dan sebagian pengikut Madzhab Hambali bahwa
kafalah boleh bersifat tanjīz, ta’līq dan boleh juga tauqīt. Namun madzhab Syafi’i tidak
membolehkan adanya kafalah ta’līq.
• Kafalah tanjīz adalah menanggung sesuatu yang dijelaskan keadaannya, seperti
ucapan si kafīl: “Aku menjamin si anu sekarang”.
• Kafalah ta’līq adalah kafalah atau menjamin seseorang yang dikaitkan dengan sesuatu
keadaan bila terjadi. Misal perkataan si kafīl:”Aku akan menjamin hutang-hutangmu
bila hari ini tidak turun hujan”. “maksudnya bila hujan tidak turun aku jadi menjamin
hutang-hutangmu, namun bila turun aku tidak jadi menjamin”.
• kafalah tauqīt adalah kafalah untuk menjamin terhadap sesuatu tanggungan yang
dikuatkan oleh suatu keadaan tertentu atau dipastikan dengan sungguh-sungguh bahwa
dia betul-betul akan menjamin dari suatu tanggungan itu.
a. Kaidah Khafalah
Kaidah fiqh:
َ ت اْ ِإلبَا َحةُ إِلَّ أَ ْن يَ ُد َّل َد ِليْل
علَى تَحْ ِري ِْم َها ْ َاَأل.
ِ َص ُل فِى ا ْل ُمعَا َمال
“Pada dasarnya, semua bentuk muamalah boleh dilakukan kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.”
12
b. Hikmah Khafala:
1. Adanya unsur tolong menolong antar sesama manusia.
2. Orang yang dijamin (ashiil) terhindar dari perasaan malu dan tercela.
3. Makful lahu akan terhindar dari unsur penipuan.
4. Kafiil akan mendapatkan pahala dari Allah SWT. Karena telah menolong orang lain
13
bertanggung jawab untuk membayar hutang atau kewajiban keuangan pihak lain
kecuali jika pihak yang bersangkutan gagal melakukannya.
c) Perbedaan utama antara dhaman dan khafalah adalah bahwa dhaman terkait dengan
pembayaran hutang atau kewajiban keuangan, sedangkan khafalah terkait dengan
integritas atau kesetiaan dalam melakukan transaksi bisnis. Namun, keduanya memiliki
tujuan yang sama yaitu untuk memberikan jaminan atau perlindungan bagi pihak yang
melakukan transaksi bisnis.
d) Dalam hal implikasi hukum. Dalam Dhaman, pihak yang memberikan jaminan akan
dituntut untuk membayar hutang atau kerugian atas nama pihak lain secara langsung
oleh kreditur atau pihak yang merugi. Sedangkan dalam Khafalah, pihak yang
memberikan jaminan hanya akan dituntut setelah pihak yang berhutang atau merugi
tidak mampu memenuhi kewajibannya.
e) Dalam hal tanggung jawab. Dalam Dhaman, pihak yang memberikan jaminan
bertanggung jawab penuh untuk membayar hutang atau kerugian atas nama pihak lain,
bahkan jika pihak lain tersebut tidak mampu membayar. Sedangkan dalam Khafalah,
pihak yang memberikan jaminan hanya bertanggung jawab untuk memenuhi kewajiban
hutang atau kerugian atas nama pihak lain, jika pihak lain tersebut tidak mampu
memenuhi kewajiban tersebut. Oleh karena itu, dalam Khafalah, pihak yang
memberikan jaminan dapat menolak untuk membayar hutang atau kerugian jika pihak
lain masih mampu untuk memenuhi kewajiban tersebut.
14
c) Dalam hukum Islam, baik dhaman maupun khafalah dianggap sah dan diperbolehkan
asalkan dilakukan dengan persetujuan kedua belah pihak dan tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariah
d) Dalam konteks perbankan syariah, dhaman dan khafalah sering digunakan sebagai
jaminan untuk memperoleh pinjaman atau kredit. Pada dasarnya, baik dhaman maupun
khafalah mengharuskan pihak yang memberikan jaminan untuk menanggung risiko jika
pihak yang menerima pinjaman atau kredit tidak dapat membayar hutangnya.
e) Khafalah juga memiliki pengertian yang lebih luas dalam hukum Islam. Khafalah bisa
diartikan sebagai tanggung jawab untuk menjaga, melindungi dan mengambil tanggung
jawab atas seseorang atau sesuatu. Dalam konteks ini, khafalah bisa berlaku pada
berbagai situasi, seperti:
• Kafalah dalam pernikahan, yaitu ketika seorang pria menikahi seorang wanita
dan menjadi tanggung jawabnya untuk menjaga dan melindungi istri serta
memenuhi kebutuhannya.
• Kafalah dalam bisnis, yaitu ketika seorang pemilik bisnis menunjuk seorang
manajer atau direktur untuk mengelola bisnisnya dan menjaga kepentingannya.
• Kafalah dalam pendidikan, yaitu ketika orang tua atau wali bertanggung jawab
untuk mengasuh dan membimbing anak-anak mereka agar menjadi individu
yang baik dan bertanggung jawab.
f. Dalam transaksi dhaman, pihak ketiga menjamin pembayaran hutang atau kewajiban
finansial oleh pihak yang melakukan transaksi (debitur) kepada pihak yang diberi kredit
(kreditur). Pihak ketiga dalam transaksi dhaman ini dikenal sebagai dhamin.
g. Dalam transaksi khafalah, seseorang (khafil) menjamin pembayaran hutang atau
kewajiban finansial oleh pihak yang melakukan transaksi (debitur) kepada pihak yang
diberi kredit (kreditur). Khafil dalam transaksi khafalah ini tidak selalu sama dengan
debitur, dan khafil biasanya tidak menerima imbalan atas jasanya.
h. Khafalah dapat dilakukan secara terpisah atau bersama-sama. Jika khafalah dilakukan
secara terpisah, maka khafil akan bertanggung jawab penuh atas pembayaran hutang
atau kewajiban finansial debitur. Namun, jika khafalah dilakukan bersama-sama
dengan khafil lainnya, maka tanggung jawab atas pembayaran hutang atau kewajiban
finansial akan dibagi antara khafil-khafil tersebut.
15
Contoh Dhaman dan Khafalah
a. Dalam praktiknya, Dhaman dan Khafalah sering digunakan dalam berbagai transaksi
keuangan, seperti pemberian pinjaman dan pembiayaan. Contohnya, dalam pemberian
pinjaman, bank atau lembaga keuangan sering meminta jaminan dari peminjam dalam
bentuk Dhaman atau Khafalah. Hal ini dilakukan untuk meminimalisir risiko gagal
bayar atau wanprestasi oleh peminjam
b. DhamanContohnya, jika seseorang ingin meminjam uang dari bank, maka bank dapat
meminta seseorang lain untuk menjadi penjamin (dhaman) dan menjamin bahwa
peminjam akan membayar hutangnya secara tepat waktu. Jika peminjam gagal
membayar, maka penjamin akan bertanggung jawab untuk membayar hutang tersebut.
c. KhafalahContohnya, jika seseorang ingin melakukan bisnis dengan pihak lain, maka
pihak tersebut dapat meminta seseorang lain untuk menjadi penjamin (khafalah) dan
menjamin bahwa ia akan memenuhi kewajibannya dengan baik dan benar. Jika pihak
yang bersangkutan tidak memenuhi kewajibannya dengan baik, maka penjamin akan
bertanggung jawab untuk menggantikan kerugian yang timbul.
16
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dhaman dan khafalah adalah konsep yang sering digunakan dalam hukum keuangan
Islam sebagai bentuk jaminan atau tanggung jawab atas utang atau kewajiban finansial.
Meskipun memiliki perbedaan dalam hal kewajiban pihak ketiga, keduanya tetap memiliki
risiko jika pihak ketiga tidak mampu memenuhi kewajibannya untuk membayar utang atau
kewajiban finansial.
Dhaman dan Khafalah adalah dua konsep penting dalam hukum Islam yang berkaitan
dengan tanggung jawab dan jaminan keuangan. Dhaman adalah bentuk jaminan keuangan yang
diwajibkan oleh hukum Islam pada seseorang untuk menjamin hutang atau kewajiban
keuangan orang lain. Dalam konteks ini, orang yang memberikan jaminan keuangan disebut
sebagai dhamin. Dhaman dapat diberikan secara sukarela atau diwajibkan oleh hukum dalam
beberapa situasi, seperti dalam transaksi jual-beli atau pinjaman uang. Dalam kasus dhaman,
dhamin bertanggung jawab untuk membayar hutang atau kewajiban keuangan pihak lain jika
pihak yang bersangkutan gagal melakukannya.Khafalah adalah bentuk jaminan keuangan yang
juga diwajibkan oleh hukum Islam pada seseorang untuk menjamin hutang atau kewajiban
keuangan orang lain..
Dhaman dan Khafalah merupakan instrumen penting dalam transaksi bisnis di dunia
Islam. Hal ini karena jaminan dari penjamin dapat memberikan keamanan bagi pihak yang
memberikan kredit atau meminjamkan uang. Namun, harus diingat bahwa Dhaman dan
Khafalah bukanlah pengganti dari kepercayaan dan integritas dalam bisnis. Oleh karena itu, di
samping Dhaman dan Khafalah, para pengusaha dan pelaku bisnis juga harus memperhatikan
etika bisnis dan integritas sebagai prasyarat untuk membangun kepercayaan dalam transaksi
bisnis
17
DAFTAR PUSTAKA
Firmanda, H. (2017). Hakikat Ganti Rugi Dalam Perspektif Hukum Ekonomi Syariah dan
Hukum Perdata Indonesia. Jurnal Hukum Respublica, 16(2), 236-251.
Hayati, S. (2020). Analisis Dhaman (Ganti Rugi) Bagi Nasabah Wanprestasi Dalam
Perbankan Syariah (Study Pada Pembiayaan Murabahah). Syarikat: Jurnal Rumpun
Ekonomi Syariah, 3(2), 1-6.
Adiwarman A. Karim, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Kontemporer (Jakarta: Gema Insani,
2001),10.
Hendi Suhendi, Fiqh Muamalah (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), 187.
Dr. Mardani, Hukum Perikatan di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2013), 189.
M. Abdul Mudjieb, et. al., Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), 148.
Ismail Nawawi, Fikih Muamalah Klasik dan Kontemporer (Bogor: Ghalia Indonesia,2012),
195
Wahbah Zuhaili, Fiqh Islam wa Adillatuhu, jilid V (Beirut: dar al-Fikr, 1989), 130.
M. Ali Hasan, Berbagai Macam Transaksi dalam Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2003),259
18