Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

SYARIAT ISLAM DI ACEH

“ QANUN DAN MAQASID ASY SYAR’IYAH “

DISUSUN OLEH :

KELOMPOK 7

NAMA : MILA ASYIFA

: DINNA DELVIA

: DIANA

UNIT/SEM : 1/2

PRODI : HKI

DOSEN PEMBIMBING : BONITA IRWANI , MA

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARI’AH

PTI AL-HILAL SIGLI

2020

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
nikmatnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah  yang
berjudul “Qanun dan Maqasid Asy Syar’iyah”

Makalah ini disusun dalam rangka memperdalam  pemahaman tentang pengertian


politik  dan sekaligus dalam rangka memenuhi salah satu syarat penilaian mata kuliah Syariat
Islam di Aceh di Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT), Penyusunan makalah ini tidak berniat
untuk mengubah materi yang sudah tersusun. Hanya lebih pendekatan pada studi banding
atau membandingkan beberapa materi yang sama dari berbagai referensi.

Terima kasih penulis sampaikan kepada ibu Bonita Irwani, selaku dosen mata Kuliah
Syariat Islam di Aceh yang telah memberikan kesempatan bagi kami untuk mengerjakan
tugas ini sehingga kami menjadi mengerti dan memahami tentang penertian qanun dan
teman-teman yang telah banyak membantu kami sehinnga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan sebaik-baiknya.

Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada kita semua
khususnya tentang pengertian politik, makalah ini memiliki banyak kekurangan sehingga
Kami mohon untuk saran dan kritik yang sifatnya membangun agar makalah ini dapat
menjadi lebih baik. Terima Kasih.

Sigli,2
8 Maret 2020

Kelompok 7,

2
DAFTAR ISI

Judul Halaman…..................………………………………………………………..... 1
Kata Pengantar….................………………………………………………………...... 2
Daftar Isi…....................................…………………………………………………….. 3

BAB I  : Pendahuluan
1.1 Latar Belakang…..............……………………………………………………….... 4
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................... 4
1.3 Tujuan Masalah…......….....…....………………………………………………...... 4
BAB II : Pembahasan
2.1. Qanun........................................................................................................................ 5

2.1.1 Pengertian Qanun..................…………………............................................. 5


2.1.2 Tujuan Qanun............................................................................................. 5
2.1.3 Keistimewaan Qanun................................................................................. 6
2.2. Maqasid Asy Syar’iyah............................................................................................ 7
2.2 1 Pengertian Asy Syar’iyah........................................................................... 7
2.2.2 Klasifikasi Maqasid Asy Syar’iyah............................................................ 8
2.2.3 Tingkatan Maqasid Asy Syar’iyah............................................................ 9
2.2.4 Tujuan Persyari’atan Maqasid Asy Syar’iyah......................................... 9
2.2.5 Kehujjahan Maqasid Asy Syar’iyah......................................................... 10
BAB III : Penutup
3.1 Kesimpulan.....................…………………………………………………………………………….......... 12
3.2 Saran..................................................................................................................... 12
Daftar Pustaka…...................………………………………………………………………………………..... 13

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sistem Hukum adalah suatu susunan atau tatanan hukum yang teratur yang terdiri atas
bagian-bagian  yang berkaitan satu sama lain, tersusun menurut suatu rencana
atau  pola  yang  dihasilkan dari  suatu  penulisan  untuk  mencapai  suatu  tujuan[1].Tujuan
dengan adanya sistem hukum tidak lain untuk mengetahui tindakan atau perbuatan manakah
yang menurut hukum, dan yang manakah bertentangan dengan hukum.[2]

Semua hukum yang berbentuk perintah maupun larangan, yang terekam dalam teks-
teks syariat bukanlah sesuatu yang hampa dan tak bermakna. Akan tetapi semua itu
mempunyai maksud dan tujuan, dimana Allah SWT menyampaikan perintah dan larangan
tertentu atas maksud dan tujuan tersebut. Oleh para ulama’ hal tersebut dinamakan maqasid
al-syariah.

Konsep dari maqasid al-syariah sebenarnya dimulai dari masa al-Juwaini yang
terkenal dengan Imum Haramain dan oleh Imam Al-Ghazali kemudian yang disusun secara
sistematis oleh ahli ushul fiqh yang bermadzhab Maliki dan Granada (Spanyol), yaitu Imam
al-Syatibi (wafat 790M). Konsep ini ditulis dalam kitabnya yabg terkenal al-Muwwafaqat fi
Ushul al-Ahkam, khusunya pada juz II, yang beliau namakan kitab Maqasid. Menurut al-
Syatibi, pada dasarnya syari’at ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba,
(mashalih al-‘ibad), baik di dunia maupun di akhirat.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah tentang Qanun dan Maqasid al-
Syari’ah.

1.3 Tujuan Penulisan

Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang Qanun dan
Maqasid al-Syari’ah.

1
Abdoel Djamali, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, Edisi. 2, 2006, hlm. 67.
2
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta, PN. Balai Pustaka, 1984, hlm. 169.

4
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Qanun

2.1.1 Pengertian Qanun

Qânûn merupakan bentuk hukum nasional yang telah menjadi legal-formal. Artinya
hukum yang telah memiliki dasar dan teori yang matang dengan melalui dua proses, yaitu
proses pembudidayaan hukum dan diformalkan oleh lembaga legislatif [3]. Dengan kata lain,
qânûn merupakan hukum positif yang berlaku pada satu negara yang dibuat oleh pemerintah,
sifatnya mengikat, dan ada sanksi bagi yang melanggarnya[4].

2.1.2 Tujuan Qanun

Qânûn dalam arti hukum tertulis yang telah diundangkan oleh negara bertujuan untuk:

a) Mendatangkan kemakmuran;
b) Mengatur pergaulan hidup manusia secara damai;
c) Mencapai dan menegakkan keadilan.
d) Menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya tidak terganggu.[5]

Qânûn atau peraturan perundang-undangan khususnya di Indonesia bersumber pada tiga


hukum: hukum kolonial, hukum Islam, dan hukum adat, yang dinamai "trikhotomi" sebagai
symbol dari persaingan tiga hukum tersebut.[6]

Dasar berlakunya Qanun adalah undang-undang tentang otonomi khusus Aceh, Dalam
undang-undang nomor 18 disebutkan bahwa mahkamah  syar’iyah  akan melaksanakan
syariat islam yang di tuangkan ke dalam Qanun terlebih dahulu. Qanun merupakan peraturan
yang dibuat oleh pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya
diAceh. Adapun Qanun yang telah diberlakukan antara lain :

1) Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat islam bidang aqidah, ibadah
dan syariat islam.
2) Qanun nomor 12 tahun 2003 tentang larangan khamar (minuman keras), pelaku yang
mengkonsumsi khamar akan dijatuhi hukuman cambuk 40 kali. Hakim tidak di beri
izin untuk memilih (besar kecil atau tinggi rendah) hukuman. Bagi yang memproduksi
khamar dijatuhi hukuman ta’zir berupa kurungan paling lama satu tahun, paling

3
Deddy Ismatullah, Materi Kuliah Sejarah Sosial Hukum Islam pada tanggal 11 September 2007.
4
Rachmat Syafe'i, Materi Kuliah Qânûn dan Šyarî'ah yang dilaksanakan pada tanggal 02 Oktober 2007
5
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta:Balai Pustaka. 1992), hlm. 13.
6
Jaih Mubarok, Peradilan Agama: Setelah UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 11 Tahun 2006
(Bandung:Lembaga Penelitian UIN Sunan Gunung Djati. 2007), hlm. 3.

5
sedikit 3 bulan dan denda paling banyak Rp. 75.000.000 (tujuh puluh lima juta) dan
paling sedikit Rp.25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah).
3) Qanun nomor 13 tahun 2003 tentang larangan maysir (perjudian).

Syariat ( legislasi ) adalah semua peraturan agama yang ditetapkan oleh ALLAH untuk
kaum muslimin, baik yang ditetapkan dengan Al-Qur’an maupun dengan sunnah Rasul.
Syariat islam, secara etimologi (bahasa) bermakna jalan yang dilewati untuk menuju sumber
air, bertujuan untuk memberikan kemaslahatan kepada manusia.

Menurut Ali dalam Nurhafni dan Maryam (2006:61) “syariat islam secara harfiah adalah
jalan(ketepian mandi), yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim, syariat
merupakan jalan hidup muslim, syariat memuat ketetapan Allah dan Rasulnya, baik berupa
larangan maupun suruhan yang meliputi seluruh aspek manusia.” Manusia tidak bisa hidup
tanpa sumber air, dengan kata lain manusia tidak bisa hidup tanpa syariat yang mengantarkan
manusia mendapatkan hidup yang lebih baik.

Jadi dapat disimpulkan bahwa syariat islam merupakan merupakan totalitas ajaran agama
Islam yang terdapat dalam Alquran dan Sunnah, yang mengatur hubungan manusia dengan
Allah (hablumminallah) dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablumminannas).

2.2.3 Keistimewaan Qanun

Ada beberapa keistimewaan qanun yang bisa kita sebutkan, di antaranya adalah :

a. Sistematis

Secara fisik, qanun merupakan serangkaian peraturan yang disusun secara sistematis,
dengan pembagian tema yang teratur dalam bagian, bab, pasal, ayat, butir, nomor dan
seterusnya. Sehingga susunan qanun yang teratur dengan rapi itu memudahkan siapa pun
untuk mengetahui dan memahami maksud dan ketentuan yang terkandung di dalamnya.

Hal yang seperti ini tidak bisa dengan mudah kita jumpai pada kitab-kitab syariah,
yang biasanya tidak disusun berdasarkan susunan yang sistematis, setidaknya tidak
sesistematis sebuah qanun.

Apalagi kalau kita membandingkannya dengan nash Al-Quran, tentu sangat jauh
berbeda. Meski Al-Quran punya nama tertentu untuk tiap suratnya, namun umumnya isi dari
surat itu tidak hanya melulu terkait dengan namanya.

Misalnya surat Al-Baqarah yang maknanya sapi betina, dari 286 ayatnya yang
mencapai dua setengah juz itu (atau sama dengan 1/12 dari Al-Quran), tidak ada satu pun
peraturan, ketentuan atau hukum yang terkait dengan sapi betina. Lalu kalau memang
demikian, lantas kenapa surat itu disebut dengan surat Sapi Betina? Ternyata di dalam surat
itu ada kisah tentang Bani Israil di masa lalu yang diperintahkan untuk menyembelih seekor
sapi betina. Anehnya, kisah tentang sapi betina itu hanya berjumlah tujuh ayat saja dari 286
ayat yang ada. Dan sama sekali tidak ada kandungan hukum secara langsung buat umat

6
Islam, kecuali sekedar kisah yang memang pasti mengandung pelajaran, tapi bukan sebuah
aturan aau atau undang-undang.

Tetapi hal itu sama sekali tidak mengurani kebesaran dan keagungan Al-Quran. Sebab
Al-Quran memang tidak tersusun redaksinya sebagai sebagaimana sebuah qanun atau naskah
undang-undang.

Dilihat dari gaya bahasanya, Al-Quran lebih dekat kita sebut sebagai kitab prosa
(natsr), yang merupakan salah satu corak kitab sastra, ketimbang sebuah qanun. Atau lebih
tepatnya, Al-Quran adalah sumber dari qanun, dimana qanun itu kemudian bisa dibentuk dari
hasil istimbath kitab Al-Quran.

b. Bersifat Mengikat

Qanun umumnya bersifat mengikat, bukan hanya buat rakyat atau khalayak, namun
juga mengikat hakim atau qadhi serta penguasa.

Seorang hakim yang tugasnya menegakkan keadilan di tengah masyarakat, telah


terikat untuk memutuskan perkara sesuai dengan ketentuan yang telah tertuang dalam qanun.
Dia tidak boleh meninggalkan qanun begitu saja, dan membuat hukum atau kebijakan sendiri.

c. Terukur dan Detail

Dalam qanun, segala sesuatu ditetapkan dengan ukuran-ukuran yang pasti dan detail.
Sebagai contoh, apabila secara umum syariat mengharamkan khamar, maka di dalam qanun
ditetapkan batasan sebuah minuman itu memabukkan, yaitu misalnya bila mengandung kadar
Alkoloh lebih dari 2 persen.

d. Memiliki Satu Wajah Yang Pasti

Kita menemukan begitu banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam


berbagai ketentuan hukum, sehingga dalam prakteknya antara satu orang dengan orang lain
bisa saja berbeda-beda.

Setidaknya ada empat mazhab utama dalam fiqih yang sekarang kita kenal. Masing-
masing punya hasil ijtihad yang seringkali berbeda-beda. Dalam beberapa keadaan,
perbedaan pendapat ini membuat ketidak-pastian hukum. Oleh karena itu dengan adanya
qanun yang ditetapkan, maka akan ada satu wajah saja yang digunakan secara resmi.

2.2 Maqasid al-Syari’ah


2.2.1 Pengertian Maqasid al-Syari’ah

Maqasid berarti kesengajaan atau tujuan. Maqasid merupakan bentukjama’ dari maqs
َ َ‫ق‬ yang berarti menghendaki atau memaksudkan.  Maqasid
ud yang berasal dari suku kata َ‫د‬RRR‫ص‬
berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.[7]Sedangkan syari’ah secara bahasa

7
Ahmad Qarib.1997.Ushul Fiqh 2. Jakarta: PT. Nimas Multima.Cet. II. hlm. 170

7
berarti  [8]‫الماء‬ ‫الي‬ ‫تحدر‬ ‫المواضع‬ artinya jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air juga
diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.[9]

Sebagian ulama’ mendefinisikan Maqasid Syari’ah sebagaimana Abdullah ketika


kuliah bersama Prof. Dr. Nawir Yuslim, M.A dalam konsep Maqasid Syari’ah.

‫المقاصد العام للشارع فى تشريعة االحكام هومصالح الناس بكفلة وتوقيرضرورياتهم حاجياتهم وتحسناتهم‬.

Artinya: Maqshid syari’ah secara umum adalah kemaslahatan bagi manusia dengan


memelihara kebutuhan dharuriat mereka dan menyempurnakan kebutuhan hajiat dan
tahsiniat mereka.[10]

2.2.2 Klasifikasi Maqasid al-Syari’ah

Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum

dari menasyri’kan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu :

a) Memelihara segala sesuatu yang dharuriat bagi manusia dalam penghidupan


mereka.

Urusan-urusan yang dharuriat itu ialah segala yang diperlukan untuk hidup manusia,


yang apabila tidak diperoleh akan mengakibatkan rusaknya undang-undang
kehidupan, timbulah kekacauan, dan berkembangnya kerusakan.[11]

Urusan-urusan yang dharuri itu ada lima : Agama, Jiwa, Akal, Keturunan dan Harta.

b) Menyempurnakan segala yang dihayati manusia.

Urusan yang dihayati manusia ialah segala sesuatu yang diperlukan manusia untuk me
mudahkan dan menanggung kesukaran-kesukaran taklif dan beban hidup. Apabila
urusan itu tidak diperoleh, tidak merusak peraturan hidup dan tidak menimbulkan
kekacauan, melainkan hanya tertimpa kesempitan dan kesukaran saja.

c) Mewujudkan  keindahan bagi perseorangan dan masyarakat.

Yang dikehendaki dengan urusan-urusan yang mengindahkan ialah segala yang


diperlukan oleh rasa kemanusiaan, kesusilaan, dan keseragaman hidup. Apabila yang
demikian ini tidak diperoleh tidaklah cidera peraturan hidup dan tidak pula ditimpa
kepicikan. Hanya dipandang tidak boleh oleh akal yang kuat dan fitrah yang
sejahtera.Urusan-urusan yang mewujudkan ini dalam arti kembali kepadasoal akhlak

8
Dikutip oleh Asafri Jaya dalam kitab al-‘Arab kepunyaan Ibnu Mansyur al-Afriqi (Bairut: Dar al-
Sadr.tth).VIII.hlm. 175. Dalam Abdullah. Konsep Maqashid al-Syari’ah.2012
9
Fazrul Rahman.1990.Islam.alih bahasa: Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka. hlm. 140
10
Abdullah.2012.Konsep Maqasid Syari’ah.
11
Drs. Chaerul Umam.2001.Ushul Fiqh II. Bandung: CV. Pustaka Setia.hlm. 128

8
dan adat istiadat yang bagus dan segala sesuatu untuk mencapai keseragaman hidup
memalui jalan-jalan yang utama.

2.2,3 Tingkatan Maqasid al-Syari’ah

Tingkatan maqasid al-syari’ah dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Urusan dharuriyat yaitu segala apa yang paling penting dalam kehidupan manusia.[12]


b. Urusan-urusan yang dharuri ada lima : Agama, Jiwa, Akal, Keturunan dan Harta.
c. Urusan hajiyat yaitu keperluan hidup untuk memudahkan kehidupan di dunia dan di
d. akhirat tanpanya kehidupan manusia akan mengalami kesulitan.
d. Urusan tahsiniyat yaitu pelengkap hidup manusia sehingga manusia merasakan
kenyamanan hidup.[13]

2.2.3 Tujuan persyari’atan Maqasid al-Syari'ah

Tujuan persyari’atan atau hukum Islam di dunia dari segi pembuatan hukum dapat
diketahui melalui penalaran deduktif atau sumber-sumber naqli, yaitu wahyu baik Alqur’an
maupun sunnah. Tujuan hukum Islam dilihat dari segi pembuat hukum ada tiga. Terutama
tujuan hukum taklify, yaitu hukum yang berupa keharusan melakukan perbuatan karena
ada atau tidaknya sesuatu yang mengharuskan keberadaan hukum. Ketiga tujuan tersebut di
atas juga dilihat dari segi tingkat dan peringkat kepentingannya bagi manusia itu sendiri yaitu
tujuan primer (ad-dharuri), tujuan skunder (al-hajjiy), tujuan tersier (at-tahsiniy).

a. Tujuan primer (ad-dharuri)

Tujuan primer Islam ialah tujuan hukum yang mesti ada demi adanya kehidupan
manusia, apabila tujuan itu tidak tercapai maka akan menimbulkan kemaslahan
hidup manusia di dunia dan di akhirat. Kebutuhan hidup yang primer ini hanya bias dicapai
bila terpelihara lima tujuan hukum Islam (al-dharuriyat, al-khams/ al-kulliyat al-khams/
maqasidus syari’at). Tujuan persyari’atan (maqasidus syari’at) meliputi menjaga agama, jiwa,
akal, keturunan dan menjaga harta benda. Tujuan hukum ibadah merujuk pada pemeliharaan
agama seperti iman, mengucapkan dua kalimah syahadat, mengeluarkan zakat, melaksanakan
ibadah puasa, dan bentuk-bentuk ibadah lainnya. Tujuan muammalah merujuk kepada
pemeliharaan jiwa dan akal serta keturunan dan harta. Tujuan hukum pidana (jinayah)
meliputi al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar merujuk kembali kepada pemeliharaan
keseluruhan tujuan hukum yang bersifat primer.

b. Tujuan skunder (al-hajiy)

Tujuan skunder hukum islam adalah terpeliharanya tujuan kehidupan manusia yang


tediri atas berbagai kebutuhan skunder hidup manusia. Kebutuhan skunder bila
tidak terpenuhi atau terpelihara akan menimbulkan kesempitan yang mengakibatkan kesulitan

12
Ibid, hlm.129
13
Ibid, 129

9
hidup manusia. Kebutuhan hidup jenis ini terdapat dalam ibadah umpamanya ada hukum
rukhsah yaitu menjama’ dan mengqasar shalat bagi mereka yang dalam perjalanan dan sakit.
Dalam adat, tujuan hukum sekunder terlihat dalam kebolehan berburu dan menikmati segala
yang baik-baik selama hal itu halal. Tujuan hukum sekunder dalam bidang muamalah yaitu
adanya hukum musqah dan salam. Sementara dalam bidang jinayah dapat tercapai dalam
system sumpah (al-yamin)untuk proses pembuktian dan denda (diyat) dalam pemberiam
sanksi.

c. Tujuan tersier (al-tahsiniyat)

Dalam hukum Islam tujuan tersier adalah tujuan hukum yang ditujukan
untuk menyempurnakan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa-apa yang baik
dan paling layak menurut kebiasaan dan menghindari hal-hal yang tercela menurut akal sehat.
Pencapaian tujuan tersiaer hukum islam ini biasanya terdapat dalam budi pekerti yang mulia
atau akhlakul kariamah, budi pekerti atau akhlak mulia ini mencakup etika hukum, baik etika
hukum ibadah, muamalah, adat, pidana.

 Etika hukum ibadah misalnya adanya ketetapan hukaum bersuci atau thaharah,


menutup aurat dan lain-lain.
 Etika hukum ibadah dan hukum adat, misalnya adanya hukum atau etika tentang
bagaimana makan minum berlebihan (israf) dan lain-lain.
 Etika hukum dalam hukum pidana, misalnya adanya ketentuan yang melarang
membunuh wanita dalam keadaan perang.[14]
 Etika hukum di atas merujuk kepada kebaikan dan keutamaan demi tercapainya
tujuan-tujuan hukum yang bersifat primer dan sekunder.

2.2.5 Kehujjahan Maqasid al-Syariah (mashlahah)

Mashlahah dalam bingkai pengertian yang membatasinya bukanlah dalil yang berdiri


sendiri atas dalil-dalil syara' sebagaimana Alqur'an, Al-Hadits, Ijma' dan Qiyas. Dengan
demikian tidaklah mungkin menentukan hukum parsial (juz'i/far'i)dengan berdasar
kemashlahatan saja. Sesungguhnya mashlahah adalah makna yang universal yang mencakup
keseluruhan bagian-bagian hukum far'i yang diambil dari dalil-dalil atau dasar syariah.

Kesendirian mashlahah sebagai dalil hukum, tidak dapat dilakukan karena akal tidak


mungkin menangkap makna mashlahah dalam masalah-masalah juz'i. Hal ini disebabkan dua
hal:

 Kalau akal mampu menangkap Maqasid Al Syariah secara parsial dalam tiap-tiap


ketentuan hukum, maka akal adalah penentu/hakim sebelum datangnyasyara'. Hal ini
mungkin menurut mayoritas ulama.
 Kalau anggapan bahwa akal mampu menangkap Maqasid Al Syariah secara parsial
dalam tiap-tiap ketentuan hukum itu dianggap sah-sah saja maka batallah
14
Muslihun muslim.Fiqh ekonomi dan positivasinya diindonesia (mataram.LKIM.2006)

10
keberadaan atsar /efek dari kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hukum, karena
kesamaran substansi mashlahah bagi mayoritas akal manusia.

Bagi Abdul Wahhab Khallaf, Maqasid Al Syariah adalah suatu alat bantu untuk


memahami redaksi Al Qur'an dan Al Hadits, menyelesaikan dalil-dalil yang bertentangan dan
menetapkan hukum terhadap kasus yang tidak tertampung dalam Al Qur'an dan Al Hadits.[15]

Dari apa yang disampaikan Abdul Wahhab Khallaf ini, menunjukkan Maqasid Al


Syariah tidaklah mandiri sebagai dalil hukum tetapi merupakan dasar bagi penetapan hukum
melalui beberapa metode pengambilan hukum. Namun begitu, sebagaimana disinggung
dalam pendahuluan hampir keseluruhan metode yang dipertentangkan/tidak disepakati oleh
ulama, adalah karena faktor pengaruh teologi.[16]

15
Taufik Abdullah.2002.Ensiklopedia Tematis Dunia Islam. Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Juz 3.hal.294
16
Ibid, hal.295

11
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Qânûn merupakan bentuk hukum nasional yang telah menjadi legal-formal. Artinya
hukum yang telah memiliki dasar dan teori yang matang dengan melalui dua proses, yaitu
proses pembudidayaan hukum dan diformalkan oleh lembaga legislatif. Dengan kata lain,
qânûn merupakan hukum positif yang berlaku pada satu negara yang dibuat oleh pemerintah,
sifatnya mengikat, dan ada sanksi bagi yang melanggarnya. Qânûn dalam arti hukum tertulis
yang telah diundangkan oleh negara bertujuan untuk:

1) Mendatangkan kemakmuran;
2) Mengatur pergaulan hidup manusia secara damai;
3) Mencapai dan menegakkan keadilan.
4) Menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya tidak terganggu.

Maqasid berarti kesengajaan atau tujuan. Maqasid merupakan bentukjama’ dari maqsud y
ang berasal dari suku kata َ‫صد‬َ َ‫ق‬ yang berarti menghendaki atau memaksudkan. Maqasid berarti
hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan. Sedangkan syari’ah secara bahasa berarti   ‫المواضع‬
‫الماء‬ ‫الي‬ ‫تحدر‬ artinya jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air juga diartikan berjalan
menuju sumber kehidupan.

Klasifikasi Maqasid al-Syari’ah : Memelihara segala sesuatu yang dharuri bagi manusia
dalam penghidupan mereka, menyempurnakan segala yang dihayati manusia, mewujudkan 
keindahan  bagi  perseorangan dan masyarakat.

Tingkatan Maqasid al-Syari’ah: Urusan dharuriyat, urusan hajiyat, urusan


tahsiniyat. Tujuan persyari’atan atau hukum Islam di dunia dari segi pembuatan hukum dapat
diketahui melalui penalaran deduktif atau sumber-sumber naqli, yaitu wahyu baik Alqur’an
maupun sunnah. Mashlahah dalam bingkai pengertian yang membatasinya bukanlah dalil
yang berdiri sendiri atas dalil-dalil syara'sebagaimana Alqur'an, Al-Hadits, Ijma' dan Qiyas.

3.2 Saran

Penyusun berharap dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua serta
para pembaca. Penyusun mengucapkan terimakasih kepada para pembaca atas kesediaan
membaca makalah ini.

12
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah.2012.Konsep Maqasid Syari’a. Dikutip oleh Asafri Jaya dalam kitab al-‘Arab
kepunyaan Ibnu Mansyur al-Afriqi (Bairut: Dar al-Sadr.tth).VIII. Dalam Abdullah. Konsep
Maqashid al-Syari’ah.2012

Deddy Ismatullah. 11 September 2007. Materi kuliah Sejarah Sosial Hukum Islam oleh DR.
H., SH, M.Hum.

Kansil, C.S.T. 1992. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta:Balai
Pustaka.

Mubarok, Jaih. 2007. Peradilan Agama: Setelah UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor
11 Tahun 2006. Bandung: Lembaga Penelitian UIN Sunan Gunung Djati.

Muslihun muslim.Fiqh Ekonomi Dan Positivasinya Di Indonesia. (mataram.LKIM.2006)

Qarib, Ahmad.1997.Ushul Fiqh 2. Jakarta: PT. Nimas Multima.Cet.II

Rahman, Fazrul.1990.Islam.alih bahasa: Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka.

Syafe'i, Rachmat. "Urgensi Hukum Islam dalam Sistem Negara Modern", Khazanah: Jurnal
Ilmu Agama Islam, Vol. 1, No. 4, Juli Desember 2003.

Taufik Abdullah.2002.Ensiklopedia Tematis Dunia Islam. Jakarta : PT Ichtiar Baru Van


Hoeve.

Umam, Chaerul.2001.Ushul Fiqh II. Bandung: CV. Pustaka Setia

13

Anda mungkin juga menyukai