DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 7
: DINNA DELVIA
: DIANA
UNIT/SEM : 1/2
PRODI : HKI
2020
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
nikmatnya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul “Qanun dan Maqasid Asy Syar’iyah”
Terima kasih penulis sampaikan kepada ibu Bonita Irwani, selaku dosen mata Kuliah
Syariat Islam di Aceh yang telah memberikan kesempatan bagi kami untuk mengerjakan
tugas ini sehingga kami menjadi mengerti dan memahami tentang penertian qanun dan
teman-teman yang telah banyak membantu kami sehinnga kami dapat menyelesaikan
makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada kita semua
khususnya tentang pengertian politik, makalah ini memiliki banyak kekurangan sehingga
Kami mohon untuk saran dan kritik yang sifatnya membangun agar makalah ini dapat
menjadi lebih baik. Terima Kasih.
Sigli,2
8 Maret 2020
Kelompok 7,
2
DAFTAR ISI
Judul Halaman…..................………………………………………………………..... 1
Kata Pengantar….................………………………………………………………...... 2
Daftar Isi…....................................…………………………………………………….. 3
BAB I : Pendahuluan
1.1 Latar Belakang…..............……………………………………………………….... 4
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................... 4
1.3 Tujuan Masalah…......….....…....………………………………………………...... 4
BAB II : Pembahasan
2.1. Qanun........................................................................................................................ 5
3
BAB I
PENDAHULUAN
Semua hukum yang berbentuk perintah maupun larangan, yang terekam dalam teks-
teks syariat bukanlah sesuatu yang hampa dan tak bermakna. Akan tetapi semua itu
mempunyai maksud dan tujuan, dimana Allah SWT menyampaikan perintah dan larangan
tertentu atas maksud dan tujuan tersebut. Oleh para ulama’ hal tersebut dinamakan maqasid
al-syariah.
Konsep dari maqasid al-syariah sebenarnya dimulai dari masa al-Juwaini yang
terkenal dengan Imum Haramain dan oleh Imam Al-Ghazali kemudian yang disusun secara
sistematis oleh ahli ushul fiqh yang bermadzhab Maliki dan Granada (Spanyol), yaitu Imam
al-Syatibi (wafat 790M). Konsep ini ditulis dalam kitabnya yabg terkenal al-Muwwafaqat fi
Ushul al-Ahkam, khusunya pada juz II, yang beliau namakan kitab Maqasid. Menurut al-
Syatibi, pada dasarnya syari’at ditetapkan untuk mewujudkan kemaslahatan hamba,
(mashalih al-‘ibad), baik di dunia maupun di akhirat.
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah tentang Qanun dan Maqasid al-
Syari’ah.
Adapun tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang Qanun dan
Maqasid al-Syari’ah.
1
Abdoel Djamali, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, Edisi. 2, 2006, hlm. 67.
2
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta, PN. Balai Pustaka, 1984, hlm. 169.
4
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Qanun
Qânûn merupakan bentuk hukum nasional yang telah menjadi legal-formal. Artinya
hukum yang telah memiliki dasar dan teori yang matang dengan melalui dua proses, yaitu
proses pembudidayaan hukum dan diformalkan oleh lembaga legislatif [3]. Dengan kata lain,
qânûn merupakan hukum positif yang berlaku pada satu negara yang dibuat oleh pemerintah,
sifatnya mengikat, dan ada sanksi bagi yang melanggarnya[4].
Qânûn dalam arti hukum tertulis yang telah diundangkan oleh negara bertujuan untuk:
a) Mendatangkan kemakmuran;
b) Mengatur pergaulan hidup manusia secara damai;
c) Mencapai dan menegakkan keadilan.
d) Menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya tidak terganggu.[5]
Dasar berlakunya Qanun adalah undang-undang tentang otonomi khusus Aceh, Dalam
undang-undang nomor 18 disebutkan bahwa mahkamah syar’iyah akan melaksanakan
syariat islam yang di tuangkan ke dalam Qanun terlebih dahulu. Qanun merupakan peraturan
yang dibuat oleh pemerintah daerah Aceh untuk melaksanakan syariat islam bagi pemeluknya
diAceh. Adapun Qanun yang telah diberlakukan antara lain :
1) Qanun nomor 11 tahun 2002 tentang pelaksanaan syariat islam bidang aqidah, ibadah
dan syariat islam.
2) Qanun nomor 12 tahun 2003 tentang larangan khamar (minuman keras), pelaku yang
mengkonsumsi khamar akan dijatuhi hukuman cambuk 40 kali. Hakim tidak di beri
izin untuk memilih (besar kecil atau tinggi rendah) hukuman. Bagi yang memproduksi
khamar dijatuhi hukuman ta’zir berupa kurungan paling lama satu tahun, paling
3
Deddy Ismatullah, Materi Kuliah Sejarah Sosial Hukum Islam pada tanggal 11 September 2007.
4
Rachmat Syafe'i, Materi Kuliah Qânûn dan Šyarî'ah yang dilaksanakan pada tanggal 02 Oktober 2007
5
C.S.T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia (Jakarta:Balai Pustaka. 1992), hlm. 13.
6
Jaih Mubarok, Peradilan Agama: Setelah UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor 11 Tahun 2006
(Bandung:Lembaga Penelitian UIN Sunan Gunung Djati. 2007), hlm. 3.
5
sedikit 3 bulan dan denda paling banyak Rp. 75.000.000 (tujuh puluh lima juta) dan
paling sedikit Rp.25.000.000 (dua puluh lima juta rupiah).
3) Qanun nomor 13 tahun 2003 tentang larangan maysir (perjudian).
Syariat ( legislasi ) adalah semua peraturan agama yang ditetapkan oleh ALLAH untuk
kaum muslimin, baik yang ditetapkan dengan Al-Qur’an maupun dengan sunnah Rasul.
Syariat islam, secara etimologi (bahasa) bermakna jalan yang dilewati untuk menuju sumber
air, bertujuan untuk memberikan kemaslahatan kepada manusia.
Menurut Ali dalam Nurhafni dan Maryam (2006:61) “syariat islam secara harfiah adalah
jalan(ketepian mandi), yakni jalan lurus yang harus diikuti oleh setiap muslim, syariat
merupakan jalan hidup muslim, syariat memuat ketetapan Allah dan Rasulnya, baik berupa
larangan maupun suruhan yang meliputi seluruh aspek manusia.” Manusia tidak bisa hidup
tanpa sumber air, dengan kata lain manusia tidak bisa hidup tanpa syariat yang mengantarkan
manusia mendapatkan hidup yang lebih baik.
Jadi dapat disimpulkan bahwa syariat islam merupakan merupakan totalitas ajaran agama
Islam yang terdapat dalam Alquran dan Sunnah, yang mengatur hubungan manusia dengan
Allah (hablumminallah) dan hubungan manusia dengan sesamanya (hablumminannas).
Ada beberapa keistimewaan qanun yang bisa kita sebutkan, di antaranya adalah :
a. Sistematis
Secara fisik, qanun merupakan serangkaian peraturan yang disusun secara sistematis,
dengan pembagian tema yang teratur dalam bagian, bab, pasal, ayat, butir, nomor dan
seterusnya. Sehingga susunan qanun yang teratur dengan rapi itu memudahkan siapa pun
untuk mengetahui dan memahami maksud dan ketentuan yang terkandung di dalamnya.
Hal yang seperti ini tidak bisa dengan mudah kita jumpai pada kitab-kitab syariah,
yang biasanya tidak disusun berdasarkan susunan yang sistematis, setidaknya tidak
sesistematis sebuah qanun.
Apalagi kalau kita membandingkannya dengan nash Al-Quran, tentu sangat jauh
berbeda. Meski Al-Quran punya nama tertentu untuk tiap suratnya, namun umumnya isi dari
surat itu tidak hanya melulu terkait dengan namanya.
Misalnya surat Al-Baqarah yang maknanya sapi betina, dari 286 ayatnya yang
mencapai dua setengah juz itu (atau sama dengan 1/12 dari Al-Quran), tidak ada satu pun
peraturan, ketentuan atau hukum yang terkait dengan sapi betina. Lalu kalau memang
demikian, lantas kenapa surat itu disebut dengan surat Sapi Betina? Ternyata di dalam surat
itu ada kisah tentang Bani Israil di masa lalu yang diperintahkan untuk menyembelih seekor
sapi betina. Anehnya, kisah tentang sapi betina itu hanya berjumlah tujuh ayat saja dari 286
ayat yang ada. Dan sama sekali tidak ada kandungan hukum secara langsung buat umat
6
Islam, kecuali sekedar kisah yang memang pasti mengandung pelajaran, tapi bukan sebuah
aturan aau atau undang-undang.
Tetapi hal itu sama sekali tidak mengurani kebesaran dan keagungan Al-Quran. Sebab
Al-Quran memang tidak tersusun redaksinya sebagai sebagaimana sebuah qanun atau naskah
undang-undang.
Dilihat dari gaya bahasanya, Al-Quran lebih dekat kita sebut sebagai kitab prosa
(natsr), yang merupakan salah satu corak kitab sastra, ketimbang sebuah qanun. Atau lebih
tepatnya, Al-Quran adalah sumber dari qanun, dimana qanun itu kemudian bisa dibentuk dari
hasil istimbath kitab Al-Quran.
b. Bersifat Mengikat
Qanun umumnya bersifat mengikat, bukan hanya buat rakyat atau khalayak, namun
juga mengikat hakim atau qadhi serta penguasa.
Dalam qanun, segala sesuatu ditetapkan dengan ukuran-ukuran yang pasti dan detail.
Sebagai contoh, apabila secara umum syariat mengharamkan khamar, maka di dalam qanun
ditetapkan batasan sebuah minuman itu memabukkan, yaitu misalnya bila mengandung kadar
Alkoloh lebih dari 2 persen.
Setidaknya ada empat mazhab utama dalam fiqih yang sekarang kita kenal. Masing-
masing punya hasil ijtihad yang seringkali berbeda-beda. Dalam beberapa keadaan,
perbedaan pendapat ini membuat ketidak-pastian hukum. Oleh karena itu dengan adanya
qanun yang ditetapkan, maka akan ada satu wajah saja yang digunakan secara resmi.
Maqasid berarti kesengajaan atau tujuan. Maqasid merupakan bentukjama’ dari maqs
َ َق yang berarti menghendaki atau memaksudkan. Maqasid
ud yang berasal dari suku kata َدRRRص
berarti hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan.[7]Sedangkan syari’ah secara bahasa
7
Ahmad Qarib.1997.Ushul Fiqh 2. Jakarta: PT. Nimas Multima.Cet. II. hlm. 170
7
berarti [8]الماء الي تحدر المواضع artinya jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air juga
diartikan berjalan menuju sumber kehidupan.[9]
المقاصد العام للشارع فى تشريعة االحكام هومصالح الناس بكفلة وتوقيرضرورياتهم حاجياتهم وتحسناتهم.
Beberapa ulama ushul telah mengumpulkan beberapa maksud yang umum
dari menasyri’kan hukum menjadi tiga kelompok, yaitu :
b) Menyempurnakan segala yang dihayati manusia.
Urusan yang dihayati manusia ialah segala sesuatu yang diperlukan manusia untuk me
mudahkan dan menanggung kesukaran-kesukaran taklif dan beban hidup. Apabila
urusan itu tidak diperoleh, tidak merusak peraturan hidup dan tidak menimbulkan
kekacauan, melainkan hanya tertimpa kesempitan dan kesukaran saja.
c) Mewujudkan keindahan bagi perseorangan dan masyarakat.
8
Dikutip oleh Asafri Jaya dalam kitab al-‘Arab kepunyaan Ibnu Mansyur al-Afriqi (Bairut: Dar al-
Sadr.tth).VIII.hlm. 175. Dalam Abdullah. Konsep Maqashid al-Syari’ah.2012
9
Fazrul Rahman.1990.Islam.alih bahasa: Ahsin Muhammad. Bandung: Pustaka. hlm. 140
10
Abdullah.2012.Konsep Maqasid Syari’ah.
11
Drs. Chaerul Umam.2001.Ushul Fiqh II. Bandung: CV. Pustaka Setia.hlm. 128
8
dan adat istiadat yang bagus dan segala sesuatu untuk mencapai keseragaman hidup
memalui jalan-jalan yang utama.
Tujuan persyari’atan atau hukum Islam di dunia dari segi pembuatan hukum dapat
diketahui melalui penalaran deduktif atau sumber-sumber naqli, yaitu wahyu baik Alqur’an
maupun sunnah. Tujuan hukum Islam dilihat dari segi pembuat hukum ada tiga. Terutama
tujuan hukum taklify, yaitu hukum yang berupa keharusan melakukan perbuatan karena
ada atau tidaknya sesuatu yang mengharuskan keberadaan hukum. Ketiga tujuan tersebut di
atas juga dilihat dari segi tingkat dan peringkat kepentingannya bagi manusia itu sendiri yaitu
tujuan primer (ad-dharuri), tujuan skunder (al-hajjiy), tujuan tersier (at-tahsiniy).
Tujuan primer Islam ialah tujuan hukum yang mesti ada demi adanya kehidupan
manusia, apabila tujuan itu tidak tercapai maka akan menimbulkan kemaslahan
hidup manusia di dunia dan di akhirat. Kebutuhan hidup yang primer ini hanya bias dicapai
bila terpelihara lima tujuan hukum Islam (al-dharuriyat, al-khams/ al-kulliyat al-khams/
maqasidus syari’at). Tujuan persyari’atan (maqasidus syari’at) meliputi menjaga agama, jiwa,
akal, keturunan dan menjaga harta benda. Tujuan hukum ibadah merujuk pada pemeliharaan
agama seperti iman, mengucapkan dua kalimah syahadat, mengeluarkan zakat, melaksanakan
ibadah puasa, dan bentuk-bentuk ibadah lainnya. Tujuan muammalah merujuk kepada
pemeliharaan jiwa dan akal serta keturunan dan harta. Tujuan hukum pidana (jinayah)
meliputi al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy ‘an al-munkar merujuk kembali kepada pemeliharaan
keseluruhan tujuan hukum yang bersifat primer.
12
Ibid, hlm.129
13
Ibid, 129
9
hidup manusia. Kebutuhan hidup jenis ini terdapat dalam ibadah umpamanya ada hukum
rukhsah yaitu menjama’ dan mengqasar shalat bagi mereka yang dalam perjalanan dan sakit.
Dalam adat, tujuan hukum sekunder terlihat dalam kebolehan berburu dan menikmati segala
yang baik-baik selama hal itu halal. Tujuan hukum sekunder dalam bidang muamalah yaitu
adanya hukum musqah dan salam. Sementara dalam bidang jinayah dapat tercapai dalam
system sumpah (al-yamin)untuk proses pembuktian dan denda (diyat) dalam pemberiam
sanksi.
Dalam hukum Islam tujuan tersier adalah tujuan hukum yang ditujukan
untuk menyempurnakan hidup manusia dengan cara melaksanakan apa-apa yang baik
dan paling layak menurut kebiasaan dan menghindari hal-hal yang tercela menurut akal sehat.
Pencapaian tujuan tersiaer hukum islam ini biasanya terdapat dalam budi pekerti yang mulia
atau akhlakul kariamah, budi pekerti atau akhlak mulia ini mencakup etika hukum, baik etika
hukum ibadah, muamalah, adat, pidana.
10
keberadaan atsar /efek dari kebanyakan dalil-dalil rinci bagi hukum, karena
kesamaran substansi mashlahah bagi mayoritas akal manusia.
15
Taufik Abdullah.2002.Ensiklopedia Tematis Dunia Islam. Jakarta : PT Ichtiar Baru Van Hoeve. Juz 3.hal.294
16
Ibid, hal.295
11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Qânûn merupakan bentuk hukum nasional yang telah menjadi legal-formal. Artinya
hukum yang telah memiliki dasar dan teori yang matang dengan melalui dua proses, yaitu
proses pembudidayaan hukum dan diformalkan oleh lembaga legislatif. Dengan kata lain,
qânûn merupakan hukum positif yang berlaku pada satu negara yang dibuat oleh pemerintah,
sifatnya mengikat, dan ada sanksi bagi yang melanggarnya. Qânûn dalam arti hukum tertulis
yang telah diundangkan oleh negara bertujuan untuk:
1) Mendatangkan kemakmuran;
2) Mengatur pergaulan hidup manusia secara damai;
3) Mencapai dan menegakkan keadilan.
4) Menjaga kepentingan tiap-tiap manusia supaya tidak terganggu.
Maqasid berarti kesengajaan atau tujuan. Maqasid merupakan bentukjama’ dari maqsud y
ang berasal dari suku kata َصدَ َق yang berarti menghendaki atau memaksudkan. Maqasid berarti
hal-hal yang dikehendaki dan dimaksudkan. Sedangkan syari’ah secara bahasa berarti المواضع
الماء الي تحدر artinya jalan menuju sumber air, jalan menuju sumber air juga diartikan berjalan
menuju sumber kehidupan.
Klasifikasi Maqasid al-Syari’ah : Memelihara segala sesuatu yang dharuri bagi manusia
dalam penghidupan mereka, menyempurnakan segala yang dihayati manusia, mewujudkan
keindahan bagi perseorangan dan masyarakat.
3.2 Saran
Penyusun berharap dengan selesainya makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua serta
para pembaca. Penyusun mengucapkan terimakasih kepada para pembaca atas kesediaan
membaca makalah ini.
12
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah.2012.Konsep Maqasid Syari’a. Dikutip oleh Asafri Jaya dalam kitab al-‘Arab
kepunyaan Ibnu Mansyur al-Afriqi (Bairut: Dar al-Sadr.tth).VIII. Dalam Abdullah. Konsep
Maqashid al-Syari’ah.2012
Deddy Ismatullah. 11 September 2007. Materi kuliah Sejarah Sosial Hukum Islam oleh DR.
H., SH, M.Hum.
Kansil, C.S.T. 1992. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta:Balai
Pustaka.
Mubarok, Jaih. 2007. Peradilan Agama: Setelah UU Nomor 3 Tahun 2006 dan UU Nomor
11 Tahun 2006. Bandung: Lembaga Penelitian UIN Sunan Gunung Djati.
Syafe'i, Rachmat. "Urgensi Hukum Islam dalam Sistem Negara Modern", Khazanah: Jurnal
Ilmu Agama Islam, Vol. 1, No. 4, Juli Desember 2003.
13