Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tasyri’ secara istilah adalah pembentukan undang-undang untuk mengetahui hukum-
hukum bagi perbuatan orang dewasa dan ketentuan-ketentuan hukum serta peristiwa yang
terjadi dikalangan mereka. Melihat dari makna Tasyri’ tersebut, maka mucul sebuah
permasalahan yang sangat perlu diperhatikan, yaitu keberadaan sebuah agama (Islam) yang
berada dalam lingkungan orang-orang yang berwatak keras (Badui) dan masyarakat yang
hidup penuh dengan kebiadaban dan pelecehan serta belum memiliki sebuah aturan baku
untuk dijalani oleh pemeluk-pemeluknya, dalam hal ini adalah Tasyri’.
Tentunya melihat kondisi tersebut, maka Allah mengutus Rasulullah sebagai wasilah
pertama untuk menegakkan syariat Islam yang benar. Penegakan syariat Islam (Tasyri’) ini
tidak berhenti setelah Rasulullah wafat, akan tetapi hal ini berlangsung sampai beberapa
periode, mulai dari periode Rasulullah, Khulafaurrasyidin, Tabiin dan seterusnya. Akan tetapi
dalam makalah ini, kami hanya memaparkan tentang penegakan syariat Islam(Tasyri’) pada
periode Rasulullah saja.
Tidak terlepas bahwa berbagai faktor sosial juga menjadi latar belakang turunnya Al-
Qur’an. Banyak hal-hal yang menjadi Asbabun Nuzulnya Al-Qur’an sebagai sumber Tasyri’
periode Rasulullah ini. Akan tetapi bukan keseluruhan ayat-ayat Al-Qur’an ini diturunkan
karena adanya Asbabun Nuzul. Kesesuaian tradisi dan al-quran juga terlihat disana, akan
tetapi bukan berarti Al-Qur’an dapat dikatakan sebagai tradisi orang Arab, karena
diturunkannya Al-Qur’an adalah untuk seluruh umatnya.
Adapun pada periode Rasulullah ini memiliki dua fase, yaitu fase Mekkah dan fase
Madinah. Secara sosio cultural kedua fase ini berbeda dalam penerimaan Tasyri’ yang
dibawa oleh Rasulullah ini. Karena corak kehidupan Mekkah dan Madinah sangatlah jauh
berbeda. Keadaan Mekkah yang saat itu penuh dengan hal-hal yang menyimpang dari aturan
atau hukum Islam, tentunya bagi masyarakat tersebut sulit untuk menerima hal-hal yang baru
dibawa oleh Rasulullah. Sehingga yang pertama kali ditanamkan dalam hati mereka adalah
hal-hal yang menyangkut dengan ketauhidan.
Berbeda halnya dengan keadaan masyarakat Madinah yang sangat mudah menerima
Islam, bahkan mereka menerima kedatangan Rasulullah dengan senang hati. Sehingga
pembentukan tasyri’ pada masa ini dirasa jauh lebih mudah dibanding dengan fase Mekkah,
dan pada masa inilah hal-hal yang berkaitan dengan Ibadah, tauhid dan sebagainya menjadi
Tasyri’.
1. Al-Qur’an dan Hadist pada periode ini menjadi sebagai sumber penetapan Tasyri’,
kemudian permasaalahan yang muncul adalah keterkaitan dengan ijtihad pada masa
ini, apakah ijtihad juga menjadi sumber Tasyri’ saat itu. Maka untuk lebih lengkapnya
akan kita bahas pada bab selanjutnya.
Melihat berbagai latar belakang diatas, maka penulis dapat merangkaikan rumusan
masalah sebagai berikut:

B. Rumusan Masalah

1
Adapun rumusan masalah yang dapat disimpilkan adalah:
1. Bagaimana Pembentukan Hukum Islam?
2. Bagaimana pembinaan hukum islam pada masa Rasulullah?
3. Apa saja yang menjadi landasan hukum islam periode Rasulullah?

C. Tujuan Masalah
Adapun tujuan dari penulisan makaalh ini adalah:
1. Mengetahui sejarah pembentukan hukum islam pada masa Rasulullah.
2. Mengetahui cara pembinaan hukum islam pada masa Rasulullah.
3. Mengetahui apa saja yang menjadi landasan hukum islam pada masa Rasulullah.

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembentukaan Hukum Islam


Allah SWT. mengutus Rasulullah sebagai wasilah pertama untuk menegakkan syariat
Islam yang benar. Penegakan syariat Islam (Tasyri’) ini tidak berhenti setelah Rasulullah
wafat, akan tetapi hal ini berlangsung sampai beberapa periode, mulai dari periode
Rasulullah, Khulafaurrasyidin, Tabiin dan seterusnya.
Adapun pada periode Rasulullah ini memiliki dua fase, yaitu fase Mekkah dan fase
Madinah. Secara sosio cultural kedua fase ini berbeda dalam penerimaan Tasyri’ yang
dibawa oleh Rasulullah ini

1. Tasyri’ Periode Mekkah


Selama 13 tahun masa kenabian Muhammad SAW di Mekkah sedikit demi sedikit turun
hukum. Periode ini lebih terfokus pada roses penamaan (ghars) tata nilai tauhid, seperti iman
kepada Allah, Rasulnya, hari kiamat, dan perintah untuk berakhlak mulia seperti keadilan,
kebersamaan, menepati janji dan menjauhi kerusakan akhlak seperti zina, pembunuhan dan
penipuan.1
Pada awalnya Islam berorientasi memperbaiki akidah , karena akidah merupakan
fundamen yang akan berdiri diatasnya, apapun bentuknya.2 Sehingga bila telah selesai tujuan
yang pertama ini, maka Nabi melanjutkan dengan meletakkan aturan kehidupan (tasyri’). Bila
kita perhatikan ayat-ayat al-quran yang Turun di Mekkah, maka terlihat disana penolakan
terhadap syirik dan mengajak mereka menuju tauhid, memuaskan mereka dengan kebenaran
risalah yang disampaikan oleh para Nabi. Mengiringi mereka agar mengambil pelajaran dari
kisah-kisah umat terdahulu, menganjurkan mereka agar membuang taklid pada nenek
moyangnya, dan memalingkan mereka dari pengaruh kebodohan yang ditinggalkan oleh
leluhurnya seperti pembunuhan, zina dan mengubur anak perempuan hidup-hidup.
Kebanyakan ayat-ayat al-quran itu meminta mereka agar menggunakan akal pikiran,
Allah mengistimewakan mereka dengan akal, yang tidak dimiliki oleh makhluk lainnya agar
mereka mendapat petunjuk kebenaran dari dirinya sendiri (rasionalitas). Mengingatkan
mereka agar tidak berpaling dengan ajaran para Nabi, agar tidak tertimpa azab seperti apa
yang ditimpakan pada Amat-umat terdahulu yang mendustakan Rasul-rasul mereka dan
mendurhakai perintah tuhannya.
Pada masa ini al-quran hanya sedikit memaparkan tujuan yang kedua, sehingga mayoritas
masalah Ibadah belum disyariatkan kecuali setelah hijrah. Ibadah yang disyariatkan sebelum
hijrah erat kaitannya dengan pemeliharaan akidah, sepertti pengharaman bangkai, darah dan
sembelihan yang tidak disebut nama Allah. Dengan kata lain, periode Mekkah merupakan
periode revolusi akidah untuk mengubah sistem kepercayaan masyarakat jahiliyah menuju

1
A.sirri, Mun’in, sejarah fiqih Islam sebuah pengantar, hal: 22
2
Khallaf, wahab khulasah tarikh tasyri’ islami, hal: 18

3
penghambaan kepada Allah semata. Statu revolusi yang menghadirkan perubahan
fundamental, rekonstruksi social dan moral pada seluruh dimensi kehidupan masyarakat.
Namun ada beberapa hal yang menyebabkan ajaran Nabi Muhammad SAW tidak
diterima oleh masyarakat Mekkah, terutama dalam aspek ekonomi, faktor diantaranya yatu :
Ajaran tauhid menyalahkan kepercayaan dan praktek menyembah berhala. Bila
menyembah berhala dihapuskan maka berhala yang ada tidak laku lagi. Hal ini mengancam
sisi ekonomi mereka (produsen berhala). Karena itu ajaran tauhid juga banya ditolak oleh
masyarakat Mekkah.
Ajaran Islam mengecam perilaku ekonomi masyarakat Mekkah yang mempunyai ciri
pokok penumpuk harta dan mengabaikan fakir miskin serta anak yatim.
Seperti yang kita ketahui bahwa Mekkah terletak dijalur perdagangan yang penting.
Mekkah makmur karena letaknya yang berada dijalur penting dari Arabia selatan sampai
utara dan mediteranian, teluk Persia, laut merah melalui jiddah dan afrika. Dan Mekkah
adalah salah satu pusat perdagangan yang ramai. Maka faktor tersebut sangat mempengaruhi
penolakan dakwah Nabi.3

2. Tasyri’ Periode Madinah


Pada fase atau periode ini Islam sudah kuat dan berkembang dengan pesatnya, jumlah
umat Islam pun sudah betambah banyak dan mereka sudah memiliki suatu pemerintahan
yang gilang gemilang.4 keadaan inilah yang mendorong perlunya mengadakan tasyri’ dan
pembentukan undang-undang untuk mengatur perhubungan antara individu dari suatu bangsa
dengan bangsa lainnya, dan untuk mengatur pula perhubungan mereka dengan bangsa yang
bukan Islam baik di waktu damai maupun perang.
Adapun periode madinah ini dikenal dengan periode penataan dan pemapanan masyarakat
sebagai masyarakat percontohan oleh karena itu di periode madinah inilah ayat-ayat yang
memuat hukum-hukum untuk keperluan tersebut (ayat-ayat ahkam) Turun, baik yang
berbicara tentang ritual maupun social. Meskipun pada periode ini Nabi Muhammad SAW
baru melakukan legislasi, Namun ketentuan yang bersifat legalitas sudah ada Sejak periode
Mekkah, bahkan justru dasar-dasarnya telah diletakkan dengan kukuh dalam periode Mekkah
tersebut. Dasar-dasar itu memang tidak langsung bersifat legalistik karena selalu dikaitkan
dengan ajaran moral dan etik.5
Pada periode ini tasyri’ Islam sudah berorientasi pada tujuan yang kedua yaitu
disyariatkan bagi mereka hukum-hukum yang meliputi semua situasi dan kondisi, dan yang
berhubungan dengan segala aspek kehidupan, baik individu maupun kelompok pada setiap
daerah, baik dalam Ibadah, muamalah, jihad, pidana, mawaris, wasiat, perkawinan, thalak,
sumpah, peradilan dan segala hal yang menjadi cakupan ilmu fiqih.
Proses pembentukan hukum pada masa kenabian tidak dipaparkan peristiwa-peristiwa,
menggambarkan kejadiannya, mencari sebab-sebab pencabangannya dan kodifikasi huku-
hukum, sebagaimana masa-masa akhir yang telah dimaklumi. Tetapi pembentukan hukum
pada masa ini berjalan bersama kenyataan dan pembinaan bahwa kaum muslimin, apabila
3
Asghar ali engineer, asal-usul dan perkembangan Islam, hal: 59
4
Khallaf, Wahhab, Op.Cit, hal: 10
5
Zuhri, Muhammad hukum Islam dalam lintasan sejarah, hal: 13

4
menghadapi suatu masalah yang harus dijelaskan hukumnya, maka mereka langsung bertanya
kepada Rasulullah SAW. Terkadang Rasulullah SAW memberikan fatwa kepada mereka
dengan satu atau beberapa ayat (wahyu) yang diturunkan Allah kepadanya, terkadang dengan
hadis dan terkadang dengan memberi penjelasan hukum dengan pengalamannya. Atau
sebagian mereka melakukan suatu perbuatan lalu Nabi SAW menetapkan (takrir) hal itu, jika
hal tersebut benar menurut Nabi SAW.
Ada tiga aspek yang perlu dijelaskan dari proses perkembangan syariat pada periode ini. 6
Pertama adalah : metode Nabi dalam menerangkan hukum. Dalam banyak hal syariat Islam
Turun secara global nabi sendiri tidak menjelaskan apakah perbuatannya itu wajib atau
sunnah, bagaimana syarat dan rukunnya dan lain sebagainya. Seperti ketika nabi salat para
sahabat melihat salat nabi dan mereka mengikutinya tanpa menanyakan syarat dan rukunnya.
Kedua adalah: kerangka hukum syariat. Ada hukum yang disyariatkan untuk suatu
persoalan yang dihadapi oleh masyarakat, seperti bolehkah menggauli istri ketika mereka
sedang haid, bolehkah berperang pada bulan haji. Dan ada pula yang disyariatkan tanpa
didahului oleh pertanyaan dari sahabat atau tidak ada kaitannya dengan persoalan yang
mereka hadapi, termasuk didalamnya adalah masalah ibadah dan beberapa hal yang berkaitan
dengan muamalat.
Ketiga adalah: turunnya syariat secara bertahap (periodik). Maksudnya pembentukan
kondisi masyarakat yang layak dan Siap dan menerima Islam harus menjadi prioritas yang
diutamakan.

B. Pembinaan Hukum Islam


Dalam pembinaan hukum Islam telah dipelihara empat dasar (asas):
1. Berangsur-angsur dalam menetapkan hukum.
Berangsur-angsur ini berlaku dalam masa tasyri’ dan berlaku pula dalam macam-macam
hukum yang disyariatkan. Hikmah dari berangsur-angsurnnya masa turunnya hukum ialah
agar secara bertahap mudah diketahui isi undang-undangnya, materi demi materi, dan mudah
dipahami hukum-hukumnya secara sempurna, dengan berpijak kepada peristiwa dan situasi
yang memerlukan penetapan hukum.
Adapun tujuan hukum diturunkan dan disyariatkan secara berangsur-angsur adalah agar
segenap umat pada masa pertama memeluk agama Islam tidak dibebani sesuatu yang
menyusahkan, baik yang ingin dikerjakan maupun ingin ditinggalkan, sehingga segenap umat
bersedia menerima dan taklif.
Sebagaimana ketika Rasulullah ditanya masalah khamer dan judi, sedang keduanya
termasuk adat-istiadat yang kokoh dikalangan mereka. maka beliau menjawab mereka
dengan ayat Al-Qur’an surat al-Baqarah: 219
ۗ ‫لُونَكَ َما َذا يُنفِقُونَ قُ ِل ْٱل َع ْف َو‬Pََٔ‫اس َوإِ ْث ُمهُ َمٓا أَ ْكبَ ُر ِمن نَّ ْف ِع ِه َما ۗ َويَسْٔـ‬ ٰ
ِ َّ‫ك ع َِن ْٱل َخ ْم ِر َو ْٱل َم ْي ِس ِر ۖ قُلْ فِي ِه َمٓا إِ ْث ٌم َكبِي ٌر َو َمنَفِ ُع لِلن‬ َ َ‫لُون‬Pََٔ‫يَسْٔـ‬
َ‫ت لَ َعلَّ ُك ْم تَتَفَ َّكرُون‬ َ ِ‫َك ٰ َذل‬
ِ َ‫ك يُبَيِّنُ ٱهَّلل ُ لَ ُك ُم ٱلْ َءا ٰي‬
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: "Pada keduanya
terdapat dosa yang besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih
besar dari manfaatnya".

6
Op. Cit, sejarah fiqih Islam sebuah pengantar, hal: 24

5
Ayat tersebut tidak menjelaskan tuntutan untuk meninggalkannya, tetapi disuruh untuk
memahaminya terhadap perbuatan yang tidak banyak manfaatnya. kemudian Al-Qur’an
menjelaskan kepada mereka tentang shalat dalam keadaan mabuk sehingga mereka tidak
mengetahui apa yang mereka katakan. Allah berfirman dalam surat an-Nisa: 43
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.”
Larangan ini tidaklah membatalkan kepada yang pertama bahkan dia menguatkannya.
Kemudian Al-Qur’an menjelaskan larangan sebagai keputusan secara tegas kepada suatu
hukum.
2. Mengefisienkan pembuatan undang-undang.
Disini hukum-hukum disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya sekedar menurut kebutuhan-
kebutuhan hukum yang diperlukan, serta merespon kejadian yang mengharuskan adanya
hukum. Hikmah pembinaan dari tasyri’ ini adalah untuk memenuhi kebutuhan manusia dan
mewujudkan kemaslahatan, maka sebaiknya pada tiap masa peraturan itu dibatasi sesuai
dengan kebutuhan dan kemaslahatan zamannya, sehingga orang-orang yang terdahulu, kini,
dan yang akan datang, tidak menemukan kesulitan akibat peraturan-peraturan diluar
kebutuhan dan kemaslahatan mereka.
Diantara prinsip-prinsip yang ditetapkan dalam syariat Islam ialah bahwa hukum asal
segala sesuatu adalah dibolehkan. Untuk itu segala binatang dan benda atau perjanjian atau
transaksi yang tidak disyariatkan hukumnya oleh dalil syara’ adalah boleh. Atas dasar inilah
maka dengan mengefisienkan undang-undangpun tidak mendatangkan kesempitan.
Permasalahan apapun yang tidak ada peraturan undang-undangnya, maka hukumnya boleh
berdasarkan ibahah ashliyah(kebolehan menurut asal).
3. Memberi kemudahan dan keringanan.
Prinsip ini paling menonjol dalam perundang-undangan hukum Islam. Dalam banyak hal,
hukum-hukum itu tujuannya adalah memberi kemudahan dan keringanan bagi para mukallaf.
Dalam keadaan khusus dimana hukum ‘adzimah mendatangkan kesulitan, maka
disyariatkanlah hukum rukhshah (keringanan). maka dibolehkanlah hal-hal yang terlarang
ketika terjadi darurat, dan dibolehkan meninggalkan perbuatan wajib jika untuk
menunaikannya terdapat kesulitan. Adanya paksaan, keadaan sakit, bepergian, khilaf, lupa,
dan ketidaktahuan, merupakan alasan untuk keringanan hukum.

4. Berjalannya undang-undang sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.


Bukti adanya prinsip ini adalah bahwa syari’ (pembuat undang-undang) banyak
memberikan ta’lil hukum dengan kemaslahatan manusia sebagai ‘illat hukum. Syara’
menetapkan bahwa hukum-hukum yang ada berdasarkan ‘illat akan berputar bersama
‘illatnya, yaitu adanya ‘illat menetapkan adanya hukum dan tidak ada ‘illat meniadakan
hokum. untuk ini Allah mensyariatkan sebagian hukum, kemudian membatalkan dan
menghapusnya, Karena kemaslahatan mengharuskan perubahan yang demikian.
Salah satu contohnya, mula-mula Allah mewajibkan menghadap Baitul Maqdis ketika
shalat, kemudian hukum ini dihapuskan dan diganti dengan perintah menghadap Ka’bah
ketika shalat.

6
Adanya penghapusan hukum, penggantian hukum, dan perubahan hukum, menjadi bukti
bahwa perundang-undangan dalam Islam ditetapkan untuk kemaslahatan umat manusia.
Untuk memeliharanya maka pembuat undang-undang memperhatikan ‘urf (adat kebiasaan
masyarakat diwaktu peraturan berlaku) selama adat istiadat tersebut tidak merusak salah satu
dasar dari pokok agama. Oleh karena itu syari’ (pembuat undang-undang) memperhatikan
adanya kafa’ah (keseimbangan, kufu) dalam perkawinan, memperhatikan ‘ashabah dalam
hukum pewarisan dan perwalian, serta mewajibkan pembayaran diyat (denda).
Demi kemaslahatan umat manusia, maka perlu diperhatikan adat kebiasaan serta hal-hal
yang biasa dilakukan masyarakat setempat (lokal), selama yang demikian itu tidak
berlawanan dengan pokok-pokok agama serta tidak mendatangkan kemudharatan.7

C. Sumber Hukum Islam pada Masa Rasulullah SAW


Penentuan hukum pada periode Rasulullah SAW mempunyai dua sumber[viii], yaitu :
1. Wahyu Ilahi (Al-Quran)
Al-quran adalah kitab suci yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW yang
mengandung petunjuk kebenaran bagi kebahagiaan ummat manusia. Dalam bahasa
“Fazlurrahman,[ix] Al-Quran adalah dokumen keagamaan dan etika yang bertujuan praktis
menciptakan masyarakat yang bermoral baik dan adil, yang terdiri dari manusia-manusia
saleh dan religius dengan keadaan yang peka dan nyata akan adanya satu tuhan yng
memerintahkan kebaikan dan melarang kejahatan.
Ketika terjadi sesuatu yang menghendaki adanya pembentukan hukum dikarenakan suatu
peristiwa, perselisihan, pertanyaan, permintaan fatwa, maka Allah menurunkan wahyu
kepada Rasulullah SAW satu atau beberapa ayat al-quran yang menjelaskan hukum yang
hendak diketahuinya. Kemudian Rasulullah menyampaikan kepada umat Islam apa-apa yang
sudah diwahyukan kepada beliau itu, dan wahyu itu menjadi undang-undang yang wajib
diikuti.
Ada karakteristik yang sangat menonjol dari al-quran yaitu, bahwa meskipun al-quran
diturunkan dalam ruang waktu tertentu, sebab tertentu, tetapi esensi kalam tuhan tersebut
adalah universal, sehingga mengatasi ruang dan waktu. Oleh karena itu dapat dikatakan
bahwa sasaran alquran dan juga sebab turunnya adalah “kemanusiaan(problematika
kehidupan manusia), baik pada masa Nabi, masa kini dan masa seterusnya.
2. Ijtihad Rasulullah (Sunnah)
Sunnah adalah sumber fiqih kedua setelah al-quran. Dalam terminologi muhaddisin,
fuqaha dan ushuliyyin, sunnah berarti setiap sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi
Muhammad, baik perkatan, perbuatan dan ketentuan. Sebagaimana al-quran, sunnah juga
tidak muncul dalam satu waktu, tetapi secara bertahap(periodik) mengikuti fenomena umum
dalam masyarakat, atau lebih tepat disebut mengikuti perkembangan turunnya syariat. Oleh
karena itu dalam banyak hal, kita akan melihat bahwa sunnah bertujuan menerangkan,
merinci, membatasi dan menafsirkan al-quran.
Ketika muncul sesuatu yang menghendaki peraturan, sedang Allah tidak mewahyukan
kepada Rasulullah ayat al-quran yang menunjukkan hukum yang dikehendakinya, maka
Rasulullah berijtihad untuk mengetahui ketentuan hukumnya.
7
Abdul Wahhab Khallaf, Sejarah Hukum Islam, (Marja Bandung: 2005) Cet-1, 19-25.

7
Dan dengan hasil ijtihad itulah yang dipergunakan beliau untuk memutusi hukum sesuatu
masalah, atau memberi fatwa hukum atau menjawab pertanyaan atau menjawab permintaan
fatwa hukum. Dan hukum yang terbit dari hasil ijtihad beliau itu juga menjdai undang-
undang yang wajib diikuti. Setiap hukum yang disyareatkan pada periode Rasulullah SAW
itu sumbernya adalah dari wahyu ilahi (al-quran) dan ijtihad Nabi (Sunnah).

8
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada periode Rasulullah pembentukan tasyri’ terbagi menjadi 2 yaitu:
a. Periode Makkah
Pada periode makiyyah Rasulullah lebih memfokuskan kepada pembentukan Akidah dan
moral masyarakat makkah yang bertolak belakang dengan kebiasaan masyarakat mekkah
pada masa itu. Contohya, kebiasaan masyarakat mekkah menyembah berhala, berjudi,
meminum khamer, membunuh bayi perempuan, dan berzinah. Setelah diangkatnya Nabi
Muhammad dan berdakwah secara terang-terangan barulah terbentuk Hukum Islam yang
mengajak masyarakat mekkah untuk meninggalkan kebiasaan-kebiasaan terdahulu, dan
menyembah kepada Allah SWT.
Ketika Rasulullah mengajak masyarakat makkah untuk menyembah Allah dan
meninggalkan kebiasaan nenek moyang terdahulu, terdapat perlawanan dari masyarakat
mekkah yang membenci ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad sehingga Rasulullah
berhijrah ke Madinah.
Inti pembentukan Hukum pada periode Makkiyah adalah membentuk akidah yang sesuai
dengan ajaran Islam, dan menyembah kepada Allah SWT.
b. Periode Madinah
Berbeda dengan periode sebelumnya pada periode madinah sudah banyak masyarakat
yang memeluk Agama Islam dan telah terbentuknya pemerintahan yang tertata dengan rapih.
Kemudian mendorong Tasyri’ sesuai dengan perkembangan masyarakat yang berhubungan
dengan segala aspek kehidupan, baik individu maupun kelompok pada setiap daerah, baik
dalam Ibadah, muamalah, jihad, pidana, mawaris, wasiat, perkawinan, thalak, sumpah,
peradilan dan segala hal yang menjadi cakupan ilmu fiqih.
Setelah pembentukan Hukum maka munculah Pembinaan Hukum Pada Masa Rasulullah
terdapat 4 dasar pembentukan Hukum Islam yaitu:
a. Berangsur-angsur dalam penetapan hukum.
b. Mengefisienkan Pembuatan Undang-Undang.
c. Memberi Kemudahan dan Keringanan.
d. Berjalannya undang-undang sesuai dengan kemaslahatan umat manusia.

B. Saran
Kami sadar, sebagai seorang pelajar yang masih dalam proses pembelajaran, serta masih
banyak kekurangannya. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan adanya kritik dan saran
yang bersifat positif, guna penulisan karya ilmiah yang lebih baik lagi di masa yang akan
datang. Harapan kami, makalah yang sederhana ini, dapat memberikan manfaat khususnya
bagi penulis dan umumnya pagi para pembaca.

9
`

DAFTAR PUSTAKA

10
Asghar ali engineer, Asal-usul dan Perkembangan Islam, 1999. Yogyakarta: INSIST dan
IKAPI.
Zuhri, Muhammad Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah, 1996. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Sirri, Mun’in Sejarah Fiqih Islam Sebuah Pengantar, 1995. Risalah Gusti.
Khallaf, Abdul Wahhab, Sejarah Hukum Islam, (Marja Bandung: 2005) Cet-1, 19-25.
Khallaf, Wahab Terjemahan Khulasah Tarikh Tasyri’ Islam, 1974. Solo: CV.Ramadhani

11

Anda mungkin juga menyukai