Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai
yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan
(human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. Manusia selalu berusaha
menemukan kebenaran. Banyak cara telah ditempuh untuk memperoleh kebenaran, antara
lain dengan menggunakan rasio seperti para rasionalis dan melalui pengalaman atau empiris.
Pengalaman-pengalaman yang diperoleh manusia membuahkan prinsip-prinsip yang
terkadang melampaui penalaran rasional, kejadian-kejadianyang berlaku di alam itu dapat
dimengerti.
Struktur pengetahuan manusia menunjukkan tingkatan-tingkatan dalam hal
menangkap kebenaran. Setiap tingkat pengetahuan dalam struktur tersebut menunjukkan
tingkat kebenaran yang berbeda.Pengetahuan inderawi merupakan struktur yang terendah.
Tingkat pengetahuan yanglebih tinggi adalah pengetahuan rasional dan intuitif. Tingkat
yang lebih rendah menangkap kebenaran secara tidak lengkap, tidak terstruktur, dan pada
umumnya kabur, khususnya pada pengetahuan inderawi dan naluri. Oleh sebab itulah
pengetahuan ini harus dilengkapi dengan pengetahuan yang lebih tinggi.Pada tingkat
pengetahuan rasional-ilmiah, manusia melakukan penataan pengetahuannya agar terstruktur
dengan jelas.
Metode ilmiah yang dipakai dalam suatu ilmu tergantung dari objek ilmu yang
bersangkutan. Macam-macam objek ilmu antara lain fisiko-kimia, mahluk hidup, psikis,
sosio-politis, humanistis dan religius. Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu
ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya dengan ilmu
pengetahuan,filsafat ini membahas tentang apa yang bisa dikategorikan sebagai objek ilmu
pengetahuan.  Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu pengetahuan. Dalam ilmu
pengetahuan modern, jalan bagi diperolehnya ilmu pengetahuan adalah metode ilmiah
dengan pilar utamanya rasionalisme dan empirisme. Aksiologi menyangkut tujuan
diciptakannya ilmu pengetahuan, mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis.

1
Kerangka filsafat di atas akan memudahkan pemahaman mengenai keterkaitan berbagai ilmu
dalam mencari kebenaran.
Pendidikan pada umumnya dan ilmu pengetahuan pada khususnya mengemban
tugas utama untuk menemukan, pengembangan, menjelaskan, menyampaikan nilai-nilai
kebenaran. Semua orang yang berhasrat untuk mencintai kebenaran, bertindak sesuai dengan
kebenaran. Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-
nilai yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat
kemanusiaan (human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. Kebenaran
sebagai ruang lingkup dan obyek pikir manusia sudah lama menjadi penyelidikan manusia.
Manusia sepanjang sejarah kebudayaannya menyelidiki secara terus menerus apakah
hakekat kebenaran itu?
Jika manusia mengerti dan memahami kebenaran, sifat asasinya terdorong pula
untuk melaksanakan kebenaran itu. Sebaliknya pengetahuan dan pemahaman tentang
kebenaran, tanpa melaksanakan kebenaran tersebut manusia akan mengalami pertentangan
batin, konflik spikologis. Menurut para ahli filsafat itu bertingkat-tingkat bahkan tingkat-
tingkat tersebut bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain
tingkatan kualitasnya ada kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran
alami dan ada pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula kebenaran
umum universal.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa itu kebenaran?
2. Bagaimana penjelasan teori kebenaran menurut filsafat ilmu?
3. Bagaimana teori kebenaran yang dikemukakan oleh Julianne Ford dalam Lincoln & Guba
(1985)?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian kebenaran.
2. Untuk mengetahui teori-teori kebenaran dalam segi filsafat
3. Untuk mengetahui teori filsafat menurut Julianne Ford.

2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Kebenaran
Kebenaran adalah satu nilai utama di dalam kehidupan human. Sebagai nilai-nilai
yang menjadi fungsi rohani manusia. Artinya sifat manusiawi atau martabat kemanusiaan
(human dignity) selalu berusaha “memeluk” suatu kebenaran. Dalam kehidupan manusia,
kebenaran adalah fungsi rohaniah. Manusia di dalam kepribadian dan kesadarannya tak
mungkin tanpa kebenaran.

A. Berdasarkan scope potensi subjek, maka susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
1. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan pertama
yang dialami manusia
2. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui indara,
diolah pula dengan rasio
3. Tingkat filosofis, rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah kebenaran
itu semakin tinggi nilainya
4. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa dan
dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan.
Keempat tingkat kebenarna ini berbeda-beda wujud, sifat dan kualitasnya bahkan
juga proses dan cara terjadinya, disamping potensi subyek yang menyadarinya. Potensi
subyek yang dimaksud disini ialah aspek kepribadian yang menangkap kebenarna itu.
Misalnya pada tingkat kebenaran indera, potensi subyek yang menangkapnya ialah panca
indra.
Kebenaran itu ialah fungsi kejiwaan, fungsi rohaniah. Manusia selalu mencari
kebanran itu, membina dan menyempurnakannya sejalan dengan kematangan
kepribadiannya.

B. Berdasarkan Ukuran Kebenarannya :


– Berfikir merupakan suatu aktifitas manusia untuk menemukan kebenaran
– Apa yang disebut benar oleh seseorang belum tentu benar bagi orang lain
– Oleh karena itu diperlukan suatu ukuran atau kriteria kebenaran

3
C. Berdasarkan Jenis-jenis Kebenaran :
1. Kebenaran Epistemologi (berkaitan dengan pengetahuan)
2. Kebenaran Ontologis (berkaitan dengan sesuatu yang ada/ diadakan)
3. Kebenaran Semantis (berkaitan dengan bahasa dan tutur kata)
Manusia selalu mencari kebenaran, jika manusia mengerti dan memahami
kebenaran, sifat asasinya terdorong pula untuk melaksankan kebenaran itu. Sebaliknya
pengetahuan dan pemahaman tentang kebenran, tanpa melaksankan konflik kebenaran,
manusia akan mengalami pertentangan batin, konflik spilogis. Karena di dalam kehidupan
manusia sesuatu yang dilakukan harus diiringi akan kebenaran dalam jalan hidup yang
dijalaninya dan manusia juga tidak akan bosan untuk mencari kenyataan dalam hidupnya
yang dimana selalu ditunjukkan oleh kebanaran.
Kebenaran agama yang ditangkap dengan seluruh kepribadian, terutama oleh budi
nurani merupakan puncak kesadaran manusia. Hal ini bukan saja karena sumber kebnarna
itu bersal dari Tuhan Yang Maha Esa supernatural melainkan juga karena yang menerima
kebenaran ini adalah satu subyek dengna integritas kepribadian. Nilai kebenaran agama
menduduki status tertinggi karena wujud kebenaran ini ditangkap oleh integritas
kepribadian. Seluruh tingkat pengalaman, yakni pengalaman ilmiah, dan pengalaman
filosofis terhimpun pada puncak kesadaran religius yang dimana di dalam kebenaran ini
mengandung tujuan hidup manusia dan sangat berarti untuk dijalankan oleh manusia.

2.2 Teori-Teori Kebenaran Menurut Filsafat


Dalam studi Filsafat Ilmu, pandangan tentang suatu ‘kebenaran’ itu sangat
tergantung dari sudut pandang filosofis dan teoritis yang dijadikan pijakannya. Dalam
menguji suatu kebenaran diperlukan teori-teori ataupun metode-metode yang akan berfungsi
sebagai penunjuk jalan bagi jalannya pengujian tersebut. Berikut ini beberapa teori tentang
kebenaran dalam perspektif filsafat ilmu:
A. Teori Korespondensi (Bertand Russel 1872-1970)
Teori kebenaran korespondensi adalah teori yang berpandangan bahwa
pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi (berhubungan) terhadap fakta
yang ada. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika adakesesuaian antara arti yang
dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi (ungkapan atau keputusan)

4
adalah benar apabila terdapat suatu faktayang sesuai dan menyatakan apa adanya. Teori ini
sering diasosiasikan denganteori-teori empiris pengetahuan.
Ujian kebenaran yang di dasarkan atas teori korespondensi paling diterima secara
luas oleh kelompok realis. Menurut teori ini, kebenaran adalah kesetiaan kepadarealita
obyektif (fidelity to objective reality). Kebenaran adalah persesuaian antara pernyataan
tentang fakta dan fakta itu sendiri, atau antara pertimbangan (judgement) dan situasi yang
dijadikan pertimbangan itu, serta berusaha untuk melukiskannya, karena kebenaran
mempunyai hubungan erat dengan pernyataan atau pemberitaan yang kita lakukan tentang
sesuatu (Titus, 1987:237).
Jadi, secara sederhana dapat disimpulkan bahwa berdasarkan teori korespondensi
suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang dikandung pernyataan itu
berkorespondensi (berhubungan) dan sesuai dengan obyek yang dituju oleh pernyataan
tersebut (Suriasumantri, 1990:57). Misalnya jika seorang mahasiswa mengatakan “matahari
terbit dari timur” maka pernyataan itu adalah benar sebab pernyataan tersebut bersifat
faktual, atau sesuai dengan fakta yang ada bahwa matahari terbit dari timur dan tenggelam di
sebelah barat.
Menurut teori korespondensi, ada atau tidaknya keyakinan tidak mempunyai
hubungan langsung terhadap kebenaran atau kekeliruan. Jika sesuatu pertimbangan sesuai
dengan fakta, maka pertimbangan ini benar, jika tidak maka pertimbangan itu salah (Jujun,
1990:237). Teori ini menganggap. Teori kebenaran korespondensi adalah “teori kebenaran
yang menyatakan bahwa suatu pernyataan itu benar kalau isi pengetahuan yang terkandung
dalam pernyataan tersebut berkorespondensi (sesuai) dengan objek yang dirujuk oleh
pernyataan tersebut.
Teori kebenaran Korespondensi. Teori kebenaran korespondensi adalah teori
kebenaran yang paling awal (tua) yang berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles, teori ini
menganggap bawa “suatu pengetahuan mempunyai nilai benar apabila pengetahuan itu
mempunyai saling kesesuaian dengan kenyataan (realitas empirik) yang diketahuinya”,
Contoh, ilmu-ilmu pengetahuan alam.
Menurut teori ini, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian
(correspondence) antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan
objek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Dengan demikian kebenaran

5
epistimologis adalah kemanunggalan/keselarasan antara pengetahuan yang ada pada subjek
dengan apa yang ada pada objek, atau pernyataan yang sesuai dengan fakta, yang berselaras
dengan realitas, yang sesuai dengan situasi actual.
Teori korespondensi pada umumnya dianut oleh para pengikut realisme.diantara
pelopor teori ini adalah Plato, Aristoteles, Moore, Russel, Ramsey dan Tarski. Mengenai
teori korenspondensi tentang kebenaran, dapat disimpulkan sebagai berikut: "Kebenaran
adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan itu sendiri".
B. Teori Koherensi atau Konsistensi
Teori kebenaran Koherensi. Tokoh teori ini adalah Spinosa, Hegel dan Bradley.
Suatu pengetahuan dianggap benar menurut teori ini adalah “bila suatu proposisi itu
mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang terdahulu yang bernilai benar”.
Jadi, kebenaran dari pengetahuan itu dapat diuji melalui kejadian-kejadian sejarah, atau
melalui pembuktian logis atau matematis. Pada umumnya ilmu-ilmu kemanusiaan, ilmu
sosial, ilmu logika, menuntut kebenaran koherensi.
Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan
fakta atau realita, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri, dengan kata lain
kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru dengan putusan-putusan
lainnya yang telah kita ketahui dan kebenarannya terlebih dahulu. 
Teori ini menganggap bahwa“ "Suatu pernyataan dapat dikatakan benar apabila
pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya
yang di anggap benar". 
Misalnya bila kita menganggap bahwa pernyataan “semua hewan akan mati”
adalah suatu pernyataan yang benar, maka pernyataan “bahwa ayam adalah hewan, dan
ayam akan mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan
pernyataan yang pertama. Jadi menurut teori ini, “putusan yang satu dengan putusan yang
lainnya saling berhubungan dan saling menerangkan satu sama lain. Maka lahirlah rumusan
kebenaran adalah konsistensi, kecocokan.”
Teorik ebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria
koheren atau konsistensi. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada
pernyataan yang lain. Berdasarkan teori ini suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan
itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang

6
dianggap benar (Jujun, 1990:55). Artinya pertimbangan adalah benar jika pertimbangan itu
bersifat konsisten dengan pertimbangan lain yang telah diterima kebenarannya, yaitu yang
koheren menurut logika.
Suatu kebenaran tidak hanya terbentuk karena adanya koherensi atau kensistensi
antara pernyataan dan realitas saja, akan tetapi juga karena adanya pernyataan yang
konsisten dengan pernyataan sebelumnya. Dengan kata lain suatu proposisi dilahirkan untuk
menyikapi dan menanggapi proposisi sebelumnya secara konsisten serta adanya interkoneksi
dan tidak adanya kontradiksi antara keduanya. Misalnya, bila kita menganggap bahwa
“maksiat adalah perbuatan yang dilarang oleh Allah” adalah suatu pernyataan yang benar,
maka pernyataan bahwa “mencuri adalah perbuatan maksiat, maka mencuri dilarang oleh
Allah” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan pernyataan yang
pertama.
Kelompok idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley
dan Royce memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu makatiap-
tiap pertimbangan yang benar  dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus
menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut
(Titus,1987:239)
3. Teori Pragmatis (Charles S 1839-1914)
Teori pragmatik dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam sebuah
makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul “How to Make Ideals Clear”. Teori ini
kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang kebanyakan adalah berkebangsaan
Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli
filsafat ini di antaranya adalah William James(1842-1910), John Dewey (1859-1952),
George Hobart Mead (1863-1931) dan C.I.Lewis (Jujun, 1990:57).
Teori kebenaran Pragmatis. Tokohnya adalah William James dan John Dewey.
Suatu pengetahuan atau proposisi dianggap benar menurut teori ini adalah “bila proposisi itu
mempunyai konsekwensi-konsekwensi praktis (ada manfaat secara praktis) seperti yang
terdapat secara inheren dalam pernyataan itu sendiri”, maka menurut teori ini, tidak ada
kebenaran mutlak, universal, berdiri sendiri dan tetap. Kebenaran selalu berubah dan
tergantung serta dapat diroreksi oleh pengamalan berikutnya.

7
Jika seseorang menyatakan teori X dalam pendidikan, lalu dari teori itu
dikembangkan teori Y dalam meningkatkan kemampuan belajar, maka teori X dianggap
benar karena fungsional.
Pragmatism berasal dari bahasa Yunani Pragma, artinya yang dikerjakan, yang
dilakukan, perbuatan, dan tindakan. Menurut teori ini benar tidaknya suatu ucapan, dalil,
atau teori semata-mata bergantung pada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar jika
mendatangkan manfaat dan akan dikatakan salah jika tidak mendatangkan manfaat bagi
kehidupan manusia. Teori, hipotesa atau ide adalah benar apabila ia mambawa kepada akibat
yang memuaskan, apabila ia berlaku pada praktek, apabila ia mempunyai nilai praktis.
Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh hasilnya dan oleh akibat-akibat praktisnya. Jadi
kebenaran ialah apa saja yang berlaku.
Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide
dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu
dalil atau teori tergantung kepada peran fungsi dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk
kehidupannya dalam lingkup ruang dan waktu tertentu. Teori ini juga dikenal dengan teori
problem solving, artinya teori yang dengan itu dapat memecahkan segala aspek
permasalahan. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan
praktis.
Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku atau
memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang
diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis, batu ujian
kebenaran adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan (workability) dan akibat atau
pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequences). Teori ini tidak mengakui adanya
kebenaran yang tetap atau mutlak.
Francis Bacon pernah menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus mencari
keuntungan-keuntungan untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi. Ilmu pengetahuan
manusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan manusia. Dengan kata lain ilmu
pengetahuan manusia adalah kekuasaan manusia. Hal ini membawa jiwa bersifat eksploitatif
terhadap alam karena tujuan ilmu adalah mencari manfaat sebesar mungkin bagi manusia.

8
D. Teori Performatif
Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh
pemegang otoritas tertentu. Contohnya mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim di
Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang
lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu.Masyarakat menganggap hal
yang benar adalah apa-apa yang diputuskan oleh pemegang otoritas tertentu walaupun tak
jarang keputusan tersebut bertentangan dengan bukti-bukti empiris.
Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran
performatif. Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama,
pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat
membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang
stabil dan sebagainya.
Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis
dan rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari
pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada
adat, kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar
keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari kebenaran.
E. Teori Konsensus
Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau
perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma
tersebut. Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma.
Sebagai komitmen kelompok, paradigma merupakan nilai-nilai bersama yang bisa menjadi
determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok
menerapkannya dengan cara yang sama.
Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-
nilai bersamayang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Paradigma
berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak tertulis. Adanya
perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan relatif suatu paradigma dalam
memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa mendatang dapat menjadi
pedoman riset untuk memecahkan berbagai masalah secara tuntas. 

9
F. Teori Kebenaran Sintaksis
Teori ini berkembang diantara para filsuf analisa bahasa, seperti Friederich
Schleiermacher. Menurut teori ini, ‘suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu
mengikuti aturan sintaksis (gramatika) yang baku’.
G. Teori Kebenaran Semantis
Menurut teori kebenaran semantik, suatu proposisi memiliki nilai benar ditinjau
dari segi arti atau makna. Apakah proposisi itu pangkal tumpuannya pengacu (referent) yang
jelas? Jadi, memiliki arti maksudnya menunjuk pada referensi atau kenyataan, juga memiliki
arti yang bersifat definitif.
H. Teori Kebenaran Non-Deskripsi
Teori Kebenaran Non-Deskripsi. Teori ini dikembangkan oleh penganut filsafat
fungsionalisme. Jadi, menurut teori ini suatu statemen atau pernyataan itu akan mempunyai
nilai benar ditentukan (tergantung) peran dan fungsi pernyataan itu (mempunyai fungsi yang
amat praktis dalam kehidupan sehari-hari).
I. Teori Kebenaran Logik
Teori ini dikembangkan oleh kaum positivistik. Menurut teori ini, bahwa
problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya
merupakan suatu pemborosan, karena pada dasarnya apa— pernyataan—yang hendak
dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logik yang sama yang masing-masing saling
melingkupinya.
J. Agama sebagai Teori Kebenaran
Manusia adalah makhluk pencari kebenaran, salah satu cara untuk menemukan
suatu kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan
jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik tentang alam,
manusia maupun tentang tuhan. Kalau ketiga teori kebenaran sebelumnya lebih
mengedepankan akal, budi, rasio, dan reason manusia, maka dalam teori ini lebih
mengedepankan wahyu yang bersumber dari Tuhan.
Penalaran dalam mencapai ilmu pengetahuan yang benar dengan berfikir setelah
melakukan penyelidikan dan pengalaman. Sedangkan manusia mencari dan menentukan
kebenaran sesuatu dalam agama dengan jalan mempertanyakan atau mencari jawaban

10
tentang masalah asasi dari atau kepada kitab suci, dengan demikian suatu hal itu dianggap
benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu kebenaran mutlak.

2.3 Empat Jenis Kebenaran Menurut Pranaka, Julianne Ford dalam Lincoln & Guba (1985)
Berbeda dengan Pranaka, Julianne Ford dalam Lincoln & Guba (1985)
mengemukakan ada 4 jenis kebenaran yang berbeda, yaitu kebenaran empiris, kebenaran
logis, kebenaran etis, kebenaran metafisis. Keempat kebenaran tersebut dapat dijelaskan
sebagai berikut :
1. Kebenaran empiris yaitu kebenaran yang sudah biasa digunakan oleh para ilmuan yang
dirumuskan dalam bentuk hipotesis untuk menerima atau menolak sesuatu sebagai
kebenaran.
2. Kebenaran logis yaitu kebenaran yang masuk akal yang dapat diterima oleh orang banyak,
dimana kebenaran tersebut merupakan pernyataan hipotesis yang secara logis atau
matematis sejalan dengan pernyataan lain yang telah diketahui sebagai sesuatu kebenaran.
3. Kebenaran etis adalah kebenaran yang dapat diukur dengan standar nilai atau moral
tertentu. Jadi, seseorang dianggap etis jika yang menyatakan kebenaran tersebut berbuat
sesuai dengan ukuran pelaksanaan yang bersifat moral atau profesional.
4. Kebenaran metafisis yang merupakan kebenaran yang sesuai dengan kepercayaan dasar.
Kebenaran ini merupakan kepercayaan yang harus diterima sebagaimana ada. Kebenaran ini
tidak dapat dibuktikan dengan ketidakbenaran, karena kebenaran ini menghadirkan batas
akhir yang berbeda dengan segala yang teruji.

11
BAB III
KESIMPULAN

Bahwa kebanran itu sangat ditentukan oleh potensi subyek kemudian pula tingkatan
validitas. Kebanran ditentukan oleh potensi subyek yang berperanan di dalam penghayatan atas
sesuatu itu.
Bahwa kebenaran itu adalah perwujudan dari pemahaman (comprehension) subjek
tentang sesuatu terutama yang bersumber dari sesuatu yang diluar subyek itu realita, perisitwa,
nilai-nilai (norma dan hukum) yang bersifat umum.
Bahwa kebenaran itu ada yang relatif terbatas, ada pula yang umum. Bahkan ada pula
yang mutlak, abadi dan universal. Wujud kebenaran itu ada yang berupa penghayatan lahiriah,
jasmaniah, indera, ada yang berupa ide-ide yang merupkan pemahaman potensi subjek (mental,r
asio, intelektual).
Bahwa substansi kebenaran adalah di dalam antaraksi kepribadian manusia dengan alam
semesta. Tingkat wujud kebenaran ditentukan oleh potensi subjek yang menjangkaunya. Semua
teori kebanrna itu ada dan dipraktekkan manusia di dalam kehidupan nyata. Yang mana masing-
masing mempunyai nilai di dalam kehidupan manusia.

12
DAFTAR PUSTAKA

Syam, Muhammad Noor. 1988. Filsafat Kependidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan Pancasila.
Surabaya: Usaha Nasional
Bertens, K. 1976. Ringkasan Sejarah Filsafat. Jakarta: Yayasan Krisius
Sumantri Surya. 1994. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan
Susanto, A, 2011. Filsafat Ilmu: Suatu Kajian dalam Dimensi Ontologis, Epistemologis, dan
Aksiologis. Jakarta:PT Bumi Aksara.

13

Anda mungkin juga menyukai