Anda di halaman 1dari 19

TUGAS 1

KRETERIA KEBENARAN

Oleh:
Siti Quinesti Murhany (1625011016)
Sekar Dwi Rizki (1625011021)
Aditia Reshi Dista (1725011001)
Devie Arisandy Sumantri (1725011002)

Magister Teknik Sipil

Mata Kuliah : Filsafat Ilmu


Dosen : Dr. Dyah Indriana Kusumastuti, M.Sc

JURUSAN MAGISTER TEKNIK SIPIL


FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS LAMPUNG
BANDAR LAMPUNG
I. PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Pada dasarnya manusia memiliki keinginan untuk memperoleh pengetahuan


mengenai sesuatu obyek secara benar. Dalam memperoleh kebenaran tersebut
diperlukan beberapa metode atau jalan maupun alat. Ilmu berasal dari bahasa arab
Ilm yang berarti memahami, mengerti atau mengetahui. Menurut Kamus Besar
Bahasa Indonesia (KBBI, 2017) Ilmu merupakan pengetahuan tentang suatu bidang
yang disusun secara bersistem menurut metode tertentu, yang dapat digunakan untuk
menerangkan gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.

Menurut Notoatmojo (2005) perbedaan ilmu pengetahuan harus didasarkan


pembuktian pengetahuan yang berasal pengalaman empiris (fakta), dan dibatasi oleh
fenomena (gejala/kejadian/keadaan pada suatu saat tertentu) tehadap suatu obyek
yang menyentuh indera dan telah diolah dan diputuskan berdasarkan akal budi (rasio)
subyek. Fakta-fakta pendukung inilah yang kemudian harus didapatkan sehingga
pengetahuan tersebut dapat digolongkan sebagai ilmu.

Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya dengan ilmu
pengetahuan, filsafat ini membahas tentang apa yang bisa dikategorikan sebagai
objek ilmu pengetahuan. Kuantifikasi objek ilmu pengetahuan berari bahwa aspek-
aspek alam yang bersifat kualitatif menjadi diabaikan. Epistemologis membahas
masalah metodologi ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern, jalan bagi
diperolehnya ilmu pengetahuan adalah metode ilmiah dengan pilar utamanya
rasionalisme dan empirisme. Aksiologi menyangkut tujuan diciptakannya ilmu
pengetahuan.

Dalam mendapatkan pengalaman empiris (fakta) diperlukan beberapa metode atau


alat sebagai bukti bahwa pengetahuan tersebut dapat dipertanggungjawabkan.
Bahkan beberapa pendapat mengatakan bahwa ilmu merupakan pengetahuan yang
sudah dikaji secara ilmiah. Dalam melakukan kajian ilmiah diperlukan metode ilmiah
sebagai langkah-langkah, hukum atau aturan dalam mencari kebenaran ilmu
pengetahuan yaitu perumusan masalah, pengajuan hipotesis, proses deduksi
hipotesis, pembuktian hipotesis dan penerimaan hasil penelitian menjadi ilmu atau
teori ilmiah baru yang bersifat konstruktif bagi kesejahteraan manusia karena bernilai
pragmatis nilai manfaat, etis, aman, efesien, efektif dan nilai lainnya (Winata, 2014).

Menurut para ahli filsafat, kebenaran bertingkat-tingkat bahkan tingkatan tersebut


bersifat hirarkhis. Kebenaran yang satu di bawah kebenaran yang lain serta tingkatan
kualitasnya ada kebenaran relatif, ada kebenaran mutlak (absolut). Ada kebenaran
alami dan ada pula kebenaran illahi, ada kebenaran khusus individual, ada pula
kebenaran umum universal.

Berfikir merupakan aktifitas manusia dalam memperoleh kebenaran. Dalam


menemuka kebenaran sebagai dasar dari pembuktian pengalaman empiris (fakta)
diperlukan kebenaran yang masuk ke dalam kriteria kebenaran. Pendekatan kriteria
kebenaran tersebut seperti koherensi, koresponden dan pragmatis.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Dalam makalah ini beberapa masalah yang akan dibahas antara lain:
1. Apa pengertian kebenaran
2. Teori-teori kebenaran ilmu
3. Tingkat kebenaran ilmu

1.3 TUJUAN

Tujuan dalam pembuatan makalah ini adalah:


1. Mahasiswa dapat mempelajari dan memahami kriteria kebenaran ilmu
pengetahuan.
2. Mahasiswa dapat mengetahui menjelaskan teori-teori kebenaran ilmu
pengetahuan Koresponden, Koheran dan pragmatis.
II. PEMBAHASAN

2.1 PENGERTIAN KEBENARAN

Kata kebenaran berasal dari kata benar yang memperoleh awalan ke- dan
akhiran an yang berarti cocok dengan keadaan sesungguhnya, tidak bohong atau
sah. Kata kebenaran sendiri berarti keadaan (hal tersebut) yang benar (cocok dengan
atau keadaaan yang sesungguhnya).

Menurut Al-Hifni (1999) dalam (Atabik, 2014) mengatakan Epistemologi sebagai


cabang ilmu filsafat mempelajari batas-batas pengetahuan dan asal-usul pengetahuan
serta kriteria kebenaran. Kata epistemology berasal dari bahasa Yunani yang terdiri
dari dua kata yaitu episteme (pengetahuan) dan logos (ilmu, pikiran, percakapan).
Sehingga epistemology dapat diartikan sebagai ilmu, percakapan tentang
pengetahuan atau ilmu pengetahuan. Pokok persoalan dari kajian epistemology
adalah sumber, asal mula, dan sifat dasara pengetahuan: bidang, batas jangkauan
pengetahuan. Dalam diskursus filsafat, epistemology merupakan cabang dari filsafat
yang membahas asal-usul, struktur, metode-metode dan kebenaran pengetahauan
(Atabik, 2014).

Kebenaran inteluktual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu
dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran memang merupakan cri asli dari ilmu
itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak berwarna,
dapat melunturkan pengertian kebenaran, sehingga ilmu terpaksa menjadi steril.
Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh
kesadaran terhadap berakarnya kebenaran (Syaroni, 2014).

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2017) kebenaran dijabarkan dalam
5 pengertian yaitu:
1. keadaan yang cocok dengan keadaan (hal) yang sesungguhnya,
2. sesuatu yang sungguh-sungguh (benar-benar) ada,
3. Kelurusan hati, kejujuran,
4. Izin persetujuan, perkenan,
5. Kebetulan.

2.2 TEORI KEBENARAN ILMU

Menurut Hamami (2003) dalam Atabik (2014) kata kebenaran bisa digunakan
sebagai suatu kata benda yang konkrit maupun abstrak. Jika subyek hendak
menuturkan kebenaran artinya adalah proposisi yang benar. Proposisi maksudnya
adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement. Kebenaran
dapat diartikan sebagai pengetahuan subyek terhadap obyek. Pengetahuan berasal
dari beberapa sumber. Sumber-sumber tersebut dapat berfungsi sebagai tolak ukur
kebenaran.

Setiap pengalaman/percobaan baru untuk meningkatkan pengetahuan sama dengan


menghapuskan kesalahan dan menjadi kebenaran objektif, bahkan dikatakan
bahwa kebenaran lebih seperti dibuat dibandingkan ditemukan (Rorty, 1989 dalam
Diaconu, 2013). Tetapi dibandingkan dengan menerima ide tersebut Dianconu
(2013) lebih memilih untuk memastikan kebenaran itu benar adanya, dimana tidak
bersifat subyektif dari pengaruh apapun. Sejalan dengan apa yang disampaikan
Diaconu bahwa sebaiknya ilmu diperoleh dari kebenaran yang hakiki bukan dari
manipulasi subyektif.

Secara terminology, kebenaran mempunyai arti yang bermacam-macam, seperti


halnya arti etimologi. Pengertian kebenaran secara terminology berkembang dalam
sejarah filsafat. Dalam aliran filsafat masing-masing aliran mempunyai pandangan
yang berbeda tentang kebenaran, hal ini tergantung dari sudut mana mereka
memandang. Secara garis besarnya paham-paham tersebut antara lain:
1. Paham idealisme, memberikan pengertian bahwa kebenaran adalah merupakan
soal yang hanya mengenai seseorang yang bersangutan. Kebenaran itu hanya ide,
materi itu hanya ide, hanya dalam tanggapan. Demikian dikatakan Goerge
Berkeley (1685-1757).
2. Paham realisme, berpendapat bahwa kebenaran adalah kesesuaiaan antara
pengetahuan dan kentaan. Karena pengetahuan adalah gambaran yang
sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata, gambaran yang ada dalam akal
adalah salinan dari yang asli yang terdapat di luar akal. Aliran ini dipelopori oleh
Herbert Spencer (1820-1903).
3. Kaum pragmatis, memberikan definisi kebenaran sebagai sesuatu proporsi itu
berlaku atau memuaskan. Peletak dasar paham ini adalah C.S.Peiree (1839-1914)
William James menambahkannya behwa kebenaran harus merupakan nilai dari
suatu ide.
4. Faham penomenologi, berpendapat bahwa kebenaran itu adalah kesesuaian
antara pengetahuan dengan wujud atau akibat yang menggejala sebagai sifat
nyata yang merupakan norma kebenaran. Mereka menganggap bahwa fenomena
itu adalah data dalam kesadaran dan inilah yang harus diselidiki, supaya
hakikatnya ditemukan dan tertangkap oleh kita.

2.2.1 KORESPONDEN

Kebenaran korespondesi adalah kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti
benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat
dengan objek yang dituju/dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut.
Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselarasan dengan
realitas yang serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu
yaitu :
1. Statemaent (pernyataan)
2. Persesuaian (agreemant)
3. Situasi (situation)
4. Kenyataan (realitas)
5. Putusan (judgements)

Teori kebenaran korespondensi, Correspondence Theory of Truth yang kadang


disebut dengan accordance theory of truth, adalah teori yang berpandangan bahwa
pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau
pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran
atau keadaan benar itu apabila ada kesuaian (correspondence) antara arti yang
dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat dengan objek yang dituju oleh
pernyataan atau pendapat tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar
jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta.
Suatu proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan
menyatakan apa adanya.

Kattsoff (1992) menyatakan bahwa paham yang mengatakan suatu pernyataan itu
benar, jika makna yang dikandungnya sungguhsungguh merupakannya hal yang
dinamakan paham korespondensi. Kebenaran atau keadaan benar berupa
kesesuaian (korespondensi) antara makna yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan
dengan apa yang merupakan sungguh-sungguh halnya atau apa yang merupakan
fakta-faktanya.

Contohnya: ada seseorang yang mengatakan bahwa Provinsi Lampung itu berada di
Pulau Sumatera. Pernyataan itu benar karena sesuai dengan kenyataan atau realita
yang ada. Tidak mungkin Provinsi Lampung di Pulau Kalimantan atau bahkan
Papua.

Teori korespondensi ini pada umumnya dianut oleh para pengikut realisme. Di
antara pelopor teori ini adalah Plato, Aristoteles, Moore, dan Ramsey. Teori ini
banyak dikembangkan oleh Bertrand Russell (1972-1970). Teori ini sering
diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan. Teori kebenaran
korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan
ke dalam teori kebenaran tradisional karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad
Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan atau
realitas yang diketahuinya.

Teori korespondensi dijadikan dasar dalam pengembangan ilmu-ilmu empiris.


Ilmu-ilmu empiris memperoleh bahan-bahannya melalui pengalaman. Tetapi
pengalaman atau empiria ilmiah sesungguhnya lebih dari sekadar pengalaman
sehari-hari serta hasil tangkapan indera, cara ilmiah untuk menangkap sesuatu harus
dipelajari terlebih dahulu dan untuk sebagian besar tergantung pada pendidikan
ilmiah yang harus ditempuh oleh peneliti (Beerling at al, 1996).

Kebenaran adalah fidelity to objektive reality (kesesuaian pikiran dengan kenyataan).


Teori ini dianut oleh aliran realis. Pelopornya Plato, Aristotels dan Moore
dikembangkan lebih lanjut oleh Ibnu Sina, Thomas Aquinas di abad skolatik, serta
oleh Berrand Russel pada abad moderen.

Kesimpulan dari teori korespondensi adalah adanya dua realitas yang berada
dihadapan manusia, pernyataan dan kenyataan. Menurut teori ini, kebenaran adalah
kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu sendiri.
Misal, Semarang ibu kota Jawa Tengah. Pernyataan ini disebut benar apabila pada
kenyataannya Semarang memang ibukota propinsi Jawa Tengah. Kebenarannya
terletak pada pernyataan dan kenyataan.

Signifikansi teori ini terutama apabila diaplikasikan pada dunia sains dengan tujuan
dapat mencapai suatu kebenaran yang dapat diterima oleh semua orang. Seorang
ilmuan akan selalu berusaha meneliti kebenaran yang melekat pada sesuatu secara
sungguh-sungguh, sehingga apa yang dilihatnya itu benar-benar nyata terjadi.
Sebagai contoh, gunung dapat berjalan. Untuk membuktikan kebenaran
pernyataan ini harus diteliti dengan keilmuan yang lain yaitu ilmu tentang gunung
(geologi), ternyata gunung mempunyai kaki (lempeng bumi) yang bisa bergerak
sehingga menimbulkan gempa bumi dan tsunami. Dengan demikian sebuah
pertanyaan tidak hanya diyakini kebenarannya, tetapi harus diragukan dahulu
untuk diteliti, sehingga mendapatkan suatu kebenaran hakiki.

2.2.2 KOHERAN

Teori koherensi biasa disebut dengan teori konsistensi. Hal ini dikarenakan teori ini
di dasarkan pada kriteria konsistensi pada suatu argumentasi. Semakin konsisten
suatu ide atau pernyataan yang dikemukakan, maka semakin benarlah ide atau
pernyataan tersebut. Paham koherensi tentang kebenaran biasanya dianut oleh para
pendukung idealisme, seperti filusuf Britania F. H. Bradley (1846-1924).

Teori ini menyatakan bahwa suatu proposisi (pernyataan suatu pengetahuan,


pendapat kejadian, atau informasi) akan diakui sahih atau dianggap benar apabila
memiliki hubungan dengan gagasan-gagasan dari proporsi sebelumnya yang juga
sahih dan dapat dibuktikan secara logis sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan logika.
Sederhannya, pernyataan itu dianggap benar jika sesuai (koheren/konsisten) dengan
pernyataan sebelumnya yang dianggap benar.

Teori kebenaran koherensi atau konsistensi adalah teori kebenaran yang


didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut
benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang
berhubungan secara logis. Dalam teori ini, kebenaran tidak dibentuk atas hubungan
antara putusan dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta dan realitas, tetapi atas
hubungan antara putusan- putusan itu sendiri. Menurut teori koherensi, suatu
pernyataan dianggap benar bila pernyataan itu bersifat koheren atau konsisten
dengan pernyataan- pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Bila pernyataan
semua logam bila kena panas memuai adalah suatu pernyataan yang benar, maka
pernyataan bahwa besi merupakan logam, sehingga bila besi kena panas memuai
adalah pernyataan yang benar.

Teori ini berpendapat bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan
dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima
dan diakui sebagai benar. Suatu proposisi benar jika proposisi itu berhubungan
(koheren) dengan proposisi-proposisi lain yang benar atau pernyataan tersebut
bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang
dianggap benar.

Teori koherensi menjadi dasar dalam pengembangan ilmu deduktif atau matematik.
Nama ilmu deduktif deberikan karena dalam menyelesaikan suatu masalah atau
membuktikan suatu kebenaran tidak didasarkan pada pengalaman atau hal-hal yang
bersifat faktual, melainkan didasarkan atas deduksi-deduksi atau penjabaran-
penjabaran (Kuntjojo, 2009).

Suatu proposisi itu cenderung benar jika proposisi itu coherent (saling berhubungan)
dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika arti yang dikandung oleh
proposisi coherent dengan pengalaman kita. Menurut Bakhtiar (2012) memberikan
standarisasi kepastian kebenaran dengan sekurang-kurangnya memiliki empat
pengertian, dimana satu keyakinan tidak dapat diragukan kebenarannya sehingga
disebut pengetahuan, yaitu:
1. Pengertian yang bersifat psikologis.
2. Pengertian yang bersifat logis.
3. Menyamakan kepastian dengan keyakinan yang tidak dapat dikoreksi.
4. Pengertian akan kepastian yang digunakan dalam pembicaraan umum, di
mana hal itu di artikan sebagai kepastian yang didasarkan pada nalar yang
tidak dapat diragukan lagi.

Matematika adalah bentuk pengetahuan yang penyusunannya dilakukan dengan


pembuktian berdasarkan teori koherensi. Plato (427-347 SM) dan Aristoteles
(384-322) telah mengembangkan teori koherensi berdasarkan pola pemikiran yang
digunakan Euclid dalam menyusun ilmu ukurnya (Jujun .S., 2005 : 57). Teori
koherensi menjadi dasar dalam pengembangan ilmu deduktif atau matematik.
Nama ilmu deduktif diberikan karena dalam menyelesaikan suatu masalah atau
membuktikan suatu kebenaran tidak didasarkan pada pengalaman atau hal-hal yang
bersifat faktual, melainkan didasarkan atas deduksi-deduksi atau penjabaran-
penjabaran.

Apa yang harus dipenuhi agar ciri-ciri deduksi dapat diketahui dengan tepat,
merupakan masalah pokok yang dihadapi filsafat ilmu. Pendirian yang banyak
dianut sampai saat ini adalah : deduksi merupakan penalaran yang sesuai dengan
hukum-hukum serta-serta aturan logika formal, dalam hal ini orang menganggap
bahwa tidaklah mungkin titik tolak-titik tolak yang benar menghasilkan kesimpulan-
kesimpulan yang tidak benar (Beerling at al, 1996).
Kalau ditimbang dan dibandingkan dengan teori korespondensi, teori koherensi,
pada kenyataannya kurang diterima secara luas. Teori ini punya banyak kelemahan
dan mulai ditinggalkan. Misalnya, astrologi mempunyai sistem yang sangat
koheren, tetapi kurang menganggap astrologi benar. Kebenaran tidak hanya
terbentuk oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga hubungan
antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu pernyataan adalah
benar apabila konsisten dengan pernyataan-pernyataan yang terlebih dahulu kita
terima dan kita ketahui kebenarannya.

Salah satu kesulitan dan sekaligus keberatan atas teori ini adalah bahwa karena
kebenaran suatu pernyataan didasarkan pada kaitan atau kesesuaiannya dengan
pernyataan lain, timbul pertanyaan bagaimana dengan kebenaran pernyataan tadi?
Jawabannya, kebenarannya ditentukan berdasarkan fakta apakah pernyataan tersebut
sesuai dan sejalan dengan pernyataan yang lain. Hal ini akan berlangsung terus
sehingga akan terjadi gerak mundur tanpa henti (infinite regress) atau akan terjadi
gerak putar tanpa henti.

Karena itu, kendati tidak bisa dibantah bahwa teori kebenaran sebagai keteguhan ini
penting, dalam kenyataan perlu digabungkan dengan teori kebenaran sebagai
kesesuaian dengan realitas. Dalam situasi tertentu kita tidak selalu perlu mengecek
apakah suatu pernyataan adalah benar, dengan merujuknya pada realitas. Kelompok
idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan Royce
memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu maka tiap-tiap
pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus
menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut.
Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi
faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan
tertentu.
2.2.3 PRAGMATIS

Artinya, suatu pernyataan itu benar jika pernyataan itu atau konsekuensi dari
pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Teori
pragmatis ini pertama kali dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam
sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul "How to Make Our Ideas
Clear". Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang
kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering
dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di antaranya adalah William
James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931)
dan C.I. Lewis.

Pramagtisme berasal dari bahawa Yunani pragmai, artinya yang dikerjakan,


yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan bagi filsafat yang dikembangkan
oleh William James di Amerika Serikat. Teori kebenaran pragmatis adalah teori
yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi
ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada
berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya.
Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis.

Dari pengertian diatas, teori ini (teori Pragmatik) berbeda dengan teori koherensi dan
korespondensi. Jika keduanya berhubungan dengan realita objektif, sedangkan
pragmamtik berusaha menguji kebenaran suatu pernyataan dengan cara menguji
melalui konsekuensi praktik dan pelaksanaannya.

Menurut Teori ini, suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis. Pernyataan bahwa motivasi merupakan faktor
yang sangat penting untuk meningkatkan prestasi belajar anak dapat dianggap benar
bila pernyataan tersebut mempunyai kegunaan praktis, yaitu bahwa prestasi belajar
anak dapat ditingkatkan melalui pengembangan motivasi belajarnya. Teori
pragmatisme dijadikan dasar dalam pengembangan ilmu terapan (Kuntjojo, 2009).
Teori pragmatis berdasarkan logika pengamatan. Teori ini bersedia menerima
pengalaman pribadi, kebenaran mistis, yang terpenting dari semua itu membawa
akibat praktis yang bermanfaat. Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan
dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu.

Oleh karena teori-teori kebenaran (koresponden, koherensi, dan pragmatisme) itu


lebih bersifat saling menyempurnakan daripada saling bertentangan, maka teori
tersebut dapat digabungkan dalam suatu definisi tentang kebenaran. kebenaran
adalah persesuaian yang setia dari pertimbangan dan ide kita kepada fakta
pengalaman atau kepada alam seperti adanya. Akan tetapi karena kita dengan situasi
yang sebenarnya, maka dapat diujilah pertimbangan tersebut dengan konsistensinnya
dengan pertimbangan-pertimbangan lain yang kita anggap sah dan benar, atau kita
uji dengan faidahnya dan akibat-akibatnya yang praktis.

Pragmatism merupakan aliran filsafat yang lahir di Amerika serikat akhir abad ke-19,
yang menekankan pentingnya akal budi (rasio) sebagai sarana pemecahan masalah
(problem solving) dalam kehidupan manusia baik masalah yang bersifat teoritis
maupun praktis. Tokoh pragmatism awal adalah Charles Sander Pierce (1834-1914)
yang dikenal juga sebagai tokoh semiotic, William James (1842-1910) dan John
Dewey (1859-1952).

Menimbang teori pragmatisme dengan teori-teori kebenaran sebelumya,


pragmatisme memang benar untuk menegaskan karakter praktis dari kebenaran,
pengetahuan, dan kapasitas kognitif manusia. Tapi bukan berarti teori ini merupakan
teori yang terbaik dari keseluruhan teori. Kriteria pragmatisme juga diergunakan
oleh ilmuan dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu.
Secara historis pernyataan ilmiah yang sekarang dianggap benar suatu waktu
mungkin tidak lagi demikian. Dihadapkan dengan masalah seperti ini maka ilmuan
bersifat pragmatis selama pernyataan itu fungsional dan mempunyai kegunaan
maka pernyataan itu dianggap benar, sekiranya pernyataan itu tidak lagi bersifat
demikian, disebabkan perkembangan ilmu itu sendiri yang menghasilkan
pernyataan baru, maka pernyataan itu ditinggalkan, demikian seterusnya.
2.2.4 PERFORMATIF

Teori ini berasal dari John Langshaw Austin (1911-1960) dan dianut oleh filsuf lain
seperti Frank Ramsey, dan Peter Strawson. Filsuf-filsuf ini mau menentang teori
klasik bahwa benar dan salah adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu
(deskriptif). Proposisi yang benar berarti proposisi itu menyatakan sesuatu yang
memang dianggap benar. Demikian sebaliknya. Namun inilah yang malah membuat
teori ini ditolak oleh para filsuf.

Teori performatif menjelaskan, suatu pernyataan dianggap benar jika ia menciptakan


realitas. Jadi pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan
realitas, tetapi malah dengan pernyataan itu tercipta realitas sebagaimana
yang diungkapkan dalam pernyataan itu. Teori ini disebut juga tindak bahasa
mengaitkan kebenaran satu tindakan yang dihubungkan dengan satu pernyataan.
Misalnya, Dengan ini saya mengangkat anda sebagai manager perusahaan
Species S3. Dengan pernyataan itu tercipta sebuah realitas baru yaitu anda
sebagai manager perusahaan Species S3, tentunya setelah SKnya turun. Di sini
ada perbuatan yang dilakukan bersamaan dengan pengucapan kata-kata itu.
Dengan pernyataan itu suatu penampilan atau perbuatan (performance) dilakukan.

2.2.5 PROPOSISI

Menurut teori ini, suatu pernyataan disebut benar apabila sesuai dengan persyaratan
materialnya suatu proposisi, bukan pada syarat formal proposisi. Dalam sumber lain,
ada juga yang menambahkan dengan bentuk kebenaran lain yang disebut dengan
kebenaran sintaksis. Kebenaran sintastik atau gramatika yang dipakai oleh suatu
pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya. Dalam paham kebenaran sintaksis ini
suatu pernyataan di anggap benar apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau
keluar dari hal yang di persyaratkan maka proposisi tersebut tidak memiliki arti.
Jadi kebenaran sebagaimana di kemukakan di atas, memiliki makna yang beragam
dan kompleks, sehingga dalam memaknai kebenaran ini akan sangat bergantung pada
situasi dan kondisi yang melatarinya, pengalaman, kemampuan, dan usia
mempengaruhi kepemilikan epistemo tentang kebenaran.
Proposisi merupakan kalimat logika yang mana pernyataan tentang hubungan antara
dua atau beberapa hal yang dapat dinilai benar atau salah. Ada yang mengartikan
proposisi sebagai ekspresi verbal dari putusan yang berisi pengakuan atau
penginkaran sesuatu (predikat) terhadap sesuatu yang lain (subjek) yang dapat dinilai
benar atau salah. Unsur-unsur proposisi:
1. Term subjek; hal yang tentangnya pengakuan atau pengingkaran ditujukan. Term
subjek dalam sebuah proposisi disebut subjek logis. Ada perbedaan antara subjek
logis dengan subjek dalam sebuah kalimat. Tentang subjek logis harus ada
penegasan/ pengingkaran sesuatu tentangnya.
2. Term predikat; isi pengakuan atau pengingkaran.
3. Kopula; menghubungkan term subjek dan term predikat,

Terdapat beberapa jenis proposisi, yakni:


1. Proposisi Berdasarkan Bentuknya. Proposisi tunggal, merupakan proposisi yang
terdiri atas satu subjek dan satu predikat. Misalnya, saya makan; Andi bermain.
Proposisi majemuk, merupakan proposisi yang terdiri atas satu subjek dan lebih
dari satu predikat.
2. Proposisi Berdasarkan Sifatnya. Proposisi Kategorial, proposisi yang hubungan
subjek dan predikatnya tidak memerlukan syarat apapun. Misalnya, semua orang
akan mati; semua hewan membutuhkan makan. Proposisi Kondisional, proposisi
yang pada hubungan subjek dan predikatnya memerlukan syarat tertentu.
Misalnya, jika hari mendung maka akan turun hujan; jika Dina bangun kesiangan
maka akan terlambat masuk ke sekolah. Dalam proposisi kondisonal terbagi
menjadi dua macam, yakni: proposisi kondisional hipotesis dan proposisi
kondisional disjungtif atau mempunyai 2 pilihan alternatif.
3. Proposisi Berdasarkan Kualitasnya. Proposisi Positif, atau Afirmatif, merupakan
proposisi yang predikatnya membenarkan subjek. Misal, semua profesor adalah
orang pintar. Proposisi Negatif, merupakan proposisi yang predikatnya tidak
mendukung/ membenarkan subjek.
4. Proposisi Berdasarkan Kuantitasnya. Proposisi Umum (universal), adalah
proposisi dimana predikat mendukung atau mengingkari semua subjek. Misalnya,
semua mahasiswa harus mengerjakan tugas dari dosen. Proposisi Khusus
(partikular), adalah proposisi dimana pernyataan khusus mengiyakan yang
sebagian subjek merupakan bagian dari predikat. Misalnya, sebagian murid di SD
adalah anak orang kaya.

Menurut Selltiz, et al., dalam Nazir (1988) dalam buku Metode Penelitian,
mengatakan bahwa proposisi yagn sudah mempunyai jangkauan cukup luas dan telah
didukung oleh data empiris dinamakan dalil (scientific law). Dengan perkataan lain,
dalil adalah singkatan dari suatu pengetahuan tentang hubungan sifat-sifat tertentu,
yang bentuknya lebih umum jika dibandingkan dengan penemuan-penemuan empiris
pada mana dalil tersebut didasarkan.

2.3 TINGKAT KEBENARAN

Dalam kehidupan manusia, kebenaran mimiliki peran sebagai fungsi rohaniah.


Manusia di dalam kepribadian dan kesadarannya tak mungkin tanpa kebenaran.
Berdasarkan scope potensi subjek, susunan tingkatan kebenaran itu menjadi :
a. Tingkatan kebenaran indera adalah tingakatan yang paling sederhanan dan
pertama yang dialami manusia.
b. Tingkatan ilmiah, pengalaman-pengalaman yang didasarkan disamping melalui
indera, diolah pula dengan rasio.
c. Tingkatan filosofis,rasio dan pikir murni, renungan yang mendalam mengolah
kebenaran itu semakin tinggi nilainya.
d. Tingkatan religius, kebenaran mutlak yang bersumber dari Tuhan yang Maha Esa
dan dihayati oleh kepribadian dengan integritas dengan iman dan kepercayaan.

Sudah menjadi sifatnya apabila manusia selalu mencari kebenaran dan apabila
manusia mengerti, memahami dan maka dia akan terdorong untuk melaksanakan
kebenaran itu. Sebaliknya apabila pemahan akan kebenaran tersebut sudah diketahui
namum pelaksanaanya tidak sesuai maka akan terjadi konflik batin.
Dalam menemukan pengetahuan yang benar diperlukan proses berfikir, karena apa
yang dilakukan, dipikirkan dan dipahami oleh setiap manusia tidak sama. Dapat
dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai criteria
kebenaran dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses penemuan
kebenaran tersebut. Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran dimana
tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenaran masing-masing. Sebagai
suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu:
1. Bepikir secara luas dapat pula disebut logika. Dalam hal ini, tiap bentuk
penalaran mempunyai logikanya sendiri. Dengan kata lain, bahwa kegiatan
penalaran merupakan suatu proses berpikir logis yang diartikan sebagai suatu
pola logika tertentu.
2. Analitik, penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri
kepada suatu analisis dan kerangka berpikir yang logis dan ilmiah.
3. Non analitik, cara berpikir ini tidak rnenyandarkan pada suatu pola pikir tertentu.
4. Dogmatis, ini adalah manifestasi dari keyakinan terhadap suatu agama dan
diyakini kebenarannya.
IV. PENUTUP

4.1 KESIMPULAN

Kesimpulan yang dapat diambil dalam penulisan makalah ini adalah:


1. Kebenaran merupakan hak manusia. Setiap manusia memiliki sifat untuk
memperoleh kebenaran yang hakiki. Ilmu pengetahuan memiliki kriteria
kebenaran dimana kriteria ini merupakan sarana atau pola pikir dalam
membuktikan bahwa ide-ide yang muncul dapat dibuktikan dan diperoleh
kebenarannya.
2. Ada beberapa teori dalam membuktikan kebenaran seperti koresponden (yang
berdasarkan kesesuaian fakta, yang selaras dengan realitas yang serasi dengan
situasi aktual. Koheran merupakan terori yag didasarkan pada koheran atau
konsistensi. Pragmatis merupakan teori yang didasarkan pada logika pengamatan.

4.2 SARAN

1. Perlu ditinjau kembali yang lebih luas terhadap kriteria kebenaran dari literatur-
literatur yang lebih luas lagi.
2. Pemahaman terhadap bidang filsafat bersifat abstrak sehingga perlu adanya
batasan-batasan tertentu sehingga topik tidak melebar.
DAFTAR PUSTAKA

Atabik, A. (2014). TEORI KEBENARAN PERSPEKTIF FILSAFAT ILMU:


Sebuah Kerangka Untuk Memahami Konstruksi Pengetahuan Agama. Fikrah,
2(1), 253271.

Beerling at al. (1998) Pengantar Filsafat Ilmu. Tiara Wacana: Yogyakarta.

Bakhtiar, A. (2012) Filsafat Ilmu, Edisi Revisi. Raja Grafindo Persada: Jakarta.

Diaconu, M. A. (2013). Truth and Knowlwdge in Postmodernism. Procedia Sosial


and Behavioral Sciences. 137(2014). 165-169.

KBBI. (2017). Arti kata ilmu - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online.pdf.
https://kbbi.web.id/ilmu. [12:31, 18 September 2017].

KBBI. (2017). Arti kata Kebenaran - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Online.pdf. https://kbbi.web.id/ilmu. [12:31, 18 September 2017].

Kuntjojo. (2009). Filsafat Ilmu. Program Studi Pendidikan Bimbingan dan


Konseling. Universitas Nusantara PGRI Kediri

Kattsoff, L. O. (1992). Pengantar Filsafat. Tiara Wacana Yogya: Yogyakarta

Nazir. (1988). Metode Penelitian. Ghalia Indonesia: Jakarta

Notoatmojo, Soekidjo. (2005). Makalah Diskusi Filsafat. Jenjang Pendidikan S3,


Fakultas Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat, Universitas Indonesia:
Jakarta

Syaroni, M. (2014). ETIKA KEILMUAN: Sebuah Kajian Filsafat Ilmu. Teologia,


25.

Winata, T. D. (2014). Manfaat kajian filasafat, nilai etika dan pragmatis ilmu
pengetahuan untuk melakukan penelitian ilmiah. Jurnal Ilmiah Widya, 2(2005),
3240.

Anda mungkin juga menyukai