KRETERIA KEBENARAN
Oleh:
Siti Quinesti Murhany (1625011016)
Sekar Dwi Rizki (1625011021)
Aditia Reshi Dista (1725011001)
Devie Arisandy Sumantri (1725011002)
Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi.
Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya dengan ilmu
pengetahuan, filsafat ini membahas tentang apa yang bisa dikategorikan sebagai
objek ilmu pengetahuan. Kuantifikasi objek ilmu pengetahuan berari bahwa aspek-
aspek alam yang bersifat kualitatif menjadi diabaikan. Epistemologis membahas
masalah metodologi ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern, jalan bagi
diperolehnya ilmu pengetahuan adalah metode ilmiah dengan pilar utamanya
rasionalisme dan empirisme. Aksiologi menyangkut tujuan diciptakannya ilmu
pengetahuan.
Dalam makalah ini beberapa masalah yang akan dibahas antara lain:
1. Apa pengertian kebenaran
2. Teori-teori kebenaran ilmu
3. Tingkat kebenaran ilmu
1.3 TUJUAN
Kata kebenaran berasal dari kata benar yang memperoleh awalan ke- dan
akhiran an yang berarti cocok dengan keadaan sesungguhnya, tidak bohong atau
sah. Kata kebenaran sendiri berarti keadaan (hal tersebut) yang benar (cocok dengan
atau keadaaan yang sesungguhnya).
Kebenaran inteluktual yang ada pada ilmu bukanlah suatu efek dari keterlibatan ilmu
dengan bidang-bidang kehidupan. Kebenaran memang merupakan cri asli dari ilmu
itu sendiri. Dengan demikian maka pengabdian ilmu secara netral, tak berwarna,
dapat melunturkan pengertian kebenaran, sehingga ilmu terpaksa menjadi steril.
Uraian keilmuan tentang masyarakat sudah semestinya harus diperkuat oleh
kesadaran terhadap berakarnya kebenaran (Syaroni, 2014).
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2017) kebenaran dijabarkan dalam
5 pengertian yaitu:
1. keadaan yang cocok dengan keadaan (hal) yang sesungguhnya,
2. sesuatu yang sungguh-sungguh (benar-benar) ada,
3. Kelurusan hati, kejujuran,
4. Izin persetujuan, perkenan,
5. Kebetulan.
Menurut Hamami (2003) dalam Atabik (2014) kata kebenaran bisa digunakan
sebagai suatu kata benda yang konkrit maupun abstrak. Jika subyek hendak
menuturkan kebenaran artinya adalah proposisi yang benar. Proposisi maksudnya
adalah makna yang dikandung dalam suatu pernyataan atau statement. Kebenaran
dapat diartikan sebagai pengetahuan subyek terhadap obyek. Pengetahuan berasal
dari beberapa sumber. Sumber-sumber tersebut dapat berfungsi sebagai tolak ukur
kebenaran.
2.2.1 KORESPONDEN
Kebenaran korespondesi adalah kebenaran atau sesuatu kedaan benar itu terbukti
benar bila ada kesesuaian antara arti yang dimaksud suatu pernyataan atau pendapat
dengan objek yang dituju/dimaksud oleh pernyataan atau pendapat tersebut.
Kebenaran adalah kesesuaian pernyataan dengan fakta, yang berselarasan dengan
realitas yang serasi dengan sitasi aktual. Dengan demikian ada lima unsur yang perlu
yaitu :
1. Statemaent (pernyataan)
2. Persesuaian (agreemant)
3. Situasi (situation)
4. Kenyataan (realitas)
5. Putusan (judgements)
Kattsoff (1992) menyatakan bahwa paham yang mengatakan suatu pernyataan itu
benar, jika makna yang dikandungnya sungguhsungguh merupakannya hal yang
dinamakan paham korespondensi. Kebenaran atau keadaan benar berupa
kesesuaian (korespondensi) antara makna yang dimaksudkan oleh suatu pernyataan
dengan apa yang merupakan sungguh-sungguh halnya atau apa yang merupakan
fakta-faktanya.
Contohnya: ada seseorang yang mengatakan bahwa Provinsi Lampung itu berada di
Pulau Sumatera. Pernyataan itu benar karena sesuai dengan kenyataan atau realita
yang ada. Tidak mungkin Provinsi Lampung di Pulau Kalimantan atau bahkan
Papua.
Teori korespondensi ini pada umumnya dianut oleh para pengikut realisme. Di
antara pelopor teori ini adalah Plato, Aristoteles, Moore, dan Ramsey. Teori ini
banyak dikembangkan oleh Bertrand Russell (1972-1970). Teori ini sering
diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan. Teori kebenaran
korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal, sehingga dapat digolongkan
ke dalam teori kebenaran tradisional karena Aristoteles sejak awal (sebelum abad
Modern) mensyaratkan kebenaran pengetahuan harus sesuai dengan kenyataan atau
realitas yang diketahuinya.
Kesimpulan dari teori korespondensi adalah adanya dua realitas yang berada
dihadapan manusia, pernyataan dan kenyataan. Menurut teori ini, kebenaran adalah
kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan sesuatu itu sendiri.
Misal, Semarang ibu kota Jawa Tengah. Pernyataan ini disebut benar apabila pada
kenyataannya Semarang memang ibukota propinsi Jawa Tengah. Kebenarannya
terletak pada pernyataan dan kenyataan.
Signifikansi teori ini terutama apabila diaplikasikan pada dunia sains dengan tujuan
dapat mencapai suatu kebenaran yang dapat diterima oleh semua orang. Seorang
ilmuan akan selalu berusaha meneliti kebenaran yang melekat pada sesuatu secara
sungguh-sungguh, sehingga apa yang dilihatnya itu benar-benar nyata terjadi.
Sebagai contoh, gunung dapat berjalan. Untuk membuktikan kebenaran
pernyataan ini harus diteliti dengan keilmuan yang lain yaitu ilmu tentang gunung
(geologi), ternyata gunung mempunyai kaki (lempeng bumi) yang bisa bergerak
sehingga menimbulkan gempa bumi dan tsunami. Dengan demikian sebuah
pertanyaan tidak hanya diyakini kebenarannya, tetapi harus diragukan dahulu
untuk diteliti, sehingga mendapatkan suatu kebenaran hakiki.
2.2.2 KOHERAN
Teori koherensi biasa disebut dengan teori konsistensi. Hal ini dikarenakan teori ini
di dasarkan pada kriteria konsistensi pada suatu argumentasi. Semakin konsisten
suatu ide atau pernyataan yang dikemukakan, maka semakin benarlah ide atau
pernyataan tersebut. Paham koherensi tentang kebenaran biasanya dianut oleh para
pendukung idealisme, seperti filusuf Britania F. H. Bradley (1846-1924).
Teori ini berpendapat bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan
dengan pernyataan-pernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima
dan diakui sebagai benar. Suatu proposisi benar jika proposisi itu berhubungan
(koheren) dengan proposisi-proposisi lain yang benar atau pernyataan tersebut
bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang
dianggap benar.
Teori koherensi menjadi dasar dalam pengembangan ilmu deduktif atau matematik.
Nama ilmu deduktif deberikan karena dalam menyelesaikan suatu masalah atau
membuktikan suatu kebenaran tidak didasarkan pada pengalaman atau hal-hal yang
bersifat faktual, melainkan didasarkan atas deduksi-deduksi atau penjabaran-
penjabaran (Kuntjojo, 2009).
Suatu proposisi itu cenderung benar jika proposisi itu coherent (saling berhubungan)
dengan proposisi-proposisi lain yang benar, atau jika arti yang dikandung oleh
proposisi coherent dengan pengalaman kita. Menurut Bakhtiar (2012) memberikan
standarisasi kepastian kebenaran dengan sekurang-kurangnya memiliki empat
pengertian, dimana satu keyakinan tidak dapat diragukan kebenarannya sehingga
disebut pengetahuan, yaitu:
1. Pengertian yang bersifat psikologis.
2. Pengertian yang bersifat logis.
3. Menyamakan kepastian dengan keyakinan yang tidak dapat dikoreksi.
4. Pengertian akan kepastian yang digunakan dalam pembicaraan umum, di
mana hal itu di artikan sebagai kepastian yang didasarkan pada nalar yang
tidak dapat diragukan lagi.
Apa yang harus dipenuhi agar ciri-ciri deduksi dapat diketahui dengan tepat,
merupakan masalah pokok yang dihadapi filsafat ilmu. Pendirian yang banyak
dianut sampai saat ini adalah : deduksi merupakan penalaran yang sesuai dengan
hukum-hukum serta-serta aturan logika formal, dalam hal ini orang menganggap
bahwa tidaklah mungkin titik tolak-titik tolak yang benar menghasilkan kesimpulan-
kesimpulan yang tidak benar (Beerling at al, 1996).
Kalau ditimbang dan dibandingkan dengan teori korespondensi, teori koherensi,
pada kenyataannya kurang diterima secara luas. Teori ini punya banyak kelemahan
dan mulai ditinggalkan. Misalnya, astrologi mempunyai sistem yang sangat
koheren, tetapi kurang menganggap astrologi benar. Kebenaran tidak hanya
terbentuk oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga hubungan
antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu pernyataan adalah
benar apabila konsisten dengan pernyataan-pernyataan yang terlebih dahulu kita
terima dan kita ketahui kebenarannya.
Salah satu kesulitan dan sekaligus keberatan atas teori ini adalah bahwa karena
kebenaran suatu pernyataan didasarkan pada kaitan atau kesesuaiannya dengan
pernyataan lain, timbul pertanyaan bagaimana dengan kebenaran pernyataan tadi?
Jawabannya, kebenarannya ditentukan berdasarkan fakta apakah pernyataan tersebut
sesuai dan sejalan dengan pernyataan yang lain. Hal ini akan berlangsung terus
sehingga akan terjadi gerak mundur tanpa henti (infinite regress) atau akan terjadi
gerak putar tanpa henti.
Karena itu, kendati tidak bisa dibantah bahwa teori kebenaran sebagai keteguhan ini
penting, dalam kenyataan perlu digabungkan dengan teori kebenaran sebagai
kesesuaian dengan realitas. Dalam situasi tertentu kita tidak selalu perlu mengecek
apakah suatu pernyataan adalah benar, dengan merujuknya pada realitas. Kelompok
idealis, seperti Plato juga filosof-filosof modern seperti Hegel, Bradley dan Royce
memperluas prinsip koherensi sehingga meliputi dunia; dengan begitu maka tiap-tiap
pertimbangan yang benar dan tiap-tiap sistem kebenaran yang parsial bersifat terus
menerus dengan keseluruhan realitas dan memperolah arti dari keseluruhan tersebut.
Meskipun demikian perlu lebih dinyatakan dengan referensi kepada konsistensi
faktual, yakni persetujuan antara suatu perkembangan dan suatu situasi lingkungan
tertentu.
2.2.3 PRAGMATIS
Artinya, suatu pernyataan itu benar jika pernyataan itu atau konsekuensi dari
pernyataan itu mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Teori
pragmatis ini pertama kali dicetuskan oleh Charles S. Peirce (1839-1914) dalam
sebuah makalah yang terbit pada tahun 1878 yang berjudul "How to Make Our Ideas
Clear". Teori ini kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli filsafat yang
kebanyakan adalah berkebangsaan Amerika yang menyebabkan filsafat ini sering
dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli-ahli filasafat ini di antaranya adalah William
James (1842-1910), John Dewey (1859-1952), George Hobart Mead (1863-1931)
dan C.I. Lewis.
Dari pengertian diatas, teori ini (teori Pragmatik) berbeda dengan teori koherensi dan
korespondensi. Jika keduanya berhubungan dengan realita objektif, sedangkan
pragmamtik berusaha menguji kebenaran suatu pernyataan dengan cara menguji
melalui konsekuensi praktik dan pelaksanaannya.
Menurut Teori ini, suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis. Pernyataan bahwa motivasi merupakan faktor
yang sangat penting untuk meningkatkan prestasi belajar anak dapat dianggap benar
bila pernyataan tersebut mempunyai kegunaan praktis, yaitu bahwa prestasi belajar
anak dapat ditingkatkan melalui pengembangan motivasi belajarnya. Teori
pragmatisme dijadikan dasar dalam pengembangan ilmu terapan (Kuntjojo, 2009).
Teori pragmatis berdasarkan logika pengamatan. Teori ini bersedia menerima
pengalaman pribadi, kebenaran mistis, yang terpenting dari semua itu membawa
akibat praktis yang bermanfaat. Kriteria pragmatisme juga dipergunakan oleh ilmuan
dalam menentukan kebenaran ilmiah dalam prespektif waktu.
Pragmatism merupakan aliran filsafat yang lahir di Amerika serikat akhir abad ke-19,
yang menekankan pentingnya akal budi (rasio) sebagai sarana pemecahan masalah
(problem solving) dalam kehidupan manusia baik masalah yang bersifat teoritis
maupun praktis. Tokoh pragmatism awal adalah Charles Sander Pierce (1834-1914)
yang dikenal juga sebagai tokoh semiotic, William James (1842-1910) dan John
Dewey (1859-1952).
Teori ini berasal dari John Langshaw Austin (1911-1960) dan dianut oleh filsuf lain
seperti Frank Ramsey, dan Peter Strawson. Filsuf-filsuf ini mau menentang teori
klasik bahwa benar dan salah adalah ungkapan yang hanya menyatakan sesuatu
(deskriptif). Proposisi yang benar berarti proposisi itu menyatakan sesuatu yang
memang dianggap benar. Demikian sebaliknya. Namun inilah yang malah membuat
teori ini ditolak oleh para filsuf.
2.2.5 PROPOSISI
Menurut teori ini, suatu pernyataan disebut benar apabila sesuai dengan persyaratan
materialnya suatu proposisi, bukan pada syarat formal proposisi. Dalam sumber lain,
ada juga yang menambahkan dengan bentuk kebenaran lain yang disebut dengan
kebenaran sintaksis. Kebenaran sintastik atau gramatika yang dipakai oleh suatu
pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya. Dalam paham kebenaran sintaksis ini
suatu pernyataan di anggap benar apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat atau
keluar dari hal yang di persyaratkan maka proposisi tersebut tidak memiliki arti.
Jadi kebenaran sebagaimana di kemukakan di atas, memiliki makna yang beragam
dan kompleks, sehingga dalam memaknai kebenaran ini akan sangat bergantung pada
situasi dan kondisi yang melatarinya, pengalaman, kemampuan, dan usia
mempengaruhi kepemilikan epistemo tentang kebenaran.
Proposisi merupakan kalimat logika yang mana pernyataan tentang hubungan antara
dua atau beberapa hal yang dapat dinilai benar atau salah. Ada yang mengartikan
proposisi sebagai ekspresi verbal dari putusan yang berisi pengakuan atau
penginkaran sesuatu (predikat) terhadap sesuatu yang lain (subjek) yang dapat dinilai
benar atau salah. Unsur-unsur proposisi:
1. Term subjek; hal yang tentangnya pengakuan atau pengingkaran ditujukan. Term
subjek dalam sebuah proposisi disebut subjek logis. Ada perbedaan antara subjek
logis dengan subjek dalam sebuah kalimat. Tentang subjek logis harus ada
penegasan/ pengingkaran sesuatu tentangnya.
2. Term predikat; isi pengakuan atau pengingkaran.
3. Kopula; menghubungkan term subjek dan term predikat,
Menurut Selltiz, et al., dalam Nazir (1988) dalam buku Metode Penelitian,
mengatakan bahwa proposisi yagn sudah mempunyai jangkauan cukup luas dan telah
didukung oleh data empiris dinamakan dalil (scientific law). Dengan perkataan lain,
dalil adalah singkatan dari suatu pengetahuan tentang hubungan sifat-sifat tertentu,
yang bentuknya lebih umum jika dibandingkan dengan penemuan-penemuan empiris
pada mana dalil tersebut didasarkan.
Sudah menjadi sifatnya apabila manusia selalu mencari kebenaran dan apabila
manusia mengerti, memahami dan maka dia akan terdorong untuk melaksanakan
kebenaran itu. Sebaliknya apabila pemahan akan kebenaran tersebut sudah diketahui
namum pelaksanaanya tidak sesuai maka akan terjadi konflik batin.
Dalam menemukan pengetahuan yang benar diperlukan proses berfikir, karena apa
yang dilakukan, dipikirkan dan dipahami oleh setiap manusia tidak sama. Dapat
dikatakan bahwa tiap jalan pikiran mempunyai apa yang disebut sebagai criteria
kebenaran dan kriteria kebenaran ini merupakan landasan bagi proses penemuan
kebenaran tersebut. Penalaran merupakan suatu proses penemuan kebenaran dimana
tiap-tiap jenis penalaran mempunyai kriteria kebenaran masing-masing. Sebagai
suatu kegiatan berpikir maka penalaran mempunyai ciri-ciri tertentu:
1. Bepikir secara luas dapat pula disebut logika. Dalam hal ini, tiap bentuk
penalaran mempunyai logikanya sendiri. Dengan kata lain, bahwa kegiatan
penalaran merupakan suatu proses berpikir logis yang diartikan sebagai suatu
pola logika tertentu.
2. Analitik, penalaran merupakan suatu kegiatan berpikir yang menyandarkan diri
kepada suatu analisis dan kerangka berpikir yang logis dan ilmiah.
3. Non analitik, cara berpikir ini tidak rnenyandarkan pada suatu pola pikir tertentu.
4. Dogmatis, ini adalah manifestasi dari keyakinan terhadap suatu agama dan
diyakini kebenarannya.
IV. PENUTUP
4.1 KESIMPULAN
4.2 SARAN
1. Perlu ditinjau kembali yang lebih luas terhadap kriteria kebenaran dari literatur-
literatur yang lebih luas lagi.
2. Pemahaman terhadap bidang filsafat bersifat abstrak sehingga perlu adanya
batasan-batasan tertentu sehingga topik tidak melebar.
DAFTAR PUSTAKA
Bakhtiar, A. (2012) Filsafat Ilmu, Edisi Revisi. Raja Grafindo Persada: Jakarta.
KBBI. (2017). Arti kata ilmu - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Online.pdf.
https://kbbi.web.id/ilmu. [12:31, 18 September 2017].
KBBI. (2017). Arti kata Kebenaran - Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)
Online.pdf. https://kbbi.web.id/ilmu. [12:31, 18 September 2017].
Winata, T. D. (2014). Manfaat kajian filasafat, nilai etika dan pragmatis ilmu
pengetahuan untuk melakukan penelitian ilmiah. Jurnal Ilmiah Widya, 2(2005),
3240.