Anda di halaman 1dari 7

TUGAS INDIVIDU II

PENGANTAR METODE PENELITIAN SOSIAL


Dosen Pengampu : Dr. H.Andi Tenri, M.Si.

Oleh:
Fitra Arisma (23120008)

PROGRAM STUDI SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS DAYANU IKSANUDDIN

BAUBAU

2023
1. Pengertian Filsafat Dan Logika Penelitian

A. Pengertian Filsafat

Kata filsafat, dalam bahasa arab dikenal dengan istilah “falsafah” dan dalam
bahasa Inggris dikenal dengan istilah Phylosophy adalah berasal dari bahasa Yunani
Philosophia. Kata Philosophia terdiri atas kata philein yang berarti cinta (love) dan
Sophia yang berarti kebijaksanaan (wisdom). Dalam arti yang sedalam-dalamnya istilah
filsafat bermakna cinta kebijaksanaan atau love of wisdom. (Adib, 2010). Para filsuf
dan ahli filsafat itu mendefinisikan tentang filsafat sebagai berikut. Plato berpendapat
bahwa filsafat adalah pengetahuan yang mencoba untuk mencapai pengetahuan tentang
kebenaran yang asli. Menurut Aristotheles, filsafat adalah ilmu (pengetahuan) yang
meliputi kebenaran yang di dalamnya terkandung ilmu-ilmu metafisika, logika,
retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika (filsafat keindahan) (Adib, 2010: 37).
Filsafat yang berakar kata dari bahasa Yunani “ Phillen” yang berarti cinta dan
“Sophia” yang berarti kebijaksanaan. Dapat dimaknai bahwa filsafat berarti cinta
kebijaksanaan. Arti secara etimologi ini mempunyai latar belakang yang muncul dari
pendirian Socrates, beberapa abad sebelum masehi. Socrates berkata bahwa manusia
tidak berhak atas kebijaksanaan, karena keterbatasan kemampuan yang dimilikinya.
Terhadap kebijaksanaan, manusia hanya berhak untuk mencintainya. Pendirian Socrates
tersebut sekaligus menunjukkan sikap kritiknya terhadap kaum Sophis yang mengaku
memiliki kebijaksanaan (Suhartono, 2007). Secara awam, istilah ‘cinta’
menggambarkan adanya aksi yang didukung oleh dua pihak. Pihak pertama berperan
sebagai subjek, dan pihak kedua berperan sebagai objek. Adapun aksi atau tindakan itu
didorong oleh suatu kecenderungan subjek untuk ‘menyatu’ dengan objek. Untuk bisa
menyatu dengan objek, subjek harus mengetahui sifat atau hakikat objek. Jadi
pengetahuan mengenai objek menentukan penyatuan subjek dengan objek. Semakin
mendalam pengetahuan subjek, semakin kuat penyatuannya dengan objek. Sedangkan
istilah ‘kebijaksanaan’ yang kata dasarnya ‘bijaksana’ dan mendapat awalan ‘ke’ dan
akhiran ‘an’ menggambarkan pengetahuan haikiki tentang bijaksana. Jadi,
kebijaksanaan dikenal sebagai bersifat benar, baik dan adil. Perbuatan demikian
dilahirkan dari dorongan kemauan yang kuat, menurut keputusan perenungan akal
pikiran, dan atas pertimbangan perasaan yang dalam. Kemudian, dari pendekatan
etimologis dapat disimpulkan bahwa filsafat berarti pengetahuan mengenai
pengetahuan. Dapat pula diartikan sebagai akar dari pengetahuan atau pengetahuan
terdalam (Suhartono, 2007).
Filsafat, falsafah atau philosophia secara harfiah berarti cinta kepada
kebijaksanaan atau cinta kepada kebenaran. Maksudnya adalah bahwa setiap orang
yang berfilsafat akan menjadi bijaksana. Orang yang cinta kepada pengetahuan disebut
philosopher, yang dalam bahasa Arab disebut failasuf. Pecinta pengetahuan ialah orang
yang menjadikan pengetahuan sebagai tujuan hidupnya. Dengan kata lain, ia
mengabdikan diri dan hidupnya kepada pengetahuan. Filsafat secara sederhana berarti
’alam pikiran’ atau “alam berfikir”. Berfilsafat artinya berfikir. Namun, tidak semua
berfikir adalah berfilsafat. Berfilsafat adalah berfikir secara mendalam (radikal) dan
sungguh-sungguh. Ada sebuah semboyan yang mengatakan bahwa “setiap manusia
adalah filsuf”. Semboyan ini benar adanya, sebab semua manusia berfikir. Akan tetapi,
secara filosofis, semboyan itu tidak benar, sebab tidak semua manusia yang berfikir
adalah filsuf. Filsuf hanyalah orang-orang yang memikirkan hakikat segala sesuatu
dengan sungguh-sungguh dan mendalam. Filsafat adalah hasil akal budi manusia yang
mencari dan memikirkan suatu kebenaran dengan sedalam-dalamnya.
Dengan kata lain, filsafat adalah ilmu yang mempelajari dengan
sungguhsungguh hakikat kebenaran segala sesuatu.
Di bawah ini dikemukakan beberapa pengertian filsafat menurut para ahli,
mulai

• Plato (427-347 SM) mengatakan bahwa filsafat itu tidak lain adalah pengetahuan
tentang sesuatu atas alam secara dangkal.
• Aristoteles (384-422 SM) berpendapat bahwa filsafat itu menyelidiki sebab dan
asas segala benda.
• Marcus Tullius Cicero (106-143 SM) merumuskan filsafat sebagai pengetahuan
tentang segala yang maha agung dan usaha-usaha untuk mencapainya.
• Al Farabi (w.950 M) mengungkapkan bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan
tentang alam maujud dan bertujuan menyelidiki hakikat yang sebenarnya.
• Immanuel Kant (1724-1804 M) mengutarakan bahwa filsafat adalah ilmu pokok
dan pangkal segala pengetahuan yang di dalamnya mencakup empat persoalan,
yaitu apa yang dapat diketahui manusia (metafisika), apa yang boleh dilakukan
manusia (etika), sampai di mana harapan manusia (agama), dan apa yang
dinamakan manusia (antropologi).
• Harold H.Titus, mengemukakan lima pengertian filsafat, yaitu; a) suatu sikap
tentang hidup dan tentang alam semesta; b) proses kritik terhadap kepercayaan
dan sikap; c) usaha untuk mendapatkan gambaran keseluruhan ; d) analisis dan
penjelasan logis dari bahasa tentang kata dan konsep; e) sekumpulan problem
yang langsung mendapat perhatian manusia dan dicarikan jawabannya.
• D.C Mulder menyatakan bahwa filsafat adalah pemikiran teoretis tentang
susunan kenyataan secara keseluruhan.
• Fuad Hasan menggagas bahwa filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berfikir
radikal ; radikal dalam arti mulai dari radiksnya suatu gejala, yaitu akar sesuatu
yang hendak dibahas. Dengan jalan penjajakan yang radikal ini, filsafat berusaha
untuk sampai kepada kesimpulan-kesimpulan yang universal.
• N. Drijarkara berpendapat bahwa filsafat adalah pikiran manusia yang radikal,
artinya dengan mengesampingkan pendirian-pendirian dan pendapat-pendapat
yang diterima, mencoba memperlihatkan pandangan lain yang merupakan akar
permasalahan. Filsafat tidak mengarah pada sebab-sebab yang terdekat, tapi pada
“mengapa” yang terakhir, sepanjang merupakan kemungkinan berdasarkan pada
kekuatan akal budi manusia.
• Kamus Besar Bahasa Indonesia menuliskan bahwa filsafat adalah pengetahuan
dan penyelidikan dengan akal budi mengenai hakikat segala yang ada, sebab,
asal dan hukumnya.
• Dictionary of Philosophy mengungkapkan bahwa mencari kebenaran serta
kebenaran itu sendiri adalah filsafat. Bila seseorang menjawab sesuatu secara
sistematis, radikal, dan universal serta bertanggungjawab, sistem pemikirannya
serta kegiatannya itu disebut filsafat (Suharto, 2020).
B. Logika Penelitian

Logika berhubungan dengan cara atau proses penalaran (reasoning).


Ilmunya disebut ilmu logika (logic, the science of reasoning). Jika proses
penalaran berjalan dengan baik, maka proses itu disebut logis. Secara umum
penelitian merupakan proses penemuan jawaban terhadap pertanyaan yang
diajukan oleh seorang manusia. Penelitian (riset, research) merupakan proses
yang dilakukan manusia untuk mencari kebenaran (truth). Dalam proses itu
terdapat tahapan yang diurut secara logis. Urutan tersebut merupakan rantai
penalaran (chain of reasoning).
Rantai penalaran (chain of reasoning) memiliki anak rantai penalaran
sehingga menghasilkanan sebuah logika penelitian, yaitu:perumusan
permasalahan penelitian,perumusan kerangka teoritik, penentuan metodologi,
analisis data, dan penarikan kesimpulan. Untuk menjamin validitas penelitian,
maka urutan tersebut tidak boleh dibolak-balik apalagi diabaikan keberadannya.

2. Macam-Macam Teori Kebenaran Dan Cara Memperolehnya.

• Teori Korespondensi( Correspondance Theory Of Truth )


Teori korespondensi adalah teori kebenaran yang didasarkan pada fakta
obyektif sebagai dasar kebenarannya. Teori ini menyatakan bahwa sebuah
pernyataan dianggap benar hanya jika pernyataan tersebut berhubungan dengan
fakta obyektif yang ada.16 Fakta obyektif tersebut adalah segala bentuk
fenomena berupa tampilan visual, gelombang suara, rasa maupun tekstur, yang
bisa ditangkap melalui panca indera. Sederhananya, suatu pernyataan dianggap
benar jika ada faktanya. Jika tidak, maka pernyataan tersebut bukan kebenaran.
Oleh karena sifatnya yang mengandalkan pengalaman inderawi dalam
menangkap fakta, maka teori ini menjadi teori yang digunakan oleh para
empirisis.

• Teori Koherensi ( Coherence Theory Of Truth )


Teori kebenaran koherensi atau konsistensi adalah teori kebenaran yang
didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut
benar bila sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan
yang berhubungan secara logis. Menurut teori ini kebenaran tidak dibentuk atas
hubungan antara putusan dengan sesuatu yang lain, yaitu fakta dan realitas,
tetapi atas hubungan antara putusan- putusan itu sendiri.Teori ini berpendapat
bahwa kebenaran ialah kesesuaian antara suatu pernyataan dengan
pernyataanpernyataan lainnya yang sudah lebih dahulu diketahui, diterima dan
diakui sebagai benar. Suatu proposisi benar jika proposisi itu berhubungan
(koheren) dengan proposisi-proposisi lain yang benar atau pernyataan tersebut
bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang
dianggap benarDengan demikian suatu putusan dianggap benar apabila
mendapat penyaksian (pembenaran) oleh putusan-putusan lainnya yang
terdahulu yang sudah diketahui,diterima dan diakui benarnya. Karena sifatnya
demikian, teori ini mengenal tingkat-tingkat kebenaran. Disini derajar koherensi
merupakan ukuran bagi derajat kebenaran.

• Teori Pragmatisme (The pramagtic theory of truth.)


Pramagtisme berasal dari bahawa Yunan pragmai, artinya yang
dikerjakan, yang dilakukan, perbuatan, tindakan, sebutan bagi filsafat yang
dikembangkan oleh William James di Amerika Serikat.Teori kebenaran
pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh
referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu
dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut
bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis. Pragmatism merupakan aliran filsafat yang
lahir di Amerika serikat akhir abad ke-19, yang menekankan pentingnya akal
budi (rasio) sebagai sarana pemecahan masalah (problem solving) dalam
kehidupan manusia baik masalah yang bersifat teoritis maupun praktis. Tokoh
pragmatism awal adalah Charles Sander Pierce (1834-1914) yang dikenal juga
sebagai tokoh semiotic, William James (1842-1910) dan John Dewey
(18591952). Amsal (2012) menyatakan, menurut teori pragmatis, kebenaran
suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat
fungsional dalam kehidupan praktis manusia. Dalam artian, suatu pernyataan
adalah benar, jika pernyataan itu atau konsekuensi dari pernyataan itu
mempunyai kegunaan praktis bagi kehidupan manusia.

• Teori Performatif
Teori ini berasal dari John Langshaw Austin (1911-1960)dan dianut oleh
filsuf lain seperti Frank Ramsey, dan Peter Strawson. Filsuf-filsuf ini mau
menentang teori klasik bahwa “benar” dan “salah” adalah ungkapan yang hanya
menyatakan sesuatu (deskriptif). Proposisi yang benar berarti proposisi itu
menyatakan sesuatu yang memang dianggap benar. Demikian sebaliknya.
Namun justeru inilah yang ingin ditolak oleh para filsuf ini.Teori performatif
menjelaskan, suatu pernyataan dianggap benar jika ia menciptakan realitas. Jadi
pernyataan yang benar bukanlah pernyataan yang mengungkapkan realitas,
tetapi justeru dengan pernyataan itu tercipta realitas sebagaimana yang
diungkapkan dalam pernyataan itu. Teori ini disebut juga “tindak bahasa”
mengaitkan kebenaran satu tindakan yang dihubungkan dengan satu pernyataan.

• Agama sebagai Teori Kebenaran


Pada hakekatnya, manusia hidup di dunia ini adalah sebagai makhluk
yang suka mencari kebenaran. Salah satu cara untuk menemukan suatu
kebenaran adalah agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri memberikan
jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia; baik tentang
alam, manusia, maupun tentang Tuhan. Dalam mendapatkan kebenaran menurut
teori agama adalah wahyu yang bersumber dari Tuhan. Manusia dalam mencari
dan menentukan kebenaran sesuatu dalam agama denngan cara
mempertanyakan atau mencari jawaban berbagai masalah kepada kitab Suci.
Dengan demikian, sesuatu hal dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran
agama atau wahyu sebagai penentuk kebenaran mutlak.
3. Tiga Perkembangan Paradigma Penelitian
• Paradigma Positivis
Paradigma Positivisme merupakan ali- ran filsafat yang
dinisbahkan/ bersumber dari pemikiran Auguste Comte seorang filosof
yang lahir di Montpellier Perancis pada ta- hun 1798, ia seorang yang
sangat miskin, hidupnya banyak mengandalkan sumbangan dari murid
dan teman-temannya antara lain filosof Inggris John Stuart Mill (juga
seorang ahli ekonomi), ia meninggal pada tahun 1857.
Pemikiranpemikirannya cukup berpengaruh yang dituangkan dalam
tulisantulisannya an- tara lain Cours de Philosophie Positive (Kursus
filsafat positif) dan Systeme de Politique Posi- tive (Sistem politik
positi)f. Pandangan para- digma ini didasarkan pada hukum-hukum dan
prosedur-prosedur yang baku; ilmu dianggap bersifat deduktif,berjalan
dari hal yang umum dan bersifat abstrak menuju yang konkit dan
bersifat sepesifik; ilmu dianggap nomotetik, yaitu didasarkan pada
hukum-hukum yang kausal yang universal dan melibatkan sejum- lah
variable Paradigma positivitis pada akhirnya melahirkan pendekatan
kuantitatif.
• Paradigma Interpretif
Pendekatan interpretif berangkat dari upaya untuk mencari
penjelasan tentang peristiwa-peristiwa sosial atau budaya yang
didasarkan pada perspektif dan pengalaman orang yang diteliti.
Pendekatan interpretatif diadopsi dari orientasi praktis. Secara umum
pendekatan interpretatif merupakan sebuah sistem sosial yang
memaknai perilaku secara detail langsung mengobservasi. (Newman,
1997: 68). Interpretif melihat fakta sebagai sesuatu yang unik dan
memiliki konteks dan makna yang khusus sebagai esensi dalam me-
mahami makna sosial. Interpretif melihat fak- ta sebagai hal yang cair
(tidak kaku) yang me- lekat pada sistem makna dalam pendekatan
interpretatif.fakta-fakta tidaklah impersal,objektif dan netral. Fakta
merupakan tindakan yang spesifik dan kontekstual yang beragan- tung
pada pemaknaan sebagian orang dalam situasi sosial. Interpretif
menyatakan situasi sosial mengandung ambiguisitas yang besar.
Perilaku dan pernyataan dapat memiliki mak- na yang banyak dan dapat
dinterpretasikan dengan berbagai cara. (Newman, 2000: 72).
Paradigma ini menekankan pada ilmu bukanlah didasarkan pada
hukum dan prose- dur yang baku;, setiap gejala atau peristiwa bisa jadi
memiliki makna yang berbeda; ilmu bersifat induktif, berjalan dari yang
sepesi- fik menuju ke yang umum dan abstrak. Ilmu bersifat idiografis,
artinya ilmu mengungkap realitas melalui simbol-simbol dalam bentuk
deskriptif. Pendekatan interpretif pada ak- hirnya melahirkan
pendekatan kualitatif.
• Paradigma Kritis
Paradigma kritis lahir tidak lepas dari Institut penelitian sosial di
Frankfurt (Insti- tut für Sozialforschung) didirikan pada ta- hun 1923
oleh seorang kapitalis yang berna- ma Herman Weil, seorang pedagang
grosir gandum, yang pada akhir hayat “mencoba untuk cuci dosa” mau
melakukan sesuatu untuk mengurangi penderitaan di dunia (termasuk
dalam skala mikro: penderitaan sosial dari kerakusan kapitalisme). Para-
digma kritis adalah anak cabang pemiki- ran marxis dan sekaligus
cabang marxisme yang paling jauh meninggalkan Karl Marx
(Frankfurter Schule). Cara dan ciri pemikiran aliran Frankfurt disebut
ciri teori kritik masyarakat “eine Kritische Theorie der Gesselschaft”.
Paradigma ini mau menco- ba memperbaharui dan merekonstruksi teori
yang membebaskan manusia dari manipulasi teknokrasi modern.
Beberapa tokoh Teori Kritis angkatan pertama adalah Max Hork-
heimer, Theodor Wiesengrund Adorno (musi- kus, ahli sastra, psikolog
dan filsuf), Fried- rich Pollock (ekonom), Erich Fromm (ahli
psikoanalisa Freud), Karl Wittfogel (sinolog), Leo Lowenthal
(sosiolog), Walter Benjamin (kritikus sastra), Herbert Marcuse (murid
Heidegger yang mencoba menggabungkan fenomenologi dan marxisme,
yang juga selan- jutnya Marcuse menjadi “nabi” gerakan New Left di
Amerika). Ciri khas paradigma Kritis adalah bahwa paradigma ini
berbeda dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Pendekatan
paradigma kritis tidak bersifat kontemplatif atau spektulatif murni.
Teori Kritis pada titik tertentu meman- dang dirinya sebagai pewaris
ajaran Karl Marx, sebagai teori yang menjadi emansipa- toris. Teori
Kritis tidak hanya mau menjelas- kan, mempertimbangkan,
merefleksikan dan menata realitas sosial tapi juga bahwa iningn
membongkar ideologi-ideologi yang sudah ada. pandangan paradigma
ini menekankan pada ilmu bukanlah didasarkan pada hukum dan
prosedur yang baku, tetapi untuk mem- bongkar ideologi-ideologi yang
sudah ada dalam pembebasan manusia dari segala be- lenggu
penghisapan dan penindasan.

4. Apa Itu Paradigma ?

Paradigma merupakan seperangkat konsep yang berhubungan satu sama lain


secara logis dan membentuk sebuah kerangka pemikiran yang berfungsi untuk
memahami, menafsirkan dan menjelaskan kenyataan dan/atau masalah yang dihadapi.
Pemahaman konsep paradigma tersebut relevan untuk pengembangan penelitian dan
ilmu pengetahuan.Paradigma merupakan pandangan dasar mengenai pokok bahasan
ilmu. Paradigma mendefinisikan dan membantu menemukan sesuatu yang harus diteliti
dan dikaji, pertanyaan yang harus dimunculkan, cara merumuskan pertanyaan, dan
aturan-aturan yang harus diikuti dalam mengintepretasikan jawaban. Paradigma adalah
bagian dari kesepakatan (consensus) terluas dalam dunia ilmiah yang berfungsi
membedakan satu komunitas ilmiah tertentu dengan komunitas lainnya. Paradigma
berkaitan dengan pendefinisian, teori, metode, hubungan antara model, serta instrumen
yang tercakup di dalamnya.
Menurut Harmon (dalam Moleong, 2004: 49), paradigma adalah cara mendasar
untuk melakukan persepsi, berpikir, menilai dan melakukan yang berkaitan dengan
sesuatu secara khusus tentang realitas. Bogdan & Biklen (dalam Mackenzie & Knipe,
2006) menyatakan bahwa paradigma adalah kumpulan longgar dari sejumlah asumsi,
konsep, atau proposisi yang berhubungan secara logis, yang mengarahkan cara berpikir
dan penelitian. Sedangkan Baker (dalam Moleong, 2004: 49) mendefinisikan
paradigma sebagai seperangkat aturan yang (1) membangun atau mendefinisikan
batasbatas; dan (2) menjelaskan bagaimana sesuatu harus di lakukan dalam batas-batas
itu agar berhasil.
Cohenn & Manion (dalam Mackenzie & Knipe, 2006) membatasi paradigma
sebagai tujuan atau motif filsofis pelaksanaan suatu penelitian. Berdasarkan definisi
diatas, dapat menyimpulkan bahwa paradigma ialah suatu konsep, metode dan
kaidahkaidah aturan - aturan yang dijadikan suatu kerangka kerja pelaksanaan dalam
sebuah penelitian.

5. Mengapa Paradigma Penting Dalam Penelitian ?

Karena, agar peneliti bisa menganalisis dan mengklasifikasi kategori yang cocok
untuk mereka teliti, juga karena kemampuan paradigma membedah realitas empirik dan
keluesan dalam menyikapi persoalan yang akan dipecahkan.

Anda mungkin juga menyukai