Anda di halaman 1dari 113

BAB I

PENGERTIAN FILSAFAT

A. Pengertian Filsafat

Kata filsafot berasal dari kata <philosophia> (bahasa Yunani), diartikan dengan

mencintai kebijaksanaan. Sedangkan dalam bahasa Inggris kata filsafet disebut

dengan istilah <


philosophy,, dan dalam bahasa Arab disebut dengan istilah

<
falsafdK>, yang biasa diterjemahkan dengan (cinta kearifan*.

Istilah philosophia memiliki akar kata philien yang berarti mencintai dan

sophos yang berarti bijaksana, Jadi, istilah philosophia berarti mencintai akan

haLhal yang bersifat bijaksana. Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa

filsafat berarti cinta kebijaksanaan. Sedangkan orang yang berusaha mencari

kebijaksanaan atau pecinta pengetahuan disebut dengan filsuf atau filosoE

Sumber dari filsafat adalah manusia, dalam hal ini akal dan kalbu manusia

yang sehat yang berusaha keras dengan sungguh-sungguh untuk mencari ke-

benaran dan akhimya memperoleh kebenaran.

Proses mencari kebenaran itu melalui berbagai tahap. Tahap pertama

manusia berspekulasi dengan pemikirannya tentang semua hal. Tahap keduat dari

berbagai spekulasi disaring menjadi beberapa buah pikiran yang dapat

diandalkan. Tahap ketiga,buah pikiran tadi menjadi titik awal dalam mencari

kebenaran (penjelajahan pengetahuan yang didasari kebenaran), kemudian

berkembang sebagai ilmu pengetahuan, seperti matematika, fisika, hukum,


politik, dan Iain-lain.

Selanjutnya untuk melengkapi definisi filsafat yang telah dikemukakan di

atas, berikut akan dipaparkan pendapat para filosof dan para ahli me- ngenai

filsafat. Di antara para filosof dan para ahli yang memberikan definisi filsafat itu

adalah sebagai berikut:

1. Pythagoras (572-497 SM.). Dalam tradisi filsafat zaman Yunani Kuno,

Pythagoras adalah orang yang pertama-tama memperkenalkan istilah

philosophia , yang kemudian dikenal dengan istilah filsafet. Pythagoras

memberikan definisi filsafat sebagai the love of wisdom. Menurutnya,

manusia yang paling tinggi nilainya adalah manusia pecinta kebijakan (lover

of wisdom), sedangkan yang dimaksud dengan wisdom adalah kegiatan

melakukan perenungan tentang Tuhan. Pythagoras $endiri menganggap

dirinya seorang philosophos (pecinta kebijakan), baginya kebijakan yang

sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan.

2. Socrates (469-399 SM.). Ia adalah seorang filosof dalam bidang moral yang

terkemuka setelah Thales pada zaman Yunani Kuno. Socrates memahami

bahwa filsafat adalah suatu peninjauan diri yang bersifat reflektif atau

perenungan terhadap asas-asas dari kehidupan yang adil dan bahagia

(principels Qf the just and h^ppy life).

3. Plato (427-347 SM.). ^eorang sahabat dan murid Socrates ini telah

m<agubah pengertian kearifan (sophia) yang semula bertalian dengan,

soal-soal praktis dalam kehidupan menjadi pemahaman intelektuaL

Menurutnya, filsafat adalah pengetahuan yang berminat mencapai ke-

benaran yang asli. Dalam karya tulisnya Republika , Plato menegaskan


bahwa para filosof adalah pecinta pandangan tentang kebenaran (vision of

truth), Dalam pencarian terhadap kebenaran tersebut, hanya filosof yang

dapat menemukan dan me-nangkap pengetahuan mengenai ide yang abadi

dan tak berubah. Dalam konsepsi Plato, filsafat merupakan pencarian yang

bersifat spekulatif atau perekaan terhadap pandangan tentang seluruh

kebenaran. Maka filsafat Plato tersebut kemudian dikenal dengan sebutan

Fihafdt Spekulatif.

4. Aristoteles (384-332 SM.). Aristoteles adalah salah sorang murid Plato yang

terkemuka. Dalam pandangannya, seringkaliAristoteles bersebararjig

dengan pendapat gurunya, namun pada prinsipnya, Aristoteles

mengembangkan paham-paham yang dikemiikakan oleh gurunya tersebut.

Berkenaan dengan pengertian filsafat, Aristoteles mengemukakan bahwa

sophia (kearifan) merupakan kebajikan intelektual tertinggi. Sedangkan

philosophia merupakan padanan kata dari episteme dalam arti suatu

kumpulan tep atur pengetahuan rasional mengenai sesuatu objek yang

sesuai. Ada、un pengertian filsafat itu sendiri, menurut Aristoteles, adalah

ilmu pengetahuan yang meliputi kebenaran yang terkandung di dalamnya

ilmu- ilmu metafisika, logika, retorika, etika, ekonomi, politik, dan estetika.

5. Rene Descartes (1596-1650). Ia memberikan definisi filsafat sebagai

kumpulan segala pengetahuan di mana Tuhan, alam, dan manusia menjadi

pokok penyelidikannya.

6. Imanuel Kant (1724-1804). Menurutnya filsafat adalah ilmu yang menjadi

pokok pangkal dari segala pengetahuan yang di dalamnya tercakup ma-

salah epistemologi, etika, dan masalah ketuhanan.


7. ALKindi (80L873 MJ. Ia adalah seorang filosof muslim pertama. Menurutnya

filsafat adalah pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu dalam

batas-batas kemampuan manusia, karena tujuan para filosof dalam ber-

teori adalah mencari kebenaran, maka dalam praktiknya pun harus me'

nyesuaikan dengan kebenaran pula.

8. AbFaxabi (870^950 M.). Menurutnya filsafot adalah ilmu yang menyelidiki

hakikat yang sebenamya dari segala yang ada (almaujurda.,.

9. Francis Bacon (1561-1621 MJ. Seorang filosof Inggris ini mengemukakan

metode induksi yang berdasarkan pengamatan dan percobaan menemu-

kan kebenaran dalam ilmu pengetahuan. Ia menyebut filsafat sebagai ibu

agung dari ilmu41mu (the great mother of the sciences).

10. Henry Sidgwick f18394900 M.). Dalam bukunyayangberjudul ^Philosophy,

Its Scope and Relations: An Introductory Course of Lectures", Henry Sidgwick

menyebutkan bahwa filsafat sebagai scientia scientarium (ilmu tentang

ilmu), karena filsafat memeriksa pengertian-pengertian khusus, asas-asas

pokok, metode khas, dan kesimpulan-kesimpulan utama dalam suatu ilmu

apapun dengan maksud untuk mengkoordinasikan semuanya dengan

hal-hal yang serupa dari ilmu-ilmu lainnya.

11. John Dewey (18584952). Dalam tulisannya yang beijudul: <(


Role of

Philosophy in The History of Civilazations; Proceedings of The Sixth

International Congress of Philosophy), ia menganggap filsafat sebagai suatu

sarana untuk melakukan penyesuaian-penyesuaian antara hal-hal yang lama

dengan yang baru dalam penyesuaian suatu kebudayaan. Filsafat

merupakan suatu pengungkapan dari perjuangan-perjuangan manusia


dalam usaha yang terus-menerus untuk menyesuaikan kumpulan tradisi

yang lama dengan berbagai kecenderungan ilmiah dan cita'cita politik yang

baru.

12. Bertrand Russel (18724970). Seorang filosof Inggris lainnya yang memiliki

nama lengkap Betrand Arthur William Russel ini menganggap filsafat

sebagai kritik terhadap pengetahuan, karena filsafat memeriksa secara kritis

asas-asas yang dipakai dalam ilmu dan dalam kehidupan sehari- hari, dan

mencari suatu ketakselarasan yang dapat terkandung dalam asas-asas itu.

13. MJ. Langeveld. Ia mengemukakan bahwa filsafat adalah ilmu yang meng-

kaji tentang masalah-masalah yang akhir dan yang menentukan, yaitu

masalah-masalah yang berkenaan dengan makna keadaan atau hakikat,

tentang Tuhan, keabadian, dan kebebasan.

14. Harun Hadiwijono. Menurutnya filsafat adalah usaha manusia dengan

akalnya untuk memperoleh suatu pandangan dunia dan hidup yang

memuaskan hati.

15. Fuad Hasan. Menurutnya filsafat adalah suatu ikhtiar untuk berpikir radikal

untuk sampai kepada kesimpulan yang universal.

16. Hasbulkih Bakry. Ia merumuskan filsafat adalah ilmu yang menyelidiki segala

sesuatu dengan mendalam mengenai ketuhanan, alatn semesta, dan

manusia, sehingga dapat menghasilkan pengetahuan yang mendalam.

17. Poedjawijatna (1974). Ia memberikan definisi filsafat sebagai ilmu yang

berusaha untuk mencari sebab yang sedalam-dalamnya bagi segala se'

suatu berdasarkan pikiran belaka.


18. A. Sonny Keraf dan Mikhacl Dua. Hal yang tidak kalah menariknya adalah

definisi dan komentar yang dikemukakan Sonny Keraf dan Mikhael Dua ini.

Mereka mengartikan ilmu filsafat sebagai ilmu tentang bertanya atau

berpikir tentang segala sesuatu (apa saja dan bahkan tentang pe- mikiran itu

sendiri) dari segala sudut pandang, thinking about thinking, Sedangkan

komentar Sonny Keraf dan Mikhael Dua tentang filsafat ini adalah bahwa

sering kali kita mendengar orang yang berkata: "Apa itu filsafat?11

Pertanyaan tersebut memang sulit dijawab secara singkat, namun menurut

Sonny dan Mikhael, dengan mengajukan pertanyaan tersebut menunjukkan

bahwa kita sedang berfilsafat. Dengan jawaban sederhana tersebut bisa

dipahami bahwa filsafat itu adalah sebuah sikap mempertanyakan tentang

segala sesuatu. Memang pada akhirnya pertanyaan itu akan menemukan

jawabannya, ietapi jawaban ini selalii dipertanyakan lagi. Karena itulah

filsafat sering.dianggAp sebagai sesuatu yang bermula dari sebuah

pertanyaan dan diakhiri dengan pertanyaan pula. Dengan kata lain, filsafat

adalah sebuah sistem pemikiran yang terbuka untuk dipertanyakan dan

dipersoalkan kembali. Filsafat adalah sebuah tanda tanya dan bukan tanda

seru. Filsafat adalah pertanyaan bukan pernyataari. Demikian Sonny dan

Mikhael berkomentar menge- nai definisi filsafat.

Sebenarnya masih banyak definisi, konsepsi, dan interpretasi mengenai

filsafat dari berbagai ihli yang merumuskan bahwa filsafat berhubungan dengan

bentuk kalimat yang logis dari bahasa keilmuan, dengan penilaian, dengan

perbincangan kritis, pra anggapan ilmu, atau dengan ukuran baku tindakan.

Setiap filosof dari suatu aliran filsafat membuat perumusannya masing-masing

agar cocok dengan kesimpulannya sendiri.


Berbagai perumusan itu tidak dapat dikatakan bahwa yang satu salah dan

yang lainnya benar. Nampaknya semua perumusan itu sama benarnya karena

masing-masing melihat dari salah satu pokok persoalan, permasalahan, titik

berat. Segi, tujuan atau metode yang dianut oleh seorang filosof atau suatu aliran

filsafat.

Oleh karena itu, pantas kalau Abu Dakar Atjeh dalam Ahmad Tafsir (2002:

11) menyatakan bahwa perbedaan definisi dan rumusan tentang filsafat itu

disebabkan oleh berbedanya konotasi filsafat pada tokoh-tokoh itu sendiri,

karena perbedaan keyakinan hidup yang dianut mereka pun berbeda-beda.

Perbedaan itujuga dapatmuncul karena perkembangan filsafat itu sendiri yang

menyebabkan beberapa pengetahuan khusus memisahkan diri dari filsafat.

Dari beberapa rumusan filsafat yang dikemukakan di atas, terlihat jelas bahwa

ilmu filsafat didefinisikan berbeda oleh satu tokoh dengan tokoh lainnya. Hal ini

juga sekaligus menunjukkan bahwa filsafat merupakan ilmu yang maha penting

untuk dikaji dan dikembangkan. Dari waktu ke waktu orang terus mengkaji dan

mendalami ilmu filsafat ini di berbagai belahan penjuru dunia. Selain itu, tidak

seperti disiplin ilmu lainnya, ilmu filsafat itu sangat sulit diberikan batasan secara

ketat dan pasti. Dengan demikian, masing-masing orang atau tokoh memberikan

makna dan definisi yang berbeda terhadap istilah filsafat ini.

Menurut Beni Ahmad Saebani (2009: 21) perbedaan definisi yang

dikemukakan oleh para tokoh tersebut disebabkan oleh beberapa hal, yaitu (a)

setiap tokoh hidup dalam kurun waktu yang berbeda; (b) setiap tokoh tumbuh

dan berkembang dalam lingkungan hidup yang berbeda; (c) setiap tokoh

dengan kapasitas keilmuan dan lainJain memiliki konotasi dan kesan makna yang

berbeda tentang definisi filsafat; (d) karena perkembangan filsafat itu sendiri.

Dalam kesempatan ini penulis juga ingin ikut urun rembug memberikan batasan
filsafat. Menurut hemat penulis bahwa filsafat adalah ilmu pengetahuan yang

berupaya mengkaji tentang masalah-masalah yang muncul dan berkenaan

dengan segala sesuatu, baik yang sifatnya materi maupun immateri secara

sungguh-sunggiih guna menemukan hakikat sesuatu yang sebenamya, mencari

pririsip-prinsip kebenaran, serta berpikir secara rasional- logis, mendalam dan

bebas, sehingga dapat dimanfaatkan untuk membantu menyelesaikan

masalah-masalah dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, filsafat tersebut

bukan hanya sebuah kajian yang sebatas pada ilmu saja (science for science^

tetapi filsafat dapat dipergunakan untuk memberikan inspirasi dan aspirasi dalam

mencari solusi pemecahan masalah yang dihadapi manusia. Dengan bantuan

ilmu filsafat akan ditemukan cara atau solusi yang paling elegan guna dapat

memecahkan persoalan yang rumit, yang mungkin tidak bisa diselesaikan dengan

bantuan disiplin lain. Banyak persoalan yang bisa dekati melalui bantuan ilmu

filsafat ini, terutama berkaitan dengan hal- hal yang bersifat teroretis, paradigms,

dan pandangan (view), perkembangan ilmu pengetahuan (knowledge),

perkembangan pemikiran (ratio), kajian ilmiah (scientific)f masalah-masalah yang

berkaitan dengan kebijakan (policy)f peraturan (rules), keputusan (judgment),

perundang-undangan, dan lain- lain. Kesemuanya sangat membutuhkan

pandangan dan bantuan dari ilmu filsafat. Dengan bantuan ilmu filsafat, segala

persoalan yang muncul dapat dikaji lebih mendalam, utuh, sistematis, dan

fleksibel, karena memang pada dasarnya filsafat ingin menyelesaikan

permasalahan secara lebih mendalam, kritis, rasional, logis, dan tuntas sampai ke

akar-akarnya (radikal).

Manusia sebagai makhluk istimewa yang diciptakan oleh Allah SWT.,


memiliki potensi-potensi yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, baik itu potensi

yang berupa fisik maupun nonfisik. Semua potensi fisik manusia memiliki fungsi

yang sangat luar biasa kegunaannya bagi keberlangsungan hidup manusia itu

sendiri, begitu juga dengan potensi nonfisik yang terdiri atas ruh, jiwa, akal, dan

rasa, semuanya menunjukkan manusia sebagai makhluk yang sempurna dan

istimewa.

Dengan potensi ruh, jiwa, dan akalnya manusia mampu menjadi makh' luk

yang lebih mulia kedudukannya dari makhluk lainnya. Dengan akalnya manusia

mampu berpikir, bemalar, dan memahami diri serta lingkungannya, berefleksi

tentang bagaimana ia sebagai seorang manusia memandang dunianya (word

views) dan bagaimana ia menata hidupnya (life skill).

Karena kemampuan dalam menggunakan nalarnya, manusia dapat

mengembangkan pengetahuan yang merupakan rahasia-rahasia kekuasaan-

Nya. Sebagai contoh para ilmuwan Muslim seperti Al-Khawarizmi (825 M.) yang

mampu menyusun buku matematika, al'jabar, dan aritmatika yang kemudian di

Eropa menjadi jalan pembuka untuk menggunakan angka desimal yang

menggantikan cara penulisan dengan angka Romawi. Ibnu Sina (980-1037 M.)

adalah bapak kedokteran modern, ia menulis buku' buku yang sangat terkenal,

seperti kitab Al-Qonuun fi AthThib (The Canon of Medicine) dan kitab Asy~Syifaf

(The Book of Healing) yang kemudian dijadikan bahan rujukan ahli-ahli

kedokteran modern. Ibnu al-Haitam (965-1040 M.) seorang cendekiawan

multidisiplin ilmu yang menghasilkan karya besar Air Manadhir (The Optic). Ibnu

Ismail Al-Jaziri (11364206),tokoh besar daflam bidang mekanik dan industri ini

berhasil mengembangkan prinsip hidrolik untuk menggerakkan mesin yang


dikenal sebagai mesin robot.

Dengan kecemerlangan nalar dan akalnya, di dunia Barat pun dikenal

tokoh^tokoh ilmuwan yang telah menorehkan sejarah emasnya bagi generasi

penerus mereka. Sebut saja Newton (1643-1727) yang berhasil menciptakan teori

gravitasi, teorinya memberikan penjelasan yang luas sekali tentang

peristiwa-pwristiwa fisika mulai dari ukuran molekuler sampai ukuran astro-

nomis. Selain itu, Newton juga berhasil menyusun perhitungan kalkulus yang

disebut integral. Alexander Abraham Bell (1847), sang penemu mesin telepon.

Thomas Alva Edison (18274931), penemu lampu pijar. Wilhewm Konrad Roentgen

(1895) yang telah menemukan sinar X (x ray). Dan masih banyak tokoh lain yang

telah berjasa bagi umat manusia dan peradabannya melalui penemuannya yang

luar biasa itu.

Lantas, bagaimana mereka semua mampu melakukan hal besar itu semua?

Jawabnya, itu semua mampu mereka capai tentunya karena mereka dapat

mengoptimalkan potensi akal yang Allah anugerahkan kepada mereka, termasuk

juga kepada kita. Dan salah satu bidang keilmuan yang mem- belajarkan manusia

untuk dapat mengoptimalkan akalnya adalah filsafat. Filsafat adalah sebuah

disiplin ilmu yang membutuhkan refleksi dan pemi* kiran sistematis logis dengan

secara aktif menggunakan intelek dan rasio.

Secara historis, hal'hal yang mendorong timbulnya filsafat ini sebagai' mana

dijelaskan Moh. Hatta dalam bukunya Alam Pikiran Tunanif ada dua hal. Pertama,

dongeng dan takhayul yang dimiliki suatu masyarakat atau suatu bangsa. Di

antara masyarakat tersebut ada saja orang-orang yang tidak percaya begitu saja.

Kemudian ia kritis dan ingin mengetahui kebenaran dongeng tersebut, lalu dari
situlah muncullah filsafat

Kedua, keindahan alam yang besar, terutama ketika malam hari. Hal

tersebut menyebabkan keingintahuan orangorang bangsa Yunani untuk me-

ngetahui rahasia alam tersebut. Keingintahuan untuk mengetahui rahasia alam

berupa pertanyaan-pertanyaan ini akhirnya menimbulkan filsafat juga.

Sementara itu, menurut Beerling dalam Ahmad Tafsir (2002: 13) menye-

butkan bahwa orangorang Yunani mula-mula berfilsafat dikarenakan ketakjuban.

Ketakjuban mereka dalam menyaksikan keindahan alam ini menyebabkan

mereka ingin mengetahui rahasia-rahasia alam semesta ini. Plato misalnya,

mengatakan bahwa filsafat itu dimulai dari ketakjuban. Sikap heran atau takjub

tersebut melahirkan sikap bertanya, dan pertanyaan itu akan dipertanyakan

kembali karena ia selalu sangsi pada kebenaran yang ditemukannya itu.

Namun, perlu dicatat bahwa pertanyaan yang dapat menimbulkan filsafat

bukanlah pertanyaan yang sembarang. Pertanyaan-pertanyaan sederhana seperti

“apa warna langit pada siang hari yang cerah?”,tidak akan menimbulkan filsafat,

hal itu cukup dijawab oleh mata kita. Begitu pun pertanyaan seperti “kapan awan

akan mulai turun menjadi air hujan?’’,pertanyaan tersebut pun tidak akan

menimbulkan filsafat, cukup dijawab dengan me- lakukan riset saja. Pertanyaan

yang dapat menimbulkan filsafat adalah pep tanyaan mendalam, yang bobotnya

berat dan tidak terjawab oleh indera kita. Coba saja Anda jawab pertanyaan dari

Thales, 4Apa sebenarnya bahan alam semesta ini?”, atau pertanyaan lain, “Dari

unsur apa alam semesta ini tercipta?” Pertanyaan saperti inilah yang metnbuat

indera kita tidak mampu menjawab bahkan sains pun terdiam. Dan jawaban

terhadap pertanyaan Thales ini pun memerlukan pemikiran yang mendalam.


Sementara itu, pada zaman modern seperti sekarang ini yang menjadi

penyebab timbulnya filsafat adalah karena adanya kesangsian. Apa yang

dimaksud dengan sangsi? Sangsi itu setingkat di bawah percaya dan setingkat di

atas tidak percaya. Apabila manusia menghadapi suatu pertanyaan, mungkin ia

akan percaya atau tidak percaya. Atau barangkali tidak kedua- duanya. Pada

sikap percaya dan tidak percaya, pikiran tidak bekerja dan ada problem, Akan

tetapi, ketika percaya tidak dan tidak percaya pun tidak, maka pikirannya akan

bekerja sampai pada percaya atau tidak percaya. Selama ada tanda tanya di

dalam pikiran, jalan pikiran itu membentur-bentur. Dalam bahasa Yunani

pertanyaan yang menbentur-bentur dalam pikiran itu disebut problema yang

menunjukkan sesuatu yang ditaruh di depan, merintangi perjalanan kita dan

harus disingkirkan agar tidak membentur kaki. Dengan demikian, sangsi

menimbulkan pertanyaan dan pertanyaan menyebabkan pikiran bekerja. Pikiran

bekerja menimbulkan filsafat.

Para filosof sangat paham betul dalam memanfaatkan otak atau rasio dalam

dirinya untuk mengubah wajah dunia dan dirinya itu. Sehingga de* ngan

kondisinya yang seperti itu, manusia sering disebut dengan sebutan homo

sapiens, makhluk pemikir.

Dengan otak, yang beratnya kurang dari satu setengah kilo gram ini,

manusia dapat berpikir dan menyimpan memori yang jumlahnya bisa bep

bilyun-bilyun ingatan, kebiasaan, kemampuan, keinginan, harapan dan ketakutan.

Menurut Gilbert Highet dalam Jujun S. Suriasumantri (1997: 41) di dalam

otak manusia tersimpan pola, suara, perhitungan dan berbagai dorongani

Bahkan, bisikan yang terdengar tiga puluh tahun yang lalu, atau kenangan
kebahagiaan yang tak kunjung datang namun terus terbayangkan, tekan jari yang

pasti pada sebuah gitar^ perkembangan 10.000 langkah catur, lengkung yang

persis dari sebuah bibir. Demikian juga gambaran sebuah bukit, seuntai nada dan

gaungan, kesedihan dan gairah, wajah-wajah asing yang singgah,

semerbakwangi sebuah kebun, dpa, penemuan, sajak, lelucon, nyanyian,

hitungan, kemenangan lama, ketakutan terhadap neraka, kasih terhadap Tuhan,

bayangan rumput yang tegak seperti pedang telanjang, atau langit yang semarak

penuh dengan bintang-bintang yang telah berlalu sekian l;ama masih bisa diingat

dan dimunculkan lagi dalam memori otak manusia tersebut. Otak manusia

senantiasa bekerja seperti jantung yang tak berhenti berdenyut, siang dan

malam, sejak kecil sampai tua renta.

Sebagai manusia yang beriman, sudah seharusnya kita bersyukur kepada Allah

swt. yang telah membekali kita akal. Melalui akal itulah kita mampu bernalar

sehingga kita menjadi makhluk yang berbudaya, yang lebih mulia dibandingkan

dengan makhluk lainnya. Sekiranya hewan yang diberi akal oleh Allah swt., maka

kita harus khawatir, karena mungkin yang akan dilestarikan agar tidak punah

bukanlah harimaujawa atau harimau Sumatera, melainkan manusia Jawa atau'

manusia Sumatera. •

Salah satu bentuk syukur kita terhadap anugerah besar tersebut adalah

memanfaatkan dan mendayagunakan segala potensi yang dimiliki oleh

manusia, terutama potensi akal. Pendayagunaan akal tersebut dapat dilakukan

melalui pembelajaran filsafat. Karena dengan filsafat kita sebagai manusia

mampu berpikir, bernalar, dan mamahami diri serta lingkungannya, dan

berefleksi tencang bagaimana kita sebagai seorang manusia memandang


dunia dan menata kehidupan yang labih baik dan optimal.

Persoalannya adalah banyak orang yang enggan untuk belajar filsafat.

Penyebabnya adalah karena adanya anggapan bahwa filsafat adalah salah satu

ilmu yang sulit dipelajari dan dipahami. Padahal sesungguhnya tidak, belajar

filsafat bisa sangat menyenangkan, sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad '

Tafsir (2002: 46) bahwa munculnya anggapan mempelajari filsafat itu susah,

dikarenakan adanya kesalahan dalam memulai mempelajari ilmu tersebut. Beliau

menyarankan, mulailah terlebih dahulu mempelajari pengantar fikafat, lalu

ketahuilah sistematikanya, setelah itu barulah Anda membaca buku-buku filsafat.

Filsafat tidak sulit karena filsfat adalah pemikiran. Dan setiap orang memiliki alat

untuk berpikir.

B. Objek Filsafat

Isi filsafat ditentukan oleh objek yang dipikirkan. Objek adalah sesuatu yang

menjadi bahan dari kajian dari suatu penelaahan atau penelitian tentang

pengetahuan. Dan setiap ilmu pengetahuan pasti mempunyai objek, baik objek

yang bersifat materiil maupun objek formal. Objek yang dipikirkan oleh filosof

adalah segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada. Objek yang diselidiki

oleh filsafat ini meliputi objek materiil dan objek formal.

Objek materiil dari filsafat ini adalah suatu kajian penelaahan atau pembentukan

pengetahuan itu, yaitu segala sesuatu yang ada dan mungkin ada. Objek materiil

filsafat ini mencakup segala hal, baik hal-hal yang kon- kret atau nyata maupun

hal-hal yang abstrak atau tidak tampak. Menurut Poedjawijatna (1980: 8) objek

materiil filsafat ialah yang ada dan yang mungkin ada. Objek filsafat materiil ini
meliputi segala dari keseluruhan ilmu yang menyelidiki segala sesuatu. Hampir

senada dengan Podjawijatna, Mohammad Noor (1981: 12) berpendapat

bahwa objek filsafat itu dibedakan atas objek materiil dan nonmaterial. Objek

materiil mencakup segala sesuatu yang ada dan mungkin ada, baik materiil

kpnkret, fisik. Sedangkan objek nonmateriil meliputi hal-hal yang abstrak, dan

psikis. Termasuk juga objek nonmateriil ini menurut Mohammad Noor adalah

pengertian abstraklogis, konsep-sional, spiritual, nilai-nilai, dan lainJain.

Tentang objek materiil filsafat ini banyak yang sama dengan objek materiil sains,

namun bedanya dalam dua hal, yaitu pertama, sains menyelidiki objek materiil

yang empiris, sementara filsafat menyelidiki bagian objek yang abstraknya.

Kedua, ada objek materiil filsafat yang memang tidak dapat diteliti oleh sains,

seperti Tuhan, hari akhir, yaitu objek materiil yang selamanya tidak empiris.

Jadi, dengan melihat d^ri beberapa pendapat mengenai objek filsafat ini dapat

dipahami bahwa objek filsafat meliputi berbagai hal, atau dengan kata lain, objek

filsafat ini tak terbatas, yang dalam pandangan Louis O. Kattsoff dalam

Burhanuddin Salam (1988: 39), bahwa lapangan kerja filsafat itu bukan main

luasnya, yaitu meliputi segala pengetahuan manusia serta segala sesuatu apa saja

yang ingin diketahui manusia. Begitii luasnya kajian atau objek filsafat ini

menyangkut hal-hal yang fisik atau tampak maupun yang psikis atau yang tidak

tampak. Hal-hal yang fisik adalah segala sesuatu yang ada, baik yang ada dalam

pikirari, ada dalam kenyataan, maupun ada dalam kemungkinan. Hal-hal yang

fisik ini juga meliputi alam semesta, semua keberadaan, masalah hidup, dan

masalah manusia. Sedangkan hal-hal yang psikis atau nonfisik ini adalah masalah

Tuhan, kepercayaan, norma-norma, nilai, keyakinan, dan lainnya.


Sedangkan objek formal, yaitu sifat penelitian. Objek formal adalah penyelidikan

yang mendalam. Kata mendalam berarti ingin tahu tentang objek yang tidak

empiris. Penyelidikan sains tidak mendalam karena ia hanya ingin tahu sampai

batas objek itu dapat diteliti secara empiris. Objek penelitian sains adalah pada

batas dapat diriset, sedangkan objek penelitian filsafat ada pada daerah tidak

dapat diriset, tetapi dapat dipikirkan secara logis.

Selanjutnya dapat dikemukakan objek formal filsafat menurut Lasiyo dan

Yuwono (1985: 6) adalah sudut pandang yang menyeluruh, secara umum,

sehingga dapat mencapai hakikat dari objek materiilnya. Jadi, objek formal filsafat

ini membahas objek materiilnya sampai ke hakikat atau esens i dari yang

dibahasnya.

C. Metode Filsafat

Metode yang dipakai dalam ilmu filsafat ini sebenamya sangat banyak, se-

banyak para tokoh filsafat atau filosof yang masing-masing memiliki dan

menamakan metodenya masing-masing. Seperti yang dilakukan oleh Socrates

dan Plato, maka metode yang mereka pakai dinamai dengan metode kritis.

Metode kritis adalah cara kerja atau bertindak yang bersifat analitis. Metode ini

dilakukan dengan cara melalui percakapan-percakapan (dialog). Socrates tidak

menyelidiki fakta-fakta, melainkan ia menganalisis berbagai pendapat atau

aturan-aturan yang dikemukakan orang. Setiap orang memiliki pendapat yang

berbeda dan analisis yang berlainan.

Dengan cara percakapan atau dialog tersebut, Socrates menemukan suatu

cara berpikir induksi, yaitu berdasarkan beberapa pengetahuan mengenai


masalah-masalah khusus memperoleh kesimpulan pengetahuan yang bersifat

umum.

Metode lain, yang biasa dipakai dalam ilmu filsafat adalah metode skolastik,

yang dikembangkan oleh Aristoteles dan Thomas Aquinas. Metode skolastik ini

sering disebut dengan istilah sintetis deduktif Metode skolastik ini banyak dipakai

untuk menguraikan metode mengajar di spkolah atau di perguruan tinggi, bukan

hanya dalam bidang ilmu filsafat saja, melainkan dalam semua ilmu, seperti ilmu

hukum, ilmu pasti, kedokteran, dan lainnya.

Sebagian ahli ada yangf mengelompokkan metode yang dipergunakan dalam

mempelajari filsafat ini menjadi tiga macam, yaitu metode sistematis, metode

historis, dan metode kritis. Dengan menggunakan metode sistematis, para pelajar

akan menghadapi karya-karya filsafat, misalnya mempelajari tentang teori-teori

pengetahuan yang terdiri atas beberapa cabang filsafat. Setelah itu ia

mempelajari teori hakikat yang merupakan cabang ilmu lain- nya, kemudian ia

akan mempelajari teori nilai atau filsafat nilai. Ketika para pelajar membahas

setiap cabang atau subcabang filsafat, maka aliran-aliran filsafat pun akan

terbahas. Maka dengan mempelajari filsafat melalui metode sistematis ini

perhatiannya akan terfbkus pada isi filsafat, bukan pada tokoh ataupun pada

zaman, serta periodenya.

Sedangkan metode historis digunakan bila para pelajar mengkaji filsafat

dengan mengikuti sejarahnya. Ini dapat dilakykan dengan cara membicara- kan

tokoh demi tokoh menurut kedudukannya dalam sejarah. Sebagai contoh, jika

kita ingin membicarakan tokoh filsafat atau filosof Thales, berarti kita

membicarakan riwayat hidupnya, pokok ajarannya, baik dalam teori


pengetahuan, teori hakikat, maupun dalam teori nilai. Kemudian dilanjutkan

dengan membicarakan Anaximandros, Socrates, Rousseau, Immanuel Kant dan

seterusnya sampai pada tokoh-tokoh kontemporer saat ini. Mengenalkan

tokoh-tokoh filsafot ini memang sangat perlu karena ajarannya biasanya

berkaitan erat dengan lingkungan, pendidikan, dan kepentingannya.

Cara lain untuk mempelajari filsafat dengan menggunakan metode historis ini

adalah dengan cara membagi babakan atau periode filsafat sejarah. Misalnya,

mula-mula yang dipelajari adalah filsafat kuno, kemudian filsafat pertengahan,

dan selanjutnya adalah filsafat abad modern. Variasi cara mempelajari filsafat

dengan menggunakan metode historis ini cukup banyak. ^ing penting,

mempelajari filsafat dengan menggunakan metode. historis berarti mempelajari

filsafat secara kronologis. Dan metode ini cocok bagi para-.pelajar pemula.

Ada^uh metode kritis digunakan oleh mereka yang mempelajari filsafat tingkat

intensif. Di mana para pelajar haruslah telah memiliki bekal pengetahuan tentang

filsafat secara memadai. Dalam metode ini pengajaran filsafat dapat

menggunakan metode sistematis atau historis. Langkah pertama adalah

memahami isi ajaran, kemudian para pelajar mencoba mengajukan kritiknya.

Kritik itu mungkin dalam bentuk menentang atau menolak paham atau pendapat

dari para tokoh, namun dapat juga berupa dukungan atau memperkuat terhadap

ajaran atau paham filsafat yang sedang dikajinya. Dalam mengkritik mungkin ia

menggunakan pendapatnya sendiri atau dengan menggunakan pendapat para

filosof lainnya.

Selain dengan ketiga metode di atas, dalam ilmu filsafat dikenal juga metode

empiris, seperti yang dipahami oleh Thomas Hobbes, John Locke, dan David
Hume. Menurut mereka hanya pengalamanlah yang dapat menyajikan

pengertian benar. Masih banyak metode^metode lain seperti metode intuitif^

metode geometris, metode transcendental, metode fenomeologis, dan

metode-metode lainnya yang semuanya lahir dikarenakan keyakinan dan

pengalaman mereka dalam memahami filsafat secara sungguh-sungguh

sehingga menghasilkan bentuk metode yang berbeda'beda tersebut.

D. Ciri-Ciri Filsafat

Sejalan dengan definisi filsafat di atas, dapat diketahui bahwa filsafat

mengandung beberapa ciri atau unsur yang terkandung di dalamnya, yaitu

sebagai berikut.

1. Filsafat sebagai ilmu, yaitu bahwa filsafat berusaha untuk mencari

tentanghakikat atau inti dari suatu hal. Hakikat.ini sifatnya sangat dalam dan

hanya dapat dimengerti oleh akal. Untuk mencari pengetahuan ,hakikat,

haruslah dilakukan dengan abstraksi, yaitu suatu perbuatan akal untuk

menghilangkan keadaan, sifot-sifat yang secara kebetulan, sehingga

akhirnya muncul substansi (sifat mutlak).

2. Filsafat sebagai cara berpikir, yaitu cara berpikir yang sangat mendalam

(radikal) sehingga akan sampai pada hakikat sesuatu. Pemikiran yang

dilakukan dengan melihat dari berbagai sudut pandang pemikiran atau dari

sudut pandang ilmu pengetahuan.

3. Filsafat sebagai pandangan hidup, yaitu bahwa filsafat pada hakikatnya

bersumber pada hakikat kodrat diri manusia, yang berperan sebagai

makhluk individu, makhluk sosial, dan makhluk Tuhan. Filsafat sebagai


pandangan hidup dapat dijadikan dasar setiap tindakan dan tingkah laku

dalam kehidupan sehari-hari, juga dipergunakan untuk menyele$aikan

persoalan-persoalan yang dihadapi dalam hidupnya. Sikap dan cara hidup

tersebut akan muncul apabila manusia mampu me' mikirkan dirinya sendiri

secara total (menyeluruh). Pengkajian tentang manusia secara total dan

menyeluruh ini telah melahirkan bermacam- macam filsafat yang dapat

dijadikan pegangan atau pandangan hidup manusia itu sendiri.

Macam-macam filsafat tersebut, antara lain sebagai berikut.

a. Filsafat sosial, yang mengkaji manusia dengan kedudukannya sebagai

makhluk sosial.

b. Filsafat biologi, yang meneliti manusia dengan unsur raganya.

c. Filsafot antropologi, meneliti manusia dengan unsur kesatuan jiwa dan

raganya.

d. Filsafat etika, meneliti manusia dengan unsur kehendaknya untuk

berbyat baik dan buruk.

e. Filsafiat estetika, yang mengkaji manusia dengan unsur rasanya.

f. Filsafat agama, mengkaji manusia dengan unsur kepercayaannya tep

hadap supranatural, dan lain-lain.

Menurut Wirodiningrat (1981: 113), filsafet mempunyai karakteristik sendiri,

yaitu menyeluruh, mendasar, dan spekulatif Menyeluruh artinya bahwa filsafat

mencakup tentang pemikiran dan pengkajian yang luas, sebagaimana objek

filsafat yang dikemukakan di atas, tidak membatasi diri dan bukan hanya ditinjau

dari sudut pandang tertentu. Kajian filsafat dapat dipakai untuk mengetahuai
hubungan antara ilmu yang satu dengan ilmu yang laini hubungan ilmu dengan

moral, seni, dan tujuan hidup. Sedangkan mendasar aitinya bahwa filsafat adalah

suatu kajian yang mendalam, kajian yang mendetail, yang sampai kepada hasil

yang fundamental atau esensial, sehingga dapat dijadikan dasar berpijak bagi

segenap nilai dan keilmuan. Adapun filsafat memiliki ciri spekulatifi karena hasil

pemikiran filsafat yang diperoleh dijadikan dasar bagi pemikiran selanjutnya.

Hasil pemikirannya selalu ditujukan sebagai dasar untuk menghasilkan

pengetahuan yang baru.

E. Manfaat Mempelajari Filsafat

Dengan memerhatikan definisi filsafat itu sendiri, sesungguhnya sudah dapat

tergambar dan dipahami mengenai manfaat atau kegunaan mempelajari ilmu

filsafat tersebut. Dengan mempelajari filsafat, paling tidak ada tiga hal yang dapat

diambil pelajaran. Pertama, filsafat telah mengajarkan kita untuk lebih mengenai

diri sendiri secara totalitas, sehingga dengan pemahaman tersebut dapat dicapai

hakikat manusia itu sendiri dan bagaimana sikap manusia itu seharusnya. Filsafat

mengajarkan kita agar terlatih untuk berpikir serius, berpikir secara radikal,

mengkaji sesuatu sampai ke akar-akarnya.

Berfilsafat adalah berusaha menemukan kebenaran tentang segala sesuatu

dengan menggunakan pemikiran secara serius. Kemampuan bep pikir serius

diperlukan oleh orang biasa, terlebih lagi bagi orang-orang yang memegang

posisi penting dalam membangun dunia, memimpin masyara- kat, menjadi

penguasa dalam pemerintahan. Kemampuan berpikir serius itu, mendalam

adalah salah satu cirinya, ini tidak akan dimiliki tanpa melalui latihan. Belajar
filsafet merupakan salah satu bentuk Iatihan untuk memperoleh kemampuan

berpikir serius. Kemampuan ini akan memberikan bekal yang berharga dalam

upaya memecahkan masalah secara serius, mene- mukan akar persoalan yang

terdalam, dan menemukan sebab terakhir suatu penampakan.

Kedua, filsafat mengajarkan tentang hakikat alam semesta. Pada dasarnya

berpikir filsafat ialah berusaha untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang

rasional dalam rangka inemahami segala sesuatu, termasuk diri manusia itu

sendiri.

Setiap orang tidak perlu mengetahui isi filsafat. Akan tetapi, orang- orang yang

ingin berpartisipasi dalam membangun dunia perlu mengetahui ajaran-ajaran

fikafat. Mengapa? Hal itu dikarenakan dunia dibentuk oleh dua kekuatan ;

agama dan atau filsafat. Barang siapa yang ingin memahami - dunia maka ia

harys memahami dunia atau filsafat yang mewarnai dunia tersebut. Dengan

memiliki kemampuan berpikir serius, seseorang mungkin saja akan mampu

menemukan rumusan baru dalam menyelesaikan masalah- masalah dunia dan

alam sekitarnya. Mungkin itu berupa kritik, mungkin juga berupa usul. Apabila

argumentasinya kuat, maka kritik dan usul ter- sebut bisa menjadi suatu sistem

pemikiran.

Ketiga, filsafat mengajarkan tentang hakikat Tuhan. Studi tentang filsafat

seyogyianya dapat membantu manusia untuk membangun ke- yakinan

keagamaan atas dasar yang matang secara intelektual. Dengan pemahaman yang

mendalam dan dengan daya nalar yang tajam, maka akan sampailah kepada

kekuasaan yang mutlak, yaitu Tuhan. Maka dengan filsafat, nash atau

ajaran-ajaran agama dapat dijadikan sebagai bukti untuk membenarkan akal.


Atau sebaliknya, dengan filsafat dapat dijadikan alat untuk membenarkan nash

atau ketentuan agama. Objek filsafat membahas segala yang ada, baik yang fisik

maupun yang metafisik seperti manusia, alam semesta, dan Tuhan. Sementara

clalam agama, objeknya adalah Tuhan dan sifat-sifatnya serta hubungan Tuhan

dengan alam dan manusia yang hidup di bumi sesuai dengan syariat yang telah

ditetapkan dalam kitab suci.

Menurut Asmoro Achmadi (2005: 15) mempelajari filsafat adalah sangat

penting, di mana dengan ilmu tersebut manusia akan dibekali suatu

kebijaksanaan yang di dalamnya memuat nilai-nilai kehidupan yang sangat

diperlukan oleh umat manusia.

Bagi para pemula, dengan belajar filsafat diharapkan akan dapat me' nambah

ilmu pengetahuan, karena dengan bertambahnya ilmu pengetahuan akan

bertambah cakrawala pemikiran, cakrawala pandang yang semakin luas. Hal ini

mengandung implikasi, bahwa dengan memahami filsafat ini dapat membantu

penyelesaian masalah yang selaju kita hadapi dengan cara yang lebih bijaksana.

Selain itu, dengan mempelajari filsafat, kita akan dihadapkan kepada

pemikiran para tokoh atau filosof yang mengkaji tentang segala hal, yang fisik

dan metafisik. Dari para tokoh atau filosof inilah kita akan memperoleh ide-ide

yang fundamental. Dengan ide-ide itulah akan membawa manusia ke arah suatu

kemampuan untuk memperbaiki kesadarannya dalam segala tindakannya,

sehingga manusia akan lebih hidup, lebih tanggap terhadap diri dan

lingkungannya, lebih sadar terhadap hak dan kewajibannya, lebih bijaksana

dalam segala tindakannya.

Manfaat mengkaji filsafat menurut Franz Magnis Suseno (1991) adalah


bahwa filsafat merupakan sarana yang baik untuk menggali kembali kekayaan

kebudayaan,tradisi,danfilsafatlndonesiasertauntukmengaktualisasikannya.

Filsafatlah yang paling sanggup untuk mendekati warisan rohani, tidak hanya

secara verbalistik, melainkan juga secara evaluatif, kritis, dan reflektif, sehingga

kekayaan rohani bangsa dapat menjadi modal dalam pembentukan identitas

modern bangsa Indonesia secara terus menerus.

F. Cabang-Cabang Filsafat

Filsafat merupakan induk dari segala ilmu pengetahuan, sehingga ilmu-

ilmu yang lain merupakan anak dari filsafat itu sendiri. Filsafat merupakan bidang

studi yang memiliki cakupan yang sangat luas, se-hingga diperlukan pembagian

yang lebih kecil lagi.

Meskipun demikian, dalam hal pembagian lapangan-lapangan atau

cabang-cabang filsafet ini masingdnasing tokoh memiliki metodeyangberbeda

,dalam melakukan penghimpunan terhadap lapanganJapangan pembicaraan

kefilsafatan. Plato, misalnya, membagi lapangan filsafat ke dalam tiga macafti

bidang, yaitu dialektika, fisika, dan etika. Dialektika adalah cabang filsafat yang

membicarakan persoalan ide-ide atau pengertian umum. Adapun fisika

merupakan cabang filsafat yang di dalamnya mengandung atau membicarakan

persoalan materi. Sedangkan etika adalah cabang filsafat yang di dalamnya

mengandung atau membicarakan persoalan baik dan buruk.

Sedangkan menurut Aristoteles, pembagian filsafat itu digolong-kan ke dalam

empat cabang, yaitu logika, filsafat teoritis, filsafat praktis, dan filsafat poetika. 1)

Logika adalah ilmu pendahuluan bagi filsafat, ilmu yang mendasari dalam
memahami filsafat. 2) Filsafat teoritis atau filsafat nazariah, di dalamnya tercakup

ilmu-ilmu lain yang sangat penting seperti ilmu fisika, ilmu matematika, dan ilmu

metafisika. Bagi Aristoteles ilmu metafisika inilah yang menjadi inti atau bagian

yang paling utama dari filsafat. 3) Filsafat praktis atau filsafat alamiah, di

dalamnya tercakup tiga macam ilmu yang tidak kalah pentingnya, yaitu a) ilmu

etika, yang mengatur kesusilaan dan kebahagiaan dalam hidup perorangan, b)

ilmu ekonomi, yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran clalam keluarga

(rumah tangga), dan ilmu politik, yang mengatur kesusilaan dan kemakmuran

dalam Negara. 4) Filsafat poetika merupakan filsafat kesenian, yakni filsafat yang

membicarakiin tentang keindahan, pengertian seni, penggolongan seni, nilai seni,

aliran dalam seni, dan teori penciptaan dalam seni.

Berbeda dengan Plato dan Aristoteles, Louis O. Kattsoff (1996: 73) meng-

golongkan cabang-cabang filsafat ini secara lebih terperinci, sehingga pern-

bagian cabang filsafat ini dapat dikategorikan ke dalam urutan-urutan yang

umum menjadi semakin menurun kepada yang lebih khusus. Penggolongan

lapangan-lapangan filsafat menurut Kattsoff ini menjadi cabangcabang filsafat

sebagai berikut.

1. Logika, adalah ilmu yang membicarakan teknik?teknik untuk memperoleh

kesimpulan dari suatu perangkat bahan tertentu. Logika terbagi ke dalam

dua cabang utama, yakni logika deduktif dan logika induktif Logika deduktif

berusaha menemukan aturan-aturan yang dapat di- pergunakan untuk

menarik kesimpulan-kesimpulan yang bersifat keha' rusan dari satu premis

tertentu atau lebih. Memperoleh kesimpulan yang bersifat keharugan itu

yang paling mudah ialah bila didasarkan atas susunan proposisi-proposisi


tersebut. Logika yang membicarakan susunan proposisi-proposisi dan

pe-nyimpulan yang sifatnya keharusan berdasarkan susunannya, dikenal

sebagai logika deduktif atau logika formal. Adapun logika induktif, mencoba

untuk menarik kesimpulan dari susunan proposisi-proposisi yang spesifik

dengan memperhatikan sifat-sifat dari bahan yang diamati. Logika induktif

mencoba untuk bep gerak dari: 1) suatu perangkat fakta yang diamati

secara khusus menuju kepada pernyataan yang bersifat umum mengenai

semua fakta yang ber- corak demikian, atau 2) suatu perangkat akibat

tertentu kepada sebab atau sebab-sebab dari akibat^akibat tersebut. Bila

logika deduktif atau suatu perangkat aturan yang dapat diterapkan

hampir-hampir secara otomatis, bagi logika induktif tidak ada aturan-aturan

yang demikian, kecuali hukum-hukum probabilitas.

2. Metodologi, ialah sebagaimana yang ditunjukkan oleh pemyataan, yakni ilmu

pengetahuan atau mata pelajaran tentang metode, dan khususnya metode

ilmiah. Tetapi metodologi dapat membahas metode-metode yang lain,

misalnya metode-metode yang dipakai dalam sejarah. Metodologi

membicarakan hakhal seperti observasi, hipotesis, hukum, teori, susunan

eksperimen, dan sebagainya.

3. Metafisika, yaitu hal-hal yang terdapat sesudah fisika, hal'hal yang terdapat

di balik yang tampak. Metafisika oleh Aristoteles disebut sebagai ilmu

pengetahuan mengenai yang-ada sebagai yang ada, yang dilawankan

dengan yang-ada sebagai yang digerakkan atau yang ada sebagai yang

dijumlahkan. Kita dapat mendefinisikan metafisika sebagai bagian

pengetahuan manusia yang berkaitan dengan pertanyaan mengenai hakikat


yan^ada yang terdalam. Secara singkat, dapat dinyatakan bahwa

pertanyaan-pertanyaan ini menyangkut persoalan kenyataan sebagai

kenyataan, dan berasal dari perbedaan yang cepat disadari oleh setiap orang,

yakni perbedaan antara yang nampak (apperence) dengan yang nyata

(reality).

4. Ontologi dan kosmologi. Ontologi membicarakan azas^zas rasional dari

yang ada, sedangkan kosmologi membicarakan azas'azas rasional dari yang

ada yang teratur. Qntologi berusaha mengetahui esensi yang terdalam dari

yang ada, sedangkan kosmologi berusaha untuk mengetahui ketertiban serta

susunannya.

5. Epistemologi, ialah cabang filsafat yang menyelidiki asal mula, susunan,

metpde-metode dan sahnya pengetahuan. Terdapat dua macam pertanyaan

berkaitan dengan epistemologi. Pertama, perangkat yang mengacu kepada

sumber pengetahuan kita; pertanyaan-pertanyaan ini dapat dinamakan

pertanyaan-pertanyaan epistemologi kefilsafatan, dan erat kaitannya dengan

ilmu jiwa. Kedua, pertanyaan-pertanyaan yang lain merupakan

masalah-masalah semantik, yakni menyangkut hubungan antara

pengetahuan kita dengan objek pengetahuan tersebut. Secara singkat,

epistemologi dapat diartikan dengan bagaimana cara kita untuk mengetahui

sesuatu.

6. Biologi kefilsafdtan, membicarakan persoalan-persoalan mengenai biologi.

Biologi kefilsafatan mencoba untuk menganalisis pengertian-pengertian

hakiki dalam biologi. Ia mengajukan pertanyaan-pertanyaan mengenai

pengertian-pengertian hidup, adaptasi, teologi, evolusi, dan penurunan


sifat*sifat Biologi kefilsafatan juga membicarakan tentang tempat hidup

dalam rangka sesuatu, dan arti pentingnya hidup bagi penafsiran kita

tentang alam semesta tempat kita hidup. Biologi kefilsafatan membantu

untuk bersifat kritis, bukan hanya terhadap istilah-istilah biologi, melain* kan

juga terhadap metode-metode serta teori-teorinya. Gambaran yang kita buat

mengenai kenyataan tidak boleh bertentangan dengan fakta- fakta biologi

yang sudah ditetapkan dengan baik.

7. Psikologi kefilsafatan,memberikan pertanyaan-pertanyaan psikologi yang

meliputi apakah yang dimaksud dengan jiwa, nyawa, ego, akal, perasaan, dan

kehendak. Pertanyaan tersebut dapat dijelaskan oleh psikologi sebagai ilmu,

namun psikologi kefilsafatan membantu tingkat kehakikian dari penjelasan

tersebut.

8. Antropologi kefilsafatan, mengemukakan pertanyaan-pertanyaan tentang

manusia. Apa hakikat terdalam dari manusia itu? Ada pilihan penafsiran apa

sajakah mengenai hakikat manusia itu? Yang manakah yang lebih meiidekati

kebenaran? Antropologi kefilsafetanjuga membicarakan tentang makna

sejarah manusia. Apakah sejarah manusia itu dan ke manakah arah

kecenderungannya? Apakah sejarah manusia tergantung pada apakah

manusia itu, dan apakah manusia itu dapat dipahami berdasaran sejarahnya?

9. Sosiologi kefilsafatan, mengemukakan pertanyaan-pertanyaan mengenai

hakikat masyarakat serta hakikat negara. Kita ingin mengetahui lembaga-

lembaga yang terdapat di dalam masyarakat, dan kita ingin menyelidiki

hubungan antara manusia dengan negaranya. Apakah makna serta

bagaimanakah cara penggunaan istilah-istilah seperti proletariat,


kebebasan, massa, iridividu, dan sebagainya. Pada saat ini

pertanyaan-pertanyaan tersebut menjadi pertanyaan-pertanyaan yang

sangat mendesak, karena keputusan kita serta hari depan kita menanti

pilihan kita mengenai ideologi politik serta ideologi sosial

10. Etika,adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang baik dan buruk.

Cabang filsafat yang menyajikan dan memperbincangkan. tentang istilah'

istilah seperti baik, buruk, kebajikan, kejahatan, dan sebagainya. Istilah- istilah

ini merupakan predikat-predikat kesusilaan (etik), dan merupakan cabang

filsafat yang bersangkutan dengan tanggapan'tanggapan mengenai tingkah

laku yangbetul yang mempergunakan sebutan-sebutan tersebut. Di dalam

etika kita berusaha untuk menemukan fakta-fokta mengenai situasi

kesusilaan agar dapat menerapkan norma-norma terhadap fakta- fakta

tersebut. letapi yang paling benar ialah tujuan kita yang pokok < di dalam

etika agaknya ialah menemukan norrma-norma untuk hidup dengan baik.

Kita juga berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan, seperti Apakah cara

kita melakukan pilihan di antara hal-hal yang baik? Itu tadi merupakan

beberapa saja di antara banyak masalah yang dihadapi dalam etika.

11. Estetika, adalah cabang filsafat yang membicarakan definisi, susunan, dan

peranan keindahan, khususnya di dalam seni. Estetika menggali jawab-an

dari pertanyaan-pertanyaan: Apakah keindahan itu? Apakah hubungan

antara yang indah dengan yang benar dan yang baik? Apakah ada ukuran

yang dapat dipakai untuk menanggapi suatu karya seni dalam arti yang

objektif? Apakah fungsi keindahan dalam hidup kita? Apa seni itu sendiri?

Apakah seni itu hanya sekadar reproduksi alam kodrat belaka, ataukah suatu
ungkapan perasaan seseorang, ataukah suatu penglihatan ke dalam

kenyataan yang terdalam?

12. Filsafat agama, adalah cabang filsafat yang membicarakan jenis-jenis

pertanyaan berbeda mengenai agama. Pertama-tama ia mungkin bertanya

; Apakah agama itu? Apa yang Anda maksud dengan istilah <<
Tuhan,? Apa

bukti-bukti tentang adanya luhan? Bagaimana cara kita mengetahui adanya

Tuhan? Apa makna “eksistensi” bila istilah ini dipergunakan dalam

hubungannya dengan Tuhan? Filsafat agama tidak berkepentingan

mengenai apa yang orang percayai, tetapi mau tidak mau harus menaruh

perhatian kepada makna istilah-istilah yang dipergunakan, ketentuan di

antara kepercayaan-kepercayaan, bahan-bahan bukti kepercayaan, dan

hubungan antara kepercayaan agama dengan kepercayaan-kepercayaan

yang lain.

Pembagian filsafat secara sistematis yang didasarkan pada sistematika yang

berlaku di dalam kurikulum akademik meliputi metafisika, epistemologi, logika,

logika,; etika, dan estetika. Dalam studi filsafat untuk memahaminya secara baik

piling tidak kita dapat mempelajari lima bidang pokok, yaitu metafisika,

epistemologi, logika, etika, dan estetika.

Pertama, metafisika. Metafisika merupakan cabang filsafat yang mem-

bicarakan tentang hal-hal yang sangat mendasar (elementer) yang berada di luar

perigalaman manusia (immediate experience). Cabang ini membicarakan segala

jsesuatu secara komprehensif seperti hubungan akal dengan benda, hakikat

perubahan, pengertian tentang kebebasan, wujud Tunan, tentang kehidupan,

kematian dan lainJain.


Filsafat metafisika ini adalah filsafat yang mengkaji tentang hal ada. Istilah

metafisika itu sendiri berasal dari akar kata 'meta’ dan Jisika’. Meta berartf

sesudah, selain, atau sebaliknya. Fisika berarti nyata, atau alam. Metafisika berarti

sesudah, dibalik yang nyata.

Ditinjau dari segi filsafat secara menyeluruh, metafisika adalah ilmu yang

memikirkan hakikat di balik alam nyata. Metafisika membicarakan hakikat dari

segala sesuatu dari alam nyata tanpa dibatasi pada sesuatu yang dapat diserap

oleh pancaindera.

Kedua, epistemologi. Epistemologi lazimnya disebut teori pengetahuan yang

secara umum membicarakan mengenai sumber-sumber, karakteristik, dan

kebenaran pengetahuan. Persoalan epistemologi berkaitan erat dengan

persoalan metafisika. Bedanya, persoalan epistemologi berpusat pada apa- kah

yang ada, yang di dalamnya memuat masalah pengetahuan. Masalah

pengetahuan dikaji secara mendalam mulai dari sumber pengetahuan, dari mana

pengetahuan yang benar, dan bagaimana kita dapat mengetahui, apa yang

menjadi karakteristik pengetahuan, dan lain'lain.

Jadi, epitemologi adalah bagian filsafat yang membicarakan tentang

tetjadinya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan,

batas-batas, sifat, metode, dan kesahihan pengetahuan. Dengan mempelajari

epis- temologi diharapkan dapat membedakan antaia pengetahuan dan ilmu

serta mengetahui kebenaran suatu ilmu itu ditinjau dari isinya.

Ketiga, logika. Logika adalah bidang pengetahuan yang mempelajari

segenap asas, aturan, dan tatacara penalaran yang betul. Pada mulanya logika

sebagai pengetahuan rasional. Lapangan dalarn logika adalah asas-asas yang


menentukan pemikiran yang lurus, tepat, dan sehat. Dengan mempelajari logika

diharapkan dapat menerapkan asas bernalar sehingga dapat menarik kesimpulan

dengan tepat.

Pada asalnya logika disebut oleh Aristoteles sebagai analitika, yang

kemudian dikembangkan oleh para ahli abad pertengahan disebut ‘logika

tradisionaf. Kemudian pada akhir abad ke49 logika tradisional dikembangkan

menjadi logika modem’.

Secara ringkas dapat dikatakan bahwa logika adalah ilmu pengetahuan dan

kecakapan untuk berpikir lurus (tepat). Logika juga merupakan ilmu pengetahuan

yang merupakan suatu kesatuan yang sistematis serta mem- berikan penjelasan

yang dapat dipertanggungjawabkan.

Lapangan ilmu pengetahuan ini ialah asas-asas yang menentukan pemikiran

yang lurus, tepat, dan sehat. Agar dapat berpikir lurus, tepat dan teratur, logika

menyelidiki, merumuskan serta menerapkan hukum-hukum yang harus ditepati.

Dengan menerapkan hukum-hukum pemikiran yang lurus, tepat dan sehat,

kita dimasukkan ke dalam lapangan logika, sebagai suatu kecakapan. Hal ini

menyatakan bahwa logika bukanlah teori belaka. Logika juga merupakan suatu

keterampilan untuk menerapkan hukum-hukum pemikiran dalam praktik. Inilah

sebabnya mengapa logika disebut filsafat yang praktis.

Keempat, etika. Etika atau filsafat perilaku sebagai satu cabang filsafatyang

membicarakan tindakan manusia, dengan penekanan yang baik dan yang buruk.

Dengan demikian, dalam filsafat etika terdapat dua hal pokok, yaitu yang

menyangkut 'tindakan’ dan ‘baik-buruk,. Apabila pokok pembicaraan jatuh pada

‘tindakan’ maka etika disebut sebagai filsafat praktis, sedangkan jika jatuh pada
<
baik?buruk, maka etika disebut filsafat normatif.

Dalam pemahaman etika sebagai pengetahuan mengenai norma baikr

buruk dalam tindakan mempunyai persoalan yang luas. Etika yang demikian ini

mempersoalkan tindakan manusia yang dianggap baik yang harus di- jalankan,

dibedakan dengan tindakan buruk atau jahat yang dianggap tidak manusiawi.

Mempelajari etika bertujuan untuk mendapatkan konsep yang sama

mengenai penilaian baik dan buruk bagi semua manusia dalam ruang dan waktu

tertentu. Etika biasanya disebut ilmu pengetahuan normatif sebab etika

menetapkan ukuran bagi perbuatan manusia dengan penggunaan norma

tentang baik dan buruk.

Kelima, estetika. Estetika adalah cabang filsafat yang membicarakan tentang

keindahan. Objek dari estetika adalam pengalaman akan keindahan. Dengan

belajar estetika diharapkan dapat membedakan antara berbagai terori keindahan,

pengertian seni, penggolongan seni, nilai seni, aliran da- lam seni, dan teroi

penciptaan dalam seni.

G. Bidang Kajian Filsafat

Filsafat merupakan telaahan yang ingin menjawab berbagai per-soalan

secara mendalam tentang hakikat sesuatu, atau dengan kata lain, filsafat adalah

usaha untuk mengetahui sesuatu. Kegiatan penelaahan, penalaran, atau

argumentasi secara mendasar tentang masalah-masalah tertentu disebut bep

filsafat, dan pendalamannya ditekankan pada bidang yang lebih diminati dari

pada masalah-masalah lain.

Secara umum bidang kajian filsafat cukup luas dan meliputi berbagai jenis
bidang kajian. Menurut Titus, yang dikutif oleh Anna Pudjiadi (1987 :4)

cabang-cabang tradisional yang dibahas dalam filsafat meliputi logika,

metafisika, epistemologi, dan etika. Sedangkan menurut Muzayyin Arifin (2003

:16), ruang lingkup kajian filsafat meliputi bidang-bidang sebagai berikut.

1. Kosrnologi, yaitu suatu pemikiran dalam permasalahan yang berhubungan

dengan alam semesta, ruang dan waktu, kenyataan hidup manusia sebagai

ciptaan Tuhan, serta proses kejadian dan perkembangan hidup manusia di

alam nyata, dan sebagainya.

2. Ontologi, yaitu suatu pemikiran tentang asabusul kejadian alam semesta,

dari mana dan ke arah mana proses kejadiannya.

3. Phyilosophy of mind, yaitu pemikiran filosofis tentang jiwa dan bagaimana

hubungannya dengan jasmani serta bagaimana tentang kebiasaan ber>

kehendak manusia, dan sebagainya.

4. Efistemologi, yaitu pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber

pengetahuan manusia diperoleh; apakah dari akal pikiran (aliran rasio-

nalisme), dari pengalaman panca indera (aliran empirisme), dari ide-ide

(aliran idealism), atau dari Tuhan (aliran teologisme), termasuk juga

pemikiran tentang validitas pengetahuan manusia, artinya sampai di mana

kebenaran pengetahuan kita.

5. Aksiologi, yaitu suatu pemikiran tentang masalah-masalah nilai, termasuk

nilai-nilai tinggi dari Tuhan. Misalnya nilai moral, nilai agama, dan nilai

keindahan (estetika). Aksiologi ini mengandung pengertian lebih luas

daripada etika atau higher values of life (nilai-nilai kehidupan yang bertaraf

tinggi).
Dalam beberapa literatur, di antaranya menurut Jujun S. Suria'sumantri (2003:

33) dan Anna Pudjiadi (1987: 15), secara garis besar, filsafat memiliki tiga

bidang kajian utama, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. Perta- fna,

ontologi. Ontologi berasal dari bahasa Yunani, “ontos”yangberarti “yang ada” dan

“logos” yang berarti “penyelidikan tentang”. Jadi, ontologi mem' bicarakan

asas'asas rasional dari “yang adaM, berusaha untuk mengetahui (“penyelidikan

tentangM) esensi yang terdalam dari “yang ada”. Ontologi seringkali disebut

sebagai teori hakikat yang membicarakan pengetahuan itu sendiri. Sementara

Langeveld menamai ontologi ini dengan teori tentang keadaan. Hakikat adalah

kenyataan yang sebenarnya, kebenaran sebenarnya sesuatu, bukan keadaan

sementara atau keadaan yang menipu dan bukan keadaan yang berubah.

Dengan ontologi, diharapkan terjawab pertanyaan tentang “apa”. Misalnya:

Objek apa yang ditelaah ilmu? Apa wujud yang hakiki dari dari objek tersebut?

Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan ilmu? Apa yang

disebut kebenaran itu? Apa kriterianya? leknik apa yang membantu kita

mendapatkan ilmu? Bidang kajian filsafat ontologi ini terbagi menjadi beberapa

aliran, yaitu materialisme, idealisme, dualisme, skeptisisme, dan agrxotisme.

Kedua, epistemologi. Epistemologi merupakan cabang filsafat yang menye-

lidiki asal mula, susunan, metode-metode, dan status sahnya pengetahuan.

Epistemologi membicarakan sumbepsumber pengetahuan dan bagaimana cara

memperoleh pengetahuan tersebut. Epistemologi juga disebut sebagai teori

pengetahuan, itulah sebabnya kita sering menyebutnya dengan filsafat

pengetahuan, karena ia membicarakan hal-hal yang berkenaan dengan penge-

tahuan. Istilah epistemologi ir.i pertama kali muncul dan digunakan oleh J.F.
Ferrier pada tahun 1854 M.

Pengetahuan manusia itu ada tiga macam, yaitu pengetahuan sains,

pengetahuan filsafat, dan pengetahuan mistik. Pengetahuan ini diperoleh

menusia melalui berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai alat. Melalui

epistemologi diharapkan teijawab pertanyaan t^ntang “bagaimana”: Misalnya

: Bagaimana cara kita memperoleh pengetahuan? Bagaimana proses yang

memungkinkan digalinya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana

prosedurnya? Bagaimana cara kita mengetahui bila kita mempunyai penge-

tahuan? Bagaimana cara kita membedakan antara pengetahuan dengan

pendapat? Epistemologi ini rerbagi aras beberapa aliran, yaitu empirisme,

rasionalisme, dan intuisionisme.

Ketiga, aksiologi. Aksiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat

nilai, yang umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Nama lain dari

bidang kajian aksiologi ini adalah disebut dengan teori nilai. Teori nilai ini

membahas mengenai kegunaan atau manfaat pengetahuan. Untuk

menggunakan kegunaan filsafat, kita dapat melihatnya dari tiga hal: 1) filsafat

sebagai kumpulan tqori, 2) filsafet sebagai pandangan hidup, dan 3) filsafot

sebagai metode pemecahan masalah.

Sebagai kumpulan teorij filsafat digunakan untuk memahami dan mereaksi

dunia pemikiran. Sedangkan sebagai pandangan hidup, filsafet digunakan

sebagai pedoman dalam menjalani kehidupan. Dan yang amat terpenting adalah

filsafat sebagai metodologi memecahkan masalah. Sesuai dengan sifatnya,

filsafat ada untuk dalam menyelesaikan masalah secara mendalam, artinya ia

memecahkan masalah dengan cara mencari penyebab munculnya masalah


terlebih dahulu. Universal artinya melihat masalah dalam hubunganyang

seluasJuasnya, yakni memandang setiap permasalahan dari banyak sudut

pandang. Dengan demikian, kegunaan filsafat itu amat luas dan urgen sekali, di

manapun dan kapan pun filsafat diterapkan di sana pasti ada gunanya.

Aksiologi ini dipergunakan urituk memberikan jawaban atas perta* nyaan

“mengapa”. Misalnya: Mengapa pengetahuan yang berupa ilmu itu diperlukan?

Mengapa pemanfaatan ilmu pengetahuan itu perlu memper- hatikan

kaidah-kaidah moral? Dan sebagainya, yang semuanya menunjukkan bahwa

aksiologi ini diperuntukkan dalam kaitannya untuk mengkaji tentang kegunaan,

alasan, dan manfaat ilmu itu sendiri. Dalam sejarah lahirnya, aksiologi ini muncul

belakangan dan menjadi perbincangan yang hangat, khususnya setelah

terjadinya perang dunia kedua di mana kemajuan ilmu dan teknologi tampak

digunakan secara kurang terkontrol. Berbeda dengan ontologi dan epistemology

sudah sejak lama dikenal di dalam kajian filsafat sebagai kajian dasar dari

cabang<abang tradisional filsafat.

Semua pengetahuan, apakah itu ilmu, seni, atau pengetahuan apa saja pada

dasarnya mempunyai ketiga landasan ini (ontologi, epistemologi, dan aksiologi).

^ing berbeda adalah materi perwujudannya serta seberapa jauh

landasanJandasan dari ketiga aspek ini dikembangkan dan dilaksanakan.

,Dari semua pengetahuan, maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek

ontologi, epistemologi, dan aksiologinya telah jauh lebih berkembang

dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain dan dilaksanakan secara

konsekuen dan penuh disiplin.

Terhadap setiap jenis pengetahuan dapat diajukan pertanyaan ten' tang: Apa
yang dikaji oleh pengetahuan itu (ontologi)? Bagaimana caranya mendapatkan

pengetahuan tersebut (epistemologi)? Serta untuk apa pengetahuan tersebut

dipergunakan (aksiologi)? Dengan mengetahui jawaban atas ketiga pertanyaan

tersebut maka kita dapat membedakan berbagai jenis pengetahuan yang

terdapat di dalam khazanah kehidupan manusia. Hal ini memungkinkan kita

mengenali berbagai pengetahuan yang ada seperti ilmu, seni, dan agama serta

dapat meletakkannya pada tempatnya masing- masing yang saling memperkaya

kehidupan manusia.

Tanpa mengenal ciri<iri :>etiap pengetahuan dengan benar, maka bukan

saja kita tidak dapat memanfaatkan kegunaannya secara maksimal, narhun

bahkan kita bisa salah memanfaatkannya. Ilmu dapat dikacaukan dengan seni,

ilmu dikonfrontasikan dengan agama, dan seterusnya. Demikian pula di dalam

ilmu pendidikan, menurut Nursid Sumaatmadja (2002 : 43) dari sudut

pandang metodologis-filosofis, pendidikan sebagai suatu sosok kajian juga

ditelaah dari tiga bidang kajian tersebut, yaitu ontologi yang berkenaan dengan

“apa yang ingin diketahui?’’,epistemologi yang berkenaan dengan “bagaimana

cara memperoleh pengetahuan tentang kegiatan dan proses pendidikan?”,serta

dari aspek aksiologisnya berkenaan dengan “riilai-nilai apa yang dapat

diungkapkan dari proses pendidikan tersebut?”

H. Sejarah Lahirnya Filsafat

Sejarah lahirnya dan perkembangan filsafat sama tuanya dengan sejarah

kelahiran dan perkembangan ilmu pengetahuan yang muncul pada masa

peradaban kuno.
Asal muasal lahirnya filsafat adalah dalam upaya mencari kebenaran, menyelidiki

hakikat yang sebenarnya mengenai segala sesuatu secara sungguh-sungguh.

Sama halnya dengan filsafat, bahwa ilmu itu mengejar kebenaran, artinya ilmu

pengetahuan berusaha untuk mencapai persesuaian antara pjengetahuan

dengan objeknya.

Sejarah filsafat adalah uraian suatu peristiwa yang berkaitan dengan hasil

pemikiran filsafat. Di dalamnya memuat berbagai pemikiran kefilsafatan yang

beraneka ragam, mulai dari zaman pra-Yunani atau sering disebut dengan zaman

kuno hingga zaman modern.

Tujuan mempelajari sejarah filsafat ini untuk mengetahui pemikiran filsafat

para ahli pikir atau filosof tentang berbagai ragam pemikiran dari dahulu hingga

sekarang. Di dalam sejarah filsafat akan diketahui pemikiran- pemikiran yang

cemerlang hingga hasil pemikiran tersebut dapat mengubah dunia melalui

gagasan dan ide-ide yang monumental.

Barangkali sudah menjadi sifat manusia yang ingin mengerti segala sesuatu

yang ada, bahkan yang mungkin ada. Namun demikian, sekalipun penyelidikan

orang dalam ilmu sudah amat mendalam, tetapi belum sedalam-dalamnya,

karena tujuan ilmu bukan untuk menggali objeksedalam- dalamnya, ia

membatasi diri. Adapun batasannya ialah pengalaman. Tentu saja tidak selalu

penggalian itu tercapai, jadi ada keterbatasannya, tetapi ia diusahakan supaya

ketebatasannya lenyap dan tenaganya dicurahkan supaya tercapai kebenaran.

Berbeda dengan ilmu, filsafat berusaha mencari kebijaksanaan, menye- lidiki

hakikat yang sebenarnya dari segala sesuatu, usaha mencari sebab yang

sedalam-dalamnya tentang segala sesuatu, segala yang ada dan yang mungkin
ada. Sedangkan ilmu, seperti yang disebutkan di atas, membatasi diri, ‘ berhenti

pada dan berdasarkan atas pengalaman. Filsafat tidak membatasi diri, ia berusaha

mencari keterangan yang sedalam<lalamnya. Dengan demi- kian, dapat

dikatakan bahwa yang menjadi objek filsafat ialah segala sesuatu yang ada dan

mungkin ada.

Dikarenakan filsafat itu menyelidiki segala sesuatu, maka dapat dikata* kan

bahwa filsafat berupaya mencari penyelesaian segala persoalan yang terdapat di

dunia. Adapun upaya yang dilakukan adalah untuk mencapai kebenaran dalam

segala bidang, yang meliputi pikiran atau budi manusia, tingkah laku, nilai

tingkah laku, tujuan hidup. Ringkasnya segala sesuatu yang menyangkut soal

kehidupan, baik kehidupan di dunia ini maupun kehidupan sesudah dunia ini.

Oleh karena itu, seringkali filsafat disebut sebagai pedoman hidup.

Memperhatikan tujuan filsafat yang sangat mulia tersebut, maka timbul

pertanyaan: dapatkah filsafat memberi jawaban atas segala persoalan atau

permasalahan yang ada? Pada prinsipnya filsafat dapat menjawab semua

persoalan, dan kalau belum maka terus diusahakannya. Namun, usaha yang

dilakukan oleh filsafat selalu dengan pikiran belaka, karena itu masuk juga agama

dalam lingkungan filsafat. Agama memberi pengetahuan yang lebih tinggi dari

filsafat, agama memberikan pengetahuan yang tak tercapai oleh budi manusia,

karena demikian tingginya hal itu hingga hanya dapat diketahui melalui wahyu.

Dasar penyelidikan agama berbeda dengan filsafat, agama didasarkan atas

wahyu Tuhan atau firman Tiihan. Kebenaran sesuatu dalam agama tergantung

kepada sesuatu yang diwahyukan atau tidak. Apa yang diwahyukan Tuhan,

mutlak harus dipercayai. Oleh karena itu, agama sering disebut dengan keyakinan
atau kepercayaan.

Filsafat tidak mengingkari adanya wahyu, namun tidak mendasarkan diri

penyelidikannya kepada wahyu, tetapi pada penyelidikan sendiri, ber' dasarkan

pikiran belaka. Mungkin ada beberapa hal yang masuk ke wilayah agama juga

diselidiki filsafat, namun antara filsafat dan agama tidak ada per- tentangan.

Karena keduanya memang mempunyai kebenaran, dan kebenaran itu satu.

Lapangan agama dan filsafat dalam beberapa hal mungkin sama, tetapi dasarnya

amat berlainan; filsafat berdasarkan pikiran belaka, adapun agama berdasarkan

wahyu.

Dalam sejarah filsafat biasanya filsafat Yunani disebutkan sebagai pang- kal

sejarah filsafat Barat. Di tanah Yunani sejak lama, sebelum permulaan tahun

masehi, enam abad sebelum masehi, ahli'ahli pikir mencoba menerka tentang

adanya alam semesta. Mereka mencari tahu tentang apa yang men- jadi asal

mula alam semesta beserta isinya. Ahli-ahli pikir mencoba mencari keterangan

melalui budinya.

Pada abad ke-6 sebelum masehi (SM) bermunculan para pemikir yang

kepercayaanrrya bersifat rasional. Dalam sistem kepercayaan yang bersifiat

rasional ini memungkinkan ihanusia mengembangkan potensi dan budaya' nya

dengan b.ebas, sekaligus dapat mengembangkan pemikirannya untuk

menghadapi dan memecahkan berbagai materi kehidupan alam dan akal pikiran.

Ahli pikir yang pertama kali muncul adalah Thales (± 625-545 SM) yang

berhasil mengembangkan geometri dan matematika, Socrates mengembang-

kan teori moral, Plato mengembangkan teori tentang ide, Aristoteles

mengembangkan teori yang menyangkut dunia dan benda.


Para ahli pikir Yunani Kuno seperti Thales, Anaximandros, anaximenes, dan

Phitagoras ini mencoba membuat konsep tentang asal mula alam semesta, corak

pemikirannya disebut kosmosentris. Oleh karena para filosof itu berusaha

mencari intisari alam, dalam sejarah mereka disebut filosof alam dan filsafatnya

dinamakan filsafat alam.

Sementara itu, para ahli pikir seperti Socrates, Plato, dan Aristoteles yang

hidup pada masa Vunani Klasik arah pemikirannya lebih ditujukan kepada

,manusia, maka corak pemikiran filsafatnya disebut antroposentris.

Selanjutnya pada abad pertengahan, di mana masa ini diawali dengan

lahirnya filsafat Eropa, sebagaimana halnya dengan filsafat Yunani yang

dipengaruhi oleh kepercayaan, maka filsafat atau pemikiran pada abad

pertengahan pun dipengaruhi oleh kepercayaan Kristen. Artinya, pemikiran

filsafat abad pertengahan didominasi oleh agama. Pemecahan semua persoalan

selalu didasarkan atas dogma agama, sehingga corak pemikiran fib safatnya

bersifat teosentris.

Baru pada abad ke-6 Masehi sudah mulai berubah, tidak lagi terpaku pada

dogma agama. Sejak masa inilah didirikannya sekolah-sekolah yang memberi

pelajaran gramatika, dialektika, geometri, aritmatika, astronomi,. dan musik.

Keadaan yang demikian akan mendorong perkembangan pemikiran filsafat pada

abad ke43 yang ditandai dengan berdirinya universitas- universitas. Pada

universitas inilah mereka mengabdikan dirinya untuk kemajuan ilmu dan agama

seperti halnya yang dilakukan oleh Thomas Aquinas (12254274).

Di kalangan para ahli pikir Islam, pada abad pertengahan ini, muncul

pemikir-pemikir Islam kenamaan seperti Al-Kindi, AbFarabi, Ibn Sina, Al- Ghazali,
Ibn Bajjah, Ibn Tufail, Ibn Rusyd. Periode ini berlangsung tahun 850-1200, di mana

pada masa itulah kejayaan Islam berlangsung dan ilmu pengetahuan

berkembang pesat sampai runtuhnya kerajaan Islam di Granada Spanyol tahun

1492.

Masa berikutnya dalam sejarah filsafat dikenal dengan masa abad modern.

Pada masa abad modern ini pemikiran filsafat berhasil menempatkan manusia

pada tempat yang sentral dalam pandangan kehidupan, sehingga corak

pemikirannya disebut antroposentris, yaitu corak pemikiran filsafat yang

mendasarkan pada akal pikir dan pengalaman.

Munculnya renaissance dan humanisme sebagai awal masa abad modern, di

mana para ahli (filosof) menjadi pelopor perkembangan filsafat. Pemikiran filsafat

masa abad modern ini berusaha meletakkan dasar bagi metode induksi secara

modern, serta membuka sistematika yangsifatnya logis-ilmiah. Pemikiran filsafat

diupayakan lebih bersifat praktis, artinya pemikiran filsafat diarahkan pada upaya

manusia agar dapat menguasai lingkungan alam dengan menggunakan berbagai

penemuan ilmiah.

Rene Descartes (1596-1650) dianggap sebagai bapak filsafat modern yang

berhasil melahirkan suatu konsep dari perpaduan antara metode ilmu alam

dengan ilmu pasti ke dalam pemikiran filsafat.

Pada abad ke-18 perkembangan pemikiran filsafat mengarah pada filsafat

ilmu pengetahuan, di mana pemikiran filsafat diisi dengan upaya manusia untuk

mencari kebenaran dan kenyataan. Tokohnya antara lain adalah JJ. Rousseau

(1722-1778).

Di Jerman muncul pemikir terkenal bernama Immanuel Kant (1724- 1804)


yang mengupayakan agar filsafat menjadi ilmu pengetahuan yang pasti dan

berguna, yaitu dengan cara membenarkan pengertian-pengertian yang jelas dan

bukti yan# kuat. Pada abad ke-19 muncul tokoh^tokoh terkenal lainnya dari

berbagai belahan dunia dengan pemikiran filsafatnya yang beragam, sehingga

mampu membentuk suatu kepribadian tiap-tiap bangsa, mereka antara lain

adalah Hegel (17704857), Karl Marx (1818-1883), August Comte (1798-1857),

John Dewey (18584952).

Yang terakhir, pembabakan sejarah filsafat ini adalah apa yang dikenal

dengan filsafet dewasa ini. Filsafat dewasa ini atau filsafat abad ke-20, yang juga

disebut filsafat kontemporer. Ciri khas pemikiran filsafat kontemporer ini adalah

desentralisasi manusia karena pemikiran filsafat abad ke-20 ini memberi

perhatian yang khusus kepada bidang bahasa dan etika sosial.

Dalam bidang bahasa terdapat pokokrpokok masalah, yaitu arti katakata

dan arti pernyataan-pernyataan. Masalah ini muncul karena realitas sekarang ini

banyak bermunculan berbagai istilah yang cara pemakaiannya sering tidak

dipikirkan secara mendalam, sehingga menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda

(bermakna ganda). Karena itu, timbullah filsafat anali- tika, yang di dalamnya

membahas tentang cara berpikir untuk mengatur pemakaian kata-kata atau

istilah-istilah yang menimbulkan kerancuan, seka- ligus dapat menunjukkan

bahaya-bahaya yang terdapat di dalamnya. Karena bahasa sebagai objek

terpenting dalam pemikiran filsafat, para ahli pikir menyebutnya sebagai

logosentris.

Bidang etika sosial memuat pokok?pokok masalah apakah yang semesti-

nya kita lakukan di dalam masyarakat dewasa ini.


Kemudian pada awal abad ke'20 ini timbul aliran'aliran kefilsafatan seperti

neohelenisme, neo-positivisme, kritik ilmu, dan irasionalisme. Sementara itu,

pada akhir abad ke*20 muncul aliran-aliran kefilsafatan yang lebih dapat

memberikan corak pemikiran dewasa ini, seperti filsafat Analitik, filsafat eksistensi,

strukturalisme, dan kritik sosial. •

I. Aliran atau Mazhab dalam Filsafat

Dalam perkembangannya, filsafat terbagi menjadi beberapa aliran atau

mazhab yang memiliki ciri khas masing-masing walaupun ada di antaranya yang

tidak terlalu jelas perbedaannya.

Perkembangan aliran filsafat berjalan seiring dengan perkembangan filsafat itu

sendiri. Dalam perkembangan awalnya, pemikir-pemikir Yunani 'di abad ke-6

SM mulai mencari jawaban-jawaban tenang rahasia-rahasia alam semesta

dengan cara berpikir sendiri dan tidak lagi mencari-cari dari cerita-cerita mitos.

Dalam hal ini tokoh-tokoh seperti Thales, Anaxiinandros (muridThales),

Anaximenes (murid Anaximandros), Phitagoras, Herakleitos, dan seterusnya

hingga Socrates merupakan para pemikir atau filosof awal Bahkan Thales oleh

Aristoteles disebut sebagai filosof pertama (Juhaya S. Praja, 2003: 73).

Pada dasarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia untuk men-

dapatkan pengetahuan yang benar, yaitu yang pertama mendasarkan diri pada

rasio, dan yang kedua mendasarkan diri pada pengalaman. Kaum yang

mendasarkan pada kekuatan rasio, atau lebih dikenal dengan kaum rasionalis,

mengembangkan paham apa yang kita kenal dengan rasionalisme. Sedangkan

mereka yang mendasarkan diri pada pengalaman mengembangkan paham

yang disebut dengan empirisme.


Selain itu, juga terdapat dualism pemikiran tentang materi dan akal. Di satu

sisi mengatakan bahwa materi itulah hal yang riil atau yang nyata, adapun akal

(mind) hanyalah fenomena yang menyertainya. Di sisi lain mengatakan bahwa

mind (akal) sebagai hal yang lebih dahulu (primer) dari pada materi, bahwa akal

itulah yang riil dan materi hanyalah merupakan produk sampingan. Pendapat

yang pertama dikenal dengan materialism, sedangkan yang kedua dikenal

dengan idealism.

Dari kondisi pemikiran-pemikiran tersebut serta beberapa pemikiran lainnya

kemudian berkembang menjadi beberapa aliran atau mazhab di dalam filsafat.

Menurut pengkajian Juhaya S. Praja (2003) dalam bukunya yang berjudulj

^iran-aliran Filsafat dan EtikaM, menuliskan bahwa aliran- aliran filsafat. yang

cukup berpengaruh di antaranya adalah rasinalisme, empirisme, kritisisme,

materialisme, idealisme, positivisme, pragmatisme, sekularisme, dan filsafat Islam.

1. Rasionalisme

Aliran rasional ini sangat mementingkan rasio dalam memutuskan atau

menyelesaikan suatu masalah. Dalam aliran rasional ini sangat mendamba-

dambakan otak atau rasio sebagai satu-satunya yang menjadi alat lintuk

menyelesaikan masalah, karena menurut aliran ini, di dalam rasio terdapat ide-ide

dan dengan itu orang dapat membangun suatu ilmu pengetahuan tanpa

menghiraukan realitas di luar rasio. lokoh-tokoh yang terkenal dalam aliran

rasinal pada abad modem ini antara lain Rene Descartes (15954650),

Nicholas Malerbranche (16384775), De Spinoza (16324677), Gottfried Wilhelm

Leibniz (1646-1716), Christian Wolf (16794754),dan Blaise Pascal (1623-1662).


Rene Descarte dianggap tokoh yang paling berpengaruh dalam aliran rasional ini.

Descartes berpendapat bahwa agar filsafat dan ilmu pengetahuan dapat

diperbarui, kita memerlukan suatu metode yang baik, yaitu dengan

menyangsikan segala-galanya atau keragu-raguan. Menurutnya, suatu kebe'

naran yang tidak dapat disangkal adalah cogito ergo sum yang artinya asaya yang

sedang menyangsikan, adaM. Untuk memperoleh hasil yang sahih, dalam

metodenya, Descartes mengemukakan empat hal berikut ini.

a. Tidak menerima suatu pun sebagai kebenaran, kecuali bila saya melihat hal

itu sungguh-sungguh jelas dan tegas (clearly and distinctly)^ se:hingga

tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu merobohkannya.

b. Pecahkanlah setiap kesulitan atau maslah itu atau sebanyak mungkin bagian,

sehingga tidak ada suatu keraguan apa pun yang mampu me' robohkannya.

c. Bimbinglah pikiran dengan teratur, dengan memulai dari hal yang se-

derhana dan mudah diketahui, kemudian secara bertahap sampai pada yang

paling sulit dan kompleks.

d. Dalam proses pencarian dan pemeriksaan hal-hal sulit, selamanya harus

dibuat perhitungan-perhitungan yang sempurna serta pertimbangan-

pertimbangan yang menyeluruh, sehingga kita yakin bahwa tidak ada satu

pun yang mengabaikan atau ketinggalan dalam penjelajahan itu.

Karena kesaksian apapun dari luar tidak dapat dipercaya, maka menurut

Descartes, saya mesti mencari kebenaran-kebenaran dalam diri saya dengan

menggunakan norma cogito ergo sum. Descartes berpendapat bahwa dalam

dirinya terdapat tiga ide bawaan (innate ideas) yang sudah ada sejak lahir, yaitu

“pemikiran”, “Allah”, dan “keluasan”.


2. Empirisme

Aliran empirisme memberikan tekanan pada empiris atau pengalaman

sebagai sumber pengetahuan. Istilah empris ini berasal dari kata Yunani, emperia,

yang berarti pengalaman inderawi. Empirisme ini sangat bertentangan de' ngan

aliran rasionalisme, terutama dilihat dari sumber pengetahuannya.

Salah satu tokoh dari aliran ini adalah Thomas Hobbes (1588-1679), yang

lahir di Inggris pada saat penyerbuan oleh Spanyol ke Inggris. Sebagaimana

umumnya penganut empirisme, Hobbes beranggapan bahwa pengalaman

merupakan permulaan segala pengenalan. Pengenalan intelektual tidajc lain dari

pada semacam perhitxingan, yakni penggabungan data-data inderawi yang sama

dengan cara yang berlainan. Pengalaman adalah keseluruhan atau totalitas

pengamatan yang disimpan di dalam ingatan atau digabungkan dengan suatu

pengharapan akan masa depan, sesuai dengan apa yang telah diamati pada masa

lalu.

Pada perkembangan selanjutnya, Hobbes di dalam pandangannya ten- tang

dunia dan manusia dapat dikatakan sebagai penganut materialisme. Hobbes

menjelaskan bahwa segala sesuatu yang ada bersifat bendawi. Hobbes juga tidak

menyetujuai pandangan Descartes tentangjiwa sebagai substansi rohani.

Menurut Hobbes, seluruh dunia, termasuk juga manusia, merupakan suatu proses

yang berlangsung dengan tiada hentbhentinya atas dasar hukum- hukum

mekanisme saja.

Tokoh lain, yang juga tidak kalah terkenalnya dengan Hobbes, adalah John Locke

(1632-1704) dengan teori “tabularasa” mengemukakan bahwa rasio manusia

harus dipandang sebagai wlembaran kertas putih” (as white paper). Selain Locke,
juga terdapat tokoh lain yang terkenal dealam aliran empirisme ini adalah Goerge

Berkeley (16654763), dan David Hume (17114776).

3. Kritisisme

Filsafat yang dikenal dengan kritisisme adalah filsafat yang diintrodusir oleh

Imanuel Kant (1724-1804). Kant mengadakan penelitianyang kritis terhadap rasio

murni dan memugar sifat objektivitas dunia ilmu pengetahuan dengan

menghindarkan diri dari sifat sepihak rasionalisme dan sifat sepihak empirisme.

Gagasan itu muncul karena pertanyaan mendasar dalam dirinya, yaitu Apa yang

dapat saya ketahui? Apa yang harus saya lakukan? dan apa yang boleh saya

harapkan?

Kritisisme ini bisa dikatakan aliran yang memadukan atau mendamai- kan

rasionalisme dan empirisme. Menurut aliran ini, baik rasionalisme maupun

empirisme keduanya beratsebelah. Pengalaman manusia merupakan paduan

antara sintesa unsur-unsur aspriori (terlepas dari pengalaman) dengan

unsurunsur aposteriori (berasal dari pengalaman). Ciri'ciri kritisisme dapat

disimpulkan dalam tiga hal, yaitu sebagai berikut.

a. Menganggap objek pengenalan itu berpusat pada subjek dan bukan pada

objek.

b. Menegaskan keterbatasan kemampuan rasio manusia untuk mengetahui

realitas atau hakikat sesuatu, rasio hanyalah mampu menjangkau gejala- nya

atau fenomenanya saja.

c. Menjelaskan bahwa pengenalan manusia atas sesuatu itu diperoleh atas

perpaduan antara peranan unsur anaximenes priori yang berasal dari rasio
serta berupa ruang dan waktu dan peranan aposteriori yang berasal dari

pengalaman yang berupa materi.

4. Materialisme

Aliran materialisme mengatakan bahwa materi itu ada sebelum jiwa (self), dan

dunia materi adalah yang pertama, sedangkan pemikiran tentang dunia ini

adalah nomor dua.

Materialisme modern mengatakan bahwa alam (universe) merupakan

kesatuan material yang tak terbatas; alam, termasuk di dalamnya segala materi

dan energi (gerak atau tenaga) selalu ada dan akan tetap ada, dan bahwa alam

(world) adalah realitas yang keras, dapat disentuh, material, objektifyang dapat

diketahui oleh manusia.

Terdapat dua bentuk aliran materialisme, yaitu materialisme mekanik dan

materilalisme dialektik. Pertama, materialisme mekanik mengatakan bahwa

‘semua bentuk dapat diterangkan menurut hukum yang mengatur materi dan

gerak’. Semua kejadian dan kondisi adalah akibat yang lazim dari atau

bentuk?bentuk yang lebih tinggi atau lebih kompleks; bentuk yang lebih tinggi

tidak mengandung materi atau energi baru. Sehingga semua proses alam, baik

inorganik atau organik telah dapat dipastikan dan dapat diramalkan jika segala

fakta tentang kondisi sebelumnya dapat diketahui.

Kedua, materialisme dialektik, dengan tokoh utamanya Karl Marx

(1818-1883), menilai bahwa dunia misterius ini konstan, baik dalam gerak,

perkembangan maupun regenerasinya, materi adalah yang primer sedangkan ide

atau ‘kesadaran’ adalah sekunder.


5. Idealisme ,

Idealisme menekankan akal (mind) sebagai hal yang lebih dahulu (primer)

daripada materi, bahwa akal itulah yang riil dan materi hanyalah merupakan

produk sampingan. Idealisme mengatakan bahwa realitas terdiri dari ide' ide,

pikiran-pikiran, akal (mind) atau jiwa (self) dan bukan benda material dan

kekuatan. Aliran idealisme sendiri dapat dikelompokkan ke dalam tiga kelompok

besar, yaitu idealisme subjektif-immaterialisme, idealisme objektif, dan idealisme

personal atau personalisme. Pertama, aliran idealism subjektif- immaterialismef

juga sering disebut dengan sebutan aliran mentalisme atau fsnomenalisme.

Menurut aliran idealisme subjektif-immaterialisme ini akal, jiwa, dan

persepsi-persepsinya atau ide-idenya merupakan segala yang ada, tetapi hanya

ada dalam akal yang mempersepsikannya.

Kedua, aliran idealisme objektif. Menurut aliran idealism objektif ini, pikiran

adalah esensi dari alam, dan alam adalah- keseluruhan jiwa yang diobjektifkan.

Tokoh pertama idealisme objektif adalah Plato (427-347 SM.), yang membagi

dunia dalam dua bagian, yaitu dunia persepsi dan alam di atas alam benda;

yaitu alam konsep, ide, yniversal atau esensi yang abadi. Termasuk di dalamnya

adalah tema filsafat Hegel (George Wilhelm Friedrich Hegely 1770-1831) dengan

idealisme mutlak atau idealisme monistik.

6. Positivisme

Positivisme berasal dari kata “positif’ yang berarti faktual, yaitu apa yang

berdasarkan fekta. Menurut positivisme, pengetahuan kita tidak pemah boleh

melebihi fakta-fakta. Positivisme, seperti empirisme, mengutamakan pengalaman


sebagai sumber pengetahuan. Perbedaan positivisme dengan empirisme adalah

bahwa positivisme tidak menerima sumber pengetahuan melalui pengalaman

batiniah, tetapi hanya mengandalkan fakta-fakta belaka.

Positivisme pertama kali diperkenalkan oleh Auguste Comte (17984857) yang

dilahirkan di Monpellier. Karya utama Auguste Comte yang paling terkenal adalah

(
Cours de Philosophie Positive (Kursus tentang Filsafat Positif)’.

7. Pragmatisme

Pragmatisme adalah aliran yang mengajarkan bahwa yang benar adalah apa

yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat- akibatnya

yang bermanfaat secara praktis. Aliran ini bersedia menerima sesuatu asal

membawa akibat praktis, atau dengan kata lain patokannya adalah wmanfaat bagi

hidup praktis”. Tbkoh utama aliran pragmatisme adalah William James dan John

Dewey di Amerika serikat. Di samping itu, di Inggris ada FC. Schiller, Charles S.

Pierce, dan George Herbert Mead.

Dalam perkembangannya, aliran pragmatisme mengalami perbedaan

kesimpulan, kendati demikian ada tiga patokan yang disetujui oleh aliran

pragmatisme ini, yaitu 1) menolak segala intelektualisme, 2) absolutisme, dan 3)

meremehkan logika formal.

8. Sekularisme

Menurut HM. Rasyidi sebagaimana dikutip Juhaya S. Praja (2003:188),

sekularisme adalah sistem etika plus filsafat yang bertujuan memberi inter-

pretasi atau pengertian terhadap kehidupan manusia tanpa percaya kepada

Tuhan, kitab suci, dan hari kemudian. Sedangkan menurut Encyclopedia


Americana lebih menonjolkan sekularisme sebagai suatu .sistem etika yang

didasarkan atas prinsip-prinsip moralitas alamiah dan bebas dari agama wahyu

dan spiritual.

Prins ip esensial dari sekularisme ini ialah mencari kemajuan manusia dengan.

alat materi semata-mata. Dengan demikian, jelaslah bahwa sekularisme masuk

dalam kategori materialisme.

Tokoh pendiri sekularisme adalah Jacob Holyoake yang merupakan bentuk

peniadaan peran warna Kristiani pada seluruh kehidupan Barat, baik politik,

ekonomi, sosial, maupun budaya pada umumnya.

9. Filsafat Islam

Kata filsafat di kalangan umat Islam diartikan dengan makna hikmah, ini

terbukti dari kebanyakan pengarang Arab menempatkan kalimat hikmah di

tempat kalimat filsafat, dan menempatkan kalimat hakim di tempat kalimat

filosof. Namun demikian, mereka menempatkan kata hikmah itu berada di atas

kata filsafat. Sehingga Ibnu Sina misalnya, menyebutkan bahwa hikmah adalah

mencari kesempurnaan diri manusia dengan dapat menggambarkan segala

urusan dan membenarkan segala hakikat baik yang bersifat teori maupun praktik

menurut kadar kemampuan manusia.

Menurut Sirajuddin Zar (2004: 15), filsafat Islam adalah perkembangan

pemikiran umat Islam dalam masalah ketuhanan, kenabian, manusia, dan alam

semesta yang disinari ajar an Islam. Menurut Zar, filsafat Islam cakupannya sangat

luas, bukan hanya masalah alam semesta dan seisinya saja, tetapi juga berkaitan

dengan masalah-masalah ketuhanan dan kenabian. Filsafat Islam juga membahas

yang sudah pernah dibahas filsafat Yunani dan lainnya dan bahkan membahasa
masalah yang belum pernah dibahas filsafat sebelumnya seperti filsafat kenabian

dan masalah ruh yang sangat kompleks itu. Dan yang paling spesifik, sekaligus

merupakan kelebihan dari filsafat lainnya adalah dalam filsafat Islam terdapat

pemaduan antara agama dan filsafat, antara akidah dan hikmah, antara wahyu

dan akal, yang dalam filsafat Yunani dan lainnya tidak ditemukan.

Filsafat Islam dapat diartikan sebagai filsafat yang dikembangkan oleh

orangorang Islam (muslim), yang mengkaji masalah hakikat yang ada, dari mana

asalnya, dan ke mana akhirnya, serta cara-cara mendapatkan hakikat

pengetahuan yang benar dan menetapkan ukuran benar dan salah, baik dan

buruk, serta teori kebahagiaan. Dalam hal masalah ketuhanan, mereka telah

mengemukakan pembahasan bukan saja sekadar adanya Allah, tetapi berkaitan

dengan sifat-sifat dan keesaannya, serta qadha dan qadar yang tidak ada dalam

filsafat Yunani. Misalnya filosof yang sangat terkenal, terutama dalam kajian ilmu

kalamnya adalah Al-Kindi (801-873 M.). Al- Kindi termasuk di dalam kelompok

pemikir Islam yang belajar filsafat yang terkenal dengan sebutan filsafat

ketuhanan dan filsafat jiwa. Dalam kitabnya yang popular, “Fi al Falsafat aMUla’’

,AVKindi membahas masalah ketuhanan sesuai dengan ajaran Islam, bahwa

Allah adalah wujud yang sebenarnya, bukan berasal dari tiada kemudian ada. Ia

mustahil tidak ada dan selalu ada dan akan ada selamanya. Allah adalah wujud

yang sempurna dan tidak didahului wujud lain. Wujud-Nya tidak berakhir

sedangkan wujud lain disebabkan wujud-Nya.

lokoh-tokoh filosof Islam lainnya yang terkenal adalah antara lain Al' Ghazali

(1059-1111), ia dikenal sebagai filosof pertama yang berhasil mere- konsiliasikan

antara rasionalisme, ritualisme, dogmatisme, mistisisme. Dalam kitabnya yang


sangat terkenal, Tahafut al-Falasifat, AVGhazali mempersoalkan masalah

‘menyalahi kebiasaan* (khariq aV(adat) yang erat kaitannya dengan masalah

hokum kausalitas, dalam pengertian, apakah hubungan antara sebab dan akibat

merupakan hubungan yang pasti. Menurut Al'Ghazali, hubungan antara sebab

dan akibat tidak bersifat dharuriy (kepastian), dalam pengertian keduanya

masing-masing memiliki individualitasnya sendiri. Terjadinya segala sesuatu di

dunia ini karena kekuasaan dan. kehendak Allah semata. *7.

Selain Al-Ghazali, filosof Muslim lain yang terkenal, yang juga membahas

masalah ketuhanan adalah Al-Farabi. Al-Farati dalam pembahasan ketuhanan

mengemukakan dalil wajib al-wujud dan mukmin aUuujud. Menu- rutnya segala

yang ada ini hanya dua kemungkinan dan tidak ada alternatif yang ketiga. Wajib

al^uujud adalah wujudnya tidak boleh tidak mesti ada, ada dengan. sendirinya,

karena naturnya sendiri yang menghendaki wujudnya. Esensinya tidak dapat

dipisahkan dari wujud, keduanya adalah sama dan satu. Ia adalah wujud yang

sempurna dan adanya tanpa sebab dan wujudnya tidak terjadi karena lainnya. Ia

ada selamanya dan tidak didahului oleh tiada. Selain kedua filosof di atas,

filosof-filosof lain yang namanya menghiasi lembaran sejarah emas filsafat Islam

antara lain Ibn Sina, Ibn Rusyd, Ibn Taymiyah, dan Iain-lain.
BAB II

FILSAFAT ILMU

A. Hakikat Ilmu dan Pengetahuan

Definisi filsafat ilmu terdiri dari dua kata, yaitu kata filsafat dan kata ilmu.

Masing-masing memiliki makna yang berbeda dan hakikat yang berlainan. Kata

filsafat, sebagaimana telah disinggung pada Bab I diartikan sebagai pengetahuan

tentang kebijaksanaan (Sophia), prinsip'prinsip mencari kebenaran, atau berpikir

rasionaUogis, mendalam, dan tuntas (radikal) dalam memperoleh kebenaran.

Kata filsafat sendiri berasal dari Bahasa Yunani yang diambil dari akar kata Thilos^

yang berarti cinta, dan 'Sophia’ yang berarti kebijaksanaan.

Adapun kata ilmu (science) diartikan sebagai pengetahuan tentang se- suatu,

atau bagian dari pengetahuan. Menurut J.S. Badudu (1996: 528) ilmu adalah:

Pertama, diartikan sebagai pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun

secara sistematis; contoh: ilmu agama, berarti pengetahuan tentang ajaran

agama atau teologi, ilmu bahasa berarti pengetahuan tentang hal ikhwal bahasa

atau tata bahasa : , linguistik, dan Iain-lain. Kedua, ilmu diartikan sebagai

‘kepandaian, atau <


kesaktian,. Sebagai contoh dalam penggunaan kata yang

kedua iiii adalah: ‘sudah lama ia menuntut atau “kesaktian” dari jago tua itu’.

Dan orang yang banyak memiliki ilmu pengetahuan mengenai suatu ilmu disebut
*ilmuan, atau orang yang ahli dalam bidang tertentu.

Sedangkan Maufur (2008: 30), menjelaskan bahwa ilmu adalah sebagian

dari pengetahuan yang memiliki dan memenuhi persyaratan tertentu, artinya

ilmu tentu saja merupakan pengetahuan, tetapi pengetahuan belum tentu ilmu.

Karena pengetahuan untuk dapat dikategorikan sebagai ilmu harus memenuhi

beberapa persyaratan.

Beberapa syarat yang perlu dipenuhi oleh suatu pengetahuan untuk dapat

masuk kategpri sebagai ilmu pengetahuan, menurut Maufur (2008: 32-34)

sistematik, general, rasional, objektif, menggunakan metode tertentu, dan dapat

dipertanggungjawabkan. Berikut penjelasan dari keenam persyaratan tersebut.

1. Sistematis, yakni ada urutan dari awal hingga akhir, dan ada hubungan yang

bermakna antara bagian-bagian atau fakta satu dengan fakta lainnya yang

tersusun secara runtut. Hubungan yang bersifat sistematik vertikal

diusahakan juga dengan saling mempertemukan, dengan sekoheren

mungkin, agar didapat kepastian dengan kadar yang tinggi.

2. General, yaitu keumuman sifatnya yang bisa berlaku di manapun (lintas

ruang dan waktu dengan keterbatasannya) berkaitan dengan kadar mutu

yang standar. Dapat juga disebut universal, karena dapat dikomunikasikan

kapan dan di manapun, paling tidak di bumi ini. Semisal hukum-hukum fisika

yang berlaku di Amerika, maka berlaku juga di Indonesia, Inggris, Belanda,

danAfrika. Baik untuk saat sekarang maupun yang akan datang, dengan

catatan kondisi-kondisi yang relevan (tempat dan waktxi) sama. Akan tetapi,

mungkin saja tidak berlaku di planet lain apalagi di luar tata surya kita.

3. Rasional, maksudnya adalah bahwa ilmu sebagai pengetahuan ilmiah


bersumber pada pemikiran rasional yang mematuhi kaidah^kaidah lo- gika.

Pengujian atas pengetahuan ilmiah adalah penalaran yang betuP betul dan

perbincangan yang logis tanpa melibatkan faktopfaktor nonrasional, seperti

emosi sesaat dan kesenangan pribadi. Dengan de- mikian, ilmu

pengetahuan merupakan hasil pemikiran yang rasional dan memenuhi

kaidah-kaidah logika. Kaum rasional berpandangan bahwa pengetahuan

yang dapat diandalkan bukanlah yang diturunkan.

dari dunia pengalaman melainkan dari dunia pikiran, dunia yang kita ketahui

dengan metode intuisi rasional adalah dunia nyata.

4. Objektifi adalah apa adanya mengungkap realitas yang sahih bagi siapa saja.

Sesuatu sebagai sasaran yang dijadikan objek untuk diketahui. Suatu

pengetahuan disebut objektif bila pengetahuan itu dibimbing, baik pada

tahap proses pembentukannya maupun pada tahap sesudah selesai sebagai

produk pengetahuan, oleh objek kajian atau penelitian, dan bukan oleh

berbagai tipe prasangka dari subjek-subjek tertentu termasukyang

melaksanakan pengkajian atau penelitian. Meskipun kita sadari hampir

semua yang ada di alam ini merupakan hasil kesepakatan, yang dipelopori

oleh individu-individu atau kelompoLkelompok yang dipandang memiliki

otoritas dalam suatu bidang tertentu, yang kemu- dian diikuti oleh

masyarakat secara luas. Terutama pada hasil penelitian kualitatif,

subjektivitas peneliti cukup berpengaruh, sehingga hasilnya sering

diragukan.

5. Menggunakan metode tertentu dalam mempertanyakan objek tertentu,

mencari dan menemukan sesuatu sebagai kebenaran, dan secara terus*


menerus. Karena ilmu pengetahuan akan terus berkembang ketika dite-

mukan jawaban sekaligus memunculkan pertanyaan susulan, dan terus dicari

jawabannya lagi. Demikian seterusnya.

6. Dapat dipertanggungjawabkan dengan menggunakan argumentasi logis

rasional, apalagi jika telah melalui eksperimen yang berulang kali.

Ada sebagian ahli yang berpandangan bahwa pengetahuan dengan ilmu

tidaklah berbeda. Pengetahuan (knowledge) bagi mereka tak ubahnya sebagai

ilmu (science), sehingga ilmu dengan pengetahuan tidak berbeda. Sebagian lagi

memahami bahwa pengetahuan berbeda dengan ilmu atau ilmu pengetahuan

atau pengetahuan ilmiah. Sebagaimana dinyatakan M. Thoyibi (1994:35),

pengetahuan ilmiah tidak lain adalah a higher level" dalam perangkat


f

pengetahuan manusia dalam arti umum sebagaimana kita saksikan dalam

kehidupan sehari-hari. Sementara dalam Encyclopedia of Philosophy,

pengetahuan disebutnya sebagai 'justified true belief, yakni kepercayaan yang

benar. Sedangkan menurut Amsal Bahtiar (2005), pengetahuan merupakan hasil

proses dari usaha menusia untuk tahu.

Menurut Maufur (2008: 26), pengetahuan adalah sesuatu atau semua yang

diketahui dan dipahami atas dasar kemampuan kita berpikir, merasa, maupun

mengindera, baik diperoleh secara sengaja maupun tidak sengaja. Pengetahuan

menurut Maufur adalah sesuatu yang diperoleh melalui berpikir, merasa, dan

mengindera. Mengindera yang dimaksud Maufur, bisa dengan cara melakukan

penelitian dan observasi, pengamatan yang dilakukan dengan sengaja untuk

memperoleh informasi yang diperlukan. Selanjutnya, Maufur menjelaskan bahwa

pengetahuan merupakan keseluruhan keterangan dan ide yang terkandung


dalam pernyataan'pernyataan yang dibuat mengenai sesuatu gejala/peristiwa,

baik yang bersifat alamiah, sosial, maupun indivi* dual. Dengan demikian,

pengetahuan pada dasarnya merupakan keseluruhan penjelasan dan gagasan

yang terkandung pada pernyataan-pernyataan ber- kaitan dengan gejala atau

peristiwa yang mengandung fakta.

Sumber ilmu dan sumber pengetahuan, menurut Maufur (2008: 35) secara

umum tidak berbeda, sepanjang telah difbrmulasikan dan memenuhi persyaratan

sebagai ilmu pengetahuan.

Menurut Jujun S. Suriasumantri (1990: 105) pengetahuan pada hakikat- nya

merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang objek tertentu, terma- sukdi

dalamnya adalah ilmu. Dengan demikian, ilmu merupakan bagian dari

pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan

lainnya, seperti seni dan agama. Sebab secara ontologis ilmu membatasi diri pada

pengkajian objek yang berada dalam lingkup pengalaman manusia, sedangkan

agama memasuki pula daerah jelajah yang bersifat transendental yang berada di

luar pengalaman manusia itu. Sedangkan sisi lain dari pengetahuan mencoba

mendeskripsikan sebuah gejala dengan sepenuh'penuh maknanya, sementara

ilmu mencoba mengembangkan sebuah hubungan yang bersifat rasional. Ilmu

mencoba mencarikan penjelasan mengenai alam yang bersifat umiim dan

impersonal, sementara seni tetap bersifat individual dan personal, dengan

memusatkan perhatiannya pada “pengalaman hidup perorangan”.

B. Pengertian Filsafat Ilmu

Merumuskan pengertian atau definisi tertentu tidaklah mudah, begitu juga


tentang definisi filsafat ilmu. Beberapa ahli telah met iberikan definisi tentang

filsafat ilmu ini, di antaranya adalah sebagai berikut.

1. Michael V Berry, filsafat ilmu adalah <(the study of the inner logic of scientific

theories, and the relatiQns between experiment and theory^ i.e. of scientific

method. ” Menurut Berry filsafat ilmu adalah penelaahan tentang logika

intern dan teori-teori ilmiah, dan hubungan-hubungan antara percobaan

dan teori, yakni tentang metode ilmiah. Bagi Berry, filsafat ilmu adalah ilmu

yang dipakai untuk menelaah tentang logika, teori-teori ilmiah, serta upaya

pelaksanaannya untuk menghasilkan suatu metode atau teori ilmiah. Dalam

ilmu filsafat, logika termasuk bagian ilmu yang dianggap berat dan sulit,

perlu latihan dan pemahaman yang serius agar seseorang dapat memahami

logika secara baik dan paripurna. Karena itu, jika seseorang telah menguasai

logika dengan baik, maka orang ter- sebut dianggap telah sampai pada level

penguasaan filsafat ilmu yang tinggi.

2. May Brodbeck, ia memberikan definisi filsafat sebagai: “the ethically and

philosophically neutral analysis, description and clarification of the

foundations science”. Filsafat ilmu bagi Brodbeck adalah suatu analisis netral

yang secara etis dan falsafi, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan-

landasan ilmu. Bagi Brodbeck, ilmu itu harus bisa menganalisis, menggali,

mengkaji, dan bahkan melukiskannya sesuatu secara netral, etis, dan

filosofis, sehingga ilmu itu dapat dimanfaatkan secara benar dan relevan.

3. Lewis White Beck berpendapat bahwa filsafat ilmu atau philosophy of

science adalah ilmu yang mengkaji dan mengevaluasi metode-metode

pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah


sebagai suatu keseluruhan (“Philosophy of science questions and evaluates

the methods of scientific thinking and tries to determine the value and

significance of the scientific enterprise as a whole”). Jadi menurut Lewis

White Beck, filsafat ilmu adalah ilmu yang mempertanyakan dan menilai

metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menetapkan nilai dan

pentingnya usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan. Melalui filsafat ilmu ini

kita mampu memahami dan menetapkan akan arti pentingnya usaha ilmiah,

pengkajian tentang ilmu pengetahuan secara 'menyeluruh.

4. A. Cornelius Benyamin, mengemukakan bahwa filsafat ilmu adalah “that

philosophic wich the systematic study of the nature of science, especially of

its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general

scheme of intellectual disciplines”. Menurut Benyamin, filsafat ilmu adalah

studi sistematis mengenai sifat dan hakikat ilmu, khususnya yang berkenaan

dengan metodenya, konsepnya, kedudukannya di dalam skema umum

disiplin intelektual. Benyamin lebih melihat sifat dan hakikat ilmu di' tinjau

dari aspek metode, konsep, dan kedudukannya dalam disiplin keilmuan.

5. Robert Ackermannj menurut Ackermann filsafat adalah: “one aspect is

critique .of current scientific opinion by comparison to proven past views, on

in terms of criteria developed from such views, but such a philosophy of

science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific practice".

Jadi, menurutnya filsafat ilmu adalah sebuah tinjauan kritis tentang

pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap

pendapat-pendapat lampau yang telah dibuktikan atau dalam rangka

ukuran-ukuran yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikiari itu,


tetapi filsafet ilmu demikian jelas bukan suatu cabang ilmu yang bebas dari

praktik ilmiah senyatanya. Dengan filsafat ilmu ini seseorang dapat mengkaji

secara kritis tentang pendapat-pendapat atau karya ilmiah seseorang

melalui kriteria tertentu agar dimanfaatkan secara maksimal dan realistis.

6. Peter Caw, mengemukakan bahwa filsafat ilmu adalah aa part of philosophy,

which attempt to do for science what Philosophy in general does for the

whole of human experience. Philosophy does two sort of thing; on the one

hand, it construct theories about man and the universe, offers them as

ground for belief and action; on the offer, it examines critically everything

that may be offered as a ground for belief on action, including its own

theories, with a view to the elimination of inconsistency and error”. Menurut

Caw, filsafat ilmu adalah suatu bagian filsafat yang mencoba berbuat bagi

ilmu apa yang filsafat umumnya melakukan pada seluruh pengalaman

manusia. Filsafat melakukan dua macam hal; di satu pihak, ini membangun

teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya landasan

bagi keyakinan dan tindakan; di pihak lain, filsafat memeriksa secara kritis

segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi

keyakinan/tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri dengan harapan dan

penghapusan tidak ajegan dan kesalahan. Caw yakin bahwa melalui filsafat

ilmu seseorang membangun dua hal, menyajikan teori sebagai landasan

bagi keyakinan dan tindakan, dan memeriksa secara kritis segala sesuatu

sebagai landasan bagi sebuah keyakinan atau tindakan.

7. Alfred Cyril Ewing. Ewing memahami filsafat ilmu sebagai, “The term

philosophy of science is usually applied to the branch of logic which deals in


a specialized way with the methods of different sciences.n Fikafat ilmu

menurutnya adalah salah satu bagian filsafat yang membahas tentang

logika, di mana di dalamnya membahas tentang cara yang dikhususkan

metode- metode dari ilmydlmu yang berlainan. Ewing ingin menegaskan

bahwa filsafat ilmu ini merupakan bagian penting bagi seseorang yang ingin

memahami tentang metode-metode dari disiplin ilmu yang berbeda.

Dengan menguasai filsafat ilmu, seseorang akan lebih mudah memahami

dan menguasai ilmu-ilmu lain yang berbeda. Tanpa penguasaan filsafat ilmu,

maka akan sulitlah bagi seseorang dalam usahanya untuk memahami

tentang ilmu secara baik dan proporsional.

8. The Liang Gie merumuskan filsafat ilmu merupakan segenap pemikiran

reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang me-

nyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi

kehidupan manusia. Bagi Gie, filsafat ilmu bukan hanya dipahami sebagai

ilmu untuk mengetahui metode dan analisis terhadap ilmu- ilmu lain, tetapi

filsafat ilmu sebagai usaha seseorang dalam mengkaji persoalan-persoalan

yang muncul melalui perenungan yang mendalam agar dapat diketahui

duduk persoalannya secara mendasar, sehingga dapat dimanfaatkan dalam

kehidupan manusia.

9. Jujun S. Suriasumantri menjelaskan bahwa filsafat ilmu merupakan suatu

pengetahuan atau epistemologi yang mencoba menjelaskan

rahasia alam agar gejala alamiah tersebut tak lagi merupakan misteri.

Secara garis besar, Jujun menggolongkan pengetahuan menjadi tiga

kategori umum, yakni: 1) pengetahuan tentang yang baik dan yang buruk,
yang disebut juga dengan etika; 2) pengetahuan tentang indah dan yang

jelek, yang disebut dengan estetika atau seni; 3) pengetahuan tentang

yang benar dan yang salah, yang disebut dengan logika

10. Menurut Beerling, filsafat ilmu adalah penyelidikan tentang ciri-ciri

mengenai pengetahuan ilmiah dan cara-cara untuk memperoleh pe-

ngetahuan tersebut. Filsafat ilmu erat kaitannya dengan filsafat pe-

,ngetahuan atau epistemologi, yang secara umum menyelidiki syarat- syarat

serta bentuk-bentuk pengalaman manusia, juga mengenai logika dan

metodologi.

C. Objek Filsafat Ilmu

Menurut Jujun S. Suriasumantri (1986: 2) tiap-tiap pengetahuan memiliki tiga

komponen yang merupakan tiang penyangga tubuh pengetahuan yang

disusunnya. Komponen tersebut adalah ontologi, epistemologi, danaksiologi.

Ontolqgi menjelaskan atau untuk menjawab mengenai pertanyaan apa,

epistemologi menjelaskan atau menjawab mengenai pertanyaan bagaimana, dan

aksiologi menjelaskan atau menjawab mengenai pertanyaan untuk apa?

Penjelasan lebih memadai tentang ketiga komponen tersebut akan dibahas pada

Bab 5.

D. Pendekatan dalam Filsafat Ilmu

Dalam melakukan studi filsafat dilakukan berdasarkan beragamnya pendapat dan

pandangan. Agar studi filsafat tidak menjadi historis melainkan siste- matis,

fungsional, dan komparatif kita perlu melakukan pendekatan- pendekatan


sehingga dapat membuka wawasan kita yang lebih luas.

Pendekatan yang dipakai dalam menelaah suatu masalah juga dapat

dilakukan dengan menggunakan sudut pandang atau tinjauan dari berbagai

cabang ilmu, seperti ilmu ekonomi, ilmu politik, psikologi, sosiologi. Dengan

pendekatan berdasarkan ilmu ekonomi misalnya, maka ukuran- ukuran

ekonomilah yang dipergunakan untuk memilih berbagai masalah, pertanyaan,

dan data yang akan dibahas mengenai suatu gejala. Demikian pula dalam

menelaah tentang ilmu misalnya, bilamana digunakan tinjauan dari sosiologi,

maka ukuran-ukuran seperti pranata kemasyarakatan, aktivitas antar perorangan,

jaringan komunikasi, atau sistem sosial akan menjadi kerangka atau dasar

pembahasan. Dalam beberapa sumber bacaan, dasar suatu cabang ilmu

seringkali dianggap sebagai metode, sehingga terdapat sebutan misalnya

metode psikologis (psychological method) atau metode sosiologis (sociological

method). Istilahdstilah yang kiranya lebih tepat adalah pendekatan psikologis

atau pendekatan sosiologis.

Beberapa penulis yang mengomentari tentang pendekatan filsafat ilmu ini

seperti yang dikemukakan oleh Muhadjir dan Parspn. Muhadjir dalam Ismaun

(2004) menjelaskan tentang pendektan filsafat ilmu sebagai berikut.

“Pendekatan sistematis agar mencakup materi yang sahih/valid sebagai

filsafat ilrtiu, pendekatan mutakhir dan fungsional dalam pe- ngembangan

teori. Mutakhir dalam arti identik dengan kontemporer dan identik denan

hasil pengujian lebih akhir dan valid bagi suatu aliran atau pendekatan, dan

pendekatan komparatif bahwa suatu penelaahan syatu aliran atau

pendekatan ataupun model disajikan sedemikian rupa agar kita dapat


membuat komparasi untuk akhirnya mau memilih.”

Sedangkan Parsons (Ismaun : 2004) dalam studinya melakukan lima

pendekatan sebagai betikut.

1. Pendekatan received view yang secara klasik bertumpu pada aliran

positivisme yang berdasar kepada fakta-fakta.

2. Pendekatan menampilkan diri dari sosok rasionality yang membuat

kombinasi antara berpikir empiris dengan berpikir struktural dalam

matematika.

3. Pendekatan jenomenologik yang tidak hanya sekadar pengalaman

langsung, melainkan pengalaman yang mengimplikasikan penafsiran dan

klasifikasi.

4. Pendekatan metafisik, yang bersifat intransenden. Moral berupa sesuatu

yang objektif universal.

5. Pragmatisme, walaupun memang bukan pendekatan tetapi menarik

disajikan, karena dapat menyatukan antara teori dan praktik.

Dengan memahami pendekatan-pendekatan sebagaimana disebutkan

dalam kutipan di atas untuk melakukan studi filsafat dalam memilih salah satu

pendekatan yang tepat sehingga dalam melakukan generalisasinya dapat

dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Cara untuk mendapatkan pengetahuan

ilmiah, yaitu dengan menggunakan metode ilmiah, berpikir secara rasional dan

bertumpu pada data data empiris.

Jenis pendekatan lain yang juga penting kita telaah sebagai perban-

dingannya adalah pendekatan deduksi dan pendekatan induksi. Alasan kedua

pendekatan ini relatif lebih familiar dengan keseharian kita, serta pendekatan ini
menunjukkan kepada kita bahwa filsafat ilmu adalah sebuah ilmu yang

mempelajari filsafat. Karenanya kita perlu melihat bahwa sebagai cabang ilmu

filsafat menghasilkan teori'teorinya dari hasil pelaksanaan me tode ilmiah.

Pola pendekatan induktif dan deduktif menggambarkan bahwa untuk

melakukan studi ilmiah yang pertama harus dilakukan adalah menetapkan

rumusan masalah dan mengidentifikasikannya, kemudian ditunjang oleh konsep

dan teori atas temuan yang relatif.

Secara ekstrim aliran pragmatisme menyatakan bahwa metode ilmiah adalah

sintesis antara berpikir rasional dan empiris. Metode yang dikembangkan oleh

John Dewey, sebagaimana dikutif oleh Anna Poedjiadi (1987: 18) memberikan

langkah-langkah sebagai berikut: a) identifikasi masalah; b) formulasi hipotesis

; c) mengumpulkan, mengorganisasikan, dan menganalisis data; d) formulasi

kesimpulan; e) verifikasi apakah hipotesis ditolak, diterima, atau dimodifikasi.

E. Fungsi dan Arah Filsafat Ilmu

Banyak pendapat mengenai fungsi filsafat ilmu yang dikemukakan oleh para ahli,

antara lain memberi landasan filosofis untuk memahami berbagai konsep dan

teori sesuatu disiplin ilmu maupun membekali ketnampuan membangun teori

ilmiah (Ismaun, 2004: 2). Jadi, filsafat ilmu sangat berperan dalam memahami

konsep atau teori ilmu untuk membangun teori ilmiah melalui landasan filosofis

melalui kajian filsafat.

Menurut Franz Magnis Suseno (1999: 21) fungsi filsafat ilmu sangat luas

dan mendalam, yaitu sebagai berikut.

1. Untuk membantu mendalami pertanyaan-pertanyaan tentang ilmu ata,u


asasi manusia tentang makna realitas dan lingkup tanggung jawabnya,

secara sistematis dan historis. Secara sistematis, filsafat menawarkan

metode-metode mutakhir untuk mendalami masalah-masalah ilmu, manusia,

tentang hakikat kebenaran, secara mendalam dan ilmiah. Secara historis, di

sini kita belajar untuk mendalami dan menanggapi serta belajar dari

jawaban-j awaban filosof terkemuka.

2. Sebagai kritik ideplogi, artinya kemampuan menganalisis secara terbuka dan

kritis argumentasi-argumentasi agama, ideologi dan pandangan dunia. Atau

dengan kata lain, agar mampu mendeteksi berbagai masalah kehidupan.

3. Sebagai dasar metodis dan wawasan lebih mendalam dan kritis dalam

mempelajari stxidi-studi ilmu khusus.

4. Merupakan dasar paling luas untuk berpartisipasi secara kritis dalam

kehidupan intelektual pada umumnya dan Wiususnya di lingkungan

akademis.

5. Memberikan wawasan lebih luas dan kemampuan analitis dan kritis tajam

untuk bergulat dengan masalah-masalah intelektual, spiritual, ideologis

Secara singkat, Burhanuddin Salam (2000 : 12) mengemukakan bahwa

filsafat berfungsi sebagai mater scientarium (induk ilmu pengetahuan). Begitu

juga, Will Durant dalam Jujun S. Suriasumantri (2003: 22), menjelaskan bahwa

filsafat berfungsi sebagai *peneratas pengetahuan*. Artinya, bahwa filsafat telah

memberi arah kepada ilmu pengetahuan dalam merumuskan konsep dan teori

untuk membangun konsep ilmiah. Di lain pihak, dengan bantuan filsafat ini telah

berkembang berbagai ilmu baru yang sangat penting bagi kelangsungan dan

peradaban manusia di muka bumi ini.


Sedangkan arah filsafat ilmu dapat dipahami dari beberapa pendapat, antara

lain: pertama, bahwa filsafat ilmu diarahkan pada pembekalan pema- haman

terhadap wawasan baik (Ismaun, 2004: 2). Kedua, sebagaimana dikemukakan

oleh Burhanuddin Salam (2000: 11-12), filsafat ilmu diarahkan untuk: a) untuk

lebih memanusiakan diri atau lebih mendidik atau membangun diri sendiri, b)

agar dapat mempertahankan sikap yang objektif dan mendasarkan pendapat

atas pengetahuan yang objektif tidak hanya berdasarkan

pertimbangan-pertimbangan simpati dan antipati saja, c) agar berpikir secara

holistis dalam menyelesaikan suatu permasalahan, tidak mementingkan egoisme,

dan d) agar dapat berpikir kritis, mandiri, dan tidak tergantung pada orang lain.

F. Ruang Lingkup Filsafat Ilmu

Ruang lingkup filsafat ilmu meliputi beberapa bidang, antara lain seperti yang

dikemukakan oleh para ahli berikut ini.

1. Peter Angeles, yang merumuskan filsafat ilmu terbagi ke dalam empat

bidang kajian, yaitu a) telaah mengenai berbagai konsep, pra anggapan dan

metode ilmu, berikut analisis, perluasan, dan penyusunannya untuk

memperoleh pengetahuan yang lebih ajeg dan cermat; b) telaah dan

pembenaran mengenai proses penalaran dalam ilmu, berikut struktur

perlambangnya; c) telaah mengenai saling kaitan di antara berbagai ilmu;

d) telaah mengenai akibat-akibat pengetahuan ilmiah bagi hal- hal yang

berkaitan dengan penerapan dan pemahaman manusia terhadap realitas,

hubungan logika dan matematika dengan realitas, entitas teoretis, sumber

dan keabsahan pengetahuan, serta sifat dasar kemanusiaan.


2. A. Cornellius Benjamin, merumuskan filsafat ilmu ke dalam tiga bidang kajian,

yaitu a) telaah mengenai metode ilmu, lambang ilmiah dan struktur logis dari

perlambangan ilmiah. Telaah ini banyak me- nyangkut logika dan teori

pengetahuan dan teori umum tentang tanda; b) penjelasan mengenai

konsep dasar, pra anggapan dan paing- kal pendirian ilmu, berikut

landasan-landasan empiris, rasional atau pragmatis yang menjadi tempat

tumpuannya. Segi ini banyak hal yang berkaitan dengan metafisika, karena

mencakup telaah terhadap berbagai keyakinan mengenai dunia kenyataan,

keragaman alam dan rasionalitas dari proses alamiah; c) arteka telaah

mengenai saling kait di antara berbagai ilmu dan implikasinya bagi suatu

teori alam semesta, seperti idealisme, materialisme, monisme, atau

pluralisme.

3. Edward Madden, merumuskan lingkup filsafat ilmu ke dalam tiga bidang

kajian, yaitu a) probabilitas, b) induksi, dan c) hipotesis.

4. Ernest Nagel, memberikan rumusan ruang lingkup filsafat ilmu ke dalam tiga

bidang kajian, yaitu a) pola logis yang ditunjukkan oleh penjelasan dalam

ilmu; logical pattern exhibited by explanations in the sciences ; b)

pembentukan konsep ilmiah; construction of scientific concepts; c)

pembuktian keabsahan kesimpulan ilmiah; validation of scientific

conclusions.

Dengan memerhatikan beberapa pendapat ahli, seperti yang dikemukakan

di atas, maka ruang lingkup filsafat ilmu pada dasamya mencakup dua pokok

bahasan utama, yaitu membahas sifat-sifat pengetahuan ilmiah (epistemologi),

dan menelaah caracara mengusahakan pengetahuan ilmiah (metodologi).


Sehingga filsafat ilmu ini pada akhirnya dapat dikelompokkan menjadi dua

bagian besar, yaitu sebagai berikut.

0. Filsafat ilmu umum, yang mencakup kajian tentang persoalan kesatuan,

keseragaman, serta hubungan di antara segenap ilmu. Kajian ini terkait

dengan masalah hubungan antara ilmu dengan kenyataan, kesatuan,

perjenjangan, susunan kenyataan, dan sebagainya.

1. Filsafat ilmu khusus, yaitu kajian filsafat ilmu yang membicarakan

kategori-kategori serta metode-metode yang digunakan dalam ilmu41mu

tertentu atau dalam kelompok-kelompok ilmu tertentu, seperti dalam

kelompok ilmu alam, kelompok ilmu kemasyarakatan, kelompok ilmu teknik,

dan sebagainya.

G. Perkembangan Filsafat Ilmu

Kemunculan dan perkembangan pengetahuan pada zaman batu dan logam

sekitar empat juta tahun sebelum masehi ditemukan adanya konsep tentang alat

untuk kegiatan manusia. Konsep tersebut menjelma sebagai benda- benda yang

dipakai oleh sekelompok manusia dan menunjukkan adanya perubahan.

Perubahan itu adanya hubungan dengan perbaikan fungsi dan perbaikan bahan.

Perbaikan fungsi berarti adanya kecenderungan menuju kepada fungsi yang lebih

baik. Perbaikan bahan adalah bukti adanya hasil karya manusia yang disebut

kebudayaan yang diciptakan oleh manusia.

Secara historis, periodisasi perkembangan dapat dikelompokkan ke dalam

beberapa masa, yaitu sebagai berikut.

1. Zaman Prasejarah. Zaman prasejarah ini sering juga disebut dengan zaman.
batu tua atau masyarakat purba. Pada zaman ini manusia telah mampu

menciptakan konsep tentang alat sebagai perkakas untuk keperluan

kehidupan manusia. Hal tersebut menunjukkan telah ada pemikiran menuju

ke arah ilmu pengetahuan. Kemudian pada masa ini mereka sudah mampu

memelihara tanaman dan hewan liar hingga menjadi hewan dan tanaman

yang kualitasnya sesuai serta memenuhi kebutuhan manusia (misalnya

gemuk, kuat, tahan panas atau dingin, lari cepat, dan lainJain). Pengetahuan

yang mereka lakukan bersifat mencoba<oba dan salah atau gagal (trial and

error). Namun demikian, setelah. ratusan ribu tahun semua penemuannya

menjadi mapan dan dapat diulangi sera berkesinambungan sehingga

tersusunlah khow how. Dengan rasa ingin tahunya, manusia selalu berupaya

mencari jawaban- jawaban atas permasalahan yang dihadapinya yang

dilakukan secara ilmiah dan dilakukan secara terus^menerus sehingga

teijadi perubahan- perubahan ke arah yang lebih baik.

2. Zaman Sejarah. Zaman sejarah disebut juga dengan zaman batu muda atau

zaman peradaban dan pertanian. Pada masa ini manusia telah mempunyai

kemampuan menulis, membaca, dan menghitung sehingga setiap peristiwa

dapat dicatat dan dapat memperkecil kesalahan. Di zaman ini telah dapat

memasyarakatkan pengetahuan secara luas walaupun disampaikan secara

lisan (socialization of knowledge). Kemajuan pengetahuan terlihat pesat

dengan bukti lahirnya kerajaan-kerajaan besar, seperti Mesir, Babilonia,

Sumeria, Niniveh, dan juga kerajaan-kerajaan lain yang lahir di India dan

Cina.

Kemampuan menulis di zaman ini adalah suatu peristiwa dapat dinya- takan
dengan gambapgambar yang ditemukan dalam goa-goa di Spanyol dan

Prancis. Untuk memudahkan penulisan, gambar-gambar tersebut

disederhanakan dan diberi bentuk tertentu (contoh tulisan Kanji). Kemudian

meningkat kepada lapangan yang bersifat abstraksi, yaitu suku kata yang

diberi tanda tertentu dari segi bentuk dan bunyinya. Tingkat suku kata

disebut hieroglif, yang dimulai oleh JF Champolion yang telah menganalisis

sebuah tulisan pada sebuah batu yang disebut Batu Rosetta yang ditemukan

dekat kota Rosseta (Mesir) pada tahun 1799 oleh seorang prajurit lascar

Napoleon, yaitu tulisan “Yunani”, tulisan “rakyat” (demotic) dan “hieroglif’.

Dari yang terakhir adalah menuju ke arah abjad merupakan suatu abstraksi

lebih lanjut yang mungkin berdasarkan tingkatan hieroglif Dari sejumlah

suku kata yang bunyinya berbeda diberi tanda berbeda, ditemukan lagi suku

kata atau bunyi yang sama. Bunyi yang sama ini kemudian diberi tanda lagi,

misalnya Ka, Ki, Ku, Ke, Ko. Dari suku- suku kata tersebut yang sama ialah

bunyi K-nya. Sehingga seolah-olah K merupakan abstraksi tingkat dua

setelah tingkat hieroglif.

Kemampuan berhitung sama dengan kemampuan menulis; yaitu me' lalui

proses abstraksi terhadap suatu soal yang sama di antara soal yang

berbeda-beda. Metode yang digunakan adalah metode mapping, yaitu

dengan cara mengumpulkan dan mengatur. Sebagai contoh, untuk

menghitung jumlah kambing setiap hari, maka kambing yang berada di

kandangnya dikeluarkan satu demi satu dengan menyisihkan sebuah batu

kerikil setiap mengeluarkan seekor kambing. Setelah digembala seharian,

maka kambing itu dapat dihitung kembali lagi dengan cara itu saat akan
dimasukkan lagi ke kandangnya. Hasil dari abstraksi ini adalah bilangan satu,

dua, tiga dan seterusnya, yang semuanya disebiit system natural numbers.

Kemampuan menulis dan berhitung dengan natural sistem jumlah adalah

kemajuan yang sangat berarti, karena tanpa penemuan itu, kemajuan zaman

seperti sekarang ini tak mungkin tercapai.

Pada era ini pengetahuan berlangsung lebih cepat dari era sebelumnya,

misalnya yang berhubungan dengan ilmu pengetahuan ialah tentang

catatan perbintangan yang bermuara kepada 'astrologi dan astronomi’. Cara

yang dilakukan di sini melalui tahapan-tahapan: pengamatan, pengumpulan

data, analisis, abstraksi, dan sintesis kembali. Tahapan- tahapan ini sampai

sekarang masih dilakukan dalam berbagai lapangan yang luas dengan

alat?alat modern, seperti alat potret, tape recorder, kaset, komputer, dan

sebagainya. Kemudian timbullah sejumlah penemuan dan perkembangan

lainnya, seperti a) lapangan matematika di Mesir ditemukannya segi tiga

dengan unit 3, 4, dan S yaitu segi tiga siku- siku pada zaman Phytagoras

(580-500 SM.); b) lapangan perdagangan, timbullah pengukuran, luas

ladang diukur, berat gandum diukur, hasil- nya dihitung untuk raja atau

negara, petani, dan lainJain, dan harga hasil panen ditetapkan. Dalam dunia

dagang tercipta uang logam sebagai nilai tukar, dan c) lapangan hukum,

perundang-undangan raja ditulis, yang pada zaman sekarang ditemukan di

berbagai tempat.

3. Zaman Logam. Zaman logam ini masuk kategori kebudayaan klasik. Pada

masa ini perkembangan ilmu lebih pesat lagi, yaitu telah ditemukannya

logam yang dioleh sedemikian rupa menjadi sebuah perhiasan yang indah
dan mahal harganya. Kemampuan yang tinggi, kemudian dipakai untuk

hal'hal diabadikan dalam bentuk patung yang sekarang masih teTsimpan di

museum, bernilai artistik tinggi. Misalnya patung Nefertili,istri raja Firaun di

Mesir. Hal tersebut menunjukkan bahwa adanya kebudayaan yang tinggi

dan adanya kerajaan yang luas dan berkuasa.

Menurut Burhanuddin Salam (2000: 34) pada zaman purba secara ringkas

ditandai oleh lima macam kemampuan, yaitu : a) know how dalam

kehidupan sehari-hari; b) pengetahuan yang berdasarkan pengalaman.

Pengalaman ini diterima sebagai fakta oleh sikap receiptive mind, kalaupun

ada keterangan tentang fakta tersebut maka keterangan itu bersifat mistis,

magis, dan religious ; c) kemampuan menemukan abjad dan natural

number system berbagai jenis siklus, yang semuanya berdasarkan proses

abstraksi; d) kemampuan menulis, berhitung, dan menyusun kalender,

yang semuanya berdasarkan sintesis terhadap hasil abstraksi yang dilakukan

; e) kemampuan meramalkan berdasarkan peristiwa-peristiwa fisis, seperti

gerhana bulan, dan lain-lain.

4. Zaman Yunani dan Romawi. Perkembangan know how di masa ini

tingkatannya lebih maju dari zaman sebelumnya. Pengetahuan empiris

berdasarkan sikap receptive attitude mind, artinya bangsa Yunani tidak

dapat menerima empiris secara pasif reseptif karena mereka memiliki jiwa an

inquiring attitude. Maka lahirlah filsafat yang mempunyai arti lebih luas

daripada sekarang, yaitu meliputi semua bidang ilmu sebagai induk ilmu

pengetahuan (matter scientiarium).

Thales (dari Miletus 624-548 SM) sebagai filsuf pertama yang mem ,
pertanyakan dasar isi alam. Jawaban atas pertanyaan itu ada empat (air, api,

udara, dan tanah) yang masing-masing filsuf berbeda-beda pendapat.

Namun, bagi sejarah perkembangan ilmu pengetahuan, yang penting bukan

jawabannya tetapi pertanyaannya. Pertanyaan Thales sampai saat ini tetap

relevan, yang menyebabkan riset berkesinambungan yang mendorong

pe-mikiran riset, bahkan menimbulkan konsep baru dalam zamannya, yaitu

timbulnya konsep tentang evolusi (development process)

5. Filsafat Ilmu di India dan Cina. Filsafat di India sangat berlainan dengan

filsafat modem, yaitu lebih menyerupai ngelmu dari ilmu, lebih mendekati

arti kata philosophia yang semula, lebih merupakan ajaran Hindu yang

bertujuan memaparkan bagaimana orang dapat mencapai kebahagiaan

yang kekal (Bur- hanuddin Salam, 2000: 54). Sikap orang Yunani lebih

objektif dan rasional teknis, dan sikap orang India lebih subjektifi lebih

mementingkan perasaan, penuh dengan rasa kesatuan dengan alam dunia

yang mengelilinginya dan terbuka bagi realitas ajaib yang mengatasi

segala-galanya dan hams dihormati dengan korban-korban dan

upacara-upacara. Alam pikiran orang India adalah magic religious filsafat

tidak dipandang sebagai ilmu tersendiri melainkan sebagai faktor penting

dalam usaha pembebasan diri.

Sifat-sifat khusus yang membedakan filsafat India dan Yunani adalah seluruh

pengetahuan filsafat diabadikan kepada usaha pembebasan atau

penebusan, berpangkal pada buku-buku kuno yang kekuasaannya tidak

dapat diganggu gugat, hanya dapat ditafsirkan dan diterangkan 'lebih lanjut,

perumusan-perumusan umumnya kurang tajam tidak tegas membedakan


yang konkret dan abstrak, tampak kekuatan asimilasi yang sangat besar,

hingga unsupunsur yang bertentangan satu sama lain dimasukkan dalam

sistem ‘syncretism’,dan sistem yang ditemukan sejumlah pengertian yang

timbulbukan dari filsafet, melainkan merupakan warisan dari zaman kuno.

Filsafat Cina (Tionghoa) pusat perhatiannya Chutzu atau Hsuan-Hsueh, yaitu

kelakuan manusia, sikapnya terhadap dunia yang mengelilinginya, dan

sesama manusia, karena manusia dan dunia merupakan satu kesatuan, satu

kosmos, kesatuan yang tidak boleh diganggu oleh perbuatan- perbuatan

manusia yang tidak selayaknya. Mereka menitikberatkan kepada what man is

(= his moral qualtties) dari pada what he has (= his intellectual and material

capacities). Pengetahuan tidaklah dikejar “asal mengetahui saja”. Citacita

mereka tak lain daripada menjadi (<


the inner sage ”, artinya orang yang

telah membentuk kebajikan dalam dirinya sendiri yang “bijaksana” yang

lebih menitikberatkan pada etika bukanlah logika atau metafisika.

6. Filsafat Ilmu pada Masa Islam* Ilmu pengetahuan dan teknologi modern,

lahir dari kandungan Islam, yaitu menemukan metode ilmiah yang menjadi

kunci pembuka rahasia alam semesta yang jadi perintis modernisasi Eropa

dan Amerika.

Percobaan-percobaan yang dilakukan dalam dunia Islam mirip dengan

percobaan trial and error dengan motif untuk membuat logam emas yang

sangat berharga. Sehingga lahirlah metode kimia (Arab: al kimia) sebagai

awal dari chemistry zaman modern. Ditemukannya berbagai penemuan

anta-ra lain dalam dunia kedokteran ialah salmak. Ilmu kedokteran zaman

Islam berkembang baik sekali berkat dorongan para raja.


Tokoh dalam lapangan ilmu kedokteran di antaranya al-Razi, Ibnu Sina, Abu

al-Qasim, Ibnu Rusyd, dan aUdrisi. Ibnu Sina menulis buku- buku standar

kedokteran sampai tahun 1650. Abu al-Qasim menulis Ensiklopedia

Kedokteran antara lain tentang bedah, dan mereka juga berkarya pada

lapangan ilmu astronomi, matematika, dan filsafat. Ibnu Rusyd menulis

tentang kedokteran dan menerj emahkan karyaAristoteles, ia penganut

aliran evolusianisme. Sementara aUdrisi membuat 70 peta dari daerah yang

dikenalnya lalu dipersembahkan kepada raja Roger II dari Kerajaan Sicilia.

Dalam lapangan astronomi dia mempertahankan asas yang ditetapkan oleh

Ptolemeus, yaitu geosentris dan homosentris. Pada masa Islam banyak

melahirkan ilmu pengetahuan, yang sampai saat ini masih relevan

digunakan. Pola pikirnya rasional, empiris, dan luas serta menggunakan

metode ilmiah.

7. Filsafat Ilmu pada Abad Kegelapan. Pada masa ini bangsa Romawi lebih

sibuk dengan masalah-masalah keagamaan yang terus mempelajari dosa

dan bagaimana cara menghapuskannya sebagaimana diungkapkan

Burhanuddin Salam (2000: 129) sebagai berikut.

"Betapapun terkenalnya bangsa Romawi, namun dalam lapangan ilmu

pengetahuan mereka praktis tidak memberikan sumbangan apa pun. Bangsa

Komawi ulung dalam soal militer dan peperangan, soal politik, perdagangan,

pelayaran, pembangunan sistem pengajaran, jalan raya dan pertanian serta

peternakan. Kerajaan yang tunduk pada Katolik?Romawi juga tidak

memberikan sumbangan yang berarti dalam lapangan ilmu pengetahuan.

Mereka lebih sibuk dengan masalah-masalah keagamaan, dan


terus-menerus mempelajari masalah dosa, penghapusan dosa, soal

ketuhanan, dan sebagainya tanpa memerhatikan soal duniawi dan soal ilmu

pengetahuan."

Bangsa Romawi pada masa ini tidak memerhatikan soal pengetahuan dan.

soal duniawi sehingga kerajaan Romawi runtuh. Maka masa ini dikenal

sebagai masa kegelapan. Di sini tidak terjadi perubahan pengetahuan

karena mereka hanya berpegang pada karya Aristoteles tanpa banyak

mengadakan perubahan. Mereka menganggap segala ilmu yang

bertentangan dengan Aristoteles dan Kitab suci harus dilenyapkan. Hal

tersebut menunjukkan bangsa Romawi mengalami kemunduran berpikir

sehingga ilmu pengetahuan tidak berkembang..

8. Filsafat Ilmu pada Abad ke46 dan 17. Abad ke46 dan 17 merupakan masa

kebangkitan atau renaissance berarti masa untuk menghidupkan kembali

kebudayaan klasik (Yunani-Romawi) dengan meninggalkan kebudayaan

tradisional yang bernafaskan Kristiani (Burhanuddin Salam, 2000: 131). Di

masa ini dikenal sebagai periode kebangkitan Eropa (filsafat Yunani II) dan

mulai bangkit ilmu pengetahuan yang melahirkan suatu teori yang disebut

teori realisme dan idealisme. Teori ini mempunyai pandangan yang realistis

terhadap dunia ini. Pengetahuan menurut teori ini adalah gambaran yang

sebenarnya dari apa yang ada dalam alam nyata ini. Sedangkan teori

idealisme Lerpendapat bahwa mempunyai gambaran yang benar-benar

tepat sesuai denan kenyataan adalah mustahil. Oleh karena itu, pengetahuan

bagi seorang idealis hanya merupakan gambaran subjektif dan bukan

objektif tentang kenyataan.


Pada masa ini dari segi metoddlogi dan psikologi, seluruh ilmu pengetahuan

menurut Burhanuddin Salam (2000: 165) didasarkan pada hal' hal berikut

ini.

a. Pengamatan dan pengalaman manusia yang terus-menerus.

b. Pengumpulan data yang terus-menerus dilakukan secara sistematis.

c. Analisis data yang ditempuh dengan berbagai cara (misalnya analisis

langsung, analisis perbandingan dan analisis matematis dengan

menggunakan model'model matematika).

d. Penyusunan model-model atau teori-teori, serta penyusunan

ramalan-ramalan sehubungan dengan modek-model itu.

e. Percobaan-percobaan untuk menguji ramalan-ramalan tersebut.

Percobaan itu akan menghasilkan beberapa kemungkinan, di antaranya

mungkin benar dan mungkin salah. Jika terbukti salah, terbuka

kemungkinan untuk mencari ke-salahan cara berpikir sehingga terbuka

pula kemungkinan untuk memperbaiki. Dengan demikian, ilmu

pengetahuan modern memiliki suatu built-in self corrective system

yang memungkinkan disingkirkannya kesalahan demi kesalahan secara

bertahap untuk menuju ke arah kebenaran.

Metode berpikir pada masa ini sudah menggunakan metode ilmiah mulai

dari pengamatan yang ditunjang oleh teori-teori kemudian dianalisis yang

dilakukan secara feerkesinambungan sehingga kesalahan- kesalahan dapat

diperbaiki dan menghasilkan yang terbaik.

9. Filsafat Ilmu pada Abad ke-18 dan 19. Pada masa ini kecepatan pep

kembangan ilmu pengetahuan pada abad-abad berikutnya benar-benar


sangat menakjubkan. Ilmu pengetahuan empiris makin mendominasi ilmu

pengetahuan. Satu penemuan diikuti dengan penemuan lain, sating mengisi.

Penemuan-penemuan di akhir abad 18 didominasi oleh pengetahuan

bidang fisikd. Tx)koh>tokoh fisika seperti Faraday (1791, 1867), penemuan

di bidang kelistrika, galvanik, dan lain-lain sehingga semuanya itu membuka

jalan bidang ilmu lainnya.

Aliran baru dalam lapangan ekonomi, $osial, dan alam pikiran terus ber'

gejolak. Masih diilhami adanya hukum-hukum alam dan manifestasinya

sebagai hak asasi manusia, timbul aliran falsafah baru yangdipimpin oleh

Karl Marx dan Frederick Engels, yang dinamakan dialektif materialism,

karena teori dialektif sejarah dari Hegel diberi interpretasi materialistis oleh

Karl Marx , secara ringkas pandangan-pandangan dan ajaran-ajaran itu

terdapat dalam Manifesto Communist (1848).

10. Filsafat Ilmu pada Abad ke'20. Menurut Burhanuddin Salam (2000: 265)

abad ke-20 merupakan abad percobaan bagi ilmu pengetahuan. Perang

dunia ke-1 dan 2 sebagai coreng sejarah menandai ketidaksanggupan ilmu

pengetahuan membimbing dirinya. Di sini menunjukkan bahwa ilmu yang

semula tujuannya baik ternyata malah berdampak negatif bahkan

membinasakan manusia. Sebagai contoh penemuan bom atom yang

digunakan pada perang dunia ke-2 telah membinasakan banyak manusia.

Ada tiga teori yang datang di abad ke,20 yang cukup menggelisahkan ilmu

pengetahuan, yaitu teori relativitas, teori quantum, dan teori elektris tentang

materi. Dalam abad ke-20 ilmu pengetahuan empiris bertambah banyak dan

maju, dan ilmu pengetahuan mulai memasuki kesadaran baru, mulai


menyadari batas-batas kemampuannya

BAB III

SUBSTANSI FILSAFAT ILMU

A. Kenyataan atau Fakta

1. Kesenjangan antara Kebenaran dan Fakta

Di zaman dahulu, nilai-nilai kebenaran sangat dijunjung tinggi oleh para orang

tua, pendidik, ulama, dan anggota masyarakat dalam menjalankan kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Prinsip satu kata dengan perbuatan

atau perilaku masih terwujud dalam fakta yang dapat diamati. Sebagai contoh,

keluarga kaum ulama pada zaman dahulu masih konsisten dalam menjalankan

ajaran agama Islam tentang etika bergaul antara pria dan wanita, etika tentang

tata cara berpakaian menurut Islam bagi kaum pria dan wanita, serta etika-etika

lainnya yang semuanya telah diatur dalam Alquran dan Alhadist. Ajaran-ajaran

dalam Islam tersebut merupakan suatu kebaikan dan kebenaran yang sifatnya

mutlak. Karena itu, tata cara bergaul antara pria dan wanita serta tata cara

berpakaian antara pria dan wanita Islam di zaman praglobalisasi penuh dengan
nilai-nilai dan etika tentang sopan santun. Fenomena ini terwujud dalam fakta di

masyarakat yang dapat diamati dalam kehidupan sehari-hari.

Sebaliknya, di era globalisasi, nilai-nilai kebenaran khususnya kebenaran etika

bergaul dan berpakaian antara pria dan wanita menurut Islam sudah mulai

ditinggalkan oleh sebagiah anggota masyarakat remaja yang terwujud dalam

fakta. Sebagai contoh ajaran Islam tentang larangan mendekati zina’ sebagai

suatu ajaran yang mengandung nilai kebenaran mutlak, kini telah ditinggalkan

oleh sebagian remaja yang berpola pikir kebarat?baratan. Islam juga

mengajarkan nilai sopan santun yang mengandung nilai kebenaran tentang

keharusan kaum wanita untuk menutup aurat, namun dalam fektanya, sebagian

remaja kita telah menganggap ajaran itu tidak benar atau kuno, sehingga mereka

berpakaian sangat seksi. Karena itu, dapat disimpulkan bahwa nilai kebenaran

agama mengalami krisis dan kesenjangan dengan kenyataan atau fakta yang

diamati dalam kehidupan sehari-hari di masyarakat.

2. Cara Mencari Kebenaran Menurut Ilmu, Filsafat, dan Agama

Menurut perspektif sains atau ilmu pengetahuan, kebenaran dapat diperoleh

melalui penyelidikan dengan menggunakan metode ilmiah, logis untuk mencari

bukti empiris dalam upaya untuk menguji hipotesis menjadi tesis atau tidak dan

untuk menarik kesimpulan yang dapat digeneralisasikan (Ahmad Tafsir, 2002).

Dengan kata lain, kebenaran menurut ilmu pengetahuan dapat dicari dan

ditemukan melalui cara-cara yang ilmiah dengan prosedur yang sistematis dan

ilmiah dalam melakukan penyelidikan empiris untuk menarik kesimpulan sebagai

suatu kebenaran. Jadi, kebenaran ilmiah dapat dicari dan ditemukan dengan data

yang logis dan empiris.


Kebenaran yang diperoleh melalui metode ilmiah yang penuh dengan logika

dan bukti-bukti empiris untxik menemukan suatu kesimpulan sebagai sebuak

kebenaran merupakan kebenaran yang ilmiah. Kebenaran ilmiah dapat menjadi

sebuah teori ilmiah yang membangun ilmu pengetahuan. Salah satu contoh

tentang cara mencari kebenaran menurut perspektif ilmu pengetahuan ialah

dengan melakukan penyelidikan untuk : mencari dan menemukan data

empiris dengan menggunakan metode dan prosedur yang ilmiah (Mudyahardjo,

2004). Sebagai contoh sederhana ad'alah, apakah benar pemberian pupuk pada

tanaman dapat menyuburkan pertumbuhan tanaman, maka dilakukan

eksperimen dengan membentuk dua kelompok objek penelitian, yaitu

sekelompok tanaman diberikan pupuk secukupnya dalam jangka waktu tertentu

dengan metode ilmiah, sedangkan kelompok lain tidak berikan pupuk, maka

dapat dilihat hasil yang diperolehnya.

Dari hasil penelitian dan eksperimen yang dilakukan di atas, dapat diperoleh

kesimpulan bahwa; “ada pengaruh pupuk terhadap pertumbuhan tanaman”,

merupakan sebuah kebenaran ilmiah yang diperoleh dengan bukti empiris

melalui hasil penyelidikan berupa eksperimen di lapangan. Survei tentang jumlah

penduduk di suatu negara dan jenis-jenis pekerjaan yang dilakoni juga

merupakan cara mencari kebenaran tentang data kepen- dudukan. Kesimpulan

hasil survei tersebut adalah juga merupakan sebuah kebenaran ilmiah.

Menurut perspektif agama, suatu kebenaran dapat dicari dan ditemu- kan,

serta diterima melalui proses ilmiah sebagai basis yang utama. Namun demikian,

proses aqliah atau pikiran (logika) juga dapat digunakan sebagai alat penunjang

proses imaniah untuk memperkuat kebenaran wahyu sebagai proses imaniah:


Contoh kebenaran wahyu atau agama yang hanya dapat diterima melalui proses

imaniah ialah peristiwa isra mi’raj nabi besar Muhammad saw. ke sidratul

muntaha. Peristiwa ini tidak dapat diterima melalui proses logika, namun ini

sebuah fakta dan kebenaran yang hanya dapat diterima melalui proses imaniah.

Menurut perspektif filsafat, suatu kebenaran dapat dicari, ditemukan, dan

diterima melalui proses logika. Dengan kata lain, filsafat ialah kebenaran yang

dihasilkan melalui berpikir radikal. Bukti empiris tidak diperlukan dalam mencari,

menemukan, dan menerima suatu kebenaran melainkan proses pikir dan hasil

pikir yang logis merupakan ukuran dalam mencari, menemukan, dan menerima

suatu kebenaran. Karena itu, hakikat kenyataan secara total (ontologi), hakikat

mengetahui kenyataan (epistemologi), dan hakikat menilai kenyataan (aksiologi)

yang berhubungan dengan etika dan estetika menjadi objek dari filsafot

(Mudyahardjo, 2004).

3. Sifat Kebenaran Menurut Perspektif Umu, Agama, dan Filsafat

Kebenaran yang ditemukan berdasarkan perspektif agama adalah kebenaran

yang bersifet mutlak dan tidak perlu disangsikan kebenarannya karena

merupakan kebenaran wahyu yang diterima melalui proses imaniah dan logika

sebagai proses pikir penunjang. Kebenaran yang ditemukan

berdasarkanperspektif sains (ilmu) adalah kebenaran yang bersifat relatif dan

masih perlu disangsikan kebenarannya, melalui penelitian ilmiah hanya sekitar 95

sampai 99% atau sifatnya tidak mutlak. Sedangkan kebenaran yang ditemukan

berdasarkan perspektif filsafat juga merupakan kebenaran yang tidak bersifat

mutlak dan masih perlu disangsikan kebenarannya melalui proses logika yang

lebih radikal.
4. Keterkaitan antara Fakta dan Kebenaran

Pada uraian terdahulu telah disinggung sekilas tentang keterkaitan antara

kebenaran dengan fakta dan sebaliknya. Kebenaran adalah sesuatu yang ada

secara objektif, logis, dan merupakan sesuatu yang empiris. Sedangkan fakta

merupakan kenyataan yang terjadi yang dapat diterima secara logis dan dapat

diamati secara nyata dengan pancaindra manusia.

Kasus jatuhnya pesawat Mandala di Medan beberapa tahun yang lalu

merupakan contoh suatu fakta yang terjadi di lapangan. Kenyataan berupa kasus

jatuhnya pesawat tersebut merupakan sesuatu kasus yang benar adanya. Dengan

kebenaran atas terjadinya kecelakaan pesawat merupakan suatu fakta yang tidak

bisa dibantah lagi atas kebenarannya, baik secara logika maupun secara empiris.

Contoh lain, shalat dapat mencegah manusia kepada kemungkaran merupakan

suatu kebenaran wahyu yang tidak dapat dibantah lagi, baik secara logika

maupun secara empiris, karena dalam kenyataannya apabila orang shalatnya baik

dan benar, maka perilakunya menjadi bagus di masyarakat.

Dari uraian dan kedua contoh di atas, menunjukkan bahwa antara kebenaran

dan fekta merupakan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan satu sama

lain. Dengan kata lain, antara fakta dan kebenaran, dan antara kebenaran dengan

fakta merupakan dua hal yang berkaitan sangat erat.

B. Konfirmasi

‘Konfirmasi’ berasal dari bahasa Inggris, confirmation, yang berarti penegasan,

pengesahan. Konfirmasi apabila dikaitkan dengan ilmu, maka fungsi ilmu adalah

menjelaskan, memprediksi, dan menghasilkan. Menjelaskan ataupun


memprediksi, tersebut lebih bersifat interpretasi untuk memberikan makna

tentang sesuatu.

1. Aspek Kiiantitatif dan Kualitatif Konfirmasi

Dasar untuk memastikan kebenaran penjelasan atau kebenaran prediksi,

sebagian ahli mengemukakan aspek kuantitatifi dan sebagian lain trieng-

gunakan aspek kualitatif. Deraj at konfirmasi kuantitatif dibangun berdasar

hipotesis mengenai objek yang diukur dan seluas hipotesisnya. Derajat

konfirmasinya bersifat probabilitas; probabilitas dari hasil analisis frekuensi.

Derajat konfirmasi kuantitatit menjadi masalah pada keluasan generalisasi.

Seberapa jauh generalisasi dapat diterapkan. Konfirmasi kuantitatif juga

menimbulkan masalah pada derajat signifikansinya. Batas koefisien yang

dianggap signifikan menjadi masalah, karena dalam terapan dijumpai batas

signifikansi statistik dan batas signifikansi arbiter, misalnya dalam analisis data

psikologis, data sosiologis yang mentolelir koefisien lebih rendah dari tabel

signifikansi statistik, karena objek telaahannya adalah manusia.

Untuk membangun konfirmasi kualitatif dan upaya melepaskan dari yang

kuantitatif tampaknya memang belum dapat dilakukan sepenuhnya. Hempell

menggunakan analisis saintifikal untuk membuat konfirmasi kebenaran,

Sementara Rudolp Carnap mengembangkan dua model bahasa, yaitu bahasa

terjemahan dan bahasa interpretasi (Ismaun, 2004: 15). Para positivistik logis

menuntut agar ilmu empiris mereduksi empiris menjadi bahasa penuh makna

yang sintaktikal atau yang semantikal. Popper menyatakan bahwa untuk

membuat konfirmasi tidak dapat dengan membuat verifikasi lewat pengujian

hipotesis, dengan menawarkan uji falsifikasi untuk mengkonfirmasikan teori.


2. Teori Konfirmasi

"Teori kepastian (comfirmation theory) berupaya menqari deskripsi hubungan

normatif aritara hipotesis dengan evidensi ; hubungan tersebut berupaya

mengukur atau mengindikasikan apakah dan bagaimana suatu evidensi

menjamin keperCayaan kita pada hipotesis. Sampai sekarang setidaknya ada tiga

teori konfirmasi, yaitu decision theory, estimation theory, dan realiability analiysis.

Decision theory menerapkan kepastian berdasar keputusan, “apakah hubungan

antara hipotesis dengan evidensi memang memiliki manfaat aktual”. Kriteria

“manfaat aktual” memang menjadi bersifat subjektif. Se- dangkan estimation

theory menetapkan kepastian dengan memberi peluang benar-salah dengan

menggunakan konsep probabilitas. Konsep ini dominan dalam analisis statistik.

Hampell menggunakan konsep probabilitas dengan berdasarkan pada hubungan

logis antara proposisi (yang menyatakan tentang evidensi) dengan hipotesis.

Sedangkan Rudolp Carnap mendasarkan pada hubungan sintaktikal antara

evidensi dengan hipotesis.

Adapun reliability theory menetapkan kepastian dengan mencermati

stabilitas evidensi (yang mungkin berubah-ubah karena kondisi atau karena

Iain-lain) terhadap hipotesis. Kepastian dapat pula dikonstruk atas pemikiran

orang tentang choice of action. Dalam filsafat kita kenal determinisme dan

indeterminisme. Para ahli mempertanyaan apakah alam semesta detep ministik

atau memiliki peluang berkembang yang interdeminat. Banyak ahli menganut

yang pertama, tetapi lebih banyak yang menganut yang kedua.

C. Konsep dan Definisi

Unsur konstruk paling elementer dalam struktur teori adalah definisi atau batasan
atau penjelasan sesuatu konsep. Setidaknya ada tiga fungsi bahasa, yaitu

ekspresif, afektif, dan fungsi logis. Untuk studi ilmu pada umumnya fungsi logis

yang dominan. Fungsi ekspresi akan banyak mewarnai studi teknolpgi. Meskipun

fungsi logis tetap dominan pada semua studi ini.

1. Fungsi Logis Definisi

Fungsi logis dari definisi adalah memberikan batas arti atau makna simbolik dari

suatu konsep, sehingga definisi disamaartikari dengan batasan. Konsep rrianusia

perlu diberi batasan sehingga beda dengan konsep hewan atau batu. Pembuatan

batasan tersebut pada dasarnya adalah memberikan penjelasan dengan

menggunakan simbol lain yang lebih mudah dipahami.

Pada sejumlah pustaka yang menulis tentang konsep (dalam kaitannya

dengan definisi) sering digunakan kata istilah. Dalam upaya menyusun ba'

ngunan teori, penulis menggunakan satu kata saja, yaitu konsep. Membuqt

definisi pada dasarnya adalah membuat batasan konsep tunggal. Ketika sejumlah

konsep ditata relasinya atau ditata koherensinya atau ditata struktur

paradigmanya, maka sejumlah konsep tersebut (yang menjadi konsep ganda, dan

mungkin juga konsep kompleks) menjadi pernyataan. Pernyataan tersebut dapat

berwujud pendapat, hipotesis, postulat, asumsi, sampai ke struktur teori.

Dalam ilmu pengetahuan definisi biasa diberi sinonim, batasan, atau

penjelasan. Disebut penjelasan karena memberikan keterangan agar sesuatu

istilah dapat menjadi jelas. Disebut batasan karena memberikan batas-batas arti

istilah yang dijelaskan.

Dalam studi filsafat, definisi dibedakan menjadi tiga besar, yaitu definisi

pragmatis, definisi esensialis, dan definisi linguistik, atau biasa disebut tipe P, tipe
E, dan tipe L. Tipe P dan tipe L banyak diikuti para ahli filsafat kontemporer dan

para analis linguistik. Tipe E digunakan oleh Husseri dan para fenomenologi dan

realis.

Dari sisi kepentingan praktis untuk mengkonstruksikan teori, tiga tipe definisi

tersebut penulis tampilkan dalam ragam definsi berikut, terdapat banyak macam

definisi. Namun sejalan dengan tipe definisi tersebut, secara garis besar

setidaknya dapat dikelompokkan dalam tiga besar, yaitu: definisi nominalis,

realis, dan praktis.

2. Definisi Nominalis

Definisi nominalis merupakan penjelasan atas sesuatu istilah dengan meng-

gunakan kata lain yang lebih dikenal. Definisi nominalis setidaknya dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu definisi sinonim dan definisi etimologis. Pada

definisi sinonim, penjelasan diberikan dengan meng-gunakan persamaan kata

atau memberikan penjelasan dangan kata yang lebih dikenal. Contoh, harimau

adalah binatang yang mirip kucing yang sangat besar. Sedangkan definisi

etimologisnya merupakan penjelasan dengan cara mengetengahkan asal-usul

istilahnya. Contoh, dalam menjelaskan kata demokrasi. Kata de' mokrasi berasal

dari kata “demos” dan “ratos”, demos artinya rakyat, dan kratos yang artinya

kekuasaan. Jadi, demokrasi artinya kekuasaan rakyat, atau kekuasaan yang

berasal dari, oleh, dan untuk rakyat.

Definisi nominalis pada umumnya mudah disusun dengan mencarinya di

kamus-kamus. Untuk para pemula dalam dunia ilmu membuat batasan telaah

dengan menggunakan definsi nominalis dapat ditolelir. Akan tetapi, bagi para
ilmuwan lanjut, penggunaan definisi nominalis menjadi indikator lemahnya

pengetahuan yang dimiliki oleh yang bersangkutan, karena biasanya sesuatu

istilah itu telah berkembang demikian pesat, sehingga maknanya sudah bergeser

jauh. Yang mungkin masih relevan bagi ilmuan lanjut ini dengan menggunakan

penjelasan ensiklopedia historis, ensiklopedia sistematis, atau handbook, juga

menurut perkembangan konsep yang berbeda'beda antara para ahli.

Perkembangan konsep tersebut dianjurkan didefinsikan dengan menggunakan

definsisi realis atau definisi praktis.

3. Definisi Realis

Apakah definisi realis ini? Definisi realis memberikan penjelasan atau batasan

berdasar isi yang terkandung dalam konsep yang didefinisikan. Menjelaskan isi

dapat dilakukan secara analitik, disebut definisi analitik. Pada definisi ini, isi

konsep tersebut diurai menjadi bagian-bagian atau unsur- unsur. Contoh,

manusia adalah makhluk monodualis, memiliki jiwa dan raga yang menyatu.

Manajemen merupakan upaya untuk merencanakan, mengerahkan,

mengorganisaksikan, mengkoordinasikan, serta mengawasi kegiatan sejumlah

orang dan barang untuk mencapai tujuan tertentu. Definisi analitik menjadi

definisi konotatif ketika isi konsep tersebut ditata dalam jenisnya dengan sifat

pembedanya. Contoh, hukum adalah peraturan yang bersifat memaksa. Apabila

penataan dalam jenis disertakan pula sifot khususnya, maka definisi tersebut

menjadi definisi aksidental. Contoh, manusia adalah zoon politicon. Aksidental di

sini bukan berarti kebetulan, melainkan spesifik, karena hendak menampilkan

pemikiran tentang manusia dalam telaah ilmu politik. Antropologi ragawi akan

menampilkan manusia sebagai pitecanthropus erectus, sejenis pitecanthropus


yang tegak atau berdiri.

Definisi realis yang menampilkan penjelasan berdasar sifat-si^t esensialnya,

dan menjauhkan sifat nonesensial serta eksemplar, disebut definisi esensial.

Untuk menjangkau definisi esensial, memang diperlukan penganalisaan seperti

yang dilakqkan pada pembuatan definisi analitis, definisi konot^tif, dan definisi

aksidental; sehingga akan menjadi jelas mana yang sifat esensial dan yang

bukan.

Definisi realis yang lebih supervisial adalah definisi deskriptif yang

menampakkan isi dari suatu konsep tanpa upaya memilahkan jenis, pern- beda

yang spesifik, ataupun yang esensial. Apa yang tampak dalam kejadian atau

pengenalan umum disebut deskriptor dari konsep tersebut. Contoh, handphone

adalah telepon tanpa kabel yang bisa dibawa ke mana-mana.

Definisi yang mendeskripsikan sejumlah konsep dalam tata pikir sebab

akibat disebut kausal. Contoh, awan adalah air karena penyinaran air oleh

matahari.

4. Definisi Praktis

Di samping definisi-definisi tersebut dikenal pula definisi praktis. Tujuan praktis

menjadi ciri khas penjelasannya. Definisi yang mementingkan praktis menjadi ciri

khas penjelasannya. Definisi yang mementingkan penjelasan kegunaannya atau

fungsional. Contoh, termometer adalah alat untuk menge- tahui panas badan.

Definisi tersebut menjadi definisi konotatif, ketika orang berpikir hendak

membedakan antara temperatur tubuh. Barometer adalah alat pengukur

temperatur udara. Kegunaan praktis dari suatu definisi dapat pula ditampilkan
berwujud definisi operasional.

Mungkin operasional dalam makna, agar mudah terdeskripsikan ketika hendak

digunakan untuk mengumpulkan data, misalnya wanita karier adalah wanita yang

menjalankan pekerjaan yang memberi efek pada status sosial dan ekonomi pada

yang bersangkutan. Mungkin pula dalam makna, menujukkan cara pengujiannya,

misalnya anakjenius adalah anak yang usia intelegensinya jauh di atas usia

tahunnya, dan jauh di atas rata-rata anak cerdas.

5. Definisi Paradigmatis

Dengan perkembangan tata pikir mutakhir sekarang ini, seperti berpikir

morphogenetis, berpikir divergen, berpikir horizontal, berpikir kreatif^ berpikir

holografik, dan lain-lain. Selain itu, juga dengan tata pikir cukup kompleks, baik

pada tataran teoretik moral cultural, moral transenden, dan juga munculnya tata

pikir kompleks yang operasional pragmatik, maka tampaknya perlu dikenalkan

klaster keempat dari definisi, yaitu definisi paradigmatis.

Konstruk konsep yang diketengahkan tidak seluruhnya dapat ditata analitik

hierarki, tidak seluruhnya ditata linier, dan seterusnya. Misalnya, konflik menurut

Dahrendorf adalah pertentangan yang dapat berfungsi positif ; dapat pula

negatif^ dapat terjadi in-group atau out-group. Dapat individual ataupun

institusional. Dalam definisi konflik, menurut Dahrendorf terkandung banyak

konsep; konsep konflik, konsep fungsi positif dan negatif^ konsep in-group,

konsep proses pada latar individual, dan konsep latar institusional. Ramuan

konsep-konsep tersebut tidak seluruhnya linier, ada unsupunsur teoretis,

ideologis, tetapi juga pragmatis. Karena itu, Noeng Muhadjir menawarkan satu

klaster definisi lagi, yaitu definisi paradigmatis.


BAB IV

FILSAFAT DAN ILMU PENGETAHUAN

A. Hakikat Ilmu Pengetahuan

Setelah kita memahami secara luas mengenai hakikat dan makna filsafat, tak

terkecuali juga tentang filsafat ilmu seperti yang telah diuraikan pada bab'bab

sebelumnya, maka pada bagian ini akan dibahas mengenai pengertian ilmu dan

pengetahuan, ilmu dalam perspektif Islam, faktopfaktor yang menyebabkan

berkembangnya ilmu, serta ciri-ciri pokok pengetahuan ilmiah, prosedur ilmiah,

dan langkah-kngkah prosedur ilmiah.

Istilah ilmu pengetahuan diambil dari bahasa Arab; “alimi, yaflamu, ‘ilman

yang berarti mengerti atau memahami benar-benar. Dalam bahasa Inggris istilah

ilmu berasal dari kata science, yang berasal dari bahasa Latin scienta dari bentuk

kata kerja scire, yang berarti mempelajari dan mengetahiii. Istilah ilmu dan sains

menurut Mulyadhi Kartanegara (2003: 1) tidak berbeda, terutama sebelum


abad ke49, tetapi setelah itu sains lebih terbatas pada bidang-bidang fisik atau

inderawi, sedangkan ilmu melampaui pada bidang-bidang nonfisik, seperti

metafisika.

Menurut The Liang Gie (1996: 88) ilmu sebagai pengetahuan, aktivitas, atau

metode merupakan satu kesatuan yang sating berkaitan. Ilmu adalah rangkaian

aktivitas manusia yang dilaksanakan dengan metode tertentu, yang akhirnya

aktivitas metodis itu menghasilkan pengetahuan ilmiah. Menurut W Atmojo

(1998: 324) ilmu ialah pengetahuan tentang suatu bidang yang disusun

secara bersistem menurut metode-metode tertentu, yang dapat digunakan untuk

menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) itu.

Sedangkan menurut Sumama (2006: 153), ilmu dihasilkan dari penge'

tahuan ilmiah, yang berangkat dari perpaduan proses berpikir deduktif (rasional)

dan induktif (empiris). Jadi, proses berpikir inilah yang membe- dakan antara ilmu

dan pengetahuan.

Adapun pengertian pengetahuan itu sendiri, seperti yang dikemukakan

Surajiyo (2007: 62) adalah hasil tahu manusia terhadap sesuatu atau segala

perbuatan manusia untuk memahami suatu objek yang dihadapinya. Na- mun,

manusia tidak dapat menuntut bahwa memperoleh sesuatu itu berarti sudah jelas

kebenarannya, karena boleh jadi hanya kebetulan benar saja.

Secara khusus, Suparlan Suhartono (2005: 84) mengemukakan tentang

perbedaan makna antara ilmu dan pengetahuan. Dengan mengambil rujukan

dari Webster's Dictionary, Suparlan menjelaskan bahwa pengetahuan

(knowledge) adalah sesuatu yang menjelaskan tentang adanya sesuatu hal yang

diperoleh secara biasa atau sehari-hari melalui pengalaman-pengalaman,


kesadaran, infbrmasi, dan sebagainya. Sedangkan ilmu (science) di dalamnya

terkandung adanya pengetahuan yang pasti, lebih praktis, sistematis, meto- dis,

ilmiah, dan mencakup kebenaran umum mengenai objek studi yang lebih bersifat

fisis (natural). Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pengetahuan

mempunyai cakupan lebih luas dan umum daripada ilmu. Oleh karena itu,

keberadaan ilmu dan pengetahuan hendaknya tidak boleh dipisahkan, sama

pentingnya bagi hidup dan kehidupan. Ilmu membentuk daya intelegensia, yang

melahirkan adanya skill atau keterampilan yang bisa memenuhi tuntutan

kebutuhan sehari-hari. Sedangkan pengetahuan membentuk daya moralitas

keilmuan yang kemudian melahirkan tingkah laku kehidupan manusia.

Sejalan dengan pandangan-pandangan para penulis di atas, bahwa ilmu dan

pengetahuan memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Di mana ilmu adalah hasil

dari pengetahuan, dan pengetahuan adalah hasil tahu (ilmu) manusia terhadap

sesuatu objek yang dihadapinya. Atau dengan kata lain, ilmu itu adalah rangkaian

aktivitas manusia yang dilaksanakan dengan metode tertentu yang akhirnya

menghasilkan pengetahuan.

Adapun aktivitas manusia yang dapat mengembangkan pengetahuan

dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain bahasa, dan penalaran. Melalui

bahasa, manusia tidak hanya berkomunikasi antarsesamanya, namun juga dapat

memperdebatkan temuan dan pengetahuannya terhadap manusia lainnya.

Manusia juga dapat saling menambah dan berbagi pengetahuan yang

dimilikinya. Pengungkapan dan peninjauan latar belakang dan reasoning dari

sebuah infer mas i dapat dikomunikasikan dan disebarluaskan kepada orang lain,

sehingga dalam proses ini hidup manusia dapat saling menguntungkan.


Demikian juga dalam penalaran, manusia dapat mengembangkan

pengetahuan dengan cepat dan mantap, dengan upaya pengentisipasian

terhadap gejala-gejala yang terjadi, sehingga pengetahuan manusia senantiasa

berubah, semakin dinamis, progresif^ dan inovatif

Karena kedua hal inilah, manusia terus melakukan pengembangari

pengetahuan untuk memperoleh kenikmatan, kesenangan, kemudahan, dan

kebahagiaan dengan inovasi yang dilakukan manusia yang kemudian berusaha

memecahkan masalah-masalah yang terjadi di lingkungannya dan

mengembangkan kerangka berpikir tertentu untuk menghasilkan ilmu.

B. Objek Ilmu Pengetahuan

Salah satu ciri dari ilmu adalah bahwa ilmu itu memiliki objek penyelidikan.

Objek penyelidikan dari ilmu terdiri dari dua objek, yaitu objek materiil dan objek

formal. Objek material adalah suatu hal yang menjadi sasaran penyelidikan atau

pemikiran sesuatu yang dipelajari, baik berupa benda kongkret maupun abstrak.

Pertama, objek materiil yang bersifat konkret adalah objek yang secara fisik dapat

terlihat dan terasa oleh alat peraba. Objek yang termasuk kategori objek materiil

konkret ini, merupakan objek yang paling banyak ditemui di sekeliling kita; baik

yang bernyawa atau yang hidup maupun benda mati, seperti anjing, kucing,

pohon, batu, air, tanah dan sebagainya. Kedua, objek materiil yang bersifat

abstrak misalnya nilai- nilai, ide-ide, paham, aliran, sikap, dan sebagainya.

Sedangkan objek formal merupakan sudut pandang atau cara me- mandang

terhadap objek materiil, termasuk prinsip-prinsip yang digunakan. Dalam hal ini

berarti hakikat, esensi dari objek materiilnya yang menjadi objek formal filsafat.
Dengan melihat objek ilmu tersebut, maka keberadaan filsafat se-

sungguhnya sudah sangat dekat dengan kita, bahkan setiap saat kita terlibat

dalam tindakan berfilsafat itu sendiri, hanya saja selama ini keberadaannya belum

kita sadari. Filsafat yang demikian itulah yang dimaksudkan dengan filsafat

sebagai (disiplin) ilmu. Penjelasan lebih lanjut mengenai objek ilmu pengetahuan

ini akan diuraikan pada bagian D.

C. Kehadiran Filsafat sebagai Ilmu Pengetahuan

Sudah dikenal sejak lama bahwa filsafat adalah induk dari segala macam ilmu

pengetahuan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa ilmu pengetahuan pada

mulanya hanya ada satu, yaitu filsafat. Akan tetapi, karena filsafat mempersoalkan

kebenaran pengetahuan yang bersifat umum, abstrak dan universal, maka

wajarlah jika filsafat tidak mampu menjawab persoalan- persoalan hidup yang

bersifat konkret, praktis, dan pragmatis. Oleh karena itu, muncullah berbagai jenis

ilmu pengetahuan khusus dengan objek studi yang berbeda-beda. Sebagai

contoh, dari kajian filsafat yang membicarakan manusia muncullah ilmu

pengetahuan humaniora, kajian filsafat yang membicarakan masalah

kemasyarakatan muncullah ilmu pengetahuan sosial. Selain itu, juga terhadap

objek alam dan unsur-unsurnya, berkembang ilmu pengetahuan fisika, kimia,

biologi, dan lainJain.

Sebagai induk ilmu pengetahuan, ruang lingkup studi filsafat mencakup

semua hal yang ada (bahkan yang mungkin ada) menurut aspeknya yang

mendasar berupa sifat hakikat atau substansinya.

D. Persyaratan Ilmu Pengetahuan


C.A. Qadir (2002: 20) memberikan tiga hal pokok yang menjadi per'syaratan

ilmu pengetahuan, yaitu sebagai berikut.

1. Pengakuan atas kenyataan bahwa setiap manusia, terlepas dari kasta,

kepercayaan, jenis kelamin atau usia, mempunyai hak yang tidak dapat

diganggu gugat atau dipersoalkan lagi untuk mencari ilmu.

2. Metode ilmiah itu tidak hanya pengamatan atau eksperimentasi, tetapi juga

teori dan sistematisasi. Ilmu pengetahuan mengamati faktor-faktor,

mengklasifikasikannya, menunjukkan hubungan-hubungannya, dan

menggunakannya sebagai dasar untuk menyusun teori.

3. Semua orang harus mengakui bahwa ilmu pengetahuan berguna dan berarti

untuk individu maupun sosial.

Dengan landasan perspektif Islam, C.A. Qadir memberikan penjelasan

persyaratan ilmu pengetahuan menurut dimensi Islam. Pertama, mengenai

persyaratan ilmu yang pertama, tentang persamaan hak dalam mencari ilmu.

Dalam khazanah Islam setiap muslim diwajibkan untuk mencari ilmu, tanpa

mempersoalkan usia atau jenis kelamin, semua orang yang beriman, laki-laki

perempuan, agar terus belajar selama hidupnya, sejak dalam buaian sampai ke

liang lahat (kubur).

Kedua, mengenai persyaratan ilmu yang berkenaan dengan pengamatan

atau eksperimen, dapat disaksikan bahwa manusia sejak awalnya sudah mulai

mengamati terbit tenggelamnya matahari, silih bergantinya siang dan malam,

perubahan musim, musim hujan dan kemarau, lahir dan matinya manusia dan

sebagainya yang semuanya menuntut kepada kematangan akal manusia agar

dapat menafsirkan fenomena-fenomena itu dan menyusunnya menjadi sebuah

teori atau kesimpulan. Pernyataan-pernyataan ini dapat diperkuat dengan

landasan Alquran seperti yang tercantum pada beberapa Surat, seperti pada Q.S.

2: 164, Q.S. 6: 95, Q.S. 13: 4-5.


yang terjadi ke dalam sebuah kesimpulan atau teori, dan menganalisis semua

peristiwa yang dapat disaksikan untuk dipikirkan, maka pada persyaratan ketiga

ini Alquran menganjurkan pembacanya agar alam semesta ini diteliti dengan

seksama untuk menyingkap rahasia-rahasianya. Oleh karena itu, Alquran sangat

menghargai adanya kegiatan ilmiah. Selain itu, Alquran menyatakan bahwa

‘segala hal yang berada di langit dan bumi telah ditun- dukkan kepada manusia*,

yang berarti segala sumber daya di langit dan bumi disediakan bagi manusia

sehingga manusia dapat memanfaatkannya untuk kepentingan bersama. Akan

tetapi, sumber-sumber daya itu tidak akan dapat dimanfaatkan, kecuali jika

manusia memiliki pengetahuan tentang cara menaklukannya. Pengetahuan

adalah kekuasaan (knowledge is power), dalam arti bahwa melalui

pengetahuanlah orang dapat menguasai alam dan menundukannya kepada

kemauannya.

Selanjutnya, berkenaan dengan persyaratan ilmu pengetahuan, Suparlan

(2005: 85) menjelaskan bahwa yang dapat dikategorikan sebagai ilmu pe-

ngetahuan harus tercantum di dalam beberapa poin yang bersama-sama

menentukan bagi adanya ilmu pengetahuan, yaitu meliputi objek, metode,

sistem, dan kebenaran.

E. Eksistensi Ilmu Pengetahuan

Pada pembahasan bagian ini akan diuraikan mengenai keberadaan ilmu

pengetahuan agar identitasnya menjadi jelas. Adapun cara yang dipakai untuk

menjelaskan identitas ilmu pengetahuan tersebut. dengan menyoroti empat poin

penting tentang keberadaan ilmu pengetahuan tersebut, yaitu objek, metode,

sistem, dan kebenaran.

1. Objek Ilmu Pengetahuan

Objek adalah sasaranpokok atau tujuanpenyelidikan keilmuan, baikobj ek


materiil maupun objek formal. Objek materiil berupa benda-benda materiil

maupun nonmateriil, bahkan bisa juga berupa hal-hal, masalah-masalah, ide-ide,

konsep-konsep, dan sebagainya. Jadi, tidak terbatas apakah materiil konkret atau

abstrak.

Sasaran pokok penyelidikan objek materiil ini berupa materi yang diha-

dirkan dalam suatu pemikiran atau penelitian. Sedangkan yang terkandung di

dalamnya bisa saja berupa benda-benda materiil atau benda-benda non'

materiil. Bisa juga berupa hal-hal, masalah-masalah, ide-ide, konsep-konsep,

dan sebagainya. Jadi, tidak terbatas pada apakah ada di dalam realitas konkret

ataukah di dalam realitas abstrak.

Suatu objek materiil, baik yang materiil dan lebihJebih yang nonmateriil

sebenamya merupakan suatu substansi yang tidak begitu mudah untuk di'

ketahui. Karena di dalamnya terkandung segi-segi yang secara kuantitatif

berganda (plural), berjenisjenis, dan secara kualitatif bertingkat-tingkat dari yang

konkret sampai ke tingkat abstrak. Sebagai contoh 'manusia’ sebagai objek

materiil. Secara kuantitatif meliputi banyak jenis menurut ras, suku bangsa, jenis

kelamin, dan sebagainya. Secara kualitatif meliputi kepribadian, ciri khas, karakter

dan individualitasnya yang selanjutnya menjadi kompleks dalam setiap perilaku

hidupnya.

Contoh tersebut menunjukkan bahwa objek materiil memiliki segi yang

jumlahnya tidak terhitung. Sedangkan kemampuan manusia (akal pikiran) bersifat

terbatas. Oleh karena itu, dalam rangka memperoleh pengetahuan yang benar

dan pasti mengenai suatu objek, dengan mempertimbangkan keterbatasan

kemampuan akal pikiran manusia, maka perlu dilakukan


pembatasan-pembatasan. Pembatasan ini dilakukan dengan menentukan

pertama kali jenis objek (misalnya manusia, benda-benda, binatang, dan

sebagainya), dan selanjutnya titik pandang (misalnya menurut segi mana objek

materiil itu diselidiki). Penentuan akan jenis objek itulah yang lalu menjadi objek

materi tertentu dan penentuan titik pandang itu kemudian menjadi objek formal

menurut sudut tertentu dari objek materiil.

Sedangkan objek formal merupakan objek yang akan menjelaskan pentingnya

arti, posisi dan fungsi objek di dalam ilmu pengetahuan. Dengan objek formal ini

akan ditentukan suatu pengetahuan menjadi ilmu pengetahuan. Selanjutnya, ia

menentukan jenis ilmu pengetahuan yang tergolong bidang studi apa dan sifat

ilmu pengetahuan yang tergolong kuantitatif atau kualitatif. Hal ini berarti bahwa

dengan objek formal, ruang lingkup (scope) ilmu pengetahuan bisa ditentukan

pula.

Sebagai contoh, tentang objek ‘manusia’ sebagai materiil. Di dalam diri

manusia terkandung unsur-unsur atau segi-segi yang banyak dan berjenis- jenis.

Secara keseluruhan, manusia memiliki aspek-aspek kejiwaan, keragaan,

keindividuan dan kesosialan, serta kemakhlukan Tuhan. Masing'masing aspek

merupakan kemungkinan bagi munculnya pluralitas jenis, sifat dan bentuk ilmu

pengetahuan tentang manusia yang berbeda-beda. Demikianlah lalu berbagai

macam ilmu pengetahuan khusus manusia, seperti psikologi, antropologi,

sosiologi, teologi, dan sebagainya. Akibatnya pengetahuan tentang manusia

yang tadinya umum universal lalu menjadi khusus, rinci, jelas, pasti, riil, dan

konkret.

Oleh karena itu, dapat dipahami bahwa menurut objek formalnya ilmu
pengetahuan itu justru cenderung berbeda-beda dan berjenis-jenis bentuk dan

sifatnya. Ada yang karena kajian materinya berupa hal-hal yang fisik kebendaan

dan ditinjau dari segi-segi pandang yang kuantitatif, maka lalu tergolong ke

dalam ilmu pengetahuan fisika atau yang sering disebut sebagai ilmu

pengetahuan alam. Ada pula yang kajian materinya berupa hal-hal yang nonfisik,

seperti manusia dan masyarakat, yang ditinjau dari segi-segi yang lebih kualitatif,

maka ada yang tergolong ke dalam ilmu pengetahuan manusia dan kebudayaan

dan ada yang tergolong ke dalam ilmu pengetahuan sosial. Bahkan, ada yang

secara khusus menyangkut objek materi agama sehingga bidang ini tergolong ke

dalam ilmu pengetahuan keagamaan atau teologi.

Akhirnya dapat disimpulkan bahwa objek formal mempunyai kedudukan dan

peran yang mutlak dalam menentukan suatu pengetahuan menjadi ilmu

pengetahuan. Selanjutnya ia menentukan jenis ilmu pengetahuan yang tergolong

bidang studi apa, dan sifat ilmu pengetahuan yang tergolong kuantitatif dan

kualitatif.

2. Metode Ilmu Pengetahuan

Metode yang dimaksud di sini adalah suatu cara untuk meridapatkan ilmu

pengetahuan yang benar. Metode merupakan caracara penyelidikan yang

bersifat keilmuan, yang sering disebut metode ilmiah (scientific methods).

Metode ini perlu, agar tujuan keilmuan yang berupa kebenaran objektif dan

dapat dibuktikan bisa tercapai. Dengan metode ilmiah, kedudukan

pengetahuan berubah menjadi ilmu pengetahuan, yaitu menjadi lebih khusus

dan terbatas lingkup studinya.


Kata metode ini berasal dari bahasa Yunani, lmethodos> berarti ‘jalan’,

‘cara’,‘arah’. Metode dapat pula diartikan uraian ilmiah penelitian atau metode

ilmiah. Dengan demikian, metode dapat pula diartikan cara bertindak menurut

aturan tertentu dengan tujuan agar aktivitas dapat terlaksana secara rasional

dan terarah supaya dapat mencapai hasil yang sebaik?baiknya.

Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ilmu pengetahuan

bertujuan untuk memperoleh kebenaran ilmiah, yaitu suatu kebenaran yang pasti

tentang $uatu objek penelitian. Oleh karena itu, metode ilmiah yang

dipergunakan mempunyai latar belakang, yaitu keterkaitannya dengan tujuan

yang tercermin di dalam ruang lingkup ilmu pengetahuan. Dengan adanya latar

belakang yang demikian itu, maka metode ilmiah cenderung bermacam'macam,

tergantung kepada watak bahan atau problem yang diselidiki. Dalam ilmu

metode penelitian (research) alat untuk menyelidiki atau untuk mengumpulkan

informasi data dan hal'hal yang diperlukan bagi si peneliti dapat dilakukan

dengan berbagai cara, antara lain dengan observasi (pengamatan), kuesioner

(angket), interview (tanya jawab), dan Iain-lain yang secara keseluruhan lebih

mengarah kepada metode statistik, yang berupa penghitungan-penghitungan

angka secara generalisasi yang pada akhirnya menghasilkan suatu informasi yang

tepat dan rinci. Dengan metode statistik ini akan memperkuat data prediksi, bisa

menjelaskan sebab akibat terjadinya sesuatu, dapat menggambarkan suatu

contoh fenomena, dan sebagainya.

Satu lagi hal yang penting adalah bahwa cara kerja jenis metode ilmiah yang

mana pun pastilah melakukan analisis dan sintesis dengan peralatan pemikiran

induktif dan dedukti£ Analisis artinya memisah-misahkan dari suatu keseluruhan


ke dalam bagian-bagian, komponen'komponen sehingga membentuk

keseluruhan. Adapun induksi adalah suatu proses kegiatan pe' nalaran yang

bertolak dari suatu bagian, kekhususan, dari yang individual menuju ke suatu

keseluruhan, umum dan universal. Sebaliknya, deduksi ada' lah suatu proses

kegiatan penalaran yang bertolak dari keseluruhan, umum dan universal menuju

ke suatu bagian, kekhususan, dan individual.

3. Sistem Ilmu Pengetahuan

Sistem berarti menunjukkan adanya saling keterkaitan dan saling hubungan

antara satu dengan yang lainnya. Hal ini berarti bahwa pengetahuan-

pengetahuan yang terkandung di dalamnya harus saling berhubungan antara

satu dengan yang lainnya secara fungsional dalam satu sistem.

Adanya sistem bagi ilmu pengetahuan itu diperlukan agar jalannya penelitian

lebih terarah dan konsisten dalam mencapai tujuannya, yaitu ke' benaran ilmiah.

Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa fungsi sistem bagi ilmu

pengetahuan adalah mutlak adanya. Suatu sistem berfungsi aktif^ yaitu

menggerakkan dan mengarahkan langkahJangkah yang telah ditentukan di

dalam metode agar daya kerja metode itu konsisten, sehingga pencapaian tujuan

kebenaran ilmiah lebih dapat terjamin.

4. Kebenaran Ilmiah

Kebenaran ilmiah maksudnya adalah suatu pengetahuan yang jelas dan pasti

kebenarannya menurut norma-norma keilmuan; Kebenaran ilmiah cenderung

bersifat objektifdi dalamnya terkandung sejumlah pengetahuan menurut sudut

pandang yang berbeda-beda, tetapi saling bersesuaian.


Adanya kebenaran itu selalu dihubungkan dengan pengetahuan manusia

(subjek yang mengetahui) mengenai objek. Jadi, kebenaran itu ada pada

seberapa jauh subjek mempunyai pengetahuan mengenai objek. Sedangkan

pengetahuan berasal mula dari banyak sumber. Sumber-sumber itu kemudian

sekaligus berfungsi sebagai ukuran kebenaran. Dalam kaitan dengan filsafat,

kebenaran menurut Maufur (2008:83) merupakan tujuan yang hendak dicapai

oleh filsafat maupun ilmu pengetahuan. Kebenaran memiliki anggapan dasar

(asumsi) bahwa kebenaran itu berlalcu atau diakui, karena ia memang

menggambarkan atau menyatakan realitas yang sesungguhnya. Lantas, apa

yang dimaksud dengan kebenaran itu? Inilah pertanyaan yang lebih lanjut harus

dihadapi di dalam fijsafat ilmu.

Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, yang ditulis oleh Purwadarminta

menjelaskan bahwa kebenaran itu adalah: 1) keadaan (hal dan sebagainya)

yang benar (cocok dengan hal atau keadaan yang sesungguhnya), misalnya

kebenaran berita ini masih saya ragukan, kita harus berani membela :

kebenaran dan keadilan; 2) sesuatu yang benar (sungguh-sungguh ada, betub

betul demikian halnya, dan sebagainya), misalnya kebenaran-kebenaran yang

diajarkan oleh agama; 3) Kejujuran, kelurusan hati, misalnya tidak ada seorang

pun sanksi akan kebaikan dan kebenaran hatimu; 4) Selalu izin, perkenanan,

misalnya dengan kebenaran yang dipertuan; dan 5) Jalan kebetulan, misalnya

penjahat itu dapat dibekuk dengan secara kebenaran saja.

Sejalan dengan beragamnya makna kebenaran sebagaimana dike- mukakan

oleh Poerwadarminta di atas, ada beberapa rumusan tentang kebenaran yang

dikemukakan Michael Williams. Menurutnya ada lima teori kebenaran, yaitu a)


kebenaran koherensi, b) kebenaran korespondensi, c) kebenaran pragmatis, d)

kebenaran performatif, dan e) kebenaran proporsi.

a. Kebenaran Koherensi

Menurut teori ini, suatu pernyataan dianggap benar kalau pernyataan tersebut

koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang

dianggap benar. Jadi, suatu pernyataan dianggap benar apabila pernyataan.

tersebut dalam keadaan saling berhubungan dengan pernyataan-pernyataan lain

yarig benar, atau jika makna yang dikandungnya dalam keadaan salirig

berhubungan dengan pengalaman kita. Dengan kata lain, suatu proposisi itu

benar jika mempunyai hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang telah ada

dan benar adanya. Sebagai contoh, bila kita beranggapan bahwa semua manusia

pasti akan mati adalah pernyataan yang selama ini memang benar adanya. Jika

Ahmad adalah manusia, maka pernyataan bahwa Ahmad pasti akan mati,

merupakan pernyataan yang benar pula. Sebab pernyataan kedua konsisten

dengan pernyataan yang pertama.

b. Kebenaran Korespondensi

Menurut teori ini, suatu pernyataan adalah benar jika materi pengetahuan yang

dikandung pernyataan itu berkorespondensi (berhubungan) dengan objek yang

dituju oleh pernyataan tersebut. Pernyataan itu benar karena ada kesatuan yang

intrinsik, intensional terdapat kesesuaian antara apa yang ada di dalam

pengetahuan subjek. Jadi, kebenaran itu adalah kesesuaian dengan fakta,

keselarasan dengan realitas, dan keserasian dengan situasi aktual. Sebagai

contoh, jika seseorang menyatakan bahwa “Kuala Lumpur adalah Ibu Kota
Negara Malaysia*, pernyataan itu benar karena pernyataan tersebut

berkoresponden dengan objek yang bersifat faktual, yakni Kuala Lumpur

memang menjadi Ibu Kota Negara Malaysia. Sekiranya ada orang yang menya-

takan bahwa “Ibu Kota Malaysia adalah Kelantan”,maka pernyataan itu tidak

benar, karena objeknya tidak berkoresponden dengan pernyataan tersebut.

c. Kebenaran Pragmatis

Menurut teori ini, suatu kebenaran suatu pernyataan diukur dengan meng-

gunakan kriteria fungsional. Suatu pernyataan benar, jika pernyataan tersebut

memiliki fungsi atau kegunaan dalam kehidupan praktis. Jadi, kebenaran menurut

paham ini bukan kebenaran yang diliKat dari segi etik, baik atau buruk, tetapi

kebenaran yang didasarkan pada kegunaannya.

d. Kebenaran Performatif

Menurut teori ini, suatu pernyataan kebenaran bukanlah kualitas atausifat

sesuatu, tetapi sebuah tindakan (performatif). Untuk menyatakan sesuatu itu

benar, maka cukup melakukan tindakan konsesi (setuju/menerima/

membenarkan) terhadap gagasan yang telah dinyatakan. Dengan demikian,

tindakan performatif tidak berhubungan dengan deskripsi benar atau salah dari

sebuah keadaan faktual. Jadi, sesuatu itu dianggap benar jika memang dapat

diaktualisasikan dalam tindakan.

e. Kebenaran Proposisi

Menurut teori ini, suatu pernyataan disebut benar apabila sesuai dengan

persyaratan materilnya suatu proposisi, bukan pada syarat formal proposisi.

Dalam sumber lain, ada juga yang menambahkan dengan bentuk kebenaran lain
yang disebut dengan kebenaran sintaksis. Kebenaran sintaksis adalah kebenaran

yang mengacu pada keteraturan sintaksi atau gramatika yang dipakai oleh suatu

pernyataan atau tata bahasa yang melekatnya. Dalam paham kebenaran sintaksis

ini suatu pernyataan dianggap benar apabila proposisi itu tidak mengikuti syarat

atau keluar dari hal yang dipersyaratkan maka proposisi tersebut tidak memiliki

arti.

Jadi, kebenaran sebagaimana dikemukakan di atas, memiliki makna yang

beragam dan kompleks, sehingga dalam memaknai kebenaran ini akan sangat

tergantung pada situasi dan kondisi yang melatarinya, pengalaman, kemampuan,

dan usia memengaruhi kepemilikan epistemo tentang kebenaran. Sehingga wajar

kalau AMW Pranaka (1987) kemudian mengelompokkan kebenaran ini ke dalam

tiga jenis kebenaran, yaitu ; 1) kebenaran epistemo logikal, 2) kebenaran

ontologikal, dan 3) kebenaran semantikal.

Kebenaran epistemologikal adalah pengertian kebenaran yang berhu- bungan

dengan pengetahuan manusia. Kebenaran dalam arti ontologikal adalah

kebenaran sebagai sifat dasar yang melekat kepada segala sesuatu yang ada

ataupun diadakan. Adapun kebenaran dalam arti semantikal adalah kebenaran

yang terdapat serta melekat di dalam tutur kata dan bahasa, yang sering disebut

dengan istilah sintaksis.

Berbeda dengan Pranaka, Julianne Ford dalam Lincoln & Guba (1985)

mengemukakan ada empat jenis kebenaran yang berbeda, yaitu kebenaran

empiris, kebenaran logis, kebenaran etis, dan kebenaran metafisis. Keempat

kebenaran tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Kebenaran empiris, yaitu kebenaran yang sudah biasa digunakan oleh para
ilmuan yang dirumuskan dalam bentuk hipotesis untuk menerima atau

menolak sesuatu sebagai kebenaran.

2. Kebenaran logis, yaitu kebenaran yang masuk akal yang dapat diterima oleh

orang banyak, di mana kebenaran tersebut merupakan pernyataan hipotesis

yang secara logis atau matematis sejalan dengan pernyataan lain yang telah

diketahui sebagai sesuatu kebenaran.

3. Kebenaran etis, adalah kebenaran yang diukur dengan standar nilai atau

moral tertentu. Jadi, seseorang dianggap etis jika yang menyatakan

kebenaran tersebut berbuat sesuai dengan ukuran pelaksanaan yang bersifat

moral atau profesional.

4. Kebenaran metafisis, yang merupakan kebenaran yang sesuai dengan

kepercayaan dasar. Kebenaran ini merupakan kepercayaan yang harus

diterima sebagaimana adanya. Kebenaran ini tidak dapat dibuktikan dengan

ketidakbenaran, karena kebenaran ini menghadirkan batas akhir yang

berbeda dengan segala yang teruji.

Selanjutnya, berkaitan dengan bentuk dan jenis kebenaran sebagaimana

disebutkan di atas, perlu juga dikemukakan bahwa ukuran kebenaran dalam

filsafat bersifat logis tidak empiris atau logis dan logis saja, maka ukuran

kebenarannya adalah logis tidaknya pengetahuan itu. Bila logis maka dia

pandang benar, dan bila tidak logis maka salah. Sementara itu dalam ilmu bersifat

logis empiris.

Dari gambaran tersebut terlihat jelas bahwa logis dan tidaknya teori filsafat akan

terlihat pada argumen yang menghasilkan kesimpulan atau teori tersebut. Oleh

karena itu, fungsi argumen sangat penting, sama pentingnya fungsi data pada
ilmu pengetahuan. Karena argumen akan menjadi satu kesatuan dengan

konklusi, konklusi itulah yang disebut dengan teori filsafat. Bobot kebenaran teori

filsafat justru terletak pada kekuatan argumen, bukan pada kehebatan

konklusinya.

Anda mungkin juga menyukai