Anda di halaman 1dari 10

1.

Pemikiran Thomas Aquinas


Pemikiran Teologi Aquinas
Aquinas mendasarkan filsafatnya pada kepastian adanya Tuhan. Ia mengetahui
banyak ahli teologi percaya pada adanya Tuhan hanya berdasarkan pendapat umum. Ada
juga ahli teologi yang menganggap eksistensi Tuhan tidak dapat diketahui dengan akal; itu
hanya diketahui berdasarkan iman. Menurut Aquinas, eksistensi Tuhan dapat diketahui
dengan akal. Untuk membuktikan pendapatnya ini ia mengajukan lima dalil (argumen)
seperti yang diringkaskan berikut ini.1
Argumen pertama diangkat dari sifat alam yang selalu bergerak. Di dalam alam ini
segala sesuatu bergerak. Gerakan adalah perubahan dari potentia ke actus: potentia tanpa
sebab lain tidak mungkin actus. Akan tetapi, timbul persoalan: bila sesuatu bergerak hanya
karena ada penggerak yang menggerakkannya, tentu penggerak itu pun memerlukan pula
penggerak di luar dirinya. Bila demikian, terjadilah penggerak berangkai yang tidak terbatas.
Konsekuensinya ialah tidak ada penggerak. Menjawab persoalan ini, Aquinas mengatakan
bahwa justru karena itulah maka sepantasnya kita sampai pada Penggerak Pertama, yaitu
Penggerak Yang Tidak Digerakkan oleh yang lain. Itulah Tuhan.2
Argumen kedua disebut sebab yang mencukupi (efficient cause). Di dalam dunia
inderawi terjadi adanya sebab yang mencukupi. Tidak ada sesuatu yang mempunyai sebab
pada dirinya sendiri. Sebab, bila demikian, ia mesti menjadi lebih dulu daripada dirinya. Ini
tidak mungkin. Dalam kenyataannya yang ada ialah rangkaian sebab dan musabab. Seluruh
sebab berurutan dengan teratur: penyebab pertama menghasilkan musabab, musabab ini
menjadi penyebab yang kedua yang menghasilkan musabab kedua, musabab kedua ini
menjadi penyebab yang ketiga yang menghasilkan musabab ketiga, dan begitu seterusnya
sehingga terjadi rangkaian penyebab. Oleh karenanya, Sebab Pertama itulah Tuhan.3
Argumen ketiga ialah argumen kemungkinan dan keharusan (possibility and
necessity). Di dalam alam ini segala sesuatu bersifat mungkin ada dan mungkin tidak ada.
Adanya alam ini bersifat mungkin. Kesimpulan itu diambil karena kenyataannya isi alam ini
dimulai tidak ada, lalu muncul, lantas berkemhang, akhirnya rusak atau menghilang.
Kenyataan itu, yaitu alam berkembang menuju hilang, membawa kepada konsekuensi
bahwa alam ini tidak mungkin selalu ada karena ada dan tidak ada tidak mungkin menjadi
sifat sesuatu sekaligus dalam waktu yang sama. Bila sesuatu tidak mungkin ada, ia tidak
akan ada, Nah, mestinya sekarang ini tidak ada sesuatu. Ini berlawanan dengan kenyataan.

1
Prof. Dr. Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 99-100; CF. Dr. Harun Hadiwijoyo, op. cit., hlm. 107-108; CF.
Bertrand Russell, op. cit., hlm. 602.
2
Prof. Dr. Ahmad Tafsir, loc. cit.
3
Ibid.
Kalau demikian, harus ada Sesuatu Yang Ada, sebab tidak mungkin muncul yang ada bila
Ada Pertama itu tidak ada. Sebab, bila pada suatu waktu tidak ada sesuatu, maka tidak
mungkin muncul sesuatu yang lain. Jadi, Ada Pertama itu harus ada karena adanya alam
dan isinya ini. Akan tetapi, Ada Pertama itu dari mana? Terjadi lagi rangkaian penyebab.
Kita harus herhenti pada Penyebab yang harus ada; itulah Tuhan.4
Argumen keempat memperhatikan tingkatan yang terdapat pada alam ini. Isi alam
ini masing-masing berkelebihan dan berkekurangan, misalnya dalam hal kebaikan,
keindahan, kebenaran. Ada orang yang dihormati, ada yang lebih dihormati, ada yang
terhormat. Ada indah, lebih indah, terindah. Benar juga demikian. Tingkatan tertinggi
menjadi sebab tingkatan di bawahnya. Api yang mempunyai panas adalah sebab untuk
panas di bawahnya. Yang Mahasempurna, Yang Mahabenar, adalah sebab bagi sempurna
dan benar pada tingkatan di bawah-Nya. Tuhan, karena itu, adalah tingkatan tertinggi.
Begitu juga tentang ada. Tuhan memiliki sifat Ada yang tertinggi; ada yang di bawahnya
disebabkan oleh Ada yang tertinggi itu.5
Argumen kelima berdasarkan keteraturan alam. Isi alam dan jenis yang tidak berakal
bergerak atau bertindak menuju tujuan tertentu, dan pada umumnya berhasil mencapai
tujuan itu, sedangkan mereka tidak mempunyai pengetahuan tentang tujuan itu. Dari situ
diketahui bahwa benda-benda itu diatur oleh sesuatu dalam bertindak mencapai tujuannya.
Sesuatu yang tidak berakal mestinya tidak mungkin mampu mencapai tujuan. Nyatanya
mereka mencapai tujuan. Itu tidak mungkin seandainya tidak ada yang mengarahkan
mereka. Yang mengarahkan itu pasti berakal dan mengetahui. Itulah Tuhan.
Setelah Aquinas merasa berhasil menyusun argumen-argumen di atas, dan ia
merasa filsafat itu telah membuktikan adanya Tuhan, selanjutnya ia berusaha menjelaskan
sifat-sifat Tuhan itu. Menurut Aquinas, Tuhan tidak tersusun dari esensi dan aksidensi,
karena itu Tuhan tidak dapat berubah. Tuhan tidak memiliki potentia. Dia semata-mata
actus. Ia menyatakan bahwa Tuhan sama dengan esensi-Nya. Pada Tuhan tidak ada
sesuatu pun yang berada sebagai potensi yang belum menjadi aktus.6
Harus diketahui terlebih dulu bahwa sesuatu terdiri atas esensi dan aksidensi.
Tatkala orang membuat definisi, hanya esensi itulah yang disebut; sifat-sifat aksidensi
dibuang. Tuhan bukan terdiri dari esensi dan aksidensi; Tuhan seluruhnya esensi. Bila
sesuatu hanya esensinya, yaitu definisinya saja, maka pengertiannya tetap. Karena Tuhan

4
Ibid, hlm. 100.
5
Ibid.
6
Dr. Harun Hadiwijoyo, op. cit., hlm. 106.
hanya esensi, maka Tuhan tidak pernah mengalami perubahan. Yang berubah itu ialah sifat-
sifat aksidensi.7
Berbeda dengan Augustinus, Aquinas berpendapat bahwa Tuhan tidak berbuat
semau-Nya; perbuatan Tuhan dibatasi oleh kebaikan. Jadi, Tuhan tidak bebas sebebas-
bebas-Nya dalam berbuat.
Menurut Aquinas alam ini tidak kekal. Sekalipun demikian, menurut pendapatnya
akal tidak dapat membuktikan apakah alam ini kekal ataukah tidak kekal. Sedangkan
menurut Aristoteles alam ini kekal: the motion of the physical universe is eternal (bila gerak
itu kekal, tentu fisik alam semesta ini kekal).8
2. Pendapat Aquinas tentang Kosmologi
Yang terpenting di dalam kosmologi Aquinas ialah pandangannya tentang matter dan
form. Menurut pendapatnya, matter tidak dapat terpisah dari form. Bila terpisah, kata
Aquinas, tentu akan terdapat kontradiksi sebab matter itu tidak jelas. Pada Aristotetes,
matter dan form terpisah. Pendapat Aquinas tentang tidak dapat dipisahkannya matter dari
form dapat dipahami. Setiap benda terdiri atas bahan (matter) dan sifat (form). Sepotong
emas, maka zat (matter) emas ialah bendanya itu, sedangkan kuningnya emas, susunan
kimianya, dan lain-lain sifatnya, adalah sifat (form). Demikianlah jalan pikiran Aquinas.
Justru teori Aristoteles itulah yang sulit dipahami.
Perbedaan antara manusia dan malaikat menurut Aquinas ialah karena malaikat tidak
mempunyai tubuh, jadi tidak mempunyai matter. Mereka semata-mata form, sedangkan
manusia mempunyai matter dan form.
Dalam hal ruang dan waktu Aquinas sama dengan Aristoteles. Ruang tidak dapat
dipikirkan terlepas dari eksistensi benda. Ia tidak menerima paham yang mengatakan bahwa
ruang tidak terbatas karena hal ini berlawanan dengan ajaran Kristen. Adapun waktu, ia
ditentukan oleh gerak. Sebagaimana halnya ruang, waktu juga terbatas.
3. Pendapat Aquinas tentang Jiwa
Pandangan Aquinas tentang jiwa amat sederhana. Menurutnya, manusia adalah
gabungan dan dua substansi yang tidak lengkap, yaitu materi pertama dan jiwa. Jiwa adalah
bentuk dan raga adalah materinya. Oleh karena nisbah antara jiwa dan raga sebagai bentuk
dan materi atau sebagai aktus dan potensi atau juga sebagai perealisasian dan bakat, maka
jiwa bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan satu kesatuan terhadap raga. Jiwa
adalah bentuk atau aktus atau perealisasiannya, karena jiwa adalah daya gerak yang
menjadikan raga sebagai materi atau sebagai potensi, menjadi realitas. Jiwalah yang

7
Prof. Dr. Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 101.
8
Ibid.
memberikan perwujudan kepada tubuh sebagai materi. Dengan demikian manusia adalah
raga yang hidup bersama dengan semua gejala dan aktifitasnya.9
Menurutnya, jiwa dan raga mempunyai hubungan yang pasti: raga menghadirkan matter
dan jiwa menghadirkan form, yaitu prinsip-prinsip hidup yang aktual. Kesatuan antara jiwa
dan raga bukanlah terjadi secara kebetulan. Kesatuan itu diperlukan untuk terwujudnya
kesempurnaan manusia. Yang dimaksud dengan jiwa oleh Aquinas ialah kapasitas intelektual
(pikir) dan kegiatan vital kejiwaan lainnya. Oleh karena itu, Aquinas mengatakan bahwa
manusia adalah makhluk berakal. Konsekuensinya ialah jiwa harus membimbing raga karena
jiwa lebih tinggi daripada raga. Akan tetapi, jiwa itu bergantung juga pada raga; kegiatan
raga mempengaruhi jiwa. Selanjutnya Aquinas membuat perbedaan yang tajam antara tiga
tipe jiwa: jiwa vegetatif, yaitu jiwa yang mengatur tetumbuhan; jiwa sensitif yang mengatur
kehidupan hewan; dan jiwa rasional yang mengatur kehidupan manusia. Jiwa rasional inilah
yang merupakan manifestasi kehidupan yang tertinggi yang menyuguhkan supremasi intelek
di atas benda (tetumbuhan) dan hewan.10
Sekalipun jiwa itu memiliki kesatuan (jiwa itu satu), ia dapat dibagi dalam
kemampuannya. Kemampuan itu ialah kemampuan mengindera (sensation), kemampuan
pikir (reason), dan nafsu (appetite) yang mencakup kemauan. Jiwa bersifat imaterial, sama
dengan Augustinus. Bukti yang menunjukkan bahwa jiwa bersifat imaterial ialah jiwa itu
mampu memikirkan objek-objek yang imaterial dan mampu memikirkan yang universal.
Kedudukan jiwa dalam badan, menurut Aquinas, hanya bergantung secara ekstrinsik.
Konsekuensinya ialah Aquinas berpendapat bahwa jiwa itu bersifat imortal. Argumen yang
dikemukakannya adalah sebagai berikut. Jiwa manusia tidak dapat rusak. Sesuatu dapat
rusak hanya karena dua sebab: sebab dari dirinya sendiri dan sebab dari luar. Sebab dari
dirinya tidak mungkin karena jiwa itu pemberi hidup pada jasad, pemberi hidup harus selalu
hidup. Jiwa adalah form. Matter (badan) memperoleh form dan jiwa, lantas mengaktual.
Begitu jasad rusak, maka jiwa memisahkan diri. Sebab dari luar ialah dari jasad. Itu tidak
mungkin karena jasad lebih rendah daripada jiwa, diberi form oleh jiwa untuk aktual. Semua
substansi intelektual adalah bukan materi dan tidak rusak. Malaikat tidak mempunyai tubuh,
tetapi pada manusia jiwa disatukan dengan tubuh.11
Dengan mengikuti ajaran Kristen, Aquinas berpendapat bahwa jiwa akan
hidup kembali. Jiwa, di sana nanti, akan hidup kembali sesudah kematiannya dan ia
akan disatukan dengan jasad. Ini sama dengan teori Al-Ghazali.

9
Musahadi, op. cit., hlm. 14.
10
Ibid, hlm. 102.
11
Bertrand Russell, op. cit., hlm. 605.
4. Teori Pengetahuan Aquinas
Dalam seluruh teorinya tentang pengetahuan, Aquinas dibimbing oleh
pandangannya bahwa pikir (reason) dan iman tidak bertentangan. Akan tetapi, di
mana batas kedua-duanya? Menurut pendapatnya, semua obyek yang tidak dapat
diindera tidak akan dapat diketahui secara pasti oleh akal. Oeh karena itu, kebenaran
ajaran Tuhan tidak mungkin dapat diketahui dan diukur dengan akal. Kebenaran
ajaran Tuhan diterima dengan iman. Sesuatu yang tidak dapat diteliti dengan akal
adalah objek iman. Pengetahuan yang diterima atas landasan iman tidaklah lebih
rendah daripada pengetahuan yang diperoleh dengan akal. Paling tidak, kebenaran
yang diperoleh dengan akal tidak akan bertentangan dengan ajaran wahyu.12

Selanjutnya Aquinas mengajarkan bahwa manusia seharusnya


menyeimbangkan akal dan iman: akal membantu membangun dasar-dasar filsafat
Kristen. Akan tetapi, harus selalu disadari bahwa hal itu tidak selalu dapat dilakukan
karena akal terbatas. Akal tidak dapat memberikan penjelasan tentang kehidupan
kembali (resurrection) dan penebusan dosa. Akal juga tidak akan mampu
membuktikan kenyataan esensial tentang keimanan Kristen. OIeh karena itu, ia
berpendapat bahwa dogma-dogma Kristen itu tepat sebagaimana yang disebutkan
dalam firman-firman Tuhan.

Berdasarkan uraian itu dapat diketahui adanya dua jalur pengetahuan dalam
filsafat Aquinas. Jalur itu ialah jalur akal yang dimulai dari manusia dan berakhir
pada Tuhan, dan yang kedua ialah jalur iman yang dimulai dari Tuhan (wahyu),
didukung oleh akal.

Sehubungan dengan teorinya di atas maka di dalam filsafat Aquinas, filsafat


dapat dibedakan dari agama dengan melihat penggunaan akal. Filsafat ditentukan
oleh penjelasan sistematis akliah, sedangkan agama ditentukan oleh keimanan.
Sekalipun demikian, perbedaan itu tidak begitu jelas karena pengetahuan
sebenarnya adalah gabungan kedua-duanya. Agama dapat pula dibagi dua. Yang
pertama ialah agama natural yang dibentangkan di atas akal, dan yang kedua ialah
agama wahyu yang dibentangkan di atas iman.13

12
Prof. Dr. Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 104.
13
Ibid, hlm. 105.
Kalau dibandingkan dengan pandangan modern tentang sains, teori Aquinas
amat berheda. Menurut pandangan filsafat sains modern, pencapaian terbaik pada
sains ialah bila ia lebih menjurus kepada objek-objek yang partikular. Sains modern
tidak memberikan penghargaan yang tinggi kepada masalah-masalah imaterial.
Bagian imaterial itu merupakan bagian pembahasan metafisika. Sedangkan pada
Aquinas tadi, sains akan semakin tinggi nilainya bila ia semakin universal.

5. Etika Aquinas
Nilai etika yang tertinggi pada etika Aquinas ialah Kebaikan Tertinggi.
Kebaikan Tertinggi itu menurut pendapatnya tidak mungkin dapat dicapai dalam
kehidupan sekarang. Hal itu harus ditunggu dalam kehidupan kelak, dimana
diperoleh pandangan yang sempurna tentang Tuhan. Pandangan etika Aquinas
menekankan superioritas kebaikan keagamaan. Karenanya ia banyak membahas
iman. Ia toleran terhadap orang-orang yang tidak beriman dan bekerja sama dengan
mereka, tetapi ia juga terang-terangan menuduh mereka kafir. Orang-orang kafir itu
akan mengalami lepas hubungan dengan Tuhan. Bila mereka terus saja demikian,
mereka akan mati dalam hukuman. Tentang kematian yang demikian Gereja tidak
akan memberikan hukuman, tetapi dunia akan memberikan hukuman. Kejahatan
terjadi melalui sebab kedua, sebagaimana dalam kasus pelukis yang baik dengan alat
yang buruk.14
Kehidupan pertapa (ascetic) memainkan peranan yang kuat di dalam
etikanya. Oleh karena itu, ia setuju kepada St. Augustinus yang mengajarkan bahwa
kehidupan membujang (celebacy) lebih baik daripada kawin. Hidup dalam
perkawinan itu rendah.
Pengaruh Aquinas cukup besar pada abad-abad selanjutnya melalui
pendapat-pendapatnya bahwa perkawinan tidak boleh cerai karena hal itu
berlawanan dengan hukum masyarakat dan menentang Tuhan. Monogami adalah
watak asli manusia. Ia juga menentang keras pembatasan kelahiran. Kedudukan
ayah dalam keluarga adalah yang tertinggi, jadi ia mendukung patriakekhal yang
memang berkembang pada Abad Pertengahan.15
Mengenai kebebasan kemauan (free will) ia menyatakan bahwa manusia
berada dalam kedudukan yang berbeda dari Tuhan. Tuhan selalu benar sedangkan

14
Bertrand Russell, op. cit., hlm. 606.
15
Prof. Dr. Ahmad Tafsir, op. cit., hlm. 107.
manusia kadang-kadang salah. Manusia selalu dihadapkan kepada bermacam-
macam pilihan. Dalam memilih itu manusia dipengaruhi oleh tuntutan materi.
Kadang-kadang manusia dihinggapi keraguan. Oleh karena itu, manusia sering
memilih sesuatu yang rendah, dan itu membimbing manusia menjauhi Tuhan.
Manusia dapat memperoleh kebebasan sempurna dengan cara memilih sesuatu yang
akan membawa kepada kebahagiaan abadi dan mendekatkan kita kepada sifat-sifat
ilahi.
Kemauan manusia tidak ditentukan oleh sesuatu di luar dirinya. Oleh karena
itu, bila manusia memilih yang salah, layaklah ia mendapat hukuman.16

6. Teori Politik Aquinas


Aquinas, yang filsafat politiknya mewakili pemikiran politik abad ke-13,
menekankan moral sehagai suatu idea pemerintahan. Menurut Aquinas, keadaan
negara tidak dapat dipisahkan dari sifat sosial manusia. Dari Aristoteles, ia
meminjam istilah manusia hewan yang berpolitik. Karena manusia tidak dilengkapi
untuk mempertahankan diri sebagaimana perlengkapan binatang, maka manusia
memerlukan kebersamaan dengan manusia lain dalam mencapai tujuan-tujuannya.
Tentang autoritas sosial, menurut Aquinas, itu berakar pada sifat-sifat
manusia; sifat-sifat itu didapat dari Tuhan. Negara dan manusia akan tetap ada,
sekalipun, misalnya, manusia tidak terusir dan surga. Karena manusia adalah
makhluk sosial, maka ia cenderung hidup berkelompok. Aturan hidup berkelompok
itu dibuat dalam suatu sistem hukum negara. Tujuannya haruslah kesejahteraan
warga negara. Sifat manusia sebenarnya tidak menyenangi tirani. Monarki lebih
sesuai dengan watak manusia Negara berpijak pada organisasi keluarga yang
mendapat keadaannya dari Tuhan: berkeluarga memang naluri yang didapat
manusia dari Tuhan. Keluarga merupakan organisasi sosial yang pertama sebelum
adanya masyarakat. Keluarga sebagai lembaga sosial bersifat tetap, tidak berubah,
sekalipun ada pengaruh dari kekuasaan yang lebih tinggi dan ada pengaruh dari
adanya kebutuhan-kebutuhan.17
Menurut Aquinas, hukum ada empat macam, yaitu hukum abadi, hukum
alam, hukum Tuhan, dan hukum manusia. Harus ada hukum yang pasti dalam
penciptaan dan pengaturan alam semesta; inilah yang dimaksud dengan hukum
abadi, yaitu suatu rencana (blue print) yang mengatur penciptaan dan pengaturan

16
Ibid, hlm. 108.
17
Ibid, hlm. 109.
alam semesta ini. Esensi hukum ini tidak dapat dipahami oleh manusia; bekasnya
dapat dilihat pada hukum alam. Hukum alamlah yang menyebabkan semua makhluk
mendapat kesempurnaannya mencari kebaikan dan menghindari kejahatan. Hukum
alam menyediakan kehidupan bagi manusia dengan segala haknya seperti hak untuk
berketurunan dan hak untuk hidup di dalam masyarakat.
Sementara hukum alam itu sudah dikenal umum oleh manusia karena setiap saat
manusia berhubungan dengannya.18
Hukum Tuhan adalah hukum Kristen yang mempunyai kedudukan yang
istimewa. Hukum ini dikenal melalui wahyu Tuhan yang diberikan karena
kemurahan-Nya. Ten Commandement adalah salah satu contoh hukum Tuhan.
Adapun hukum manusia dibagi menjadi jus gentium dan jus civile. Di dalam hukum
manusia hadir hukum alam da1am kasus-kasus tertentu. Misalnya menurut hukum
alam, membunuh adalah perbuatan salah, tetapi terserah pada hukum manusia
untuk menjatuhkan hukuman apa yang sesuai bagi pelanggar. Hukum manusia tidak
berwenang melanggar prinsip-prinsip fundamental seperti merampas atau
membunuh. Bila dilanggar, akan runtuhlah semua kerangka pengaturan alam.19
Kekuasaan pengadilan telah mendapat perhatian yang khusus dari tokoh-
tokoh Abad Pertengahan. Undang-undang harus lebih tinggi daripada kekuasaan
politik, dan karena itu raja haruslah diikat oleh hukum.

1. Analisis
Kaidah credo ut intelligam yang menguasai abad pertengahan lebih kurang dianut juga
dalam filsafat Islam. Contoh yang menonjol dalam Islam, misalnya pada filsafat Al-Ghazali.
Di dalam perbandingan ini ditemukan semacam keganjilan. Mengapa penerapan kaidah itu
dalam Kristen menimbulkan akibat sains dan filsafat terhadap perkembangannya, tetapi
penerapan rumus itu dalam perkembangan pemikiran Islam tidak menyebabkan tersendatnya
perkembangan filsafat dan sains dalam Islam?
Filsafat di dalam Islam berkembang amat pesat karena keyakinan (iman) Islam tidak
ada yang berlawanan dengan akal logis; yang ada ialah bagian-bagian yang berada di daerah
supralogis atau suprarasional. Agaknya teori inilah yang dapat menjelaskan mengapa filsafat
tidak berkembang secara wajar selama lima belas pada periode Abad Pertengahan yang
dikuasai oleh semangat Kristen itu. Jadi, dominasi agama pada filsafat sebenarnya tidak harus
mengakibatkan filsafat tidak berkembang.
Menurut pendapatnya, manusia memiliki tiga potensi (kemampuan) indera, akal, dan
kontemplasi. Hasil kerja masing-masing potensi itu tidak boleh berlawanan, tetapi boleh tidak
sama. Tidak sama itu bukan berlawanan. Kekurangjelasan perbatasan daerah inilah yang
sering menyebabkan terjadinya bentrokan antara sains, filsafat, dan iman.

18
Ibid.
19
Ibid, hlm. 110.
Kelemahan lain dalam filsafat Kristen pada Abad Pertengahan itu ialah sifatnya yang
terlalu yakin pada penafsiran teks Kitab Suci. Penafsiran sebenarnya tidak lebih berarti
daripada sekadar filsafat juga. Jadi, penafsiran pada dasarnya bersifat relatif kebenarannya,
tidak absolut. Karena filosof pada zaman itu rata-rata merangkap sebagai “orang suci” (saint),
maka filsafat mereka telah menempati pengertian agama yang absolut dalam dirinya. Inilah
barangkali yang menyebabkan terjadinya tekanan-tekanan psikologis maupun fisis terhadap
filosof lain yang pemikirannya berbeda dari pemikiran filosof Gereja. Pada Abad
Pertengahan itu agama Kristen boleh dikatakan bukan lagi Kitab Suci, melainkan penafsiran
Kitab Suci oleh para saint tersebut. Berbedanya pemikiran Copernicus dan Galileo dengan
pemikiran tokoh-tokoh Gereja, misalnya, telah menyebabkan kedua tokoh sains itu dihukum.
Sebenarnya pendapat kedua ilmuwan tersehut bukan berlawanan dengan Kitab Suci,
melainkan berbeda dari pendapat tokoh Gereja yang mengatasnamakan Kitah Suci.

Kimpulan
Meskipun filsafat Thomas Aquinas sebagian besarnya merupakan rethinking
(pemikiran kembali) terhadap Aristotelianisme dengan beberapa pengaruh yang
signifikan dari Stoisisme, Neo Platonisme, Augustinisme dan Boethianisme, akan
tetapi para ahli berpendapat bahwa Thomas telah mampu membentuk suatu sistem
pemikiran tersendiri yang utuh yang kemudian berkembang menjadi Thomisme dan
pada abad ke-19 dikembangkan oleh para pengikutnya menjadi neo-Thomisme.20
Sumber Pengetahuan: Wahyu dan Akal. Ilmu pengetahuan memiliki Universal
sebagai objeknya, maka universal-universal harus nyata. Semua pengetahuan harus
diatur di bawah teologi dan diajarkan dengan kewibawaan Gereja. Ada dua sumber
pengetahuan: wahyu dan akal.
a. Wahyu: Filsafat tidak dapat membuktikan keberadaan Tuhan. Tuhan pertama-
tama mengungkapkan diri-Nya sendiri kepada manusia melalui Inkarnasi dan
Trinitas. Dengan demikian gereja merupakan permulaan dan akhir dari kearifan.
b. Akal: Kearifan berlangsung dari Tuhan yang merupakan akal tertinggi.
2. Wahyu dan akal harus diselaraskan.

20
Musahadi, op. cit., hlm. 16.
3. Tentang manusia, Aquinas berpendapat bahwa manusia adalah makhluk yang terdiri
dan jiwa dan raga yang menjadi satu kesatuan. Jiwa tidak bisa mati dan masing-
masing manusia memiliki jiwa sendiri.
4. Teologi dan Filsafat
a. Rasionalisme Aquinas menggantikan teologi Augustinian dan menjadi dasar
dogma Agama Katholik.
b. Aquinas mengumpulkan kembali teologi dan filsafat dan menjadikannya satu.
c. Akal harus menjadi ketahanan (teologi) dan agama harus menjadi rasional
(filsafat).
5. Monarkhi sebagai Bentuk Negara Terbaik. Pandangannya mengenai negara
dipengaruhi Aristoteles. Manusia menurut kodratnya adalah makhluk
kemasyarakatan, oleh karena itu harus hidup bersama dengan orang lain dalam
masyarakat. Monarkhi adalah bentuk pemerintahan yang terbaik, sebab dapat
memelihara perdamaian yang sebaik-baiknya oleh kesatuan pikiran dan
pemerintahannya. Tetapi kalau pemerintah tidak adil, maka ia adalah bentuk
pemerintahan yang seburuk-buruknya.
Karya-karya Aquinas: Summa Theologia; Summa Contra Gentiles; On the Book of
Causes; On Divine Names; Disputed Questions; Commentaries on
6. Aristotele’s Physics, Metaphysics, Ethics, Politics, etc.; De Reginzine Principum.
7. Tulisan-tulisan Aquinas tersebut, walaupun mensistematiskan keyakinan- keyakinan
Katolik sebelumnya, namun tidak mencerminkan perubahan besar dalam cita-cita
etika atau dalam pandangan politik.21
8. Thomas dikenal sebagai seorang teolog sekaligus filosof yang mampu mensintesakan
antara filsafat dengan agama. Ia dikenal sebagai filosof dan teolog terbesar abad
pertengahan. Bahkan para ahli bersepakat bahwa pada masa Thomas Aquinaslah
filsafat abad pertengahan mencapai puncaknya.

21
Michael H. Hart, Seratus Tokoh yang Paling Berpengaruh dalam Sejarah, Terj. H. Mahbub Djunaidi,
(Jakarta: PT. Dunia Pustaka Jaya, 1982).

Anda mungkin juga menyukai