Oleh: Usiono
A. Pendahuluan
1
yang sangat besar dan mendasar, yaitu para ilmuan Barat dengan
sengaja merekayasa untuk memisahkan ilmu pengetahuan dan filsafat
dari agama. 2 Sedangkan para agamawannya sebaliknya menganggap
bahwa teori-teori ilmu yang diajukan para ilmuan Barat bertentangan
dengan ajaran-ajaran agama yang dianut masyarakat lebih-lebih
Dewan Gereja. Menurut mereka, antara ilmu pengetahuan dan agama
terjadi pertentangan yang besar. Ilmu pengetahuan berkembang di luar
kontrol agama, sehingga timbullah sikap sekuler di dunia ilmu
pengetahuan dan teknologi. Karenanya timbul pertanyaan, mengapa
banyak di antara ilmuan besar Barat dan berpengaruh, seperti Laplace,
Darwin, dan Freud, dengan pengetahuan mereka yang mendalam
tentang fenomena alam, justeru menolak keberadaan Tuhan, pada hal
seharusnya kebalikannya dengan penemuan-penemuan ilmiah justeru
memperkuat keyakinan akan keberadaan dan kebijaksanaan Tuhan. 3
2
Harun Nasution, op.cit, dan lihat pula ‘Imad ad-Din Khalil, Tahafut al-Ilmaniyyat (ttp.:
Mu’assasat ar-Risalah, 1975), h. 5-7.
3
Lihat, Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam (Bandung:
Mizan, 2002), h. 85.
2
Dalam makalah ini sistematikan pembahasan dimulai dengan
pendahuluan, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan sekularisasi
ilmu dan diakhiri dengan penutup.
3
Kata lainnya adalah “mundus”. Saeculum menunjukkan waktu dan
mundus menunjukkan ruang. Kata saeculum sendiri adalah lawan dari
eternum yang artinya “abadi”, yang digunakan untuk menunjukkan
alam yang kekal abadi, yaitu alam sesudah dunia ini, paralel dengan
istilah “dunia” dan “akhirat” dalam al-Quran. Di dalam al-Quran, kata
yang digunakan untuk menunjukkan pengertian dunia ini selain
dipakai kata “ad-dun-ya” sebenarnya juga sering dipakai kata “al-
ula”. Kata ad-dun-ya adalah bentuk mu’annas (kata menunjukkan
wanita) dari kata sifat ad-dun-ya yang berarti yang terdekat; yaitu
dimensi ruang, sedangkan kata al-ula adalah bentuk mu’annas dari
kata sifat al-awwal yang berarti yang pertama; yaitu dimensi waktu.
Dengan demikian, sebenarnya kata al-ula yang memberikan
pengertian dunia berdimensi waktu atau sejarah, dialah yang menjadi
lawan langsung kata al-akhirat akhirat dalam bahasa Indonesia yang
berarti “yang kemudian” atau “akhir”.
9
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 797.
10
Lihat Bernand Lewis, The Political Language of Islam (Chicago and London: Chicago
University Press, 1988), h. 3.
4
Sedangkan Mulyadhi Kartanegara mengemukakan, kata sekuler
sebagai pandangan yang hanya mementingkan kehidupan duniawi dan
mengabaikan yang ukhrawi, dan dari sudut ontologis mementingkan
yang bersifat materiil, mengabaikan yang spiritual. 11
C.Dimensi Sekularisasi
Disenchantment of Nature
Desacralization of Politics
Di dalam masyarakat sekular, tidak ada aturan yang datang dari pihak
yang dianggap ‘kudus’ dan transendental seperti yang dialami oleh
11
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilah Pengantar Epistemologi Islam (Bandung:
Mizan, 2003), h. 120-121.
12
Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective
(New York: The Macmillan Company, 1967), h. 25-36.
5
masyarakat pra-sekular. Sampai pada abad pertengahan, struktur
kuasa politik diterima sebagai sebuah perpanjangan otoritas kehendak
Tuhan. Contohnya, Kaisar Romawi tidak hanya memiliki hak untuk
mengatur pemerintahan, tetapi juga diyakini sebagai perwakilan
Tuhan di dunia. Pada masa sekarang, tidaklah mungkin jika sebuah
pemerintahan politis dilegitimasi oleh simbol-simbol religius atau
bahkan dijadikan sebuah ekspresi suci dari realitas mutlak yang
transenden. Desakralisasi politik seperti ini tampak di dalam Alkitab
melalui kisah ‘Exodus’ atau kisah tentang pembebasan bangsa Israel
dari perbudakan di negeri Mesir.
13
Penulis tidak dapat mencari padanan kata deconsecration yang tepat dalam bahasa Indonesia.
Dari pengertian consecration dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English,
penulis memahami arti deconsecration mirip dengan desakralisasi, hanya saja, Harvey Cox
menempatkannya dalam konteks relativitas nilai-nilai keagamaan.
14
Harvey Cox, Secular City, h. 18
6
sebab itu, Cox menegaskan pula agar sekularisme diawasi, diperiksa,
dan dicegah untuk menjadi ideologi Negara.
7
dengan membagi ”hidup” menjadi dua bagian, sebagian diserahkan
kepada agama sebagian lagi diserahkan ke pemerintah (penguasa).
Sebagaimana ungkapan Isa al Masih dalam Injil : sebagian untuk
Allah dan sebagian untuk kaisar. Artinya masing-masing memiliki
tugas sendiri-sendiri. Bahwa Kaisar mengatur kehidupan dunia,
masyarakat, pemerintahan. Sedangkan tugas Allah yang diwakili
gereja berada pada bagian agama atau rohani, sehingga tidak ada
intervensi antar keduanya. Meskipun demikian, ilmu pengetahuan
dalam kitab tetap ditempatkan sebagai kebutuhan dalam kehidupan
manusia. Sesuai dengan ajaran Kristiani yang mengatakan manusia itu
sebagai gambaran dan rupa Tuhan sedangkan Tuhan sendiri
merupakan sumber terang dan pengetahuan. Oleh karena itu Tuhan
menghendaki supaya kenal padanya dan meyelidiki segala yang
diciptaka-Nya, sehingga dapat memperoleh pengetahuan. 16
8
mengetahui. Yang pertama, mengacu pada teori dan isi ilmu,
sedangkan yang kedua, pada metodologi. Terhadap pertanyaan
pertama, epistemologi Barat menjawab bahwa yang dapat kita ketahui
adalah segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi secara inderawi.
Hal-hal ini yang bersifat noninderawi, nonfisik, dan metafisika, tidak
termasuk ke dalam objek yang dapat diketahui secara ilmiah.
18
Muhsin Mahdi, Religious Belief and Scientific Belief. The American Journal of Islamic Social
Sciences 11, no. 2 (Musim Panas, 1994), h. 257-258.
9
trigonometri, yang termasuk ke dalam kategori ilmu-ilmu matematika
dan fisika, kimia, geologi, geografi, astronomi, optika, dan
sebagainya, yang termasuk dalam kategori ilmu-ilmu fisik.
10
Prinsip rasio dan kecerdasan yang sangat dijunjung tinggi oleh
penganut sekularis, karena ilmu pengetahuan bisa berkembang dengan
akal pikiran dan penalaran yang tinggi. Dan rasiolah yang melahirkan
kebahagian menuju kemajuan, sedangkan agama tidak mampu
menjelaskan secara rasio terhadap ilmu pengetahuan karena ia adalah
keyakinan. 22
22
Lihat Natsir Mahmud, Epistimologi dan Study Kontemporer (Makassar : tp, 2000), h. 1.
23
Ibid.
11
ilmu itu bebas nilai, karena nilai hanya diberikan oleh manusia
pemakainya. Jadi pada akhirnya dapat dikatakan bahwa sekularisasi
ilmu pengetahuan kehilangan objektifitasnya.
12
Satu hal yang perlu diperhatikan, yaitu berkenaan dengan
ontologis dari objek-objek ilmu di atas. Banyak ilmuan modern yang
hanya percaya pada ”keberadaan” benda-benda yang dapat disegap
oleh indera, dan karena itu cenderung menolak status ontologis dari
”entitas-entitas” nonfisik, seperti ide-ide matematika, konsep-konsep
mental, dan entitas-entitas imajinal dan spiritual, yang disebut oleh
para filosof sebagai ma’qulat (intelligibles). 26
13
Perkembangan ilmu pengetahuan dapat ditelusuri jejaknya dari
peradaban besar yang terus hadir dalam peredaran dunia ini dengan
silih berganti. Peradaban Yunani-Romawi, Peradaban Islam dan masa
Renaissance. Penulis berpendapat salah satu faktor dalam
perkembangan peradaban tersebut adalah berkembangnya ilmu
pengetahuan sebagai trigger utama. Peradaban Yunani-Rumawi
sebagai salah satu bangsa pionir dalam perkembangan ilmu
pengetahuan tentu mempunyai andil dalam menyebarkan pemahaman
yang materialistik dan rasionalistik.
Sebagai bukti bahwa ide-ide manusia (dan Tuhan) itu real bisa
dilihat dari kenyataan bahwa kita bisa menyimpan ide-ide tersebut
dalam sistem ingatan (memori) kita. Karena mungkinkah sesuatu yang
14
tidak real, dalam arti tidak memiliki status ontologis yang positif,
dapat disimpan dalam suatu wahana, yang kita sebut dengan memori?
Kalau jawabannya mungkin, itu berarti bahwa ide-ide itu tidak benar-
benar ada. Akan tetapi, kalau ide-ide tidak nyata, lalu apa yang kita
simpan dalam memori kita tersebut? Jadi, jelas jawabannya tidak
mungkin. Agar tidak terjadi salah paham, maka dapat ditegaskan
bahwa yang disimpan dalam memori kita bukanlah suara atau huruf
yang bisa diserap oleh indera, melainkan ide-ide, yaitu entitas-entitas
abstrak-mental atau spiritual – sebagaimana disebut oleh filosof
sebagai ma’qulat. 27
15
Dalam kalangan Islam muncullah seperti Ismail al-faruqy,
Syech Muhammad Naquib al-Attas, saruddin Sardas sebagai tokoh-
tokoh atau penggagas Islamisasi llmu Pengetahuan. Lahirnya gagasan
Islamisasi ilmu pengetahuan ini didasarkan terhadap pada pandangan
bahwa manusia ilmu pengetahuan produk modern dewasa ini tidak
berhasil mengantar manusia pada cita-cita ilmu itu sendiri. Hal itu
disebabkan karena ilmu dilepaskan dari akar ilahy dan dikosongkan
dari pertimbangan nilai. 29
16
Meskipun Islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri tidak pernah
dikenal dalam pemikiran Islam, kerena ketika manusia lahir di rahim
Islam maka seyogyanya harus berkepribadian Islam dari segala corak.
31
Ahmad M. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, (cet. IV ; Bandung :
Mizan, 1998), h. 33.
32
Saiful Jihad, Islam dan Paradigma Islam : Suatu Kajian Aksiologi, (Pare-Pare : tp, 2001), h. 3.
lihat Hamid Fahmy Zarkazy, Wordlview Sebagai Asas Epistimologi Islam, No. 5 (Surabaya :
Islamiah, 2005), h. 9.
17
aposteriori. Dalam Islam worldview-nya wahyu ilahy yang terbentuk
dari metaphysical belief. 33
33
Ibid. h. 14.
34
Saiful Jihad, Islam dan Paradigma Islam….., h. 9
35
Ibid.
18
bahasa filosofis yang diskursif, seperti yang dimiliki para filosof.
Kelompok ketiga inilah yang dinilai oleh Suhrawardi sebagai
kelompok tertinggi dari para pencari kebenaran. 36
19
alah yang semakin berkurang sebagai refleksi dari sebuah realitas
celestian. Manusia Renaissans menjadi sepenuhnya manusia, bukan
separuh manusia, separuh malaikat, melainkan yang kini terikat
sepenuhnya pada bumi. 37
Penutup
37
Ibid, h. 122
20
DAFTAR PUSTAKA
Cox. Harvey, The Secular City. New York: The Micmillan Company, 1996.
Jihad. Saiful, Islam dan Paradigma Islam : Suatu Kajian Aksiologi, (Pare-Pare :
tp, 2001.
Lewis. Bernand, The Political Language of Islam. Chicago and London: Chicago
University Press, 1988.
Nasution. Harun, “Agama yang Diperlukan Manusia Abad XXI dan Seterusnya”
dalam 70 Tahun Prof. H.M. Rasyidi. Jakarta: Pelita, 1985.
Mahdi. Muhsin, Religious Belief and Scientific Belief. The American Journal of
Islamic Social Sciences 11, no. 2. Musim Panas, 1994.
21
Mahmud. Natsir, Epistimologi dan Study Kontemporer. Makassar : tp, 2000.
Millard J. Erikson, Christian Theology. Grand Rapids: Baker Book House, 1985.
Nihaya, Filsafat Umum : dari Yunani sampai Modern. Makassar : Berkah Utami,
1999.
S. Praja. Juhana, Aliran-aliran Filsafat dan Etika. cet. I, Bogor: Kencana, 2003.
Weber Eugene, (ed)., The Western Tradition: From Renaissance to The Present.
Massachusetts: D.C. Heath and Company, 1972.
22