Anda di halaman 1dari 22

POTRET TENTANG SEKULARISASI ILMU

Oleh: Usiono

A. Pendahuluan

Pengetahuan akal dan intelektual merupakan suatu dorongan


intrinstik dan inheren dalam ajaran Islam. Pada masa daulah
Abbasiyah, ibukota Baghdad menjadi pusat intelektual muslim,
dimana terjadi pengembangan ilmu pengetahuan dan kebudayaan
Islam. Sekolah-sekolah dan akademik muncul disetiap pelosok.
Perpustakaan-perpustakaan umum yang besar didirikan dan terbuka
untuk siapapun sehingga pemikiran  filosofis-filosofis besar zaman
klasik dipelajari berdampingan dengan ilmu Islam.

Pengaruh peradaban Islam ke Eropa berlangsung pada abad ke


12 M dimulai dengan banyaknya pemuda kristen Eropa yang belajar
diberbagai universitas Islam di Andalusia serta adanya gerakan
penterjemah di Sicillia dan perang salib di Syria. Empirisme keilmuan
Islam mendorong ilmu Eropa untuk meneliti alam, menaklukan lautan
dan menjelajah benua. Empirisme itu memberikan sumbangsihnya
terhadap renaissance Eropa yang dimulai dari Italia pada abad ke 13
M.

Pada saat Eropa memasuki zaman Renaissans yang membawa


kepada zaman modern tersebut, justeru umat Islam mulai mengalami
stagnasi yang cukup panjang dan bahkan terjerembab ke zaman
kemunduran. Ilmu pengetahuan dan filsafat yang sudah sekian lama
dikuasai dunia Islam, kini memperoleh lahan yang baru dan subur
untuk berkembang pesat di bumi Eropa. 1 Namun demikian, dalam
perkembangan selanjutnya di bumi Eropa atau Barat yang ilmu
pengetahuan berkembang pesat di sana, muncul pula permasalah baru
1
Lihat Harun Nasution, “Agama yang Diperlukan Manusia Abad XXI dan Seterusnya” dalam 70
Tahun Prof. H.M. Rasyidi (Jakarta: Pelita, 1985), h. 283. Bandingkan pula dengan Eugene Weber,
(ed)., The Western Tradition: From Renaissance to The Present (Massachusetts: D.C. Heath and
Company, 1972), h. xv-xx.

1
yang sangat besar dan mendasar, yaitu para ilmuan Barat dengan
sengaja merekayasa untuk memisahkan ilmu pengetahuan dan filsafat
dari agama. 2 Sedangkan para agamawannya sebaliknya menganggap
bahwa teori-teori ilmu yang diajukan para ilmuan Barat bertentangan
dengan ajaran-ajaran agama yang dianut masyarakat lebih-lebih
Dewan Gereja. Menurut mereka, antara ilmu pengetahuan dan agama
terjadi pertentangan yang besar. Ilmu pengetahuan berkembang di luar
kontrol agama, sehingga timbullah sikap sekuler di dunia ilmu
pengetahuan dan teknologi. Karenanya timbul pertanyaan, mengapa
banyak di antara ilmuan besar Barat dan berpengaruh, seperti Laplace,
Darwin, dan Freud, dengan pengetahuan mereka yang mendalam
tentang fenomena alam, justeru menolak keberadaan Tuhan, pada hal
seharusnya kebalikannya dengan penemuan-penemuan ilmiah justeru
memperkuat keyakinan akan keberadaan dan kebijaksanaan Tuhan. 3

Urgensi pembahasan ini dilakukan dalam rangka menyingkap


upaya-upaya atau rekayasa kebatilah yang dilakukan para ilmuan
Barat dalam mensekularisasikan ilmu pengetahuan. Upaya
sekularisasi ilmu pengetahuan ini akan berdampak negatif sehingga
terasa adanya perbedaan yang cukup fundamental antara teori ilmu
pengetahuan Barat, di satu pihak, dan teori ilmu pengetahuan Islam,
di pihak lain. Perbedaan ini dapat menimbulkan kekaburan dan
kesalahpahaman yang mendalam terhadap keduanya. Lebih-lebih pada
zaman ketika wacana ilmiah begitu didominasi oleh Barat, dan
kebanyakan sarjana kita hanya mempelajari dan mengerti tentang
teori-teori ilmu pengetahuan Barat; jarang sekali yang dengan serius
mempelajari dan mendalami teori-teori ilmu pengetahuan Islam.

2
Harun Nasution, op.cit, dan lihat pula ‘Imad ad-Din Khalil, Tahafut al-Ilmaniyyat (ttp.:
Mu’assasat ar-Risalah, 1975), h. 5-7.
3
Lihat, Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam (Bandung:
Mizan, 2002), h. 85.

2
Dalam makalah ini sistematikan pembahasan dimulai dengan
pendahuluan, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan sekularisasi
ilmu dan diakhiri dengan penutup.

B.Potret Tentang Sekularisasi Ilmu

Istilah Sekularisasi berkakar dari kata Sekuler yang berasal


dari bahas latin Seaculum artinya abad ( age, century ), yang
mengandung arti bersifat dunia, atau berkenaan dengan kehidupan
dunia sekarang. Dalam bahasa Inggris kata secular berarti hal yang
bersifat duniawi, fana, temporal, tidak bersifat spritual, abadi dan
sakral serta kehidupan di luar biara. 4

Yusuf Qardhawi dalam bukunya, at-Tatharufu al-’ilmani fi


Mujaahwati al-Islam, sekular ialah la Diniyyah atau Dunnaawiyah
yang yang bermakna sesuatu yang tidak ada kaitannya dengan agama
atau semata dunia. 5

Menurut Harvey cox, 6 secara harfiah, kata “sekuler” atau


“sekularisasi” berasal dari bahasa Latin yaitu “ saeculum” yang berarti
masa, waktu atau generasi. Definisi tersebut berbeda dengan apa yang
dikemukakan oleh Niyazi Berkes, 7 yang mengartikan sekuler sebagai
dunia masa kini.

Hampir senada dengan definisi yang disebutkan terakhir,


pendapat D.P. Sipson, 8 yang mengatakan bahwa kata saeculum
sebenarnya adalah salah satu dari dua kata Latin yang berarti “dunia”.
4
Juhana S. Praja, Aliran-aliran Filsafat dan Etika, cet. I (Bogor: Kencana, 2003), h. 188. Lihat
juga Harun Nasution, Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, cet. V, (Bandung: Mizan, 1998), h.
188.
5
Yusuf Qardhawi, at-Tathahurufu al-‘Ilman fi Mujaahawati, diterjemahkan oleh Nahbani Idris
dengan judul Sekuler Ekstrim, (Jakarta : Pustaka al-Kautsar, 2000), h. 1
6
Lihat Harvey cox, The Secular City (New York: The Micmillan Company, 1996), h. 2.
7
Niyazi Berkes, The Development of Secularism in Turkey (Montreal: McGill University Press,
1964), h. 5.
8
D.P. Sipson, Classel’s Latin Dictionary, Latin-English English-Latin (MacMillan Publishing, Co.,
Inc., 1982), h. 383 dan 773. Lihat pula Naquib al-Attas, Islam and Secularism, terjemahan Karsijo
Joyosumarno, (Bandung: Pustaka, 1981), h. 18. Lihat pula Nurcholish Madjid, Islam Kemodernan
dan Keindonesiaan (Bandung: Mizan), h. 216-217.

3
Kata lainnya adalah “mundus”. Saeculum menunjukkan waktu dan
mundus menunjukkan ruang. Kata saeculum sendiri adalah lawan dari
eternum yang artinya “abadi”, yang digunakan untuk menunjukkan
alam yang kekal abadi, yaitu alam sesudah dunia ini, paralel dengan
istilah “dunia” dan “akhirat” dalam al-Quran. Di dalam al-Quran, kata
yang digunakan untuk menunjukkan pengertian dunia ini selain
dipakai kata “ad-dun-ya” sebenarnya juga sering dipakai kata “al-
ula”. Kata ad-dun-ya adalah bentuk mu’annas (kata menunjukkan
wanita) dari kata sifat ad-dun-ya yang berarti yang terdekat; yaitu
dimensi ruang, sedangkan kata al-ula adalah bentuk mu’annas dari
kata sifat al-awwal yang berarti yang pertama; yaitu dimensi waktu.
Dengan demikian, sebenarnya kata al-ula yang memberikan
pengertian dunia berdimensi waktu atau sejarah, dialah yang menjadi
lawan langsung kata al-akhirat akhirat dalam bahasa Indonesia yang
berarti “yang kemudian” atau “akhir”.

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata sekuler berarti:


bersifat duniawi atau kebendaan, bukan bersifat keagamaan atau
kerohanian, sehingga kata “sekularisasi” berarti membawa ke arah
kecintaan kehidupan dunia, norma-norma tidak perlu didasarkan pada
ajaran agama, atau pengambil-alihan bangunan-bangunan atau barang-
barang milik yayasan keagamaan untuk dijadikan milik negara dan
digunakan untuk keperluan lain. 9

Sementara menurut Zia Gokalp (1875-1924 M), seorang


sosiolog terkemuka dan teoritikus nasionalis Turki yang
mempopulerkan pertama kali istilah “sekuler” ini di dunia Islam, ia
mengatakan bahwa istilah sekuler sering kali dipahami dalam
pengertian ireligius atau bahkan antireligius yang juga menyertai
sikap terhadap gagasan itu. 10

9
Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988), h. 797.
10
Lihat Bernand Lewis, The Political Language of Islam (Chicago and London: Chicago
University Press, 1988), h. 3.

4
Sedangkan Mulyadhi Kartanegara mengemukakan, kata sekuler
sebagai pandangan yang hanya mementingkan kehidupan duniawi dan
mengabaikan yang ukhrawi, dan dari sudut ontologis mementingkan
yang bersifat materiil, mengabaikan yang spiritual. 11

Dari beberapa definisi yang telah dikemukakan di atas dapat


disimpulkan bahwa sekuler berarti pandangan ireligius atau bahkan
antireligius yang hanya mementingkan kehidupan duniawi yang
bersifat kebendaan dan mengabaikan yang ukhrawi atau keagamaan
yang bersifat spiritual.

C.Dimensi Sekularisasi

Dalam buku Harvey Cox, ia berpendapat bahwa terdapat tiga


dimensi di dalam sekularisasi, yang menyebabkan ia menyatakan
bahwa Tuhan sendiri yang menginginkan sekularisasi untuk
mendewasakan manusia, yaitu: 12

Disenchantment of Nature

Istilah Disenchantment of Nature ini diterjemahkan dari gagasan Max


Weber, die Entzauberung der Welt. Cox mengatakan bahwa proses
penciptaan alam semesta beserta isinya di dalam alkitab sebagai
sebuah pembebasan dunia dari nilai-nilai ilahi. Cox juga berpendapat,
bahwa hal ini (Disenchantment of Nature) juga merupakan sebuah
pra-kondisi dari perkembangan ilmu pengetahuan yang lebih bersifat
natural yang pada saat ini menghasilkan teknologi modern yang
digunakan manusia.

Desacralization of Politics

Di dalam masyarakat sekular, tidak ada aturan yang datang dari pihak
yang dianggap ‘kudus’ dan transendental seperti yang dialami oleh
11
Mulyadhi Kartanegara, Menyibak Tirai Kejahilah Pengantar Epistemologi Islam (Bandung:
Mizan, 2003), h. 120-121.
12
Harvey Cox, The Secular City: Secularization and Urbanization in Theological Perspective
(New York: The Macmillan Company, 1967), h. 25-36.

5
masyarakat pra-sekular. Sampai pada abad pertengahan, struktur
kuasa politik diterima sebagai sebuah perpanjangan otoritas kehendak
Tuhan. Contohnya, Kaisar Romawi tidak hanya memiliki hak untuk
mengatur pemerintahan, tetapi juga diyakini sebagai perwakilan
Tuhan di dunia. Pada masa sekarang, tidaklah mungkin jika sebuah
pemerintahan politis dilegitimasi oleh simbol-simbol religius atau
bahkan dijadikan sebuah ekspresi suci dari realitas mutlak yang
transenden. Desakralisasi politik seperti ini tampak di dalam Alkitab
melalui kisah ‘Exodus’ atau kisah tentang pembebasan bangsa Israel
dari perbudakan di negeri Mesir.

Deconsecration 13 or Relativization of Values

Cox melihat bahwa manusia sekular tidak lagi melihat nilai-nilai


ilahi sebagai sesuatu yang absolut. Di dalam proses sekularisasi,
Nilai-nilai keagamaan tersebut mengalami apa yang ia sebut sebagai
dekonsekrasi bahkan relativisasi. Relativisasi bagi Cox, tidak harus
berakhir pada nihilism atau bahkan anarkisme-etis. Pemberian hukum
Taurat kepada Musa di Gunung Sinai dimaknai oleh Cox sebagai
sebuah Dekonsekrasi nilai-nilai ilahi.

Jadi, berdasarkan Harvey Cox dalam bukunya The Secular City


ia menegaskan bahwa  inti dari sekularisasi adalah perkembangan
yang membebaskan (a liberting development). 14 Cox menolak tegas
‘sekularisme’. Karena, sekularisme adalah sebuah ideologi,
pandangan hidup baru yang ‘tertutup’ yang fungsinya sangat mirip
dengan agama sendiri. Maka, sekularisasi dibedakan dengan
sekularisme.

Bahkan, Cox mengangap sekularisme membahayakan


keterbukaan dan kebebasan yang dihasilkan oleh sekularisasi. Oleh

13
Penulis tidak dapat mencari padanan kata deconsecration yang tepat dalam bahasa Indonesia.
Dari pengertian consecration dalam Oxford Advanced Learner’s Dictionary of Current English,
penulis memahami arti deconsecration mirip dengan desakralisasi, hanya saja, Harvey Cox
menempatkannya dalam konteks relativitas nilai-nilai keagamaan.
14
Harvey Cox, Secular City, h. 18

6
sebab itu, Cox menegaskan pula agar sekularisme diawasi, diperiksa,
dan dicegah untuk menjadi ideologi Negara.

Sekularisasi berasal dari dunia barat kristiani, yang muncul


dengan diserukan oleh para pemikir bebas agar mereka terlepas dari
ikatan gereja, para pemuka agama dan pendetanya. Pada awalnya
agama Kristiani lahir di dunia Timur, namun warna Kristiani amat
tebal menyelimuti kehidupan dunia Barat. Keadaan ini sejak
kekaisaran Romawi Konstantin yang agung (280-337) yang
melegalisasikan dalam dalam wilayah imperiumnya serta mendorong
penyebarannya merata ke benua Eropa, terutama di abad pertengahan
warna Kristiani meyelimuti kehidupan Barat baik politik, ekonomi,
sosial, budaya, serta ilmu pengetahuan.15

Sekularisasi ilmu sebagai salah satu wujud naturalisasi ilmu.


Hal ini terjadi di Barat setelah gerakan Renaissans ketika masyarakat
Barat menjadi sekuler sebagai konsekuensi dari perkembagan
pemikiran yang terjadi di sana. Beberapa abad sebelumnya (abad ke-
12 dan 13 M) keserjanaan Barat dipengaruhi oleh keserjanaan Islam,
khususnya dalam bentuk penerjemahan karya-karya ilmiah dan
filosofis Islam ke dalam bahasa Latin dan Ibrani. Oleh karena itu,
ilmu yang dikembangkan masih sangat bersifat religius, atau paling
tidak disemangati oleh religiusitas yang tinggi. Namun, setelah
Renaissans terjadi (dari abad ke-14 M dan seterusnya), terjadi
revolusi dalam bidang keilmua yang semakin mengarah pada
pandangan atau paham sekuler, dan dengan begitu semakin mendesak
pandangan keagamaan. Pandangan keilmuan ini, bukan saja tidak
sejalan dengan pandangan keagamaan, melainkan dalam kasus-kasus
tertentu, bahkan bertentangan secara diametris dengan dogma-dogma
agama dan gereja.

Dengan terlepasnya dari para ahli pikir dari tirani gereja,


melahirkan sekularisasi di Barat. Pertentangan ini pun berakhir
15
Nihaya, Filsafat Umum : dari Yunani sampai Modern, (Makassar : Berkah Utami, 1999), h. 43.

7
dengan membagi ”hidup” menjadi dua bagian, sebagian diserahkan
kepada agama sebagian lagi diserahkan ke pemerintah (penguasa).
Sebagaimana ungkapan Isa al Masih dalam Injil : sebagian untuk
Allah dan sebagian untuk kaisar. Artinya masing-masing memiliki
tugas sendiri-sendiri. Bahwa Kaisar mengatur kehidupan dunia,
masyarakat, pemerintahan. Sedangkan tugas Allah yang diwakili
gereja berada pada bagian agama atau rohani, sehingga tidak ada
intervensi antar keduanya. Meskipun demikian, ilmu pengetahuan
dalam kitab tetap ditempatkan sebagai kebutuhan dalam kehidupan
manusia. Sesuai dengan ajaran Kristiani yang mengatakan manusia itu
sebagai gambaran dan rupa Tuhan sedangkan Tuhan sendiri
merupakan sumber terang dan pengetahuan. Oleh karena itu Tuhan
menghendaki supaya kenal padanya dan meyelidiki segala yang
diciptaka-Nya, sehingga dapat memperoleh pengetahuan. 16

Diantara proses sekularisasi ilmu yang dilakukan oleh sebagian


ilmuan Barat adalah membatasi pengertian science. Pada dasarnya
kata science sama pengertiannya dengan ilmu, namun kemudian oleh
para ilmuan Barat pengertian science dibatasi sehingga ruang
lingkupnya menjadi sempit. Dalam epistemologi Barat pengertian
science dibatasi hanya pada bidang-bidang ilmu fisik atau empiris,
sedangkan dalam epistemologi Islam, ia dapat diterapkan dengan
sama validnya, baik pada ilmu-ilmu yang fisik-empiris maupun
nonfisik atau metafisik, sebagaimana al-Farabi (w. 950 M) dalam
bukunya Ihsha’ al-Ulum (Klasifikasi Ilmu) memasukkan ke dalam
klasifikasi ilmunya bukan hanya ilmu-ilmu empiris, seperti fisika,
botani, mineralogi, dan astronomi, melainkan juga ilmu-ilmu
nonempiris, seperti matematika, teologi, kosmologi, dan metafisika. 17

Dalam setiap sistem epistemologi, ada dua pertanyaan yang


mendasar; 1) apa yang dapat kita ketahui, dan 2) bagaimana
16
Uraian selanjutnya lihat Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab Supermini, (Jakarta: Lembaga
Alkitab Indonesia, 2002), h. 1
17
Lihat, Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas…, h. 58.

8
mengetahui. Yang pertama, mengacu pada teori dan isi ilmu,
sedangkan yang kedua, pada metodologi. Terhadap pertanyaan
pertama, epistemologi Barat menjawab bahwa yang dapat kita ketahui
adalah segala sesuatu sejauh ia dapat diobservasi secara inderawi.
Hal-hal ini yang bersifat noninderawi, nonfisik, dan metafisika, tidak
termasuk ke dalam objek yang dapat diketahui secara ilmiah.

Berbeda dengan pandangan epistemologi Barat, para ilmuan


Muslim berpendapat bahwa kita bisa mengetahui bukan hanya obejk-
obejk fisik, melainkan juga objek-objek nonfisik. Oleh karena itu,
dalam epistemologi Islam kita bisa mengenal entitas-entitas nonfisik,
seperti konsep-konsep mental dan metafisika, di samping entitas-
entitas fisik. Demikian juga tidak mustahil bagi kita untuk
mengetahui makhluk-makhluk halus, seperti jin, malaikat, dan ruh, di
samping benda-benda fisik yang kita jumpai di dunia ini.

Oleh karena itu, beberapa reformis Muslim mencoba


menafsirkan kembali agama Islam agar sesuai dengan pandangan
Barat dalam bidang ilmu pengetahuan dan sains, sedangkan yang lain
berusaha menanamkan aspek-aspek ilmu Barat sambil pada saat yang
sama mempertahankan ilmu agama dalam kurikulum pendidikan.
Sultan Turki dan Pasya Muhammad ‘Ali dari Mesir termasuk ke dalam
kelompok kedua tersebut. Namun, sebenarnya mereka menggunakan
pendekatan sekularis walaupun tidak menyatakan argumentasi
teoretisnya secara jelas dalam mendukung sekularisasi. 18

Dari kerangka berpikir seperti inilah, epistemologi Islam telah


berhasil menyusun “klasifikasi ilmu” yang komprehensif dan disusun
secara hierarkis, yaitu metafisika menempati posisi tertinggi, disusul
ilmu rasional dalam dunia Islam, seperti ontologi, teologi, kosmologi,
angelologi, dan eskatologi yang termasuk ke dalam kategori ilmu-
ilmu metafisika; geometri, aljabar, aritmatika, musik dan

18
Muhsin Mahdi, Religious Belief and Scientific Belief. The American Journal of Islamic Social
Sciences 11, no. 2 (Musim Panas, 1994), h. 257-258.

9
trigonometri, yang termasuk ke dalam kategori ilmu-ilmu matematika
dan fisika, kimia, geologi, geografi, astronomi, optika, dan
sebagainya, yang termasuk dalam kategori ilmu-ilmu fisik.

Sekularisasi secara formal diperkenalkan oleh G.J Holyoake


(1817 – 1906 M) 19 merupakan reaksinya terhadap tindakan gereja-
gereja yang bersifat otoriter terhadap sains. Sedangkan Galeleo (lahir
1564 M) dipandang sebagai pahlawan sekularisai ilmu penetahuan.
Wujud orientasi aliran ini adalah pembebasan berpikir di luar ajaran
agama, sehingga mereka mengambil kesimpulan bahwa ilmuan bebas
berfikir sesuai dengan profesinya dan bagi agamawan yang tidak
respon diberikan kebebasan mengatur urusan akhirat. 20

Suatu faham atau aliran terdapat ajaran pokok sebagai landasan


dalam berfikir termasuk sekularisasi, atau sebagai acuan dalam
melindungi pemahaman suatu tema yang distatemenka. Adapun
ajaran-ajaran pokok sekularisasi ilmu pengetahuan yaitu : 21

a. Prinsip-prinsip esensial dalam mencari kemajuan dengan alat


material semata-mata.

b. Etika dan moralitas didasarkan pada kebenaran ilmiah tanpa ada


ikatan agama dan metafisika, segalanya ditentukan oleh kriteria
ilmiah yang dapat dipercaya dan yang bersifat vaiditas.

c. Masih mengakui agama pada batas tertentu dengan ketentuan


agama tidak boleh mengatur urusan dunia melainkan hanya
mengatur tentang akhirat belaka.

d. Menekankan perlunya toleransi semua golongan masyarakat tanpa


mengenal perbedaan agama.

e. Menjunjung tinggi penggunaan rasio dan kecerdasan.


19
G. J. Holyoake (1817-1906 M). lahir di Birmingham Inggris, anak seorang pekerja keras.
Pendidikannya berawal dari agama, namun kehidupan remajanya diliputi oleh situasi politik dan
sosial ditempat kelahirannya yang keras, membentuk pribadi yang betsikap gerakan protes
terhadap sosial dan politik.
20
Norcholis Majid, Islam Kemodernan…, h. 78
21
Nihaya, Filsafat Umum..., h. 136

10
Prinsip rasio dan kecerdasan yang sangat dijunjung tinggi oleh
penganut sekularis, karena ilmu pengetahuan bisa berkembang dengan
akal pikiran dan penalaran yang tinggi. Dan rasiolah yang melahirkan
kebahagian menuju kemajuan, sedangkan agama tidak mampu
menjelaskan secara rasio terhadap ilmu pengetahuan karena ia adalah
keyakinan. 22

Secara formal epistimologi sekularisasi ilmu pengetahuan


berbentuk rasionalisme dan empirisme. Dimana memandang ilmu
pengetahuan berdasarkan pengamatan empiris dan menelaah secara
rasio bukan keyakinan “iman” sebagai penilai.

Sesuai dengan epistimologi sekularisme yakni rasionalisme dan


empirisme, membuat sekularisasi harus mempertahankan keobjektifan
tujuannya dengan mentaati aturannya sendiri dengan menghindarkan
ilmu pengetahuan selalu terkait dengan agama, pandangan hidup,
tradisi dan semua yang bersifat normatif guna menjaga realitas ilmu
pengetahuan sebagai suatu yang indefendent dan objektif. Rasio pun
dianggap sebagai alat pengetahuan yang objektif dapat melihat
realitas konstan, yang tidak pernah berubah-ubah dan dengan empiris
memandang ilmu pengetahuan yang absah harus melalui pengalaman.
Dengan rasio dan empirismenya, sekularisasi ilmu pengetahuan secara
ilmiah memandang alam ini tidak mempunyai tujuan dan maksud,
karena alam adalah benda mati yang netral dan tujuannya sangat
ditentukan oleh manusia sendiri. Sehingga manusia dengan segala
daya dan upayanya yang dimilikinya mengeksploitasi alam untuk
kepentingan manusia semata.23

Oleh kerena itu terdapat konsestensi antara sekularisasi dan


rasionalisme dan empirisme, sebab inti sekularisasi adalah
pemahaman masalah duniai dengan mengarahkan kecerdasan rasio.
Konsekwensi epistimologi sekuler dari segi aksiologi menyebabkan

22
Lihat Natsir Mahmud, Epistimologi dan Study Kontemporer (Makassar : tp, 2000), h. 1.
23
Ibid.

11
ilmu itu bebas nilai, karena nilai hanya diberikan oleh manusia
pemakainya. Jadi pada akhirnya dapat dikatakan bahwa sekularisasi
ilmu pengetahuan kehilangan objektifitasnya.

Nourcholis Majid yang dikenal tokoh sekuler Indonesia,


membahasakan bahwa ilmu pengetahuan itu, baik buruknya suatu
ilmu pengetahuan tergantung oleh manusia yang memakainya.
Pendangan selanjutnya bahwa sekularisasi itu pun perlu dengan
konsep duniakan yang bersifat dunia dan akhiratkan yang akhirat. 24

Teologi sekularisasi berupaya untuk menghilangkan batas


antara gereja dan dunia, batas dunia sakral dan dunia sekuler. Hal ini
memang merupakan suatu kontribusi positif bagi gereja yang tidak
berperan sebagai terang dalam dunia, bagi gereja yang
mempertahankan kesuciannya, maka mengasingkan diri dari dunia
kehidupan yang nyata. Namun bahayanya cita-cita kaum sekularis
ialah membangun cita-cita tersebut di atas dasar konsep yang anti-
scriptual, yakni menolak konsep Allah yang transenden, menolak
keilahian Yesus. Selain itu teologi sekularisasi adalah teologi yang
dibangun di atas filsafat yang menolak atau menyangkal adanya
Tuhan, serta mendasarkan pemikirannya kepada kemampuan manusia
yang harus mandiri, tanpa bergantung kepada Allah, seperti komentar
seorang tokoh teologi sekularisasi yang terkenal yakni Dietrich
Bonhoeffer. Beliau berpendapat bahwa : ”manusia yang akan datang
(intinya manusia modern), bukan sebagai pemberontak kepada Allah,
melainkan sebagai penganjaran Allah untuk manusia, dimana manusia
akan menjadi manusia yang tidak bergantung lagi kepada-Nya.
Manusia akan menjadi manusia yang mandiri. Hal ini sama dengan
harapan orang tua yang bertanggung-jawab ialah menghendaki agar
supaya anak-anak kelak, tidak bergantung kepada mereka, orang tua.
Demikian dengan harapan Allah bagi umat-Nya. 25
24
Bandingkan dengan Norcholis Majid, Islam Kemoderanan..., h. 222-223 dan Harun Nasotion,
Islam Rasional...., h. 188.
25
Millard J. Erikson, Christian Theology (Grand Rapids: Baker Book House, 1985), h. 900

12
Satu hal yang perlu diperhatikan, yaitu berkenaan dengan
ontologis dari objek-objek ilmu di atas. Banyak ilmuan modern yang
hanya percaya pada ”keberadaan” benda-benda yang dapat disegap
oleh indera, dan karena itu cenderung menolak status ontologis dari
”entitas-entitas” nonfisik, seperti ide-ide matematika, konsep-konsep
mental, dan entitas-entitas imajinal dan spiritual, yang disebut oleh
para filosof sebagai ma’qulat (intelligibles). 26

Sekularisme berkembang dari aliran filsafat Yunani yang


diawali oleh pemikiran salah satu filsuf Yunani, Aristoteles.
Aristoteles mempunyai pemikiran bahwa Tuhan setelah menciptakan
alam semesta tidak lagi mempunyai peranan dan tanggung jawab
dalam perputaran alam semeseta ini. Konsepsi Tuhan dalam pemikiran
Aristoteles terpisah jauh dari realitas alam semesta sehingga
memunculkan pandangan akan ketidak absolutan Tuhan. Pandangan
ini akan menafikan realitas kekuasaan Tuhan dalam kehidupan alam
semesta, khususnya manusia dan menyebabkan lahirnya pandangan
pemisahan antara kekuasaan Tuhan dan kehidupan manusia.

Sekularisme juga dapat dilihat dari berkembangnya aliran


pemikiran rasionalisme yang menafikan sesuatu yang diluar
pemahaman akal. Dalam pandangan rasionalisme, segala sesuatu yang
diluar pemahaman akal manusia dinyatakan bukan sebagai sesuatu
realitas dan diyakini ketiadaannya. Pandangan ini menilai sesuatu
yang nyata adalah segala sesuatu yang dapat dicerna melalui indera
manusia yaitu dapat dilihat, didengar, diraba, dibaui, dan dirasakan.
Apabila dalam proses penginderaan sesuatu tidak dapat ditangkap
realitasnya maka konsepsi akan hal tersebut adalah tidak nyata atau
tiada. Beranjak dari pemahaman di atas maka pandangan hidup yang
terbentuk dalam peradaban Yunani Kuno adalah pandangan hidup
yang materialistik yang melihat bahwa realitas dunia adalah materi
dan menolak immateri dalam konteks pemahaman oleh akal.
26
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas…, h. 58-59.

13
Perkembangan ilmu pengetahuan dapat ditelusuri jejaknya dari
peradaban besar yang terus hadir dalam peredaran dunia ini dengan
silih berganti. Peradaban Yunani-Romawi, Peradaban Islam dan masa
Renaissance. Penulis berpendapat salah satu faktor dalam
perkembangan peradaban tersebut adalah berkembangnya ilmu
pengetahuan sebagai trigger utama. Peradaban Yunani-Rumawi
sebagai salah satu bangsa pionir dalam perkembangan ilmu
pengetahuan tentu mempunyai andil dalam menyebarkan pemahaman
yang materialistik dan rasionalistik.

Perkembangan peradaban Islam juga disinyalir mendapatkan


pengaruh dari filsafat dan pemikiran Yunani-Romawi yang
diterjemahkan oleh cendekiawan muslim ke dalam bahasa Arab.
Tokoh utama dalam penerjemahan tersebut adalah Ibnu Rusyd atau di
Barat disebut Averroes. Ibnu Rusyd menerjemahkan karya Plato dan
Aristoteles, dan setelahnya dunia Islam melakukan aktivitas dalam
dunia intelektual dengan kecepatan yang mengagumkan.
Dan adanya hubungan antara peradaban Islam dengan masa
Renaissance di Barat juga diawali oleh adanya interaksi antara dunia
Islam dengan dunia Barat. Diawali oleh perang Salib, interaksi sosial-
budaya dan terjadinya transfer ilmu pengetahuan melalui
penerjemahan karya-karya intelektual muslim oleh orang-orang
Eropa, salah satu tokohnya adalah Edward dari Cremona. Kemudian
muncullah budaya intelektual di Eropa abad pertengahan dengan Italia
sebagai pusatnya. Tetapi ada satu hal yang berbeda dalam
perkembangan ilmu pengetahuan di masa masuknya filsafat ke dalam
peradaban Islam. Intelektual muslim mencoba merespon masuknya
filsafat dengan melakukan proses penyaringan,penyeleksian dan
pemilihan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Sebagai bukti bahwa ide-ide manusia (dan Tuhan) itu real bisa
dilihat dari kenyataan bahwa kita bisa menyimpan ide-ide tersebut
dalam sistem ingatan (memori) kita. Karena mungkinkah sesuatu yang

14
tidak real, dalam arti tidak memiliki status ontologis yang positif,
dapat disimpan dalam suatu wahana, yang kita sebut dengan memori?
Kalau jawabannya mungkin, itu berarti bahwa ide-ide itu tidak benar-
benar ada. Akan tetapi, kalau ide-ide tidak nyata, lalu apa yang kita
simpan dalam memori kita tersebut? Jadi, jelas jawabannya tidak
mungkin. Agar tidak terjadi salah paham, maka dapat ditegaskan
bahwa yang disimpan dalam memori kita bukanlah suara atau huruf
yang bisa diserap oleh indera, melainkan ide-ide, yaitu entitas-entitas
abstrak-mental atau spiritual – sebagaimana disebut oleh filosof
sebagai ma’qulat. 27

Sejak dekade 70-an, diskusi Islamisasi mulai mengemuka,


marak dipublikasikan suatu hal yang ”newview” dikalangan ilmuan.
Ketika suatu kondisi ilmu pengetahuan barat berkuasa terhadap dunia
manusia yang bermauatan tanpa nilai (bebas nilai), lebih cenderung
ke hal yang material saja. Hal tersebut merangsang para pemikir
dikalangan ummat Islam bahwa ilmu pengetahuan buatan manusia
tidak boleh bebas terpakai dan menguasai, dalam arti harus bernilai
produk tuhan bukan produk nilai manusia karena ada tujuan terakhir
setelah singgah di pelabuhan dunia yakni kampung abadi, akhirat.

Oleh karena itu, lahirlah Islamisasi ilmu pengetahuan dari


sebuah korelasi terhadap ilmu-ilmu modern (baca : barat) yang
cenderung menidurkan ilmu pengetahuan yang bebas nilai yang
terlapas dari tuntutan wahyu. Dengan kata lain bahwa ilmu
pengetahuan sudah sangat sekular pada akhirnya mengantarkan
manusia pada kehidupan hampa spritualitas. Walaupaun pada dasarnya
kita ketahui dalam sejarah bahwa Islam pada masa lampau sangat
kaya dengan khazanah ilmu pengetahuan, akan tetapi karena
“penyelewengan pihak Barbar” menengelamkan “gemilangnya” ilmu
pengetahuan Islam. 28
27
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas…., h. 59.
28
Lihat Laura Veccia Vaglieri, Apologia Dell Islamismo diterjemahkan oleh Ahmad Daudy dengan
judul Apologi Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1983), h. 80

15
Dalam kalangan Islam muncullah seperti Ismail al-faruqy,
Syech Muhammad Naquib al-Attas, saruddin Sardas sebagai tokoh-
tokoh atau penggagas Islamisasi llmu Pengetahuan. Lahirnya gagasan
Islamisasi ilmu pengetahuan ini didasarkan terhadap pada pandangan
bahwa manusia ilmu pengetahuan produk modern dewasa ini tidak
berhasil mengantar manusia pada cita-cita ilmu itu sendiri. Hal itu
disebabkan karena ilmu dilepaskan dari akar ilahy dan dikosongkan
dari pertimbangan nilai. 29

Pada dasarnya ilmu pengetahuan sudah ada sejak manusia


(Adam) diciptakan, bahkan ilmu pengetahuan sudah melekat dalam
diri manusia, hal ini disyaratkan oleh al-Qur’an dimana Allah SWT.,
yang langsung mengajarkan kepada Adam nama-nama benda yang
sudah diciptakan sebelumnya. Dan nama benda tersebut mengandung
arti sebagai unsur-unsur pengertian, baik yang ada di dunia maupun di
akhirat. Kemudian pengetahuan itu pula yang memberikan Adam
tempat yang mulia diantara makhluk-makhluk yang ada, termasuk
malaikat yang diperintahkan oleh Allah SWT untuk sujud sebagai
penghormatan kepada Adam. Rasa hormat yang diberikan kepada
Adam itu merupakan simbol pengakuan manusia atas keunggulannya.
Keunggulan itu disebabkan oleh pengetahuan atas nama-nama benda
yang diajarkan oleh Allah SWT., kepadanya dan bukan karena
keshalehannya, karena sudah pasti dalam keshalehan, para malaikat
lebih unggul dari Adam. Selain pengetahuan sebagai alasan bentuk
perhormatan kepada Adam, proses penciptaannya pun merupakan
sebaik-baiknya, yang membuat kemuliaan tersendiri manusia. 30

Dengan pengetahuan yang diberikan oleh Allah SWT ke Adam,


maka perbincaan tentang Islamisasi ilmu pengetahuan dewasa ini
menambah semangat untuk membangkitkan kembali kemesraan
terhadap hubungan harmonis antara agama dan ilmu pengetahuan.
29
Muhammad Zain, Proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan Syech Muhammad Naquib al-Attas,
(Yogyakarta : LESISKA, 2001), h. 1.
30
Uraian lengkap lihat QS. Al-Baqarah (2 : 34)

16
Meskipun Islamisasi ilmu pengetahuan itu sendiri tidak pernah
dikenal dalam pemikiran Islam, kerena ketika manusia lahir di rahim
Islam maka seyogyanya harus berkepribadian Islam dari segala corak.

Islamisi Ilmu Pengetahuan memandang bahwa dalam realitas


alam semesta, realitas sosial dan historis ada hukum-hukum yang
mengatur dan hukum itu adalah ilmu pengetahuan Allah. Pandangan
adanya hukum alam tersebut sama dengan sekuler, tetapi dalam
pandangan Islam hukum tersebut adalah ilmu pengetahuan Allah.
Sebagaimana ilmu pengetahuan Allah, maka realitas alam semesta
tidak netral tetapi mempunyai maksud dan tujuan. Maksud dan tujuan
itu sesuai dengan maksud dan tujuan tuhan menciptakan ilmu
pengetahuan.

Dalam Islam, ilmu pengetahuan terjadi karena pengkristalan


pengalaman dan pengetahuan sendiri, maupun informasi dari orang
lain, yang dapat diungkapkan dengan kenyataan secara objektif
ataupun subjektif. Ilmu barat dibentuk atas dasar fakta empiris atau
indrawi saja, tanpa menghiraukan sumbernya, yakni Allah, yang telah
memberikan esensi berbagai ilmu. 31

Jadi, epistimologi Islamisasi Ilmu Pengetahuan melalui Tuhan


wahyu ilahy), akal, pengalaman, maupun intuiasi, selain itu alam
semesta dengan dengan mengkaji al-Qur’an yang tersurat dan
tersirat. 32

Hamid Fahmy Zarkazi, dalam wordlview sebagai asas


Epistimologi Islam mengatakan bahwa sebenarnya cara bagaimana
seorang individu dalam proses mendapatkan ilmu cukup beragam
sesuai dengan worldview yang dimiliki yang terbentuk dengan
akumulasi pengetahuan dalam pikirannya baik secara apriori maupun

31
Ahmad M. Saefuddin, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi, (cet. IV ; Bandung :
Mizan, 1998), h. 33.
32
Saiful Jihad, Islam dan Paradigma Islam : Suatu Kajian Aksiologi, (Pare-Pare : tp, 2001), h. 3.
lihat Hamid Fahmy Zarkazy, Wordlview Sebagai Asas Epistimologi Islam, No. 5 (Surabaya :
Islamiah, 2005), h. 9.

17
aposteriori. Dalam Islam worldview-nya wahyu ilahy yang terbentuk
dari metaphysical belief. 33

Namun Epistemologi islamisasi Ilmu Pengetahuan, menurut


Fazlur Rahman secara orisinil sangat sulit dicapai., sehingga dia lebih
cenderung membahasakan Islamisasi dari daratan aksiologi (wilayah
etika) bukan pada ontologi maupun epistimologi. 34 Sebagaimana pula
Zainuddin Sardan bahwa intelektual Islam masa lampau tidak seorang
pun yang mengajukan pertanyaan fundametal seperti dari mana dan
bagaimana, barasal dan apa bentuk epstemologi Islam itu. 35

Berbeda dengan pendekatan rasional, pendekatan intuitif


(dzauqi) disebut pendekatan presensial (presential) karena objek-
objeknya hadir (present) dalam jiwa seseorang, dan karena itu modus
ilmu seperti itu disebut ilmu hudhuri (knowledge by presence. Oleh
karena objek-objek yang ditelitinya hadir dalam jiwa, kita bisa
mengalami dan merasakannya, dan dari sinilah dzauqi (rasa) timbul.
Selain itu, objek-objek itu juga bisa diketahui secara langsung karena
tidak ada lagi jurang yang memisahkan kita dengan objek-objek yang
diteliti karena di sini telah terjadi kesatuan antara subjek dan objek
antara yang mempengaruhi dan yang diketahui.

Berkaitan dengan pemilahan ilmu ke dalam bahtsi dan dzauqi


ini, Suhrawardi menyebutkan tiga macam kemampuan manusia. Ada
yang seperti para sufi, memiliki pengalaman dzauqi yang sangat
dalam, tetapi tidak mampu mengungkapkannya dalam bahasa filosofis
yang diskursuf. Ada juga yang seperti para filosof, mempunyai
kemampuan mengekspresikan pikiran-pikiran mereka secara filosofis-
diskursif, tetapi tidak memiliki pengalaman mistik yang mendalam,
dan terakhir ada para muta’allih, yang memiliki pengalaman mistik
yang mendalam, seperti para sufi, tetapi juga mempunyai kemampuan

33
Ibid. h. 14.
34
Saiful Jihad, Islam dan Paradigma Islam….., h. 9
35
Ibid.

18
bahasa filosofis yang diskursif, seperti yang dimiliki para filosof.
Kelompok ketiga inilah yang dinilai oleh Suhrawardi sebagai
kelompok tertinggi dari para pencari kebenaran. 36

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga cara


atau metode dalam epistemologi Islam untuk menangkap atau
mengetahui objek-objek ilmu. Pertama, melalui indera yang sangat
kompeten untuk mengenal objek-objek fisik dengan cara
mengamatinya. Kedua, melalui akal yang mampu mengenal bukan
saja benda-benda inderawi, melainkan juga objek-objek nonfisik
(ma’qulat) dengan cara menyimpulkan dari yang telah diketahui
menuju yang tidak diketahui. Ketiga, hati (qalb) yang objeknya yang
hadir dalam jiwa seseorang. Dengan demikian, seluruh rangkaian
wujud yang menjadi objek-objek ilmu pengetahuan – yang fisik dan
nonfisik – dapat diketahui oleh manusia.

Secara umum, revolusi kopernikan telah berdampak besar pada


sekularisasi atau lebih tepat profanasi dunia sebelumnya. Ide bahwa
matahari adalah pusat dunia (atau lebih tepat pusat tata surya),
bukanlah ide yang terlalu baru karena ia telah diketahui para pemikir
tertentu Yunani, Muslim dan Hindu. Namun proposal ide ini pada
masa Renaissans tanpa diikuti pandangan dunia spiritual, hanya akan
berarti dislokasi kedudukan (posisi) manusia dalam kosmos karena
sistem astronomi baru ini telah menggeser kedudukan manusia
sebagai ”citra Tuhan” di pusat dunia. Dengan mencampakkan manusia
dari pusat segala sesuatu, astronomi baru tidak memberi kepada
manusia dimensi transenden dari sifat atau tabiatnya, sebaliknya
astronomi baru menguatkan hilangnya sifat teomorfis manusia yang
karenanya ia ditempatkan di pusat dunia. Akibatnya, dengan
Renaissans, orang-orang Erofa telah kehilangan apa yang disebut
Nasr surga era keimanan untuk mendapatan, sebagai gantinya, bumi
dengan sifat baru, dan bentuk-bentuk alamiah. Namun, ini merupakan
36
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas....., h. 65.

19
alah yang semakin berkurang sebagai refleksi dari sebuah realitas
celestian. Manusia Renaissans menjadi sepenuhnya manusia, bukan
separuh manusia, separuh malaikat, melainkan yang kini terikat
sepenuhnya pada bumi. 37

Penutup

Sekularisasi dan Islamisasi ilmu pengetahuan ditinjau dari epitemologi


adalah adanya suatu proses mendapatkan ilmu pengetahuan dengan
melepaskan dogma agama di satu sisi dan si sisi lain sebaliknya yakni proses
mendapatkan ilmu pengetahuan dengan landasan ajara-ajaran Islam.

Sekularisasi lahir dari pemberontakan ahli pikir terhadap peraturan


gereja yang sifatnya dogmatis, sedangkan Islamisasi Ilmu Pengetahuan lahir
dari lepasnya ilmu dari akar ilahy dan dikosongkan dari pertimbangan nilai.

Dari segi epitemologi sekularisasi berada pada tataran rasionalisme


dan empirisme, sedangkan Islamisasi adalah wahyu ilahy.

Dengan dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga cara metode dalam


epistemologi Islam untuk menangkap atau mengetahui objek-objek ilmu.
Pertama, melalui indera. Kedua, melalui akal. Ketiga, melalui hati (qalb) yang
menangkap objek-objek nonfisik atau metafisika melalui kontak langsung
dengan objek-objeknya yang hadir dalam jiwa seseorang.

37
Ibid, h. 122

20
DAFTAR PUSTAKA

Attas. Naquib, Islam and Secularism, terjemahan Karsijo Joyosumarno. Bandung:


Pustaka, 1981.

Berkes. Niyazi, The Development of Secularism in Turkey. Montreal: McGill


University Press, 1964.

Cox. Harvey, The Secular City. New York: The Micmillan Company, 1996.

__________________, The Secular City: Secularization and Urbanization in


Theological Perspective. New York: The Macmillan Company, 1967.

D.P. Sipson, Classel’s Latin Dictionary, Latin-English English-Latin. MacMillan


Publishing, Co., Inc., 1982.

Jihad. Saiful, Islam dan Paradigma Islam : Suatu Kajian Aksiologi, (Pare-Pare :
tp, 2001.

Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1988.

Kartanegara. Mulyadhi, Menembus Batas Waktu Panorama Filsafat Islam.


Bandung: Mizan, 2002.

_________________, Menyibak Tirai Kejahilah Pengantar Epistemologi Islam.


Bandung: Mizan, 2003.

Khalil. Imad ad-Din, Tahafut al-Ilmaniyyat, ttp.: Mu’assasat ar-Risalah, 1975.

Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab Supermini. Jakarta: Lembaga Alkitab


Indonesia, 2002.

Lewis. Bernand, The Political Language of Islam. Chicago and London: Chicago
University Press, 1988.

Nasution. Harun, “Agama yang Diperlukan Manusia Abad XXI dan Seterusnya”
dalam 70 Tahun Prof. H.M. Rasyidi. Jakarta: Pelita, 1985.

_________________Islam Rasional: Gagasan dan Pemikiran, cet. V. Bandung:


Mizan, 1998.

Madjid. Nurcholish, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: Mizan.

Mahdi. Muhsin, Religious Belief and Scientific Belief. The American Journal of
Islamic Social Sciences 11, no. 2. Musim Panas, 1994.

21
Mahmud. Natsir, Epistimologi dan Study Kontemporer. Makassar : tp, 2000.

Millard J. Erikson, Christian Theology. Grand Rapids: Baker Book House, 1985.

M. Saefuddin. Ahmad, Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi. cet. IV;


Bandung : Mizan, 1998.

Nihaya, Filsafat Umum : dari Yunani sampai Modern. Makassar : Berkah Utami,
1999.

Qardhawi. Yusuf, at-Tathahurufu al-‘Ilman fi Mujaahawati, diterjemahkan oleh


Nahbani Idris dengan judul Sekuler Ekstrim. Jakarta : Pustaka al-Kautsar,
2000.

S. Praja. Juhana, Aliran-aliran Filsafat dan Etika. cet. I, Bogor: Kencana, 2003.

Vaglieri. Laura Veccia, Apologia Dell Islamismo diterjemahkan oleh Ahmad


Daudy dengan judul Apologi Islam. Jakarta : Bulan Bintang, 1983.

Weber Eugene, (ed)., The Western Tradition: From Renaissance to The Present.
Massachusetts: D.C. Heath and Company, 1972.

Zain. Muhammad, Proyek Islamisasi Ilmu Pengetahuan Syech Muhammad


Naquib al-Attas. Yogyakarta : LESISKA, 2001.

Zarkazy. Hamid Fahmy, Wordlview Sebagai Asas Epistimologi Islam, No. 5.


Surabaya : Islamiah, 2005.

22

Anda mungkin juga menyukai