Dosen Pengampu:
Dr.Drs. Agus Sarono, M.H.
Disusun oleh:
1. Novita Aida Dahlia (21030119140112)
2. Nadia Rizki Pramesti Setya Putri (21030119140172)
3. Intan Permatasari Abriyanto (21030119120030)
4. Adinda Dwi Putri Rahmawati (21030119120022)
5. Ferdian Yudha Ranadya (21030119130160)
UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2019
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hidup adalah sebuah perjalanan singkat yang pasti dilalui oleh setiap manusia
dibumi ini, sebagaimana Allah telah menjelaskan dalam Al-qur’an bahwa hidup adalah
panggung sandiwara. Allah telah menggariskan kisah hidup manusia sebelum manusia
diciptakan atau dilahirkan kedunia, tentu saja manusia dilahirkan dalam kondisi yang
belum tahu apapun yang ada didunia sebagaimana dalam firman Allah SWT
“Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui apa-
apa dan Dia memberimu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur” Qs.
Al Nahl : 78
Manusia diciptakan tak lain adalah untuk kembali lagi kepada Allah karena Allah
lah sebaik-baik tempat kembali, akan tetapi proses untuk kembali kepada Allah salah
satunya dengan menjalani hidup yang telah Allah berikan kepada manusia. Dalam Qs.
Adz-Zariyat : 59 telah dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dan jin untuk
beribadah kepada Allah.
Hidup manusia adalah milik Allah maka dari itu, aturan yang harus dipakai adalah
aturan Allah yang telah tersusun rapih dan telah diatur oleh Allah yaitu dalam Kitab suci
Al-qur’an. Al-qur’an sebagai mukjizat yang sangat luar biasa yang telah diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw, karena didalam Al-qur’an terdapat seluruh ilmu
pengetahuan yang ada dibumi ini. Seperti peristiwa-peristiwa alamiah atau sains mengenai
penciptaan alam semesta, penciptaan manusia, sudah ada jauh sebelum para ilmuwan
melakukan riset. Adapun keistimewaan Al-qur’an adalah sebagai pedoman hidup bagi
manusia sebagai mana dalam Qs. Al-Isro : 9
“ Sesungguhnya Al-qur’an ini memberikan pentunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan
member khabar gembira kepada orang-orang mukmin yang menegerjakan amal sholeh
bahwa bagi mereka ada pahala yang besar”.
Begitu lengkap dan istimewanya Al-qur’an adalah bukti kebesaran Allah SWT yang
maha mengetahui apa yang terbaik bagi manusia.
1.2 Rumusan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian Al-qur’an !
2. Untuk mengetahui pengertian Hadits !
3. Untuk mengetahui pengertian Ijtihad !
4. Untuk megetahui Al-qur’an, Hadits, dan Ijtihad sebagai sumber pendidikan !
1.3 Tujuan Penulisan Makalah
1. Menjelaskan mengenai pengertian Al-qur’an, Hadits, dan Ijtihad.
2. Menjelaskan Al-qur’an, Hadits dan Ijtihad sebagai sumber hukum pendidikan
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Al-Qur’an
Al-qur’an menurut bahasa berarti “bacaan”, sedangkan menurut istilah adalah
“Firman Allah yang diturunkan dan dibacakan kepada Muhammad Saw secara
mutawatir”. Yang dimaksud mutawatir disini adalah berita yang disampaikan kepada
sejumlah orang dan diriwayatkan (diterima) pula oleh sejumlah orang yang tidak mungkin
bisa berkonspirasi untuk melakukan kebohongan.
Para ulama dalam bidang ilmu al-qur’an telah mendefinisikan al-qur’an menurut
pemahaman mereka masing-masing baik secara etimologi maupun terminologi. Secara
etimologi para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan al-qur’an sebagai berikut :
A. Menurut Al-lihyany
Kata Qur’an adalah bentuk masdar dari kata kerja (fi’il) artinya membaca,
dengan perubahan bentuk kata/tasrif . Dari tasrif tersebut, bacaan yang bermakna isim
maf’ul artinya yang dibaca, karena al-qur’an itu dibaca maka dinamailah al-qur’an.
Kata tersebut selanjutnya digunakan untuk kitab yang diturunkan Allah SWT kepada
Nabi Muhammad. Pendapat ini berdasarkan firman Allah dalam Qs. Al-qiyamah : 17-
18
“sesungguhnya Kami yng akan mengumpulkannya (di dada mu) dan membacakannya.
Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaan itu”.
B. Menurut Al-Asy’ari
Kata Qur’an berasal dari lafaz " qur'anan" yang berarti menggabungkan sesuatu
dengan yang lain. Kemudian kata tersebut dijadikan sebagai nama Kalamullah yang
diturunkan kepada Nabi-Nya, mengingat bahwa surat-suratnya, ayat-ayatnya, dan
huruf-hurufnya beriring-iringan dan yang satu digabungkan kepada yang lain.
C. Menurut Al-Farra’
Kata al-qur’an berasal dari lafaz "merupakan bentuk jama’ dari kata yang berarti
petunjuk atau indikator, mengingat bahwa ayat-ayatnya satu sama lain saling
membenarkan.
D. Menurut Asy-syafi’i
Kata Al-qur’an adalah isim ‘alam, bukan kata bentukan dari kata apapun dan
sejak awal memang digunakan sebagai nama khusus bagi kitab suci yang diturunkan
Allah SWT kepada Nabi Muhammad Saw sebagaimana halnya dengan nama-nama
kitab suci sebelumnya yang memang merupakan nama khusus yang diberikan oleh
Allah SWT.
Ditinjau dari pengertian secara terminologi, para ulama juga berbeda pendapat
dalam mendefinisikan al-qur’an, beberapa pendapat ulama mengenai definisi al-qur’an
antara lain :
1. Syeikh Muhammad Khudari Beik
Dalam kitab Tarikh at-Tasyri al-Islam, Syeikh Muhammad Khudari Beik
mengemukakan definisi al-qur’an sebagai berikut:
“ Al-Qur’an ialah lafaz (firman Allah SWT) yang berbahasa arab yang diturunka
kepada Muhammad Saw untuk difahami isinya dan selalu diingat, yang disampaikan
dengan cara mutawatir yang ditulis dalam mushaf yang dimulai dengan surat al-
fatihah dan diakhiri dengan surat an-Nas ”
2. Subkhi Salih
Subkhi Salih mengemukakan definisi al-qur’an sebagai berikut :
“ Al-Qur’an adalah kitab (Allah SWT) yang mengandung mu’jizat yan diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw, yang ditulis dalam mushaf-mushaf, yang disampaikan
secara mutawatir, dan bernilai ibadah membacanya”.
3. Syeikh Muhammad Abduh
Syeikh Muhammad Abduh mendefinisikan Al-Qur’an sebagai berikut :
“Kitab (Al-Qur’an) adalah bacaan yang tertulis dalam mushaf-mushaf, yang
terpelihara didalam dada orang yang menjaganya dengan menghafalnya (yakni)
orang-orang islam.”
Dari ketiga pendapat diatas, dapat disimpulkan beberapa unsur dalam pengertian al-
qur’an sebagai berikut :
a. Al-Qur’an adalah firman atau Kalam Allah SWT
b. Al-Qur’an terdiri dari lafal berbahasa arab
c. Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhamammad Saw
d. Al-Qur’an merupakan kitab Allah SWT yang mengandung mu’jizat bagi
Nabi Muhammad Saw, yang diturunkan dengan perantara Malaikat Jibril.
e. Al-Qur’an disampaikan dengan cara mutawatir (berkesinambungan)
f. Al-Qur’an merupakan bacaan mulia dan membacanya merupakan ibadah
g. Al-Qur’an dituliskan daam mushaf-mushaf, yang diawali dengan surat al-fatihah dan
diakhiri dengan surat an-Nas
h. Al-Qur’an senantiasa terjaga atau terpelihara kemurniannya dengan adanya sebagian
orang islam yang menjaganyra dengan menghafal al-Qur’an sebagaimana dalam Qs.
Al-Hijr : 9
“ sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Qur’an dan pasti Kami (pula) yang
memeliharanya.”
Al-Qur’an adalah pedoman atau petunjuk bagi umat manusia, karenanya setiap
ketetapanhukum harus didasarkan pada Al-Qur’an. Hal ini sesuai dengan firman Allah
SWT:
“ Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan membawa kebenaran,
supaya kamu mengadili antara manusia dengan apa yang telah Allah wahyukan
kepadamu, dan janganlah kamu menjadi penantang (orang yang tidak bersalah), karena
(membela) orang-orang yang khianat”. (Qs. An-Nisa: 105)
Dengan demikian, segala ketetapan hukum harus didasarkan pada Al-Qur’an, sebab
Al-Qur’an adalah way of life (pedoman hidup) bagi manusia, terutama orang-orang yang
beriman agar memperoleh keselamatan dan kebahagiaan, baik di dunia maupun diakhirat.
Ketetapan hukum yang terekam dalam al-Qur’an ada yang bersifat rinci dan ada
yang bersifat bersifat global. Ayat-ayat hukum yang bersifat rinci pada umumnya
berhubungan dengan masalah ibadah, keluarga, dan hukum waris. Sedangkan ayat-ayat
hukum yang bersifat global umumnya berkaitan dengan masalah perekonomian,
ketatanegaraan, perundang-undangan dan lain-lain.
Sebagai sumber hukum Islam, al-Qur’an diantaranya memuat beberapa hal sebagai
berikut :
a. Hukum yang berkaitan dengan akidah, yakni ketetapan tentang wajib beriman kepada
Allah SWT, para malaikat, kitab-kitab, para rosul, hari akhir, dan qadha-qadar Allah
SWT.
b. Tuntunan yang berkaitan dengan akhlak (budi pekerti), agar orang-orang mukmin
memiliki sifat-sifat terpuji.
c. Hukum yang berkaitan dengan aktifitas manusia yaitu amal ibadah, hokum yang
berkaitan dengan masyarakat, hukum yang berkaitan dengan masalah social, dll.
Sebagai seseorang yang berpegang teguh pada al-Qur’an, kita harus emiliki budi
pekerti yang luhur karena al-Qur’an berisikan tuntunan yang berkaitan dengan akhlak,
yaitu ajaran agar orang muslim memiliki budi pekerti yang baik dan etika kehidupan yang
sesuai dengan al-Qur’an.
2.2 Pengertian Hadits
Dalam islam, sumber hukum setelah al-Qur’an adalah Hadits, yaitu sumber hukum
kedua yang digunakan dalam Islam. Kedudukan sunnah sebagai sumber ajaran islam
kedua setelah al-Qur’an sangatlah penting, keduanya memiliki hubungan yang sangat erat.
Oleh karena pentingnya pemahaman tentang sunnah, Abu Hanifah pernah mengatakan
bahwa tanpa sunnah tidak ada seorangpun yang dapat memahami al-Qur’an. Dari
pernyataan tersebut, dapat difahami bahwa seseorang tidak akan bisa memahami Islam
secara utuh tanpa mamahami hadits Nabi.
Pengertian Hadits menurut bahasa berarti “yang baru”, “yang dekat” atau “warta”
yaitu sesuatu yang dibicarakan. Sedangkan menurut istilah pengertian hadis ialah “segala
ucapan Nabi Saw, segala perbuatan serta keadaan atau perilaku beliau”. Sedangkan
pengertian hadis menurut Muhaddistin adalah segala apa yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad Saw, baik itu hadits marfu (yang disandarkan kepada Nabi), hadits mauquf
(yang disandarkan kepada sahabat), atau hadits maqthu’ (yang disandarkan pada tabi’in).
Menurut Ushuliyyin hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
Muhamammad Saw, selain al-Qur’an al-Karim, baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun takrir Nabi saw, yang bersangkut paut dengan hukum syara’.
MenurutFuqaha hadits adalah segala sesuatu yang ditetapkan Nabi saw yang tidak ada
kaitannya dengan masalah fardu atau wajib.
Hadits Nabi sering juga disebut dengan sunnah, sementara istilah sunnah menurut
para ulama ahli hadits memiliki pengertian “ segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi
saw, baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrir (persetujuan) beliau.”
Hadits dan sunnah memiliki pengertian yang berbeda namun secara umum memiliki
persamaan yaitu sama-sama bersumber dari Rosulullah Saw. Menurut ahli hadits sunnah
adalah segala yang bersumber dari nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan,
perbuatan, taqrir, tabiat, budi pekerti, maupun perjalanan hidupnya baik sebelum beliau
diangkat menjadi Rosul maupun sesudahnya. Dari pengertian tersebut dapat diketahui
bahwa sunnah lebih luas dari hadits karena meliputi segala yang datang dari Muhammad
saw baik sesudah maupun sebelum beliau diangkat menjadi seorang rosul.
Menurut Usul Fikih, sunnah adalah segala sesuatu yang bersumber dari Nabi
Muammad saw, selain al-Qur’an baik berupa perkataan, perbuatan, maupun taqrirnya
yang pantas untuk dijadikan dalil bagi peetapan hukum syara’ (hukum agama).
Hadits adalah sumber hukum islam yang kedua setelah al-Qur’an. Karena
kedudukannya sebagai penafsir dan pedoman pelaksanaa yang otentik terhadap al-Qur’an.
Karenanya umat islam wajib berpedoman kepada hadits-hadits Nabi saw. Allah berfirman
: “Apa yang diberikan Rosul kepada mu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya
bagimu maka tinggalkan lah.”(Qs. Al-Hasyr:7)
Berpedoman dengan teguh kepada hadits secara implicit sama dengan berpedoman
kepada Al-Qur’an. Sebab banyak ayat maupun hadits yang menggandengkan perintah
untuk taat kepada Allah da Rosulnya atau secara terpisah agar berpedoman kepada apa
yang berasal dari Rosul. Hadits sebagai sumber hukum islam yang kedua setelah Al-
Qur’an telah dinyatakan melalui keterangan sunnah, sebagaimana sabda Rosulullah Saw:
“Telah aku tinggalkan dua perkara untuk kalian, kalian tidak aan sesat selama-
lamanya selama berpegang teguh kepada keduanya, yaitu Kitab Allah (Al-Qur’an) dan
sunnah Nabi-Nya” (HR. Malik)
Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an adalah sebagai berikut :
1. Memperkuat hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh Al-Qur’an.
2. Memberikan penjelasan atau rincian terhadap ayat-ayat al-Qur’an yang masih bersifat
global.
3. Menentukan ketentu atau hukum yang belum disebutkan dalam al-qur’an.
Secara garis besar, kualitas hadits dibagi menjadi dua yaitu mutawatir dan ahad,
yang dimaksud dengan hadits mutawatir adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh
sejumlah orang dari sejumlah orang yang jumlahnya cukup banyak pula yang tidak
memungkinkan melakukan kebohongan bersama. Sementara, yang dimaksud dengan
hadits ahad adaah hadits yang diriwayatkan oleh orang perorangan jumlahnya tidak
mencapai jumlah mutawatir. Karena persyaratan hadits mutawatir cukup ketat, maka
jumlahnya bisa dibilang sangat sedikit.
Adapun hadits ahad dibagi lagi menjadi tiga macam, yaitu :
1. Shahih, hadits yang memiliki mata rantai sanad yang bersambung, tidak bertentangan
dengan riwayat hadits kebanyakan, tidak mengandung cacat, serta diriwayatkan oleh
seorang perawi yang adil dan akurat periwayatannya.
2. Hasan, hadits hasan tidak jau berbeda dengan pengertian hadits shohih. Yang
membedakan antara keduanya hanya pada kualitas perawinya, dimana perawi hadits
hasan tidak sepopuler hadits shahih.
3. Dha’if, sebuah hadits yang tidak memenuhi beberapa kriteria hadits shahih maupun
hasan.
2.3 Pengertian Ijtihad
Yang dimaksud dengan metode ijtihad adalah sebuah cara atau upaya untuk
menggali dasar hukum islam yang belum disebutkan secara tegas dalam al-Qur’an maupun
hadits dengan menggunakan ra’yu (ijtihad). Menurut Muhammad Syaltut bahwa
penetapan hukum berdasarkan pada ra’yu ini disebut ijtihad. Masalah-masalah yang boleh
diijtihadkan oleh masalah-masalah didalam al-Qur’an dan hadits yang belum ditemukan
hukumnya secara jelas dan rinci.
Dasar yang boleh menetapkan hukum berdasarkan ijtihad ini antara lain adalah
dialog Nabi Muhammad Saw dengan Mu’adz bin Jabal pada waktu dia diutus menjadi
penguasa di Yaman sebagai berikut
“(Nabi Muhammad Saw bertanya) : “bagaimana engkau menetapkan hukum bila
dihadapkan kepada mu suatu perkara yang memerlukan penetapan hukum ?” Mu’adz
menjawab : “aku putuskan dengan Kitabullah (Al-Qur’an)”. Lalu, Nabi bertanya lagi.
“Seandainya kamu tidak menemukannya dalam al-Qur’an?” Mu’adz menjawab : “aku
putuskan dengan sunnah Rasul-Nya”. Selanjutnya Nabi bertanya :”seandainya jika
dalam as-sunah pun tidak ada ?” Mu’adz menjawab : “aku putuskan berdasarkan
pendapatku sendiri (ijtihad). (memperhatikan jawaban Mu’adz seperti itu) Nabi menepuk
dada Mu’adz seraya bersabda : “ segala puji bagi Allah yang telah menyelaraskan utusan
seorang rosul dengan sesuatu yang dikehendak Rosulullah.”
Dari dialog diatas, dapat diketahui bahwa sumber hukum islam selain Al-Qur’an,
as-sunnah, ada juga sumber hukum islam yang berdasarkan pada ra’yu atau ijtihad.
Adapun pengertian ijtihad secara bahasa berarti bersungguh-sungguh, rajin, giat.
Kemudian dikalangan para ulama, perkataan ijtihad ini khusus digunakan dalam
pengertian usaha yang sungguh-sungguh dari seorang ahli hukum (fuqaha) untuk
mengetahui hukum syariat. Jadi dengan demikian ijtihad adalah perbuatan menggali
hukum syar’iyyah dan dalil-dalilnya yang terperinci dalam syariat. Orang yang melakukan
ijtihad disebut mujtahid.
Imam al-Ghazali mendenisikan ijtihad sebagai usaha sungguh-sungguh dari
seorang mujtahid dalam upaya mengetahui atau menetapkan hukum-hukum syariat.
Ijtihad mempunyai peranan penting dalam penetapan status hukum suatu masalah yang
tidak atau belum ada hukumnya secara rinci, baik dalam al-Qur’an maupun as-sunnah.
Tanpa ada ijtihad banyak masalah yang dihadapi manusia tidak dapat dipecahkan karena
tidak diketemukan hukumnya dalam kedua sumber pokok tersebut. Dengan ijtihad,
masalah-masalah yang belum ada hukumnya menjadi jelas status hukumnya.
Dalam penetapan hasil ijtihad memungkinkan jika terjadinya perbedaan, karena
masing-masing mujtahid mempunyai sudut pandang ataupun latar belakang pendidikan
yang berbeda. Adapun menurut Syeikh Muhammad Khudlari hukum ijtihad itu
dikelompokkan menjadi :
1. Wajib ‘ain, yaitu bagi orang-orang yang ditanya tentang sesuatu masalah, dan masalah
itu akan hilang sebelum hukumnya diketahui. Atau ia sendiri mengalami suatu
peristiwa yang ia sendiri juga ingin mengetahui hukumnya.
2. Wajib kifayah, yaitu apabila seseorang ditanya tntang sesuatu dan sesuatu itu tidak
hilang sebelum diketahui hukumnya, sedang selain dia ada mujtahid lain. Apabila
seorang mujahid telah menyelesaikan dan menetapkan hukum sesuatu tersebut, maka
kewajiban mujtahid yang lain telah gugur.
3. Sunnah, yaitu ijtihad terhadap suatu masalah atau peristiwa yang belum terjadi.
Adapun seorang yang akan menjadi mujtahid harus memenuhi syarat-syarat
tertentu, seperti syarat umum, khusus dan syarat pelengkap.
a. Syarat umum : Baligh, berakal sehat, memahami masalah, beriman.
b. Syarat khusus : mengetahui ayat al-qur’an yang berhubungan dengan masalah yang
dianalisis, mengetahui sunnah Nabi yang berkaitan dengan masalah yang dianalisis.
Mengetahui maksud dan rahasia hukum islam, yaitu kemaslahatan hidup didunia dan
diakhirat, mengetahui kaidah-kaidah kulliyyah yaitu kaidah yang diistinbatkan dari
dalil-dalil syara’, mengetahui kaidah-kaidah bahasa arab, mengetahui ilmu ushul fikih,
mengetahui ilmu mantik, mengetahui penetapan hukum asal berdasarkan bara’ah
ashliyah (semacam praduga tak bersalah), mengetahui soal-soal ijma’.
c. Syarat-syarat pelengkap : mengetahui bahwa tidak ada dalil qath’iy yang berkaitan
dengan masalah yang akan ditetapkan hukumnya, mengetahui masalah-masalah yang
diperselisihkan oleh para ulama dan yang akan mereka sepakati, mengetahui bahwa
hasil ijtihad itu tidak bersifat mutlak.