Anda di halaman 1dari 18

Sekularisasi Ilmu Pengetahuan

Makalah ini Dibuat untuk Memenuhi Tugas dalam Mata Kuliah


Filsafat Ilmu
Dosen pengampu:
Muhammad Dahlan S.Ag., M.Hum.

Disusun Oleh:

Aditya Ramadhan 11180110000060


Ahmad Raffi’ Al-Hazmi 11180110000063
Nurhadi Setiawan 11180110000081

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM


FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2019M/1441H
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil ‘Alamin, Puja puji serta syukur kehadirat Allah


SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya sehingga tugas yang berbentuk makalah ini
dapat terselesaikan tepat waktu, meskipun dengan berbagai macam kekurangan
dan halangan. Tak lupa shalawat serta salam tercurahkan kepada nabi Muhammad
SAW, yang telah membawa kita dari zaman kegelapan hingga zaman terang
benderang.
Makalah ini disusun sebagai bahan diskusi yang akan kami presentasikan
dan merupakan implementasi dari program belajar aktif oleh dosen Muhammad
Dahlan S.Ag., M.Hum. selaku dosen pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu.
Semoga dengan tersusunnya makalah ini dapat menambah wawasan
keilmuan kita dalam mempelajari Filsafat Ilmu, dapat memberikan manfaat bagi
pembacanya. Dalam penyusunan makalah ini penyusun menyadari masih banyak
kesalahan dan kekhilafan di dalamnya. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
bersifat membangun senantiasa kami harapkan demi penyempurnaan makalah
berikutnya.

Tangerang Selatan, November 2019

Pemakalah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i


DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
A. Latar Belakang ......................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah .................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 2
A. Pengertian Sekularisasi ............................................................................. 2
B. Latar Belakang Lahirnya Sekularisasi ...................................................... 3
C. Landasan Pokok Sekularisasi Ilmu Pengetahuan ..................................... 5
D. Sekularisasi Ilmu Pengetahuan Ditinjau dari Epistimologi, Aksiologi .... 6
BAB III PENUTUP .............................................................................................. 13
A. Simpulan ................................................................................................. 13
B. Saran ....................................................................................................... 14

ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan ini manusia mempunyai banyak tujuan yang sangat
tinggi untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Hal ini menyebabkan manusia
berusaha keras untuk mengembangankan ilmu pengetahuan sehingga manusia
menjadi makhluk yang mulia di muka bumi ini. Pada setiap manusia terdapat
potensi-potensi untuk bisa dikembangkan secara kreatif dan inovatif. Manusia
mampu menalar, artinya berfikir secara logis dan analitis, karena kemampuan
menalar dan mempunyai bahasa untuk mengkomunikasikan hasil pemikirannya,
maka manusia bukan saja mempunyai ilmu pengetahuan, melainkan mampu
mengembangkannya.
Manusia melalui perjalanan panjang dalam mencari hakikat dan makna
hidupnya. Pengalaman demi pengalaman telah dilalui, akhirnya manusia berada
dalam puncak kemajuan melalui perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
ini mendominasi segala aspek kehidupan yang mendesak spritualitas sampai
terpojok pada “lorong yang sangat sempit”.1 Terjadinya penyebab utama
merosotnya peran Agama dalam beradaban modern yaitu karena agama dianggap
tidak memiliki kontribusi langsung bagi upaya mengejar kehidupan fisik-material.
Bahkan seperti ditandaskan Mehden bahwa banyak ilmuan sosial Amerika yang
menilai agama sebagai faktor negatif dalam proses modernisasi. Agama bagi
mereka adalah suatu penghambat dalam meraih modernisasi. Jadi agama adalah
penghambat kemajuan. Anggapan ini telah berakar sejak abad ke 19.2
Perkembangan ilmu pengetahuan telah melahirkan berbagai macam dampak
terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya, disatu sisi dia mampu membantu
dan meringankan beban manusia, namun disisi lain juga menghancurkan nilai-
nilai kemanusiaan

B. Rumusan Masalah
1. Pengertian Sekularisasi
2. Latar Belakang Lahirnya Sekularisasi
3. Landasan Pokok Sekularisasi
4. Sekularisasi Ilmu Pengetahuan Ditinjau dari Epistimologi, Aksiologi

1
Muh. Rusli Karim, Agama Modernisasi dan Sekularisasi, (Cet.I; Yogyakarta: Tiara
Wacana, 1994), h. 113.
2
Muh. Rusli Karim, Agama Modernisasi dan Sekularisasi), 115-116.

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Sekularisasi
Secara harfiah, ‘sekular’ atau ‘sekularisasi’ berasal dari bahasa Latin yaitu
saeculum, yang berarti masa (waktu) atau generasi. Tetapi dalam Latin Kristen -
seperti disebut Niyazi Berkes.- kata ini diartikan “dunia masa kini”.3
Kata saeculum sebenarnya adalah sebenarnya adalah salah satu dari dua
kata Latin yang berarti ‘dunia’. Kata lainnya ialah mundus. Saeculum
menunjukkan waktu dan mundus menunjukkan ruang. Saeculum sendiri adalah
lawan dari kata eternum yang artinya ‘abadi’, yang digunakan untuk menunjukkan
alam yang kekal abadi, yaitu alam sesudah dunia ini.4
Sekularisasi menurut Cornelis van Peursen seorang Theolog dari Belanda,
didefiniskan sebagai pembebasan manusia, “pertama-tama dari agama dan
kemudian dari metafisika yang mengatur nalar dan bahasanya”. Itu berarti
terlepasnya dunia dari pengertian-pengertian religius dan religius-semu,
terhalaunya semua pandangan-pandangan dunia yang tertutup, terpatahkannya
semua mitos supranatural dan lambing-lambang suci ‘defatalisasi sejarah,
penemuan manusia akan kenyataan bahwa dia ditinggalkan dengan dunia di
tangannya, sehingga dia tidak bisa lagi menyalahkan nasib atau kemalangan atas
apa yang ia perbuat dengannya; manusialah yang mengalihkan perhatiannya lepas
dari dunia-dunia di atas sana ke arah dunia sini dan waktu kini.5
Menurut Surjanto Poepowardojo, pada hakikatnya sekularisasi
menginginkan adanya pembebasan tajam antara agama dan ilmu pengetahuan, dan
memandang ilmu pengetahuan otonom pada dirinya.6

3
Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan Sekularisasi, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya,
1994, h. 12.
4
Syahrin Harahap, Al-Qur’an dan Sekularisasi, Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya,
1994, h. 12.
5
Syed Muhammad Al-Naquib Al-Attas, Islam dan Sekularisme, Bandung: Penerbit
Pustaka, 1981, h.20.
6
Pradoyo, Sekularisasi dalam Polemik, Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1993, h.19-20.

2
3

Yusuf Qardhawi dalam bukunya, at-Tatharufu al-‘ilmani fi Mujaahwati


al-Islam, sekuler ialah la Dinniyah atau Dunnaawiyah yang bermakna sesuatu
yang tidak ada kaitannya dengan agama atau semata dunia.7 Dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia, sekularisasi diartikan segala hal-hal yang membawa kearah
kehidupan yang tak didasarkan pada ajaran agama.8
Dari berbagai pengertian yang diketengahkan di atas dapat ditarik benang
merah yang menghubungkannyam yakni secular berarti duniawi, sehingga yang
disebut sekular adalah yang bersifat keduniaan, artinya masalah dunia tetap
dijadikan masalah dunia dan masalah agama (akhirat) tetap dijadikan masalah
agama. Dengan demikian sekular adalah sifat melepaskan dunia ini dari agama.
Untik itu diperlukan proses, proses itulah yang disebut sekularisasi.

B. Latar Belakang Lahirnya Sekularisasi


Sekularisasi yang muncul pada abad pertengahan ini ingin memberi suatu
penempatan yang pas, dimana yang memang urusan duniawi dan mana yang
urusan agama. Eropa abad pertengahan merupakan masa-masa suram bagi
berkembangnya nalar kritis manusia. Kekuasaan berada di bawah otoritas gereja.
Mempertanyakan otoritas gereja sama dengan mempertanyakan otoritas Tuhan.
Pembacaan terhadap realitas sepenuhnya merujuk pada kitab suci, sedangkan
kitab suci pada masa itu dibaca secara harafiah. Sehingga sampai kini, kaum
agama yang membaca kitab sucinya secara literal atau harafiah kerap dijuluki
kaum skripturalis. Kaum ilmuwan yang menemukan fakta yang berbeda dengan
kitab suci kerap dikucilkan bahkan dituduh ateis.
Sekularisasi berasal dari dunia barat kristiani, yang muncul dengan
diserukan oleh para pemikir bebas agar mereka terlepas dari ikatan gereja, para
pemuka agama dan pendetanya. Pada awalnya agama Kristiani lahir di dunia
Timur, namun warna Kristiani amat tebal menyelimuti kehidupan dunia Barat.
Keadaan ini sejak kekaisaran Romawi Konstantin yang agung (280–337M) yang
melegalisasikan dalam dalam wilayah imperiumnya serta mendorong

7
Yusuf Qardhawi, Sekuler Ekstrim, Terj. Nabhani Idris, Jakarta: Pustaka al-Kautsar, 2000, h.1.
8
Tim Redaksi Kamus Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Pusat
Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2008, h.1287.
4

penyebarannya merata ke benua Eropa, terutama di abad pertengahan warna


Kristiani meyelimuti kehidupan Barat baik politik, ekonomi, sosial, budaya, serta
ilmu pengetahuan.
Pada dasarnya sekularisasi yang diusung Barat ini berasal dari sebuah
kekecewaan atau lebih tepatnya penyangkalan akan sebuah konsep yang melulu
berasal dari Tuhan, yang dalam arti jauh terjangkau oleh rasio. Padahal dalam
skala-skala tertentu tidak semua mengenai suatu hal tidak dapat terjangkau oleh
akal manusia. Peran agama (gereja) di Barat yang mengkristal kedalam segala
aspek kehidupan. Sehingga ketika logika (rasio berfikir) mengenai suatu hal yang
di dunia ini masih dapat dijangkau oleh akal mereka (kaum gerejawan) tidak dapat
menerima hal tersebut.
Gambaran gereja pada saat itu datang dengan membawa pemikiran
menentang akal dan rasio dengan mempertahankan kebekuannya melawan ilmu
dan kebebasan, tampil dengan menghadapi kemajuan. Sikap keras para aktifis
gereja dalam menentang para ahli pikir (ilmuan) yang menorehkan hasil penelitian
ilmiyah dan nalarnya karena dinilai bertentangan dengan ajaran-ajaran agama.
Hingga gereja memusuhi orang-orang yang menyampaikan teori ilmu
pengetahuan yang bertentangan dengan ajarannya, seperti berpendapat bahwa
bumi ini bulat dianggap sebuah kekafiran atau keluar dari agama. Kepicikan
berpikir gereja terhadap orang-orang yang mengemukakan teori atau pandangan
keilmuan yang bertentangan dengan ajarannya ternyata melahirkan bentuk
kekejaman dengan menyiksa jenazah ilmuan dan membakarnya, yang hidup pun
tidak kalah penyiksaan yang diterimanya. Sehingga para ahli pikir menuntut
dipisahkannya urusan agama dari kehidupan sosial dan pemerintahan agar
terhindar dari beragamnya penyiksaan tersebut.
Dengan terlepasnya dari para ahli pikir dari tirani gereja, melahirkan
sekularisasi di Barat. Pertentangan ini pun berakhir dengan membagi “hidup”
menjadi dua bagian, sebagian diserahkan kepada agama sebagian lagi diserahkan
ke pemerintah (penguasa). Sebagaimana ungkapan Isa al-Masih dalam Injil:
sebagian untuk Allah dan sebagian untuk kaisar. Artinya masing-masing memiliki
tugas sendiri-sendiri. Bahwa Kaisar mengatur kehidupan dunia, masyarakat,
5

pemerintahan. Sedangkan tugas Allah yang diwakili gereja berada pada bagian
agama atau rohani, sehingga tidak ada intervensi antar keduanya. Meskipun
demikian, ilmu pengetahuan dalam kitab tetap ditempatkan sebagai kebutuhan
dalam kehidupan manusia. Sesuai dengan ajaran Kristiani yang mengatakan
manusia itu sebagai gambaran dan rupa Tuhan sedangkan Tuhan sendiri
merupakan sumber terang dan pengetahuan. Oleh karena itu Tuhan menghendaki
supaya kenal padanya dan meyelidiki segala yang diciptaka-Nya, sehingga dapat
memperoleh pengetahuan.
Sekularisasi secara formal diperkenalkan oleh G.J Holyoake (1817-1906
M), merupakan reaksinya terhadap tindakan gereja-gereja yang bersifat otoriter
terhadap sains. Sedangkan Galeleo (lahir 1564 M) dipandang sebagai pahlawan
sekularisai ilmu penetahuan. Wujud orientasi aliran ini adalah pembebasan
berpikir di luar ajaran agama, sehingga mereka mengambil kesimpulan bahwa
ilmuan bebas berfikir sesuai dengan profesinya dan bagi agamawan yang tidak
respon diberikan kebebasan mengatur urusan akhirat.

C. Landasan Pokok Sekularisasi Ilmu Pengetahuan


Suatu paham atau aliran terdapat ajaran pokok sebagai landasan dalam
berfikir, termasuk sekularisasi, atau sebagai acuan dalam melindungi pemahaman
suatu tema yang distatemenka. Adapun ajaran-ajaran pokok sekularisasi ilmu
pengetahuan yaitu:9
1. Prinsip-prinsip esensial dalam mencari kemajuan dengan alat material
semata-semata.
2. Etika dan moralitas didasarkan pada kebenaran ilmiah tanpa ada ikatan agama
dan metafisika, segalanya ditentukan oleh kriteria ilmiah yang dapat
dipercaya dan yang bersifat validitas.
3. Masih mengakui agama pada batas tertentu dengan ketentuan, agama tidak
boleh mengatur urusan dunia melainkan hanya mengatur tentang akhirat
belaka.

9
Nihaya, Filsafat Umum: dari Yunani sampai Modern, Makassar: Berkah Utami, 1999, h.136.
6

4. Menekankan perlunya toleransi semua golongan masyarakat tanpa mengenal


perbedaan agama.
5. Menjunjung tinggi penggunaan rasio dan kecerdasaan.
Prinsip rasio dan kecerdasaan yang sangat dijunjung tinggi oleh penganut
sekularis, karena ilmu pengetahuan bisa berkembang dengan akal pikiran dan
penalaran yang tinggi. Dan rasiolah yang melahirkan kebahagiaan menuju
kemajuan, sedangkan agama tidak mampu menjelaskan secara rasio terhadap ilmu
pengetahuan karena ia adalah keyakinan.

D. Sekularisasi Ilmu Pengetahuan Ditinjau dari Epistimologi, Aksiologi


1. Sekularisasi ilmu pengetahuan ditinjau dari epistimologi.
Secara formal epistimologi sekularisasi ilmu pengetahuan berbentuk
rasionalisme dan empirisme. Dimana memandang ilmu pengetahuan
berdasarkan pengamatan empiris dan menelaah secara rasio, bukan keyakinan
“iman” sebagai penilai.
Sesuai dengan epistimologi sekularisme yakni rasionalisme dan
empirisme, membuat sekularisasi harus mempertahankan keobjektifan
tujuannya dengan mentaati aturannya sendiri dengan menghindarkan ilmu
pengetahuan selalu terkait dengan agama, pandangan hidup, tradisi dan semua
yang bersifat normatif guna menjaga realitas ilmu pengetahuan sebagai suatu
yang independen dan objektif. Rasio pun dianggap sebagai alat pengetahuan
yang objektif dapat melihat realitas konstan, yang tidak pernah berubah-ubah,
dan dengan empiris memandang ilmu pengetahuan yang absah harus melalui
pengalaman.
Dengan rasio dan empirismenya, sekularisasi ilmu pengetahuan secara
ilmiah memandang alam ini tidak mempunyai tujuan dan maksud, karena
alam adalah benda mati yang netral dan tujuannya sangat ditentukan oleh
manusia sendiri. Sehingga manusia dengan segala daya dan upayanya yang
dimilikinya mengeksploitasi alam untuk kepentingan manusia semata.10

10
Muhammad Natsir Mahmud, Epistimologi dan Studi Islam Kontemporer, Makassar: tp,
2000, h.1.
7

Apabila dilihat dari realita bahwa ilmu pengetahuan mulai


berkembang pada tahapan ontologis, manusia berpendapat bahwa terdapat
hukum-hukum tertentu yang terlepas dari kekuasaan mistis, yang menguasai
gejala-gejala empiris. Sehingga dalam menghadapi masalah tertentu, manusia
mulai menentukan batas-batas eksistensi masalah tersebut, yang
menungkinkan manusia mengenal wujud masalah itu untuk kemudian dan
menelaah dan mencari pemecahan jawabannya. Dalam usaha memecahkan
masalah tersebut maka ilmu pengetahuan tidak berpaling kepada perasaan
melainkan kepada pemikiran yang berdasarkan pada penalaran. Dalam hal ini
ilmu pengetahuan menyadari bahwa masalah yang dihadapinya adalah
masalah yang bersifat kongkrit yan terdapat dalam dunia nyata, sehingga
secara ilmu pengetahuan, masalah yang dikajinya hanya pada masalah yang
terdapat pada ruang jangkuan pengalaman manusia. Hal ini harus kita sadari
karena inilah yang memisahkan daerah ilmu pengetahuan dan agama.11
Lebih jauh lagi, Nurcholis Madjid mengemukakan bahwa dalam
proses penduniawian terjadi pemberian perhatian yang lebih besar daripada
sebelumnya kepada kehidupan duniawi ini.12 Ketika lebih memperhatikan
kehidupan duniawi itu, telah tercakup pula pula sikap yang objektif dalam
menelaah hokum-hukum yang menguasainya, dan mengadakan penyimpulan-
penyimpulan yang jujur. Pengetahuan mutlak diperlukan guna memperoleh
ketepatan setinggi-tingginya dalam memecahkan masalah-masalahnya. Dan
disinilah sebenarnya letak peranan ilmu pengetahuan.
Ajaran pokok sekularisasi ilmu pengetahuan yaitu prinsip-prinsip
esensial dalam mencari kemajuan dengan alat material semata-mata. Etika
dan moralitas didasarkan pada kebenaran ilmiah tanpa ada ikatan agama dan
metafisika, segalanya ditentukan oleh kriteria ilmiah yang dapat dipercaya
dan yang bersifat vaiditas.

11
Rita Hanafi Soetriono, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Andi
Ofset, 2007, h.47.
12
H.M. Rasjidi, Koreksi terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisme, Jakarta:
Bulan Bintang, 1997, h.25.
8

Masih mengakui agama pada batas tertentu dengan ketentuan agama


tidak boleh mengatur urusan dunia melainkan hanya mengatur tentang akhirat
belaka. Menekankan perlunya toleransi semua golongan masyarakat tanpa
mengenal perbedaan agama. Menjunjung tinggi penggunaan rasio dan
kecerdasan. Satu hal yang serta kaitannya dengan rasionalisasi yang
merupakan salah satu ciri dari sekularisasi ialah upaya untuk mencari cara
yang secara teknis efesien demi mengurangi resiko dalam berbagai hal yang
bersifat duniawi. Salah satu bentuknya yang nyata ialah teknologi. Mesin-
mesin yang berteknologi tinggi dan efesien serta berbagai prosedur telah
dirancang untuk mengurangi ketidakpastian, dan akibatnya hal ini telah
mengurangi ketergantungan kepada keyakinan agama. Wilayah dimana
agama menawarkan penjelasan yang bersifat doktriner dan hasil yang hampir
pasti serta dapat diprediksi kini menjadi hilang maknanya. Petani-petani
yantg inovatif menemukan bahwa rotasi panen ternyata lebih ditentukan oleh
tindakan membersihkan tanah dari semak-semak dan parasit dibandingkan
memanjatkan doa. Perkembangan rasionalitas teknis secara perlahan
menggantikan pengaruh supernatural dan pertimbangan moral, dan hal ini
meluas di berbagai bidang kehidupan.
Satu hal yang perlu diterangkan dalam hubungannya dengan
sekularisasi ini, yaitu konsep Islam tentang adanya “Hari Dunia” dan “Hari
Agama”. Mengingkari adanya konsep yang cukup tegas itu, hayalah terbit
dari gejala kecendrungan apologetis. Keterangan tentang hari agama dalam
kitab suci, kita semuanya mengetahuinya. Dan secara tegas dalam kitab suci
Al-Qur’an di Surah Al-Infithar (82) ayat 17-19. Menarik kesimpulan dari ayat
ini, maka hari agama ialah masa ketika hukum-hukum yang mengatur
hubungan antar manusia tidak berlaku lagi, sedangkan yang berlaku adalah
hubungan antara manusia dengan Tuhan, yang terjadi sepenuhnya secara
individual. Dengan perkataan lain, pada waktu itu tidak berlaku lagi hukum-
hukum sekuler atau dunia, dan yang berlaku ialah hukum-hukum ukhrawi.13

13
Nurcholis Madjid, Islam Kemodernan dan Keindonesiaan, Bandung: PT. Mizan
Pustaka, 2008, h.262.
9

Sebaliknya, pada hari dunia yang sekarang sedang kita jalani ini,
belum berlaku hukum-hukum akhirat. Hukum yang mengatur perikehidupan
kita ialah hukum-hukum kemasyarakatan manusia. Memang hukum-hukum
itu bukan ciptaan manusia sendiri, melanikan juga ciptaan Tuhan
(sunnatullah), tetapi hukum itu tidak diterangkan sebagai doktrin-doktrin
agama. Dan manusia sendirilah yang harus berusaha memahaminya, dengan
bekal kecerdasan yang telah dianugerahkan kepadanya, kemudian
memanfaatkan pengetahuannya itu untuk mengatur perikehidupan
masyarakatnya lebih lanjut. Oleh karena itu terdapat konsistensi antara
sekularisasi dengan rasionalisme dan empirisme, sebab inti sekularisasi
adalah pemahaman masalah dunia dengan mengarahkan kecerdasan rasio.
Konsekwensi epistimologi sekuler dari segi aksiologi menyebabkan ilmu itu
bebas nilai, karena nilai hanya diberikan oleh manusia pemakainya.
Masalah nilai dalam perkembangan ilmu sudah disoroti, terutama
pada masa Copernicus pada abad ke-16 yang mwengemukakan bahwa bumi
mengelilingi matahari sedangkan agama pada waktu itu menyebutkan
matahari yang mengelilingi bumi. Timbullah suatu konflik antara ilmu yang
ingin mempelajari alam sebagaimana adanya, dengan sikap yang berpendapat
bahwa ilmu harus didasarkan pada nilai-nilai yang terdapat dalam ajaran-
ajaran diluar bidang keilmuan seperti agama. Perkembangan selanjutnya, para
ilmuan berhasil memperoleh kemenangan agar ilmu bebas nilai. Artinya ilmu
mempunyai otonomi untuk berkembang dengan tidak dipengaruhi nilai-nilai
yang bersifat dogmatis, karena bebas nilai maka ilmu tidak boleh mempunyai
tanggung jawab moral. Akhirnya ilmu berkembang untuk ilmu, mempunyai
kebebasan bergerak kemanapun arahnya.14

14
Rita Hanafi Soetriono, Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian, Yogyakarta: Andi
Ofset, 2007, h.128.
10

2. Sekularisasi ilmu pengetahuan ditinjau dari aksiologi


Perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan berbagai macam
dampaknya terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya, di satu sisi dia
mampu membantu dan meringankan beban manusia, namun di sisi lain dia
juga mempunyai andil dalam menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan
eksistensi itu sendiri. Ilmu barat yang bercorak sekuler dibangun di atas
filsafat materialistisme, naturalisme dan eksistensialisme melahirkan ilmu
pengetahuan yang jauh dari nilai-nilai spiritual, moral, dan etika sebagai
proses mendunianya kehidupan manusia, globalisasi mendorong persebaran
dan pertukaran nilai budaya yang tidak lagi mengenal batas geografis. Proses
ini mengakibatkan terjadinya transformasi peradaban dunia dalam proses
moderenisasi dan industrialisasi yang dahsyat, yang menciptkan perubahan
pada struktur dan pranata masyarakat.15 Gambaran di atas adalah bagian
kenyataan yang secara tidak langsung dihasilkan oleh adanya sekularisasi
ilmu pengetahuan.
Sebagai akibat dari moderenisasi dan industrialisasi adalah munculnya
masyarakat modern atau masyarakat industrial. Masyarakat modern memiliki
pandangan dunia (world view) yang bertolak dari suatu anggapan tentang
kekuasaan manusia (antroposentrisme), yaitu bahwa manusia merupakan
pusat kehidupan. Dalam pandangan ini, manusia mempunyai kekuasaan
untuk menentukan kehidupannya sendiri. Paham tentang kekuasaan manusia
atau antroposentrisme ini melahirkan pandangan kemanusiaan sekuler yang
menekankan rasionalitas (kekuasaan akal-pikiran), individualitas (kekuasaan
diri-pribadi), materialitas (kekuasaan harta benda), dan relativitas (kekuasaan
nilai kenisbian). Retasan-retasan faham atau pandangan di atas setidaknya
tidak bisa dilepaskan dari pengaruh semangat sekularissi ilmu pengetahuan.
Dengan demikian sekularisasi ilmu pengetahuan dengan sendirinya telah
keluar dari radius jangkau definisi ilmu induknya dan sekaligus mengerdilkan
peran agama dengan cara menjauhi atau melepaskannya.

15
Din Syamsuddin, Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani, Ciputat:
Logos Wacana Ilmu, 2002, h.170.
11

Proses sekularisasi terus berlanjut sejalan dengan perkembangan


industrialisasi yang cepat, disebabkan oleh kemajuan ilmu dan teknologi serta
persaingan ekonomi yang semakin yang meluas. Karena itu, Hendrik Kramer,
sebagaimana dikutib oleh Sutan Alisjahbana dan Amsar Bakhtiar,
mengatakan bahwa semua agama di zaman modern sedang mengalami suatu
krisis yang amat dalam. Setiap orang di zaman ini yang melihat dan
mengamati kehidupan serta perkembangan agama dengan bermacam-macam
alirannya, kesangsiannya dan pertentangan di antara pengikut-pengikutnya,
tidak dapat dengan jujur berkata lain daipada itu.16 Selanjutnya juga terjadi
pertentangan-pertentangan antara ilmu-ilmu eksakta dan ilmu-ilmu sosial
bahkan terjadi pengkaplingan ilmu pengetahuan dan masing-masing kapling
bersikukuh dengan keangkuhannya masing-masing. Namun menurut
Abdurrahman Mas’ud, yang menjadi persoalan sebenarnya bukan pada
keterpisahan dari berbagai disiplin, karena hal ini merupakan konsekuensi diri
ke dalam kajian suatu ilmu, melainkan terletak pada terlepasnya dimensi
moral dan ide moral atau fungsi yang paling hakiki dari ilmu itu sendiri, yaitu
untuk kesejahteraan umat manusia. Ilmu ekonomi menekankan bagaimana
mendaptkan keuntungan dan mengajarkan keserakahan, ilmu politik
mengajarkan bagaimana mendapatkan kekuasaan dan pemaksaan. Di bidang
teknologi misalnya lebih menekankan bagaimana mengeksploitasi resource
alam dan manusia, dan di bidang kedokteran menekankan bagaimana
mengeksploitasi jasad manusia.
Setelah ditemukan kemajuan teknologi yang begitu hebat, ternyata
tanpa disadari teknologi itupun memenjarakan manusia. Artinya, penjara
manusia tidak berkurang dengan kemajuan teknologi tetapi semakin
bertambah. Pada konteks inilah manusia perlu disadarkan dari penjara yang
bernama teknologi. Dia harus sadar bahwa teknologi bukanlah tujuan, tetapi
sekedar sarana untuk memudahkan urusan. Oleh karena itu dalam beberapa
kesempatan perlu membebaskan anak-anak dari pengaruh layar agar mereka
tidak tergantung dan terpenjara oleh layar. Kebenaran yang disuguhkan oleh

16
Amsar Bakhtiar, Filsafat Agama, Ciputat: Logos Wacana Ilmu, 1999, h.232.
12

layar adalah kebenaran nisbi, yang sangat ditentukan oleh subjektifitas


seseorang atau kelompok tertentu. Hal ini juga dimungkinkan karena proses
produksi yang tidak sempurna atau cenderung manipulatif.
Menurut Mahdi Ghulsyani,17 dengan bantuan ilmu seorang muslim,
dengan berbagai cara dan upaya dapat ber-taqarrub kepada Allah. Pertama,
dia dapat meningkatkan pengetahuannya kepada Allah. Kedua, dia dengan
efektif dapat membantu mengembangkan masyarakat Islam dan
merealisasikan tujuan-tujuannya. Ketiga, dia dapat membimbing orang lain.
Keempat, dia dapat memecahkann berbagai problem masyarakat manusia.
Empat hal di atas jika dikaji lebih dalam ternyata tersirat posisi kriteria ilmu
yang bermanfaat, jika empat hal yang disandarkan kepada pemiliknya itu
benar-benar ada maka bisa dipastikan ilmu yang dimaksud adalah ilmu yang
bermanfaat.

17
Mahdi Ghulsyani, Filsafat Sains menurut al-Qur’an, Terj. Agus Effendi, Bandung:
Mizan, 1998, h.55-56.
BAB III
PENUTUP

A. Simpulan
1. Secular berarti duniawi, sehingga yang disebut sekular adalah yang bersifat
keduniaan, artinya masalah dunia tetap dijadikan masalah dunia dan masalah
agama (akhirat) tetap dijadikan masalah agama. Dengan demikian sekular
adalah sifat melepaskan dunia ini dari agama. Untik itu diperlukan proses,
proses itulah yang disebut sekularisasi.
2. Sekularisasi secara formal diperkenalkan oleh G.J Holyoake (1817-1906 M),
merupakan reaksinya terhadap tindakan gereja-gereja yang bersifat otoriter
terhadap sains. Sedangkan Galeleo (lahir 1564 M) dipandang sebagai
pahlawan sekularisai ilmu penetahuan. Wujud orientasi aliran ini adalah
pembebasan berpikir di luar ajaran agama, sehingga mereka mengambil
kesimpulan bahwa ilmuan bebas berfikir sesuai dengan profesinya dan bagi
agamawan yang tidak respon diberikan kebebasan mengatur urusan akhirat.
3. Adapun ajaran-ajaran pokok sekularisasi ilmu pengetahuan yaitu:
a. Prinsip-prinsip esensial dalam mencari kemajuan dengan alat material
semata-semata.
b. Etika dan moralitas didasarkan pada kebenaran ilmiah tanpa ada ikatan
agama dan metafisika.
c. Masih mengakui agama pada batas tertentu dengan ketentuan,
d. Menekankan perlunya toleransi semua golongan masyarakat tanpa
mengenal perbedaan agama.
e. Menjunjung tinggi penggunaan rasio dan kecerdasaan.
4. Sekulerisasi ilmu pengetahuan dapat ditinjau dari segi epsitimologi dan juga
aksiologi. Secara formal epistimologi sekularisasi ilmu pengetahuan
berbentuk rasionalisme dan empirisme. Dimana memandang ilmu
pengetahuan berdasarkan pengamatan empiris dan menelaah secara rasio,
bukan keyakinan “iman” sebagai penilai. Sedangkan secara aksiologi
Perkembangan ilmu pengetahuan melahirkan berbagai macam dampaknya

13
14

terhadap kehidupan manusia dan lingkungannya, di satu sisi dia mampu


membantu dan meringankan beban manusia, namun di sisi lain dia juga
mempunyai andil dalam menghancurkan nilai-nilai kemanusiaan, bahkan
eksistensi itu sendiri. Ilmu barat yang bercorak sekuler dibangun di atas
filsafat materialistisme, naturalisme dan eksistensialisme melahirkan ilmu
pengetahuan yang jauh dari nilai-nilai spiritual, moral, dan etika sebagai
proses mendunianya kehidupan manusia, globalisasi mendorong persebaran
dan pertukaran nilai budaya yang tidak lagi mengenal batas geografis. Proses
ini mengakibatkan terjadinya transformasi peradaban dunia dalam proses
moderenisasi dan industrialisasi yang dahsyat, yang menciptkan perubahan
pada struktur dan pranata masyarakat.

B. Saran
Dalam upaya menyelesaikan penulisan makalah ini, kami telah berusaha
untuk melengkapi bahan materi. Namun, kami menyadari masih adanya
kekurangan dalam penulisan makalah ini. Baik dari segi materi maupun dalam
penyusunan makalah. Oleh sebab itu, kami mengharapkan kritik dan saran yang
membangun dari pembaca agar dapat dijadikan acuan demi perbaikan makalah
selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar, Amsar. Filsafat Agama. Ciputat: Logos Wacana Ilmu. 1999.


Ghulsyani, Mahdi. Filsafat Sains menurut al-Qur’an. Terj. Agus Effendi.
Bandung: Mizan. 1998.
Indonesia, Tim Redaksi Kamus Bahasa. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. 2008.
Madjid, Nurcholis. Islam Kemodernan dan Keindonesiaan. Bandung: PT. Mizan
Pustaka. 2008.
Mahmud, Muhammad Natsir. Epistimologi dan Studi Islam Kontemporer.
Makassar: tp. 2000.
Nihaya. Filsafat Umum: dari Yunani sampai Modern. Makassar: Berkah Utami.
1999.
Qardhawi, Yusuf. Sekuler Ekstrim. Terj. Nabhani Idris. Jakarta: Pustaka al-
Kautsar. 2000.
Rasjidi, H.M. Koreksi terhadap Drs. Nurcholis Madjid tentang Sekularisme,
Jakarta: Bulan Bintang. 1997.
Soetriono, Rita Hanafi. Filsafat Ilmu dan Metodologi Penelitian. Yogyakarta:
Andi Ofset. 2007.
Syamsuddin, Din. Etika Agama dalam Membangun Masyarakat Madani. Ciputat:
Logos Wacana Ilmu. 2002.

15

Anda mungkin juga menyukai